• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agung Anggoro BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Agung Anggoro BAB II"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

A. Landasan Teori

1. Hospitalisasi

a. Pengertian

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga (Wong, 2009).

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas, bagi anak (Supartini, 2004). Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab anak dirawat di rumah sakit (Stevens, 1999).

b. Dampak Hospitalisasi Pada Anak

(2)

faktor utama yang dapat mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan proses perawatan. Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak (Supartini, 2004). Menurut Sacharin, semakin muda anak semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman dirawat di rumah sakit. Hal ini tidak berlaku sepenuhnya bagi bayi yang masih sangat muda, walaupun tetap dapat merasakan adanya pemisahan. Selain itu, pengalaman anak sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat juga sangat berpengaruh. Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dirawat di rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter (Supartini, 2004).

(3)

bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua. Anak pada usia pra sekolah membayangkan dirawat di rumah sakit merupakan suatu hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya terlambat (Wong, 2009).

Biasanya anak akan melontarkan beberapa pertanyaan karena bingung dan anak tidak mengetahui keadaan di sekelilingnya. Selain itu, anak juga akan menangis, bingung, khususnya bila keluar darah atau mengalami nyeri pada anggota tubuhnya. Ditambah lagi, beberapa prosedur medis dapat membuat anak semakin takut, cemas, dan stres. Reaksi anak usia prasekolah terhadap perpisahan adalah kecemasan karena berpisah dengan lingkungan yang nyaman, penuh kasih sayang, lingkungan bermain, permainan, dan teman bermain. Reaksi kehilangan kontrol anak merasa takut dan khawatir serta mengalami kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan tubuh dan nyeri dengan menggigit bibir dan memegang sesuatu yang erat (Wong, 2009)

2. Insersi Intravena

a. Pengertian

(4)

2005). Terapi intravena merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan melalui intravena dengan bantuan infus set yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh (Tamsuri, 2007).

Umumnya cairan intravena diberikan untuk mencapai satu atau lebih tujuan berikut ini:

1) Untuk menyediakan cairan elektrolit, dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2) Untuk menggantikan air dan memperbaiki kekurangan elektrolit 3) Untuk menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara

intravena (Smeltzer & Bare, 2006). b. Jenis-jenis larutan Intravena

Larutan elektrolit dianggap isotonik jika kandungan elektrolit totalnya (anion ditambah kation) kira-kira 310 mEq/L. Larutan dianggap hipotonik jika kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250 mEq/L dan hipertonik jika kandungan elektrolit totalnya melebihi 375 mEq/L. Perawat juga harus mempertimbangkan osmolalitas suatu larutan, bahwa osmolalitas plasma adalah kira-kira 300 mOsm/L. 1) Cairan isotonis.

(5)

volume ekstraseluler. Satu liter cairan isotonik akan menambah CES 1 liter. Tiga liter cairan isotonik diperlukan untuk mengganti 1 liter darah yang hilang. Contohnya saline normal (0,9% natrium klorida), larutan ringer lactate.

2) Cairan hipotonik.

Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih kecil daripada osmolalitas plasma. Tujuan cairan hipotonik adalah untuk menggantikan cairan seluler, dan menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pemberian cairan ini umumnya menyebabkan dilusi konsentrasi larutan plasma dan mendorong air masuk ke dalam sel untuk memperbaiki keseimbangan di intrasel dan ekstrasel, sel tersebut akan membesar atau membengkak. Contohnya salin berkekuatan menengah (natrium klorida 0,45%). 3) Cairan hipertonik.

(6)

c. Penatalaksanaan Keperawatan pada Pasien yang mendapat Terapi Intravena

Menurut Perry & Potter (2005), tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada insersi intravena adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Daerah tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median lengan bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena magna, ramus dorsalis). Pembuluh darah yaitu arteri dan vena terdiri dari beberapa lapisan, masing-masing dengan struktur dan fungsi khusus. 1) Tunika intima

(7)

2) Tunika media

Merupakan lapisan tengah, terdiri dari jaringan ikat yang mengandung serabut muskular dan elastis. Jaringan ikat ini memungkinkan vena mentoleransi perubahan tekanan dan aliran dengan menyediakan rekoil elastis dan kontraksi muskular.

3) Tunika adventisia

Merupakan lapisan terluar, terdiri dari serabut elastis longitudinal dan jaringan ikat longgar (Dougherty, 2008).

