• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi dan Uji Toksisitas LC50 Senyawa Aflatoksin B1, B2, G1, G2 pada Kacang Tanah (Arachis hypogaea L)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi dan Uji Toksisitas LC50 Senyawa Aflatoksin B1, B2, G1, G2 pada Kacang Tanah (Arachis hypogaea L)"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Biji-bijian seperti kacang tanah, kedelai, jagung mengandung hanyak kandungan gizi. Namun cara pengolahan pascapanen yang kurang tepat ternyata dapat berdampak buruk. Bila dikonsumsi dalam jangka panjang dan dalam jumlah banyak bisa membahayakan tubuh. Di antaranya menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang berbagai macam penyakit hati (Allen 1992). Aflatoksin ialah suatu zat hasil proses metabolisme kapang (jamur) Aspergillus j7avus yang tumbuh pada kacang tanah, terutama pada kacang tanah yang tidak dikehgkan dengan baik. Aflatoksin jika dikonsumsi dalam jangka panjang dan jumlah yang banyak bisa menyebabkan kanker hati. Aflatoksin yang terakumulasi akan memberikan pengaruh yang cepat bagi tubuh yaitu daya tahan tubuh menjadi lemah, sehingga lebih mudah terserang penyakit (Cutlcn 1993). Penelitian terbaru (Williams et a1 2004) menunjukkan bahwa aflatoksin tidak hanya bersifat karsinogenik dan mutagenik tetapi juga inzmunologic suppression dan

nutritional interference.

Aflatoksikosis akut bersifat mematikan karena diketahui menyerang hati dan empedu secara langsung. Hal ini dapat terjadi terutama pada anak-anak (Amla 1971). Sistem regulasi pangan termasuk pengendalian kontaminasi cemaran aflatoksin di Indonesia masih belum memadai. Berdasarkan pertemuan Food Agricultural Organization, World Healthy Organization dan Codex Alimentarius Comision (1995-2000), diputuskan bahwa untuk standar keamanan pangan perlu dilakukan risk analysis yang mencakup tiga komponen, yaitu: risk assessment, risk management, dan risk communication.

Penyebab timbulnya cemaran aflatoksin berdasarkan penelitian di Indonesia adalah proses pengeringan dan penyimpanan kacang tanah yang kondisi suhu dan kelembabannya tidak dikontrol dengan baik. Pada masa penyimpanan itu akan tumbuh Aspergillus flavus yang memproduksi aflatoksin. Selama penyimpanan 28 minggu, kandungan aflatoksin mencapai 300 kali dari jumlah yang diperkenankan. Seharusnya kadar air dalam komoditi kacang tanah di bawah 10 persen agar tidak ditumhuhi asp erg ill^!^ f[avlis.

Komoditi kacang tanah dengan kadar air sebesar 14 persen dapat menyebabkan tumbuhnya jamur Aspergilzis flavus yang memproduksi aflatoksin. Keadaan lingkungan dan iklim Indonesia sangat menunjang

perkembangan jamur Aspergillzis j7mlis dan biosintesis aflatoksin (Ginting 2005).

Untuk mendeteksi seberapa besar cemaran jamur AspergiNzis j7avus dan kadar aflatoksin serta tingkat toksisitasnya pada komoditi kacang tanah maka perlu dilakukan penelitian ini. Penelitian dilakukan terhadap komoditi kacang tanah yang diambil secara acak dari berbagai lokasi di Bogor, Depolc dan Tangerang. Pemeriksaan kapang dan jamur

Aspergill~s flavus ditetapkan secara mikrobiologi. Penetapan aflatoksin dilakukan secara KLT (kromatografi lapis tipis). Uji toksisitas aflatoksin pada kacang tanah dilakukan dengan analisis probit Finney LCSo menggunakan larva udang Artemia salina.

Pengembangan metode untuk mendeteksi dan menganalisis tingkb toksisitas cemaran aflatoksin pada kacang tanah merupakau ha1 yang sangat penting dalam memperbaiki sistem standar keamanan pangan dan risk analysis yang mencakup tiga komponen, yaitu: risk assessment, risk management, dan

risk communication. Saat ini diperlukan metode untuk analisis kandungan dan tingkat toksisitas aflatoksin pada sampel komoditi kacang tanah yang relatif mudah, sederhana, efisien dan sesuai kebutuhan. Dari beberapa metode seperti analisis I-IPLC, KIT ECISA dan kromatografi lapis tipis dipilih mstode kromatografi lapis tipis. Metode kromatografi lapis tipis adalah metode yang paling mudah, etisien, sederhana, ekonomis serta bersifat semi kuantitatif dibandingkan dengan beberapa metode lain. Peiigujian tingkat toksisitas dari senyawa cemaran atlatoksin menggunakan metode arialisis probit Finney LC50 pada larva udang Artemia salina yang lebih sederhana, cepat, murah dan mudah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan senyawa aflatoksin dan mendeteksi kadar senyawa tersebut pada sampel kacang tanah dari beberapa pasar di kawasan Bogor, Depok, Tangerang melalui metocle kromatografi lapis tipis. Penelitian ini juga nienguji tingkat toksisitas aflatoksin yang terdeteksi pada sampel kacang tanah dengan pengujian toksisitas LC50 pada larva udang Artemia salina menggunakan analisis probit Finney.

(2)

kepada pemerintah dalam membuat food standard pada sistem regulasi pangan, khususnya bahan pangan berbahan dasar kacang tanah di Indonesia. Bagi produsen dan distributor kacang tanah diharapkan dapat mengendalikan proses produksi, pengolahan pasca panen, penyimpanan, transportasi dengan baik dan melakukan evaluasi melalui proses pengawasan mutu (qualily cotltrol) sehingga cemaran aflatoksin dapat diminimalisasi jumlahnya. Secara tidak langsung penelitian ini diharapkan dapat ikut mendukung peningkatan ketahanan dan keamanan pangan dalam negeri.

Hipotesis penelitian ini adalah ekshak kacang tanah dapat diidentifikasi mengandung aflatoksin B1 (berfluoresens bim tua), B2 (berfluoresens b h muda pudar), GI (berfluoresens bijau tua), G2 (berfluoresens hijau muda pndar) pada lempeng TLC. Senyawa aflatoksin yang terdeteksi pada ekstrak kasar kacang tanah memiliki tingkat toksisitas yang akut dan berbahaya jika hasil pengujian toksisitas LC,, (analisis Probit) pada Artemia salina nilainya < 1000 ppm.

TINJAUAN PUSTAKA

Aflatoksin

Aflatoksin berasal dari kata Aspergilus flavus toksin, untuk mengingatkan penemuan pertama kali dari toksin h i . Di dalam perkemhangan selanjutnya, aflatoksin diproduksi oleh kapang Aspergillus jlav~is, Aspergillus parasilic~is atau Aspergillus nornitis. Ketiga spesies kapang ini banyak terdapat pada bahan pangan seperti sereal, kacang-kacangan, rempah-rempah, dan kopra maupun produk olahannya seperti bumbu pecel, kacang telur, dan kacang atom. Kapang ini biasanya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan lembab (Cullen 1993).

Saat ini telah diketahui paling sedikitnya 4 macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksik, yaitu aflatoksin B1, 8 2 , GI, G2 berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapis tipis di bawah sinar UV yang memberikan warna bim (blue) untuk B dan warna hijau (green) untuk G (Winarno 1997). Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20 macam derivat, akan tetapi yang paling toksik adalah aflatoksin BI. Kadar toksisitas dari tiap jenis aflatoksin berbeda-beda. Tipe

aflatoksin yang paling toksik adalah aflatoksin B1, dengan urutan tingkat toksisitas adalah B1 > G1 >. B2 > G2 (Frank 1995).

Seperti tampak pada Gambar I , struktur aflatoksin B1 dan B2 dapat menghasilkan senyawa metabolit aflatoksin MI dan M2 melalui hidroksilasi, dimana keduanya dihasilkan sapi atau hewan mminansia lainnya yang memakan pakan yang terkontaminasi oleh aflatoksin B1 atau 82. Aflatoksin MI dan M2 ini kemudian akan diekskresikan melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan bisa saja mengknntarnir~asi produk dari susu seperti keju dan yogurt. Aflatoksin sering terdapat pada ja,wg dnn produk olahannya, kacang dan produk olahannya, biji kapas, susu, kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal dan produk sereal seperti pasta, dan mi instan. Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini menyebabkan nekrosis, sirosis dan karsinoma organ hati. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut dari aflatoksin oleh karena itu disimpulkan manusia pun akan terkena efek yang sama (Cullen 1993).

Aflatoksin B1 mempakan karsinogen paling potensial (termasuk kelompok 1 A) pada banyak menyerang berbagai spesies termasuk primata, bumng, ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan erek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek bumk terhadap paru-paw, miokardium dan ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning, sirosis hati. Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan pencemaan dan rnetabolisme nutrien akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsennasi rendah secara terus menems. Aflatoksin juga be~peran dalam menyebahkan penyakit seperti sindrom Reye's dan busung lapar. Selain itu juga dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh (imunosupresif) pada manusia dan hewan (Hollstein 1993).

