KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM KITAB WASHOYA AL ABA’ LIL ABNAA’
KARYA MUHAMMAD SYAKIR AL-ISKANDARI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
MUHAMMAD SULKHAN
NIM: 111-12-143
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
ْﻮُﻌِﺒﱠﺗا
َﻻ ْﻦَﻣ ا
ْوُﺪَﺘْﻬُﻣ ْﻢُﻫَو اًﺮْﺟَأ ْﻢُﻜُﻟَﺄْﺴَﻳ
َن
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS Yasiin: 21)
PERSEMBAHAN
Untuk Orang tuaku, Bapak Dul Bakri (Alm) dan Ibu Mutmainah. Semoga Allah selalu menjaga dan melimpahkan rahmat-Nya.
Kakakku tercinta, Nikmatul Azizah dan Muhammad Mahfud, serta ponakanku Dafiq Rival Pratama Mahfud.
Keluarga Ndalem KH. Mahfudz Ridwan.Lc, yang telah memberikan ilmu dalam pijakan hidupku.
Para Asatidz dan Keluarga besar PP. Edi Mancoro yang telah membimbing dan menemani perjalananku.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesikan skripsi ini yang berjudul
“Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ Karya
Muhammad Syakir Al-Iskandari’
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan
hingga terang benderang, semoga kita semua diakui sebagai umatnya yang kelak
mendapatkan syafaatnya di akhirat.
Selanjutnya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Intitut Agama Islam Negeri Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Ibu Dra. Ulfah Susilawati, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah membimbing penulis dalam memempuh studi di IAIN Salatiga.
5. Bapak H. Agus Ahmad Su’aidi, M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah dengan sabarnya memberikan bimbingan dan arahan kepada
6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu
selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi.
7. Keluarga dan seluruh pihak yang selalu mendorong dan memberikan
motivasi dalam menyelesaikan kuliah di IAIN Salatiga.
8. Keluarga Ndalem KH. Mahfudz Ridwan, Lc yang telah memberikan ridho
dan bimbingan dalam menuntut ilmu.
9. Keluarga besar Pondok Pesantren Edi Mancoro, para asatidz dan
teman-teman santri yang telah mendewasakan penulis setiap harinya dalam
warna-warni kehidupan.
10. Teman-teman Jurusan S1 Pendidikan Agama Islam angkatan 2012,
terutama Kelas PAI D yang telah memberikan banyak cerita dan canda
selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga
Semoga skripsi ini dapat memberikan tambahan wawasan yang lebih luas
dan dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Penulis sadar
bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi ini.
Wassalammu’alaikum wr.wb.
Salatiga, 14 Maret 2017 Penulis,
ABSTRAK
Sulkhan, Muhammad. 2017. Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ karya Muhammad Syakir Al-Iskandari. Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan ilmu keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: H. Ahmad Agus Su’aidi, M.A.
Kata Kunci: Konsep Pendidikan Akhlak, Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ karya Muhammad Syakir Al-Iskandari. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1)
Bagaimana konsep pendidikan akhlak didalam kitab Washoya Al Aba’ Lil
Abnaa’?, (2) Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak didalam kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ dengan zaman kekinian?
Metode penelitian yang digunakan yaitu literature (kepustakaan). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara mengamati pada sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku, artikel atau lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini. Pengumpulan data dibagi menjadi dua sumber yaitu data primer dan sekunder. Kemudian data dianalisis menggunakan metode deskriptif, filosofis dan kontekstual.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR BERLOGO...ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... ix
DAFTAR ISI ... x
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Kegunaan Penelitian ... 5
E. Metode Penelitian ... 6
F. Telaah Pustaka...7
G. Penegasan Istilah ... 8
BAB II : BIOGRAFI MUHAMMAD SYAKIR AL-ISKANDARI
A. Situasi Sosial Politik Menjelang Kelahiran Muhammad Syakir ... 13
B. Riwayat Muhammad Syakir Al-Iskandari ... 15
C. Karya-Karya Muhammad Syakir Al-Iskandari ... 17
D. Sistematika Penulisan Kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’ ... 18
BAB III: LANDASAN TEORI A. Konsep Pendidikan Akhlak ... 20
B. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ... 24
C. Tujuan Pendidikan Akhlak... 29
D. Unsur-Unsur Pendidikan Akhlak ... 30
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan Akhlak ... 40
F. Macam-Macam Akhlak Dalam Al-Qur’an ... 42
BAB IV : ANALISIS A. Konsep Pendidikan Akhlak Muhammad Syakir Al-Iskandari ... 47
B. Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ .... 50
C. Relevansi Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ Dikaitkan Dengan Konteks Kekinian... 71
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 74
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
Lamp. 1 : Lembar Konsultasi Skripsi
Lamp. 2 : Surat Penunjukan Pembimbing
Lamp. 3 : Daftar Nilai SKK
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama yang universal dan abadi memberikan pedoman
hidup (way of life) bagi manusia menuju kebahagiaan hidup lahir dan batin, serta dunia akhirat (Razak, 1984:9). Kebahagiaan hidup manusia itulah yang
menjadi sasaran hidup manusia yang pencapaiannya sangat bergantung pada
proses pendidikan.
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa
pendidikan Islam mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan
berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya
(akhlaknya), tetatur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya,
manis tutur katanya baik dengan lisan maupun tulisan (Iqbal, 2015:566).
Pendidikan akhlak mempunyai peranan penting dalam menentukan
kehidupan. Dilihat dari substansinya, manusia memiliki perilaku istimewa yang
tidak dimiliki oleh entitas-entitas lain di alam semesta sehingga manusia
merupakan entitas yang paling unggul.
Oleh karena itu, pendidikan akhlak sangat penting bahkan menjadi
bagian yang terpenting dalam pendidikan Islam. Ajaran Islam banyak yang
membahas ajaran-ajaran tentang akhlak mulia karena pembentukan akhlak
mulia itu adalah misi Islam yang utama. Akhlak dalam Islam menempati posisi
yang sangat esensial, karena kesempurnaan iman seorang muslim itu
Islam sangat menganjurkan umatnya untuk memiliki nilai-nilai akhlak
yang mulia dengan merujuk pada pribadi Rasulullah Muhammad SAW
sebagaimana firman Allah dalam Qur’an Surat Al Ahzab ayat 21:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Lingkungan berkontribusi sangat besar bagi pembentukan akhlak
seseorang. Jika seseorang hidup di lingkungan yang baik maka sangat mungkin
kepribadian seseorang tersebut akan baik. Tetapi, perkembangan zaman terus
melaju seiring perkembangan moral yang semakin memburuk. Karena
pendidikan yang ada hanyalah proses transfer penghetahuan saja dan belum
menyentuh akar yang lebih mendalam lagi, seperti pembentukan kepribadian,
pengembangan potensi diri dan mental yang sanggup menghadapi
perkembangan zaman. Masalah pendidikan semakin runyam dengan kondisi
anak didik yang semakin sulit untuk diingatkan dan tidak bernilai dalam tindak
tanduknya (Sutrisno, 2006: 5). Tawuran antar pelajar adalah contoh kerusakan
moral dan akhlak generasi muda.
Fenomena ini sangat memprihatinkan, mengingat banyaknya masyarakat
yang lemah pemahamannya tentang pendidikan terutama pendidikan akhlak
padahal telah terjadi perubahan yang sangat besar dalam pola kehidupan anak
anak dalam memahami hal-hal mendasar tentang diri manusia serta
perubahannya. Orang tua mengalami kesulitan ketika menyampaikan hal
tersebut kepada anaknya. Dalam kondisi tersebut orang tua dituntut lebih
bijaksana dalam mendidik anaknya. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
َﻣ
Artinya: “Tiada pemberian pun yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya, selain pendidikan yang baik”. (H.R Ahmad). (Musnad Ahmad juz 4, hlm. 14977).
