• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Sagu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Sagu"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Sagu

Sagu merupakan tanaman rumpun dan berkembang biak dengan membentuk anakan. Sagu termasuk tumbuhan monokotil dalam family Palmae, subfamily Lepidocaryoideae serta genus Metroxylon. Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Menurut Oates dan Hicks (2002) tanaman sagu masih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.250 m dpl dengan curah hujan 4.500 mm/tahun. Di Indonesia, masyarakat mengenal dua jenis penghasil tepung sagu yang utama, yaitu dari jenis Metroxylon dan jenis Arenga (sagu aren). Berbeda dengan sagu Metroxylon, sagu aren tumbuh pada lahan yang relatif lebih kering, dan banyak ditemukan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Kandungan tepung dari pohon sagu aren juga relatif lebih sedikit.

Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi sagu terbesar, bahkan terluas di seluruh dunia. Menurut Ama (2002) luas lahan sagu yang terdapat di Papua adalah 771.716 hektar atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional. Adapun wilayah sebarannya di Waropen bawah, Monokrawi, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang belum terinventarisasi. Papua merupakan daerah sagu yang sangat potensial, karena disamping memiliki banyak jenis sagu, produktivitas beberapa jenis sagu tersebut cukup tinggi. Selain Papua tanaman sagu tersebar di Maluku, Sulawesi, dan Pulau Mentawai terutama berasal dari spesies Metroxylon sagu (McClatchey et al, 2006) serta beberapa daerah di jawa barat seperti Bogor, Sukabumi dan Banten.

Miyazaki (2004) dalam Limbongan (2007) mengelompokkan 21 jenis sagu asal Papua, dimana 10 jenis termasuk sagu berduri (Metroxylon rumphii Mart) yaitu : Manno, Mongging, Para Hongleu, Para Hongsay, Para Waliha, Puy, Rondo, Ruruna, Yakhalobe, dan Ebefum. Sisanya termasuk sagu tidak berduri (Metroxylon sagu Rottb) yaitu : Folio, Hobolo, Osokulu Honglue, Osokulu Hongsay, Panne, Yakhe, Yakhu Walo, Yepha Honglue, Yepha Hongsay, Winanbo dan Wani. Berbagai jenis sagu tersebut mempunyai morfologi, produktifitas dan karakteristik tepung berbeda yang dapat digunakan sebagai seleksi dan identifiksi

(2)

sagu yang potensial untuk bahan baku produk pangan. Beberapa jenis pohon sagu di Papua dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Beberapa jenis sagu di Papua, yaitu (a) Sagu para, (b) Sagu berduri, dan (c) Sagu tidak berduri. (Limbongan, 2007)

Masyarakat Papua mengkonsumsi sagu dalam bentuk papeda basah, papeda kering, dan bentuk lempengan, serta hampir setiap bagian tanaman sagu dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan (Flach, 1997). Penduduk lokal menggunakan daun sagu sebagai bahan baku atap rumah. Batang sagu dapat dipisahkan menjadi dua bagian yaitu bagian kayu dan empulur. Kayu tanaman sagu bersifat cukup kuat sehingga dapat digunakan untuk bahan bangunan rumah. Selain itu, kayu sagu dapat digunakan sebagai bahan baku kertas. Dalam industri pangan, pati teroksidasi digunakan sebagai pengental, pengemulsi, pengikat, dan pencegah sineresis untuk mempertahankan mutu pangan.

Produk utama sagu yaitu ekstrak dari empelur atau batang tanaman. Batang tanaman sagu merupakan tempat penyimpanan pati atau karbohidrat. Kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda, tergantung pada umur dan spesies tanaman sagu, serta lingkungan tempat sagu itu tumbuh. Semakin tua umur tanaman sagu, kandungan pati dalam empulur semakin besar dan pada umur tertentu kandungan pati tersebut akan menurun (Flach, 1983). Biasanya tanaman sagu dipanen setelah berumur 8−10 tahun. Namun , jika tanaman dibudidayakan dengan baik, sagu dapat dipanen pada umur 6−7 tahun (Flach,1980).