Menurut Perry & Potter (2005), prosedur insersi intravena yaitu: 1) Tentukan lokasi pemasangan, sesuaikan dengan keperluan rencana pengobatan, punggung tangan kanan / kiri, kaki kanan / kiri, 1 hari / 2 hari.

2) Lakukan tindakan aseptik dan antiseptik.

3) Lencangkan kulit dengan memegang tangan / kaki dengan tangan kiri, siapkan intravena kateter di tangan kanan.

4) Tusukkan jarum sedistal mungkin dari pembuluh vena dengan lubang jarum menghadap keatas, sudut tusukan 30-40 derajat arah jarum sejajar arah vena, lalu dorong.

5) Bila jarum masuk ke dalam pembuluh vena, darah akan tampak masuk kedalam bagian reservoir jarum.

(8)

7) Cabut bagian jarum seluruhnya perhatikan apakah darah keluar dari kanul, tahan bagian kanul dengan ibu jari kiri.

8) Hubungkan kanula dengan transfusion set. Buka saluran infus perhatikan apakah tetesan lancer. Perhatikan apakah lokasi penusukan membengkak, menandakan elestravasasi cairan sehingga penusukan harus diulang dari awal.

9) Bila tetesan lancar, tak ada ekstravasasi lakukan fiksasi dengan plester dan pada bayi / balita diperkuat dengan spalk.

10) Kompres dengan kasa betadine pada lokasi penusukan. 11) Atur tetesan infus sesuai instruksi.

12) Laksanakan proses administrasi, lengkapi berita acara pemberian infus, catat jumlah cairan masuk dan keluar, catat balance cairan selama 24 jam setiap harinya, catat dalam perincian harian ruangan. Bila sudah tidak diperlukan lagi, pemasanggan infus dihentikan.

3. Kecemasan

a. Pengertian

(9)

Menurut Ann (1996), cemas berbeda dengan takut, walaupun respon fisik cemas dan takut hampir sama, namun ada beberapa perbedaan penting antara keduanya, yaitu:

1) Takut merupakan suatu reaksi terhadap bahaya yang spesifik, sedangkan kecemasan merupakan perasaan samar terhadap ancaman dari bahaya yang tidak spesifik.

2) Kecemasan menyerang pada tingkat lebih dalam dari pada takut yaitu sampai pusat kepribadian.

Adapun hospitalisasi dapat diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab anak dirawat di rumah sakit (Stevens, 1999, dalam Rasmun, 2004).

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecemasan akibat hospitalisasi pada anak adalah respon emosional berupa rasa khawatir dan takut karena anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan psikis pada anak

b. Gambaran klinis

(10)

a. Kecemasan ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Kecemasan ringan diperlukan untuk seorang agar berfungsi dan berespon secara efektif terhadap lingkungan dan kejadian. Seseorang dengan kecemasan ringan dapat dijumpai hal-hal sebagai berikut:

1) Respon fisiologis

Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar.

2) Respon kognitif

Lapang persepsi meluas mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif.

3) Respon perilaku dan emosi

Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi.

b. Kecemasan Sedang

(11)

1) Respon fisiologis

Sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare atau kostipasi, gelisah.

2) Respon kognitif

Lapang persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.

3) Respon perilaku dan emosi

Gerakan tersentak-sentak (meremas tangan), bicara banyak dan cepat, susah tidur, perasaan tidak aman.

c. Kecemasan berat

Lapangan persepsi menjadi sangat menurun. Individu cenderung memikirkan hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir realistis dan membutuhkan pengarahan untuk dapat memusatkan area lain. a) Respon Fisiologis

Nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat, sakit kepala, penglihatan kabur dan ketegangan.

b) Respon kognitif

Lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah.

c) Respon perilaku dan emosi

(12)

d. Kecemasan sangat berat atau panik

Lahan persepsi sudah sangat sempit sehingga individu tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan dan tuntunan. Pada keadaan ini terjadi peningkatan aktivitas motorik. Tingkat anxietas ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Seseorang dengan panik akan dapat dijumpai adanya :

1) Respon fisiologis

Nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, koordinasi motorik rendah.