Aflatoksin ini di hati akan direaksikan menjadi senyawa epoksida (aflatoksin B1 8,9 oksida) yang sangat reaktif terhadap senyawa- senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat oleh epoksida dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga :250

c tidak efektif

(3)

kepada pemerintah dalam membuat food standard pada sistem regulasi pangan, khususnya bahan pangan berbahan dasar kacang tanah di Indonesia. Bagi produsen dan distributor kacang tanah diharapkan dapat mengendalikan proses produksi, pengolahan pasca panen, penyimpanan, transportasi dengan baik dan melakukan evaluasi melalui proses pengawasan mutu (qualily cotltrol) sehingga cemaran aflatoksin dapat diminimalisasi jumlahnya. Secara tidak langsung penelitian ini diharapkan dapat ikut mendukung peningkatan ketahanan dan keamanan pangan dalam negeri.

Hipotesis penelitian ini adalah ekshak kacang tanah dapat diidentifikasi mengandung aflatoksin B1 (berfluoresens bim tua), B2 (berfluoresens b h muda pudar), GI (berfluoresens bijau tua), G2 (berfluoresens hijau muda pndar) pada lempeng TLC. Senyawa aflatoksin yang terdeteksi pada ekstrak kasar kacang tanah memiliki tingkat toksisitas yang akut dan berbahaya jika hasil pengujian toksisitas LC,, (analisis Probit) pada Artemia salina nilainya < 1000 ppm.

TINJAUAN PUSTAKA

Aflatoksin

Aflatoksin berasal dari kata Aspergilus flavus toksin, untuk mengingatkan penemuan pertama kali dari toksin h i . Di dalam perkemhangan selanjutnya, aflatoksin diproduksi oleh kapang Aspergillus jlav~is, Aspergillus parasilic~is atau Aspergillus nornitis. Ketiga spesies kapang ini banyak terdapat pada bahan pangan seperti sereal, kacang-kacangan, rempah-rempah, dan kopra maupun produk olahannya seperti bumbu pecel, kacang telur, dan kacang atom. Kapang ini biasanya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan lembab (Cullen 1993).

Saat ini telah diketahui paling sedikitnya 4 macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksik, yaitu aflatoksin B1, 8 2 , GI, G2 berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapis tipis di bawah sinar UV yang memberikan warna bim (blue) untuk B dan warna hijau (green) untuk G (Winarno 1997). Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20 macam derivat, akan tetapi yang paling toksik adalah aflatoksin BI. Kadar toksisitas dari tiap jenis aflatoksin berbeda-beda. Tipe

aflatoksin yang paling toksik adalah aflatoksin B1, dengan urutan tingkat toksisitas adalah B1 > G1 >. B2 > G2 (Frank 1995).

Seperti tampak pada Gambar I , struktur aflatoksin B1 dan B2 dapat menghasilkan senyawa metabolit aflatoksin MI dan M2 melalui hidroksilasi, dimana keduanya dihasilkan sapi atau hewan mminansia lainnya yang memakan pakan yang terkontaminasi oleh aflatoksin B1 atau 82. Aflatoksin MI dan M2 ini kemudian akan diekskresikan melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan bisa saja mengknntarnir~asi produk dari susu seperti keju dan yogurt. Aflatoksin sering terdapat pada ja,wg dnn produk olahannya, kacang dan produk olahannya, biji kapas, susu, kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal dan produk sereal seperti pasta, dan mi instan. Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini menyebabkan nekrosis, sirosis dan karsinoma organ hati. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut dari aflatoksin oleh karena itu disimpulkan manusia pun akan terkena efek yang sama (Cullen 1993).

Aflatoksin B1 mempakan karsinogen paling potensial (termasuk kelompok 1 A) pada banyak menyerang berbagai spesies termasuk primata, bumng, ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan erek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek bumk terhadap paru-paw, miokardium dan ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning, sirosis hati. Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan pencemaan dan rnetabolisme nutrien akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsennasi rendah secara terus menems. Aflatoksin juga be~peran dalam menyebahkan penyakit seperti sindrom Reye's dan busung lapar. Selain itu juga dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh (imunosupresif) pada manusia dan hewan (Hollstein 1993).

Aflatoksin ini di hati akan direaksikan menjadi senyawa epoksida (aflatoksin B1 8,9 oksida) yang sangat reaktif terhadap senyawa- senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat oleh epoksida dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga :250

c tidak efektif

(4)
[image:4.605.95.504.79.463.2]

Diambil dari Cullen JM dan Newbeme PM (1993).

1

Gambar 1 Struktur kimia Aflatoksin.

Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi aflatoksin biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban (minimum 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis rnerupakan tempat berkembang biak paling ideal bagi kapang tersebut (Dwidjoseputro 198 1).

Kontaminasi aflatoksin sering terjadi di negara-negara beriklim tropis dan lembab seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Kasus kontaminasi aflatoksin diketahui terjadi pada awal tahun 1960-an dengan adanya kematian lebih dari 100.000 ekor ayam kalkun muda di peternakan lnggris karena pakan kacang brazil impor yang digunakan mengandung kadar aflatoksin yang tinggi. Peristiwa tersebut dikenal dengan Turkey X disease. Pada tahun 1967 tiga orang warga Taiwan meninggal akibat mengkonsumsi

beras terkontaminasi aflatoksin, dan pada tahun 1974 lebih dari 100 orang warga India meninggal akibat mengkonsumsi jagung terkontaminasi aflatoksin (Maxwell 2001).

Aspergillus flavus

Aspergill~rs jlavus mempakan kapang saprofit, koloni yang sudab menghasilkan spora benvama coklat kehijauan hingga kehitaman. Miselium yang semula benvarna putih tidak tampak lagi (Dwidjoseputro 1981).

(5)

kolonisasi Aspergillusflavzrs dan kontaminasi aflatoksin. Ketiga faktor tersebut adalah varietas tanaman kacang-kacangan yang peka, Aspergillzrs Javus yang ganas dan agresif,

serta lingkungan yang kondusif bagi perkembangan dan produksi aflatoksin (Dharmaputra OS et a1 1989). AspergiNus jlavus dan Aspergillus parasiticus

memerlukan kelembaban relatif untuk pertumbuhan dengan batas optimum 82-85 %

dan suhu 30-32"C, sedangkan kondisi optimum untuk menghasilkan aflatoksin adatah pada suhu 25-30°C dengan kelembaban relatif 85 % dan pertumbuhan jamur tersebut optimum pada kandungan air

15-30 % (Dwidjoseputro 1981). Kacang Tanah

Kacang tanah (Arochis hypogaea L.) mempakan tanaman polong-polongan atau legum kedua terpenting setelah kedelai di Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim hopis atau subhopis. Republk Rakyat Cina mempakan penghasil kacang tanah terbesar di dunia, disusul India sebagai penghasil terbesar kedua. Sebagai tanaman budidaya, kacang tanah terutama dipanen bijinya yang kaya protein dan lemak. Biji ini dapat dimakan mentah, direbus (di dalam polongnya), digoreng, atau disangrai. Di Amerika Serikat, biji kacang tanah diproses menjadi semacam selai dan mempakan industri pangan yang menguntungkan.

Produksi minyak kacang tanah mencapai sekitar 10% pasaran minyak masak dunia pada tahun 2003 menurut FAO. Selain dipanen biji atau polongnya, kacang tanah juga dipanen hijauannya (daun dan batang) untuk makanan temak atau mempakan pupuk hijau. Kacang tanah budidaya dibagi menjadi dua tipe: tipe tegak dan tipe menjalar. Tipe menjalar lebih disukai karena memiliki potensi hasil lebih tinggi. Tanaman ini adalah satu di antara dua jenis tanaman budidaya, tanaman budidaya yang lainnya adalah kacang bogor (Voandziea subterranea) yang buahnya mengalami pemasakan di bawah permukaan tanah. Jika buah yang masih muda terkena cahaya, proses pemasakan biji terganggu.

Cemaran Aflatoksin Pada Kacang Tanah Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidupnya.

Tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi menjadi persyaratan utama yang harus terpenuhi dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kepedulian terhadap kesehatan masyarakat telvs meningkat seiring dengan banyaknya pemberitaan mengenai produk pangan nabati terkontaminasi oleh cemaran yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada kenyataamya, cemaran tersebut dapat tejadi di sepanjang mata rantai panganfrom farm to table dan mungkin ada sebagai akibat dari berbagai tahapau sejak dari bahan baku, proses produksi, pengemasan, hansportasi sampai pemasaran. Kerusakan bahan pangan oleh jasad renik dapat menyebabkan makanan atau minuman tidak layak dikonsumsi akibat penurunan mutu atau karena makanan tersebut telah mengandung racun (Ginting 2005). Sumber-sumber karbohidrat seperti serealia dan bebijian cenderung dicemari oleh berbagai jenis kapang (Aspergillus, Penicillium, Fusarium, Rhizopus, Monilia).

Maraknya kasus keracunan makanan nabati akhir-akhir ini menuntut kita untuk lebih waspada dalam memilih makanan yang benar-benar layak unh~k dikonsumsi. Kita perlu tahu bahwa segala macam bahan makanan pada umumnya merupakan media yang sesuai untuk perkembangbiakan mikroorganisme. Akibat mikroorganisme, bahan makanan membusuk dan mengalami kemsakan sehingga mempengaruhi kandungan nutrisi makanan tersebut. Keracunan karena mikroorganisme dapat bempa keracunan makanan wood intoxication) dan infeksi (bod infection) karena makanan yang terkontaminasi oleh parasit atau bakteri patogen. Keracunan makanan wood intoxication) dapat tejadi karena makanan tercemar toksin. Toksin bisa bempa eksotoksin yaitu toksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme yang ~nasih hidup, enterotoksin yaitu toksin yang spesifik bagi lapisan lendir usus seperti tahan terhadap enzim hipsin dan stabil terhadap panas; aflatoksin maupun toksoflavin seperti pada kasus keracunan tempe bongkrek (Cullen

1993).

