• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Tindak Pidana Aborsi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Masalahaborsi (pengguguran kandungan) yang dikualifikasikansebagai

tindak pidana yang dapat kita lihat dalamKUHP walaupun dalam Undang-Undang

Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan memuat sanksiterhadap perbuatan

aborsi tersebut. KUHP mengatur berbagai kejahatan maupunpelanggaran.

Kejahatanyang diatur di dalam KUHP adalah masalahAbortus Criminalis.

ketentuan mengenai Abortus Criminalis dapat dilihat dalam Pasal 299, Pasal 346

sampai dengan Pasal 349. Ketentuan mengenai aborsi dapat dilihat BAB XIX

Buku ke II KUHP tentang kejahatan terhadap jiwa (khususnya Pasal 346–349).37

(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita ataumenyuruhnya

supaya diobati dengan sengaja memberitahukan atau ditimbulkanharapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancampidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga riburupiah Adapun rumusan selengkapnya Pasal-Pasal tersebut:

Pasal 299:

(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan

ataumenjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan atau jika iaseorang tabib, bidan, atau juru obat, pidananya tersebut ditambah sepertiga.

(3) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan

pencarian,maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian.38

37

Annette Anasthasia Napitupulu, Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Di Indonesia, Medan, 2013. Diakses pada tanggal 18 maret 2015.

38

(2)

Pasal 346:

Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.

Pasal 347 :

(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya

seorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.

(2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum penjara

selama-lamanya lima belas tahun.

Pasal 348

(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau matikandungannya seseorang perempuan dengan izin perempuan itu dihukum penjara selama-lamanyalima tahun enam bulan.

(2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum penjarasalama-lamanya tujuh tahun.

Pasal 349 :

Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu dalam kejahatan yang tersebut Pasal 346, atau bersalah atau membantu dalam salah satu kejahatan yang direncanakan dalam Pasal 347 dan 348, maka hukumannya yang ditentukan dalam Pasal itu dapat ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecatdari

jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu.39

a. Pelaksanaan aborsi, yaitu tenaga medis atau dukun atau orang lain

denganhukuman maksimal 4 tahun ditambah sepertiga dan bisa juga dicabut

hakuntuk berperaktik.

Uraiandiatas dapat dijelaskan bahwa yang dapatdihukum, menurut KUHP

dalam kasus aborsi ini adalah:

b. Wanita yang menggugurkan kandungannya, dengan hukuman maksimal

4tahun

39Ibid.

(3)

c. Orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebabterjadinya

aborsi itu dihukum dengan hukuman bervariasi.40

Pada Pasal 299 KUHP yang melarang suatu perbuatan yang mirip dengan

abortus, tetapi tidak dengan penegasan bahwa harus ada suatu kandungan yang

hidup. Bahkan tidak perlu bahwa benar-benar ada seorang perempuan hamil.Pasal

299 ini sangat bersifat preventif untuk dapat lebih efektif memberantas abortus.41

Pasal 346 KUHP dapatditemukan beberapa unsur antara lain: 1) sengaja,

kesengajaan ini ditujukan padagugurnya kandungan, 2) menggugurkan kandungan

dilakukan terhadap diri ataumembiarkan orang lain untuk itu, berartimengizinkan

orang itu menyebabkanpengguguran kandungannya. Menyebabkan kematian

kandungan berarti membunuh kandungan itu di dalam perut ibunya.

Aborsi menurut konstruksi yuridis Peraturan Perundang-Undangan di

Indonesia adalah tindakan mengugurkan ataumematikan kandungan yang

dilakukan dengan sengaja oleh seorang wanita atau orang yang disuruh

melakukan untuk itu. Wanita hamil dalam hal ini adalah wanita yang hamil atas

kehendaknya ingin mengugurkan kandungannya, sedangkan tindakan yang

menurut KUHP dapat disuruh untuk lakukan itu adalah tabib, bidan atau juru obat.

Pengguguran kandungan atau pembunuhan janin yang ada di dalam kandungan

dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya: dengan obat yang

diminum atau dengan alat yang dimasukkan kedalam rahim wanita melalui lubang

kemaluan wanita.

42

40

Kusmaryanto,Pelajaran Hukum Pidana, Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002, hlm. 40.

41

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm.74.

42

(4)

Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungannya dikenakan Pasal 346 KUHP, sedangkan orang yang disuruh

melakukan perbuatan menggugurkan dan/atau mematikan kandungan perempuan

pengguguran kandungannya. Secara spesifik dan terperinci orangyang disuruh

menggugurkan dikenai Pasal 348 KUHP namun terdapat kesamaan dengan Pasal

346 KUHP yaitu dimana terdapat persetujuan antara perempuan yang dengan

sengaja ingin menggugurkan kandungannya dengan orang lain yang disuruh untuk

menggugurkan kandungannya. Setidak-tidaknya kedua belah pihak mempunyai

suatu kehendak yang sama untuk menggugurkan atau mematikan kandungan

perempuan.

Keterkaitan antara Pasal 346, 347, dan 348 KUHP. Pasal 346 dan 347

sendiri terdapat persamaan dan perbedaan masing-masing Pasal. Persamaannya

adalah di dalam Pasal tersebut sama-sama mengatur mengenai perbuatan

menggugurkan atau mematikan dengan obyek yang sama yaitu kandungan

seorang perempuan. Perbedaannya adalah pada Pasal 346 KUHP pengguguran

tersebut dilakukan dengan sengaja baik oleh perempuan itu sendiri atau dengan

cara menyuruh orang lain sedangkan pada Pasal 347 KUHP perbuatan

menggugurkan atau mematikan tersebut tidakmendapat izin dari perempuan yang

sedang mengandung atau dengan kata lain tanpa persetujuan. Perbuatan

menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut mendapat persetujuan dari

perempuan yang mengandung maka dapat dijerat dengan Pasal 348 KUHP.

Sedikit berbeda dengan Pasal 347 KUHP, Pasal 348 KUHP menegaskan

(5)

tersebut, walaupun dengan persetujuan dari wanita tersebut menurut pasal ini

kegiatan aborsi tetap tidak dapat dibenarkan. Ancaman hukuman dalam ayat (1)

Pasal ini adalah hukuman penjara 12 tahun, sedangkan ayat (2) menyatakan jika

perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita tersebut maka ancaman

hukumannya adalah 7 tahun penjara. Masing-masing dari Pasal 347 dan 348 ada

keadaan memperberat pidana, yaitu jika perempuan itu mati. Harus ada hubungan

kausalitas antara perbuatan menggugurkan kandungan yang menyangkut

perlakuan terhadap tubuh perempuan tersebut dan kematiannya. Untuk dapat

membuktikan hubungan kausalitas tersebut harus dibuktikan dengan adanya

visum dari dokter yang mempunyai kompetensi dan wewenang untuk

mengeluarkan visum.

Pasal 349 KUHP menyebutkan bahwa seorang tabib, bidan, dan juru obat

yang membantu melakukan kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun

melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan

Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah

dengan sepertiga. Jika dilihat seksama rumusan Pasal 349 tidak memuat rumusan

delik tersendiri, rumusannya tetap sama dengan Pasal 346 dalam hal pembantuan

terjadinya tindak pidana aborsi, yang jika pembantuan tersebut dilakukan oleh

tabib, bidan dan juru obat maka pidananya dapat ditambah sepertiga. Tabib,bidan

dan juru obat tersebut melakukan atau membantu melakukan delik dalam Pasal

347 (tanpa persetujuan yang hamil) dan Pasal 348 (dengan persetujuan yang

hamil) pidananya dapat ditambah dengan sepertiga.

Ketentuan pemberat pidana dalam Pasal 349 dapat dimaklumi,

(6)

(1) sebagai orang yang ahli yang justru keahlian itu disalahgunakan, yang

seharusnya ilmunya adalah untuk kemanfaatan bagi kehidupan dan kesehatan

manusia dan bukan sebaliknya, (2) karena keahlian mereka itu akan

memperlancar dan memudahkan terlaksananya kejahatan ini.43

B. Tindak Pidana Aborsi Menurut Undang-Undang Kesehatan

3. Abortus provocatus criminalis menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Aborsi kriminalis adalah penghentian kehamilan sebalum janin bisa hidup di

luar kandungan dengan alasan-alasan lain, selain medicalis, dilarang oleh hukum.

Tentu saja apa yang disebut aborsi kriminalis di suatu Negara tidak selalu sama

dengan yang berlaku di Negara lain. Dibeberapa Negara, aborsi yang dilakukan

sebelum berumur tiga bulan tidak dilarang, sedangkan di Indonesia semua bentuk

aborsi, kecuali karena alasan indikasi medis.44

Secara umum pengertian abortus provocatus criminalis adalah suatu

kelahiran dini sebelum bayi itu pada waktunya dapat hidup sendiri di luar

kandungan. Pada umumnya bayi yang keluar itu sudah tidak bernyawa lagi.45

43

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 124.

44

Kusumaryanto, Kontroversi Aborsi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 13.

45

Sri Setyowati, Masalah Abortus Kriminalis Di Indonesia Dan Hubungannya Dengan Keluarga Berencana Ditinjau Dari Kitap Undang-Undang Hukum Pidana, TP, Jakarta, 2002, hlm. 99.

Secara yuridis abortus provocatus criminalis adalah setiap penghentian kehamilan

sebelum hasil konsepsi dilahirkan, tanpa memperhitungkan umur bayi dalam

(7)

Bertolak pada pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pada abortus

provocatus ini ada unsur sengaja. Artinya suatu perbuatan atau tindakan yang

dilakukan agar kandungan lahir sebelum tiba waktunya. Menurut kebiasaan maka

bayi dalam kandungan seorang wanita akan lahir setelah jangka waktu 9 bulan 10

hari. Seorang bayi dalam kandungan dapat lahir pada saat usia kandungan baru

mencapai 7 bulan atau 8 bulan. Dalam hal iniperbuatan aborsi ini biasanya

dilakukan sebelum kandungan berusia 7 bulan.

Aborsi (baik keguguran maupun pengguguran kandungan) berarti

terhentinya kehamilan yang terjadi di antara saat tertanamnya sel telur yang sudah

dirahim sampai kehamilan 28 minggu. Batas 28 minggu dihitung sajak haid

terakhir itu diambil karena sebelum 28 minggu, janin belum dapat hidup.46

Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 346, 347, dan 348 KUHP

tersebut abortus criminalis meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut:47

a. Menggugurkan Kandungan (Afdrijving Van de vrucht atau vrucht

afdrijving).

b. Membunuh Kandungan (de dood van vrucht veroorzaken atau vrucht

Doden).

Kasus abortus provocatus criminalis merupakan kejahatan yang sering kali

terjadi karena pembiaran atau sikap apatis oleh masyarakat tentang gejala-gejala

yang ada. Mengingat angka abortus yang selalu meningkat dari tahun ketahun,

maka perlu adanya upaya-upaya penanggulangan sehingga abortus provocatus

criminalis dapat dicegah maupun dihindari.

46

Lilien Eka Chandra, Tanpa Indikasi Medis Ibu, Aborsi Sama Dengan Kriminal, Lifestyle, Mei 2006, hm. 10.

47

(8)

Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 ditulis secara jelas

bahwa aborsi merupakan perbuatan yang dilarang kecuali dalam indikasi medis.

Ketika berbicara mengenai aborsi tentu erat kaitannya dengan tenaga kesehatan

terutama dokter selaku yang melakukan aborsi terhadap pasiennya.

Sebelum menerima gelar dokter akan mengucapkan lafal sumpahnya yang

berbunyi “saya akan menghormati hidup insani mulai saat pembuahan” ada yang

menyebutkan bahwa sejak tahun 1983 lafal tersebut telah diubah oleh World

Medical Asosiate (WMA) menjadi “sejak kehidupan itu mulai” perubahan ini

tidak diberlakukan di Indonesia sampai pada saat ini, sehingga lafal sumpah

dokter kita masih tetap seperti tahun 1948.48Pasal 10 Kode Etik Kedokteran

Indonesia (selanjutnya dalam penulisan skripsi ini akan disingkat menjadi

KODEKI)menyebutkan “Setiap Dokter harus Senantiasa Mengingat akan

Kewajiban Melindungi Hidup Mahluk Insani,”disebutkan dalam bagian

penjelasan Pasal 10 KODEKI, yakni: seorang dokter tidak boleh melakukan

Abortus Provocatus.49

Perkembangan yang terjadi selama ini, tindak pidana aborsi seolah-olah

menjadi legal atau sah karena alasan-alasan lain, seperti : rasa kemanusian, ingin

“menolong” pasien, menghindarkan konsekuensi aborsi oleh dukun.Disepakati

bersama lafal Sumpah KODEKI merupakan pedoman bagi Dokter di Indonesia

dalam melakukan tugas kemenusiaan yaitu: menyembuhkan, melayani, serta

merawat orang sakit. Sumpah Dokter dan KODEKI dengan tegas dan jelas

menyebutkan bahwa tindakan seorang dokter dalam melakukan aborsi adalah Sebab dokter Indonesia harus melindungi makhluk insani

sejak pembuahan sampai dengan kematiannya.

48

Chrisdiono .M. Achadiat, Prosedur Tetap Obstetri Dan Ginekologi, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2004, hlm. I64.

49

(9)

bertentangan dengan sumpah dan KODEKI. Pengecualiannya adalah jika

kehamilan itu mengancam jiwa si ibu dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat

menyebabkan trauma psikologis bagikorban perkosaan.

Moralitas kedokteran sebenarnya tidak membenarkan aborsi sebagai tujuan

suatu tindak pidana. Aborsi hanya bisa dilakukan seandainya tidak ada jalan lain

lagi untuk menyelamatkan jiwa si ibu. Itupun dilakukan setelah memenuhi syarat

tertentu, seperti pertimbangan paling sedikit dari dua orang ahli. Selain itu harus

dilakukan di sarana kesehatan yang memanai, baik personil maupun peralatannya.

Selanjutnya perlu diketahui bahwa lafal Sumpah Dokter dan KODEKI itu ternyata

telah menjadi Peraturan Menteri Kesehatan. Sukaatau tidak suka telah menjadi

salah satu produk peraturan dalam sistem hukum Indonesia.

Undang-Undang kesehatan seakan-akan memberikan keleluasaan untuk

tindak pidana aborsi, padahal sebenarnya tidak demikian. Dalam Undang-Undang

tersebut dengan jelas melarang aborsi kecuali karena indikasi kedaruratan medis

dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis,

yang juga ditetapkan tentang kehamilan yang boleh diaborsi, sekaligus

syarat-syarat yang harus dipenuhi, bagi yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Pasal

75 dan 76 Undang-Undang Kesehatan, dikenakan sanksi pidana yang berat.

Penjelasa Pasal 75 ayat (2) huruf a dan b disebutkan “tindakan medis

dalambentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena

bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma

kesopanan.” Namun, hal ini dapat dikecualikan apabila ada indikasi kedaruratan

medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yangmengancam nyawa si

(10)

maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkanbayi tersebut hidup di

luar kandungan; ataukehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma

psikologis bagikorban perkosaan.

Pasal 76 butir b bahwa yang berwenag melakukan aborsi adalah tenaga

kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenagan yang memiliki sertifikat

yang ditetapkan oleh Menteri. Undang-Undang Kesehatan tidak semua dokter

boleh melakukan aborsi. Syarat lainnya disebutkan dalam butir e, yakni penyedia

layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Bagaimana jika aborsi dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan

pada Pasal 75 dan 76 undang-undang kesehatan tersebut? Ketentuan itu talah

diatur dalam Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan yakni:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 75 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak

Rp.1.000.000.000.000.- (satu miliar).50

4. Abortus provocatus medicalis menurut Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Aborsi provocatus medicalisadalah penghentian kehamilan dengan

indikasimedis untuk menyelamatkan nyawa ibu si janin, atau menghindarkan siibu

dari kerusakan fatal pada kesehatan si ibu yang tak bisadikembalikan

(irriversible). Di sini sebenarnya terjadi suatu konflikhak antara berbagai pihak,

yakni hak hidup janin yang ada dalamkandungan, hak hidup si ibu, dan hak

anak-anak yang lain (kalau sudahpunya) untuk mempunyai ibu. Pelaksanaan aborsi

medicinalismerupakan keadaan yang sulit dan dilematis, yang terpaksa harus

50

(11)

memilihsalah satu dari antara hak hidup yang tinggi nilainya. Oleh karena

itu,sebelum dilaksanakan aborsi ini perlu dicermati benar-benar apakahmemang

nyawa si ibu hanya bisa diselamatkan dengan cara aborsi.51

51

Kusmaryanto, Op.Cit., hlm. 13.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disahkan

pemerintah pada tanggal 13 Oktober 2009. Dengan disahkannya undang-undang

tersebut, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 dinyatakan dicabut dan

tidak berlaku lagi. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan oleh sebagian kalangan dianggap sebagai jawaban mengenai masalah

kesehatan saat ini. Undang-Undang Kesehatan yang telah dicabut dianggap tidak

mampu lagi mengakomodir perkembangan di bidang kesehatan.

Umumnya setiap Negara ada Undang-Undang yang melarang aborsi tetapi

larangan ini tidaklah mutlak sifatnya di Indonesia berdasarkan Undang-Undang,

melakukan aborsi, dianggap suatu kejahatan. Abors sebagai tindakan pengobatan,

apabila itu satu-satunya jalan untuk menolong jiwa dan kesehatan ibu, serta

sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan dapat dibenarkan dan biasanya

tidak dapat dituntut.

(12)

aborsi diatur di dalam beberapa Pasal, yaitu Pasal 75, 76, dan Pasal 77. Adapun

rumusan dari masing-masing Pasal tersebut adalah :

Pasal 75.

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dikecualikanberdasarkan:

a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,baik

yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderitapenyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapatdiperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;atau

b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma

psikologisbagi korban perkosaan.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah

melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiridengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yangkompeten dan berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan

perkosaan,sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan PeraturanPemerintah.

Pasal 76.

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama

haidterakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan

yangmemiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan

olehMenteri.

Pasal 77.

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.52

52

(13)

Berbeda dengan KUHP yang tidak memberikan ruang sedikit pun terhadap

tindakan aborsi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

memberikan ruang terhadap terjadinya aborsi.

Melihat rumusan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan tampaklah bahwa dengan jelas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

melarang aborsi kecuali untuk jenis abortus provocatus medicalis (aborsi yang

dilakukan untuk menyelamatkan jiwa si ibu dan atau janinnya). Dalam dunia

kedokteran aborsi provocatus medicalisdapat dilakukan jika nyawa si ibu

terancam bahaya maut dan juga dapat dilakukan jika anak yang akan lahir

diperkirakan mengalami cacat berat dan diindikasikan tidak dapat hidup di luar

kandungan, misalnya janin menderita kelainan EctopiaKordalis (janin yang akan

dilahirkan tanpa dinding dada sehingga terlihat jantungnya), Rakiskisis (janin

yang akan lahir dengan tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit) maupun

Anensefalus (janin akan dilahirkan tanpa otak besar).53

Perkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis untuk perempuan yang

menjadi korban. Banyak korban perkosaan membutuhkan waktu lama untuk

mengatasi pengalaman traumatis ini, dan mungkin ada juga yang tidak pernah lagi

dalam keadaan normal seperti sebelumnya. Jika perkosaan itu ternyata

mengakibatkan kehamilan, pengalaman traumatis itu bertambah besar lagi.54

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan

Reproduksi menyatakan bahwa Negara pada prinsipnya melarang tindakan aborsi,

larangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 Tentang Kesehatan. Tindaka aborsi pada beberapa kondisi medis merupakan

53

Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 215.

54

(14)

satu-satunya jalan yang harus dilakukan tenaga medis untuk menyelamatkan

nyawa seorang ibu yang mengalami permasalahan kesehatan atau komplikasi

yang serius pada saat kehamilan. Pada kondisi beberapa akibat pemaksaan

kehendak pelaku, seorang korban perkosaan akan menderita secara fisik, mental,

dan sosial. Dan kehamilan akibat perkosaan akan memperparah kondisi mental

korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat peristiwa perkosaan

tersebut.

Trauma mental yang berat juga akan berdampak buruk bagi perkembangan

janin yang dikandung korban. Sebagaian besar korban perkosaan mengalami

reaksi penolakan terhadap kehamilannya dan menginginkan untuk melakukan

aborsi. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pada

prinsipnya sejalan dengan ketentuan peraturan pidana yang ada, yaitu melarang

setiap orang untuk melakukan aborsi. Negara harus melindungi warganya dalam

hal ini perempuan yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis

dan akibat perkosaan, serta melindungi tenaga medis yang melakukannya,

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan membuka

pengecualian untuk aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan

akibat perkosaan.55

55Peraturan Pemerintah Tentang Aborsi Banyak Kelemahan,

Alasan sebagaimana diuraikan diatas menjadikan aborsi hanya dapat

dilakukan secara kasuistik dengan alasan sesuai Pasal 75 ayat (2) diatas, tidak

dapat suatu aborsi dilakukan dengan alasan malu, tabu, ekonomi, kegagalan KB

atau kontrasepsi dan sebagainya. Undang-undang hanya memberikan ruang bagi

aborsi dengan alasan sebagaimana tersebut di atas.

(15)

Berdasar Pasal 75 tersebut, tindakan aborsi tidak serta merta dapat

dilakukan walaupun alasan-alasannya telah terpenuhi. RumusanPasal 75 ayat (3)

menyatakan bahwa tindakan aborsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya

dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan

diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang

kompeten dan berwenang. Rumusan pasal tersebut menegaskan bahwa sebelum

dilakukan aborsi harus dilakukan tindakan konsultasi baik sebelum maupun

setelah tindakan yang dilakukan oleh konselor yang berkompeten dan berwenang.

Penjelasan Pasal 75 ayat (3) menyebutkan bahwa yang dapat menjadi

konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap

orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu, yang telah

memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan.

Penjelasanayat ini menerangkan betapa pentingnya seorang konselor yang akan

memberikan penasehatan sebelum ataupun sesudah dilakukan tindakan. Hal ini

penting mengingat aborsi adalah tindakan yang sangat berbahaya yang jika tidak

dilakukan dengan benar akan membawa dampak kematian serta beban mental

yang sangat berat bagi si wanita.

Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat

perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab,

demikian bunyi Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014.

Praktik aborsi yang dilakukan dengan aman, bermutu dan bertanggung jawab itu,

menurut Peraturan Pemerintah ini, meliputi dilakukan oleh dokter sesuai dengan

standar; dilakukan di fasilitasi kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan

(16)

bersangkutan; dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; tidak diskriminatif;

dan tidak mengutamakan imbalan materi.56

1. Kuretase atau pengerokan dangan sendok kuret ataupun vakum kuret pada

dinding rahim tempat menempelnya janin. Cari ini membutuhkan

keterampilan khusus karena komplikasi yang terjadi akibat kesalahan

tindakan tersebut dapat merugikan dan cenderung mematikan.

Tindakan aborsi membawa resiko cukup tinggi, terutama apabila dilakukan

tidak sesuai standar profesi medis. Tindakan aborsi yang berbahaya misalnya

dengan cara menggunakan ramuan, manipulasi fisik, atau menggunakan alat bantu

yang tidak steril.

Secara medis, digunakan empat metode dasar terminasi kehamilan atau

aborsi. Metode tersebut adalah sebagai berikut.

2. Memasukan cairan NaCL hipertonis pada lapisan amnion untuk melepaskan

janin dari dinding rahim. Metode ini meniru proses mulainya perselisihan

dan biasanya digunakan untuk mengakhiri kehamilan pada usia 4-6 bulan.

3. Pemberian prostaglandin melalui pembuluh darah arteri, cairan amnion, dan

memasukkannya melalui vagina dan uterus dengan dosis tertentu.

Prostaglandin ini dimaksudkan untuk menginduksi persalinan buatan

sehingga janin dapat keluar dari rahim.

4. Dengan melakukan vacuma spiration, yaitu menggunakan semacam selang

plastik berdiameter tertentu untuk menghisap janin dari rongga rahim.

56

(17)

Tindakan aborsi yang sesuai standar profesi medis di atas masih

mengandung risiko, baik yang bersifat dini ataupun lanjut. Risiko seorang

perempuan yang melakukan aborsi antara lain sebagai berikut:

1. Infeksi alat reproduksi karena kuretase yang dilakukan secara tidak steril.

Hal ini dapat membuat perempuan mengalami kemandulan di kemuadian

hari setelah menikah.

2. Perdarahan sehingga kemungkinan besar mengalami syok akibat perdarahan

dan gangguan saraf di kemudian hari. Selain itu, perdarahan tersebut dapat

menyebabkan tingginya risiko kematian ibu atau janin, atau keduanya.

3. Oleh karena keadaan rahim yang belum cukup kuat menyangga kehamilan

serta kemungkinan persalinan yang sulit, resiko terjadinya sobek rahim dan

resiko kemandulan karena rahim yang sobek harus di angkat seluruhnya,

risiko infeksi, sehingga menyebabkan risiko kematian ibu, anak, atau

keduanya.

4. Terjadinya fistula genital traumatis, fistula genitaladalah timbulnya suatu

saluran/ hubungan yang secara normal tidak ada, antara saluran genital dan

saluran kencing atau saluran pencernaan.57

Secara hukum, pengguguran kandungan dengan alasan non-medis dilarang

keras. Tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan aborsi meliputi

melakukan, menolong, atau menganjurkan aborsi, tindakan ini diancam hukuman

pidana seperti yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun

2009 dan KUHP Pasal 346.58

57

Eny Kusmiran, Kejahatan Reproduksi Remaja Dan Wanita, Selemba Medika, Jakarta, 2011, hlm.50.

58Ibid

(18)

Alasanlimitatif yang disebutkan di dalam Pasal 75 ayat (2) tersebut di atas,

Undang-Undang juga mengharuskan terpenuhinya syarat-syarat untuk dapat

dilakukannya aborsi yang tertuang di dalam Pasal 76. Syarat-syarat tersebut

antara lain :

a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama

haidterakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan

yangmemiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan

olehMenteri.

Berdasar syarat tersebut maka yang dapat dilakukan aborsi adalah janin

yang berumur kurang dari 6 (enam) minggu, perhitungan 6 (enam) minggu

dihitung dari hari pertama haid terakhir. Syarat ini dapat disimpangi jika setelah 6

(enam) minggu dari usia kehamilan tersebut terjadi kedaruratan medis yang

memang mengharuskan untuk diambil tindakan aborsi, dimana hal tersebut harus

dibuktikan dengan keterangan resmi dari pihak dokter atau tenaga kesehatan yang

berwenang.

Kelebihandari Pasal-Pasal aborsi provocatus Undang-Undang Nomor 36

tahun 2009 adalah ketentuan pidananya. Ancaman pidanayang diberikan terhadap

pelaku aborsi provocatus kriminalis jauh lebih berat daripada ancaman pidana

sejenis KUHP. Dalam Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36Tahun 2009 pidana

yang diancam adalah pidana penjara paling lama 10 tahun.Dan pidana denda

paling banyak Rp.1.000.000.000.000,- (satu milyar).Sedangkan dalam KUHP,

Pidana yang diancam paling lama hanya 4 tahunpenjara atau denda paling banyak

(19)

KUHP), Paling lama dua belas tahun penjara(Pasal 347 KUHP), dan paling lama

lima tahun enam bulan penjara (Pasal 348KUHP).

Ketentuan pidana mengenai aborsi provocatus criminalis dalam

Undang-UndangNomor 36 Tahun 2009 dianggap bagus karena mengandung umum

danprevensi khusus untuk menekan angka kejahatan aborsi kriminalis.

Denganmerasakan ancaman pidana yang demikian beratnya itu, diharapkan para

pelakuaborsi criminalismenjadi jera dan tidak mengulangi perbuatannya, dalam

duniahukum hal ini disebut sebagai prevensi khusus, yaitu usaha pencegahannya

agarpelaku abortus provocatus criminalis tidak lagi mengulangi

perbuatannya.Prevensi umumnya berlaku bagi warga masyarakat

karenamempertimbangkan baik-baik sebelum melakukan aborsi dari pada terkena

sanksipidana yang amat berat tersebut. Prevensi umum dan prevensi khusus inilah

yangdiharapkan oleh para pembentuk Undang-Undang dapat menekan

seminimalmungkin angka kejahatan aborsi provocatus di Indonesia.

a. Indikasi Kedaruratan Medis Dan Perkosaan Sebagai Pengecualian Atas Larangan Aborsi.

Indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagaimana pengecualian atas

larangan aborsi diatur dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 39 Peraturan

Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. Berdasarkan

Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014, Tindakan aborsi hanya

dapat dilakukan berdasarkan: (1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan

berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan medis; atau b. Kehamilan akibat perkosaan.

(20)

b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat

puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 ini dapat membuka peluang

kasus aborsi dengan alasan akibat perkosaan jika tidak dilengkapi dengan

Peraturan Perundang-Undangan yang jelas dengan berbagai indikasi gamblang

yang mudah dipahami semua pihak. Pasal 34 Peraturan Pemerintah dinyatakan

bahwa (1) kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31

ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya

persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-Undangan. Selanjutnya mengenai pembuktian bahwa seorang wanita benar-benar

mengalami perkosaan hingga ia hamil dan agar korban perkosaan ini dibenarkan

melakukan aborsi, dikemukakan pada ayat selanjutnya bahwa (2) kehamilan

akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: a. Usia

kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat

keterangan dokter; dan b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain

mengenai adanya dugaan perkosaan.

Rumusan peraturan diperbolehkannya tindakan aborsi bagi wanta korban

perkosaan ini memang sudah jelas, yaitu bahwa wanita itu benar-benar sebagai

korban perkosaan. Tidak dapat dibenarkan dengan sekedar mengaku bahwa ia

telah menjadi korban perkosaan. Ia harus membuktikan bahwa ia benar-benar

diperkosa oleh seorang laki-laki dengan melibatkan katerangan yang dapat

(21)

aborsi yang legal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 ini

tidak mudah dantidak cukup dengan mengaku diperkosa.59

Dibolehkannya aborsi sebagai pengecualian larangan aborsi ini hanya dapat

dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penesehat pra tindakan dan diakhiri

dengan konseling pasca yang terdapat dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah

Nomor 61 Tahun 2014. Tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten

dan berwenang, setelah memenuhi syarat yaitu: sebelum kehamilan berumur 40

hari dihitung sejak hari pertama haid berakhir, kecuali dalam hal kedaruratan Tindakan aborsi hanya boleh didasarkan pada indikasi medis dan korban

perkosaan yang traumatis dengan syarat dan ketentuan yang ketat. Yang dimaksud

indikasi medis yang terdapat Pasal 32 yang mendasari pengecualian larangan

aborsi meliputi: (1) kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu

dan/atau janin. (2) kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin,

termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun

yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar

kandungan. Dan Penanganan indikasi kedaruratan medis yang dimaksud di atas

harus dilaksanakan sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan menteri

kesehatan.

Pengecualianlarangan aborsi disebabkan kehamilan akibat perkosaan yang

traumatis harus dibuktikan dengan: (1) usia kehamilan sesuai dengan kejadian

perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter. (2) keterangan penyidik,

psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

59

(22)

medis, atas permintaan atau persetujuan ibu hamil yang bersangkutan, dan dengan

izin suami, kecuali korban perkosaan.

Pengecualianlarangan aborsi boleh dilakukan sepanjang memenuhi

ketentuan bahwa: dilakukan oleh dokter yang telah mendapatkan pelatihan oleh

penyelengara pelatihan yang terakreditasi, fesilitasi pelayanan kesehatan

memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, palayanan tindakan

aborsi dilakukan sesuai standar, tidak diskriminatif dan tindak mengutamakan

imbalan materi yang terdapat dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor61

Tahun 2014.

Pengaturan pengecualian larangan aborsi yang diatur dalam Pereturan

Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi ini sesuai

dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005 Tentang

Aborsi. Menurut fatwa MUI bahwa aborsi haram hukumanya sejak terjadinya

implantasi blastosis pada dinding rahim ibu kecuali adanya uzur, baik yang

bersifat darurat ataupun hajat.

FatwaMUI, Keadaan darurat itu dinama perempuan hamil menderita sakit

fisik barat dan keadaan kehamilan yang mengancam nyawa si ibu. Keadaan hajat

disebabkan janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau

lahir kalak sulit disembuhkan dan kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan

oleh tim yang berwenang. Kebolehan aborsi harus dilakukan sebelum janin

berusia 40 hari dan bukan kehamilan akibat perzina.

Orangyang mengaku diperkosa sebagai pembenaran atas tindakan aborsi

sebagaimana diatur Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan

(23)

pembuktian yang tidak mudah. Ditambah pula tindakan aborsi diatur dengan

kriteria, syarat, ketentuan dan standar ketat. Undang-undang Kesehatan dan

Peraturan Pemerintah Tentang Kesehatan Reproduksi ditetapkan justru untuk

melindungi ibu yang disebabkan oleh uzur yang bersifat darurat dan hajat

melakukan tindakan aborsi. Perlindungan yang dimaksud adalah dari tindakan

aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, tidak bertanggung jawab dan bertentangan

dengan norma agama.60

b. Aborsi Dalam Perspektif kesehatan reproduksi Dan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tenaga Kesehatan Yang Melakukan Aborsi.

1. Aborsi dalam prespektif kesehatan reproduksi

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, kesehatan

reproduksi memperoleh perhatian khusus. Hal ini wajar bahwa masalah kesehatan

reproduksi di Negara-Negara berkembang termasuk Indonesia menjadi masalah

kesahatan yang utama. Akibat rendahnya kesehatan reproduksi, terutama pada

wanita, maka akan berdampak terhadap tingginya angka kematian bayi dan

kematian ibu karena melahirkan. Padahal kedua indikator tersebut merupakan

bagian terpenting dalam pencapaian tujuan pembangunan milenium.61

Pasal 71 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

menyebutkan bahwa kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik,

mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau

60

Anjari Umarjianto, Meluruskan Persepsi Salah Atas Pengaturan Aborsi Di Peraturan Pemerintah Kesehatan Reproduksi , Diakses Pada Tanggal 16 April 2015.

61

(24)

kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada

laki-laki dan perempuan. Kesehatan reproduksi meliputi : (Pasal 71 ayat (2)) :

a. Saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;

b. Pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual;

c. Kesehatan sistem reproduksi

Berkaitan dengan kesehatan reproduksi, Pasal 72 Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengatur bahwa setiap orang berhak:

a. Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman,

serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan denagan pasangan yang sah.

b. Menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan,

dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak

bertentangan dengan norma agama.

c. Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin berproduksi sehat secara

medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.

d. Memperboleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan

reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Aborsi menurut pengertian secara medis adalah gugur kandungan atau

keguguran dan keguguran itu sendiri bentuk berakhirnya kehamilan, sebelum

fetus dapat hidup sendiri di luar kandungan. Batasan umur kandungan 28 minggu

dan berat badan fetus yang kurang dari 1.000 gram. Aborsi dapat terjadi secara

spontan tanpa tindakan, sekitar 10-20% dari kehamilan akan berakhir dengan

aborsi, yang secara yuridis tidak mempunyai arti apa-apa.62

62

(25)

Aborsi yang dilakukan secara sengaja (abortus provocatus) merupakan

salah satu masalah hukum yang peka berkaitan dengan profesi kesehatan (dalam

hal ini terkait dengan profesi kedokteran dan kebidanan), paling banyak dibahas

dan menimbulkan dua pendapat yang saling bertentangan, di satu pihak tetap

menentang dilain pihak dengan berbagai pertimbangan mengusahakan agar

terdapat pengendoran atau leberasi hukum.

Aborsi yang terjadi karena kecelakaan (abortus spontaneos). Tindak pidana

aborsi mengandung resiko yang cukup tinggi, apabila dilakukan tidak sesuai

standar profesi medis berikut ini berbagai cara melakukan aborsi yang sering

dilakukan:

1. Medipulasi fisik, yaitu dengan cara melakukan pijatan pada rahim agar

janin terlepas dari rahim. Biasanya akan terasa sakit sekali karena pijatan

yang dilakukan dipaksakan dan berbahaya bagi organ dalam tubuh;

2. Menggunakan berbagai ramuan dangan tujuan panas pada rahim. Ramuan

tersebut seperti nenes muda yang dicampur dengan marica dan obat-obatan

lainnya;

3. Menggunakan alat bantu tradisional yang tidak steril yang dapat

mengakibatkan infeksi. Tindakan ini juga membahayakan organ dalam

tubuh.63

Alasanmereka melakukan tindakan aborsi tanpa rekomendasi medis adalah:

1) Ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah. Perlu dipikirkan oleh pihak

sekolah bagaimana supaya tetap dipertahankan sekolah meski sedang hamil

kalau telanjur;

(26)

2) Belum siap menghadapai orang tua atau memalukan orang tua dan keluarga.

3) Malu pada lingkungan sosial dan sekitarnya;

4) Belum siap baik mental maupun ekonomi untuk menikah dan mempunyai

anak;

5) Adanya aturan dari kantor bahwa tidak boleh hamil atau menikah sebalum

waktu tertentu karena terikat kontrak; dan

6) Tidak senang pasangannya karena korban perkosaan.

Aborsi yang dilakukan secara sembarangan sangat membahayakan

kesehatan dan keselamatan ibu hamil bahkan sampai berakibat pada kematian.

Pendarahan yang terus menerus serta infeksi yang terjadi setelah tindakan aborsi

merupakan sebab utama kematian wanita yang melakukan aborsi. Selain itu

aborsi berdampak pada kondisi psikologis dan mental sesorang dengan adanya

perasaan bersalah yang menghantui mereka. Perasaan berdosa dan ketakutan

merupakan tanda gangguan psikologis.

Resiko komplikasi atau kematian setelah aborsi legal sangat kecil

dibandingkan dengan aborsi ilegal yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih.

Beberapa penyebab utama resiko tersebut antara lain: pertama, sepsis yang

disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, sebagian atau seluruh produk

pembuahan masih tertahan dalam rahim. Jika infeksi ini tidak segara ditangani

akan terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga menimbulkan aborsi septik, yang

merupakan komplikasi aborsi ilegal yang fatal.64

64Ibid

. hlm. 88

Kedua, pendarahan. Hal ini

(27)

Ketiga, efek samping jangka panjang berupa sumbatan atau kerusakan permanen

di tuba fallopi(saluran telur) yang menyebabkan kemandulan.

Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Larangan tersebut dapat

dikecualikan berdasarkan:

1. Indikasi kedaruratan medis dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang

mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik

berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga

menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

2. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis

bagi korban perkosaan.

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang

mengatur bahwa aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat

dilakukan:

a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama

haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang

memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. Dengan persetujuan ibu hamilan yang bersangkutan

d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh

menteri.65

65Ibid

(28)

Pasal 77 Undnag-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

menjadi dasar bagi pemerintah untuk berkewajiban melindungi dan mencegah

perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak

bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan

peraturan perundang-undang.66

2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tenaga Kesehatan Yang Melakukan Aborsi

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap tenaga kesehatan

yang melakukan aborsi maka pembahasannya tidak tidak bisa dilepaskan dari

hukuman pidana. Pada hakikatnya hukuman pidana adalah jumlah peraturan

hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap

pelanggarannya diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggarnya.67

1. Aturan hukum pidana dan (yang dikaitkan berhubung dengan) larangan

melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman

sanksi berupa pidana bagi yang melanggar larangan itu;

Hukumpidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat atau berisi

ketentuan-ketentuan tentang:

2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk

dijatuhkannya saksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang

dilanggarnya.

3. Tindakan dan upaya yang boleh atau harus yang dilakukan negara melalui

alat-alat perlengkapannya (polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka

66Ibid

. hlm. 90.

67

(29)

didakwa sebagai pelanggaran hukum pidana dalam rangka usaha negara

menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidan terhadap dirinya,

serta tindak pidana dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh

tersangka /terdakwa pelanggaran hukum tersebut dalam usaha melindungi

dan mempertahankan hak-haknya dan tindakan negara dalam upaya nagara

menegakkan hukum pidana tersebut.68

Hukum pidana seharusnya dijatuhkan untuk menegakan tertib hukum,

melindunggi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyrakat saling

bergantung, kepentingan mereka dan relasi antara mereka ditentukan dan

dilindungi oleh norma-norma. Penjaga tertib sosial ini untuk bagian terbesar

sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma tidak ditaati, akan muncul

sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh

dan kehilangan status atau penghargan sosial.

Menyangkuthal yang lebih penting, sanksi, melalui tertib hukum negara

yang melengkapi penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada

pelanggar norma tersebut. Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa

penjatuhan pidana dalam prakteknya masih juga merupakan sarana kekuasaan

negara yang tertajam yang dapat dikenakan kepada pelanggar. Menjadi jelas

bahwa dalam pemahaman di atas hukum pidana bukan merupakan tujuan dalam

dirinya sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi sosial.69

Hukumpidana itu membentuk norma-norma dan pengertian-pengertian yang

diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang

dapat dipidana. Menurut Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu

68

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 2.

69

(30)

sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum

menentukan peraturan atau menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum.

Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian hukum

lainnya, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan

dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi

yang lain dari pada menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum

adalah menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam

masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan.70

Berkaitan dengan hukuman pidana tidak bisa lepas dari pembicaraan

tentang 3 (tiga) hal pokok dalam hukum pidana, yaitu dari tindak pidana,

pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan. Tindak pidana perumusan larangan

untuk melakukan sesuatu, larangan untuk melakukan sesuatu, ataupun larangan

untuk menimbulkan akibat tertentu. Cara perumusan tindak pidana juga

berpengaruh terhadap pertanggungjawaban pidana terhadap pembuatanya.

Berkaitan dengan hal ini Clarkson mengatakan “criminal liability is imposed upon

Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan ultimum

remidium. Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu

sudah tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum,

barulah hukum pidana diterepkan. Ia menunjuk pidato Menteri Kehakiman

Belanda Modderman yang antara lain menyatakan bahwa ancaman pidana itu

harus tetap merupakan suatu ultimum remidium. Setiap ancaman pidana itu,dan

harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada

penyakit.

70

(31)

blameworthy actor whose conduct has caused a for posed upon blameworthy

actor whose conduct conduct constitutes the forbidden harm”. Dengan demikian

hakikat celaan terhadap pembuat, juga dipengaruhi oleh perumusan perbuatan

yang ditetapkan sebagai tindakan pidana dalam suatu Undang-Undang.71

71

Masrudi Muhtar, Op.Cit., hlm. 92-93.

Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan

menentukan subyek hukum pidana. Subyek hukmu pidana dalam ketentuan

Perundang-Undang merupakan pelaku tindak pidana yang dapat

dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai

wujud tanggungjawab karena kesalahannya terhadap orang lain (korban tindak

pidana). Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

“toerekenbaarheid.” Criminalresponsibility”atau “criminal liability”.

Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan apakah seseorang tersangkah dan/atau

terdakwa dipertanggungjawabkan untuk atas suatu tindak pidana (crime) yang

terjadi atau tidak.

Perkembangan pertanggungjawaban pidana pada awalnya dikaitkan

dengan kesalahan pelaku. Pelaku tidak dapat dipidana kecuali ada kesalahan pada

dirinya selain telah melakukan suatu tindak pidana. Ini berarti bahwa konsep “feit

materil”telah ditingalkan untuk sementara waktu. Pengertianpertanggungjawaban

dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna (verwijbaaheid)

sipembuata atas perbuatanya. Penerimaan perbuatannya maka pengertian

kesalahan berubah menjadi kesalahan normatif. Prinsip ini di dalam hukum

(32)

Asas umum yang fundamental dalam pertanggungjawaban pidana ini ialah

asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas). Kesalahan merupakan

masalah dalam pertanggungjawaban pidana. Berkaitan dengan kesalahan ini,

menurut Sudarto bersalahnya seseorang tergantung dari 3 (tiga) unsur, yaitu:

1. Kemampuanbertanggungjawab pada sipembuat, artinya keadaan jiwa si

pembuat harus normal; dalam hal ini dipersoalkan apakah orang tertentu

menjadi “norm adressat” yang mampu;

2. Hubungan batin si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan

(dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan; dalam

hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pembuat terhadap perbuatannya;

dan

3. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan. 72

Kesalahan merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana. Kesalahan

merupakan keadaan jiwa dari sipelaku dan hubangan batin antara si pelaku

dengan perbuatan. Keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan

merupakan apa yang lazim disebut sebagai kamampuan bertanggungjawab,

sedangkan hubungan batin antara sipelaku dan perbuatannya itu merupakan

kesengajaan, kealpaan dan alasan pemaaf.

Simons mengatakan, kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan

psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya

pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum nmaupun dari orangnya. Seseorang

mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila:

72

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Menuju Keadaan Tiada

(33)

1. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya

bertentangan dengan hukum;

2. Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.

Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab, (toerkeningsvatbaar), bila

pada umumnya:

1. Keadaan jiwa:

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara;

b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan

sebagainya);

c. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap,

pengaruh bahwa sadar/reflexe beweging, meilindus/slaapwandel,

mengigau karena demam/koorts, nyidam dan sebagainya dengan

perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

2. Kemampuan jiwanya

a. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;

b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan; dan

c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan

Secara yuridis rumusan kemampuan bertanggungjawab tidak diatur baik di

dalam KUHP maupun undang-undang yang terkait dengan hukum pidana. Namun

apabila dilihat dalam memorie van toelichting secara negatif menyebutkan

pengertian kemampuan bertanggungjawab itu, adanya tidak ada kemampuan

(34)

a. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memiliki antara berbuat atau

tidak berbuat apa yang oleh undang-undnag dilarang atau diperintahkan,

dengan kata lain dalam hal terbutan yang dipaksa;

b. Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu sehingga dia tidak

dapat menghinsyafi bahwa perbutannya bertentangan dengan hukum dan

tidak mengerti akibat perbuatannya itu nafsu patologi, gila, pikiran tersebut

dan sebagainya.73

73

Referensi

Dokumen terkait

Untuk melaksanakan kegiatan pengabdian dan mencapai indikator-indikator kinerja pengabdian yang telah ditetapkan dalam Bab IV, Universitas Diponegoro akan

Kematian bayi kedua lebih tinggi dari pada bayi pertama karena lebih sering terjadi gangguan sirkulasi plasenta setelah bayi pertama lahir, lebih banyak

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan antropologi budaya, pendekatan sosiologi dan pendekatan agama, selanjutnya

Volume kerucut  Siswa membahas menentukan rumus volume kerucut dengan melakukan kegiatan siswa seperti pada halaman 83, dengan bimbingan guru..  Siswa membahas soal

Berdasarkan tabel penilaian di atas dapat dilihat bahwa rata-rata guru peserta pelatihan telah mampu membuat karya seni kaca patri, dengan dikuasainya

matlab, program yang akan dijalankan di ketik pada layar editor.setelah.. selesai di ketik maka untuk menjalankannya adalah dengan klik pada. perintah “debug”

Analisis statistik memperoleh hasil signifikasi (p_value) sebesar 0,000, maka nilai 0,000 < 0,05 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara lama mendengarkan

Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum. Rapat umum adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu.