• Tidak ada hasil yang ditemukan

KANDUNGAN AFLATOKSIN (B1, B2, G1 DAN G2) PADA KACANG TANAH (Arachis Hypogaea L) YANG BEREDAR DI PASAR TRADISIONAL DAERAH JABOTABEK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KANDUNGAN AFLATOKSIN (B1, B2, G1 DAN G2) PADA KACANG TANAH (Arachis Hypogaea L) YANG BEREDAR DI PASAR TRADISIONAL DAERAH JABOTABEK"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 KANDUNGAN AFLATOKSIN (B1, B2, G1 DAN G2) PADA KACANG TANAH (Arachis Hypogaea L) YANG BEREDAR DI PASAR TRADISIONAL

DAERAH JABOTABEK

Drs. Husain Nasrianto M.S, Ade Heri Mulyati, M.Si, Eka Rachmawati Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Pakuan Bogor.

ABSTRACT

In Indonesia, groundnut (Arachis hypogaea l.) is a type of beans are the second important after soybeans. Based on SNI 01-3921-1995 and BPOM RI 2004, an important parameter in determining the peanut is aflatoxin (B1, B2. G1 and G2). The presence of aflatoxins in food can be harmful to human health and animals that consume it, because it can cause liver cancer. Would benefit from the content analysis of aflatoxins in peanuts in circulation in the traditional markets in greater Jabotabek area. Peanut sampling conducted in the traditional markets in the greater Jabotabek area. Each - one taken at the beginning of the storage market, then stored peanuts 1, 2, 3 and 4 weeks. Analysis that is physically damaged grain, split grain, other grain color, grain wrinkles and dirt whereas the testing of chemical analysis of water content and levels of aflatoxin. Determination of aflatoxins (B1, B2, G1 and G2) in peanuts made of high performance liquid chromatography (HPLC) using a flourescence detector at an excitation wavelength of 365 nm and an emission wavelength of 450 nm. Based on test results aflatoxin content of peanuts in circulation in the traditional markets in greater Jabotabek area to contain aflatoxin (B1, B2, G1 and G2) that meet standard requirements BPOM year 2004 in which the content of aflatoxin B1 and less than 20 ppb aflatoxin total of less than 35 ppb and aflatoxin content increased during the 4 weeks of storage. Water content, the levels of damaged grain, grain split levels and levels of grain shriveled peanuts increased levels of grain during storage while the other colors and dirt were unchanged. Peanut grains at high water content with storage time will result in shriveled grain and damaged items that are susceptible to infection of Aspergillus flavus that produce aflatoxin.

Keyword : Peanuts, Aspergillus flavus, Aflatoxin, HPLC PENDAHULUAN

Di Indonesia, kacang tanah merupakan jenis kacang-kacangan yang penting kedua setelah kedelai. Kacang tanah dapat dimanfaatkan secara luas, baik untuk diolah lebih lanjut atau dikonsumsi secara langsung. Hasil olahannya dapat berupa kacang goreng, kacang rebus, bumbu pecel, bumbu sate, dan

berbagai macam kue. Kacang tanah juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat minyak goreng dan ampas hasil minyaknya dapat dijadikan pakan ternak yang kaya akan protein (Somaatmadja, 1993). Penyimpanan kacang tanah sangat peka terhadap serangan jamur, hama, dan rayap. Tingkat kerusakan dalam penyimpanan ini dipengaruhi oleh

(2)

2 beberapa faktor. Salah satunya ialah

cara penanganan pasca panen (pengeringan, perontokan, dan penyimpanan). Penanganan pasca panen tersebut sangat berpengaruh terhadap mutu awal kacang tanah seperti : kadar air, tingkat kerusakan, dan kematangan biji sebelum disimpan. Faktor lain adalah cara dan kondisi lingkungan, seperti suhu dan kelembaban, serta sirkulasi udara dalam ruang penyimpanan. Indonesia yang memiliki iklim tropis-basah, ternyata memberi peluang besar terhadap tumbuh-suburnya berbagai jenis kapang pada komoditi pertanian. Beberapa jenis kapang mampu memproduksi racun yang disebut mikotoksin dan racun yang secara khusus diproduksi oleh kapang Aspergillus flavus disebut aflatoksin. Substrat (bahan) yang paling baik bagi kapang yang memproduksi aflatoksin adalah produk yang berasal dari kacang tanah. (Winarno, 2004).

Kacang tanah (Arachis Hypogaea L.) merupakan tanaman polong-polongan kedua terpenting setelah kedelai di Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim tropis atau subtropis. Republik Rakyat Cina merupakan penghasil kacang tanah terbesar di dunia, disusul India sebagai penghasil terbesar kedua. Sebagai tanaman budidaya, kacang tanah terutama dipanen bijinya yang kaya protein dan lemak. Biji ini dapat dimakan mentah, direbus (di dalam polongnya), digoreng atau disangrai. Di Amerika Serikat, biji kacang tanah diproses menjadi semacam selai dan merupakan industri pangan yang menguntungkan. Biji kacang tanah kaya akan nutrisi karena mengandung karbohidrat, protein dan lemak

sehingga dapat menjadi subtrat yang baik bagi pertumbuhan kapang. Faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan kapang antara lain kadar air dan kualitas biji-bijian yang dipengaruhi oleh cara pemanenan dan penanganan pascapanen. Kualitas kacang tanah ditentukan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3921-1995. Standar tersebut merupakan kriteria mutu kacang tanah yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN).

Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L.)

Sumber : SNI 01-3921-1995

Tabel 2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L.)

Sumber : BPOM RI tahun 2004

Aflatoksin diproduksi oleh kapang Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus atau Aspergillus monius, ketiga spesies kapang ini banyak terdapat pada bahan pangan seperti sereal, kacang-kacangan, rempah-rempahan, dan kopra maupun produk olahannya seperti bumbu pecel, kacang telur dan kacang atom. Kapang ini biasanya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan lembab. Saat ini telah diketahui paling sedikitnya 4 macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksin, yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2

berdasarkan penampakan

(3)

3 kromatografi lapis tipis dibawah sinar

UV yang menberikan warna biru untuk B dan warna hijau untuk G (Winarno, 2008). Aflatoksin B1 merupakan karsinogen paling potensial banyak menyerang berbagai spesies termasuk primata, burung ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek buruk terhadap paru-paru, miokarbium dan ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning, sirosis hati. Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan pencernaan dan metabolisme nutrien akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus. Aflatoksin juga berperan dalam menyebabkan penyakit seperti busung lapar. Selain itu juga dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh pada manusia dan hewan. Pemanasan hingga 250oC tidak efektif untuk menginaktifkan senyawa aflatoksin ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi aflatoksin biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak dipengaruhi faktor kelembaban (minimun 7%) dan bertemperatur tinggi, daerah tropis merupakan tempat berkembangbiak paling ideal bagi kapang tersebut (Dwidjoseputro, 1989).

Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit, koloni yang sudah menghasilkan spora berwarna coklat kehijauan hingga kehitaman. Miselium yang semula berwarna putih tidak tampak lagi (Dwidjoseputro, 1989).

Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus (Indrawati, 2006)

Bila Aspergillus flavus telah memproduksi aflatoksin maka biji akan terasa pahit bila dimakan. Kandungan aflatoksin yang tinggi dikenali dari warna biji yang coklat dan rasa yang makin pahit pula. Infeksi Aspergillus flavus dan produksi aflatoksin pada biji-bijian atau kacang-kacangan merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Infeksi Aspergillus flavus dan produksi aflatoksin pada biji-bijian atau kacang-kacangan melibatkan tiga faktor agar terjadi kolonisasi Aspergillus flavus dan kontaminasi aflatoksin. Ketiga faktor tersebut adalah varietas tanaman kacang-kacangan yang peka, Aspergillus flavus yang ganas dan agresif, serta lingkungan yang kondusif bagi perkembangan dan produksi aflatoksin. Aspergillus flavus memerlukan kelembaban relatif untuk pertumbuhan dengan batas optimum 82-85% dan suhu 30-32oC, sedangkan kondisi optimum untuk menghasilkan aflatoksin adalah pada suhu 25-30oC dengan kelembaban relatif 85% dan pertumbuhan jamur tersebut optimum pada kandungan air 15-30%. (Dwidjoseputro, 1989).

(4)

4 METODE PENELITIAN

Bahan

Kacang tanah yang diambil secara acak dari berbagai macam pasar tradisional di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, masing-masing kota diambil dari 2 pasar dengan 2 sampel, Metanol HPLC grade, Acetonitrile HPLC grade, standar bahan baku pembanding aflatoksin mix (B1, B2, G1, G2), aquabidest, TFA (triflouroacetic acid), NaCl p.a, Gas Nitrogen.

Alat

Blender, timbangan analitik, botol timbang, oven, desikator, jangka sorong, kertas saring, filter microfiber, immunoaffinity column (Vicam), syringe plastik, vial amber 2 ml, vortex, milipore 45µm, ultrasonic, corong, kaca arloji, pipet serologi 10 mL dan 25 mL, gelas ukur, erlenmeyer 250 mL, piala gelas 100 mL, tabung sentrifuge 50 mL, pipet eppendorf 100 µL dan 1000 µL. Kolom C-18 Lichrospher (250 mm x 4.0 mm) dengan ukuran partikel 5m, HPLC Agilent Technologies 1120 Compact LC Pump, Agilent Technologies 1200 Series Detector.

Rancangan Percobaan

Sampling kacang tanah dilakukan di 2 (dua) pasar tradisional di Jabotabek. Masing – masing pasar diambil dua sampel @ 1000 gram pada awal penyimpanan, selanjutnya kacang tanah disimpan 1, 2, 3 dan 4 minggu. Analisis dilakukan secara fisik dan kimia. Analisis secara fisik yaitu butir rusak, butir belah, butir warna lain, butir keriput, kotoran dan diameter, sedangkan analisis kimia yaitu pengujian kadar air dan kadar aflatoksin.

Analisis Kadar Butir Rusak (SNI 01-3921-1995)

Analisis kadar butir rusak dilakukan secara visual yaitu dengan memisahkan butir rusak dari butir utuh. Butir rusak meliputi butir rusak, butir belah, butir warna lain, butir keriput, dan kotoran. Kadar butir rusak ditentukan dengan rumus berikut:

Analisis Kadar Air (SNI 01-2891-1992)

Ditimbang kacang tanah yang telah dihaluskan sebanyak 1-2 gram dalam botol timbang yang telah diketahui bobotnya, dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105°C selama 3 jam. Selanjutnya didinginkan dalam

desikator kemudian timbang,

dipanaskan kembali dalam oven

selama 30 menit dan dinginkan lalu timbang kembali, perlakuan diatas

diulangi hingga tercapai bobot

konstan, yaitu selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,4 mg atau 0,0004 g. Selisih bobot sebelum dan sesudah pengeringan adalah bobot air yang menguap.

( )

Keterangan:

Bobot air = Selisih bobot sebelum dan sesudah pengeringan.

Analisis Kadar Aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) (AOAC Official Method 991.31)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Agilent Technologies 1120 Compact LC Pump, Agilent Technologies 1200 Series Detector, Fase Gerak Acetonitrile : Metanol : Aquabidest (1:3:6), Laju alir 1,0 mL / menit, volume injeksi sebesar 20 µL, detektor fluorescense pada panjang gelombang eksitasi 365 nm dan

(5)

5 panjang gelombang emisi 450 nm,

menggunakan kolom Rp-18 Lichrospher dengan panjang 250 mm dan diameter 4.0 mm dengan ukuran partikel 5m.

Preparasi Larutan Standar

Standar campuran aflatoksin 250 ppb dibuat dengan cara memipet 50 µL standar induk aflatoksin 5000 ppb, kemudian diencerkan dengan 950 µL acetonitrile dan dihomogenkan. Standar campuran aflatoksin 25 ppb dibuat dengan cara memipet 100 µL standar induk aflatoksin 250 ppb, kemudian diencerkan dengan 900 µL acetonitrile dan dihomogenkan. Deret standar aflatoksin 1 ppb ; 2 ppb ; 5 ppb ; 10 ppb ; 25 ppb ; 50 ppb ; dan 100 ppb di buat dengan cara seperti yang tertera pada Tabel 3. Kemudian masing-masing deret standar yang telah dibuat dimasukkan ke dalam vial amber, setelah dicampur larutan dikocok sampai homogen.

Tabel 3. Pembuatan Deret Standar Aflatoksin

Preparasi Larutan Standar

Ditimbang dengan teliti sebanyak 25 gram sampel kacang tanah dan ±5 gram serbuk NaCl dimasukkan ke dalam blender, ditambahkan 125 mL metanol 70%, diblender dengan kecepatan tinggi selama 2 menit. Larutan disaring dengan kertas saring. Dipipet 15 mL filtrat kemudian diencerkan dengan 30 mL aquabidest, kocok sampai homogen. 15 mL fitrat dilewatkan ke

immunoaffinity column dengan kecepatan 1 tetes per detik, dilewatkan 10 ml aquabidest ke immunoaffinity column dengan kecepatan 2 tetes per detik. Setelah semua cairan turun, didorong dengan syringe hingga keluar udara dan dibuang cairan yang ditampung, dilewatkan 1 ml methanol ke immunoaffinity column, ditampung tetesan ke dalam vial amber.

Derivatisasi Standar dan Sampel 1 mL standar atau sampel dalam metanol dalam vial amber diuapkan dengan gas nitrogen sampai kering. Setelah kering ditambahkan 100 µL TFA (tri fluoro acetic acid) dan divortex selama 30 detik, diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit (lindungi dari cahaya), ditambahkan 900 µL campuran acetonitril-aquabidest (1: 9), divortex selama 30 detik. Sampel diinjeksikan ke sistem kromatografi.

Perhitungan

Kadar aflatoksin dalam sampel dihitung dan ditetapkan menggunakan kurva kalibrasi (hubungan antara konsentrasi standar dan luas area) dengan garis lurus: y = bx

HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas kacang tanah yang beredar di pasar tradisional daerah Jabotabek selama 4 minggu penyimpanan, dianalisis kadar aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2), dan parameter tambahan kadar air, butir rusak, butir belah, butir warna lain, butir keriput, kotoran dan diameter.

(6)

6 Kadar Butir Rusak, Butir Belah,

Butir Warna Lain, Butir Keriput, dan Kotoran

Hasil analisis kadar butir rusak pada kacang tanah di pasar tradisional di daerah Jabotabek meningkat selama 4 minggu penyimpanan. Kadar butir rusak dan butir belah tertinggi terdapat di pasar A-2 sebesar 2,18% (Tabel 4) dan 18,53% (Tabel 5). Kadar butir warna lain tidak mengalami peningkatan yaitu 0% (Tabel 6). Kadar butir keriput tertinggi terdapat di pasar G-2 sebesar 23,60% (Tabel 7) sedangkan kadar kotoran tertinggi terdapat di pasar B-1 sebesar 0.30% (Tabel 8).

Tabel 4. Kadar Butir Rusak di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek

Tabel 5. Kadar Butir Belah di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek

Tabel 6. Kadar Butir Warna Lain di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek

Tabel 7. Kadar Butir Keriput di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek

Tabel 8. Kadar Kotoran di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek

(7)

7 Peningkatan kadar butir rusak, butir

belah, butir keriput selama penyimpanan kemungkinan disebabkan oleh serangan serangga. Serangan serangga pada biji-bijian dapat menyebabkan kerusakan, sehingga cendawan dapat menyerang biji dengan lebih mudah. Selain itu serangga dapat membawa spora cendawan pada permukaan tubuhnya dan keberadaan serangga dapat meningkatkan suhu dan kelembaban sehingga cendawan dapat tumbuh dengan baik (Sauer et al.1992). Diantara mikroorganisme yang mengkoloni biji-bijian, cendawan merupakan organisme yang paling toleran terhadap kadar air yang rendah dan paling berperan dalam penyebab kerusakan. Butir kacang tanah dengan kadar air yang tinggi akan mengakibatkan butir keriput dan butir rusak. Butir keriput dan biji rusak rentan terhadap infeksi Aspergillus flavus (Woodrof 1983 dalam Ginting dan Beti 1996).

Kadar Air

Kadar air merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan Aspergillus flavus. Berdasarkan Tabel hasil analisis kadar air pada kacang tanah di pasar tradisional daerah Jabotabek meningkat selama 4 minggu penyimpanan. Kadar air tertinggi terdapat di pasar C-1 7,93% (Tabel 9). Kadar air kacang tanah dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, aktivitas respirasi biji, serangga dan cendawan, faktor ketinggian diatas permukaan laut dan curah hujan di setiap kota. Kadar air kacang tanah di setiap kota selama empat minggu penyimpanan masih tergolong aman untuk disimpan.

SNI 01-3921-1995 menetapkan bahwa kadar air biji kacang tanah yang aman untuk disimpan adalah 6-8%.

Tabel 9. Kadar Air di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek

Kadar Aflatoksin

Hasil analisis aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) pada kacang tanah di pasar tradisional daerah Jabotabek meningkat selama 4 minggu penyimpanan. Kandungan aflatoksin B1 tertinggi (6,03 ppb) (Tabel 10) terdapat di pasar E-2, aflatoksin B2 tertinggi (3,93 ppb) terdapat di pasar E-1, aflatoksin G1 tertinggi (0,33 ppb) terdapat di pasar G-1, sedangkan aflatoksin G2 tertinggi (0,52 ppb) terdapat di pasar B-1. Minutes 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 V o lts 0.050 0.075 0.100 0.125 V o lts 0.050 0.075 0.100 0.125 af lat ok s in G 1 af lat ok s in B 1 af lat ok s in G 2 af lat ok s in B 2 FLD: Signal A Name

Gambar 2. Kromatogram larutan standar Aflatoksin.

(8)

8 Gambar 3. Kromatogram larutan

sampel Aflatoksin pada kacang tanah. Tabel 10. Kadar Aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek

Dharmaputra et.al (1989) menyatakan bahwa laju infeksi Aspergillus flavus dan produksi aflatoksin sangat dipengaruhi oleh kadar air. Kadar air biji 15-20% sangat kondusif bagi Aspergillus flavus untuk

menghasilkan aflatoksin sedangkan kadar air biji seimbang pada kisaran 7-9%. Oleh karena itu untuk mencegah infeksi Aspergillus flavus, kacang tanah harus disimpan pada kadar air yang sangat rendah atau kadar air mutlak. Menurut Astanto Kusno (2004) infeksi Aspergillus flavus dan kontaminasi pada kacang tanah

melibatkan tiga faktor agar terjadi kolonisasi Aspergillus flavus dan produksi aflatoksin. Ketiga faktor tersebut adalah varietas kacang tanah yang peka, Aspergillus flavus yang ganas dan agresif, serta lingkungan ang kondusif bagi pertumbuhan, perkembangan dan produksi aflatoksin. Varietas kacang tanah yang ditanam petani Indonesia umumnya adalah varietas lokal dan varietas unggul yang lama yang peka terhadap Aspergillus flavus. Musim tanam pada musim kemarau, suhu tanah yang tinggi pada periode kritis, dan kebiasaan petani untuk tidak segera menjemur polong setelah panen sangat kondusif bagi infeksi Aspergillus flavus. Kandungan aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) di pasar tradisional daerah Jabotabek tergolong rendah dan memenuhi persyaratan BPOM RI tahun 2004 yang menetapkan batas maksimum cemaran aflatoksin B1 dan total aflatoksin masing-masing adalah 20 ppb dan 35 ppb. Hal ini diduga karena cara penanganan pascapanennya (pengeringan dan pengupasan polong) dilakukan secara layak. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Semua sampel kacang tanah yang beredar di pasar tradisional daerah Jabotabek memiliki kandungan aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) yang memenuhi persyaratan standar BPOM tahun 2004, kandungan aflatoksin B1 kurang dari 20 ppb

(9)

9 dan aflatoksin total kurang dari 35

ppb dan kandungan aflatoksin meningkat selama 4 minggu penyimpanan.

2. Kadar air, kadar butir rusak, kadar butir belah dan kadar butir keriput kacang tanah meningkat selama penyimpanan sedangkan kadar butir warna lain, kotoran dan diameter tidak mengalami perubahan. Butir kacang tanah pada kadar air yang tinggi selama penyimpanan akan mengalami butir keriput dan butir rusak yang rentan terhadap infeksi Aspergillus flavus yang dapat memproduksi aflatoksin.

Saran

1. Sebaiknya pemilihan sampel kacang tanah diusahakan memiliki jenis varietas yang sama.

2. Waktu penyimpanan dilakukan lebih lama agar terlihat pengaruh yang nyata terhadap produksi aflatoksin pada kacang tanah. 3. Selama penyimpanan suhu dan

kelembaban relatif ruang simpan harus dicatat, karena selain kadar air, suhu dan kelembaban relatif pun dapat mempengaruhi produksi aflatoksin.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan. Yogyakarta : ANDI

AOAC. 2005. Official Method 991.31. Aflatoxins In Corn, Raw Peanuts and Peanut Butter Immunoaffinity Column (Aflatest). Washington DC.

Badan Standarisasi Nasional. Kacang Tanah. SNI-01-3921-1995. ICS 67.180.10

Dharmaputra OS, Tjitrosomo HSS, Susilo HH. 1991. Aspergillus flavus and aflatoxin in peanuts collected from three markets in Bogor, West Java, Indonesia. Didalam : Naewbanij JO, editor. Grain Postharvest Research and Development : Priorities for Nineteeth. Proceedings of the 12th ASEAN Seminar on Postharvest Technology : Surabaya, 29-31 Aug 1989. Hlm 110-124.

Dwidjoseputro.1989. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta : Jambatan Freeman, A.F.N.J Morris, dan R.K

Willich 1995. Peanut Butter. USA : Departemen Agriculture.

Gandjar, I. W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ginting, E. Dan J.A. Beti. 1996. Upaya penyediaan bahan baku bebas aflatoksin mendukung agroindustri kacang tanah. Hlm. 388-406. Dalam N. Saleh, K.H. Hendroatmodjo, Heriyanto, A.Kasno, A.G. manshuri, dan A.Winarno (Penyunting). Risalah Seminar Nasional Prospek Pengembangan Agribisnis Kacang Tanah di Indonesia. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 18-19 Desember 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No.7

Heatchote, J.G. 1984. Aflatoxins and related Toxin. Dalam Betina, V. (Ed). Mycotoxins : Productions, Isolation, Separation, and Purification. New York : Elsevier. Johnson, E.L. dan R.Stevenson. 1978. Dasar Kromatografi Cair.

(10)

10 Bandung. Institut Teknologi

Bandung.

Kusno, Astanto. 2004. Pencegahan Infeksi Aspergillus Flavus dan Kontaminasi Aflatoksin Pada Kacang Tanah. Malang : Litbang Pertanian.

Mulja, M. dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya. Airlangga University Press. Sauer DB, Merenuck RA, Christensen

CM.1992. Microflora. Di dalam : Sauer DB, editor. Storage of cereal Grains and Their Product. Ed ke-4. Minnesota : American Association of Cereal Chemist, Inc. hlm 313-340.

Skoog, D. A. Dan J. L. James. 1992. Principles of Instrumental Analysis. New York. Saunders College Publishing.

Somaatmadja, S. 1993. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 1; Kacang-kacangan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Winarno, F.G. 2004. Keamanan Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan Dan Gizi Edisi terbaru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gambar

Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus  (Indrawati, 2006)
Tabel 3. Pembuatan Deret Standar  Aflatoksin
Tabel  7.  Kadar  Butir  Keriput  di  Pasar  Tradisional Daerah Jabotabek
Tabel  9.  Kadar  Air  di  Pasar  Tradisional Daerah Jabotabek

Referensi

Dokumen terkait