• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA. Konsep dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA. Konsep dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori

Konsep dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik dan teori tradisional. Teori sosiolinguistik yang digunakan adalah teori interferensi bahasa. Sebaliknya, teori tradisional digunakan untuk menentukan sebuah bahasa yang dipakai telah terinterferensi. Rujukan teori tradisional yang digunakan adalah

Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia. Di samping itu Kamus Besar Bahasa Indonesia digunakan untuk melihat bentuk baku tidaknya bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa tersebut atau bahasa tersebut telah diserap atau pun tidak.

Penggunaan teori tradisional seperti yang diungkapkan oleh Soeparno (2008:1) bahwa aliran linguistik yang tertua adalah aliran tradisional (abad IV SM). Di dalam hal ini, bahasa pada prinsipnya merupakan alat berpikir. Kriteria kegramatikalan ditetapkan berdasarkan kaidah secara ketat dan konsisten. Setiap pelanggaran terhadap kaidah dianggap sebagai kesalahan bahasa. Tata bahasa mereka dinamakan tatabahasa normatif (berpegang kepada kaidah secara ketat dan konsisten). Dengan demikian, pada dasarnya tatabahasa baku bahasa Indonesia yang disusun oleh Hasan Alwi, dkk. menganut teori tradisional.

(2)

2.1.1 Interferensi

Istilah interferensi berasal bahasa Inggris yang disebut interference ‘gangguan’. Istilah interferensi digunakan pertama kali dalam sosiolinguistik oleh Weinreich (1970:1) yang mengatakan bahwa interferensi bahasa adalah suatu bentuk penyimpangan dalam penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa atau pengenalan lebih dari satu bahasa dan digunakan secara bergantian oleh penuturnya. Selanjutnya, Weinreich menekankan interferensi adalah pemindahan unsur-unsur bahasa ke dalam bahasa lain dan penyimpangan penggunaan kaidah dan norma- norma bahasa. Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa akibat adanya masyarakat yang bilingual ataupun dwibahasawan seperti yang terjadi pada masyarakat Indonesia, muncullah suatu fenomena bahasa yang disebut dengan interferensi.

Lado (1957:217) mengatakan bahwa interferensi adalah kesulitan yang timbul dalam proses penguasaan bahasa kedua dalam hal bunyi, kata, atau konstruksi sebagai akibat perbedaan kebiasaan dengan bahasa pertama. Chaer (1999:66) menyatakan bahwa dalam peristiwa bahasa pada masyarakat bilingual atau multilingual yang disebabkan kontak bahasa, sering terjadi interferensi, yakni masuknya unsur-unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan sehingga terjadi penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan. Selanjutnya, interferensi bisa terjadi mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, sampai dengan ketataran wacana.

(3)

Menurut Dulay, dkk. dalam Budiarsa (2006:355), interferensi sosiolinguistik adalah jika masyarakat atau negara yang memiliki bahasa berbeda mengadakan kontak atau interaksi menggunakan bahasa. Pendapat senada didukung oleh Kridalaksana (2001:84) yang mengatakan interferensi adalah penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa ciri-ciri masih kentara. Selanjutnya,

Sementara itu, Chaer dan Agustina (1995:168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih. Selanjutnya, Valdman dalam

Alwasilah (1985:131) mengemukakan pengertian interferensi berdasarkan pendapat Hartman dan Stonk yang menyatakan bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.

Hayi

Hal senada juga diungkapkan oleh Jendra (1991:187) bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa

(1985:8) menyatakan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua). Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa sasaran.

(4)

pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima.

Ohoiwutun (2007:72) mengatakan bila dua atau lebih bahasa bertemu karena digunakan oleh penutur dari komunitas yang sama, maka akan terjadi bahwa komponen-komponen tertentu dapat tertransfer dari bahasa yang satu, yakni bahasa sumber (source or donor language) ke bahasa lain yakni bahasa penerima (recipient language). Akibatnya terjadi pungutan bahasa atau ‘interference’ sebagaimana diistilahkan oleh Weinreich (1970).