(3)

Pati sagu diperoleh dari empulur batang (Metroxylon spp) sagu dengan cara ekstraksi. Sifat dan kualitas pati sagu dipengaruhi oleh faktor genetik serta proses ekstraksinya, seperti peralatan dan air yang digunakan, cara penyimpanan potongan batang sagu, dan penyaringan (Flach, 1997). Adapun tahapan ekstraksi pati sagu yaitu: penebangan batang sagu, pembelahan batang sagu menjadi dua bagian, pemisahan empulur sagu dari bagian batang sagu yang keras dengan penohokan, penghancuran empulur sagu dengan pemarutan atau penggilingan bersama air, pemisahan pati sagu dan komponen lain dari bubur pati sagu dengan cara pengendapan, pemisahan endapan pati dan bagian lain yang larut air, pengeringan endapan (pati sagu) dengan menggunakan sinar matahari (Flach, 1997). Salah satu contoh proses ekstraksi pati sagu di Daerah Sukabumi skala industri kecil dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Proses ekstraksi pati sagu di Daerah Sukabumi dalam skala industri kecil (a) Pemotongan batang sagu (b) Pembelahan batang sagu (c) Pemarutan batang sagu (d) Pencucian parutan batang sagu (e) Perendaman pati sagu (f) Penyaringan pati sagu (g) Penjemuran pati sagu menggunakan sinar matahari

a b c

f e

d

(4)

Menurut Flach (1983) pati sagu yang diperoleh dari proses ekstraksi empulur batang sagu mengandung 20.2-29% pati, 50-66% air dan 13.8-21.3% bahan lain atau ampas. Rendemen pati sagu yang dihasilkan empulur batang sagu berkisar antara 15-30%. Jika dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54-60% pati dan 40-46% ampas. Sedangkan, jumlah pati yang dihasilkan dari tiap pohon adalah berkisar antara 90-325 kg. Tanaman sagu yang tumbuh dalam kondisi paling baik dapat menghasilkan 15-25 ton pati sagu kering per hektar (Flach, 1997). Sagu sebagai bahan pokok memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bahan pangan lainnya, yaitu dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim serta kecilnya resiko terkena penyakit tanaman (Djoefrie, 1999).

Seperti bahan pangan lainnya, pati sagu juga mempunyai kandungan kimia yang tidak jauh berbeda yaitu terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan lain-lain. Pati sagu mengandung 3.65-5.96% serat pangan dan karbohidrat 80.35-85.9%. Jumlah karbohidrat sagu relatif lebih tinggi dibandingkan beras (80.40%), jagung (71.70%), ubi kayu (23.70%) dan kentang (23.70%). Kandungan lemaknya juga lebih rendah (0.20 gram) dibandingkan dengan beras (0.80 gram). Kandungan nilai gizi sagu dibandingkan pangan lainnya menurut Direktorat gizi departemen kesehatan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan nilai gizi sagu dibandingkan pangan lainnya

Komposisi Sagu Beras Jagung Ubi kayu Kentang Kandungan Per 100 gram bahan yang dapat dimakan

Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat(%) Kalsium (mg) Besi (mg) Teomin (mg) Riboflavin Niasin (mg) Vitamin (mg) 357.00 1.40 0.20 85.90 15.00 1.40 0.01 - - - 366.00 0.40 0.80 80.40 24.00 1.90 0.10 0.05 2.10 0.0 349.00 9.1 4.20 71.70 14.00 2.80 0.29 0.11 2.10 0.00 98.00 0.70 0.10 23.70 19.00 0.60 0.04 0.03 0.40 21.00 71.00 1.70 0.10 23.70 8.00 0.70 0.09 0.03 1.40 16.00 Sumber : *) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1995)

(5)

Pati sagu umumnya berwarna putih, namun ada pula yang secara genetik berwarna kemerahan seperti Yepha, Fikhela, dan Ruruna karena mengandung senyawa fenol. Menurut Purwani et al (2006), derajat putih sagu bervariasi dan dapat berubah menjadi kecoklatan atau kemerahan selama penyimpanan. Perubahan warna tersebut disebabkan adanya aktivitas enzim Latent polyphenol Oxidase (LPPO). Enzim ini mengkatalis reaksi oksidasi senyawa polifenol menjadi kuinon yang selanjutnya membentuk polimer dan menghasilkan warna coklat (Onsa et al. 2002).

Karakteristik Kimia Pati Sagu

Menurut Winarno (1980) pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan oleh air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Seperti halnya pati dari sumber lainnya, molekul pati sagu juga disusun oleh amilosa dan amilopektin. Baik amilosa maupun amilopektin disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain melalui ikatan glikosidik. Perbedaan antara amilosa dan amilopektin terletak pada pembentukan percabangan pada struktur linearnya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati. Amilosa dan amilopektin berperan dalam menentukan karakteristik fisik, kimia dan fungsional pati. Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik gel karena kehadiran amilosa berpengaruh terhadap pembentukan gel (Parker, 2003).

Amilosa merupakan polimer lurus dari D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4-glikosidik dengan struktur cincin piranosa. Berat molekul amilosa berkisar antara 105-106 Da dengan derajat polimerisasi yang mencapai kisaran 500-6000 (Colonna dan Buleon, 1992). Banyaknya gugus hidroksil yang terdapat dalam senyawa polimer glukosa tersebut menyebabkan amilosa bersifat hidrofilik. Struktur molekul amilosa dapat dilihat pada Gambar 3.

(6)

Gambar 3 Struktur molekul amilosa (Chaplin, 2006)

Sementara itu, amilopektin merupakan molekul polisakarida dengan rantai cabang. Ikatan pada rantai utama adalah ikatan α-1,4-glikosidik, sedangkan ikatan pada titik cabang adalah ikatan α-1,6-glikosidik (Young, 1984). Amilopektin mempunyai ukuran molekul yang sangat besar dengan berat molekul yang

mencapai 107-109 (Colonna dan Buleon, 1992) dan derajat polimerisasi 3 x 105- 3 x 106 (Zobel, 1988). Struktur molekul amilopektin ditunjukkan pada

Gambar 4.

(7)

Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda demikian juga dengan bentuk dan ukuran granula yang disusunnya. Umumnya, pati memiliki proporsi amilopektin yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Kandungan amilosa pada kebanyakan sumber pati biasanya berkisar antara 20-30% dan amilopektin 70-80% (Chaplin, 2006). Adanya perbedaan karakteristik granula pati akan sangat berpengaruh pada sifat fisik, sifat kimia dan sifat fungsional pati. Viskositas, ketahanan terhadap pengadukan, gelatinisasi, pembentukan tekstur, kelarutan pengental, kestabilan gel, cold swelling dan retrogradasi dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin serta ukuran granula pati.

Menurut Flach (1983) pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya, jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lengket dan mudah menyerap air (higroskopis).

Molekul amilosa dan amilopektin menyusun granula pati dengan pola tertentu (Jane, 2006). Struktur amilosa yang lurus cenderung berada pada bagian amorphous dari granula pati. Sementara itu, amilopektin yang dapat membentuk struktur double heliks bertanggung jawab terhadap bagian kristalin granula pati. Rantai-rantai samping amilosa dan amilopektin yang berdampingan dapat saling berinteraksi sehingga memberikan integritas pada granula pati yang disusunnya (Jane, 2006).

Karakteristik Fisik Pati Sagu

1 Gelatinisasi Pati

Gelatinisasi pati merupakan suatu fenomena ketika pati dipanaskan bersama air, sehingga menyebabkan pati mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti dengan peningkatan viskositas yang kemudian akan membentuk pasta. Pada saat mengalami gelatinisasi, setiap jenis pati akan memperlihatkan karakteristik gelatinisasi yang berbeda tergantung pada jenis pati. Karakteristik ini dapat

(8)

digunakan sebagai salah satu penentu sifat fungsional pati dalam aplikasinya sebagai bahan baku atau bahan tambahan produk pangan.

Pada mulanya pengembangan granula pati bersifat bolak balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi. Akan tetapi, jika pemanasan telah mencapai suhu tertentu pengembangan granula pati menjadi irreversible dan terjadi perubahan struktur granula. Proses ini disebut gelatinisasi dan suhu terjadinya gelatinisasi disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati sagu secara umum berkisar antara 60-72o

Pati yang memiliki kandungan amilosa yang tinggi sangat sukar menggelatinisasi karena molekul amilosa cenderung berada dalam posisi sejajar, sehingga gugus-gugus hidroksilnya dapat berikatan dengan bebas dan pati akan membentuk kristal agregat yang kuat (Anonim 1983; Fardiaz dan Afdi 1989; Ahmad 2009). Sebaliknya, pati yang memiliki komponen amilopektin tinggi sangat sukar untuk berikatan sesamanya karena rantainya bercabang, sehingga pati yang amilopektinnya tinggi sangat mudah mengalami gelatinisasi tetapi viskositasnya tidak stabil. Kandungan amilosa dan amilopektin dari setiap jenis pati dapat dilihat pada Tabel 2.

C (Swinkels 1985 dalam Emanuel 2005). Setiap pati memiliki suhu gelatinisasi yang berbeda-beda. Ini bisa dikarenakan populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukannya untuk mengembang. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh pemasakan, pengadukan, dan konsentrasi pati.

Tabel 2 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati

Sumber pati Amilosa (%) Amilopektin (%)

Sagu Jagung Beras Kentang Gandum Ubikayu 27 28 17 21 28 17 73 72 83 79 72 83 Sumber : Herliana dalam Noerdin (2008)

Selama gelatinisasi terjadi perubahan antara lain pengembangan butir-butir pati, perubahan kekeruhan dan kenaikan viskositas. Pengembangan butir-butir pati terjadi bersamaan dengan perubahan kekeruhan. Pemanasan dapat meningkatkan

(9)

energi kinetis molekul air. Jika energi kinetis molekul air telah cukup besar, energi kinetis tersebut dapat mengalahkan daya tarik antara molekul-molekul pati dalam granula, sehingga air akan masuk ke dalam butir-butir pati, akibatnya pati akan mengembang (Winarno, 1980).

Pati alami bersifat tidak larut dalam air dingin, akan tetapi mengalami pengembangan volume jika suspensi air-pati tersebut dipanaskan (Winarno, 1980). Apabila pemanasan dilanjutkan dalam jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pendinginan maka perubahan viskositas pati akan membentuk karakteristik yang berbeda-beda tergantung kepada jenis pati.

Berdasarkan karakteristik yang terbentuk, tipe gelatinisasi pati dapat digolongkan menjadi 4 tipe, yaitu A, B, C, dan D (Schoch dan Maywad 1968 dikutip oleh Collado et al, 2001). Tipe A memiliki ciri kemampuan pengembangan yang tinggi dengan ditunjuknya viskositas puncak tinggi, namun akan mengalami penurunan viskositas yang tajam selama pemanasan. Tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengembang sehingga tidak dapat membentuk pasta apabila dipanaskan.

Karakteristik gelatinisasi dapat diamati dengan menggunakan rapid visco analyzer (RVA) (Collado dan Corke, 1999; Collado et al., 2001) dan brabender amilografi. Informasi yang dapat diperoleh dari instrumen tersebut antara lain suhu awal gelatinisasi (kurva mulai naik), suhu puncak gelatinisasi (kurva mencapai puncak), stabilitas pasta pati terhadap pemanasan (yaitu ketika pemansan ditahan pada suhu 92oC), dan setback (peningkatan viskositas kembali karena adanya pembentukan gel pada suhu rendah).

2 Ukuran dan Bentuk Granula Pati

Menurut Belitz dan Grosch (1999) pengaturan dan susunan molekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati bersifat khas untuk setiap sumber pati

(10)

sehingga akan menentukan bentuk dan ukuran granula. Struktur amilosa yang cenderung lurus sebagian besar berada pada bagian amorphous dari granula pati dan sebagian kecil menyusun bagian kristalin pati. Sementara itu, molekul amilopektin berperan sebagai komponen utama penyusun bagian kristalin pati.

Granula pati sagu native memiliki bentuk oval dengan ukuran yang cukup besar. Ukuran granula yang besar mengindikasikan tingginya kemampuan menyerap air pada saat mengalami gelatinisasi. Hal ini yang memungkinkan pati alami memiliki viskositas yang tinggi. Bila dibandingkan dengan beberapa jenis pati lainnya, granula pati sagu mempunyai ukuran yang relatif besar yaitu mencapai rata-rata 24.8µm (Yiu et al, 2008) atau 25 µm (Wattanachant et al, 2002). Bentuk granula pati sagu dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b)

Gambar 5 Bentuk granula (a) Pati sagu (metroxylon), (b) Pati sagu aren (Haryanto dan Pangloli, 1992)

Granula pati mampu merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga kontras gelap terang yang tampak sebagai warna biru kuning yang disebut dengan sifat birefringence. Sifat ini akan terlihat jika pati diamati di bawah mikroskop polarisasi (Hosseney, 1998). Warna biru kuning pada permukaan granula pati disebabkan adanya perbedaan indeks refraksi dalam granula pati. Indeks refraksi dipengaruhi oleh struktur amilosa dalam granula pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Jika arah getar dari gelombang cahaya paralel terhadap sumbu heliks amilosa, terjadi penyerapan cahaya secara intensif. Intensitas sifat birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal (French 1984 dalam Saripudin 2006). Pati native dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah mikroskop akan

(11)

memperlihatkan pola birefringence yang jelas pada daerah gelap terangnya. Sedangkan pada pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence nya secara bertahap akan hilang tergantung pada suhu dan waktu yang digunakan.

Hilangnya sifat birefringence pati disebabkan pecahnya ikatan molekul pati sehingga ikatan hidrogen dapat mengikat lebih banyak molekul air. Penetrasi air menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan dan molekul pati yang terpisah serta penurunan keberadaan sifat kristal, sehingga jika pemanasan dilanjutkan maka sifat kristal dan sifat birefringence akan hilang. Sifat birefringence pati dapat hilang dengan pemanasan di atas suhu gelatinisasi pati. Granula pati dengan kandungan amilopektin tinggi (waxy starch) memperlihatkan pola birefringence yang sama seperti pati asli tersebut, sedangkan granula pati dengan kadar amilosa tinggi sering tidak memperlihatkan pola birefringence nya (Wirakartakusumah 1981 dalam Mukodiningsih 1991).

Karakteristik Gelatinisasi Pati Sagu Native

Pati sagu memiliki karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan pati lain. Namun demikian, pati sagu mempunyai karakteristik yang lebih mendekati karakteristik pati umbi-umbian yaitu memiliki ukuran granula yang besar (Yiu et al, 2008), memiliki indeks pembengkakan (swelling power) dan kelarutan (solubility) yang tinggi (Wattanachant et al.,2002) serta karakteristik gelatinisasi tipe A (mempunyai puncak viskositas tinggi, namun akan menurun dengan tajam pada saat dipanaskan terus menerus pada suhu tinggi (95o

Pati dengan tipe A cenderung tidak tahan terhadap proses pemanasan dan pengadukan sehingga pati sagu native kurang dapat diaplikasikan untuk proses pengolahan yang menggunakan panas dan pengadukan untuk pembentukan teksturnya. Modifikasi yang dilakukan pada pati sagu native diharapkan dapat merubah karakteristiknya sehingga dapat diaplikasikan secara luas pada berbagai produk pangan. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa tanaman sagu terdiri atas berbagai spesies dan berbagai jenis (varietas) yang menyebabkan adanya perbedaan karakteristik sagu yang dihasilkan. Selain itu, karakteristik pati sagu juga akan dipengaruhi oleh tempat tumbuhnya.

(12)

Modifikasi Pati Metode Heat Moisture Treatment (HMT)

Modifikasi pati adalah mengubah sifat asli pati dengan merubah sifat kimia dan/atau fisiknya dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik atau memperbaiki sifat sebelumnya sehingga mempunyai karakteristik yang sesuai atau yang dikehendaki. Sifat-sifat yang diubah umumnya adalah karakteristik gelatinisasi, hubungan padatan dan kekentalan, kemampuan membentuk gel, kekuatan menahan air dispersi pati pada suhu rendah, sifat hidrofilik, ketahanan dispersi terhadap penurunan kekentalan oleh asam dan perusakan secara fisik serta memasukkan sifat ionisasi pati asal (Wurzburg 1989 dalam Emanuel 2005).

Modifikasi pati dapat dikelompokkan ke dalam beberapa teknik, yaitu secara fisik, kimia, dan konversi. Yang termasuk teknik modifikasi secara fisik yaitu modifikasi pati dengan heat moisture treatment (HMT) dan pregelatinisasi. Modifikasi secara kimia diantaranya adalah teknik eterifikasi, esterifikasi ikatan silang (cross-linking), sedangkan modifikasi konversi diantaranya adalah hidrolisis dengan asam secara parsial, hidrolisis enzimatik secara parsial, alkalinasi, oksidasi, dekstrinikasi (Singh et al 2007; Ahmad, 2009). Metode modifikasi ini dapat dilakukan secara tunggal baik secara kimia maupun konversi dan juga kombinasi antara keduanya. Masing-masing metode modifikasi tersebut akan menghasilkan karakteristik pati termodifikasi yang berbeda-beda dan ditunjukkan untuk proses pengolahan tertentu sesuai dengan kebutuhan proses dan penyimpanan produk.

Bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi pati yang dilakukan secara fisik relatif lebih aman dan lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Oleh karena itu, pati yang dihasilkan dari modifikasi fisik dapat digunakan sebagai bahan baku pangan. Penggunaan pati termodifikasi fisik yang cukup luas adalah pada berbagai produk instan seperti nasi instan, bubur instan, puding instan dan lain-lain. Pemilihan metode modifikasi pati didasarkan kepada pemenuhan kriteria proses dan mutu akhir dari produk.

Heat moisture treatment (HMT) adalah modifikasi fisik pati yang tidak merusak granula. Purwani et al (2006) menyatakan modifikasi pati dengan metode HMT merupakan modifikasi yang dilakukan secara fisik dengan menggunakan

(13)

kombinasi kadar air dan pemanasan diatas suhu gelatinisasi. Collado et al (2001) menyatakan modifikasi HMT adalah metode modifikasi secara fisik yang dilakukan dengan perlakuan panas dengan suhu diatas suhu gelatinisasi pada kadar air yang terbatas (< 35%).

Kadar air yang berbeda mempengaruhi besarnya peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan viskositas pasta pati (Hoover dan Manuel, 1995). Peningkatan suhu gelatinisasi pada pati sagu termodifikasi HMT menandakan perubahan bentuk granula pati (Pukkahuta dan Varavinit, 2007). Menurut Manuel (1996) perubahan-perubahan yang terjadi pada parameter fisik pati disebabkan adanya hubungan antara faktor berikut, yaitu: (i) terjadinya perubahan struktur pada area berkristal (crystalline) dan area tak beraturan (amorphous) pada granula pati, serta (ii) terjadinya modifikasi fisik pada bagian permukaan granula pati selama proses HMT berlangsung. Modifikasi pati dengan teknik HMT dapat merusak bentuk granula pati sehingga terbentuk lubang dipermukaannya. Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat HMT berlangsung mengakibatkan area amosphous pati mengembang, kemudian menekan keluar area berkristal sehingga terjadi kerusakan dan pelelehan area berkristal granula pati, serta menghasilkan bentuk pati yang lebih stabil terhadap panas.

Adebowale et al., (2005) mengemukakan bahwa modifikasi dengan teknik HMT dapat mengubah karakteristik gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (peningkatan setback). Perubahan ini sangat tergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT.

Teknik HMT dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, menurunkan breakdown dan meningkatkan kecenderungan retrogradasi pati ubi jalar (Collado et al.,2001; Singh et al., 2005). Selanjutnya Collado et al., (2001) menyatakan bahwa teknik HMT dapat menurunkan swelling power dan menurunkan kelarutan pati ubi jalar. Perubahan yang terjadi pada ubi jalar termodifikasi HMT dipengaruhi oleh pH, waktu dan proporsi amilosa. Pati dengan kandungan amilosa yang lebih tinggi membutuhkan waktu optimum yang lebih singkat (8 jam) dari pada pati dengan

(14)

kandungan amilosa yang lebih rendah (16 jam). Sementara itu, pH optimum untuk modifikasi pati ubi jalar dicapai pada pH 6.5 – 6.7.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Purwani et al., (2006), teknik HMT dapat menggeser tipe kurva profil gelatinisasi pati sagu tipe A menjadi tipe B. Pada pergeseran pola gelatinisasi ini terjadi perubahan beberapa profil gelatinisasi diantaranya penurunan suhu puncak gelatinisasi, penurunan viskositas breakdown dan peningkatan viskositas setback. Besarnya perubahan beberapa parameter gelatinisasi tersebut tergantung pada jenis (asal daerah) sagu.

Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, teknik HMT diketahui dapat mengubah karakteristik fisik dan kimia berbagai jenis pati. Perubahan karakteristik ini akan sangat tergantung pada karakteristik pati native (persentase amilosa dan karakteristik gelatinisasi pati) dan kondisi perlakuan HMT yang digunakan (waktu, suhu, pengadukan, kadar air dan pH).

Gambar

Gambar 1. Beberapa jenis sagu di Papua, yaitu (a) Sagu  para, (b) Sagu  berduri,  dan (c) Sagu tidak berduri
Gambar 2 Proses ekstraksi pati sagu di Daerah  Sukabumi  dalam  skala industri  kecil (a) Pemotongan batang sagu  (b) Pembelahan batang sagu (c)  Pemarutan batang sagu (d) Pencucian parutan batang sagu (e)  Perendaman pati sagu (f) Penyaringan pati sagu (g) Penjemuran pati  sagu menggunakan sinar matahari
Tabel 1 Kandungan nilai gizi sagu dibandingkan pangan lainnya
Gambar 3 Struktur molekul amilosa (Chaplin, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Pola yang di terapkan Majelis Ṣ ul ḥ dalam menyelesaikan mediasi pertikaian keluarga di Mahkamah Syari ’ ah Selangor berdasarkan undang-undang yang dikeluarkan oleh

Jelaskan tentang transfer logam pada pengelasan GMAW (MIG) dan jenis transfer mana yang saudara pilih bila digunakan untuk mengelas pelat

-Kurangnya informasi dalam bentuk animasi edukasi mengenai cara yang baik yang dapat dilakukan dalam merawat gigi.. 4.2.1.2 Masalah Yang

antara persepsi siswa pada lingkungan sekolah dengan motivasi berprestasi. siswa diterima dengan nilai koefisien

Materialitas dalam proses audit meliputi tiga tahap: (1) Risk assessment (penilaian risiko) : Menentukan dua macam materialitas, yakni materialitas untuk laporan keuangan secara

Sedangkan rata-rata hasil uji indeks keseragaman (E) sebesar 0,035 yang mendekati nilai 0, yang berarti komunitas plankton di perairan tambak tersebut tidak menyebar secara

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “ Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Untuk Meningkatkan Keaktifan Komunikasi

sangatlah berbeda, siswa saat saya tidak menggunakan power point kurang memperhatikan, karena saya juga kurang memperhatikan selama beberapa saat saya menulis di papan, ya dalam