• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa tinggi untuk berlomba-lomba mempelajari ilmu agama Islam. Hal itu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. luar biasa tinggi untuk berlomba-lomba mempelajari ilmu agama Islam. Hal itu"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Dewasa ini, masyarakat Muslim di Indonesia memiliki semangat yang luar biasa tinggi untuk berlomba-lomba mempelajari ilmu agama Islam. Hal itu dapat dilihat dari semakin banyaknya kegiatan taklim ilmu keagamaan Islam di lingkungan masyarakat –baik menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Di samping itu, masyarakat pun semakin giat mencari buku-buku terkait keagamaan Islam sebagai sumber referensi tambahan yang dapat dibaca sewaktu-waktu.

Adapun bahasa Arab adalah bahasa yang banyak digunakan dalam buku-buku terkait keagamaan Islam. Akan tetapi, tidak semua masyarakat Muslim di Indonesia dapat mengerti bahasa Arab. Sehingga menjadikan penerjemahan Arab-Indonesia menjadi suatu hal yang “amat dibutuhkan” oleh masyarakat Arab-Indonesia khususnya di era zaman modern ini.

Kebutuhan tersebut direspon oleh beberapa penerbit ternama untuk membangun lini penerbit yang khusus berkonsentrasi pada terjemahan Arab-Indonesia. Seperti penerbit Erlangga dengan Tinta Medina, penerbit Pro-U Media dengan Darul Uswah, penerbit Mizan dengan Qanita, dan lain sebagainya.

Penerjemahan Arab-Indonesia tidak lepas dari kegiatan penerjemahan pada umumnya. Catford (1965: 20) dan Munday (2001: 5) berpendapat bahwa penerjemahan adalah penggantian materi tekstual yang orisinil (TSu) dalam suatu bahasa (BSu) dengan materi tekstual yang padan (TSa) dalam bahasa lain (BSa). Sedangkan Machali (2009: 29) mendekatkan pemahaman bahwa penerjemahan

(2)

bukanlah kegiatan penggantian teks karena perlu ada pendekatan khusus yang dapat diterapkan untuk membantu penerjemah dalam kegiatan penerjemahan. Pendekatan itu berupa pandangan terhadap teks sebagai suatu tindak komunikasi yang bukan sekedar kumpulan kata dan kalimat saja.

Hasil dari kegiatan penerjemah disebut sebagai produk penerjemahan. Munday (2001: 4-5) membagi istilah penerjemahan menjadi dua bagian, yakni produk dan proses. Produk adalah teks yang sudah diterjemahkan sedangkan proses adalah tindakan pengalihbahasaan (translating) untuk menghasilkan sebuah terjemahan. Adapun Hatim (2001: 10) menjelaskan kegiatan “Pengalihbahasaan/Translating” sebagai kegiatan multi fungsi dengan pelbagai macam perspektif. Di dalam kegiatan ini terdapat sebuah “pertimbangan” yang meliputi studi budaya dan teks linguistik BSu.

Nababan (2012: 41) berpendapat bahwa sasaran utama penerjemahan adalah teks, baik berupa teks pendek atau teks panjang. Maka idealnya, sasaran penilaian adalah juga teks secara keseluruhan. Adapun Halliday (1985: 9)

menjelaskan teks sebagai bahasa yang fungsional dengan pengertian bahwa bahasa itulah yang melakukan banyak pekerjaan dalam beberapa konteks. Teks juga merupakan unit semantik yang penting karena dapat berupa kumpulan kata atau kalimat yang memiliki makna.

Di dalam menerjemahkan, penerjemah perlu memperhatikan terlebih dahulu jenis teks yang akan dia terjemahkan. Adapun jenis teks yang diangkat dalam penelitian ini adalah jenis teks hukum. Wuryantoro (2015: 48-49) dalam disertasinya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penerjemahan teks hukum adalah penerjemahan teks dalam bidang hukum. Bidang hukum

(3)

merupakan kajian yang sarat dengan budaya dan bersifat sensitif, sehingga penerjemahan hukum bukanlah hal yang mudah. Kesalahan penerjemahan pada dokumen-dokumen hukum tersebut –misalnya pada surat perjanjian/kontrak– akan menjadikan penerjemah dapat dituntut secara hukum dan dikenai sanksi atau denda sebagai konsekuensi hukum yang mengikat seperti pada kontrak tersebut. Melihat kenyataan itulah, peneliti tertarik untuk meneliti strategi penerjemahan yang dipakai penerjemah dalam menerjemahkan teks PM dan kualitas terjemahan yang dihasilkan menurut penilaian enam responden.

Menurut Sukardja (2012: 37) teks PM merupakan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah Islam yang disebut sebagai “ةفيحّصلا” ash-shachi>fatu dan piagam yang dibuat atas persetujuan Nabi Muhammad Saw dengan para penduduk kota Madinah, tak lama setelah beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib/Madinah tahun 622M. Lebih lanjut Sukardja (2012: viii) menjelaskan bahwa teks PM ini merupakan naskah perjanjian bersama untuk tujuan membangun komunitas kehidupan bernegara dalam masyarakat majemuk.

Begitu pentingnya teks PM dalam sejarah umat Muslim menjadikan teks piagam ini banyak diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Salah satu bahasa terjemahan dari teks ini adalah bahasa Indonesia. Peneliti pun mengambil sumber data berupa teks asli PM dalam buku “as-Si>ratu an-Nabawiyyatu” Juz 2, karya Abu Muhammad ‘Abdul Malik Ibn Hisyam, terbitan Da>rul-Chadi>ts–Kairo tahun 2006, yang diterjemahkan oleh Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya “Piagam Madinah-Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia” terbitan Pustaka Al-Kautsar– Jakarta tahun 2014. Adapun teks terjemahan PM tersebut akan dianalisis mengenai strategi penerjemahan dan kualitas terjemahannya.

(4)

Strategi penerjemahan menurut Suryawinata (2003: 67) adalah sebuah taktik yang diterapkan penerjemah untuk menerjemahkan kata atau kelompok kata atau kalimat dalam BSu. Suryawinata (2003) membagi strategi penerjemahan menjadi dua jenis utama, yaitu strategi struktural dan strategi semantis. Sedangkan Newmark (1988: 81-93) menyebut strategi penerjemahan sebagai prosedur yang terbagi menjadi 17 macam. Adapun penerjemah teks PM menerapkan strategi struktural dan semantis secara bersamaan yang dapat dilihat pada contoh berikut.

(1) BSu:

يِبَّنلا ٍدَّمَحـُم ْنِم ٌباَتِك اَذَه

َّلَص

َو َنْيِنِمْؤُمـلا َنْيَـب ،َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُللها ى

ْنِم َنْيِمِلْسُمـلا

ِرْثَـي َو ٍشْيَرُـق

قِحَلَـف ،ْمُهَعِبَت ْنَمَو ،َب

،ْمُهَعَم َدَهاَج َو ،ْمِهِب

Hadza> kita>bun min Muchammadin a’n-nabiyya Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa Sallama bainal-mu>’mini>na wal-muslimi>na min Quraisyin wa Yatsribin wa man tabi‘ahum falachiqa bihim wa ja>hada ma‘ahum (Hisyam, 2006: 368).

BSa:

Inilah piagam tertulis dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam di kalangan orang-orang yang beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka (Ahmad, 2014: 12).

Pada data 1 di atas, penerjemah telah melakukan strategi penerjemahan struktural-transposisi pada “

َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُللها ىَّلَص

يِبَّنل

ا ٍدَّمَحـُم ْنِم

” min Muchammadin a’n-nabiyya Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa Sallama yang diterjemahkan menjadi “dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam”. Penerjemah menerjemahkan terlebih dahulu gelar “Nabi” untuk “Muhammad” yang berkedudukan sebagai badal (pengganti) dalam BSu. Penerjemah juga menerjemahkan pola struktur BSu berupa S+P dan P+S menjadi bentuk S+P dalam struktur BSa –bahasa Indonesia. Pergeseran bentuk pola tersebut bisa dilihat pada klausa berikut; (1) klausa berstruktur BSu S+P, yaitu “

َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُللها ىَّلَص يِبَّنلا ٍدَّمَحـُم ْنِم ٌباَتِك اَذَه

” Hadza> kita>bun min Muchammadin a’n-nabiyya Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa Sallama dan

(5)

ْمُه َعِبَت ْنَم

” man tabi‘ahum yang diterjemahkan menjadi “Inilah piagam tertulis dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam” dan “orang-orang yang mengikuti mereka’, (2) klausa berstruktur P+S “

ْمِهِب قِحَل

” lachiqa bihim dan “

َدَهاَج

ْمُهَعَم

” ja>hada ma‘ahum dengan subjek yang tidak tampak (dhami>r mustatir) berupa

وه

huwa “dia (lk)” diterjemahkan menjadi “orang-orang yang mempersatukan diri” dan “orang-orang yang berjuang bersama mereka”. Kedua pola klausa BSu tersebut diterjemahkan dalam bentuk S+P dalam pola struktur BSa.