Selanjutnya, Ohoiwutun (2007:72) mengutip pendapat Mackey (1972) membedakan antara campur kode dengan interferensi bahasa. Campur kode dikatakan sebagai interferensi sedangkan interferensi disebut sebagai integrasi. Begitu pula halnya dengan Mustakim (1994:13), yang mengutip pendapat Mackey (1972) mengungkapkan bahwa masalah interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu dapat diukur. Menurutnya, interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan adanya integrasi, yang juga bersifat nisbi. Di dalam hal ini, kenisbian integrasi itu dapat diketahui dari suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang menganggap bahwa bentuk leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah orang yang lain menganggap belum.

Berkaitan dengan integrasi, Jendra (1991:115) menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Di dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima,

(5)

dapat dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.

Ohoiwutun menganggap seluruh kata yang berasal dari bahasa lain merupakan interferensi. Interferensi bahasa yang sudah masuk ke dalam suatu bahasa penerima baik diserap langsung maupun melalui penyesuaian ejaan bahasa penerima merupakan integrasi. Perbedaan antara interferensi dengan integrasi sangatlah tipis. Perbedaannya yaitu kata yang sudah diserap ke dalam bahasa penerima disebut sebagai interferensi yang sudah berintegrasi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa interferensi merupakan gejala yang timbul di dalam masyarakat bilingual dan atau multilingual karena adanya kontak bahasa yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan kaidah- kaidah bahasa, penyerapan dan penggunaan kosakata bahasa asing. Penyimpangan kaidah-kaidah bahasa dan penyerapan bahasa asing dapatlah dikatakan sebagai interferensi. Penyimpangan kaidah bahasa berupa perubahan bunyi (fonologi), susunan kata berupa pola frase (morfologi) dan struktur kalimat (sintaksis). Penyerapan bahasa asing dapat berupa pengambilan kosa kata asing dan penyesuaian ejaan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa asing berupa leksikal yang belum atau tidak diindonesiakan.

(6)

2.1.2 Tataran Interferensi Bahasa

Chaer (1999:66) mengemukakan interferensi dapat terjadi dalam semua tataran bahasa, misalnya dalam tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Ketiga tataran ini dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam penulisan nama badan usaha, mengalami interferensi sebagai berikut:

1) Interferensi fonologi merupakan perubahan bunyi bahasa yang seharusnya diucapkan menurut bahasa Indonesia tetapi diucapkan menurut bahasa asing. Contohnya bunyi /c/ diucapkan /se/ atau /k/.

2) Interferensi morfologi merupakan interferensi yang terjadi dalam pembentukan kata, leksikal, dan frase. Pembentukan kata, contohnya, legalisasi, premanisme, pascasunami, dan ekspress. Pembentukan leksikal yaitu penggunaan kata asing, baik sudah ada padanannya maupun belum ada padanannya. Contohnya internet, florist, mouse, collection, dan fashion. Pembentukan frase sangat sering terjadi dalam penulisan nama badan usaha swasta. Interferensi ini, misalnya, dalam bahasa Indonesia menggunakan struktur DM (Diterangkan Menerangkan) sementara bahasa Inggris menggunakan struktur MD (Menerangkan Diterangkan). Contohnya, Annie Sui Beauty Salon, dan Farhan Florist.

3) Interferensi sintaksis jarang terjadi, khususnya dalam konteks penulisan nama badan usaha swasta. Interferensi sintaksis berupa klausa atau kalimat. Interfernsi ini kadang-kadang terlihat pada papan nama badan usaha yang memromosikan

(7)

nama usaha, keunggulan, jenis usaha, dan lain-lain. Contohnya, East and on time delivery.

Jendra (1991:108) membedakan tataran interferensi bahasa menjadi lima aspek kebahasaan. Kelima aspek kebahasaan dalam tataran interferensi bahasa itu adalah:

1) Interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi). 2) Interferensi pada tata bentukan kata (morfologi). 3) Interferensi pada tata kalimat (sintaksis).