(6)

dalam kadar di atas batas toleransi yang dinyatakan aman (Adenan ef a1 1985, Dharmaputra el a1 1989, Bahri 2001). Menurut Bahri (2001) kacang tanah merupakan substrat yang cocok untuk perkembangan berbagai macam kapang. Kesadaran penduduk dunia tentang keamanan pangan diwujudkan dengan penetapan standar mutu produk (IS0 9000) dan mutu lingkungan (IS0 14000) serta ekolabel sebagai inshumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk meminimumkan kandungan aflatoksin dalam rangka menghilangkan berbagai bambatan dalam pemasaran serta melindungi konsumen dalam dan luar negeri perlu ddiembangkan (Ginting 2005). Selama penyimpanan, bahan pangan kacang-kacangan dapat mengalami kerusakan akibat adanya aktifitas mikroba seperti tumbuhnya jamur. Beberapa faktor yang dapat mempengarubi pertumbuhan Aspergilus f[avus pada kacang tanah antara lain adalab : 1) aktivitas air, yang dinyatakan dengan Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme, 2) konsentrasi ion hidrogen, 3) temperatur, 4) konsistensi cair dan padat, 5) status nutrien, dan 6) adanya bahan pengawet (Pitt dan Hocking 1991).

Kadar air dalam bahan pangan kacang- kacangan serta kelembaban relatif sangat berpengamh pada pertumbuhan Aspergillzrs flmus penghasil aflatoksin. Kenaikan kadar air selama penyimpanan akibat komoditi kacang menyerap uap air dari udara menyebabkan pertumbuhan kapang semakin meningkat karena bertambah banyak spora kapang dari udara terbawa masuk (Goldblatt 1969). Kadar aflatoksin dalam komoditi kacang tanah meningkat seiring dengan meningkatnya kadar air kacang tanah selama penyimpanan (Kasno 2004).

Kapang Aspergillus jlavus tumbuh dimana-mana baik di udara, air, tanah, bahan pangan (kacang-kacangan) maupun pakan seperti jagung, betas dan biji kapas (Dwidjoseputro 1981). Species Aspergillus dan Penicillium sangat cepat tumbuh pada biji-bijian, kacang-kacangan dan produk lainnya selama proses penyimpanan terutama jika kandungan air bahan cukup tinggi (Kasno

2004).

L a w a Udang (Arthemin snlina Leaclr) Artemiu merupakan kelompok udang- udangan (Crustaceae) dari filum Arthropoda. Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton

lain seperti Copepode dan Dflphnia (kutu air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari nyaris tawar hingga jenuh garam. Secara ala~niah salinitas danau dimana mereka hidup sangat hewariasi, tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Apabila kadar garam kurang dari 6 %

telw Artemia akan tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas. Hal ini biasanya terjadi apabila air tawar banyak masuk ke dalam danau di musim penghujan. Jika kadar garam lebih dari 25% telur akan tetap berada dalam kondisi tersusvensi. sehineea daoat menetas dengan normai (~u&akusu&h 2607):

Gambar 2 Siklus hidup Arlemia salina Leach (0-Fish 2007).

[image:6.602.310.487.263.449.2]
(7)

asupan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae. Saat kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan beranak-pinak dengan cepat, sehingga suplai Arlemia untuk ikan yang kita pelihara bisa terns berlanjut secara kontinu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah dan air banyak mengandung bahan organik atau jika salintas meningkat, Arlemia akan memakan bakteri, plankton, dan sel-sel khamir (yeast). Pada kondisi ini Artemia akan memproduksi hemoglobin sehingga tampak benvarna merah atau orange. Apabila keadaan ini terns berlanjut Artemia mulai memproduksi kista (Punvakusumah 2007).

Pada saat inkubasi selama 24 jam di dalam media tumbuh (vial), larva udang mengalami proses aerasi menggunakan aerator. Aerasi mempakan proses terjadinya kontak antara air dengan udara, sehingga tejadi perpindahan senyawa yang bersifat volatil. Proses aerasi dapat meningkatkan jumlah oksigen ke dalam air, menghilangkan COz dan &S, serta menghilangkan rasa dan ban yang disebabkan oleh zat-zat organik. Aerasi juga dapat meningkatkan pH dan menurunkan panas air laut. Aerasi dilakukan dengan dua cara yaitu cara pertama dengan memompakan udara luar atau oksigen murni ke dalam air sehiigga diiasilkan gelembung- gelembung udara yang berkontak dengan air. Cara kedua dilakukan dengan menekan air ke atas untuk berkontak dengan oksigen melalui pemutaran baling-baling yang diletakkan pada permukaan air, sehingga air terangkat dan berkontak langsung dengan udara sekitamya (Moss 1990).

Metode Deteksi Aflatoksin

Kadar aflatoksin pada bahan makanan nabati ditentukan dengan metode kromatografi lapis tipis (thin l q e r chromulography) sesuai dengan panduan Official Methods of Analysis of the A.0.A.C 970. 451 49. 2. 09. 2005 yang mengacu ketentuan SNI. Walaupun memerlukan waktu yang relatif lama dalam melakukan analisis, metode kromatografi lapis tipis lebih sederhana dan mudah dikerjakan bila dibandingkan dengan metode HPLC. Secara umum metode ini digunakan untuk mengukur kadar aflatoksin pada prodnk kacang tanah secara semi kuantitatif. Hasil akhir analisis dihitung dengan menggunakan rumus berikut,

dimana kandungan aflatoksin dalam contoh dinyatakan sebagai ppb (pait per billion) dihitung sampai dua angka desimal.

Keterangan:

C = Kandungan masing-masiog aflatoksin dalam contoh (dalam ppb).

S =Volume stmdar yang ditotolkan yang intensitasnya sama dengan intensitas contoh (dalam PI).

Y = Konsentrasi masing-masing standar (dalam pgfml).

W = Bobot contoh (dalam gram).

Z = Volume ekstrak contoh yang ditotolkan yang memberikan intensitas yang sama dengan standar (dalam PI).

V = Volume pelamt kloroform yang dipakai untuk melamtkan eks'ak (dalam

PI).

f = Faktor pengenceran.

Saat ini sed'ang dikembangkan metode lain agar pendeteksian kadar aflatoksin dari sampel kacang tanah lebih bersifat kuantitatif, akurat serta lebih sensitif. Di luar negeri, khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa deteksi kadar aflatoksin BI, B2, GI, G2 maupun MI tclah dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis HPLC (kromatografi cair kinerja tinggi) yang memiliki sensilifitas dnn keakuratan yang sangat tinggi lnaupun KIT ELISA. Demi memenuhi standar kelayakan uji bertaraf internasional saat ini beberapa balai penelitian seperti BBIA dan Balitvet sedang melakukan riset penggunaan HPLC sebagai metode barn standardisasi SNI dalam proses pendeteksian aflatoksin, meskipun memerlukan biaya yang cendernng sangat mahal.

Prinsip kerja dari KIT ELISA ini adalah pertama-tama antibodi dilapis pada plat mikro dan ditambahkan enzim konjugat serta lamtan sampel, lalu terjadi kompetisi antara aflatoksin B1, 82, GI, G2 dan konjugat. Setelah itu dilakukan pencucian, sehingga terjadi pembentukan warna setelah penambahan subsirat. Komponen pereaksi KIT ELISA antara lain standar aflatoksin (blank0 standar, aflatoksi~i B1 30, 10, 3.3, 1.1,

0.37, 0.12 ppb), enzim konjugat (Aflatoksin

(8)

pengolahan data (biosensor). Sementara itu keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan KIT ELISA ini adalah ekstrasi sampel sederhana, analisis lebih cepat (15 menit), sensitif dan spesifik, akurat (hasil konsisten dengan metoda HPLC) dan reprodusibel, kisaran analisis (0.3-30 ppb), kros reaktifitas (AFBI loo%, AFB2 0.9%, AFGl 3.1%, AFG2 11.2%), dapat menganalisis 40 sampel (duplo) sekaligus, serta ekonomis.

Uji Toksisitas LCSo Atlatoksin dengan Analisis Probit (Finney) Lethal concentration (LCso) adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan setengah dari populasi (50%) yang ada (Frank 1995). Nilai LCSo tidak konstan, artinya nilainya berbeda antara spesies yang satu dengan spesies yang lain karena adanya variasi antar spesies. Nilai LC,, merupakan bentuk statistika yang didesain untuk menggambarkan respon yang mematikan komponen dalam beberapa populasi dari suatu percobaan (Balazs 1970). Banyak faktor yang berpengamh di dalamnya antara lain: umur,

suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur (Fmney 1971).

Salah satu metode analisis statistika yang digunakan untuk menghitung besarnya LCso adalah dengan menggunakan analisis probit. Analisis tersebut diperkenalkan oleh Finney tahun 1971. Metode regresi linear digunakan untuk mendapatkan grafik garis lums apabila probit kematian ditransformasikan pada log konsentrasi. Konsentrasi yang dapat mengakibatkan kematian 50% populasi hewan diperoleh dengan menarii garis dari 50% probit kematian (Finney 1971).

Perbedaan konsentrasi pada setiap perlakuan secara jelas mempennudah dalam menentukan konsentrasi letal pada suatu hewan yang diujikan. Kontrol dalam percobaan sangat penting dalam suatu perhitungan mortalitas alami. Jika terjadi kematian dari suatu konhol, perlu dilakukan koreksi terhadap analisis dengan persen kematian terkoreksi. Setiap makhluk hidup mempunyai tingkat toleransi terhadap suatu rangsangan, respon tidak akan terjadi apabila berada di bawah tingkat toleransi tersebut (Finney 1971).