2) Respon kognitif

Lapang persepsi sangat sempit, tidak dapat berpikir logis. 3) Respon perilaku dan emosi

Agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, sering berteriak, blocking, kehilangan kendali atau kontrol diri, persepsi kacau. c. Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan

Menurut (Stuart & Sundeen, 2008) ada 2 faktor yang mempengaruhi kecemasan:

1. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan, berupa: 1) Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan

(13)

2) Konflik emosional yang dialami individu dan terselesaikan dengan baik.

3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan

4) Frustasi akan menimbulkan rasa ketidak berdayaan untuk mengambil keputusan.

5) Gangguan fisik menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman terhadap integritas fisik yang mempengaruhi konsep diri.

2. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi adalah ketegangan dalam kehidupan yang dapat mencetuskan timbulnya kecemasan, yang dikelompokkan menjadi dua:

1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi:

a) Sumber internal: kegagalan mekanisme fisiologi system, imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (hamil).

(14)

2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal:

a) Sumber internal: kesulitan dalam berhubungan interpersonal dirumah dan tempat kerja, penyesuaian terhadap tempat baru.

b) Sumber eksternal: kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok d. Instrumen Pengukuran Kecemasan Pada Anak

Untuk mengukur tingkat kecemasan anak terdapat beberapa instrumen pengukuran kecemasan anak, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) adalah instrumen kecemasan untuk mengukur kecemasan pada anak usia sekolah. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecemasan Spence Children's Anxiety Scale (SCAS). Instrumen ini terdiri dari 32 pertanyaan, yang memiliki total skor 96. Responden diminta untuk menunjukkan frekuensi setiap gejala yang terjadi pada empat skala poin mulai dari tidak pernah (skor 0) sampai poin selalu (skor 3). Hasil kuesioner akan menjadi kriteria tingkat kecemasan anak: ringan (skor <16), sedang (skor 17-32), berat (skor 33-48), dan berat sekali/panik (skor >49).

(15)

prasekolah. Skala ini terdiri dari 28 pertanyaan kecemasan, Skala ini dilengkapi dengan meminta orang tua untuk mengikuti petunjuk pada lembar instrumen. Jumlah skor maksimal pada skala kecemasan SCAS Preschool adalah 112. 28 item kecemasan tersebut memberikan ukuran keseluruhan kecemasan, selain nilai pada enam sub-skala masing-masing menekankan aspek tertentu dari kecemasan anak, yaitu kecemasan umum, kecemasan sosial, gangguan obsesif kompulsif, ketakutan cedera fisik dan kecemasan pemisahan (Spence, 2011). Hasil total skor kuesioner akan menjadi kriteria tingkat kecemasan anak, dengan rentang skor kecemasan sebagai berikut: ringan (skor < 28), sedang (skor 28-56), berat (skor 57-84), dan sangat berat/panik (skor >85). Jumlah pertanyaan dalam instrumen ini terdiri dari 6 sub-skala kecemasan dan pada item pertanyaan sebagai berikut:

a) Kecemasan umum (1, 4, 8, 14 dan 28) b) Kecemasan sosial (2, 5, 11, 15, 19 dan 23) c) Gangguan obsesif kompulsif (3, 9, 18, 21 dan 27) d) Ketakutan cedera fisik (7, 10, 13, 17, 20, 24 dan 26) e) Kecemasan pemisahan (6, 12, 16, 22 dan 25)

(16)

medis yang menyakitkan, sebelumnya dilakukan penyelidikan awal dari sifat psikometri dari skala kecemasan wajah. Faces anxiety scale for children menunjukkan berbagai tingkat kecemasan. Skor 0 memberikan gambaran tidak ada kecemasan sama sekali, skor 1 (menggambarkan lebih sedikit kecemasan), skor 2 (menggambarkan sedikit kecemasan), skor 3 (menggambarkan kecemasan) dan skor 4 (menggambarkan kecemasan yang ekstrim pada anak).

4) Face Image Scale yaitu pengukuran tingkat kecemasan

menggunakan pendekatan ekspresi wajah.

Gambar 2.1. Facial Image Scale with image. scores, 1–5. Sumber: Buchannan H, Niven H (2002). Validation of a facial Image

Scale to assess child dental anxiety. Int J Paediatr Dent. Vol. 12, No. 47-52

4. Komunikasi Terapeutik

a. Pengertian

(17)

terapeutik. Sedangkan Purwanto (2004) mendefinisikan komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan, dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. b. Manfaat Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik sangat bermanfaat dalam pelayanan keperawatan. Adapun manfaat komunikasi terapeutik menurut Purwanto (2004) adalah :

1) Mendorong dan menganjurkan kerjasama antara perawat dengan klien melalui hubungan perawat dengan klien.