4) Interferensi pada kosakata (leksikon).

5) Interferensi pada bidang tata makna (semantik).

Secara khusus, menurut Jendra (1991:113) tataran interferensi bahasa pada bidang semantik masih dapat dibedakan lagi menjadi tiga bagian. Kelima bagian itu adalah:

1) Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference).

2) Interferensi semantik penambahan (

Istilah ini dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur bahasa sumber.

semantic aditif interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.

(8)

3) Interferensi semantik penggantian (replasive semantic interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti konsep lama.

2.1.3 Jenis-jenis Interferensi

Interferensi terdiri atas beberapa jenis. Huda (1981:17) yang mengacu pendapat Weinreich, mengidentifikasi interferensi atas empat jenis, yaitu:

1) Pentransferan unsur suatu bahasa ke bahasa yang lain.

2) Adanya perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya pemindahan.

3) Penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama.

4) Kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada ekuivalensi dalam bahasa pertama.

Latar belakang pemunculan interferensi bahasa dapat ditelusuri dari penutur dan bahasa yang dituturkannya. Weinreich (1970:64-65) mendeskripsikan beberapa 2.1.4 Latar Belakang Interferensi

(9)

faktor yang dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya gejala interferensi, yaitu:

1) Kedwibahasaan para peserta tutur.

2) Kurangnya loyalitas pemakaian bahasa penerima.

3) Tidak cukupnya kosa kata penerima dalam menghadapi kemajuan dan pembaruan.

4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan.

5) Kebutuhan akan sinonim.

6) Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa.

Di samping pendapat Weinreich di atas, Ohoiwutun (2007:72) mengatakan bahwa gejala interferensi dapat dilihat dalam tiga dimensi kejadian. Pertama, dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tengah masyarakat. Kedua, dari dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau lebih yang berbaur. Ketiga, dimensi pembelajaran bahasa.

Dimensi pertama, menurut Ohuiwutun (2007:72-73), “Dari dimensi tingkah laku penutur dengan mudah dapat disimak dari berbagai praktik campur kode yang dilakukan penutur yang bersangkutan.” Dimensi pertama ini terjadi karena murni rancangan atau model buatan penutur itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan cara

(10)

mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dan diramu dalam konteks bahasa yang lain.

Dimensi kedua, menurut Ohuiwutun (2007:73), “Dari dimensi sistem bahasa dikenal sebagai interferensi sistemik, yaitu pungutan bahasa.” Interferensi leksikal sistemik terjadi karena penyesuaian ejaan dari bahasa yang satu dalam konteks bahasa yang lain. Di dalam proses pungutan bahasa ini, interferensi leksikal sistemik dapat terjadi penggunaan leksikal bahasa asing dan yang sudah disistemikkan tetapi masih menggunakan bahasa asing karena ketidaktahuan pengguna bahasa. Bahkan, dapat terjadi proses pungutan bahasa yang mengabaikan interferensi leksikal sistemik dengan cara penggunaan leksikal serapan langsung dan leksikal bahasa asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Interferensi leksikal, penggunaan leksikal yang sudah disistemikkan tetapi masih menggunakan bahasa asing, leksikal serapan langsung, dan leksikal bahasa asing yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi fokus penelitian ini.

Dimensi ketiga dalam gejala interferensi yang dikemukakan oleh Ohoiwutun (2007:74-75) biasanya dinamai interferensi karena pendidikan. Di dalam hal ini dikenal transfer positif dan transfer negatif. Transfer positif terjadi apabila pembelajar menyesuaikan unsur-unsur yang mirip dan sama dari bahasa kedua atau asing dengan bahasa pertamanya dan menggunakan sistem bahasa yang baru tersebut untuk mempermudah pembelajaran. Sebaliknya, dikatakan transfer negatif terjadi apabila

(11)

bahasa pertama dan bahasa asing sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang semirip sehingga proses pembelajaran semakin rumit.

Berdasarkan pendapat di atas, latar belakang interferensi bahasa berkaitan erat dengan sikap bahasa. Menurut Bawa (1981:8) terdapat tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (i) language loyality, yaitu sikap loyalitas/kesetiaan terhadap bahasa; (ii) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa; dan (iii) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya. Bahkan, menurut Sugono, dkk. (2006b:70), “Penggunaan unsur-unsur bahasa asing dalam wacana/kalimat bahasa Indonesia sangat berkaitan erat dengan masalah sikap bahasa. Sikap bahasa yang kurang positif, kurang bangga terhadap bahasa Indonesia, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.” Kecenderungan sikap bahasa seperti ini dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi bahasa bahasa asing terhadap bahasa pertama.

2.1.5 Bahasa Asing

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2005:88) dinyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang

(12)

sama, berinteraksi, dan mengindentifikasi diri; percakapan, (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun: baik budi bahasanya. Selanjutnya, bahasa asing adalah bahasa milik bangsa lain yang dikuasai, biasanya melalui pendidikan formal dan secara sosiokultural tidak dianggap bahasa sendiri.

Bahasa asing dalam konteks politik bahasa nasional menjadi rumusan Seminar Politik Bahasa Nasional di Bogor, 8-12 November 1999. Alwi dan Sugono (2003:4) merumuskan bahwa, “Bahasa asing di Indonesia adalah semua bahasa, kecuali bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah, dan bahasa serumpun Melayu. Bahasa asing yang berfungsi sebagai bahasa ibu warga negara Indonesia kelompok etnis tertentu tetap berkedudukan sebagai bahasa asing.”

Sejalan dengan rumusan tersebut, Huda dalam Alwi dan Sugono (2003:66-68) mengatakan pengertian bahasa asing dapat dilihat dari tiga sudut, yaitu wilayah asal, pemerolehan bahasa, dan fungsi sosio-kultural-politis.

1) Dari sudut asalnya dapat dirumuskan bahwa semua bahasa yang bukan berasal dari wilayah Indonesia adalah bahasa asing.

2) Dari sudut pemerolehan bahasa dapat dibedakan bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa kedua (cenderung bahasa resmi/nasional), dan bahasa ketiga (bahasa asing). Di negara-negara yang penduduknya multietnis, yang menggunakan bahasa kedua yang berbeda dengan sebagian besar bahasa yang digunakan

(13)

sehari-hari di dalam lingkungan keluarga, seperti di Indonesia dan Filipina, bahasa ketiga adalah bahasa asing.

3) Dari sudut sosio-kultural-politis, bahasa asing adalah bahasa yang tidak digunakan dalam interaksi sosial sehari-hari, tidak dipakai untuk pengantar mata pelajaran di sekolah secara nasional, dan tidak dipakai sebagai alat komunikasi politik dan pemerintahan.

Menurut Alwi dan Sugono (2003:6), dalam kedudukannya sebagai bahasa asing di Indonesia, bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa rumpun Melayu berfungsi sebagai (1) alat perhubungan antarbangsa dan (2) sarana pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional. Di samping itu, bahasa-bahasa asing tertentu di Indonesia dapat memiliki fungsi lain, seperti bahasa Inggris menjadi sumber pengembangan tata istilah keilmuan dan bahasa Arab sebagai bahasa keagamaan dan budaya Islam.

Sejalan dengan pendapat di atas, Ridwan dalam Syarfina, dkk. (2009:13) mengatakan yang dinamakan bahasa asing dalam konteks Indonesia adalah semua bahasa yang berada di luar atau berasal dari luar wilayah bahasa Nusantara. Bahasa Nusantara, misalnya, bahasa Batak di Pulau Sumatera, bahasa Jawa di Pulau Jawa, bahasa Dayak di Pulau Kalimantan, bahasa Bali di Pulau Bali, bahasa Sasak di Kepulauan Nusa Tenggara, bahasa Maluku di Kepulauan Maluku, dan bahasa Papua di Pulau Papua. Sebaliknya, yang termasuk bahasa asing, misalnya, bahasa Inggris,

(14)

bahasa Jerman, dan bahasa Arab. Peran bahasa asing tersebut di Indonesia sebagai-berikut:

1) untuk alat komunikasi antarbangsa;

2) alat penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi;

3) pemerkayaan kosakata bahasa Indonesia, khususnya dalam bidang teknologi dan peralatan kemajuan zaman, sepanjang belum terdapat padanannya dalam bahasa Indonesia; dan,

4) alat memperkenalkan budaya Indonesia ke negara dan bangsa lain.

Berdasarkan pengertian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa bahasa asing adalah bahasa yang digunakan oleh bangsa asing yang berada di luar wilayah bahasanya. Bahasa yang digunakan suatu bangsa di luar wilayahnya, misalnya, di Indonesia digunakan di negara lain, maka bahasa Indoneia dikatakan sebagai bahasa asing. Seluruh bahasa yang digunakan dalam satu wilayah atau etnik tertentu di dalam satu negara dikatakan sebagai bahasa daerah. Bahasa yang digunakan dalam negara dikatakan sebagai bahasa kenegaraan. Oleh sebab itu, bahasa yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam satu kenegaraan yang dijadikan alat pemersatu bangsa bagi bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia.

(15)

2.1.6 Sikap Bahasa

Di dalam masyarakat multilingual, menurut Sumarsono dan Patana (2004:363) sikap bahasa seseorang ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah topik pembicaraan (pokok masalah yang dibicarakan), kelas sosial masyarakat pemakai, kelompok umur, jenis kelamin, dan situasi pemakai. Selain itu, Siregar, dkk. (1998:10) menyebutkan sikap bahasa sebagai kepercayaan, penilaian dan pandangan terhadap bahasa, penutur atau masyarakatnya serta kecenderungan untuk berperilaku terhadap bahasa, dan penutur bahasa atau masyarakatnya di dalam cara-cara tertentu.

Menurut Gavin dan Mathiot dalam Sumarsono dan Partana (2004:364), sikap bahasa itu setidak-tidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu (1) kesetiaan bahasa (loyalty language), (2) kebanggaan bahasa (language pride), dan (3) kesadaran norma bahasa (awareness of the norm). Hal ini sejalan dengan pendapat Bawa (1981:8) yang menyatakan ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/kesetiaan terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan (3)

awareness of the norm,

Berdasarkan penjelasan di atas, sikap bahasa berkaitan erat dengan kesetiaan bahasa. Di dalam hal ini, Weinreich (1970:99) mendefinisikan kesetiaan bahasa adalah ide yang mengisi mental dan hati manusia dengan pikiran-pikiran dan sistem

(16)

(akan sesuatu) dan mengendalikan manusia untuk menerjemahkan kesadarannya dalam tingkah laku berpola.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai interferensi pertama kali dilakukan oleh Weinreich pada tahun 1950 dan kemudian diikuti oleh sarjana lainnya, seperti Lado (1957), Meckey (1972), Haugen (1972). Penelitian interferensi di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Rusyana (1975) yang meneliti tentang interferensi morfologi pada penggunaan bahasa Indonesia oleh anak-anak yang berbahasa pertama bahasa Sunda. Penelitian yang lain dilakukan oleh Sugiyono (1995), Budiarsa (2006), Pujiono (2006), Sinambela (2008), dan Syarfina, dkk. (2009).

Rusyana, Yus (1975) Penelitian Rusyana dalam disertasi berjudul Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Anak- anak yang Berbahasa Pertama Bahasa Sunda menggunakan anak-anak sekolah dasar di Jawa Barat sebagai respondennya. Teori yang digunakan adalah teori Weinreich Languages in Contact

Pengambilan data interferensi dilakukan dengan cara mengambil tulisan dari responden yang terlebih dahulu mendengarkan sebuah cerita. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa para responden melakukan interferensi dalam tulisannya pada pembentukan nomina BI maupun verba yang menggunakan afiks.

(17)

Sugiyono (1995) dalam tesisnya meneliti tentang interferensi fonetis bahasa Sunda yang dikaitkan dengan stratifikasi sosial. hasil penelitiannya disebutkan bahwa terdapat tiga ciri sosial yang korelasinya tinggi terhadap interferensi. Sementara itu, tingkat interferensi yang terendah terdapat pada penutur generasi muda dengan pendidikan yang tinggi yang lebih suka menggunakan bahasa Sunda dari pada bahasa Indonesia.

Soewito (1987) dalam disertasi yang berjudul “Berbahasa dalam Situasi Diglosik” membicarakan penggunaan bahasa serta interferensi dalam bahasa pada masyarakat Surakarta yang multilingual dengan menggunakan landasan teori Hymes (1972) yang membahas tentang komponen percakapan yang digunakan dalam interaksi sosial antarpenutur di masyarakat. Temuannya adalah bahwa dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat Surakarta ditentukan oleh faktor-faktor yang sangat menentukan yakni siapa peserta tuturnya, maksud tutur, sarana tutur, dan urutan tutur sesuai dengan nilai sosial budaya masyarakat setempat. Demikian pula penggunaan bahasa atau ragam bahasa oleh masyarakat Surakarta ditentukan oleh komponen-komponen tutur yang lainnya, seperti situasi tutur, peristiwa tutur, pokok tutur, dan norma tutur sesuai dengan fungsi bahasa sebagai media komunikasi di masyarakat.

Budiarsa (2006) memfokuskan kajian disertasinya pada penggunaan bahasa dalam ranah pariwisata pada beberapa hotel di Bali. Salah satu hasil penelitiannya adalah terjadinya interferensi dalam penggunaan bahasa Inggris pada aspek fonologis

(18)

atau pelafalan pada beberapa konsonan bahasa Inggris, interferensi morfologis seperti penggunaan kata dasar, penjamakan, dan interferensi sintaksis, misalnya penggunaan kalimat pasif, penggunaan kala lampau, dan kala kini bahasa Inggris.

Pujiono (2006) dalam tesis Sekolah Pascasarjana USU meneliti tentang interferensi gramatikal dan leksikal bahasa Indonesia terhadap bahasa Jepang. Hasil penelitiannya menujukkan bahwa penyebab terjadinya interferensi leksikal adalah banyaknya kosakata dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti yang sama dalam bahasa Jepang.

Sinambela (2008) melakukan penelitian untuk penulisan tesis pada Sekolah Pascasarjana USU dengan judul “Interferensi Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Toba pada Buku Khotbah Impola ni Jamita”. Hasil analisis menunjukkan adanya interferensi positif dan interferensi negatif. Bentuk interferensi positif dalam hal ini ialah tidak terdapat derepresentasi serpihan bahasa Indonesia tersebut di dalam bahasa Toba. Hal ini menjadi unsur pemerkaya khasanah bahasa Toba. Bentuk interferensi negatif dalam hal ini ialah masih terdapatnya representasi serpihan bahasa Indonesia tersebut dalam bahasa Toba.

Syarfina, dkk. (2009) dari Balai Bahasa Medan melakukan penelitian tentang “Sikap Masyarakat terhadap Pemakaian Bahasa Asing di Ruang Publik”. Di dalam penelitian ini, objek kajiannya adalah papan nama badan usaha, kain rentang yang ada di Kota Medan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat Kota Medan bangga dan setia menggunakan bahasa Indonesia. Walaupun

(19)

ada perbedaan pendapat di antara variabel laki-laki dan perempuan, dan antara usia, pekerjaan, dan pendidikan tetapi fakta-fakta kebahasaan yang menjadi variabel penelitian memperlihatkan bahwa masyarakat Kota Medan tetap bangga dan setia terhadap penggunaan bahasa Indonesia.

2.3 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian terhadap interferensi bahasa asing dalam penulisan nama badan usaha swasta di Kota Medan ini dijelaskan dalam dua konsep, yaitu konsep interferensi dan konsep bahasa asing.

2.3.3 Konsep Interferensi

Interferensi bahasa merupakan pencampuran unsur-unsur bahasa sumber dengan bahasa target. Pencampuran unsur bahasa terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, bahkan sampai pada tataran wacana. Masuknya unsur bahasa yang satu dengan bahasa lain akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan kaidah bahasa. Interferensi ini pada dasarnya terjadi pada masyarakat bilingual dan multilingual. Interferensi terlihat dalam bahasa lisan maupun tulisan.

Seluruh komponen bahasa yang masuk ke dalam satu bahasa ke bahasa yang lain baik sudah berintegrasi maupun belum dapat dikatakan interferensi. Bahasa yang masuk ke dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa asing ada yang diambil secara utuh karena sudah sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia dan ada pula melalui

(20)

proses penyesuaian ejaan. Penyerapan bahasa melalui penyesuaian dikatakan sebagai interferensi sistemik.

Salah satu latar belakang terjadinya interferensi bahasa adalah sikap yang kurang positif penutur bahasa. Penutur bahasa sangat senang menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia walaupun bahasa Indonesia sudah memiliki padanan bahasa asing tersebut. Sikap bahasa ini juga kadang-kadang dipengaruhi oleh lingkungan yang menggunakan bahasa tersebut. Dengan demikian, perkembangan zaman dan teknologi dapat menyebabkan terjadinya interferensi.

Sebagai patokan terjadinya interferensi suatu bahasa adalah terjadinya penyimpangan kaidah-kaidah bahasa yang sudah disepakati oleh suatu bahasa penerima. Di samping itu, masuknya unsur bahasa asing yang terdapat dalam kamus bahasa asing dapat dijadikan suatu patokan interferensi unsur bahasa. Patokan bahasa Indonesia adalah Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tata bahasa baku bahasa Indonesia dijadikan patokan untuk melihat kaidah suatu bahasa pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis sedangkan kamus besar bahasa Indonesia digunakan untuk pada tataran leksikal bahasa. Di samping itu, patokan inferensi menggunakan kamus bahasa asing (Inggris, Belanda, dan Arab) untuk melihat bentuk asli leksikal yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia.

(21)

Bahasa asing adalah bahasa yang digunakan oleh bangsa asing yang berada di luar suatu wilayah. Bahasa yang digunakan suatu bangsa di luar wilayah Indonesia, misalnya, dikatakan sebagai bahasa asing. Seluruh bahasa yang digunakan dalam satu wilayah atau etnik tertentu di dalam satu negara dikatakan sebagai bahasa daerah. Bahasa yang digunakan dalam negara dikatakan sebagai bahasa kenegaraan. Oleh sebab itu, bahasa yang digunakan dalam kenegaraan yang dijadikan alat pemersatu bangsa bagi bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian, bahasa resmi yang digunakan dalam suatu negara tertentu digunakan dalam negara lain maka bahasa tersebut dikatakan bahasa asing. Bahasa suatu etnik yang berada dalam satu wilayah tertentu yang merupakan bagian dari wilayah tersebut dikatakan bahasa daerah.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya Skripsi yang berjudul “ Pengaruh Pemberian Ekstrak Kering Daun Sukun

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan finansial usaha traktor roda empat pada pengolahan tanah lahan rawa pasang surut di daerah Kecamatan Lalan Kabupaten Musi

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

BPR Syariah Artha Mas Abadi Pati sudah sesuai dengan teori yang ada antara lain: Penerapan unsur-unsur pembiayaan, jenis pembiayaan merupakan modal kerja yang

Educational and Vocational Studies 2, no.. Jurnal WARAQAT ♦ Volume V, No. Siswa yang rajin dan disiplin akan diberikan penghargaan, berupa pujian, diberikan kesempatan

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

 Jumlah penumpang angkutan laut antar pulau yang datang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada November 2014 tercatat sebanyak 20,18 ribu orang, juga

Bak jenis yang kedua yang digunakan untuk budidaya secara hidroponik DFT adalah jenis bak cor beton yang dibuat di atas tanah yang pada permukaan bagian dalamnya