Mendidik dan memberi tuntunan merupakan sebaik-baik pemberian yang
diberikan oleh orang tua. Karena orang tua sangat berperan penting dalam
pembentukan kepribadian dan pendidikan agama seorang anak. Hal ini tertuang
dalam firman Allah SWT dalam Qur’an Surat At Tahrim ayat 6:
Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Melihat begitu pentingnya pendidikan akhlak yang dimulai dari masa
dini hingga masa yang akan datang dan untuk menumbuhkan akhlak yang
diajarkan oleh Rasulullah maka Muhammad Syakir Al-Iskandari menulis
sebuah kitab yang berisi nasehat tentang akhlak dan diberi nama Washoya Al-Abaa Lil Abnaa’. Beliau lahir di Jurja’. Beliau merupakan seorang ulama besar
Abnaa’ dapat diartikan sebagai kitab yang memudahkan seseorang untuk
memahami dan mengajarkan akhlak. Kitab ini menjelaskan akhlak-akhlak yang
harus dilaksanakan dan akhlak yang harus ditinggalkan. Kitab ini terdiri dari 52
halaman dan terbagi menjadi 20 bab.
Dengan demikian, penulis bermaksud mengkaji lebih jauh dalam sebuah
penelitian dengan judul “KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM
KITAB WASHOYA AL-ABA’ LIL ABNAA’ KARYA MUHAMMAD
SYAKIR AL-ISKANDARI”.
B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak yang terkandung dalam kitab
Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’?
2. Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’ dengan konteks kekinian?
C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al-Aba’
Lil Abnaa’.
2. Menemukan relevansi konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’ dengan konteks kekinian.
Dari penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan manfaat,
adapun manfaatnya sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi kejelasan secara teoritis tentang konsep pendidikan akhlak
dalam kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’.
b. Menambah dan memperkaya keilmuan di dunia pendidikan.
c. Memberi sumbangan data ilmiah di bidang pendidikan akhlak bagi
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam
di IAIN Salatiga.
2. Manfaat Praktis
Setelah proses penelitian diselesaikan, diharapkan hasil tulisan ini
dapat bermanfaat dalam memberikan gambaran yang jelas tentang konsep
pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al-Aba’ lil Abnaa’ dan
relevansinya terhadap zaman kekinian. Dengan demikian penulisan ini bisa
memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis dalam dunia pendidikan,
yaitu wacana baru yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan bersama
sesama praktisi pendidikan dalam memberikan cara pandang dan landasan
pijak dalam memahami bagaimana relevansi pendidikan akhlak dalam kitab
Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ untuk menghadapi kebutuhan zaman.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kepustakaan
(library research), karena yang dijadikan objek kajian adalah hasil karya
tulis yang merupakan hasil pemikiran.
2. Sumber Data
a. Data primer diambil dari buku utamanya yaitu kitab Washoya Al-Aba’ Lil
Abnaa’ karya Muhammad Syakir Al-Iskandari.
b. Data Sekunder diambil dari buku-buku yang terkait dengan judul
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data pustaka yaitu
membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari berbagai buku dan
karya ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini. Dengan mengutamakan
data primer.
4. Teknik Analisis Data
Melihat objek penelitian yang berupa buku-buku atau literatur, maka
penelitian ini menggunakan teknik analisa dengan cara deskriptif, filosofis
dan kontekstual.
a. Metode Deskriptif
Metode deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk
pengumpulan data untuk menguji atau menjawab objek yang di teliti
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik,
komprehensif, faktual dan akurat tentang objek yang diteliti.
b. Metode Filosofis
Metode filosofis adalah metode penelitian pendidikan yang
meneliti, mengurai, melakukan analisa, mencari dan menemukan hal
baru, serta berusaha mengembangkannya secara maksimal (Muliawan,
2014:91).
c. Metode Kontekstual
Dalam kamus besar bahasa Indonesia konteks berarti apa yang ada
di depan dan di belakang (KKBI, 2005:521). Metode kontekstual adalah
metode yang digunakan untuk mencari, mengolah, dan menemukan
kondisi yang lebih konkret (terkait dengan kehidupan nyata). Metode ini
akan membantu penulis untuk mengaitkan antara isi yang ada di dalam
kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’ dengan situasi dunia nyata dan mendorong penulis untuk membuat hubungan antara isi yang ada dalam
kitab Washoya Al-Aba’ Lil Abnaa’ dengan penerapannya dalam
kehidupan kekinian.
F. Telaah Pustaka
Untuk menghindari terjadinya plagiasi, maka penulis memaparkan karya
ilmiah yang sudah ada. Selain itu telaah pustaka juga untuk melihat orisinilitas
Muhammad Irsyadi dengan skripsinya yang berjudul “Pendidikan
Kepribadian Anak Dalam Kitab Washoya Al aba’ Lil Abnaa Karya Muhammad Syakir”. Berisi tentang kepribadian anak dan relevansinya
terhadap kehidupan era sekarang (http://perpus.iainsalatiga.ac.id
/resultDocDig.php?rd =2&keyword=washoya&by2=0&by=0, diakses pada 04
April 2017, 00.28)
Penulisan skripsi ini berbeda dengan skripsi yang diatas, kajian
difokuskan tentang konsep pendidikan akhlak secara umum dan dikaitkan
dengan zaman sekarang.
G.Penegasan Istilah
Untuk memudahkan atau menjaga agar tidak terjadi kesalahfahaman,
maka penulis kemukakan penegasan istilah dari judul skripsi berikut:
1. Konsep
Konsep adalah pokok pertama yang mendasari keseluruhan pemikiran
(Ensiklopedi Indonesia, 1991:1856). Selain itu ada juga yang mengartikan
bahwa konsep adalah rancangan, ide atau pemikiran yang diabstrakkan dari
peristiwa konkret (KBBI, 2005:588).
2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan (KBBI,2003:204). Menurut Omar Mohammad
individu dalam kehidupan masyarakatnya dan kehidupan alam sekitarnya
(Muhmidayeli, 2013:66).
Jadi dengan kata lain, pendidikan memiliki makna sentral sebagai
proses pencerdasan secara utuh dalam rangka mencapai apa yang di
cita-citakan
3.Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah sebagai alat untuk menentukan haluan
pendidikan yang terbagi pada tiga tahap, yaitu tujuan khusus (objectives),
tujuan umum (goals), dan tujuan akhir (aims) (Langgulung, 1995:21). 4. Unsur-unsur pendidikan
Menurut Muliawan (2014: 20) unsur-unsur pendidikan terdiri dari 5
unsur yaitu pendidik, anak didik, kurikulum, metode dan lembaga.
a. Pendidik
Pendidik dalam arti sederhana adalah semua orang yang dapat
membantu perkembangan kepribadian seseorang dan mengarahkannya
pada tujuan pendidikan (Jumali, 2004:39).
b. Anak didik
Anak didik ialah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik
dari segi fisik maupun dari segi mental psikologi (Jumali, 2004:35).
c. Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu (UU RI No 20, 2003: 7).
d. Metode
Ditinjau dari segi etimologis (bahasa), metode berasal dari bahasa
Yunani, yaitu “methodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati, dan “hodos” yang berarti
jalan atau cara. Maka metode memiliki arti suatu jalan yang dilalui untuk
mencapai tujuan (Arifin, 1996 : 61).
e. Lembaga
Lembaga merupakan wadah untuk menampung semua yang terjadi
dalam proses belajar mengajar. Lembaga dapat diartikan juga sebagai
badan (organisasi) yang bermaksud melakukan sesuatu penyelidikan
keilmuan atau melakukan sesuatu usaha (KBBI, 2005:582).