2) Mengidentifikasi, mengungkap perasaan, dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan. Proses komunikasi yang baik dapat memberikan pengertian tingkah laku klien mengatasi masalah yang dihadapi dalam tahap perawatan. Sedangkan pada tahap preventif, kegunaannya adalah mencegah adanya tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri klien.

c. Tujuan Komunikasi Terapeutik

Tujuan diterapkannya komunikasi terapeutik dalam pelayanan keperawatan sehari-hari menurut Purwanto (2004) adalah :

1) Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien percaya pada hal yang diperlukan.

2) Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan

(18)

3) Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri. d. Elemen-Elemen Dalam Proses Komunikasi Terapeutik

Ada beberapa elemen dalam proses komunikasi menurut Potter dan Perry (2005), antara lain:

1) Referen atau stimulus yang memotivasi atau mendorong seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain.

2) Pengirim atau encoder yaitu penyampai informasi atau orang yang memprakarsai pesan atau informasi.

3) Pesan yakni informasi yang diinformasikan atau diekspresikan oleh pengirim.

4) Saluran yang membawa pesan, baik melalui saran visual, pendengaran maupun taktil.

5) Penerima atau decoder yaitu orang yang menerima pesan yang dikirimkan komunikator.

6) Respon dari penerima pesan baik respon verbal maupun non verbal. Respon dari penerima ini menunjukkan pemahaman penerima tentang pesan yang diterima.

e. Prinsip-Prinsip Komunikasi Terapeutik

Dalam komunikasi terapeutik, ada beberapa prinsip yang perlu diketahui. Menurut Rogers (1974) yang dikutip oleh Purwanto (2004), prinsip-prinsip komunikasi tersebut adalah :

(19)

2) Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai.

3) Perawat harus memahami dan menghayati nilai yang dianut oleh pasien.

4) Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.

5) Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas berkembang tanpa rasa takut.

6) Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya, baik sikap, tingkah laku sehingga tumbuh makin matang dan mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.

7) Perawat harus mampu mengatasi perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan maupun frustrasi.

8) Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.

9) Memahami arti empati sebagai tindakan yang terapeutik.

10) Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik

(20)

mempertahankan suatu keadaan sehat fisik, mental, spiritual dan gaya hidup.

12) Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap mengganggu.

13) Altruisme mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara manusiawi.

14) Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia. 15) Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab

terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggungjawab terhadap orang lain.

f. Langkah-Langkah Komunikasi Terapeutik

Proses hubungan terapeutik atau tahapan antara seorang terapis dengan pasiennya dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu:

1) Prainteraksi

a) Prainteraksi mulai sebelum kontak pertama dengan pasien. b) Dijelaskan bahwa seorang terapis akan mengeksploitasi perasaan

dirinya sendiri, fantasi, kecemasan dan ketakutan dirinya sendiri (terapis) dalam menghadapi pasien, sehingga kesadaran dan kesiapan diri terapis untuk melakukan hubungan dengan pasien dapat dipertanggungjawabkan.

2) Perkenalan atau orientasi

(21)

b) Kegiatan yang dilakukan adalah memperkenalkan diri kepada klien dan keluarga bahwa saat ini yang menjadi perawat adalah dirinya. Dalam hal ini berarti perawat sudah siap sedia untuk memberikan pelayanan keperawatan pada klien. Dengan memperkenalkan dirinya, perawat telah bersikap terbuka pada klien dan ini diharapkan akan mendorong klien untuk membuka dirinya

3) Fase Kerja

Tahap kerja merupakan tahap untuk mengimplementasikan rencana keperawatan yang telah dibuat pada tahap orientasi. Per awat menolong klien untuk mengatasi cemas, meningkatkan kemandirian, dan tanggung jawab terhadap diri serta mengembangkan mekanisme koping konstruktif.

4) Terminasi

(22)

g. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik

Suatu proses komunikasi atau proses berinteraksi dengan orang lain dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut menurut Potter dan Perry (2005) antara lain :

1) Perkembangan

Perkembangan seseorang mempengaruhi cara berkomunkasi. Anak dengan perkembangan yang baik akan berbeda kemampuan berbahasa dan bicaranya dibanding dengan anak yang mengalami gangguan perkembangan. Untuk dapat berkomunikasi secara efektif khususnya pada anak-anak, perawat harus memahami pengaruh perkembangan bahasa dan proses berpikir, karena hal ini mempengaruhi cara anak berkomunikasi sehingga proses interaksi dapat berjalan baik.

