• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN KUHP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN KUHP."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN KUHP. A. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU.No.36 Tahun 2009.

Kesehatan merupakan Hak Azasi Manusia (HAM) dan merupakan salah satu unsur dari upaya pemerintah untuk mensejahterahkan masyarakatnya yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu demi mewujudkan kesejahteraan umum. Dengan tubuh yang sehat maka kesejahteraan tersebut akan menjadi lebih baik lagi. Untuk lebih mewujudkan usaha kesejahteraan tersebut, pemerintah membuat suatu aturan yang konkret mengenai kesehatan. Hal ini dilakukan agar tidak adanya multi tafsir dari berbagai pihak dalam memberikan pemahaman mengenai kesehatan mengingat kesehatan tersebut tidak dapat dilihat dari satu sisi saja akan tetapi dari sisi yang lain juga.

Aturan yang konkret tersebut juga berfungsi untuk menciptakan suatu kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat dan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional dalam bidang kesehatan. Besarnya dampak kesehatan dalam perkembangan nasional menuntut adanya perhatian untuk kesehatan di nusantara. Ganguan kesehatan akan menimbulkan kerugian ekonomi negara. Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Upaya peningkatan kesehatan tersebut harus berdasarkan pengetahuan yang luas tentang kesehatan demi peningkatan

(2)

kesejahteraan (kesehatan) masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman aturan mengenai kesehatan yang terdahulu yakni UU. No.23 Tahun 1992 tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, kebutuhan hukum maka dibentuklah UU.No.36 tahun 2009 yang lebih sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini.

Dalam menjaga kesehatan tentu seringkali ditemukan beberapa tindakan-tindakan yang mengancam kesehatan tersebut dapat berupa kesengajaan, kelalaian, ataupun kecelakaan. Hal-hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai malpraktek yang lebih ditekankan kepada tindak pidana malpraktek. Didalam UU Kesehatan tidak dicantumkan pengertian tentang Malpraktek, namun didalam Ketentuan Pidana pada Bab XX diatur didalam Pasal 190 yang berbunyi:

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.

Pada pasal 63 UU No.36 Tahun 2009 jelas diatur mengenai upaya penyembuhan penyakit dan upaya untuk pemulihan kesehatan sebagai tolak ukur

(3)

perbuatan malpraktek menurut ketentuan pidana yang terdapat pada pasal 190 diatas.

Pasal 63

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan cacat.

(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan.

(3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

(4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

(5) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pembentukan perundang-undangan di bidang pelayanan kesehatan diperlukan, hal ini dilakukan supaya tindak pidana malpraktek dapat dijerat dengan ketentuan yang tegas. Motif yang ada pada pembentuk perundang-undangan untuk menyusun peraturan-peraturan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sangat bervariasi. Demikian pula halnya dengan dorongan-dorongan untuk menyusun perundang-undangan pelayanan kesehatan.

(4)

Landasan-landasannya adalah antara lain, sebagai berikut ( W.B.van der Mijn, 1982:15, dan seterusnya):19

1. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian.

Saat ini ada anggapan kuat bahwa tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk memlihara dan menanggulangi penyakit harus diberikan oleh pihak-pihak yang memang memperoleh pendidikan untuk itu. Pembentuk perundang-undangan dapat mengeluarkan peraturan-peraturan yang mewajibkan orang-orang yang membutuhkan jasa itu meminta bantuan kepada pihak-pihak tertentu.

Di samping itu, peraturan-peraturan tersebut dapat pula mewajibkan para ahli untuk menjalani pendidikan pasca atau purnapasca tertentu. Pembentuk perundang-undangan dapat mewajibkan organisasi-organisasi profesional tertentu untuk mewajibkan anggota-anggotanya mengikuti pendidikan tersebut atau menyelenggarakan sendiri pendidikan itu. Hanya orang-orang yang telah diakui keahliannya yang diizinkan untuk memberikan jasa-jasa keahlian di bidang pelayanan kesehatan, atas dasar pengakuan formal dan material terhadap kemampuan dan kecakapannya.

2. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu.

Kewajiban untuk menjalani keahlian kadang-kadang tidak menjamin tingkat kualitas tertentu yang dikehendaki atau dibutuhkan. Seseorang yang memerlukan pelayanan kesehatan seyogyanya percaya

19

Soerjono Soekanto,dkk, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja Karya, Bandung, 1987, halaman : 33.

(5)

akan keahlian pihak-pihak yang dimintainya bantuan. Hal ini disebabkan karena warga masyarakat biasanya benar-benar awam mengenai ilmu kesehatan dan teknologinya. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas keahlian dan kepercayaan masyarakat, diperlukan peraturan-peraturan tertentu, misalnya adanya hukum disipliner atau hukum pengendalian. Penerapan peraturan-peraturan hukum disipliner atau hukum pengendalian dapat dipercayakan kepada organisasi profesional yang diakui secara resmi.

3. Kebutuhan akan keterarahan (doelmatigheid).

Syarat berarti berpegang pada jalur tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk itu diperlukan perumusan tujuan yang benar dengan upaya-upaya yang direncanakan untuk memenuhi tujuan itu. Dengan demikian kualitas keahlian dapat dipertahankan dan kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat akan terpenuhi.

4. Kebutuhan akan pengendalian biaya.

Pembiayaan kesehatan masyarakat maupun kesehatan individual bukan merupakan hal yang murah dan sederhana. Biaya penyelenggaraan kesehatan, terutama yang bersifat kuratif dan rehabilitatif, tidak murah. Apabila kalau hal itu dikaitkan dengan teraf daya beli masyarakat. Biaya yang mahal itu tidak hanya berkaitan dengan harga obat, tetapi juga dengan imbalan jasa keahlian maupun tempat perawatan.

(6)

5. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya dan identifikasi kewajiban pemerintah.

Dalam suatu negara hukum dan kesejahteraan dengan pemerintahan konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan kesehatan. Sudah tentu kewajiban ini dapat diserasikan dengan tanggung jawab sektor swasta. Kewajiban itu tidak bersifat sepihak, tetapi senantiasa harus diserasikan dengan hak warga masyarakat. Hak warga masyarakat untuk memilih salah satu metode pelayanan kesehatan tertentu merupakan salah satu hak asasi baginya. 6. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum.

Pada masa lampau ada anggapan kuat bahwa kedudukan hukum pasien lebih rendah daripada tenaga kesehatan (misalnya bidan). Tenaga kesehatan, misalnya bidan, dianggap ahli yang mahatau sehingga pasien hanya boleh pasrah saja. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, risiko yang dihadapi pasien semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara bidan dengan pasien, misalnya, terdapat kesederajatan. Di samping bidan, maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang diatur di dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan bahwa bidan melakukan kekeliruan karena kelalaian yang lazimnya disebut medical- malpractise (malpraktek medis).

(7)

Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum disertai dengan hak dan kewajiban pasien.

 Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien 20:

a. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan Peraturan yang berlaku di Rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.

b. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi adil dan makmur.

c. Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.

d. Pasien berhak memperoleh asuhan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.

e. Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya.

f. Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.

g. Paien berhak mendapat pendampingan suami selama proses persalinan berlangsung.

h. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

20

(8)

i. Pasien berhak dirawat oleh dokter secara bebas menentukan pendapat kritis dan mendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.

j. Pasien berhak menerima konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengetahuan dokter yang merawat.

k. Pasien berhak meminta atas “privacy” dan kerahasian penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.

l. Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi: 1) Penyakit yang diderita.

2) Tindakan kebidanan yang dilakukan. 3) Alternatif terapi lainnya.

4) Prognosanya.

5) Perkiraan biaya pengobatan.

m. Pasien berhak menyetujui / memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.

n. Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakit.

(9)

p. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama / kepercayaan yang dianutnya selama itu tidak mengganggu pasien lainnya. q. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama

dalam perawatan di rumah sakit.

r. Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual.

s. Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus malpraktek.

t. Hak untuk menentukan diri sendiri (the right to self determination), merupakan dasar dari seluruh hak pasien.

u. Pasien berhak melihat rekam medik.

 Kewajiban pasien sebagai berikut :

a. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.

b. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter,bidan,perawat yang merawatnya,

c. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan, dan perawat.

d. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang selalu disepakati/ perjanjian yang telah dibuatnya.

(10)

7. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli.

Para ahli dalam bidang kesehatan, misalnya tenaga medis, dalam melaksanakan profesinya melakukan suatu pekerjaan yang kadang-kadang penuh risiko. Kalau yang bersangkutan telah melakukan tugasnya dengan benar menurut tolak ukur profesional (standar profesi), maka yang bersangkutan harus mendapat perlindungan hukum. Dalam hal ini pembentuk perundang-undangan tidak hanya harus membentuk peraturan-peraturan yang ketat mengenai kualitas profesi, tetapi diperlukan pula usaha-usaha untuk melindungi profesi itu (termasuk tenaga ahlinya).

Kebutuhan perlindungan hukum tidak terlepas dari hak dan kewajiban yang dimilikinya, bidan sebagai tenaga medis memiliki hak dan kewajibannya.

 Hak-hak bidan21 :

a. Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

b. Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat / jenjang pelayanan kesehatan.

c. Bidan berhak menolak keinginan pasien / klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundangan, dan kode etik profesi.

21

(11)

d. Bidan berhak atas privasi / kedirian dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.

e. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan jenang karir dan jabatan yang sesuai.

f. Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.

 Kewajiban- kewajiban bidan :

a. Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan dimana ia bekerja.

b. Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien. c. Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter

yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.

d. Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi oleh suami atau keluarga.

e. Bidan wajibmemberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.

f. Bisan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien.

(12)

g. Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta resiko yang mungkin dapat timbul.

h. Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informad Consent) atas tindakan yang akan dilakukan.

i. Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.

j. Bisan wajib mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal dan non formal.

k. Bidan wajib bekerja sama dengan proesi lain dan pihak yang terkait secara timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.

8. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga.

Dalam hubungan-hubungan antar bidan dengan pasien mungkin tersangkut pihak ketiga. Pihak ketiga itu mungkin tenaga paramedis, tenaga perawatan, atau tenaga kesehatan lainnya. Pihak ketiga itu berperan serta, baik dalam kegiatan diagnostik maupun terapeutik. Apabila terjadi kesalahan yang berakibat negatif pada pasien, siapakah yang bertanggung jawab? Jangan sampai terjadi pihak ketiga sama sekali tidak mendapat perlindungan hukum yang wajar.

(13)

Tidak mustahil bahwa kepentingan para ahli kesehatan tidak serasi dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Artinya, ada kemungkinan bahwa apa yang diharapkan oleh masyarakat, umpamanya, tidak sejalan dengan kode etik. Seorang penjahat yang terkenal kejamnya tertembak dan luka parah sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit. Tenaga kesehatan terikat pada sumpah dan kode etik, tetapi masyarakat mungkin mempunyai anggapan bahwa sebaiknya penjahat yang kejam itu dibiarkan mati saja. Masalah semacam ini juga menghendaki pengaturan yang benar, yang menyerasikan pelbagai kepentingan, termasuk kepentingan umum.

B. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut KUHP

Pelayanan kesehatan yang diberikan seorang tenaga medis kepada pasien merupakan tindakan profesi tenaga medis. Tindakan medis merupakan suatu tindakan yang penuh dengan risiko. Risiko tersebut dapat terjadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya atau risiko yang terjadi akibat tindakan medis yang salah. Dikatakan tindakan salah apabila tenaga medis tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi medik & prosedur tindakan medik. Apabila seorang tenaga medis melakukan tindakan salah, maka tenaga medis tersebut dapat dikategorikan melakukan tindakan malpraktik, sehingga dapat menyangkut aspek hukum pidana.

(14)

Tenaga medis adalah suatu profesi yang memiliki persyaratan tertentu karena dalam pelaksanaan profesi ini penuh dengan risiko. Persyaratan tertsebut meliputi persyaratan teknis yang berkaitan dengan kemampuan (berkaitan dengan ‘basic science’ serta keterampilan teknik) serta persyaratan yuridis, berkaitan dengan kompetensi.

Profesi tenaga medis mengandung risiko tinggi karena bentuk, sifat & tujuan tindakan yang dilakukan oleh seorang tenaga medis dapat berpotensi menimbulkan bahaya bagi seseorang. Undang-undang memberikan kewenangan secara mandiri kepada tenaga medis untuk melakukan & bertanggung jawab dalam melaksanakan ilmu medis menurut sebagian atau seluruh ruang lingkupnya serta memanfaatkan kewenangan tersebut secara nyata. Seorang tenaga medis dinyatakan melakukan kesalahan profesional apabila melakukan tindakan yang menyimpang atau lebih dikenal sebagai malpraktik.

Dalam pengertian sempit, disebut juga sebagai malpraktik kriminal. Suatu tindakan dikatakan sebagai malpraktik kriminal apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela (actus reus). 2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea).

3. Merupakan perbuatan yang sengaja (intensional), ceroboh (recklessness), atau kealpaan (negligence).

(15)

Apabila tindakan tersebut tidak didasari dengan motif untuk menimbulkan akibat buruk, maka tindakan tersebut adalah tindakan kelalaian. Akibat yang ditimbulkan dari suatu kelalaian sebenarnya terjadi di luar kehendak yang melakukannya.

Dalam hal tindak pidana malpraktik tidak diatur dengan jelas dalam KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan malpraktek tersebut.

Pada pasal 360 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 361.

22

Pasal 360

Ayat 1 : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”.

Ayat 2 : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4.500,-

Pada pasal 360 memiliki perbedaan dengan pasal 359, yakni pada pasal 359 dijelaskan akibat dari perbuatan yang menyebabkan “kematian” orang sedangkan dalam pasal 360 adalah :

22

R.Soesilo , Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, POLITEIA, Bogor, 2007 , halaman : 248.

(16)

a. Luka berat

Di dalam pasal 90 KUHP dijelaskan mengenai luka berat atau luka parah yakni :

1. 23Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut itu bukan luka berat. 2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan.

Kalau hanya buat sementara saja bolehnya tidak cakap melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongannya, sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu masuk luka berat.

3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindera. 4. Verminking atau cacat sehingga jelek rupanya.

5. Verlamming (lumpuh) artinya tidak bisa menggerakkan anggota badannya.

6. Pikirannya terganggu melebihi empat minggu.

7. Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.

b. Luka yang menyebabkan jatuh sakit (ziek) atau terhalang pekerjaan sehari-hari.

23

(17)

Sedangkan karena salahnya (kurang hati-hatinya) menyebabkan orang luka ringan tidak dikenakan pasal ini.

Pasal 361

“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan”.

Yang dikenakan pasal ini misalnya dokter, bidan, ahli-obat, sopir, kusir dokar, masinis yang sebagai orang ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Apabila mereka itu mengabaikan peraturan-peraturan atau keharusan-keharusan dalam pekerjaannya, sehingga menyebabkan mati (pasal 359) atau luka berat (pasal 360), maka akan dihukum lebih berat.

Sehubungan dengan aturan tindak pidana malpraktik maka diperlukan pembuktian terhadap tindak pidana malpraktik tersebut. Pembuktian dalam hal malpraktik merupakan upaya untuk mencari kepastian yang layak melalui pemeriksaan dan penalaran hukum tentang benar tidaknya peristiwa itu terjadi dan

(18)

mengapa mengapa peristiwa itu terjadi. Jadi tujuan pembuktian ini adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materil, bukan mencari kesalahan terdakwa. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP hakim dapat menjatuhkan pidana dengan syarat ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang diperoleh dari dua alat bukti tersebut atau sistem pembuktian menurut teori ‘negative wetelijk’, karena menggabungkan antara unsur keyakinan hakim & unsur alat-alat bukti yang sah menurut UU.

A. Keterangan saksi

Berdasarkan Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri & ia alami sendiri. Keterangan saksi ini menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP merupakan salah satu dari alat bukti dalam perkara. Untuk menggunakan keterangan saksi sebagai alat bukti diperlukan paling sedikit 2 orang saksi, karena satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis). Dalam kasus ini beberapa saksi dapat diajukan di dalam persidangan pidana antara lain saksi korban, dokter anestesi & perawat yang turut dalam tindakan operasi. Keluarga penderita tidak dapat dijadikan saksi karena mereka termasuk memiliki hubungan keluarga/semenda sampai derajat ketiga dengan terdakwa yang dilarang

(19)

menjadi saksi berdasarkan Pasal 168 KUHAP dgn kekecualian Pasal 169.24

B. Keterangan ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang berkeahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Seorang dokter yang sederajat keahliannya dapat dijadikan pemberi keterangan ahli & dalam penunjukannya akan lebih baik apabila berkonsultasi dengan IDI. Mereka termasuk dalam kelompok yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1 butir 28, Pasal 120, & Pasal 179 ayat (1) KUHAP. Keterangan ahli pada kasus ini diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana malpraktik tersebut menjadi lebih terang & jelas.

C. Alat bukti surat

Rekam medik penderita selama menjalani perawatan di sarana kesehatan dapat dijadikan alat bukti surat, karena rekam medik dibuat berdasarkan undang-undang (UU no.29/2004). Dari rekam medik ini akan dapat dilihat apa yang dilakukan dokter selama operasi berlangsung dari laporan operasi yang dibuat oleh dokter.

24

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-pidana-dalam-pelayanan-kesehatan/ akses tanggal 13 Agustus 2013, jam : 13:43 WIB.

(20)

D. Alat bukti petunjuk

Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti berupa perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana & siapa pelakunya.

E. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa merupakan pernyataan terdakwa tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri. Keterangan dokter yang melakukan tindakan medik dapat dijadikan alat bukti yang kebenarannya dapat dicocokkan dengan rekam medik.

Referensi

Dokumen terkait

Teknologi Pengolahan Biodiesel Dari Minyak Goreng Bekas Dengan Teknik Mikrofiltrasi Dan Transesterifikasi Sebagai Alternatif Bahan Bakar Mesin Diesel.. Balai Riset

Berdasarkan lampiran tabel diatas yakni tanggapan responden terhadap hidangan pokok maka dari 130 mahasiswa yang telah memberikan tanggapan dalam angket dengan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kepadatan total dan karakteristik bakteri pelarut fosfat yang di isolasi dari rizosfer tanaman pisang nipah (Musa paradisiaca

Choi dan Regenstein (2000) mengemukakan bahwa kulit, tulang, dan gelembung renang ikan merupakan limbah yang secara komersial dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku

Gelatin merupakan sistem koloidal padat (protein) dalam cairan (air) sehingga pada suhu dan kadar air yang tinggi gelatin mempunyai kemampuan cairan, yaitu

Oleh karena itu, pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan algoritma asimetri, karena dalam proses penyebarluasan kuncinya tidak memerlukan jalur khusus, karena

kesehatanpun bisa terjadi. Dampak dari pekawinan di bawah umur yaitu pada kesehatan baik wanita maupun pria untuk banyak sekai himbauan untuk tidak melakukan

Menurut Bartono dan Ruffino (2010: 59) pokok-pokok pengawasan supervisor meliputi; “pengawasan terhadap sumber daya manusia yang dipekerjakan, pengawasan terhadap