5. Akhlak
Al Ghazali dalam kitab ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa
pengertian akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa yang tetap yang
memunculkan suatu perbuatan secara mudah dan ringan tanpa perlu
pertimbangan dan analisa (Jamil, 2013:2)
6. Kitab Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’
Kitab Washoya Al-Abaa’ Lil Abnaa’ yaitu kitab yang berisi tentang akhlaq-akhlaq yang mulia ( yang diridhoi Allah ). Kitab ini ditulis oleh
seorang ulama’ yang bernama Muhammad Syakir Al-Iskandari, beliau
dan berisi sebanyak 20 bab ini sangat ringkas dan mudah dipelajari. Kitab
ini sangat dibutuhkan bagi setiap murid untuk mewujudkan cita-citanya.
H.Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga
pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini dengan mudah, maka
penulis memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis
besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling berkaitan
yaitu sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, telaah
pustaka, penegasan istilah, sistematika penulisan.
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD SYAKIR AL-ISKANDARI.
Pembahasan bab ini berisi tentang biografi intelektual tokoh Muhammad
Syakir Al-Iskandari, yang meliputi: biografi Muhammad Syakir Al-Iskandari,
situasi sosial politik menjelang kelahiran Muhammad Syakir Al-Iskandari,
karya pemikiran Muhammad Syakir Al-Iskandari, sistematika penulisan kitab
Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’.
BAB III LANDASAN TEORI TENTANG KONSEP PENDIDIKAN
AKHLAK DALAM KITAB WASHOYA AL-ABA’ LIL ABNAA’. Pada bab
ini dibahas pengertian konsep pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan
pendidikan akhlak, faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan akhlak, dan
macam-macam akhlak.
BAB IV ANALISIS KITAB WASHOYA AL ABA’ LIL ABNA’ DAN
RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB
WASHOYA AL-ABAA LIL ABNAA’ DI KAITKAN DENGAN
KONTEKS KEKINIAN. Pada bab ini dijelaskan pemikiran Muhammad
Syaki tentang konsep pendidikan akhlak dan relevansi konsep pendidikan
akhlak yang ada dalam kitab Washoya Al-Abaa Lil Abnaa’ yang di kaitkan
dengan konteks kekinian.
BAB V PENUTUP. Bab ini memuat kesimpulan penulis dari
pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat penutup yang sekiranya
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD SYAKIR AL-ISKANDARI
A.Situasi Sosial Politik Menjelang Kelahiran Muhammad Syakir Al-Iskandari
Pada masa abad ke-19 (1800 M) bangsa Eropa telah mendominasi dunia.
Dalam abad ke 19 dan awal abad ke 20, didorong oleh kebutuhan ekonomi
industri terhadap bahan-bahan baku dan pemasarannya, juga oleh kompetisi
politik dan ekonomi satu sama lain, negara-negara Eropa menegakkan teritorial
dunia. Pada awal abad ke 20 kekuatan Eropa hampir menguasai seluruh dunia
Islam (Munthoha dkk., 2002: 83).
Albert Hourani mengatakan pada saat Negara Arab ditaklukan oleh
Prancis, membuat masyarakat Arab waktu itu tidak lagi hidup dalam keadaan
stabil serta tidak mapan pada sistem kebudayaannya. Sehingga, keperluan
mereka yang mendesak adalah bagaimana menggerakkan kekuatan agar
selamat dari dominasi bangsa lain. Kerajaan Usmani misalnya, harus
mengadopsi metode-metode baru dalam pengorganisasian militer, administrasi
dan kode-kode hukum pola Eropa. Begitu juga yang dilakukan oleh dua
penguasa otonomi dari propinsi kerajaan tersebut, Mesir dan Tunisia
(Munthoha dkk., 2002: 84).
Dalam perkembangan bidang pendidikan di Mesir yang sudah
terpengaruh oleh pendidikan Barat, madrasah di Mesir menjadi lembaga
pendidikan yang terpisah dari masjid. Hal ini terjadi karena model pendidikan
demikian, madrasah dipandang sebagai model pengajaran formal dari ilmu-ilmu
agama saja (Al Qur’an, hadist, akhlak, akidah dan fiqih).
Pada saat Mesir dibawah kekuasaan Usmaniyah Turki, kitab-kitab yang
berada di perpustakaan Mesir dipindahkan di Istanbul. Hal tersebut
menyebabkan Mesir menjadi mundur dalam ilmu pengetahuan dan pusat
pendidikan berpindah ke Istanbul. Pada masa Usmaniyah, pendidikan dan
pengajaran mengalami kemunduran, terutama di wilayah Mesir (Kodir: 2015:
130).
Disamping itu, kebudayaan terus dipertahankan, pemikiran-pemikiran
baru mulai bermunculan yang mencoba untuk menjelaskan sebab-sebab
kekuatan Eropa dan mengusulkan negeri-negeri Islam agar dapat mengadopsi
ide-ide Eropa tanpa kehilangan identitas dan kepercayaan diri. Sebagian besar
dari mereka adalah para lulusan sekolah-sekolah yang dibangun oleh
pemerintah maupun para misionaris asing. Surat kabar dan jurnal menjadi
media bagi mereka untuk mengekspresikan pemikiran-pemikirannya
(Munthoha dkk., 2002: 84).
Pada tahun 1881, muncul suatu gerakan menentang dominasi politik,
ekonomi dan budaya Eropa, tetapi karena kelihatan mengancam investasi asing,
gerakan ini mendorong Inggris melakukan invasi militer pada tahun 1882
(Rahnema, 1996: 127). Dalam hal ini agresi militer yang dilakukan Inggris
tersebut bertepatan dengan lahirnya Muhammad Syakir.
Keunggulan bangsa Barat dalam bidang industri, teknologi, tatanan
muslim. Melihat penetrasi yang dilakukan bangsa Barat di Mesir pada akhir
abad 19 menunjukkan bahwa Mesir sebagai pusat Islam tidak mampu
menghadapi kekuatan bangsa Barat.
Keadaan politik yang labil menjadikan masyarakat Mesir pada umumnya
resah karena Islam dengan nilai-nilai ajaran yang luhur dan bermartabat
semakin tidak berdaya berhadapan dengan hegemoni pemerintah Barat. Dengan
demikian, iklim politik di Mesir pada tahun-tahun sebelum kelahiran
Muhammad Syakir dalam keadaan dominasi asing dan perlawanan masyarakat
Mesir terhadap dominasi asing.
B.Riwayat Muhammad Syakir Al-Iskandari
Beliau lahir di Jurja, Mesir pada pertengahan Syawal tahun 1282 H
bertepatan pada tahun 1866 M. dan wafat pada tahun 1939 M. Ayahnya
bernama Ahmad bin Abdil Qadir bin Abdul Warits (Bruinessen, 1995: 160).
Beliau berasal dari keluarga Ulayya, keluarga ini merupakan keluarga
paling kaya dan dikenal dermawan. Masa kecilnya hingga beranjak dewasa
dihabiskan di Jurja, mulai menghafal Al-Qur’an sampai belajar ilmu Hadist dan
bidang ilmu-ilmu lainnya. Karena pada saat itu kota Jurja termasuk kota yang
sudah berkembang pesat dalam bidang pendidikan. Muhammad Syakir
Al-Iskandari tidak menisbatkan nama kota Jurja di belakang namanya, namun lebih
dikenal dengan nama al-Iskandari. Nama al-Iskandari diambil dari nama sebuah
kota tempat beliau mengembangkan ilmunya, yaitu kota Iskandariyah di Mesir.
karena periwayatannya terhadap hadis sebagaimana Imam Bukhori dan lainnya,
tapi karena bidang keilmuan yang digelutinya.
Beliau lahir dalam lingkungan Mazhab Hanafi, beliau menjadikan Imam
Hanafi sebagai teladan, yakni saat Imam Hanafi ditanya tentang
keberhasilannya memperoleh ilmu pengetahuan, beliau menjawab “saya tidak
pernah malas mengajarkan ilmu pengetahuan pada orang lain dan terus
berusaha menuntut ilmu”. Selain itu, sebagian warga Mesir adalah pengikut
Mazhab Hanafi. Madzhab Maliki mendominasi Mesir bagian atas, sedangkan
Syiah mendominasi Mesir bagian bawah.