2) Persepsi

Adalah pandangan pribadi terhadap apa yang terjadi. Persepsi ini dibentuk oleh harapan dan pengalaman. Perbedaan persepsi antar individu yang berinteraksi mengakibatkan terhambatnya komunikasi. 3) Nilai

(23)

dari ekspresi pemikiran dan ide. Maka, penting bagi seorang perawat untuk mengembangkan kepekaan terhadap nilai tersebut.

4) Latar belakang sosiokultural

Budaya merupakan bentuk kondisi yang menunjukkan diri seseorang melalui tingkah lakunya. Bahasa, nilai, pembawaan dan gaya komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Perbedaan ini dapat menghambat komunikasi.

5) Emosi

Emosi adalah perasaan subyektif seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa tertentu. Cara seseorang bersosialisasi atau berinteraksi dengan orang lain dipengaruhi oleh emosi. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menerima suatu pesan dengan baik. Selain itu, emosi dapat menyebabkan individu salah menginterpretasikan pesan yang diterima.

6) Gender.

Perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi komunikasi. Pria dan wanita mempunyai gaya komunikasi yang berbeda dan satu sama lain saling mempengaruhi secara unik dalam proses komunikasi. 7) Pengetahuan

(24)

tinggi. Pesan yang disampaikan menjadi tidak jelas bila kata-kata yang digunakan tidak dikenal pendengar atau penerima. Seorang komunikator yang baik perlu mengetahui tingkat pengetahuan penerima pesan agar informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik sehingga interaksi dapat berjalan dengan baik.

8) Peran dan hubungan

Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antara orang yang berkomunikasi atau seseorang berkomunikasi dalam tatanan yang tepat menurut peran dan hubungan mereka. Komunikasi akan menjadi lebih efektif apabila masing-masing pihak tetap waspada terhadap peran mereka dalam berkomunikasi.

9) Lingkungan

Lingkungan akan berpengaruh terhadap komunikasi yang efektif. Kebisingan dan kurangnya kebebasan seseorang dapat menyebabkan ketidaknyamanan dalam berkomunikasi. Untuk itu, ruangan atau lingkungan yang tenang, nyaman, bebas dari kebisingan dan gangguan adalah yang terbaik untuk berkomunikasi.

10) Jarak

(25)

5. Anak Pra Sekolah

a. Pengertian anak pra sekolah

Pengertian anak pra sekolah menurut Biechler dan Snowman (dalam Patmonodewo, 2003), adalah mereka yang berusia antara tiga sampai enam tahun. Usia tersebut mereka biasanya mengikuti program pendidikan pra sekolah. Anak pra sekolah di Indonesia, umumnya mengikuti program Tempat Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), dan mengikuti program Taman Kanak-Kanak (TK). Pada dasarnya program pendidikan pra sekolah yang ada di Indonesia terbagi menjagi tiga bagian, yakni program pendidikan pra sekolah formal, non formal, dan informal.

Menurut teori Erikson (dalam Patmonodewo, 2003) yang membicarakan perkembangan kepribadian seseorang dengan titik berat pada perkembangan psikososial tahapan nol sampai satu tahun, berada pada tahapan orang sensorik dengan krisis emosi antara trust versus mistrust, tahapan tiga sampai enam tahun anak berada dalam tahapan

dengan krisis autonomy versus shame and doubt (dua sampai tiga tahun), initiative versus guilt (empat sampai lima tahun) dan tahap usia enam sampai sebelas tahun mengalami krisis industry versus inferiority.