Selain itu, penerjemah juga menerapkan strategi penerjemahan semantis yang diterapkan penerjemah pada data 1 di atas, adalah pada pungutan nama suku

شْيَرُـق

” Quraisyun, nama orang “

دَّمَحـُم

” Muchammadun, gelar seseorang “

ُللها ىَّلَص

َمَّلَس َو ِهْيَلَع

” Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa Sallama, dan nama tempat “

َبِرْثَـي

Yatsriba yang diterjemahkan dengan tetap mempertahankan kata BSu-nya menjadi “Quraisy, Muhammad, Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan Yatsrib”. Lalu penerjemah juga memperluas terjemahan kata “

َنْيِنِمْؤُمـلا

” al-mu’mini>na dan

َنْيِمِلْسُمـلا

” al-muslimi>na menjadi “orang-orang yang beriman dan memeluk

Islam”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam menerjemahkan data 1 di atas, penerjemah telah menerapkan dua strategi, yakni strategi struktural dan semantis.

Hasil dari penerapan strategi penerjemahan yang dilakukan penerjemah teks PM dalam menerjemahkan teks ini juga disebut sebagai sebuah produk penerjemahan. Hal itu karena bahasa sumber teks PM berupa bahasa Arab yang dialihbahasakan menjadi bahasa Indonesia oleh penerjemah –Ahmad (2014). Adapun untuk memperkuat hasil terjemahan teks PM menggenai apakah sudah tepat atau belum diterjemahkan demikian untuk masyarakat BSa, perlu diadakan penelitian tentang kualitas terjemahan teks PM ini. Sebagaimana Machali (2009:

(6)

143) yang berpendapat bahwa penilaian terjemahan sangat penting disebabkan oleh dua alasan: (1) untuk menciptakan hubungan dialektik antara teori dan praktik penerjemahan; (2) untuk kepentingan kriteria dan standar dalam menilai kompetensi penerjemah, terutama apabila kita menilai beberapa versi teks BSa dari teks BSu yang sama.

Adapun Nababan (2012: 44-45) menyimpulkan bahwa terjemahan yang berkualitas harus memenuhi tiga aspek, yaitu aspek keakuratan, aspek keberterimaan, dan aspek keterbacaan. Aspek keakuratan merupakan istilah untuk pengevaluasian terjemahan terhadap kesamaan isi atau pesan antarteks BSa dengan teks BSu. Aspek keberterimaan merupakan aspek yang merujuk pada terjemahan yang sudah diungkapkan sesuai dengan kaidah-kaidah, norma, dan budaya yang berlaku dalam BSa. Adapun aspek keterbacaan merupakan aspek yang menilai keterbacaan teks BSa yang dapat dipahami secara langsung tanpa perlu membaca lebih dari sekali. Contoh penilaian ketiga aspek itu dapat dilihat pada teks di bawah ini.

(2) BSu:

ِقَدْصَأ ىَلَع َللها َّنِإ َو

اَم

َـبَأ َو ِةَفْـيِحَّصلا ِهِذَه يِف

ر ِه

Wa inna’l-La>ha ‘ala ashdaqi ma> fi hadzihi’sh-shachi>fati wa abarrihi (Hisyam, 2006: 370).

BSa:

Allah menyertai segala peserta dari piagam ini yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya (Ahmad, 2014: 24).

Menurut pengamatan peneliti, kualitas terjemahan data 2 di atas apabila ditinjau dari tiga aspek kualitas terjemahan yang dirumuskan oleh Nababan (2012) adalah sebagai berikut; (1) aspek keakuratan, terjemahan data 2 ini diterjemahkan sudah akurat oleh penerjemah karena pesan BSu sudah tersampaikan dengan baik dan tidak terjadi distorsi/ penyimpangan pada makna BSa. Penerjemah

(7)

menerjemahkan ism tafdhiil (nomina superlatif) pada kata “

قَدْصَأ

ashdaqu dan

َـبَأ ر

abarru menjadi “menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya”. Di

dalam kamus Al-Munawwir (1997: 770) kata “

قَدْصَأ

ashdaqu bermakna dasar mempercayai, membenarkan” sedangkan kata “

َـبَأ ر

” abarru (Al-Munawwir, 1997: 73) bermakna “menerima, melaksanakan”. Kemudian penerjemah menjadikan kedua kata tersebut menjadi bentuk adjektiva berupa “jujur dan sebaik-baiknya”. Hal ini sesuai dengan pesan BSu yang menekankan pada unsur penerimaan dan pelaksanaan dari teks PM ini, (2) aspek keberterimaan, terjemahan data 2 ini sudah berterima karena hasil terjemahan menggunakan istilah yang lazim dan akrab bagi pembaca. Hal itu dapat dilihat pada pemakaian strategi-pungutan kata “Allah” yang tetap diterjemahkan sesuai kata BSu-nya. Lalu penerjemah juga merekonstruksi pola struktur gramatikal S+P BSu –bahasa Arab– menjadi pola S+P pula dalam BSa –bahasa Indonesia, (3) aspek keterbacaan, terjemahan data 2 ini memiliki tingkat keterbacaan sedang karena pada terjemahan masih terdapat bagian yang perlu dibaca lebih dari sekali untuk memahami teks BSa pada data 2. Penelitian mengenai strategi penerjemahan dan kualitas terjemahan sudah banyak yang mengkaji. Tiap-tiap kajian berbeda pada objek materialnya. Pada penelitian ini, peneliti mengambil empat macam kajian pustaka mengenai bidang penerjemahan dan satu pustaka mengenai teks Piagam Madinah.

(1) Astuti (2008) dalam penelitian tesis yang berjudul Strategi Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan Buku Manual Handphone Nokia 1600 dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa penerjemah dalam menerjemahkan buku manual handphone nokia 1600 menggunakan dua macam strategi; strategi struktural dan strategi semantis. Pada strategi

(8)

struktural, penerjemah menggunakan strategi penambahan, pengurangan dan transposisi. Adapun strategi semantis yang dipakai penerjemah adalah strategi penambahan, pengurangan, pungutan, dan modulasi. Penerjemah mengkombinasikan antarstrategi struktural dan strategi semantis untuk menghasilkan terjemahan yang akurat dan dapat dipahami dengan baik. Hasil penilaian kualitas terjemahan buku manual handphone Nokia 1600 adalah sangat tepat, alamiah, dan mudah dipahami.

(2) Barathayomi (2012) dalam penelitian tesis yang bejudul Strategi Penerjemahan Istilah Budaya dalam Novel Olive Kitteridge: Kritik Terjemahan Berdasarkan Model Analisis Teks yang Berorientasi pada terjemahan, membahas tentang kritik penggunaan strategi penerjemahan istilah budaya dalam novel berdasarkan analisis teks yang berorientasi pada terjemahan. Hal yang dikaji adalah analisis faktor ekstratekstual dan intratekstual teori analisis teks Christian Nord (1991) untuk menentukan tujuan penerjemah. Tujuan penerjemah pada teks novel ini adalah untuk memperkaya istilah budaya pembaca dengan memberikan catatan kaki dan penjelasan tambahan. Namun kegagalan penerjemah terlihat dari penggunaan strategi transferensi dan penerjemahan harfiah yang menjadikan terjemahan kurang tepat dan tidak wajar.

(3) Cahyaningrum (2013) dalam penelitian tesis yang berjudul Analisis Teknik dan Kualitas Terjemahan Kalimat Tanya pada Subtitle Film Sherlock Holmes, yang membahas tentang (1) jenis dan fungsi pragmatis kalimat tanya pada Film Sherlock Holmes, dan (2) teknik penerjemahan yang diterapkan serta dampaknya dalam kualitas terjemahan. Terdapat tiga jenis kalimat

(9)

tanya, yaitu WH question (51,23%), yes-no question (46,28%), dan alternative question (2,47%). Fungsi pragmatis terbesar pada kalimat tanya pada film tersebut adalah rhetoric question (56,19%). Sebelas teknik penerjemahan telah diterapkan penerjemah dan dampaknya pada hasil terjemahan menjadikan rerata keseluruhan nilai aspek kualitas terjemahan menjadi skor 2,82/tinggi.

(4) Wuryantoro (2014) dalam penelitian disertasi yang berjudul Kajian Proses Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan Teks Hukum Dan Teks Ilmiah Bidang Hukum Karya Penerjemah Tersumpah (penerjemah bahasa Inggris), yaitu membahas tentang temuan mengenai fenomena kualitas terjemahan teks hukum dan penerjemah tersumpah. Penerjemah tersumpah memiliki sifat kerja yang profesional dan semi profesional sesuai latar belakang pendidikannya. Perbedaan kualitas terjemahan antara terjemahan teks hukum dan teks ilmiah bidang hukum dipengaruhi oleh tipologi teks, penerjemah, dan proses penerjemahan. Kualitas terjemahan teks hukum pada tataran keakuratan lebih tinggi daripada teks ilmiah bidang hukum, namun sebaliknya pada tataran keberterimaan dan keterbacaan, kualitas terjemahan teks hukum lebih rendah daripada teks ilmiah bidang hukum.

(5) Hamdani (2013) penelitian skripsi yang berjudul Piagam Madinah dan Demokrasi di Indonesia (Studi tentang Kontribusi Piagam Madinah terhadap Konsep Demokrasi dalam UUD 1945), yang membahas Piagam Madinah dan korelasinya dengan demokrasi di Indonesia. Analisis yang dikaji adalah relevansi subtansi demokrasi di Indonesia dengan teks Piagam Madinah dan juga konsep kedua ideologi pemerintahan. Dari penelitian ini didapat tiga

(10)

persamaan substansial antara demokrasi UUD 1945 Indonesia dengan teks Piagam Madinah zaman pemerintahan Rasulullah Saw, yaitu pimpinan dalam musyawarah mufakat, heterogenitas entitas, dan ideologi masyarakat. Adapun basis konstitusi yang dianut teks Piagam Madinah adalah mendudukkan pengambilan keputusan tertinggi pada musyawarah mufakat.

Berbeda dengan kelima penelitian yang tersebut di atas, penelitian ini memfokuskan diri pada kajian mengenai penggunaan strategi penerjemahan pada teks PM serta penilaian terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan. Sejauh pengamatan dan pencarian yang dilakukan peneliti, belum ditemukan penelitian yang mengkaji terjemahan teks piagam PM ini.

Penelitian ini memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini memberikan sumbangsih ilmu pada bidang pengembangan teori penerjemahan Arab-Indonesia, khususnya bentuk penerapan strategi penerjemahan Arab-Indonesia dan kualitas terjemahan bahasa Indonesia yang dihasilkan pada teks PM. Adapun manfaat secara praktis, penelitian ini memberikan (1) hasil terapan strategi-strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan sebuah teks PM, (2) hasil kualitas teks terjemahan PM, dan (3) hubungan antara pemilihan strategi penerjemahan dengan kualitas terjemahan yang dihasilkan oleh penerjemah teks PM.

(11)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka masalah yang dapat disimpulkan dalam teks Piagam Madinah adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana strategi penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan teks Piagam Madinah?

2. Bagaimana kualitas terjemahan pada teks terjemahan Piagam Madinah?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai Teks Piagam Madinah sesuai dengan rumusan masalah di atas, memiliki tujuan penelitian sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan teks Piagam Madinah.

2. Mendekripsikan kualitas terjemahan pada teks terjemahan Piagam Madinah.

D. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam suatu penelitian perlu dibuat karena mengingat luasnya permasalahan yang dapat dikaji dari pelbagai aspek serta keterbasan pada kemampuan peneliti. Pembatasan masalah juga dilakukan agar penelitian dapat terarah dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Penelitian ini mengambil objek material berupa teks asli PM dalam buku “as-Si>ratu an-Nabawiyyatu” Juz 2, karya Abu Muhammad ‘Abdul Malik Ibn Hisyam, terbitan Da>rul-Chadi>ts Kairo tahun 2006, yang diterjemahkan oleh Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya “Piagam Madinah-Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia” terbitan Pustaka Al-Kautsar tahun 2014.

(12)

Alasan pemilihan hasil terjemahan teks PM dari Ahmad (2014) adalah berdasarkan pada pengetahuan peneliti (1) buku “Piagam Madinah-Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia” termasuk buku terbaru yang dirilis dua tahun sebelum penelitian ini dan diterbitkan oleh penerbit buku Islami terkenal; Pustaka Al-Kautsar1, dan (2) hasil terjemahan dari teks PM diterjemahkan sendiri oleh penulisnya (Ahmad)2. Adapun alasan lain peneliti memilih teks PM sebagai bahan kajian penelitian adalah dikarenakan karakteristik teks PM seperti yang sudah disebutkan di ‘latar belakang’ dan urgensi keberadaan teks PM pada kehidupan bermasyarakat masyarakat muslim khususnya di Indonesia. Sehingga peneliti merasa perlu dan tertarik untuk meneliti terjemahan teks PM. Penelitian ini sebagai salah satu upaya untuk merumuskan terjemahan teks PM yang lebih baik dan tepat dari terjemahan yang sudah ada sebelumnya melalui saran responden dan hasil analisis strategi terjemahan yang telah dipakai penerjemah sebelumnya, yaitu Ahmad (2014).

Penelitian difokuskan pada pembahasan jenis-jenis strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan teks PM. Pembagian jenis-jenis strategi penerjemahan ini sesuai dengan pembagian Newmark (1988: 81) dan Suryawinata (2003: 67) yang terbagi menjadi dua macam, yaitu strategi struktural dan strategi semantis. Pertama, strategi struktural terdiri dari tiga macam, yaitu penambahan, pengurangan, dan transposisi (Suryawinata, 2003: 67). Kedua, strategi semantis terdiri dari sembilan macam, yaitu pungutan, padanan budaya, padanan deskriptif dan analisis komponensial, sinonim, terjemahan resmi,

1 Cek KDT Buku: Ahmad, H. Zainal Abidin. Piagam Madinah-Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia. Cet.1-Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014 (Ahmad, 2014: iv).

(13)

penyusutan dan perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi (Suryawinata, 2003: 70).

Penelitian juga difokuskan pada pembahasan hasil kualitas terjemahan teks PM. Proses penilaian dilakukan oleh enam responden dengan menggunakan paramater kualitatif3 yang telah dirumuskan oleh Nababan (2012: 51). Pada lembar penilaian terdiri dari 3 aspek, yakni aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan dengan skala skor penilaian berupa 1 (satu/rendah), 2 (dua/sedang), hingga 3 (tiga/tinggi).

E. Landasan Teori

Landasan teori merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Pada penelitian ini, terdapat dua landasan teori dalam menganalisis data. Landasan teori pertama adalah strategi penerjemahan untuk menjawab rumusan masalah pertama. Adapun landasan teori kedua adalah kualitas terjemahan untuk menjawab rumusan masalah kedua. Berikut penjelasan mengenai teori yang dipakai untuk menganalisis data.

1. Strategi Penerjemahan

Landasan teori pertama pada penelitian ini adalah berupa strategi penerjemahan. Strategi penerjemahan menurut Suryawinata (2003: 67) adalah taktik penerjemah untuk menerjemahkan kata atau kelompok kata, atau mungkin yang lebih kecil untuk diterjemahkan. Dalam literatur tentang terjemahan, strategi penerjemahan disebut dengan prosedur penerjemahan (translation procedure)

3 Parameter kualitatif yang dimaksud adalah indikator skor penilaian (1/rendah atau 2/sedang atau 3/tinggi) yang telah dirumuskan oleh Nababan (2012) mengenai kualitas terjemahan yang dilihat dari tiga aspek; keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan.

(14)

sebagaimana juga yang disebut Newmark (1988) dalam bukunya a Textbook of Translation.

Newmark (1988: 81-93) membagi prosedur penerjemahan menjadi 17 macam prosedur, yakni Transference/ Transferensi, Naturalisation/ Naturalisasi, Cultural Equivalent/ Padanan Budaya, Functional Equivalent/ Padanan Fungsional, Descriptive Equivalent/ Padanan Deskriptif, Synonymy/ Sinonim, Through-Translation/ Terjemahan Literal, Shift or Transpositions/ Transposisi, Modulation/ Modulasi, Recognised Translation/ Terjemahan Resmi, Translation Label/ Terjemahan Label, Compensation/ Kompensasi, Componential Analysis/ Analisis Komponensial, Reduction and Expansion/ Penyempitan dan Perluasan, dan Paraphrase/ Parafrase, Couplet (Bait), dan Notes, Addition, and Glosses/ Catatan, Penambahan, dan Pengurangan.

Sejauh pengamatan peneliti, 14 prosedur penerjemahan Newmark (1988) memiliki kesamaan fungsi dengan 10 strategi penerjemahan Suryawinata (2003) yang dapat dilihat pada tabel 1.1. berikut.

Pembagian Prosedur/Strategi

Oleh Newmark (1988) dan Suryawinata (2003)

No Newmark (1988) Suryawinata (2013)

1.  Shift or Transposition (Transposisi) Struktural – Transposisi 2.  Naturalization (Naturalisasi)

Transference (Transferensi)

Semantis – Pungutan 3.  Cultural Equivalent (Padanan

Budaya)

Translation Label (Terjemahan Label)

Semantis – Padanan Budaya

4.  Descriptive Equivalent (Padanan Deskriptif)

Componential Analysis (Analisis Komponensial)

Semantis – Padanan Deskriptif dan Analisis Komponensial

(15)

5.  Synonym (Sinonim)

Functional Equivalent (Padanan Fungsi)

Semantis – Sinonim

6.  Recognized Translation (Terjemahan Resmi)

Semantis – Terjemahan Resmi 7.  Reduction and Expansion

(Penyusutan dan Perluasan)

Semantis – Penyusutan dan Perluasan

8.  Notes, Addition, and Glosses (Catatan, Penambahan, dan Pengurangan)

Paraprhrase (Parafrase)

Semantis – Penambahan

9.  Notes, Addition, and Glosses (Catatan, Penambahan, dan Pengurangan)

Semantis – Penghapusan

10.  Modulation (Modulasi) Semantis – Modulasi Tabel 1.1. Pembagian Strategi Penerjemahan

Penjelasan mengenai teori strategi penerjemahan yang terpakai untuk menganalisis rumusan masalah pertama terbagi menjadi dua macam, yakni strategi penerjemahan struktural dan strategi penerjemahan semantis. Berikut penjelasan untuk tiap macam strategi penerjemahan.

a. Strategi Penerjemahan Struktural

Strategi penerjemahan jenis pertama adalah strategi penerjemahan struktural. Suryawinata (2003: 67) menjelaskan mengenai strategi penerjemahan struktural sebagai strategi yang diterapkan penerjemah berkaitan dengan struktur kalimat. Strategi ini bersifat wajib dilakukan karena kalau tidak hasil terjemahannya akan tidak berterima secara struktural di dalam BSa. Struktural yang dimaksud adalah struktur gramatikal BSa yang berlaku pada masyarakatnya. Dalam penelitian ini struktur BSa yang dimaksud adalah struktur bahasa Indonesia yang sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI).