Berbagai macam pengujian dilakukan untuk menentukan tingkat toksisitas senyawa cemaran aflatoksin pada kacang tanah sehingga dapat diketahui ambang batas toleransi keberadaan senyawa tersebut pada

makanan. Salah satu pengujian yang dilakukan adalah dengan menggunakan larva udang (Artemia salino). Meyer et a1 (1982) telah nlengembnngkal~ metode ini supaya dapat digunakan dalanr menemukan senyawa bioaktif baru dari tumbuhan tingkat tinggi. Metode ini telah banyak digunakan untuk uji hayati dalam analisis residu pestisida, anestetika dan zat pencemar air. Keuntungan metode ini adalah cepat, tidak mahal, mudah dilakukan dan tidak membutuhkan peralatan yang mmit. Metode ini sering digunakan untuk mendeteksi senyawa bioaktif yang memiliki komponen bioaktif dan memiliki efek fmakologi. Data yang diperolell dari hasil pengujian dengan larva udang kemudian dianalisis dengan menggunakan program probit untuk menentukan LCso dan LC, ( F i ~ e y 1971). Data dapat dianalisis apabila mortalitas pada kontrol< 20% (Abbott 1925). Uji beda nyata antar nilai LCSo atau LC9o dilakukan dengan membandingkan nilai 95% selang kepercayaamya. Dua nilai LC5, atau LC, akan berbeda nyata kalau nilai selang kepercayaamya tidak tumpang tindih (Savin

ef a[. 1977, Marqon et al. 1999). Senyawa dengan nilai LCSo < 1000 ppm dikatakan memiliki potensi bioaktlvitas

(Mc

Laughlin et a1 1991).

Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi pertalna kali diberikan oleh Michael Tswelt, seorarlg ahli botani Rusia pada tahun 1906. Kromatografi berasal dari bahasa Yunani Kromaros yang berarti warna dan Graphos yang berarti menulis. Kromatografi mencakup berbagai proses yang berdasarkan pada perbedaan distribusi dari penyusun cupliltan antara dua fasa. Satu fasa tinggal pada sistem dan dinan~akan fasa diam. Fasa lainnya, dinamakan fasa gerak, memperkolasi melalui celah-celah fasa diam. Gerakan fasa menyebabkan perbedaan migrasi dari penyusun cuplikan (Harjadi 1994). Kromatografi lapis tipis yaitu kromatografi yang menggunakan lempeng gelas atau alumunium yang tlilapisi dengan lapisan tipis alumina, silika gel, atau bahan serbuk lainnya. Kromatografi lapis tipis pada umumnya dijadikan metode pilihan pertama pada pemisaharl dengan kromatografi (Underwood 2002).

(9)

Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga menganduug substansi yang beduoresensi dalam sinar ultra violet. Fase gerak mempakan pelarut atau campuran pelamt yang sesuai. Gel silika adalah bentuk dari silikon dioksida (silika). Atom silikon dihubungkan oleh atom oksigen dalam shuktur kovalen yang besar, sepeti tampak pada Gambar 3. Pada permukaan gel silika, atom silikon berlekatan pada gugus -OH. Jadi pada permukaan gel silika terdapat ikatan Si- 0-H selain Si-0-Si. Permukaan jel silika sangat polar sehingga gugus -OH dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa- senyawa yang sesnai di sekitarnya sebagaimana gaya van der Waals. Fase diam lainnya yang biasa digunakan adalah alumina- aluminium oksida. Atom aluminium pada permukaan memiliki gugus -OH (Underwood 2002).

Pelaksanaan kromatografi lapis tipis adalah sebagai berikut yaitu sebuah garis digambar menggunakan pinsil di dekat bagian bawah lempengan kemudian dilakukan penotolan campuran pada garis itu. Diberikan penandaan pada garis di lempengan untuk menunjukkan posisi awal dari tetesan. Ketika bercak dari campuran itu mengering, lempengan ditempatkan dalam sebuah gelas kimia bertutup berisi pelarut dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Perlu diperhatikan bahwa batas pelarut berada di bawah garis dimana posisi bercak berada (Underwood 2002).

Struktur Ikatan K i i a

Silika

Gel

Gambar 3 Struktur kimia fase diam silika. Alasan untuk menutup bejana kimia adalah untuk meyakinkan bawah kondisi dalam bejana kimia terjenuhkan oleh uap dari pelarut. Kondisi jenuh dalam bejana kimia dengan uap mencegah penguapan pelarut. Karena pelarut bergerak lambat pada lempengan, komponen-komponen yang berbeda dari campuran pewarna akan bergerak pada kecepatan yang berbeda dan akan tampak sebagai perbedaan bercak wama. Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan melarutkan senyawa-

senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi sebagaimana halnya pergerakan pelarut (Underwood 2002).

Tingkat kecepatan senyawa-senyawa bergerak ke atas Iempengan tergantung pada dua ha1 yaitu: a) kelarutan senyawa dalam pelarut (ha1 ini bergautung pada bagaimana besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut, b) kemampuan senyawa meiekat pada fase diam misalnya jel silika (ha1 ini tergantung pada bagaimana besar atraksi antara senyawa deugan jel silika). Jika dianggap bercak awal mengandung dua senyawa yaitu senyawa yang satu dapat membentuk ikatan hidrogen, dan senyawa yang lainnya hanya dapat mengambil interaksi van der Waals yang lemah. Senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen akan melekat pada jel silika lebih kuat dibanding senyawa laimya. Dapat dikatakan bahwa senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa yang lainnya (Undenvood 2002).

Penjerapan adalah pembentukan suatu ikatan dari satu substansi pada permukaan yang bersifat tidak pemianen. Pada proses ini terdapat pergenkan yang tetap dari molekul antara yang terjerap pada permukaan jel silika dan yang kembali pada lamtan dalam pelarut. Dengan jelas senyawa hanya dapat bergerak ke atas pada lempengan selama waktu terlarut dalam pelarut. I<etika senyawa dijerap pada jel silika untuk sementara waktu proses penjerapan berhenti din~ana pelamt bergerak tanpa senyawa. Itu berarti bahwa semakin kuat senyawa dijerap, semakin kurang jarak yang ditempuh ke atas lempengan. Pelarut dapat mencapai sampai pada bagian atas dari lempengan. Ini akan mcmbelikan pemisahan maksimal dari komponen-komponen yang benvama untuk kombinasi tertentu dari pelamt dan fase diam (Underwood 2002).

(10)

pengembang

campuran sampel

[image:10.613.91.300.67.270.2]

yang diiololkan (fase gerak) Gambar 4 Skema kromatografi lapis tipis.

Ada beberapa faktor yang menentukan harga Rf yaitu antara lain: a) Pelarut (disebabkan pentingnya koefisien partisi, maka perubahan-perubahan yang sangat kecil dalam komposisi pelarut dapat menyebabkan pembahan-pembahan barga Rf), b) Suhu (pembahan dalam suhu merubah koefisien partisi dan juga kecepatan aliran), c) Ukuran dari bejana (volume dari bejana mempengaruhi homogenitas dari atmosfer jadi mempengamhi kecepatan penguapan dari komponen-komponen pelamt dari kertas; jika bejana besar digunakan maka ada tendensi perambatan lebih lama seperti pembahan komposisi pelarut sepanjang kertas sehingga koefisien partisi akan bembah juga; di samping itu dua faktor yaitu penguapan dan kompisisi juga mempengamhi harga

Rf),

d) Lempeng kromatografi (pengaruh utama lempeng pada harga Rf timbul dari pembahan ion dan serapan, yang berbeda untuk macam- macam lempeng; selain itu lempeng kromatografi juga mempengamhi kecepatan aliran dan mempengamhi kesetimbangan partisi), e) Sifat dari campuran (berbagai senyawa mengalami partisi diantara volume- volume yang sama dari fasa tetap dan bergerak, mereka selalu mempengaruhi karakteristik dari kelarutan satu terhadap lainnya hingga terhadap harga Rf mereka) (Harjadi 1994).

Cara untuk mendeteksi sampel yang tidak berwarna dengan analisis kromatograti lapis tipis seperti pada analisis aflatoksin yaitu dengan menggunakan fluoresensi UV. Telah disebutkan bahwa fase diam pada sebuah lempengan lapis tipis seringkali memiliki substansi yang ditarnbahkan kedalamnya, supaya sampei dapat berpendar ketika

[image:10.613.333.447.297.376.2]

diherikan sinar ultraviolet (UV). Jika sampel yang telah dielusi disinari dengan sinar UV, maka sampel yang terdeteksi akan berpendar. Pendaran ini ditutupi pada posisi bercak kromatogram berada, meskipun bercak-bercak itu tidak tampak benvarna jika dilihat dengan mata. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika menyinarkan sinar UV pada lempengan, akan timbul pendaran dari posisi yang berbeda dengan posisi bercak-bercak. Bercak tampak sebagai bidang kecil yang gelap. Sementara UV tetap diiinarkan pada lempengan, maka hams menandai posisi-posisi dari bercak- bercak dengan menggunakan pinsil dan melingkari daerah bercak-bercak itu. Seketika jika

sinar

UV dimatikan, bercak-bercak tersebut tidak tampak kembali (tampak pada gambar 5) (Underwood 2002).

sinar UV

.. . ~ ,

Gambar 5 Proses visualisasi dan identitikasi kromatogram pada TLC.