(26)

operasional formal (dua belas sampai lima belas tahun), maka perkembangan kognitif anak masa pra sekolah berada pada tahap pra operasional.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bahwa anak pra sekolah adalah mereka yang berusia antara tiga sampai enam tahun. Mereka biasanya mengikuti program pra sekolah dan kindergarten. Umumnya di Indonesia anak pra sekolah mengikuti program Tempat Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), dan program Taman Kanak-Kanak (TK).

b. Karakteristik anak pra sekolah

Anak usia pra sekolah yang adalah anak yang berusia 3-6 tahun yang biasanya mengikuti program kindegarten atau Taman Kanak-Kanak. Di masa inilah seorang anak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan demikian pesatnya baik meliputi jasmani, kognitif, sosial, dan emosional (Patmonodewo, 2003). Pada masa ini anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat baik fisik maupun psikisnya. Sehingga rentang usia tersebut disebut dengan usai emas (golden age) yang merupakan usia yang sangat berharga yang menjadi dasar bagi perkembangan anak pada usia-usia selanjutnya. Karakteristik anak usia 4 – 6 tahun menurut Hibana(2005), yaitu: 1) Berkaitan dengan perkembangan fisik, anak sangat aktif melakukan

(27)

2) Perkembangan bahasa juga semakin baik. Anak sudah mampu memahami pembicaraan orang lain dan mampu mengungkapkan pemikiranya dalam batas-batas tertentu.

3) Perkembangan kognitif (daya pikir) sangat pesat, ditunjukkan dengan rasa ingin tahu anak yang luar biasa terhadap lingkungan sekitar. Hal itu terlihat dari seringnya anak menanyakan segala sesuatu yang dilihat.

4) Bentuk permainan anak masih bersifat individu, bukan permainan sosial. Walaupun aktifitas bermain dilakukan secara bersama.

Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami serangkaian perkembangan panjang yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan rasa ketakutannya. Beberapa rasa takut yang terdahulu telah teratasi, tetapi banyak yang masih tetap ada. Banyak ketakutan-ketakutan baru muncul karena adanya kecemasan-kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan perkembangan remaja itu sendiri (Sunarto dan Hartono, 2006).

(28)

B. Kerangka Teori

Kerangka teori hubungan hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak pra sekolah disajikan pada gambar berikut ini.

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber: Diadopsi dari Supartini (2004), Wong (2009), Stuart & Sunden (2008), dan Patmonodewo (2003)

Hospitalisasi

Faktor yang mempengaruhi 1. Faktor Predisposisi

a) Peristiwa traumatik b) Konflik emosional c) Konsep diri terganggu d) Frustasi

e) Gangguan fisik 2. Faktor Presipitasi

a) Ancaman terhadap integritas fisik

b) Ancaman terhadap harga diri Kecemasan

Anak Pra sekolah

Komunikasi Terapeutik Pemberian Obat Intra

(29)

Komunikasi Terapeutik Pemberian Obat

Intra Vena

C. Kerangka Konsep

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

D. Hipotesis

Hipotesis Penelitian Menurut Sugiyono (2006), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori. Hipotesis dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang merupakan jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan. Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu:

Ho : Tidak terdapat hubungan komunikasi terapeutik pemberian obat intra vena dengan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak pra sekolah di Bangsal Anak Rumah Sakit Wijaya Kusuma Purwokerto Tahun 2015.

Ha : Terdapat hubungan komunikasi terapeutik pemberian obat intra vena dengan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak pra sekolah di Bangsal Anak Rumah Sakit Wijaya Kusuma Purwokerto Tahun 2015.

Gambar

Gambar 2.1.  Facial Image Scale with image. scores, 1–5.
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gambar 2.2. Kerangka Konsep

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, peneliti mengambil judul “Pembuatan Sistem Informasi Rental Mobil Pada Purnama Rent Car Ploso Pacitan” Rental mobil merupakan salah satu bisnis yang

Berat kering akar didapatkan dengan cara menimbang sampel bagian akar tanaman yang telah dimasukkan ke dalam oven selama 1x24 jam dengan suhu 80 o C sampai beratnya konstan

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk membuktikan apakah benar faktor kecepatan lari dan daya ledak otot tungkai yang dimiliki siswa putra kelas X SMA Negeri

Nomor 5: Pembeli B karena dengan gaya dorong yang sama antara pembeli A dan B, faktor yang mempengaruhi besarnya akselerasi kereta adalah massa benda. Pembeli A membawa kereta

Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p-value sebesar 0,000, yang berarti nilai signifi kan lebih kecil dari taraf signifi kan 5%

Agar organisasi dapat berjalan sesuai dengan amanat yang tertuang dalam KEPPRES Nomor 71 tahun tentang pendirian Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir dan keputusan Kepala BATAN

Dalam penelitian ini majelis hakim menjatuhkan vonis telah sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu menyebutkan Fidelis Arie S sebagai terdakwa terbukti secara sah