(16)

Terdapat tiga jenis strategi yang termasuk dalam strategi penerjemahan struktural, yaitu penambahan, pengurangan, dan transposisi. Jenis – jenis pada strategi struktural ini dilakukan untuk mendapatkan hasil terjemahan yang berterima secara struktural pada teks BSa. Berikut penjelasan tiga macam strategi tersebut.

1) Strategi Penambahan

Strategi penambahan adalah strategi yang menambahkan kata-kata dalam BSa karena struktur BSa menghendaki seperti itu. Penambahan jenis ini merupakan suatu keharusan yang dilakukan seorang penerjemah, dalam menerjemahkan teks BSu (Suryawinata, 2003: 67-68). Adapun contoh sebagai berikut.

(3) BSu:

َّنِإ َو

ٌةَدِحاَو ِللها َةَّمِذ

ْمُهاَنْدَأ ْمِهْيَلَع ُزْـيِجُي ،

Wa inna dzimmata’l-La>hi wa>chidatun yuji>zu ‘alaihim adna>hum (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Jaminan Allah adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah (Ahmad, 2014: 16).

Pada contoh data 3 di atas, terdapat penerapan strategi struktural-penambahan oleh penerjemah, yaitu struktural-penambahan kata “adalah” untuk menjelaskan kata “

ٌةَدِحاَو

” wa>chidatun. Di dalam KBBI (2008: 10) kata “adalah” memiliki pengertian sebagai kata untuk menegaskan hubungan subjek dan predikat yang bersifat penjelasan. Sehingga penambahan kata “adalah” pada struktur BSa data 4 di atas merupakan bentuk penegasan yang menghubungkan “

ِللها

ةَّمِذ

” dzimmatu’l-La>hi sebagai ismu inna (nomina partikel inna) dengan khabar inna (penjelas partikel inna) yaitu kata “

ٌةَدِحاَو

” wa>chidatun.

(17)

2) Strategi Pengurangan

Strategi pengurangan adalah strategi yang mengurangi elemen struktural di dalam teks BSa. Elemen struktural yang dimaksud adalah berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat. Strategi ini pun diterapkan karena struktur BSa menghendaki adanya pengurangan elemen struktural pada BSu (Suryawinata, 2003: 68). Adapun contoh sebagai berikut.

(4) BSu:

َّجَّنلا يِنَب ِدْوُهَـيِل َّنِإ َو

را

َلْثِم

ٍفْوَع يِنَب ِدْوُهَـيِل اَم

Wa innna li Yahu>di bani a’n-Naja>r mitsla ma> li Yahu>di bani ‘Aufin (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Kaum Yahudi dari Bani Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Bani Auf di atas (Ahmad, 2014: 19).

Pada contoh data 4 di atas, terdapat penerapan strategi struktural-pengurangan pada BSu oleh penerjemah, yaitu partikel “ِ ل” li yang bermakna “bagi” di dalam terjemahan BSa. Pengurangan partikel “ِ ل” li yang menyatakan kepemilikan untuk kaum Yahudi Bani ‘Auf adalah pilihan yang tepat berdasarkan pendapat Suparno (2005: 160-161) yang menyatakan bahwa penerjemahan kata ganti milik yaitu partikel “ِ ل” li adalah dengan menyebutkan lebih dahulu benda yang dimiliki kemudian langsung menyebutkan pemiliknya. Sehingga partikel “ِ ل” li tidak perlu lagi diterjemahkan ke dalam BSa.

3) Strategi Transposisi/ Prosedur Transposisi

Strategi ini menjadikan penerjemah mengubah struktur asli BSu di dalam kalimat BSa untuk mencapai efek yang padan. Tipe pertama, yaitu perubahan dari bentuk jamak menjadi bentuk tunggal. Sedangkan tipe kedua, yaitu pergeseran bentuk yang diperlukan ketika struktur gramatika teks BSu

(18)

tidak sesuai pada teks BSa. Tipe kedua ini dapat berupa pergeseran pada posisi kata sifat atau pada pengubahan kalimat secara keseluruhan (Newmark, 1988: 85; Suryawinata, 2003: 68). Adapun contoh tipe pertama dapat dilihat pada data 5 berikut.

(5) BSu :

َنْوُرِجاَهُمـلا

ْـبَر ىَلَع ٍشْيَرُـق ْنِم

َـقاَعَـتَـي ْمِهِتَع

ْمُه َو اَهِئاَطْعِا َو ِةَّي دلا ُذْخَأ ْمُهَـنْـيَـب َنْوُل

َنْيِنِمْؤُمـلا َنْيَـب ِطْسِقلا َو ِفْوُرْعَمْلاِب ْمُهَـيِناَع َنْوُدْفُـي

Al-Muha>jiru>na min Quraisyin ‘ala> rab‘atihim yata‘a>qalu>na bainahum akhdzu’d-diyyati wa i‘tha>iha> wa hum yufdu>na ‘a>niyahum bil-ma‘ru>fi wal-qisthi bainal-mu’mini>na (Hisyam, 2006: 368).

BSa :

Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli (former condition) mereka; yaitu saling tanggung-menanggung membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat) di antara mereka (karena suatu pembunuhan), dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman (Ahmad, 2014: 12).

Pada contoh data 5 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi struktural-transposisi pada struktur teks BSa. Kata “

َنْوُرِجاَهُمـلا

” al-Muha>jiru>na yang berarti “orang-orang yang berhijrah” diterjemahkan menjadi bentuk tunggal yaitu “kaum Muhajirin”. Dalam hal ini penerjemah mengubah struktur jamak BSu menjadi tunggal pada struktur BSa.

Tipe kedua dari strategi transposisi adalah pergeseran bentuk yang diperlukan ketika struktur gramatika teks BSu tidak sesuai pada teks BSa. Di dalam penerapan tipe kedua ini pada terjemahan Arab-Indonesia, peneliti mengambil penjelasan dari Burdah (2004) mengenai persoalan gramatika bab kalimat. Burdah (2004) membagi kalimat menjadi 3 kelompok berdasarkan tingkat kesulitan dan kemungkinan jalan pemecahan dari terjemahan kalimat berbahasa Arab (BSu) tersebut, yaitu (1) kalimat sederhana, (2) kalimat lengkap, dan (3) kalimat kompleks. Berikut penjelasan dan contoh.

(19)

a) Kalimat Sederhana

Kalimat sederhana adalah kalimat yang memiliki struktur paling minimal untuk suatu kalimat, yakni Subjek dan Predikat. Dalam bahasa Arab pola kalimat terbagi menjadi dua, S+P (jumlah ismiyyah/ kalimat nominal) dan P+S (jumlah fi‘liyyah/ kalimat verbal). Sedangkan di dalam bahasa Indonesia hanya memiliki satu pola, S+P. Oleh karena itu, penerjemahan kedua pola kalimat bahasa Arab tersebut harus mengikuti pola bahasa Indonesia (S+P) sebagai BSa (Burdah, 2004: 85). Sebagaimana contoh berikut.

(6) BSu :

ردبلا علط دق

Qad thala‘al-badru (Burdah, 2004: 85).

BSa :

Purnama itu telah terbit (Burdah, 2004: 85). (bukan: telah terbit purnama itu).

b) Kalimat Lengkap

Kalimat lengkap adalah kalimat dengan struktur lebih lengkap dari kalimat sederhana. Dalam bahasa Indonesia kalimat ini berstruktur S+P+O atau S+P+O+K (Burdah, 2004: 87). Berikut pembagian pola bahasa Arab yang perlu diperhatikan saat diterjemahkan ke bahasa Indonesia (Burdah, 2004: 87-90).

b.1. Pola S+P dan P+S dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi S+P dalam bahasa Indonesia. Berikut contoh.

(7) BSu :

برغلا عم قرشلا ةقلاعل ايخيرات اضرع مزاح روتكدلا مدقي

Yuqaddimu a’d-duktu>r Cha>zim ‘irdhan ta>ri>khiyyan li-‘ala>qati’sy-syarqi ma‘al-gharbi (Burdah, 2004: 87).

BSa :

Doktor Hazim menyampaikan paparan historis tentang relasi Timur dan Barat (Burdah, 2004: 87).

(20)

b.2. Pola bahasa Arab yang mengandung O (objek) dapat diterjemahkan dengan dua pola. Pertama, pola bahasa Arab berupa S+P+O atau P+S+O dapat diterjemahkan menjadi kalimat aktif dalam bahasa Indonesia. Berikut contoh.

(8) BSu :

لدعلا نوبلطتي سانلا

A’n-na>su yatathallabu>nal-‘adla (Burdah, 2004: 88).

BSa : Publik menuntut keadilan (Burdah, 2004: 85).

Adapun pola terjemahan yang kedua, yaitu pola bahasa Arab P+O+S dapat diterjemahkan menjadi kalimat aktif atau pasif dalam bahasa Indonesia dengan mempertimbangkan konteks kalimat sebelum dan sesudahnya. Berikut contoh.

(9) BSu :

دق

نول ولأا ءاملعلا اهراشأ

Qad ‘a-sya>raha>l-‘ulama>’ul-a’wwalu>na (Burdah, 2004: 88). BSa :

Hal itu telah ditunjukkan ulama-ulama terdahulu

(atau: ‘Para Ulama’ pendahulu telah menunjukkan hal itu) (Burdah, 2004: 88).

b.3. Pola bahasa Arab lengkap berupa S+P+O+K dapat diterjemahkan menjadi dua pola, yaitu S+P+O+K atau K+S+P+O dalam bahasa Indonesia. Berikut contoh.

