BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Struktur Agraria
Istilah agraria berdasarkan penelusuran etmologis Kamus Bahasa
Latin-Indonesia dan World Book Dictionary dalam Sitorus (2002) berasal dari kata “ager”, yang artinya “lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah”. Suatu bentangan “lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah” yang terdiri dari aneka unsur yang meliputi tanah, air, hutan, bahan mineral/tambang, udara dan lain-lain. Sitorus
(2002) juga menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas
dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang
mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial
yang terdapat di dalamnya.
Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau
sering disebut sebagai sumber-sumber agraria dan subyek agraria. Unsur yang
pertama, yaitu sumber-sumber agraria, sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu,
sumber-sumber agraria berkaitan erat dengan akumulasi kekuasaan (politik,
ekonomi dan sosial).
Merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, 6) UUPA 1960, Sitorus (2002)
menyimpulkan sumber-sumber agraria sebagai berikut: (1) tanah atau “permukaan bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan; (2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan
perikanan (sungai, danau maupun laut); (3) hutan, meliputi kesatuan flora dan
fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam
kegiatan ekonomi komunitas-komunitas; (4) bahan tambang, mencakup beragam
bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”; dan (5) udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air.
Unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek
agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur
individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok), pemerintah
(sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Desa) dan swasta (private sector yang mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan
dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/
pemanfaatan (tenure institutions).
Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan akan membawa implikasi
terbentuknya ragam sosial, sekaligus interaksi sosial diantara ketiga subyek.
Dimana satu dan lain subyek saling berhubungan secara sosial dalam kaitan
hubungan teknis masing-masing subyek itu dengan sumber-sumber agraria.
Sitorus (2002) membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk
kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu. Proporsi pertama ini menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek
agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi
Kedua, ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu.
Proporsi kedua ini menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan
cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan
obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses
dalam hal penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan. Hubungan-hubungan
sosial agraria antar subyek agraria yang kemudian membentuk sebuah struktur
agraria dapat digambarkan dalam hubungan segitiga antar subyek agraria yang
digambarkan oleh Sitorus (2004) berikut ini (Gambar 1).
Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria Keterangan:
Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria
Struktur agraria pada penelitian ini adalah hubungan antara subyek dengan
sumber-sumber agraria mencakup penguasaan/pemilikan/pemanfaatan lahan.
Menurut Wiradi (1984), kata ”pemilikan” tanah menunjuk pada penguasaan
formal sedangkan ”penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Misalnya,
jika seseorang memiliki sebidang tanah 2 hektar, kemudian juga menggarap lahan
orang lain seluas 3 ha, maka luas lahan yang ia kuasai adalah 5 hektar. Komunitas
Sumber-sumber Agraria
Swasta Pemerintah
Pemilikan tanah dari sisi sosial, bukan hanya merupakan harta ekonomi,
tetapi mencerminkan status sosial seseorang. Penguasaan tanah belum tentu dan
tidak harus disertai dengan pemilikan. Sihaloho (2004) menambahkan bahwa
penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik
dengan pembagi-hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai”
dan lain-lain. Sedangkan kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan
sebidang tanah secara produktif.
Kelembagaan penguasaan tanah yang umumnya dilakukan masyarakat di
desa-desa Jawa adalah sebagai berikut (Wiradi dan Makali, 1984):
1. Sistem Gadai, merupakan bentuk kelembagaan penguasaan tanah dimana
pemilik menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara
tunai atau dengan bentuk pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau sekian
gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan
pemilik tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebus, maka
hak pengusahaan tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah
dilakukan setelah tanah selesai dipanen.
2. Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang
lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa.
3. Sistem bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang
lain untuk diusahakan, dengan penggarap akan menanggung beban tenaga kerja
Terkait pola hubungan agraria, Sihaloho (2004) mengelompokkan
penguasaan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu:
1. Masyarakat yang memiliki lahan luas dan mempercayakan lahan garapannya
untuk digarap orang lain. Pemilik lahan ini menerapkan sistem sewa ataupun
bagi hasil.
2. Pemilik lahan sempit yang menggunakan tenaga kerja keluarga untuk
mengolah lahan yang dimilikinya. Pemilik lahan ini tidak memanfaatkan
tenaga kerja buruh karena luas lahan yang dimiliki sempit dan dana yang
dimiliki untuk biaya pengolahan lahan terbatas.
3. Pemilik lahan mengolah sendiri lahan yang dimiliki dengan memanfaatkan jasa
buruh tani. Petani yang dimaksud dari pernyataan ini adalah petani yang
memiliki lahan sempit maupun luas.
Wiradi (1984) menambahkan bahwa terdapat lima pengelompokkan
penduduk desa dalam penguasaan lahan, diantaranya: (1) Pemilik Penggarap
Murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; (2) Penyewa
dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) Pemilik penyewa
dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) Pemilik bukan penggarap; dan
(5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan
garapan. Sebagian besar dari mereka (tunakisma) ini adalah buruh tani dan hanya
Bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di Pulau Jawa
menurut Wiradi (1984) adalah:
1. Tanah yasan, yasa atau yoso yaitu tanah yang didapatkan seseorang karena membuka hutan atau tanah liar untuk dijadikan tanah garapan. Hak seseorang
berasal dari fakta bahwa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka
tanah tersebut. Istilah yasa atau yoso dalam bahasa Jawa berarti membuat sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli). Bentuk hak atas tanah ini
dalam UUPA-1960 dikategorikan sebagai hak milik.
2. Tanah gogolan, pekulen, kesikepan dan sejenisnya, yaitu tanah pertanian milik masyarakat desa yang hak pemanfaatannya biasanya dibagi-bagi kepada
sejumlah petani (biasanya disebut sebagai penduduk inti) secara tetap maupun
secara giliran berkala. Pemegang hak garap tanah ini tidak berhak untuk
menjualnya atau memindahtangankan hak tersebut. Pada konsep barat
pemilikan tanah gogol dikategorikan sebagai pemilikan komunal.
3. Tanah titisara, titisoro, kas desa atau bondo desa adalah tanah pertanian milik desa yang secara berkala biasanya disewakan atau disakapkan dengan cara
dilelang terlebih dahulu. Hasilnya menjadi kekayaan desa yang biasanya
dipergunakan untuk keperluan-keperluan desa, baik sebagai sumber dana
anggaran rutin maupun untuk pembangunan. Tanah ini dalam konsep Barat dapat digolongkan dalam “tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal” dan keberadaannya diakui dalam UUPA-1960.
4. Tanah bengkok yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai gajinya
tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada pejabat yang baru.
Tanah ini juga merupakan “tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal” dan keberadaannya diakui dalam UUPA-1960.
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Agraria Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi perubahan struktur
agraria. Zuber (2007) mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi
perubahan struktur agraria, diantaranya:
1. Permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal
tanah yang luas;
2. Faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan;
3. Kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang
mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian, penggunaan
pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan
pertanian; dan
4. Kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang
tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang
sampai sekarang masih sangat pelik. Para petani miskin masih sangat
menderita dengan proses input pertanian yang sangat tinggi (high cost), namun di sisi lain penjualan outputnya masih sangat rendah. Penelitian Syafa’at et al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan
bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menentukan
kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun dan (2) respon petani
terhadap dinamika pasar, lingkungan dan daya saing usahatani meningkat.
Sihaloho (2004) dalam hasil kajiannya menjelaskan faktor-faktor
penyebab konversi lahan di Kelurahan Mulyaharja, Bogor, Jawa Barat sebagai
berikut:
1. Faktor pertambahan penduduk yang begitu cepat berimplikasi kepada
permintaan terhadap lahan pemukiman yang semakin meningkat dari tahun ke
tahun;
2. Faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat
pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil
penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha mencari bentuk
usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk
mendapatkan modal dalam memulai usahanya, petani pada umumnya menjual
tanah yang dimilikinya.
3. Faktor luar, yaitu pengaruh warga dari desa-kelurahan perbatasan yang telah
lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak Perseroan Terbatas (PT);
4. Adanya penanaman modal pihak swasta dengan membeli lahan-lahan
produktif milik warga;
5. Proses pengalihan pemillik lahan dari warga ke beberapa PT dan ke beberapa
orang yang menguasai lahan dalam luasan yang lebih dari 10 hektar; dan
6. Intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Berdasarkan RTRW tahun 2005, seluas 269,42 hektar lahan Kelurahan
Mulyaharja akan dialokasikan untuk pemukiman/perumahan real estate;
2.1.3 Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan ekosistem dimana jasad
hidup dan lingkungannya berinteraksi secara dinamik dan terdapat saling
ketergantungan (interdependensi) diantara komponen-komponen penyusunnya. Menurut Asdak (2002), DAS merupakan kumpulan Sub-DAS yang lebih kecil
dan jumlahnya sesuai dengan ordo atau jumlah cabang sungainya. Yunus (2005)
menambahkan bahwa DAS merupakan ekosistem yang di dalamnya terjadi
interaksi antara faktor-faktor biotik (vegetasi) dan faktor-faktor fisik (tanah dan
iklim) serta manusia dengan segala aktivitasnya. Interaksi yang terjadi dinyatakan
dalam bentuk keseimbangan masukan dan keluaran yang mencirikan keadaan
hidrologis DAS dengan melihat hasil pengukuran tingkat erosi, sedimentasi, aliran
permukaan, fluktuasi debit dan produktivitas lahan.
Kawasan DAS dibatasi oleh pemisah topografi yang menampung,
menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama
yang bermuara ke danau atau ke laut. Batasan-batasan DAS menurut Direktorat
Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air (2008) dibedakan berdasarkan
fungsinya, yaitu DAS bagian hulu yang didasarkan pada fungsi konservasi untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. Daerah Aliran
Sungai bagian hulu mempunyai peran paling penting, terutama sebagai tempat
penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Berikutnya adalah DAS bagian
tengah dan bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang
2.1.4 Sistem Pengelolaan Daerah Airan Sungai Terpadu
Suatu DAS dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan pembangunan
misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman,
pembangunan PLTA, pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan
tersebut akhirnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnya
peningkatan kesejahteraan. Namun demikian hal yang harus diperhatikan adalah
berbagai kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan jika tidak
ditangani dengan baik.
Dampak yang ditimbulkan dapat berupa penurunan tingkat produksi, baik
produksi pada masing-masing sektor maupun pada tingkat DAS. Upaya untuk
mengelola DAS secara baik dengan mensinergikan kegiatan-kegiatan
pembangunan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk
kepentingan menjaga kemampuan produksi atau ekonomi semata, tetapi juga
untuk menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir,
longsor, kekeringan dan lain-lain.
Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan
yang bersifat partisipatif dari berbagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam
memanfaatkan dan konservasi sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan
DAS Terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang
menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi
positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output.
Pihak-pihak yang dimaksud disini adalah pemerintah, swasta dan masyarakat.
Laporan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air (TPKSDA) (2007)
DAS Terpadu yang ingin dicapai, yaitu: (1) Terciptanya kondisi hidrologis DAS
yang optimal; (2) Meningkatnya produktivitas lahan pertanian dan hutan; (3)
Meningkatnya partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS;
dan (4) Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pertama, terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal, meliputi hasil air yang memadai baik jumlah, kualitas, kontinuitas serta terkendalinya erosi serta
kekeringan. Hasil air yang optimal ditekankan pada kemampuan DAS sebagi
suplai sumber air minum penduduk dan untuk keperluan lain rumah tangga, air
untuk industri, air untuk irigasi dan air untuk habitat biologi. Kedua, meningkatnya produktivitas lahan di DAS dapat dilihat dari meningkatnya
kesuburan tanah, ketersediaan air yang optimal, serta erosi dan degradasi lahan
rendah. Hal ini dapat dilakukan melalui usaha konservasi tanah dan air.
Ketiga, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari kelembagaan lokal
(organisasi/kelompok) yang ada di masyarakat. Dimana anggota-anggota
masyarakat berusaha meningkatkan kapasitas kelembagaannya dalam mengelola
sumberdaya yang ada untuk menghasilkan perbaikan yang berkelanjutan dalam
menjaga kelestarian DAS.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS dapat dilihat dari
partisipasi mayarakat yang terorganisir dalam kelembagaan, seperti kelompok
tani dan kelompok tradisional (Kolopaking dan Tonny, 1994). Selanjutanya
menurut Kolopaking dan Tonny (1994), tingkat partisipasi masyarakat dapat
dikategorikan sebagai berikut: (1) Tingkat partisipasi tinggi, apabila peranserta
juga berperanserta dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan; (2)
Tingkat partisipasi sedang, apabila peranserta masyarakat hanya dalam proses
pelaksanaan dan pemanfaatan hasil dan (3) Tingkat partisipasi masyarakat rendah,
apabila peranserta masyarakat tidak memenuhi kriteria (1) dan (2). Keempat, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ini dapat dilihat dari pelaksanaan
program/kegiatan yang berhubungan dengan upaya menjaga keberlanjutan
ekosistem sumber daya hutan, lahan dan air di DAS.
2.1.5 Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Perubahan penggunaan lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap
kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan
lainnya seperti pertanian, perumahan dan lainnya. Pengusahaan lahan pertanian
pada umumnya kurang mengindahkan aspek lingkungan dan lebih mengutamakan
hasil/keuntungan finansial sesaat. Para petani pada umumnya kurang menerapkan
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air (Deptan, 2008). Banyak petani yang
menggunakan bahan kimia untuk meningkatkan produksi pertaniannya. Namun,
dengan penggunaan bahan kimia ini justru akan menurunkan produktivitas lahan.
Pembukaan lahan untuk pemukiman juga memberikan kontribusi terhadap
kerusakan lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman di DAS
dapat mengakibatkan dampak negatif khususnya bila dilihat dari laju erosi
(Yunus, 2005). Selain itu lingkungan pemukiman yang telah berpenghuni akan
menghasilkan limbah domestik, baik berupa sampah padat organik maupun
Perubahan-perubahan ini secara tidak langsung akan mempengharuhi
keadaan DAS. Apabila perubahan-perubahan tersebut tidak segera dikelola
dengan baik, akan mempengaruhi tingkat erosivitas yang dapat menyebabkan
daya tampung air menurun tajam. Apabila tidak dikelola dengan baik maka inilah
yang sering mengakibatkan banjir dimusim hujan dan kekurangan air dimusim
kemarau.
Kolopaking dan Tonny (1994) menyatakan bahwa selama ini pelaksanaan
program konservasi dan pengelolaan DAS yang muncul umumnya berupa bentuk
hubungan vertical-instructional dan partisipasi yang semu. Hal ini terjadi karena kelembagaan tradisional semata-mata dipandang sebagai obyek. Selain itu dari
sisi masyarakat yang menjadi anggota kelompok tani dan kelompok tradisional,
kendala yang mereka hadapi sehingga tidak dapat berpartisipasi sepenuhnya
adalah karena faktor pemilikan lahan (Kolopaking dan Tonny, 1994).
Salah satu contoh di luar Jawa (DAS Saddang, Jeneberang dan
Batanghari), tidak sedikit lahan kritis milik pemerintah yang ditelantarkan.
Padahal para petani mau berperanserta melakukan kegiatan konservasi di atas
lahan kritis tersebut. Akan tetapi karena status lahan yang tidak jelas dan tidak
memiliki kekuatan untuk menguasai lahan tersebut, menyebabkan para petani
tidak mampu untuk berpartisipasi dalam program-program konservasi.
Lahan-lahan kritis di wilayah DAS tidak saja menyebabkan menurunnya
produktivitas tanah di tempat terjadinya lahan kritis itu sendiri, tetapi juga
menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS dalam menahan, menyimpan dan
meresapkan air hujan yang jatuh pada kawasan DAS tersebut. Penurunan
sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan ekonomi keluarga sehingga
tercipta keluarga-keluarga miskin baru. Oleh karena itu kawasan lahan kritis
selalu dicirikan oleh produktivitas lahan yang rendah, jumlah penduduk yang
tinggi, pendapatan petani yang rendah, potensi erosi yang tinggi,
terkonsentrasinya kantong kemiskinan dan kerawanan gizi dan yang lainnya
(TKPSDA, 2008).
Menciptakan proses koordinasi dalam mencari dan menetapkan
bentuk-bentuk hubungan kelembagaan antara pemerintah dengan swasta, masyarakat,
LSM maupun akademisi dalam pengelolaan DAS tidaklah mudah. Beberapa
pelaksanaan program-program konservasi dan pengelolaan DAS yang selama ini
telah dilaksanakan, khususnya mengenai hubungan antara kelembagaan
pemerintah dengan swasta dan LSM belum terencana dan terlaksana dengan baik.
Bentuk kelembagaan diantara pihak-pihak yang terlibat dapat dilihat
dengan mengidentifikasi terlebih dahulu sumber-sumber kerusakan yang terjadi
pada wilayah DAS, seperti kerusakan hutan, tanah dan air, kemudian dicari
bentuk-bentuk usaha yang menguntungkan dan mampu menciptakan pelestarian
sumberdaya yang ada (Kolopaking dan Tonny, 1994). Selanjutnya Kolopaking
dan Tonny (1994) menjelaskan bahwakerusakan hutan, tanah dan air di beberapa
DAS di Pulau Jawa lebih bersumber dari tekanan penduduk, sedangkan kerusakan
di luar Pulau Jawa lebih banyak bersumber dari eksploitasi hutan dan program
2.2 Kerangka Pemikiran
Penjelasan-penjelasan di atas dapat dirangkai menjadi sebuah kerangka
pemikiran yang selanjutnya akan menjadi suatu permasalahan baru dalam
mengangkat tema mengenai perubahan struktur agraria di wilayah DAS. Sesuai
dengan fokus penelitian ini dikemukakan sejumlah faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan struktur agraria dan bagaimana perubahan tersebut
mempengaruhi pengelolaan DAS Terpadu.
Struktur agraria pada dasarnya merupakan pola hubungan antar berbagai
status sosial menurut penguasaan sumber-sumber agraria. Menurut Sihaloho
(2004), hubungan tersebut dapat berupa hubungan “pemilik dengan penggarap”,
“pemilik dengan pembagi hasil”, “ pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan” dan lain-lain. Kata “pemilik” menunjuk pada penguasaan formal, sedangkan kata
“penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif (Wiradi, 1984). Sedangkan kata “pengusahaan” mengandung arti pada bagaimana cara caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif.
Pemanfaatan lahan di wilayah DAS untuk areal pertanian, perkebunan,
perikanan, permukiman dan yang lainnya, telah menyebabkan terjadinya
perubahan struktur agraria di wilayah DAS. Perubahan struktur agraria ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) meletusnya Gunung
Galunggunga, (2) faktor keterdesakan ekonomi, (3) faktor sosial budaya
(warisan), (4) harga jual tanaman kayu, (5) akses ke jalan utama desa, dan (6)
keinginan berinvestasi lahan pertanian.
Perubahan struktur agraria dengan membuka lahan garapan baru non
terkendali di DAS, akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan beban dan
tekanan stabilitas DAS yang mengarah pada kerusakan secara nyata. Tingkat
kerusakan DAS ini diindikasikan dengan fluktuasi debit sungai yang tajam antara
musim penghujan dan kemarau, pendangkalan sungai, terjadinya tanah longsor,
banjir dan kekeringan. Permasalahan-permasalahan tersebut memerlukan suatu
bentuk pengelolaan DAS yang terpadu melalui kontribusi berbagai pihak terkait
(masyarakat, pemerintah, swasta), sehingga dapat tercapai suatu bnetuk
pengelolaan DAS Terpadu. Secara skematis, kerangka pemikiran mengenai
penelitian ini disajikan pada Gambar 2.
2.3 Hipotesis Pengarah
Sesuai dengan tujuan yang diajukan, maka hipotesis pengarah untuk
penelitian ini adalah:
1. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perubahan struktur agraria
(pemilikan, penguasaan dan pengusahaan) di DAS adalah: meletusnya
Gunung Galunggunga, faktor keterdesakan ekonomi, faktor sosial budaya
(warisan), harga jual tanaman kayu, akses ke jalan utama desa, dan keinginan
berinvestasi lahan pertanian.
2. Perubahan struktur agraria dalam hal penggunaan lahan di DAS diduga akan
Gambar 2. Bagan Kerangka Analisis Pengaruh Perubahan Struktur Agraria terhadap Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Keterangan :
Hubungan Mencakup
2.4 Definisi Konseptual
1. Penguasaan tanah adalah penguasaan efektif terhadap lahan yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Pengusahaan tanah adalah bagaimana memanfaatkan sebidang tanah secara
produktif.
3. Lahan kritis adalah lahan yang keadaan biofisiknya sedemikian rupa sehingga
lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya
sebagai media produksi maupun sebagai media tata air.
4. Konservasi tanah adalah upaya mempertahankan, merehabilitasi dan
meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukannya. Faktor Penyebab Perubahan
Struktur Agraria:
1. Pertambahan penduduk 2. Faktor ekonomi 3. Faktor sosial budaya
(warisan)
4. harga jual tanaman kayu 5. Akses ke jalan utama 6. keinginan berinvestasi lahan
pertanian
Perubahan Struktur Agraria DAS: 1. Pemilikan lahan
2. Penguasaan lahan
Pengelolaan DAS Terpadu Stabilitas DAS Partisipasi Berbagai Pihak: Pemerintah, Swasta, Masyarakat, LSM dan Akademisi 3. Penggunaan Lahan
5. Pertambahan penduduk adalah meningkatnya jumlah proporsi penduduk pada
suatu wilayah tertentu.
6. Faktor ekonomi adalah beruhubungan dengan kemampuan dalam memenuhi
kebutuhan rumahtangga.
7. Faktor sosial budaya adalah pemilikan lahan yang diperoleh melalui warisan.
8. Daerah Aliran Sungai adalah wilayah yang mengalirkan air yang jatuh di
atasnya.
9. Sub-DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya
melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam
beberapa sub-DAS.
10.Pengelolaan DAS Terpadu adalah pengelolaan sumberdaya DAS yang
partisipatif dari pihak-pihak yang terlibat, seperti pemerintah, masyarakat,
swasta.
11.Keberlanjutan (sustainable) adalah keberlanjutan program/kegiatan dalam upaya meningkatkan konservasi DAS.
12.Berwawasan lingkungan adalah memperhatikan aspek lingkungan untuk
menjaga ekosistem tetap seimbang.
2.5 Definisi Operasional
Untuk mengarahkan pengumpulan, pengelolaan dan analisis data dalam
penelitian dirumuskan sejumlah defenisi operasional sebagai berikut:
1. Perubahan struktur agraria adalah perubahan pola pemilikan, penguasaan dan
pemanfaatan lahan pertanian yang dilihat dari sebelum tahun 1999 (dahulu)
kuesioner menunjukkan bahwa perubahan struktur agraria dominan terjadi
pada periode sebelum tahun 1999 dan periode tahun 1999-2009.
2. Pengelompokkan pola penguasaan sawah dinyatakan dalam skala nominal
yang dilihat dari:
(1) Pemilik murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang
dimilikinya;
(2) Penggarap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi
mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil.
(3) Pemilik penggarap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya
sendiri juga menggarap lahan milik orang lain.
(4) Tunakisma sawah, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan
pertanian.
3. Kategori luas pemilikan lahan pertanian (sawah, kebun, kolam dan lahan kosong) yang dilihat adalah dahulu dan sekarang sesuai periode waktu yang telah ditetapkan. Luas pemilikan lahan dibagi ke dalam empat kategori, yakni tunakisma (tidak memiliki lahan pertanian), sempit, sedang dan luas. Nilai tiap kategori tersebut diperoleh melalui perhitungan ukuran penyebaran data,
dengan rumus: nilai maksimum – nilai minimum
3
Dinyatakan dalam skala ordinal dengan satuan bata (satu hektar = 700 bata), kemudian diperoleh nilai:
(1) Dahulu (sebelum tahun 1999) a. Tunakisma : 0 bata
c. Sedang: 550-1100 bata d. Luas: > 1100 bata (2) Sekarang (tahun 1999-2009) a. Tunakisma: 0 bata b. Sempit: < 515 bata c. Sedang: 515-1030 bata d. Luas: > 1030 bata
4. Kategori luas pemilikan dan penguasaan adalah sama. Hal ini karena luas
lahan maksimal dan minimal pemilikan dan penguasaan sebelum tahun 1999
dan pada periode tahun 1999-2009 memiliki nilai yang sama. Dinyatakan
dalam skala ordinal dengan satuan bata (1 hektar = 700 bata), indikatornya: (1) Dahulu (sebelum tahun 1999)
a. Tidak memiliki/meguasai sawah: 0 bata b. Sempit: < 517 bata
c. Sedang: 517-1034 bata d. Luas: > 1034 bata
(2) Sekarang (tahun 1999-2009)
a. Tidak memiliki/menguasai sawah: 0 bata b. Sempit: < 467 bata
c. Sedang: 467- 934 bata e. Luas: > 934 bata
5. Pola pemanfaatan lahan pertanian adalah pola tanam yang diterapkan oleh
petani pada lahan yang mereka usahakan. Dinyatakan dalam skala nominal
(1) Monokultur ialah pola tanam dengan satu jenis tanaman pada satu lahan. (2) Campur ialah pola tanam dengan berbagai jenis tanaman pada satu lahan,
perubahan jenis tanaman biasanya disesuaikan dengan musim.
6. Pengelolaan DAS yang akan dilihat adalah bentuk kegiatan pengelolaan DAS
yang dilakukan pihak pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mencapai
sasaran pengelolaan DAS Terpadu yang ditetapkan oleh Tim Koordinasi
Pengelolaan Sumberdaya Air (2008).
7. Pengaruh perubahan struktur agraria terhadap pengelolaan DAS dilihat dari
perubahan-perubahan alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan kaidah
konservasi dan keberadaan lahan-lahan kritis akan mempengaruhi kestabilan