Beliau dikenal sebagai seorang pembaharu Universitas Al-Azhar. Beliau
adalah mantan wakil rektor Universitas Al-Azhar (Taufik, 2002:172). Karirnya
dimulai dari menghafal Al-Qur'an dan belajar dasar-dasar studinya di Jurja,
Mesir, kemudian beliau rihlah (bepergian untuk menuntut ilmu) ke Universitas
Al-Azhar dan beliau belajar dari guru-guru besar pada masa itu, kemudian dia
dipercayai untuk memberikan fatwa pada tahun 1307 H. Beliau menduduki
jabatan sebagai ketua Mahkamah mudiniyyah al-qulyubiyyah dan tinggal di
sana selama tujuh tahun sampai beliau dipilih menjadi Qadhi (hakim) untuk negeri Sudan pada tahun 1317 H. Beliau juga orang pertama yang menduduki
jabatan ini, dan orang yang pertama yang menetapkan hukum-hukum syar'i di Sudan.
Kemudian pada tahun 1322 H, beliau ditunjuk sebagai guru bagi para
ulama-ulama Iskandariyyah. Hal ini bagi orang muslimin memunculkan
beliau juga ditunjuk sebagai wakil bagi para guru Al-Azhar, kemudian beliau
menggunakan kesempatan pendirian Jam'iyyah Tasyni'iyyah pada tahun 1913 M.
Beliau berusaha untuk menjadi anggota organisasi tersebut, sebagai
pilihannya dari sisi pemerintah Mesir, dan dengan itulah beliau meninggalkan
jabatannya, serta enggan untuk kembali kepada satu bagianpun dari
jabatan-jabatan tersebut dan beliau tidak lagi berhasrat setelah itu kepada sesuatu yang
memikat dirinya.
Di dalam kitab Munjid fiil lughoh wal i’lam disebutkan Pada akhir hayatnya beliau terbaring dirumahnya karena sakit lumpuh. Muhammad Syakir
menerimanya dengan sabar dan ikhlas atas apa yang diberikan oleh Allah SWT
dengan penuh keyakinan bahwa dirinya telah menegakkan apa yang telah di
perintah agama. Setelah sakit beberapa lama, pada tahun 1939 beliau wafat
(http://al-charish.blogspot.co.id/2012/06/syech-muhammad-syakir.html, diakses
pada 18 Januari 2017, 01.37 WIB)
C.Karya-karya Muhammad Syakir Al-Iskandari
Muhammad Syakir al-Iskandari merupakan ulama yang mumpuni dalam
berbagai bidang ilmu. Hal ini dapat diketahui melalui karya-karya beliau yang
mencakup berbagai bidang keilmuan. Diantara karya-karyanya dalam bidang
akhlak adalah Washoya al-abaa’ lil abnaa, dalam bidang ilmu Mantik beliau
http://al-charish.blogspot.co.id/2012/06/syech-muhammad-syakir.html, diakses pada 18
Januari 2017, 01.37 WIB).
Tidak banyak para pendahulu yang menelusuri sejarah Muhammad
Syakir al-Iskandari. Para ahli waris juga sangat sulit untuk ditelusuri karena
keberadaan penyusun yang tidak memungkinkan menelusuri sampai negara asal
atau tempat dimana beliau pernah berkiprah.
D.Sistematika Penulisan Kitab Washoya Al abaa’ Lil Abnaa
Secara garis besar penulisan kitab Washoya al Abaa’ lil Abnaa’ terbagi menjadi beberapa wasiat akhlak yaitu:
BAB I: Nasihat guru kepada muridnya.
BAB II: Wasiat agar bertaqwa kepada Allah.
BAB III: Hak-hak Sang Pencipta Yang Maha Agung dan Rasulullah.
BAB IV: Hak dan kewajiban terhadap kedua orang tua.
BAB V: Hak dan kewajiban terhadap saudara teman.
BAB VI: Adab dalam mencari ilmu.
BAB VII: Adab belajar, mengkaji ulang dan berdiskusi.
BAB VIII: Adab olahraga dan berjalan di jalan umum.
BAB IX: Adab majelis dan ceramah.
BAB X: Adab makan dan minum.
BAB XI: Adab beribadah dan masuk masjid.
BAB XII: Keutamaan berbuat jujur.
BAB XIV: Keutamaan dalam ‘iffah.
BAB XV: Keutamaan Muruah (menjaga kehormatan diri), syahamah (mencegah hawa nafsu) dan ‘izzatin nafsi (kemuliaan diri).
BAB XVI: Ghibah, namimah, dendam, iri hati, dan sombong
BAB XVII: Tobat, rasa takut, harapan dan kesabaran disertai syukur
BAB XVIII: Keutamaan beramal, bekerja disertai tawakal dan zuhud
BAB XIX: Keikhlasan niat untuk Allah Ta’ala dalam semua amal
BAB III
LANDASAN TEORI
A.Konsep Pendidikan Akhlak
Kata “pendidikan” dalam bahasa Yunani, dikenal dengan nama
paedagogos yang berarti penuntun anak. Paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang dalam zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantar dan
menjemput anak-anak ke sekolah dan dari sekolah. Paedagogos berasal dari kata paedos artinya anak, dan agogos artinya saya membimbing atau memimpin (Purwanto, 1988:1).
Meskipun istilah pedagogik pada mulanya digunakan untuk konotasi
rendah (pelayan) pada akhirnya dipakai untuk pekerjaan mulia dan terhormat.
Pedagog ialah seorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhan ke arah yang dapat berdiri sendiri. Dalam bahasa arab disebut Mu’allim,
Mudarris atau Murabbi).
Menurut M. J. Koenen dan J. Endepols, pedagogic dalam bahasa Belanda ditulis pedagogie. Menurut A. Broers, pedagogic diberi arti “Theory of
education” (Walidin, 2005: 5). Secara bahasa memang tidak dibedakan antara Pedagogy dan pedagogik, akan tetapi dalam konteks kependidikan kedua istilah itu dibedakan. Pedagogy mempunyai kecenderungan makna praktek dan
cara mengajar (applied), sedangkan pedagogic bermakna teori atau ilmu mendidik. Soegarda Poerbakawatja menulis: pedagogy mempunyai dua arti:
2. Ilmu pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan metode mengajar,
membimbing, mengawasi dengan sebutan pendidikan (Poerbakawadja,
1976: 212).
Konferensi Internasional I tentang Muslim Education menyimpulkan pengertian pedagogi menurut Islam, yaitu keseluruhan pengertian yang terkandung dalam tarbiyah, ta’lim dan ta’dib (Walidin, 2005:7).
Dalam kitab Washoya al Abaa’ lil Abnaa’ istilah tarbiyah ( ًﺔَﯿِﺑْﺮَﺗ) dan ta’lim ( ًﻢْﯿِﻠْﻌَﺗ) disebut tiga belas (13) kali. Istilah tarbiyah dan ta’lim memiliki
makna spesifik dalam litelatur pendidikan Islam.
Istilah tarbiyah itu sedikitnya bisa memiliki arti tujuh macam, yaitu: education (pendidikan), upbringing (asuhan), teaching (pengajaran),
instruction (perintah), pedagogy (pendidikan), breeding (pemeliharaan), raising (peningkatan). Istilah tarbiyah itu sendiri berasal dari akar kata
raba-yarbu yang berarti “tumbuh” dan “berkembang” (Mas’ud, 2001: 57).
Semua arti itu sejalan dengan lafal yang digunakan oleh Al Qur’an untuk
menunjukkan proses pertumbuhan dan perkembangan kekuatan fisik, akal dan
akhlak. Hal ini diantaranya nampak dalam QS Al-Syu’ara: 18:
َﲔِﻨِﺳ َكِﺮُﻤُﻋ ْﻦِﻣ ﺎَﻨﻴِﻓ َﺖْﺜِﺒَﻟَو اًﺪﻴِﻟَو ﺎَﻨﻴِﻓ َﻚﱢﺑَﺮُـﻧ َْﱂَأ َلﺎَﻗ
Ayat lain yang seirama maksud atau kandungannya adalah QS. Al-Isra: 24:
اًﲑِﻐَﺻ ِﱐﺎَﻴﱠـﺑَر ﺎَﻤَﻛ ﺎَﻤُﻬَْﲪْرا ﱢبَر ْﻞُﻗَو ِﺔَْﲪﱠﺮﻟا َﻦِﻣ ﱢلﱡﺬﻟا َحﺎَﻨَﺟ ﺎَﻤَُﳍ ْﺾِﻔْﺧاَو
Artinya: ”Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Al Tabataba’i menafsirkan bahwa seorang anak supaya selalu mengingat
pengasuhan dan pembinaan dalam rangka mendidik (tarbiyah) yang dilakukan orang tuanya sewaktu kecil. Oleh karena itu, seorang anak harus berdoa supaya
Allah memberikan rahmat kepada keduanya sebagaimana mereka berdua
memberikan kasih sayangnya dan mendidik pada waktu kecil. Jadi makna
tarbiyah tidak hanya berupa upaya pendidikan pada umumnya, tetapi menembus pada aspek etika religius (Mas’ud, 2001: 58).
Dalam kitab Washoya al Aba’ lil Abnaa’, Muhammad Syakir
menggunakan istilah pendidikan dengan kata at-tarbiyah, karena anak-anak sebagai subjek pendidikan yang masih tumbuh dan berkembang menuju
keadaan yang lebih baik. At-tarbiyah juga meliputi proses yang meliputi sikap dan perilaku pada peserta didik, yang mempunyai semangat tinggi dalam
memahami dan menyadari kehidupannya sehingga terwujud ketakwaan, budi
pekerti dan pribadi yang luhur (Muhaimin, 1993: 129).
Secara bahasa kata akhlak diambil dari kosakata bahasa arab. Terdapat
dua pendapat mengenai kata akhlak. Pendapat pertama mengatakan bahwa kata
(agama). Pendapat kedua menyatakan bahwa kata akhlak bukan merupakan
isim mashdar. Namun adalah isim jamid atau ghairu mustaq yakni kata benda yang tidak memiliki akar kata karena bentuknya memang telah ada sedemikian
(Jamil, 2013: 2).
Secara istilah, terdapat beberapa pendapat ulama mengenai pengertian
akhlak. Istilah-istilah yang mereka kemukakan pada dasarnya memiliki
pengertian yang sama.
1. Ibn Miskawaih dalam bukunya Jamil (2013: 3) menyatakan bahwa akhlak
adalah keadaan jiwa yang mendorong kepada tindakan-tindakan tanpa
melalui pertimbangan pemikiran.
2. Al-Ghazali dalam bukunya Jamil (2013: 3) menyatakan bahwa pengertian
akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan
pertimbangan pikiran. Imam al-Gazhali berpendapat bahwa suatu perbuatan
itu bisa disebut akhlak jika perbuatan tersebut dilakukan dengan spontan
atau tanpa pertimbangan karena sikap dan perbuatan yang sudah melekat
dalam pribadi menjadi watak. Batasan tentang perbuatan yang sudah
menjadi watak ini yang kemudian banyak disepakati sebagai salah satu ciri
akhlak.
Berdasarkan berbagai definisi yang telah disebutkan, maka dapat
diketahui bahwa perbuatan yang dikategorikan sebagai akhlak yang baik itu
haruslah memenuhi kriteria perulangan (kontinuitas) sehingga seseorang hanya
baik (Jamil, 2013: 3). Selain itu akhlak yang baik harus dilakukan tanpa ada
paksaan, apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan paksaan bukanlah
pencerminan dari akhlak.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Abuddin Nata,
sebagaimana dikutip oleh Jamil (2013: 4) bahwa setelah memperhatikan
berbagai definisi yang diberikan para ulama, maka ia melihat 5 ciri-ciri yang
dikandung dari sebuah pengertian akhlak, yaitu:
1. Akhlak merupakan perbuatan yang tertanam di dalam jiwa seseorang secara
kuat sehingga menjadi bagian dari pribadinya.
2. Akhlak tersebut dilakukan secara mudah tanpa memerlukan pemikiran.
3. Akhlak dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari luar diri seseorang.
4. Akhlak tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh.
5. Akhlak juga dilakukan karena ikhlas semata-mata mengharapkan ridha dari
Allah SWT dan bukan pujian manusia.
Dengan begitu dapat disimpulkan juga bahwa pendidikan akhlak
merupakan usaha yang secara sadar untuk membimbing dan mengarahkan
kehendak seseorang untuk mencapai tingkah laku yang mulia dan
menjadikannya sebagai kebiasaan.
B.Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak secara global mengandung dua cakupan yaitu akhlak
terpuji dan akhlak tercela. Sedangkan ruang lingkup materi dan substansi
pendidikan akhlak meliputi: akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa, akhlak
lingkungan. Atau bisa disimpulkan sebagai tuntutan tanggung jawab sebagai
individu, anggota masyarakat dan sebagai bagian dari umat (Zuriah, 2007:
173).
1. Akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Akhlak dalam lingkup ini diartikan sebagai sikap yang ditunjukkan
oleh manusia kepada Allah SWT. Sikap ini dimanifestasikan dalam bentuk
kepatuhan menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi
larangannya. Selain itu, manifestasi akhlak kepada Allah SWT juga
ditunjukkan dengan komitmen yang kuat untuk terus memperbaiki kualitas
keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Intinya semua perilaku seseorang
yang memiliki akhlak yang baik kepada Allah harus tercermin dalam
tingkah laku yang sesuai dengan syariat Allah SWT (Jamil, 2013:4).
Seseorang yang dianggap memiliki akhlak yang baik kepada Allah
pasti memiliki keinginan yang kuat tanpa paksaan untuk terus berupaya
menjadi seorang hamba yang patuh kepada penciptanya, sebaliknya
seseorang dianggap memiliki akhlak yang buruk kepada penciptanya jika ia
tidak memiliki keinginan untuk melakukan perintah Allah SWT.
2. Akhlak terhadap Rasul
Akhlak terhadap utusan Allah (Rasulullah) adalah menjalankan apa yang telah diajarkannya. Sebagai umat Islam, tentu kita wajib beriman
kepada Rasulullah beserta risalah yang dibawanya. Untuk memupuk
sehingga dari situ kita dapat memetik banyak pelajaran dan hikmah
(Salamulloh, 2008: 33).
Oleh karena itu, sebagai umat Islam harus menaati dan meneladani
Rasul. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An nisa ayat 80:
ﺎًﻈﻴِﻔَﺣ ْﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ َكﺎَﻨْﻠَﺳْرَأ ﺎَﻤَﻓ ﱠﱃَﻮَـﺗ ْﻦَﻣَو َﻪﱠﻠﻟا َعﺎَﻃَأ ْﺪَﻘَـﻓ َلﻮُﺳﱠﺮﻟا ِﻊِﻄُﻳ ْﻦَﻣ
Artinya: “Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.