Penanggulangan Kontaminasi Aflatoksin Pada Kacang Tanah

I

Pada kacang tanah yang tidak dikeringkan dengan baik senyawa aflatoksin hasil metabolit sekunder Aspergillus p m u s cenderung lebih cepat tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian yang dikeluarkan SEAMEO Biotrop, Balai Penelitian Veteriner, dan Badan POM RI pada ploduk olahan kacang tanah, ditemukan cemnran aflatoksin

B1.

Bumbu pecel maupun gatlo-gad0 mengandung aflatoksin BI cukup Linggi. Kandungan aflatoksin berada di kisaran 22-345 ppb @art
(11)

makanan hanya mencapai 15 ppb, sedangkan pakan ternak sebesar 20 ppb (Ginting 2005).

Cara-cara pengolahan bam atau pengolahan fisik tertentu kacang tanah bisa efektif menumnkan kadar aflatoksin yang terkandung pada bahan. Perlakuan dan teknik pengolahan itu perlu dilakukan dengan cara semestinya agar produk olahan bisa benar- benar aman dikonsumsi. Perebusan kacang tanah dengan garam selama 15 menit bisa menurunkan kadar aflatoksin sebesar 33%. Kombinasi perebusan dengan garam, pengeringan dan penyangraian seperti pada pengolahan kacang garing bisa menekan kadar aflatoksin sampai bawah 5 ppb, asalkan bahan bakunya cukup baik. Penyangraian pada suhu 1 5 0 ' ~ selama 5 menit bisa mengurangi kadar aflatoksin 75%. Penggorengan dengan minyak pada suhu 1 5 0 ' ~ selama dua menit bisa menurunkan sebesar 73 % (Ginting 2005). Sinar ultraviolet dan radiasi juga dapat mendegradasi mikotoksin, antara lain menurunkan kandungan Aflatoksin MI dalam susu (Yousef dan Marth 1985). Namun, sinar ultraviolet dan radiasi dapat memsak senyawa-senyawa nutrisi pada bahan panganlpakan tersebut (Mobiuddin 2000). Radiasi dan pemanasan kacang tanah dalam microwave selama 3 menit dan 5 menit dapat mengurangi kandungan senyawa aflatoksin masing-masing sebesar 25% dan 49,25% (Chinaphuti 1999).

Pencegahan penyebaran dan akumulasi kapang toksigenik pada kacang tanah dapat pula dilakukan melalui pengendalian secara biologis dengan menebarkan Aspergillus spp. non toksigenik yang akan berkompetisi dengan Aspergillus *us dan Aspergillz~s parasiticzrs yang bersifat toksigenik, sehingga perkembangan kapang tersebut akan terhambat. Cara ini memperlihatkan hasil yang memuaskan pada tanaman kacang tanah, dimana kontaminasi aflatoksin dapat ditekan hingga 90% (Cole dan Domer 1999). Menurut Pitt (1999), keberhasilan akan diperoleh jika penggunaan Aspergillus f[avus dan Aspergillus parasiticus non toksigenik ditebarkan pada tanah dengan perbandingan 100 : I dari AspergiNzrsflavus dan Aspergillz~s parasiticus toksigenik.

Pencegahan produksi aflatoksin, dilakukan dengan mengeringkan kacang tanah sesegera mungkin dalam waktu tidak lebih dari 24

-

28 jam setelah panen. Pengeringan dapat dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan sinar matahari, digantung di

udara terhuka atau dalam ruangan dengan sedikit pemanasan dan pengasapan, terutama untuk produk yang mudah terinfeksi kapang, dan dengan menggun:tkan mesin pengering. Pada kacang tanah cemaran kapang Aspergill~rs Jlj~av~is dan Aspergillzis parasiticus dapat dikurangi juga dengan pencucian yang diikuti dengan pengeringan. Jumlah kapang dapat dikurangi tetapi tidak menghilangkan ataupun mengurangi toksin yang telah terbentuk. Upaya mcngurangi konsentrasi mikotoksin dapat pula dilakukan pengenceran (dilution), yaitu dengan menambahkan bahan yang masih baik sehingga kandungan cemaran tersebut menjadi sangat rendah.

Bahan kimia dan bahan pengikat umumnya digunakan unhlk pengendalian mikotoksin pada produk pertanian sebagai bahan pangan atau pakan selama masa penyimpanan. Amonia sangat efektif untuk menekan perlumbuhan kapang Aspergillus dan cemaran aflatoksin pada kacang tanah dan jagung. Penggunaan amonia 2% pada temperatur 20

-

50 OC selama 6 minggu dapat mengurangi kandungan aflatoksin lebih dari 90% (Chelkowski et a1 1981), begitu pula penggunaan sodium bisulfit 1% pada kelembaban 15% (Ghosh et a1 1996). Bahan kimia lain yang umumnya banyak digunakan antara lain seperti hidrogen peroksida, kalsium hidroksida, mono metilenamin, amonium hidroksida, arang aktif, polyvinil polypyolidone.

Beberapa bahan alami seperti bawang putih, kunyit dan ekstrak daun samhiloto efektif menurunkan konsentrasi aflatoksin pada pakan dan mencegttb aflatoksikosis pada unggas (Maryam et a1 1995, Sengngeng 1996, Rachmawati et a1 1999). Begitu pula senyawa-senyawa yang terdapat dalam kopi, strawberi, teh, lada, anggur, kunyit, bawang putih, kol, dan bawang diketahui dapat lnencegah efek negatif aflatoksin (Galvano et a1 2001). Zat gizi, seperti metionin dapat mempertahankan penanlpilan ternak yang pakamya tercernar aflatoksin. Hal ini terjadi karena proses detoksitikasi aflatoksin di dalam tubuh terutama organ hati memerlukan glutation, dimana metioilin diperlukan untuk pembentukan glutation tersebut (Mobiuddin 2000). Vitamin C (1000 mglkg diet) mempunyai daya proteksi terhadap efek hepatotoksin aflatoksin pada marmut (Galvano er a1 2001).

(12)

negara beriklim sedang, kadar air ideal adalah kurang dari 13% untuk penyimpanan lebih dari 9 bulan, sedangkan untuk penyimpanan yang singkat kadar air dapat mencapai 14% (Departement of Crop Sciences University of Illinois 1997). Negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kadar air ideal berkisar antara 7

-

9% temtama untuk komoditi yang disimpan lebih dari tiga bulan (Kasno 2004).

Bahan baku kacang tanah sebaiknya disimpan di gudang penyimpanan dengan sirkulasi udara yang baik. Jika memungkinkan, suhu dan kelembaban diukur secara mtin selama periode penyimpanan. Kenaikkan suhu 2 hingga 3 "C dapat menunjukkan adanya infestasi kapang atau serangga (Codex Alimentarins Comisi6n 2003). Untuk produk yang dikemas, sebaiknya digunakan kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara, dan diletakkan dengan menggunakan alas (papan). Alat transportasi yang digunakan untuk mengangknt kacang tanah hendaknya dipastikan bersih dari kontaminasi kapang Aspergillus flavfrs dan serangga. Selama transportasi sedapat mungkin dihindari peningkatan kelembaban dan fluktuasi suhu sehingga kondusif untuk pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin. Serangan serangga, bumng dan tikus juga sebagai salah satu faktor penyebab meningkatnya kontaminasi aflatoksin selama transportasi. Hal ini dapat dicegah dengan menutupi produk sehingga terhindar dari gangguan-gangguan tersebut.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang dipakai adalah explosion proof blender I liter, gelas ukur (kapasitas

250 ml dan 25 ml), pipet 25 ml terkalibrasi, labu pemisah 250 ml, gelas piala (50 ml, lOOml dan 400 ml), labu Erlenmeyer 500 mi, neraca analitik dengan kemampuan penimbangan yang memiliki ketelitian 0.0001 gram, pemanas listrik, labn distilasi, mistar, lempeng kromatografi (precoated kieselgel G plate), pipet mikro, syringe (ukuran 5 pl dan 1000 PI), detektor lampu UV fluoresens, pipet volumetrik 5 ml, 25 ml, pipet tetes, pipet mikro, kaca pembesar, aerator dan media tumbuh larva udang.

Bahan-bahan yang digunakan meliputi sampel kacang tanah yang diambil secara acak pada tanggal 18 Oktober 2008 dari 10 pasar

yaitu sampel A (pasar Bojong Cede), sampel B (pasar Ciputat), sampel C (pasar Ciampea), sampel D @asar Leuwiliang), sampel E (pasar Parung), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel H (pasar Cibinong), sampel 1 (pasar Depok), sampel J (pasar Cikokol, Tangerang), larva udang (/lrtemiu sulina), air lant, akuades, lamtan klorofbnn, larutan heksana, larutan aseton, larutan metanol, aliran gas nitrogen, NaCI, larutan campuran standar aflatoksin yang mengandung (Bl: 2.01

+

0.04 pg/mI; B2: 0.50050.025 pg/ml; GI: 2.01

+

0.04 pgtml; G2: 0.500 rt 0.025 pglml) setelah sebelumnya larutan campuran standar aflatoksin tersebut disimpan dalarn lemari pendingin.

Metnde Deteksi Aflatoksin dengan Cora Kromatografi Lapis Tipis Metode ini melipuri cara uji penetapan aflatoksin dalam produk kacang-kacangan, sereal dan produk hasii olahan secara semi kuantitatif menggunakan kromatografi lapis tipis. Metode penetapan aflatoksin ini sesuai dengan dokumen acuan SNI yaitu Official Methods of Analysis of the A.0.A.C 970. 45/49. 2.09. 2005. Prinsip sederhana dari metode ini adalah senyawa aflatoksin yang terdapat dalam sampel makanan nabati dieks!rak dalam pelarut organik yang sesuai, kemudian dipisahkan dengan kromatoyafi lapis tipis dan diidentifikasi di bawah sinar tampaw UV. Metode analisis ini dibagi menjadi dua tahap yaitu taliap pertama persiapan analat (contoli) dan tahap kedua adalah penetapan kadar aflatoksin dengan kromatografi lapis tipis serta identifikasi fluoresensi di bawah lampu UV.

Penyiapan Contoh

Sampel kacang tanah dilumatkan dalam blender laln diaduk sampai homogen, serta disimpan dalam botol bertutup rapat.

Identifikasi dan Deteksi Aflatoksin dengan Kromatografi Lapis Tipis

Sebanyak 25 gram contoh yang telah dipreparasi ditimbang de~igan neraca analitik dan dimasukkan Ice dalam blender explosion proof 1 liter. Setelall itu baru ditambahkan

(13)

negara beriklim sedang, kadar air ideal adalah kurang dari 13% untuk penyimpanan lebih dari 9 bulan, sedangkan untuk penyimpanan yang singkat kadar air dapat mencapai 14% (Departement of Crop Sciences University of Illinois 1997). Negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kadar air ideal berkisar antara 7

-

9% temtama untuk komoditi yang disimpan lebih dari tiga bulan (Kasno 2004).

Bahan baku kacang tanah sebaiknya disimpan di gudang penyimpanan dengan sirkulasi udara yang baik. Jika memungkinkan, suhu dan kelembaban diukur secara mtin selama periode penyimpanan. Kenaikkan suhu 2 hingga 3 "C dapat menunjukkan adanya infestasi kapang atau serangga (Codex Alimentarins Comisi6n 2003). Untuk produk yang dikemas, sebaiknya digunakan kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara, dan diletakkan dengan menggunakan alas (papan). Alat transportasi yang digunakan untuk mengangknt kacang tanah hendaknya dipastikan bersih dari kontaminasi kapang Aspergillus flavfrs dan serangga. Selama transportasi sedapat mungkin dihindari peningkatan kelembaban dan fluktuasi suhu sehingga kondusif untuk pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin. Serangan serangga, bumng dan tikus juga sebagai salah satu faktor penyebab meningkatnya kontaminasi aflatoksin selama transportasi. Hal ini dapat dicegah dengan menutupi produk sehingga terhindar dari gangguan-gangguan tersebut.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang dipakai adalah explosion proof blender I liter, gelas ukur (kapasitas

250 ml dan 25 ml), pipet 25 ml terkalibrasi, labu pemisah 250 ml, gelas piala (50 ml, lOOml dan 400 ml), labu Erlenmeyer 500 mi, neraca analitik dengan kemampuan penimbangan yang memiliki ketelitian 0.0001 gram, pemanas listrik, labn distilasi, mistar, lempeng kromatografi (precoated kieselgel G plate), pipet mikro, syringe (ukuran 5 pl dan 1000 PI), detektor lampu UV fluoresens, pipet volumetrik 5 ml, 25 ml, pipet tetes, pipet mikro, kaca pembesar, aerator dan media tumbuh larva udang.

Bahan-bahan yang digunakan meliputi sampel kacang tanah yang diambil secara acak pada tanggal 18 Oktober 2008 dari 10 pasar

yaitu sampel A (pasar Bojong Cede), sampel B (pasar Ciputat), sampel C (pasar Ciampea), sampel D @asar Leuwiliang), sampel E (pasar Parung), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel H (pasar Cibinong), sampel 1 (pasar Depok), sampel J (pasar Cikokol, Tangerang), larva udang (/lrtemiu sulina), air lant, akuades, lamtan klorofbnn, larutan heksana, larutan aseton, larutan metanol, aliran gas nitrogen, NaCI, larutan campuran standar aflatoksin yang mengandung (Bl: 2.01

+

0.04 pg/mI; B2: 0.50050.025 pg/ml; GI: 2.01

+

0.04 pgtml; G2: 0.500 rt 0.025 pglml) setelah sebelumnya larutan campuran standar aflatoksin tersebut disimpan dalarn lemari pendingin.

Metnde Deteksi Aflatoksin dengan Cora Kromatografi Lapis Tipis Metode ini melipuri cara uji penetapan aflatoksin dalam produk kacang-kacangan, sereal dan produk hasii olahan secara semi kuantitatif menggunakan kromatografi lapis tipis. Metode penetapan aflatoksin ini sesuai dengan dokumen acuan SNI yaitu Official Methods of Analysis of the A.0.A.C 970. 45/49. 2.09. 2005. Prinsip sederhana dari metode ini adalah senyawa aflatoksin yang terdapat dalam sampel makanan nabati dieks!rak dalam pelarut organik yang sesuai, kemudian dipisahkan dengan kromatoyafi lapis tipis dan diidentifikasi di bawah sinar tampaw UV. Metode analisis ini dibagi menjadi dua tahap yaitu taliap pertama persiapan analat (contoli) dan tahap kedua adalah penetapan kadar aflatoksin dengan kromatografi lapis tipis serta identifikasi fluoresensi di bawah lampu UV.

Penyiapan Contoh

Sampel kacang tanah dilumatkan dalam blender laln diaduk sampai homogen, serta disimpan dalam botol bertutup rapat.

Identifikasi dan Deteksi Aflatoksin dengan Kromatografi Lapis Tipis

Sebanyak 25 gram contoh yang telah dipreparasi ditimbang de~igan neraca analitik dan dimasukkan Ice dalam blender explosion proof 1 liter. Setelall itu baru ditambahkan

(14)

dalam tabung sentrifus dan diputarkan pada kecepatan 2000 rpmtmenit (500 g) selama 5 menit. Namun apabila alat sentrifus tidak ada perlakuannya dapat digantikan dengan memindahkan campuran tersebut ke dalam labu Erlenmeyer 500 ml dan dibiarkan selama 30 menit agar terjadi pemisahan endapan dan cairan. Setelah itu sebanyak 25 ml lapisan metanol dipipet dan dimasukkan ke dalam labu pemisab 250 ml, lalu ditambahkan sebanyak 25 ml kloroform dan diekstrak dengan cara mengocoknya selama 1 sampai 2 menit. Selanjutnya kedua lapisan dibiarkan terpisah dan lapisan kloroform (lapisan bawah) dialirkan ke dalam labu Erlenmeyer 50 ml, perlu diperhatikan pula agar padatan tidak terbawa ke dalam kloroform. Kemudian diuapkan di atas pemanas listrik sampai hampir kering dan ekstrak dipindahkan ke dalam labu distilasi, lalu diuapkan sampai kering dengan menggunakan aliran nitrogen. Setelah itu ekstrak dilarutkan dengan 200 p1 kloroform dan pada lempeng kromatografi (precoated kieselgel G plate) dibuat dua garis lurus pada kedudukan 2 cm dan 12 cm dari salah satu sisi lempeng kromatografi. Selanjutnya larutan standar campuran aflatoksin (Bl, B2, G1 dan G2) ditotolkan masing-masing 0.5 p1, 1 p1, 2 yl, 3 p1 dan 5 pl serta cuplikan sampel ditotolkan sebanyak 5

p1 dan 10 1 1 dengan bantuan pipet mikro pada garis yang terletak dibagian bawah lempeng kromatografi dengan jarak penotolan masing- masing 1.5 cm. Setelah itu lempeng kromatografi dimasukkan ke dalam tangki pengembang yang berisi 100 mi campnran kloroform:aseton (9:l vlv) jenuh, lalu ditutup dan pelamt dibiarkan bergerak sampai batas yang ditentukan. Selanjutnya lempeng kromatografi dikeluarkan dari tangki pengembang dan dibiarkan kering, kemudian diamati fluoresensi yang terbentuk di bawah lampu maupnn detektor

UV

dengan panjang gelombang 366 nm.

Setelah itu apabila ada fluoresens contoh yang jarak Rf (retardation factor) sesuai dengan fluoresens standar segera diberi tanda. Apabila intensitas fluoresens terlalu rendah untuk diamati, larutan eksh.ak perlu segera dipekatkan dengan menguapkan larutan ekstrak sampai kering menggunakan aliran nitrogen dan penotolan pada lempeng kromatografi hendaknya segera diulangi dengan jumlah yang lebih besar. Selanjutnya kandungan aflatoksin BI, B2, GI dan G2 dalam sampel dapat dihitung (rumus perhitungan lihat tinjauan pustaka tentang metode deteksi aflatoksin).

Metode Uji Toksisitas LCSo Senyawa Aflatoksin rlalan~ Kacang Tanah

Metode ini dilakukan dengan cara membuat beberapa konsentrasi dari suatu ekstrak kacang tanah yang telah terdeteksi mengandung aflatoksin yang diujikan terhadap sejumlah larva udang Artenlia salina berumur satu hari dan setelah 24 jam kemudian dihitung junilah larva udang Artemia salina yang masih hidup untuk menentukan nilai LCw dengan derajat kepercayaan mencapai 95% (Mc Laughlin et

a1 1991). Pengujian toksisitas senyawa

cemaran aflatoksin yang terdapat di dalam kesepuluh sampel kacang tanah dan diekstrak menggunakan pelarut kloroform dilakukan terhadap larva udang (Arteniia salina) yang berumur kurang lebih 24 jam. Uji ini dilakukan terhadap sembilan variasi konsentnsi aflatoksin pada kacang tanah (10 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm dan 1000 ppm), masing-masing konsenhasi terdiri dari triplo dan kontrol (0 ppm) yang juga dilakukan secara triplo. Nasil dilihat setelah 24 jam, kemudian % mortalitas dihitung dan nilai LC30 ditetapkan dengan metode analisis probit. Ekstrak kasar dianggap toksik bila mempunyai LCso

<

1000 ppm dan senyawa murni toksik apabila LC3,

<

200 ppm (Mc Laughlin ef a1 1991).

Analisis Probit Toksisitas LCSo Aflatoksin pada Kacang Tanah

(15)

tanah yang mengandung aflatoksin ke dalam media menggunakan pipet mikro. Media tumbuh larva udang kemudian diinkubasi selama 24 jam. Setelah itu, dihitung banyaknya larva udang yang mati dan dibuat grafik regresi linear hubungan antara log konsentrasi ekstrak aflatoksin pada kacang tanah dengan probit kematian larva udang, sehingga dapat dihitung nilai LCSo melalui metode analisis probit dengan software SPSS (Mc Laughlin et a1 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Deteksi Aflatoksin Pada Kacang Tanah dengan TLC

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan mengambil sepuluh sampel kacang tanah yang diambil secara acak (random) dari sepuluh pasar yang berbeda yaitu sampel A (pasar Bojong Gede), sampel B (pasar Ciputat), sampel C (pasar Ciampea), sampel D (pasar Leuwiliang), sampel E (pasar Parung), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel

H

(pasar Cibinong), sampel

I

(pasar Depok), sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) maka diketahui bahwa hanya tiga sampel yang terdeteksi mengandung aflatoksin tipe 9 1 dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (tampak pada Gambar 6 dan 7). Senyawa aflatoksin lain seperti aflatoksin 92,

GI, G2 tidak terdeteksi.

Sampel kacang tanah yang terdeteksi mengandung aflatoksin B1 (Tabel 1) adalah sampel C (pasar Ciampea) dengan kadar 51.02 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5 p1 dan 63.77 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 p1, sampel E (pasar Parung) dengan kadar 12.63 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5 p1 dan 25.26 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 pl, sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) dengan kadar 25.65 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5

pl dan 38.48 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 p1. Setelah dikonversi maka diperoleh hasil yaitu kadar senyawa aflatoksin B1 yang terdeteksi pada sampel C (Pasay Ciampea) adalah sebesar 57.40 ppb, kadar senyawa aflatoksin BI yang terdeteksi pada sampel

E

(Pasar Parung) adalah sebesar 18.95 ppb, kadar senyawa aflatoksin 9 1 yang terdeteksi pada sampel J (Pasar Cikokol, Tangerang) adalah sebesar 32.07 ppb (contoh perbitungan deteksi kadar aflatoksin lihat lampiran I). Ketujuh sampel kacang tanah lainnya yaitu sampel A (pasar Bojong Gede),

sampel B (pasar Cipntat), sampel D (pasar Leuwiliang), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel

H

(pasar Cibinong), sampel

I

(pasar Depok) tidak terdeteksi mengandung aflatoksin baik tipe 81, 82, GI, G2. Ketujuh sampel kacang tanah tersebut diduga kandungan senyawa aflatoksinnya berada di bawah limit deteksi.

Ketiga sampel kacang tanah tersebut hanya mengandung kontaminan aflatoksin 91

(16)

tanah yang mengandung aflatoksin ke dalam media menggunakan pipet mikro. Media tumbuh larva udang kemudian diinkubasi selama 24 jam. Setelah itu, dihitung banyaknya larva udang yang mati dan dibuat grafik regresi linear hubungan antara log konsentrasi ekstrak aflatoksin pada kacang tanah dengan probit kematian larva udang, sehingga dapat dihitung nilai LCSo melalui metode analisis probit dengan software SPSS (Mc Laughlin et a1 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Deteksi Aflatoksin Pada Kacang Tanah dengan TLC

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan mengambil sepuluh sampel kacang tanah yang diambil secara acak (random) dari sepuluh pasar yang berbeda yaitu sampel A (pasar Bojong Gede), sampel B (pasar Ciputat), sampel C (pasar Ciampea), sampel D (pasar Leuwiliang), sampel E (pasar Parung), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel

H

(pasar Cibinong), sampel

I

(pasar Depok), sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) maka diketahui bahwa hanya tiga sampel yang terdeteksi mengandung aflatoksin tipe 9 1 dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (tampak pada Gambar 6 dan 7). Senyawa aflatoksin lain seperti aflatoksin 92,

GI, G2 tidak terdeteksi.

Sampel kacang tanah yang terdeteksi mengandung aflatoksin B1 (Tabel 1) adalah sampel C (pasar Ciampea) dengan kadar 51.02 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5 p1 dan 63.77 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 p1, sampel E (pasar Parung) dengan kadar 12.63 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5 p1 dan 25.26 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 pl, sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) dengan kadar 25.65 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5

pl dan 38.48 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 p1. Setelah dikonversi maka diperoleh hasil yaitu kadar senyawa aflatoksin B1 yang terdeteksi pada sampel C (Pasay Ciampea) adalah sebesar 57.40 ppb, kadar senyawa aflatoksin BI yang terdeteksi pada sampel

E

(Pasar Parung) adalah sebesar 18.95 ppb, kadar senyawa aflatoksin 9 1 yang terdeteksi pada sampel J (Pasar Cikokol, Tangerang) adalah sebesar 32.07 ppb (contoh perbitungan deteksi kadar aflatoksin lihat lampiran I). Ketujuh sampel kacang tanah lainnya yaitu sampel A (pasar Bojong Gede),

sampel B (pasar Cipntat), sampel D (pasar Leuwiliang), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel

H

(pasar Cibinong), sampel

I

(pasar Depok) tidak terdeteksi mengandung aflatoksin baik tipe 81, 82, GI, G2. Ketujuh sampel kacang tanah tersebut diduga kandungan senyawa aflatoksinnya berada di bawah limit deteksi.

Ketiga sampel kacang tanah tersebut hanya mengandung kontaminan aflatoksin 91

(17)
[image:17.608.88.516.74.445.2]

Gambar 6 Kromatogram TLC hasil analisis Gambar 7 Deteksi aflatoksin dengan KLT di aflatoksin kacang tanah pada lampu dalam detektor UV fluoresens 366 UV fluoresens 366

nrn.

(I) Sampel nm. (1) San~pel B 5 p1, (2) Standar C, (2) Standar aflatoksin G1, (3) aflatoksin B1, (3) Sampel C 5 p1, Standar aflatoksin B1,(4) Sampel E, (4) Sampel C 10 p1, (5) Sampel D (5) Sampel J . 5 p1, (6) Sampel 1? 5 p1, (7) Sampel E 10 p1, (8) Sampel J 5 p1, (9) Sampel J 10 pl.

l'abel I Hasil deteksi kadar aflatoksin B 1, B2, GI, G2 (dalam ppb) pada sampel kacang tanah dari 10 pasar yang berbeda dengan kromatografi lapis tipis

Sampel Bobot Vol Hasil analisis kadar aflatoksin (ppb)

sampel (g) sampel (pi) B1 B2 GI G2

A 25.3542 5 .O <4.5

<

1 15 < 4 5 < 1 15

10.0

B 25.4127 5.0

10.0

C 25.2136 5.0

10.0

D 25.7143 5.0

10.0

E 25.4606 5.0

10.0

F 25.1228 5.0

10.0

G

25.0081 5.0

10.0

H

25.8724 5.0

10.0

I 25.0314 5.0

10.0

J 25.0752 5.0

10.0

Kadar aflatoksin di bawah kisaran nilai limit deteksi tersebut, tidak terbaca pada kromatogram yang divisualisasi oleh detektor UV fluoresens. Hasil analisis kromatogram

-

- -

< 4.5 < 1.35 < 4.5

<

1.35 <4.5

<

1.35 < 4.5 < 1.35 1 4 . 5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 51.02 < 1.35 < 4.5 < 1.35 63.77 < 1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 12.63 < 1.35 <4.5 < 1.35 25.26 1.35 < 4.5

<

1.35

<

4.5

<

1.35 <4.5

<

1.35

<

4.5

<

1.35

<

4.5 < 1.35 < 4.5

<

1.35 i 4 . 5

<

1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5

<

1.35

<

4.5

<

1.35 <4.5 < 1.35 < 4.5 1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 <4.5 < 1.35

< 4.5 1 1.35 < 4.5 < 1.35 25.65 < 1 35 e 4 . 5 < 1.35

38.48 < 1.35 < 4.5 < 1.35

[image:17.608.95.517.431.719.2]
(18)

standar aflatoksin BI konsentrasi 2.01 f 0.04 pg/ml, standar aflatoksin B2 konsentrasi 0.500k 0.025 pglml, standar aflatoksin GI konsentrasi 2.01

f

0.04 pg/ml, standar aflatoksin G2 konsentrasi 0.500

i

0.025 pg/ml kurang dari 0.5

PI.

Secara semi kuantitatif diketahui bahwa limit deteksi standar aflatoksin B1 kurang dari 4.5 ppb, limit deteksi standar aflatoksin B2 kurang dari 1.35 ppb, limit deteksi standar aflatoksin G1 kurang dari 4.5 ppb, limit deteksi standar aflatoksin G2 kurang dari 1.35 ppb. Nilai tersebut diperoleh dengan bantuan jasa analisis dari laboratorium analisis kalibrasi Balai Besar Industri Agro (BBIA) menggunakan instrumen HPLC. Limit deteksi mempakan koreksi alat

untuk

menentukan nilai akhir suatu penetapan.

Pendeteksian aflatoksin pada kacang tanah dengan pemberian metanol sebagai pelamt aflatoksin pada sampel sehingga dapat terpisah dari berbagai komponen yang lain, sedangkan pemberian garam NaCl sebagai pelarut fisiologis bemjuan agar kondisi sampel lebih stabil. Penambahan larutan heksana yang benifat non polar akan membantu melarutkan biomolekul lemak (lipid) yang terkandung dalam sampel kacang- kacangan maupun produk olahannya. Perlakuan sentrifus pada kecepatan 2000 rpm (500 g) selama 5 menit akan membantu memisahkan endapan pelet yang larut dalam heksana @erisi lemak) dengan supernatan yang larut dalam metanol (berisi senyawa aflatoksin yang akan dianalisis). Penambahan larutan kloroform pada lapisan metanol (supernatan) dimaksudkan untuk mengekstrak senyawa aflatoksin yang masih tercampur dengan senyawa lain pada sampel sehingga diperoleh aflatoksin dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Klorofonn sebagai pelarut utama dari ekstrak sampel berisi senyawa aflatoksin yang akan ditotolkan pada lempeng kromatografi silika (precoated kieselgel G plate).

Penguapan sampel sampai kering menggunakan aliran gas nitrogen dimaksudkan untuk memekatkan ekstrak sehingga diperoleh kadar yang dapat dideteksi oleh kromatograti lapis tipis. Campuran pelarut organik k1oroform:aseton dengan perbandingan ( 9 1 vlv jenuh) digunakan sebagai eluen yang sangat optimum untuk analisis kadar senyawa aflatoksin BI, B2, GI dan G2. Larutan eluen tersebut dijenuhkan terlebih dahuln sehari semalam agar hasil pemisahan menjadi lebih baik.

Detektor UV fluoresens dapat membantu proses visualisasi senyawa aflatoksin BI, B2, GI dan G2 berdasarkan perbedaan pendaran warna. Aflatoksin Dl dideteksi dengan munculnya walna iluoresens bim tua, aflatoksin 8 2 dideteksi dengan munculnya warna fluoresens biru muda pudar. Aflatoksin

G1 dideteksi dengat1 munculnya warna fluoresens hijau tua, sedangkan aflatoksin G2 dideteksi dengati munculnya warna hijau muda pudar. Jika pada sampel yang telah dielusi tidak muncul warns fluoresensi yang sesuai dengau jarak Rf pada standar maka dapat diietahui bahwa kadar aflatoksin dalam komoditi kacang dan produk olahannya sangat rendah yaitu di bnwah limit deteksi. Munculnya warna fluoresensi lain yang berbeda dari standar aflatoksin, serta jarak Rf yang tidak sama dengan standar aflatoksin menunjukkan bahwa terdapat senyawa pengotor lain di dalam sampel produk kacang- kacangan tersebut di luar senyawa aflatoksin B1, B2, GI dan G2.

Kekurangan metode kromatografi lapis tipis yang digunakan untuk menganafisis kadar aflatoksin pada sampel kacang tanah dan produk olahannya antara lain adalah preparasi sampel untuk analisis memerlukan waktu yang relatif lama, waklu penjenuhan eluen (fase gerak) yang lnemerlukan waktu sehari semalam (24 jam). I-Iasil analisis kromatografi lapis tipis masih bersifat semi kuantitatif, sensitivitas rcndah, tingkat kesalahan analis~s dengan menggunakan detektor UV fluoresens cukup tinggi karena sering terjadi kesalalian paralaks yang disebabkan oleh pengamatan wama fluoresens yang timbul dan jarak Rf yang dibandingkan berbeda antam standar aflatoksin dengan sampel. Kelebihan dari metode ini adalah biaya yang diperlukan untuk melakukan analisis jauh lebih murah serta tidak memerlukan keahlian yang terlalu rumit dalam mengoperasika~l instrumen bila dibandingkan dengan tnetode lain seperti analisis dengan HPLC maupun menggunakan KIT ELISA.

Hasil Uji Toksisitas LCso dengan Analisis Probit dari Ekstrak Kasar Aflatoksin

pada Kacang Taliah

(19)

Artemia salina untuk ekstrak kasar aflatoksin dalam kacang tanah didasarkan pada prinsip sederhana bahwa kematian organisme zoologik secara in vivo merupakan metode dasar monitoring yang mudah untuk penapisan dan kaksinasi senyawa bioaktif aflatoksin tersebut (Mc Laughlin ei a1 1991). Metode pengujian BST dengan menggunakan Artemia salina dianggap berkorelasi dengan daya sitotoksik. Uji toksisitas LC5, dengan menggunakan Artemia salina dilakukan pada sampel kacang tanah yang telah terdeteksi mengandnng aflatoksin

B

1 (sampel kacang tanab C dari pasar Ciampea, sampel kacang tanah E dari pasar Pamng, sampel kacang tanah J dari pasar Cikokol, Tangerang) berdasarkan uji pendahuluan dengan kromatografi lapis tipis.

Terdapat beberapa tingkatan dalam analisis suatu senyawa kimia yang memiliki efek toksisitas. Pada tingkatan letal atau subletal dari pencampuran (asimilasi) zat

kimia, tubuh makhluk hidup dapal menginduksi serangkaian pengaruh biologis (Rosenthal dan Alderdice 1976). Secara kualitatif, p e n g a ~ h letal dapat didefinisikan sebagai tanggapan yang tejadi pada saat zat-

[image:19.602.335.492.154.334.2]

zat kilnia mengganggu proses dalam tubuh sampai suatu batas kematian. Pengaruh subletal adalah pengaruh yang memsak kegiatan fisiologis atau perilaku tetapi tidak menyebabkan kematian langsung meskipun kematian dapat terjadi (Morianly 1983).

Gambar 8 Ekstrak kasar kaca& tanah yang mengandung aflatoksin B 1 dengan menggunakan pelarut kloroform.

Tabel 2 Hasil pengamatan LC5o untuk uji toksisitas aflatoksin pada kacang tanah sampel C (pasar

10 20 ekor 1 0 I 0.67 3.35 %

50 20 ekor 3 2 2 2.33 11.65 %

100 20 ekor 5 3 4 4 20 %

150 20 ekor 7 5 6 6 30 %

200 20 ekor 8 7 7 7.33 36.65 %

250 20 ekor 9 8 9 8.67 43.35 %

500 20 ekor 13 12 13 12.67 63.35 %

750 20 ekor I6 14 15 15 75 %

1000 20 ekor 18 16 17 17 85 %

Tabel 3 Hasil pengamatan LCsII untuk uji toksisitas aflatoksin pada kacang tanah sampel E (pasar Parung) dengan menggunakan larva udang (Arthenzia salina)

Konsentrasi Jumlah larva Jumlah larva udang yang rnati rata-rata % kematian

(ppm) udang awal 1 2 3 kematian

0 20 ekor 0 0 0 0

0

%

10 20 ekor 0 0 1 0.33 1.65 %

50 20 ekor 1 1 2 1.33 6.65 %

100 20 ekor 2 3 4 3 15 %

150 20 ekor 4 4 6 4.67 23.35 %

200 20 ekor 6 7 7 6.67 33.35 %

250 20 ekor 8 9 9 8.67 43.35 %

500 20 ekor 10 11 12 I1 55 %

750 20 ekor 13 13 14 13.33 66.67 %

(20)

'Tabel 4 Hasil pengamatan LCSo untuk uji Loksisitas aflatoksin pttda kacang tanah sampel J (pasar Cikoko1,Tangerang) dengan menggunakan larva udang (Arthernia sulina)

Konsentrasi Jumlah larva Jumlah larva udang vmg mati rata-rata % kematian

(ppm) udang awal 1 2 3 kenlatian

0 20 ekor 0 0 0 0 0 %

1

10 20 ekor 0 1 0 0.67 1.65 %

50 20 ekor 1 3 1 1.67 8.35 %

100 20 ekor 3 5 4 4

Gambar

Gambar 1 Struktur kimia Aflatoksin.
Gambar 2 Siklus hidup Arlemia salina Leach (0-Fish 2007).
Gambar 4 Skema kromatografi lapis tipis.
Gambar 6 Kromatogram TLC hasil analisis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada kalimat (41) dan (42) adalah kalimat yang bermakna leksikal atau literal yang mana maknanya sesuai dengan kalimat yang diinginkan penulis, yaitu kalimat

Tujuan penelitian ini adalah (i) memperoleh model estimasi pemakaian listrik dengan pendekatan Metode Recursive Least Square (RLS) (ii) mendapatkankan karakteristik

Data yang dikumpulkan berupa data primer hasil wawancara meliputi persepsi kondisi sanitasi lingkungan yang terdiri dari kamar mandi, ketersediaan sumber air bersih,

Prosedur pembelajaran interaktif konsep barisan konvergen yang dapat membangun pemahaman konsep barisan konvergen pada mahasiswa semester IV offering C angkatan

Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

Dari hasil pembahasan serta analisa bebagai macam sumber-sumber energi terbarukan yang dapat digunakan sebagai pembangkit altenatif energi listrik, yaitu: energi angin, energi

Setelah adanya proses formulasi kebijakan, selanjutnya adalah proses implementasi kebijakan. Dimana implementasi kebijakan tersebut terdiri dari isi kebijakan dan

Berdasarkan hasil penelitian menyatakan motif yang digunakan siswa SMA Negeri 4 Manado adalah ( In order Motive ) motif masa depan. Hasil penelitian mengungkapkan