(10) BSu :

و ملاعلل ازكرم هسفن ىري برغلا

خيراتلا

Al-gharbu yara nafsahu markazan lil-‘a>lami wa’t-ta>ri>khi (Burdah, 2004: 90).

BSa :

Barat memandang dirinya sebagai pusat dunia dan pusat sejarah (Burdah, 2004: 90).

(21)

c) Kalimat Kompleks

Kalimat kompleks memiliki makna yang sama dengan istilah ‘kalimat bertingkat’, yakni satu kalimat yang bagaiannya memiliki anak kalimat. Adapun yang dimaksud dalam kalimat kompleks disini adalah varian terjemahan kalimat kompleks bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, yang mencakup (1) sifat berupa kalimat, (2) Jeda/Sampiran, (3) kalimat syarat, dan (4) kalimat dengan bagian struktur berupa kalimat (Burdah, 2004: 91-98). Untuk bagian kalimat kompleks ini peneliti hanya akan memberikan satu contoh mengingat sedikitnya porsi untuk penjelasan teori lebih lanjut. Berikut contoh data 12 yang memiliki tanda jeda/sampiran pada BSu.

(11) BSu :

لقعلا يف ركفت لا -لقلأا ىلع– ةعئاجلا نوطبلا نأ

Annal-buthunal-ja>i‘ata (‘alal-aqal) la> tafkiru fil-‘aqli

(Burdah, 2004: 91). BSa :

Perut yang lapar –minimal– tidak dapat diajak berpikir (Burdah, 2004: 91).

b. Strategi Penerjemahan Semantis

Strategi penerjemahan jenis kedua adalah strategi penerjemahan semantis. Suryawinata (2003: 70) menjelaskan mengenai strategi penerjemahan semantis sebagai strategi yang berkaitan dengan makna kata atau kalimat yang sedang diterjemahkan. Penerapan strategi ini merupakan pertimbangan dari penerjemah dalam membawa kata atau kalimat BSu ke dalam BSa.

Strategi penerjemahan semantis memiliki sembilan jenis strategi, yaitu pungutan, padanan budaya, padanan deskriptif dan analisis komponensial,

(22)

sinonim, terjemahan resmi, penyusutan dan perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi. Berikut penjelasan dari tiap jenis strategi ini. 1) Strategi Pungutan/ Prosedur Naturalisasi dan Prosedur Transferensi

Strategi pungutan atau prosedur naturalisasi adalah strategi penerjemahan yang membawa kata BSu ke dalam teks BSa. Penerjemah sekadar memungut kata BSu yang ada, maka strategi ini pun disebut pungutan. Strategi ini adalah usaha menstranfer pesan BSu dengan mengadopsi kata BSu untuk dirubah menjadi bentuk kata yang padan pada BSa (Newmark, 1988: 82; Suryawinata, 2003: 70). Suryawinata (2003: 71) menambahkan bahwa strategi pungutan dapat mencakup transliterasi dan naturalisasi. Transliterasi yang dimaksud adalah strategi penerjemahan yang mempertahankan kata BSu secara utuh, baik bunyi maupun tulisan. Sedangkan naturalisasi adalah kelanjutan dari transliterasi yang menjadikan pungutan kata BSu tersebut disesuaikan pengucapan dan penulisannya dengan aturan bahasa BSa.

Adapun pungutan yang terjadi adalah pada tingkatan kata atau frasa yang berhubungan dengan nama orang, nama tempat, nama majalah, nama koran, nama jurnal, nama gelar, nama lembaga, dan istilah-istilah pengetahuan yang belum ada di BSu (Newmark, 1988: 82; Suryawinata, 2003: 71). Sehingga menjadikan strategi pungutan ini pun dapat dikatakan sebagai prosedur transferensi karena mencoba mentransferensi kata pada BSu dengan tetap mempertahankan budaya negeri –tempat asal– BSu sebagai bentuk penghargaan terhadap kata BSu tersebut. Pernyataan ini selaras dengan penjelasan Newmark (1988: 82) mengenai prosedur transferensi, yaitu

(23)

“The argument in favour of transference is that it shows respect for the SL country's culture”.

Di dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), strategi pungutan berupa transliterasi dan naturalisasi ini dikenal dengan sebutan “unsur serapan”. Chaer (2011: 168) dan PUEBI (2016: 58) menjelaskan mengenai kaidah penulisan unsur kata serapan dalam bahasa Indonesia terbagi menjadi dua macam, yakni pertama, kosakata serapan yang sudah menjadi bagian dari sistem kosakata bahasa yang penulisan dan pengucapannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia (seperti badan, waktu, atret). Dalam hal ini, penyerapan diusahakan agar ejaannya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya. Kedua, kosakata serapan yang ejaannya dibentuk menurut pedoman penyesuaian ejaan dan belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia (seperti negosiasi, riset, de facto, de jure). Unsur-unsur itu dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi cara pengucapan dan penulisannya masih mengikuti cara asing.

Di dalam upaya memperkaya kosakata bahasa Indonesia, Alwi (1988: 23) menyebutkan kita dapat memanfaatkan bahasa-bahasa asing yang dapat memberi sumbangan untuk mengembangkan bahasa nasional (bahasa Indonesia). Kontribusi dari bahasa asing ke dalam suatu bahasa sebenarnya merupakan suatu hal yang lumrah dan tidak perlu dikhawatirkan selama kita tetap waspada terhadap penyalahgunaannya. Adapun contoh mengenai strategi pungutan ini dapat dilihat pada data 12 berikut.

(12) BSu:

(24)

Wa banu> al-Cha>rits ‘ala rab‘atihim yata‘a>qalu>na ma‘a>qilahumul-u>’la > (Hisyam, 2006: 368).

BSa:

Bani Al-Harts (dariYatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka; tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka (Ahmad, 2014: 13).

Pada contoh data 12 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi pungutan untuk menerjemahkan nama suku “

ِثِراَحلا ْوُـنَـب

” banu> al-Cha>rits menjadi “Bani Al-Harts” dengan menyesuaikan bentuk pengucapan dan penulisan di dalam BSa, yaitu dari kata “

ْوُـنَـب

” banu> menjadi bani dan

ِثِراَحلا

” al-Cha>rits menjadi al-Harts”. Akan tetapi bila melihat kaidah ejaan

unsur serapan dalam PUEBI (2016: 67) partikel ‘u’ Arab baik berbunyi pendek atau panjang ditulis menjadi ‘u’. Sehinngga pungutan kata “

ْوُـنَـب

” banu> menurut kaidah EBI adalah “Banu”. Adapun partikel ‘a’ Arab baik berbunyi pendek atau panjang menjadi ‘a’ bukan ‘o’ dan partikel ‘ح’/h{/ menjadi ‘h’ (PUEBI, 2016: 53 dan 63). Sehingga pungutan kata “

ِثِراَحلا

” al-Cha>rits menurut kaidah EBI menjadi “al-Harits”.

2) Strategi Padanan Budaya/ Prosedur Padanan Budaya dan Prosedur Penerjemahan Label

Strategi padanan budaya adalah strategi yang diterapkan penerjemah dengan menggunakan kata budaya dalam BSa untuk mengganti kata budaya dalam BSu. Hal ini disebabkan karena budaya dari suatu bahasa dengan budaya dari bahasa yang lain memungkinkan adanya perbedaan makna. (Newmark, 1988: 83; Suryawinata, 2003: 72).

Newmark (1988: 95) berpendapat bahwa kebanyakan kata-kata “budaya” mudah untuk dideteksi, yaitu ketika kata tersebut tidak dapat diterjemahkan secara literal dan hasil terjemahan dapat juga berupa padanan

(25)

deskriptif. Adapun Newmark (1988: 95) membagi kosakata yang berkonotasi budaya ke dalam beberapa kategori berikut.

a. Ecology (Ekologi)

Pada umumnya, keistimewaan bentuk geografis dapat dibedakan dari istilah budaya lain yang merupakan istilah umum, politis, dan komersial. Hal itu tergantung pada kepentingan tiap negara dalam mengelompokkan istilah budaya tersebut secara spesifik. Contoh budaya ekologi adalah seperti jenis flora, fauna, angin, lembah, dan gunung (Newmark: 1988: 95-96). Di dalam bahasa Arab, Al-Farisi (2011: 140) mencontohkan kosakata budaya berkenaan dengan unta, seperti (1) “

ليلس

” sali>lun yaitu “anak unta yang belum jelas jantan atau betina”, (2) “

قبس

” sabqun yaitu “anak unta jantan”, dan lain sebagainya.

b. Material Culture (Material Budaya/ Artefak)

Material budaya/ artefak dapat berupa istilah mengenai makanan, pakaian, perumahan, dan transportasi (Newmark: 1988: 95). Di dalam bahasa Arab, Al-Farisi (2011: 140) mencontohkan kata yang berhubungan dengan pakain “

ةمامع

” ima>matun yaitu “serban” dan “

بابلج

” jilba>bun yaitu “jilbab”.

c. Social Culture (Budaya Sosial)

Hal yang berkaitan dengan budaya sosial dapat dibedakan menjadi masalah terjemahan makna denotatif dan konotatif (Newmark: 1988: 98). Adapun yang dimaksud dengan makna denotasi dalam KBBI (2008: 341) adalah arti yang tegas tanpa ada kiasan atau makna tambahan. Sedangkan makna konotatif dalam KBBI (2008: 748) adalah perkataan yang

(26)

memiliki makna tambahan/konotasi. Adapun contoh dalam bahasa Arab, Al Farisi (2011: 140) mengambil contoh istilah “

دام رلا ريثك

” katsi>ru’r-ruma>di yang memiliki arti literal “banyak abu”. Ungkapan ini diberikan kepada orang yang memiliki sifat dermawan sebagai bentuk penghormatan kepadanya, sehingga istilah “

دام رلا ريثك

” katsi>ru’r-ruma>di lebih tepat bila diterjemahkan menjadi “orang yang dermawan”.

d. Organisations, Customs, Activities, Procedures, and Concepts (Organisasi, Adat-istiadat, Aktivitas, Prosedur, dan Konsep)

Newmark (1988: 99) menjelaskan bahwa kehidupan politik dan sosial dalam sebuah negara tergambarkan dengan penggunaan istilah-istilah institusi. Seperti istilah untuk gelar kepala negara “President, King” (Presiden, Raja). Sebagaimana Suryawinata (2003: 72) menerjemahkan istilah “Jaksa Agung” menjadi “Attorney General” bukan “Great Attorney”. Adapun di dalam bahasa Arab, istilah “

كرشم

” musyrikun diartikan menjadi “orang musyrik/ musyrik” dengan menambahkan catatan penjelas berupa “orang yang menyekutukan Allah”.

e. Gestures and Habits (Sikap dan Kebiasaan)

Sikap dan kebiasaan terdapat sebuah perbedaan antara deskripsi dan fungsi yang dapat menentukan kapan sebuah ungkapan itu dibutuhkan dalam kasus yang ambigu. Seperti jika seseorang tersenyum sedikit saat seseorang meninggal (Newmark, 1988: 102). Adapun Al Farisi (2011: 141) memberikan contoh ungkapan penyesalan dalam kebiasaan masyarakat Arab, yaitu “

هيفك بلقي

” yuqallibu kaffaihi yang bermakna

(27)

“membolak-balikkan kedua tangan”. Di dalam norma masyarakat Indonesia, dikenal dengan kebiasaan mengelus dada.

Adapun hasil terjemahan dapat berupa terjemahan sementara dari bentuk BSu yang tidak memiliki terjemahan konvensional pada BSa. Strategi ini muncul sebagai solusi untuk mencari ketepatan makna (Newmark, 1988: 90; Suryawinata, 2003: 72). Sehingga strategi padanan budaya ini dapat disebut sebagai prosedur penerjemahan label karena penerjemah memberikan terjemahan sementara untuk mencari padanan yang pas untuk kata BSu. Adapun contoh dapat dilihat pada data 13 berikut.

(13) BSu:

،ْمُهاَنْدَأ ْمِهْيَلَع ُزْـيِجُي ،ٌةَدِحاَو ِللها َةَّمِذ َّنِإ َو

Wa inna dzimmata’l-La>hi wa>chidatun yuji>zu ‘alaihim adna>hum (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Jaminan Allah adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah (Ahmad, 2014: 16).

Pada contoh data 13 di atas, penerjemah menerjemahkan frasa “

ِللها ةَّمِذ

” dzimmatu’l-La>hi menjadi “jaminan Allah”. Adapun frasa “

ِللها ةَّمِذ

” dzimmatu’l-La>hi ini termasuk dalam istilah prosedural yang diberlakukan oleh Nabi Muhammad Saw dalam mengambil perjanjian dengan kaum non-muslim di kota Madinah, yaitu dzimmatu’l-La>hi/ jaminan Allah. Istilah ini merujuk pada perlindungan/ jaminan hidup bagi masyarakat non-muslim yang tinggal di sebuah negara bersyari’atkan Islam.

3) Strategi Padanan Deskriptif dan Analisis Komponensial/ Prosedur Padanan Deskriptif dan Prosedur Analisis Komponensial

Strategi padanan deskriptif adalah strategi yang dilakukan penerjemah untuk mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata BSu. Deskripsi dan

(28)

fungsi adalah dua bagian yang amat perlu penjelasan, terlebih pada penerjemahan. Strategi ini biasanya memiliki glosarium atau catatan kaki sebagai penjelasan lebih lanjut terkait kata BSu yang dipungut (Newmark, 1988: 83-84; Suryawinata, 2003: 73). Adapun contoh sebagai berikut.

(14) BSu:

ُهَنْوُسِبْلَـي َو ُهَنْوُحِلاَصُي ْمُهَّـنِإَف ،ُهَنْوُسِبْلَـي َو ُهَنْوُحِلاَصُي ٍحْلُص ىَلِإ اْوُعُد اَذِإ َو

Wa idza> du‘u> ila shulchin yusha>lichu>nahu wa yalbisu>nahu, fa innahum yusha>lichu>nahu wa yalbisu>nahu (Hisyam, 2006: 368). BSa:

Apabila mereka diajak kepada perdamaian dan membuat perjanjian damai (treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai (Ahmad, 2014: 13).

Pada contoh data 14 di atas, penerjemah memberikan padanan istilah berbahasa Inggris pada kata “

ٍحْلُص

” shulchun berupa “treaty”. Kemudian penerjemah melakukan deskripsi singkat di dalam terjemahannya, yaitu “membuat perjanjian damai”. Adapun kata “

ٍحْلُص

” shulchun dalam kamus Al-Munawwir (1997: 788) memiliki makna yang sama dengan “

مل سلا

” a’s-silmu yang bermakna “perdamaian”.

Strategi kedua, strategi analisis komponensial adalah strategi yang memisahkan unit leksikal menjadi jenis komponen-komponen terkecilnya, bisa saja satu menjadi dua, tiga, atau empat macam terjemahan (Newmark, 1988: 90; Suryawinata, 2003: 73).

Strategi analisis komponensial ini mencoba untuk membandingkan kata BSu dengan kata BSa yang memiliki kesamaan makna tetapi bukan mencari padanan satu per satu. Pertama yang dilakukan adalah mencari keumuman kata lalu membedakan komponen-komponennya. Secara normal, kata BSu memiliki makna yang lebih spesifik daripada kata BSa. Maka

(29)

penerjemah diharuskan untuk menambah satu ada dua komponen BSa untuk menyepadankan kata BSu dan juga menghasilkan pendekatan makna yang tepat (Newmark, 1988: 114).

Adapun komponen makna yang dimaksud menurut Newmark (1988: 114-115) adalah; pertama, sebagai komponen unit leksikal yang dapat berupa makna referensial dan/atau pragmatik. Secara komprehensif, kata BSu dapat dibedakan dengan kata BSa dari segi komposisi, ukuran, dan fungsi referensial, dan dapat juga dengan dilihat dari konteks budaya dan konotasi kata tersebut. Sehingga dalam pengaruhnya terhadap makna pragmatik adalah bergantung pada bunyi komposisi kata BSa yang dipakai. Adapun kedua, sebagai komponen makna semantik karena beberapa kata BSu dan BSa yang dianalisis akan menunjukkan hasil diagnosa komponen berupa keumuman dan perbedaan komponen. Adapun contoh dapat dilihat pada data 15 berikut.

(15) BSu :

،ْمِهِسُفْـنَأَك َةَبَلْعَـث ُنْطَب َةَنْفَج َّنِإ َو

Wa inna Jafnata bathnu Tsa‘labata ka anfusihim

(Hisyam, 2006: 369). BSa :

Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Bani Tsa’labah, diperlakukan sama seperti Bani Tsa’labah (Ahmad, 2014: 20).

Pada contoh data 15 di atas, penerjemah menerjemahkan kata “

ُنْطَب

” bathnu menjadi “bertali darah”. Di dalam kamus Al-Munawwir (1997: 93) kata “

ُنْطَب

” bathnu memiliki arti “perut”. Namun penerjemah melakukan penambahan komponen makna untuk menerjemahkan kata BSu yang lebih spesifik. Sehingga kata “

ُنْطَب

” bathnu tidak diterjemahkan menjadi “perut”

(30)

akan tetapi diterjemahkan menjadi “bertali darah” sesuai dengan konteks kalimat pada BSu.

4) Strategi Sinonim (Synonym)/ Prosedur Sinonim dan Prosedur Padanan Fungsional

Newmark (1988: 84) menjelaskan bahwa strategi sinonim adalah strategi yang diterapkan penerjemah untuk mendekatkan padanan BSa kepada BSu dalam sebuah konteks. Strategi ini digunakan pada kata BSu yang tidak dapat diterjemahkan dengan terjemahan padan “satu per satu/ one to one”. Artinya strategi ini akan lebih tepat digunakan ketika terjemahan literal tidak sesuai untuk digunakan dalam menerjemahkan kata BSu itu dan ketika kata BSu tersebut termasuk kata yang tidak terlalu penting bila diterjemahkan dengan menggunakan strategi analisis komponensial.

Strategi sinonim ini juga merupakan strategi fungsional. Newmark (1988: 83) menjelaskan bahwa strategi fungsional adalah menerjemahkan kata BSu dengan padanan yang fungsional/ sesuai kegunaannya –yakni diterjemahkan dengan pendekatan kata yang memiliki makna dan fungsi yang sama dengan kata BSu. Dikatakan demikian karena apabila kata tersebut diterjemahkan satu per satu maka akan terjadi ketakterjemahan. Adapun contoh seperti data 16 berikut.

(16) BSu:

،ْمُهَلَـبِق ْيِذَّلا ُمِهِبِناَج ْنِم ْمُهُـتَّصِح ٍساَنُأ لُك ىَلَع

‘ala kulli una>sin chish-shatuhum min ja>nibihimu’l-ladzi qibalahum (Hisyam, 2006: 370).

BSa:

Kewajiban atas setiap warga Negara mengambil bagian dari pihak mereka untuk perdamaian itu (Ahmad, 2014: 23).

(31)

Pada contoh data 16 di atas, penerjemah telah menyepadankan kata

ساَنُأ

” una>sun menjadi “warga Negara”. Di dalam kamus Al-Mawrid (2006:

107) kata “

ساَنُأ

” una>sun memiliki arti yang sama dengan “

سا نلا

” a’n-na>su yang bermakna “manusia”. Namun dalam data 16 di atas, penerjemah menyepadankan kata “

ساَنُأ

” una>sun dengan “warga Negara” untuk menyesuaikan konteks/ keadaan teks BSu yang merupakan sebuah piagam perjanjian antara kepala negara dengan masyarakat yang dipimpinnya. Hal itu karena penerapan terjemahan literal tidak sesuai dengan konteks data 16 di atas, sehingga dilakukan strategi sinonim pada kata “

ساَنُأ

” /una>sun/ tersebut. 5) Strategi Terjemahan Resmi/ Prosedur Terjemahan Resmi

Strategi terjemahan resmi (Recognized Translation) adalah strategi yang menerjemahkan teks BSu dengan melihat kebakuan yang ada pada teks BSa. Chaer (2011: 131) menjelaskan bahwa kebakuan/ kosakata baku adalah kata-kata yang lazim digunakan dalam situasi formal atau resmi. Baku tidaknya sebuah kata dapat dilihat dari segi lafal, ejaan, gramatika, dan “kenasionalan”-nya. Dengan kata lain, teks BSa yang baku itu sudah sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia.

Apabila teks BSa berupa bahasa Indonesia, penerjemah dapat melihat kebakuan bahasa pada “Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing” yang dikeluarkan oleh Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Depdikbud R.I (Suryawinata, 2003: 74) dan atau dapat mengecek secara online di www.kateglo.com., yang berisikan data lengkap kata baku bahasa Indonesia. Suryawinata (2003: 74) mencontohkan istilah “read-only memory” kemudian diterjemahkan menjadi “memori simpan pinjam”.

(32)

Newmark (1988: 89) menjelaskan bahwa secara umum, penerjemah akan menggunakan istilah terjemahan yang dikehendaki oleh kantor atau institusi yang dituju. Namun apabila penerjemah tidak melakukan hal itu atau bahkan mengurangi istilah yang sudah tersepakati dari institut tersebut, maka akan terjadi ketidaksesuaian pada hasil terjemahan dengan versi institut yang dituju itu. Adapun contoh dalam kamus Al-Munawwir (2007: 961), yaitu terjemahan dari istilah “Kedutaaan Besar Republik Indonesia/ KBRI” yang diterjemahkan menjadi “

ة يسينودنلإا ةراف سل

ا

” a’s-safa>ratu al-Indu>nisiyyatu. 6) Strategi Penyusutan dan Perluasan/ Prosedur Penyusutan dan

Perluasan

Newmark (1988: 90) dan Suryawinata (2003: 74) menjelaskan bahwa di dalam menerjemahkan, penerjemah dapat melakukan strategi penyusutan (Reduction) dan strategi perluasan (expansion) terhadap kata BSu. Strategi penyusutan (Reduction) adalah strategi yang berusaha menyusutkan komponen kata BSu. Sedangkan strategi perluasan (expansion) adalah strategi yang memperluas kata BSu di dalam BSa. Adapun contoh dapat dilihat pada data 17 berikut.

(17) BSu:

،ِةَفْـيِحَّصلا ِهِذَه ِلْهَِلأ اَه ُـفْوَج ٌماَرَح َبِرْثَـي َّنِإ َو

Wa inna Yatsriba chara>mun jaufuha> li ahli hadzihi’sh-shachi>fati (Hisyam, 2006: 370).

BSa:

Kota Yatsrib, Ibu Kota Negara, tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini (Ahmad, 2014: 22).

Pada contoh data 17 di atas, penerjemah melakukan perluasan pada kata “

َبِرْثَـي

” Yatsriba yaitu diterjemahkan sebagai “kota Yatsrib”. Penambahan

(33)

kata “kota” merupakan pilihan bagi penerjemah sebagai upaya untuk memperluas terjemahan dan bentuk penegasan pada makna kata “

َبِرْثَـي

Yatsriba sebagai sebuah kota.

7) Strategi Penambahan/ Prosedur Penambahan dan Prosedur Parafrase Strategi penambahan pada strategi semantis ini dilakukan berdasarkan pertimbangan kejelasan makna. Informasi tambahan pada terjemahan didasarkan pada versi penerjemah. Hal ini dilakukan karena alasan budaya agar dapat membedakan budaya BSu dan BSa, atau alasan teknis yang berkaitan dengan topik, atau alasan bahasa yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Informasi tambahan biasa dilakukan dalam menerjemahkan perasaan sehingga pembaca dapat menikmati hasil terjemahan seperti membaca teks asli (Newmark, 1988: 91; Suryawinata, 2003: 74).

Strategi semantis-penambahan memiliki kesamaan fungsi dengan prosedur parafrase, yaitu dalam hal pengungkapan makna tetapi tidak merubahnya. Newmark (1988: 90) menjelaskan bahwa prosedur parafrase adalah amplifikasi atau penjelasan mengenai makna dari segmen teks BSu (Newmark, 1988: 90). Adapun contoh dapat dilihat pada data 18 berikut.

(18) BSu:

َرْصَّنلا ُمُهَـنْـيَـب َّنِإ َو

،َبِرْثَـي َمَهَد ْنَم ىَلَع

Wa inna bainahumu’n-nashra ‘ala man dahama Yatsriba (Hisyam, 2006: 370).

BSa:

Di kalangan warga Negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk menentang setiap agresor4 terhadap kota Yatsrib (Ahmad, 2014: 23).

4 “Agresor” di dalam KBBI (2008: 20) merupakan nomina yang bermakna “orang atau negara yang menyerang pihak lain/ penyerang”. Sebagaimana dalam Tesaurus (2008: 7) juga bermakna “penyerang, penyerbu”.

(34)

Pada contoh data 18 di atas, penerjemah menambahkan keterangan “untuk menentang” pada teks BSa yang tidak disebutkan dalam teks BSu-nya. Penambahan ini adalah bentuk penjelasan makna tambahan yang disebutkan pada teks BSa.

8) Strategi Penghapusan/ Prosedur Pengurangan

Strategi penghapusan adalah strategi yang menghapus kata atau bagian teks BSu di dalam teks BSa. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa kata atau bagian teks BSu itu dianggap tidak penting untuk diterjemahkan (Suryawinata, 2003: 75). Bagian teks yang dianggap tidak penting untuk diterjemahkan dapat dilihat dari apakah akan terjadi distorsi makna apabila kata tersebut dihapus di dalam teks BSa. Adapun contoh sebagai berikut.

(19) BSu:

،اَهِلْهَأ ِنْذِإِب َّلاِإ ٌةَمْرُح ُراَجُت َلا ُهَّنِإ َو

Wa innahu la> tuja>ru churmatun illa bi idzni ahliha>

(Hisyam, 2006: 370). BSa:

Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketentraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya (Ahmad, 2014: 22).

Pada contoh data 19 di atas, penerjemah menghapus kata “

َو

wa dan

ُهَّنَأ

an-nahu di dalam teks BSa. Kata “

َو

wa yang memiliki arti “dan” dan partikel Arab “

ُهَّنَأ

an-nahu yang memiliki arti “sesungguhnya” tidak diterjemahkan oleh penerjemah karena keberadaan kedua kata tersebut tidak mempengaruhi penyimpangan makna pada teks BSa. Pesan dari BSu tetap tersampaikan dengan baik walau tanpa menerjemahkan kedua kata tersebut. 9) Strategi Modulasi/ Prosedur Modulasi

(35)

Strategi modulasi adalah strategi untuk menerjemahkan frasa, klausa, atau kalimat dengan menerjemahkan pesan BSu dari sudut pandang yang berbeda (Suryawinata, 2003: 75).

Adapun Newmark (1988: 88-89) menjelaskan bahwa modulasi adalah moncoba untuk memberi definisi dengan sudut pandang atau perspektif yang berbeda. Kategori modulasi yang dimaksud oleh Newmark (1988), yaitu “negated contrary” (meniadakan perlawanan). Adapun contoh modulasi sebagai berikut.

(20) BSu: I broke my leg

BSa: Kakiku Patah (Suryawinata, 2003: 75).

Pada contoh data 20 di atas, kalimat “I broke my leg” yang memiliki arti literal “aku mematahkan kakiku”, diterjemahkan oleh penerjemah dengan sudut pandang yang berbeda, yakni “kakiku patah”. Sudut pandang penerjemah saat menerjemahkan teks data 20 ini adalah sebagai objek. Penerjemah mengesampingkan subjek “I” (saya) dalam data teks BSu dan mengarahkan pembaca untuk fokus pada objek, sehingga terjemahan menjadi “kakiku patah”.

Adapun Machali (2009: 98) menjelaskan bahwa modulasi merupakan pergeseran makna sehingga terjadi perubahan perspektif, sudut pandang ataupun segi maknawi yang lain. Machali (2009: 99) membagi modulasi menjadi dua macam, yaitu modulasi wajib dan modulasi bebas. Modulasi wajib dilakukan apabila suatu kata, frasa, atau struktur tidak ada padanannya dalam BSa. Berikut contoh modulasi wajib.

(21) BSu: Laporan itu akan saya sampaikan besok pagi. BSa: I will submit the report tomorrow morning.

(36)

(Machali, 2009: 99)

Pada contoh data 21 di atas, kontruksi pasif nol dalam bahasa Indonesia, berupa “Laporan itu akan saya sampaikan” diterjemahkan menjadi konstruksi aktif dalam bahasa Inggris, yaitu “I will submit the report”.

Adapun mengenai modulasi bebas, Machali (2009: 100) menjelaskan bahwa modulasi bebas merupakan prosedur penerjemahan yang dilakukan karena alasan nonlinguistik, misalnya untuk memperjelas makna, menimbulkan kesetalian dalam BSa, dan mencari padanan yang lebih tepat dalam BSa. Berikut contoh modulasi bebas.

(22) BSu: Environmental degradation.

BSa: Penurunan mutu lingkungan (Machali, 2009: 101).

(23) BSu: We all suffer from consequences of environmental degradation.

BSa: Kita semua menderita karena (adanya) penurunan mutu lingkungan (Machali, 2009: 101).

Pada data 22 di atas, penerjemah menyatakan secara tersurat kata “mutu” yang dalam BSu tidak dimunculkan. Adapun pada data 23, penerjemah menerjemahkan bentuk frase sebab-akibat dalam BSu, yaitu berupa “from consequences of environmental degradation” menjadi bentuk klausa sebab-akibat dalam BSa, yaitu berupa “karena (adanya) penurunan mutu lingkungan”.

2. Kualitas Terjemahan

Landasan teori kedua dalam penelitian ini adalah berupa teori kualitas terjemahan. Nababan (2012: 40) menjelaskan bahwa para pakar teori

(37)

penerjemahan sependapat bahwa suatu teks terjemahan dapat dikatakan berkualitas baik jika: 1) teks terjemahan tersebut akurat dari segi isinya –dengan kata lain, pesan yang terkandung dalam teks terjemahan harus sama dengan pesan yang terkandung dalam teks asli atau teks sumber, 2) teks terjemahan diungkapkan dengan kaidah-kaidah yang berlaku dan tidak bertentangan dengan norma dan budaya yang berlaku dalam BSa, dan 3) teks terjemahan dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca sasaran.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori penilaian kualitas terjemahan menurut Nababan (2012). Peneliti berpendapat bahwa teori tersebut memiliki sistem penilaian skoring (1/rendah atau 2/sedang atau 3/tinggi) dalam mengklasifikasi kualitas terjemahan berdasarkan standar parameter kualitatifnya. Parameter kualitatif yang diberikan dapat mempermudah responden untuk memberikan penilaian. Adapun alasan lainnya, adalah karena pengklasifikasian ini dibuat oleh orang Indonesia. Hal tersebut dapat mempermudah peneliti dalam menyajikan data karena teks BSa berupa bahasa Indonesia.

Terjemahan yang berkualitas harus memenuhi tiga aspek, yaitu aspek keakuratan, aspek keberterimaan, dan aspek keterbacaan. Ketiga aspek tersebut diuraikan di bawah ini (Nababan; 2012: 44).

a. Aspek Keakuratan

Keakuratan menurut Nababan (2012: 44) merupakan sebuah istilah yang diterapkan dalam pengevaluasian terjemahan untuk merujuk pada apakah teks BSu dan teks BSa sudah sepadan ataukah belum. Konsep kesepadanan mengarah pada kesamaan isi atau pesan antar keduanya. Suatu

(38)

teks dapat dikatakan sebagai suatu terjemahan, jika teks tersebut mempunyai makna atau pesan yang sama dengan teks lainnya –teks bahasa sumber.

Selaras dengan hal itu, Al Farisi (2011: 179) menjelaskan bahwa aspek keakuratan menilai pada tahapan kesepadanan pesan antara teks sumber (TSu) dan teks target (TSa). Aspek ini harus dijadikan prioritas utama dalam penerjemahan. Hal itu karena aspek keakuratan merupakan konsekuensi logis dari konsep dasar penerjemahan bahwa suatu teks disebut sebagai ‘terjemahan’ kalau teks tersebut memiliki hubungan padan dengan TSu.

Adapun parameter kualitatif untuk penilai tingkat keakuratan terjemahan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Kategori

Terjemahan Skor Parameter Kualitatif

Akurat 3 Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; sama sekali tidak terjadi distorsi makna.

Kurang Akurat

2 Sebagian besar makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber sudah dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran. Namun, masih terdapat distorsi makna atau terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna yang dihilangkan, yang mengganggu keutuhan pesan.

Tidak Akurat

1 Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber dialihkan secara tidak akurat ke dalam bahasa sasaran atau dihilangkan (deleted).

Tabel 1.2. Instrumen Penilai Keakuratan (Nababan, 2012: 51)

Dari tabel 1.2 di atas dapat disimpulkan bahwa; pertama, apabila suatu teks BSu dialihkan secara akurat dan tidak terjadi sama sekali distorsi makna maka ia termasuk dalam teks BSa yang dinilai akurat. Kedua, apabila terdapat terjemahan ganda atau ada makna yang dihilangkan maka ia termasuk dalam

(39)

teks BSa yang kurang akurat. Adapun yang ketiga, apabila terdapat pengalihan teks BSu yang tidak akurat atau dihilangkan dalam penyampaian pesannya maka ia termasuk dalam teks BSa yang tidak akurat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin akurat suatu teks BSu diterjemahkan maka akan semakin tinggi tingkat penilaian yang akan diberikan oleh penilai untuk keakuratan teks terjemahan tersebut. Adapun contoh penerapan skor penilaian aspek keakuratan sebagai berikut.

(24) BSu:

َزَغ ٍةَيِزاَغ َّلُك َّنِإ َو

،اًضْعَـب اَهُضْعَـب ُب قَعُـي اَنَعَم ْت

Wa inna kulla gha>ziyatin ghazat ma‘ana> yu‘aqqibu ba‘dhuha> ba‘dhan (Hisyam, 2006: 369).

BSa:

Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita merupakan tantangan terhadap semuanya, yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan (Ahmad, 2014: 17).

Menurut penilaian peneliti, skor penilaian keakuratan pada data 24 di atas adalah ‘satu’ yang berarti terjemahan dinilai tidak akurat. Hal itu karena telah terjadi distorsi makna/penyimpangan makna pada teks BSa. Penyimpangan makna ini mempengaruhi penyampaian pesan BSu yang tidak tersampaikan secara akurat, yaitu dengan menerjemahkan klausa “

اَنَعَم ْت

زَغ

” ghazat ma‘ana> diterjemahkan menjadi “penyerangan yang dilakukan terhadap kita”. Padahal di dalam teks BSu terdapat frasa “

اَنَعَم

” ma‘ana> yang memiliki arti “bersama kita”. Sebagaimana dalam kamus Al-Munawwir (1997: 1345) kata “

عم

” ma‘a memiliki arti “dengan, bersama, beserta” dan partikel “

ان

” na> merupakan dhami>r muttashil (pronomina yang menempel pada kata) bermakna “

نحن

” nachnu yaitu “kami, kita”. Sehingga terjemahan

Gambar

Tabel 1.1. Pembagian Strategi Penerjemahan
Tabel 1.2. Instrumen Penilai Keakuratan (Nababan, 2012: 51)
Tabel 1.3. Instrumen Penilai Keberterimaan (Nababan, 2012: 51)
Tabel 1.4. Instrumen Penilai Keterbacaan (Nababan, 2012: 52)

Referensi

Dokumen terkait

Karakterisasi karbon dari hasil karbonisasi meliputi kadar penyusutan massa dan analisa proksimat seperti analisa kadar air dan kadar abu, sedangkan pada karbon

Latihan Tai Chi, termasuk pemanasan dan peregangan yang dilakukan setiap mengawali latihan Tai Chi sebagai salah satu faktor yang memperbesar beda rerata

Berdasarkan masalah dan kajian pustaka yang telah dipaparkan, maka dapat diasumsikan hipotesis bahwa tindakan dalam penelitian tindakan kelas diharapkan dapat meningkat

Motivasi petani menanam cabe di Kecamatan Lembah Gumanti kabupaten Solok ini disebabkan oleh petani cabe supaya cabenya lebih bagus dan menghasilkan produksi cabe yang

Pekerjaan instalasi ketenagalistrikan untuk penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik harus dikerjakan oleh Badan Usaha Penunjang Tenaga Listrik   yang disertifikasi lembaga

Hal ini dapat ditunjukkan berdasarkan hasil penilaian validator, dimana validator menyatakan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan telah baik berdasarkan

Dalam hasil pembinaan keagamaan sebaiknya terkonsep dan tertulis contohnya dengan adanya buku amalan ibadah sehari-hari, agar pembina dapat lebih bisa mengukur

Seperti kanker lainnya, kanker kolorektal adalah penyakit multifaktorial dengan etiologi bervariasi dari faktor genetik, usia, paparan lingkungan (termasuk diet),