3. Akhlak terhadap sesama manusia
Akhlak terhadap Allah sebagai pencipta tidak bisa dipisahkan dari
akhlak menusia kepada manusia. Dalam konteks hubungan sebagai sesama
muslim, maka Rasulullah SAW mengumpamakan bahwa hubungan tersebut
sebagai sebuah anggota tubuh yang saling terkait, sebagaimana disebutkan
dalam hadist:
اَﺪَﺗٌﻮْﻀُﻋ ُﻪْﻨِﻣ ﻰَﻜَﺘْﺷا اَذِإ ،ِﺪَﺴَْﳉا ُﻞَﺜَﻣ ،ْﻢِﻬُِﲪاَﺮَـﺗَو ،ْﻢِﻬِﻔُﻃﺎَﻌَـﺗَو ،ْﻢِﻫﱢداَﻮَـﺗ ِﰲ َﲔِﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا ُﻞَﺜَﻣ
ﻰَﻋ
ﻰﱠﻤُْﳊاَو ِﺮَﻬﱠﺴﻟﺎِﺑ ِﺪَﺴَْﳉا ُﺮِﺋﺎَﺳ
Artinya:“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai,
mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [HR. Muslim].
Akhlak terhadap sesama manusia juga harus ditunjukkan kepada
manusia yang non muslim dimana mereka tetap dipandang sebagai makhluk
Allah SWT yang harus disayangi. Penjabaran dari akhlak kepada manusia
bisa juga mencakup kepada berbagai aspek kehidupan lainnya. Secara lebih
rinci, menurut Hamzah Ya’qub yang menjadi lapangan pembahasan etika
a. Menyelidiki sejarah etika dan pelbagai teori lama dan baru tentang
tingkah laku manusia.
b. Membahas tentang cara-cara menghukum atau menilai baik dan
buruknya sesuatu pekerjaan.
c. Menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak, mempengaruhi dan
mendorong lahirnya tingkah laku manusia yang meliputi fitrahnya, adat
kebiasaannya, lingkungannya, kehendak dan cita-citanya, suara hatinya
dan motif yang mendorong dalam berbuat.
d. Menerangkan mana akhlak yang baik.
4. Akhlak terhadap lingkungan
Akhlak terhadap lingkungan adalah sikap seseorang terhadap
lingkungan (alam) di sekelilingnya. Sebagaimana diketahui bahwa Allah
SWT menciptakan lingkungan yang terdiri dari hewan, tumbuhan, air,
udara, tanah dan benda-benda lain yang terdapat di muka bumi. Semuanya
diciptakan Allah SWT untuk manusia. Pada dasarnya semua yang
diciptakan Allah tersebut diperuntukkan untuk kepentingan semua manusia
dalam rangka memudahkan dirinya dalam beribadah kepada Allah (Jamil:
2013: 6).
Manusia adalah makhluk Allah SWT sejak dahulu merasa mampu
melaksanakan amanah yang diberikan Allah SWT kepadanya baik dalam
bentuk peribadahan kepada Allah SWT maupun memelihara bumi dan
langit dari kerusakan yang dibuat oleh tangan mereka. Sebagaimana firman
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
Sedangkan di QS Al Qashah ayat 77, Allah SWT memberikan
peringatan kepada manusia untuk tidak melakukan kerusakan karena Allah
tidak menyukainya:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Perhatian kepada lingkungan menempati posisi penting terlebih di era
modern. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi telah menyebabkan
eksploitasi yang massif terhadap sumber-sumber daya alam. Ada beberapa
sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui kembali seperti minyak dan
gas. Dengan demikian, pemanfaatan secara berlebih dan boros akan
Potensi kerusakan ini dijelaskan dalam firman Allah SWT yaitu Surat
Ar-Ruum ayat 41:
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
C.Tujuan Pendidikan Akhlak
Mengacu pada definisinya, pendidikan akhlak bertujuan untuk
membentuk akhlak terpuji dan mulia agar terjadi keseimbangan dalam
kehidupan manusia seutuhnya dan sesuai dengan ajaran agama Islam.
Yakni, seimbang antara hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan
sesama manusia, dengan alam maupun dengan dirinya sendiri, agar
seseorang bisa membedakan makna hak dan kewajiban.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim mengemukakan, bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah
merealisasikan ubudiyah kepada Allah SWT yang menjadi sebab utama kebahagiaan manusia. Tidak ada kebahagiaan dan tidak ada keberuntungan
bagi manusia kecuali dengan menjauhkan diri dari akhlak yang tercela dan
menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji (Iqbal, 2015: 487).
Sedangkan dalam proses belajar mengajar pendidikan akhlak
bertujuan agar peserta didik mampu menggunakan pengetahuan, nilai, dan
tumbuh dan berkembangnya serta terwujudnya sikap dan perilaku peserta
didik yang konsisten dengan akhlak mulia.
D. Unsur-unsur pendidikan akhlak
Menurut Muliawan (2014: 20) unsur-unsur pendidikan terdiri dari 5
hal yaitu:
1. Pendidik
Dari segi bahasa, seperti yang dikutip Abudin Nata dari W.J.S.
Poerwadarminta, pengertian pendidik adalah orang yang mendidik.
Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang
melakukan kegiatan dalam bidang mendidik (Nata, 1997:61).
Pendidik memiliki peran sangat penting dalam pendidikan. Apabila
dikaji lebih dalam pendidik dalam pendidikan Islam adalah orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan
upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif
(rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (Mujib, 2006: 87).
Pendidik juga harus mempunyai tanggung jawab dalam perkembangan
jasmani dan rohani para peserta didik, agar mampu mencapai tingkat
kedewasaan dengan kemandiriannya dalam memenuhi tugas sebagai hamba
dan khalifah Allah SWT, serta mampu melakukan tugas sebagai makhluk
sosial dan sebagai makhluk individu yang bertaqwa.
Berbagai tanggung jawab yang paling menonjol dan diperhatikan oleh
Islam adalah tanggung jawab para pendidik terhadap individu-individu yang
1981: 143). Pada hakekatnya tanggung jawab tersebut adalah tanggung
jawab yang sangat besar. Baik disadari atau tidak, jika tanggung jawab
tersebut dilaksanakan secara sempurna dan penuh amanat, berarti seorang
pendidik telah ikut andil dalam membina masyarakat dan mencetak
individu-individu yang berkualitas.
Apabila dikaji lebih mendalam, dalam literatur kependidikan Islam
sebagaimana dijelaskan oleh Muhaimin (2004:209-213) bahwa, seseorang
yang memiliki tugas mendidik dalam arti pencipta, pemelihara, pengatur,
pengurus, dan memperbaharui (memperbaiki) kondisi peserta didik agar
berkembang potensinya, disebut “murabby”. Orang yang memiliki
pekerjaan sebagai murabby ini biasanya dipanggil dengan sebutan “Ustadz”.
Seorang pendidik atau ustadz memiliki tugas dan kompetensi yang melekat
pada dirinya antara lain:
a. Sebagai Mu’allim, berasal dari kata ‘ilm yang berarti menangkap hakekat sesuatu. Dalam setiap ‘ilm mengandung dimensi teoritis dan amaliah, ini
mengandung makna bahwa seorang Mu’allim dituntut mampu
menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang diajarkannya dan berusaha
membangkitkan siswa untuk mengamalkan dalam kehidupannya agar
bisa mendatangkan kemanfaatan dan menjauhi kemadlaratan.
b. Sebagai mursyid, artinya orang yang memiliki kedalaman spiritual atau memiliki tingkat penghayatan yang mendalam terhadap nilai-nilai
kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba Lillahi Ta’ala
(karena mengharapkan ridha Allah semata).
c. Sebagai mudarris, artinya terhapus, hilang bekasnya, menghapus, melatih
atau mempelajari. Dilihat dari pengertian ini maka seorang mudarris diharapkan mampu mencerdaskan anak didiknya, menghilangkan
ketidaktahuan atau kebodohan mereka, serta melatih keterampilan
mereka sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Pengetahuan
dan keterampilan seseorang akan cepat usang selaras dengan percepatan
kemajuan iptek dan perkembangan zaman, sehingga guru dituntut untuk
memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui
pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan.
d. Sebagai Mu’addib, artinya apabila mu’addib sebagai isim fa’il dari kata “addaba-yuaddibu-ta’diiban” yang berarti mendisiplinkan atau
menanamkan sopan santun. Maka seorang mu’addib adalah seseorang yang memiliki kedisiplinan kerja yang dilandasi dengan etika, moral, dan
sikap yang santun, serta mampu menanamkannya kepada peserta didik
melalui contoh untuk di tiru oleh peserta didik.
2. Anak didik
Anak didik ialah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik dari
segi fisik maupun dari segi mental psikologi (Jumali, 2004:35).
Istilah peserta didik jika dimaknai sebagai orang (anak) yang sedang
menumbuh-kembangkan potensinya, maka dalam literatur bahasa Arab
yang sering digunakan oleh para tokoh pendidikan dalam islam, antara lain
ditemukan dengan nama sebagai berikut:
a. Muta’alim, mengandung makna sebagai orang yang sedang belajar menerima atau mempelajari ilmu dari seorang mu’allim (pengajar ilmu) melalui proses belajar-mengajar.
b. Mutarabby, mengandung makna sebagai orang (peserta didik) yang sedang dijadikan sebagai sasaran untuk dididik dalam arti diciptakan,
dipelihara, diatur, diurus, diperbaiki, diperbaharui melalui kegiatan
pendidikan yang dilakukan secara bersama-sama dengan murabby
(pendidik).
c. Murid, adalah orang yang sedang berusaha belajar untuk mendalami ilmu agama dari seorang mursyid melalui kegiatan pendidikan, sehingga
memiliki pengetahuan, pemahaman dan penghayatan spiritual yang
mendalam terhadap nilai-nilai keagamaan, memiliki ketaatan dalam
menjalankan ibadah, serta berakhlak mulia.
d. Daaris, adalah orang yang sedang berusaha belajar melatih intelektualnya melalui proses pembelajaran sehingga memiliki
kecerdasan intelektual dan keterampilan. Pelatihan intelektual tersebut
dibina oleh seorang mudarris.
e. Muta’addib, adalah orang yang sedang belajar meniru, mencontoh sikap
seorang mu’addib, sehingga terbangun dalam dirinya tersebut sebagai
orang yang berperadaban.
3. Kurikulum
Istilah kurikulum memiliki berbagai penafsiran yang dirumuskan oleh
pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum. Istilah kurikulum
berasal dari bahasa latin, yaitu “Curricule”, artinya jarak yang harus
ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu, pengertian kurikulum ialah
jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan
untuk memperoleh ijazah. Dengan kata lain, kurikulum dianggap sebagai
jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu
perjalanan dan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu (Dakir, 2004:2).
Menurut Hendyat Soetopo dan Warsito Soemanto, kurikulum
diartikan sebagai tujuan pengajaran, pengalaman-pengalaman belajar,
alat-alat pelajaran dan cara-cara penilaian yang direncanakan dan digunakan
dalam pendidikan (Susilo, 2007:79)
Jadi, kurikulum ialah suatu program pendidikan dan pengalaman
belajar yang disusun secara sistematis atas dasar norma yang berlaku yang
dijadikan pedoman untuk mencapai tujuan pendidikan.
Menurut Hendyat Soetopo dan Warsito Soemanto (Susilo,
2007:83-85) fungsi kurikulum dibagi menjadi 7 bagian yaitu:
a. Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Bahwa
kurikulum merupakan suatu alat atau usaha untuk mencapai
tepat dan penting untuk dicapai. Dengan kata lain bila tujuan yang
diinginkan tidak tercapai maka orang cenderung untuk meninjau kembali
alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Fungsi kurikulum bagi anak. Maksudnya kurikulum sebagai organisasi
belajar tersusun yang disiapkan untuk siswa sebagai salah satu konsumsi
bagi pendidikan mereka dengan begitu diharapkan akan mendapat
sejumlah pengalaman baru yang kemudian hari dapat dikembangkan
seirama dengan perkembangan anak.
c. Fungsi kurikulum bagi guru. Ada tiga macam, yaitu:
1) Sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisir
pengalaman belajar bagi anak didik
2) Sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi terhadap perkembangan
anak dalam rangka menyerap sejumlah pengalaman yang diberikan.
3) Sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pendididkan dan
pengajaran.
d. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah dan pembina sekolah, dalam artian
kurikulum sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervisi yaitu
memperbaiki situasi belajar, sebagai pedoman dalam menunjang situasi
belajar, memberikan bantuan kepada guru, sebagai pedoman untuk
mengembangkan kurikulum lebih lanjut dan sebagai pedoman
e. Fungsi kurikulum bagi orang tua murid. Maksudnya orang tua dapat turut
serta membantu usaha sekolah dalam memajukan putra putrinya. Bantuan
ini dapat melalui konsultasi kepada guru BK atau kepala sekolah.
f. Fungsi kurikulum bagi sekolah. Ada dua jenis yang berkaitan yaitu
keseimbangan proses pendidikan dan penyiapan tenaga guru.
g. Fungsi kurikulum bagi masyarakat dan pemakai lulusan sekolah.
Pemakaian lulusan ikut memberikan bantuan guna memperlancar
pelaksanaan program pendidikan yang membutuhkan kerja sama dengan
pihak luar dan memeberikan kritik atau saran yang membangun, dalam
rangka menyempurnakan program pendidikan di sekolah agar lebih
serasi dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja.
4. Metode
Ditinjau dari segi etimologis (bahasa), metode berasal dari bahasa
Yunani, yaitu “methodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati, dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Maka metode memiliki arti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan
(Arifin, 1996: 61).
Sedangkan bila ditinjau dari segi terminologis (istilah), metode dapat
dimaknai sebagai jalan yang ditempuh oleh seseorang supaya sampai pada
tujuan tertentu, baik dalam lingkungan atau perniagaan maupun dalam
kaitan ilmu pengetahuan dan lainnya (Arief, 2002: 87).
Artinya, metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah
pada cara pendidik menggunakan metode pembelajaran. Berkaitan dengan
pendidikan akhlak, ada beberapa metode yang bisa digunakan (Zuhriyah,
2011:65):
a. Metode Ceramah
Yaitu penuturan bahan pelajaran secara lisan. Pendidik
memberikan uraian atau penjelasan kepada sejumlah murid pada waktu
tertentu (terbatas) dan tempat tertentu. Dilaksanakan dengan bahasa lisan
untuk memberikan pengertian terhadap suatu masalah.
b. Metode Keteladanan
Melalui metode ini orang tua atau pendidik dapat memberi contoh
atau teladan bagaimana cara berbicara, bersikap, beribadah dan
sebagainya. Maka anak atau peserta didik dapat melihat, menyaksikan
dan menyakini cara sebenarnya sehingga dapat melaksanakannya dengan
lebih baik dan lebih mudah.
c. Metode Pembiasaan
Metode pembiasaan dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini
termasuk mengubah kebiasaan-kebiasaan negatif menjadi kebiasaan atau
perilaku positif. Dalam upaya menciptakan kebiasaan yang baik atau
positif ini dapat dilakukan dengan dua cara, antara lain ditempuh dengan
proses bimbingan dan latihan serta dengan cara mengkaji aturan-aturan
Tuhan yang terdapat dalam ayat yang bentuknya amat teratur.
Pembiasaan yang baik sangat penting bagi pembentukan watak
sampai hari tuanya. Menanamkan pembiasaan pada anak-anak terkadang
sukar dan memakan waktu lama. Akan tetapi segala sesuatu yang telah
menjadi kebiasaan akan sukar pula diubah. Maka dari itu, lebih baik
menjaga anak-anak atau peserta didik supaya mempunyai
kebiasaan-kebiasaan yang baik dari pada terlanjur memiliki kebiasaan-kebiasaan-kebiasaan-kebiasaan
yang tidak baik.
d. Metode Nasihat
Metode inilah yang sering digunakan oleh orang tua atau pendidik
terhadap anak atau peserta didik dalam proses pendidikannya. Memberi
nasihat tentang kebaikan sebenarnya menjadi kewajiban setiap muslim,
seperti dalam surat Al-Ashr ayat 3:
Artinya: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”
e. Metode Kisah atau Cerita
Adalah suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran dengan
menuturkan secara kronologis bagaimana terjadinya suatu hal, baik yang
sebenarnya maupun yang rekaan saja. Adapun tujuan yang diharapkan
melalui metode ini adalah agar anak atau peserta didik dapat memetik
hikmah dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah yang disampaikan.
f. Metode Pemberian Hadiah dan Hukuman
Metode pemberian hadiah atau reward ini tujuannya memberikan
dan hadiah yang diberikan tidak harus berupa materi. Sedangkan
hukuman dimaksudkan untuk memberi efek jera kepada peserta didik
agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahannya lagi.
5. Lembaga
Salah satu sistem yang memungkinkan proses pendidikan berlangsung
secara konsisten dan berkesinambungan dalam mencapai tujuan
pendidikan adalah intitusi atau kelembagaan. Tanpa adanya tempat,
kegiatan belajar tidak mungkin bisa dilakukan (Nata, 1997: 112).
Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional,
mengatakan bahwa:
a. Suatu pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar
yang dilaksanakan di sekolah atau luar sekolah.
b. Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari
pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan.
c. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok
belajar, kursus dan satuan pendidikan yang sejenis.
Dari beberapa lembaga pendidikan yang ada, lembaga yang relevan
dalam pendidikan akhlak adalah sekolah, madrasah atau pondok pesantren.
E.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan Akhlak
Ada dua faktor utama yang mempengaruhi akhlak yaitu faktor internal
dan faktor eksternal (Ya’qub, 1991: 57).
Yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang datang dari
diri sendiri yaitu fitrah yang suci yang merupakan bakat bawaan sejak
manusia lahir dan mengandung pengertian tentang kesucian anak yang lahir
dari pengaruh-pengaruh luar, sebagaimana firman Allah dalam QS Ar ruum
ayat 30:
َﻚِﻟَذ ِﻪﱠﻠﻟا ِﻖْﻠَِﳋ َﻞﻳِﺪْﺒَـﺗ ﻻ ﺎَﻬْـﻴَﻠَﻋ َسﺎﱠﻨﻟا َﺮَﻄَﻓ ِﱵﱠﻟا ِﻪﱠﻠﻟا َةَﺮْﻄِﻓ ﺎًﻔﻴِﻨَﺣ ِﻦﻳﱢﺪﻠِﻟ َﻚَﻬْﺟَو ْﻢِﻗَﺄَﻓ
ُﻦﻳﱢﺪﻟا
َنﻮُﻤَﻠْﻌَـﻳ ﻻ ِسﺎﱠﻨﻟا َﺮَـﺜْﻛَأ ﱠﻦِﻜَﻟَو ُﻢﱢﻴَﻘْﻟا
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Dengan demikian setiap anak yang lahir ke dunia ini telah memiliki
keagamaan yang nantinya akan mempengaruhi dirinya.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi kelakuan atau
perbuatan manusia yang meliputi:
a. Pengaruh Keluarga
Setelah manusia lahir, maka akan terlihat jelas fungsi keluarga
dalam pendidikan, yaitu memberikan pengalaman kepada anak, baik
melalui pemeliharaan, pembinaan dan pengaruh yang menuju pada
terbentuknya tingkah laku yang diinginkan oleh orang tua.
Orang tua (keluarga) merupakan pusat kegiatan rohani bagi anak
yang pertama, baik itu tentang sikap, cara berbuat, cara berfikir itu akan
kelihatan. Keluarga sebagai pelaksana pendidikan yang akan
b. Pengaruh Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang kedua setelah
keluarga, di sana dapat mempengaruhi akhlak anak. Didalam sekolahan,
berlangsung beberapa bentuk dasar dari kelangsungan pendidikan pada
umumnya, yaitu pembentukan sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan yang
wajar, perangsang dari potensi-potensi anak, perkembangan dari
kecakapan pada umumnya belajar kerjasama dengan kawan sekelompok,
melaksanakan tuntunan atau contoh-contoh yang baik dan belajar
menahan diri demi kepentingan orang lain (Yunus, 1978:31).
c. Pengaruh Masyarakat
Masyarakat dalam pengertian sederhana adalah individu dalam
kelompok yang diikat dalam ketentuan negara, kebudayaan dan agama.
Lingkungan dan alam sekitar mempunyai pengaruh yang sangat
besar dalam membentuk akhlak. Lingkungan yang baik akan menarik
anak-anak untuk berakhlak baik. Sebaliknya, jika lingkungan yang jelek
maka akan menarik anak-anak untuk berakhlak jelek. Oleh karena itu,
haruslah pendidik memperlihatkan lingkungan yang berhubungan dengan
anak-anak di luar rumah tangga. Mereka akan mencontoh akhlak di
sekitar mereka dan ditirunya perkataan dan perbuatan mereka dengan
tiada disadarinya (Yunus, 1978:33).
Dengan demikian akhlak mulia membutuhkan pendidikan, baik dari
keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat dengan diterapkannya
anak dapat memahami dan mengetahui berbagai corak kegiatan tingkah laku
lebih-lebih dalam pembentukan akhlak mulia.
F.Macam-Macam Akhlak
Akhlak dibagi menjadi dua jenis yaitu akhlak terpuji (mahmudah) dan akhlak tercela (mazmumah) (Solihin, 2005: 111).
1. Akhlak Terpuji
Akhlak terpuji merupakan terjemah dari ungkapan bahasa arab akhlaq mahmudah. Kata Mahmudah merupakan bentuk maf’ul dari kata hamida
yang berarti dipuji (Anwar, 2010: 87).
Akhlak terpuji mencakup karakter-karakter yang diperintahkan Allah
dan Rasul untuk dimiliki seperti:
a. Rasa belas kasihan dan lemah lembut. Akhlak ini berdasarkan tuntutan
Allah di dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 159:
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya”
c. Manis muka dan tidak sombong. Tuntutan akhlak ini berdasar Al Qur’an
surat Luqman ayat 18:
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”
d. Tekun dan merendahkan diri dihadapan Allah. sikap ini berdasar Al
Qur’an surat Al Mu’minun ayat 2:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya” e. Berbuat baik dan beramal shaleh. Sesuai dengan tuntutan Allah dalam Al
Qur’an surat Al Nisa’ ayat 124:
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”
f. Sabar
1) Sabar dalam beribadah dan beramal shaleh.
2) Sabar untuk tidak melakukan maksiat dan mengikuti godaan duniawi
yang dilarang.
3) Sabar ketika tertimpa musibah.
Sikap tersebut terkandung dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 153:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”
2. Akhlak Tercela
Kata madzmumah berasal dari bahasa arab yang artinya tercela. Segala
bentuk akhlak yang bertentangan dengan akhlak terpuji disebut akhlak
tercela. Akhlak tercela merupakan tingkah laku yang tercela yang dapat
merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan martabatnya sebagai
manusia (Anwar: 2010: 121).
Akhlak tercela (mazmumah) yang diperintahkan oleh Allah untuk
ditinggalkan. Akhlak ini menyebabkan pelakunya mendapat kemurkaan dari
Allah dan dijauhkan dari kasih sayang-Nya.
Diantara akhlak-akhlak tercela yang dilarang dalam Al Quran adalah:
a. Bakhil. Larangan Allah terdapat dalam surat Al Lail ayat 8-10:
b. Suka berdusta. Dijelaskan dalam Al Quran surat Al Nisa ayat 112:
Artinya: “Dan Barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka Sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata”.
c. Tidak menepati janji. Larangan ini termuat dalam surat Al Nisa ayat 107:
Artinya: “Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa”.
d. Ghibah. Termuat dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 12: