• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adat Sampulonrua (Studi Analisis Komuinikasi Budaya di Kel. Bulutana Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa) - Repositori UIN Alauddin Makassar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Adat Sampulonrua (Studi Analisis Komuinikasi Budaya di Kel. Bulutana Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa) - Repositori UIN Alauddin Makassar"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Meraih Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar

Oleh :

RAHMATULLAH A DG MASSILA Nim: 50700110056

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

(2)

ii

Nim : 50700110056

Tempat/Tgl. Lahir : Lombasang/31 Maret 1992 Jur/Prodi/Konsentrasi : Ilmu Komunikasi

Fakultas/Program : Fakultas Dakwah dan Komunikasi/Ilmu Komunikasi Alamat : BTN Aura Permai Blok D5 No.8 Desa Bontoala

Kec. Pallangga Kab. Gowa

Judul : Adat Sampulonrua (Studi Analisis Komunikasi Budaya di Kel. Bulutana Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa) Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini adalah benar hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang di peroleh karenanya batal demi hukum.

Pallangga, 15 Desember 2015

Penyusun, ,

(3)
(4)
(5)

v

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta, atas izin-Nya jua, sehingga penulisan skripsi dengan judul “Adat Sampulonrua (Studi Analisis Komunikasi Budaya di

Kel.Bulutana Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa)”, dapat terselesaikan.

Salawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad saw., sebagai suri teladan terbaik sepanjang zaman, sosok pemimpin yang paling berpengaruh sepanjang sejarah kepemimpinan, sosok yang mampu mengangkat derajat manusia dari lembah kemaksiatan menuju alam yang mulia, yang dengannya manusia mampu berhijrah dari satu masa yang tidak mengenal peradaban menuju kepada satu masa yang berperadaban.

Disadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak dan selayaknya menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas bantuan dan andil dari mereka semua, baik materil maupun moril. Untuk itu, terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Musafir Pababbari M.Si selaku Rektor UIN Alauddin Makassar, serta Bapak Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing, HT, MS, selaku mantan Rektor UIN Alauddin Makassar.

2. Bapak Dr. H. Abd. Rasyid Masri, S.Ag,.M.Pd.,M.Si.,M.M selaku Dekan Fakultas Dakwah & Komunikasi. Serta, para dosen/tenaga pengajar Fakultas Dakwah & Komunikasi.

(6)

vi

4. Dr. Muh. Anshar Akil, ST., M.Si dan Dr. H. Muh. Ilham, M.Pd selaku pembimbing I dan II yang telah banyak mengarahkan dalam perampungan penulisan skripsi.

5. Dr. H. Usman Jasad, S.Ag, M.Pd dan Ramsiah Tasruddin, S.Ag., M.Si selaku Munaqisy I dan II yang telah memberikan arahan dan kritikan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Kedua orang tua penulis yang teramat mulia, Ayahanda Alimuddin T, SP dan Ibunda Sawiah Dg. Rannu yang telah mendidik, serta membesarkan penulis sehingga dapat menapaki jenjang pendidikan Strata 1 (S1).

7. Bapak dan Ibu Dosen serta pegawai dalam lingkungan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar yang telah membantu penulis dalam menjalani masa studi.

8. Seluruh Civitas Akademika Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Khususnya Ilmu Komunikasi angkatan 2010 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah bersama-sama menjalani perkuliahan dengan suka dan duka.

Semoga semua bantuannya bernilai ibadah disisi Allah Swt, juga untuk semua yang telah hadir dalam sisi kehidupanku kemarin. Semoga kita mampu menjadi hamba yang bijak, yang mengerti arti diri dan posisi kita di antara hamba yang lain. Amin Yaa Rabbal Alamin.

(7)

vii

(8)

viii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... viii

ABSTRAK ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-12 A. LatarBelakangMasalah ... 1

B. RumusanMasalah ... 6

C. Fokus Penelitian dan Deskrisi Fokus ... 6

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13-39 A. Komunikasi ... 13

B. Budaya ... 19

C. Pengertian Makna ... 23

D. Analisis Semiotika... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 40-45 A. Jenis Penelitian ... 40

B. Metode Pendekatan ... 41

C. Metode Pengumpulan Data ... 42

D. Instrumen Penelitian ... 44

(9)

ix

A. Gambaran Lokasi Penelitian ... 46

B. Pola Komunikasi Adat Sampulonrua di Kel. Bulutana Kec.

Tinggimoncong Kab. Gowa ... 49

C. Adat Sampulonrua di Kel. Bulutana Kec. Tinggimoncong Kab.

Gowa... 52

D. Makna Adat Sampulonrua di Kel. Bulutana Kec. Tinggimoncong

Kab. Gowa ... 55

BAB V PENUTUP ... 65-67

A. Kesimpulan ... 65

B. Implikasi Penelitian ... 66

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(10)

x

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi adat sampulonrua di Kel Bulutana Kec Tinggimoncong Kab. Gowa. Mengetahui makna adat sampulonrua di Kel. Bulutana Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa. Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan atau menjelaskan obyek yang diteliti berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Dengan menggunakan key informan dan informan sebagai sumber data. Data-data yang diperoleh melalui wawancara, dokumen, buku-buku, kemudian teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data kualitatif dengan pendekatan komunikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Adat Sampulonrua merupakan suatu lembaga yang berdiri sebelum terbentuknya pemerintahan di Kelurahan Bulutana, untuk itu sebelum pemerintahan ada, yang mengatur pemerintahan dan segala aspek kehidupan di masyarakat adalah Adat Sapulonrua atau Adat 12 (Duabelas) diantaranya Karaeng/ Kepala Adat yang menjabat sebagai pimpinan dam memiliki kebijakan sepenuhnya sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam adat sampulonrua. Di Butta Toa inilah masih banyak tersimpan adat istiadat yang dilestarikan, seperti upacara adat hasil panen atau Saukang, sistem kekerabatan/rumpun “Adat Sampulonrua (Adat 12)”, permainan tradisional Lanja, dan dua rumah adat yang berusia ratusan tahun, Balla Lompoa dan Balla Jambu.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1

Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya (Bandung: PT Remaja Rodaskarya, 1989), h.32.

bukanlah suatu yang dimiliki oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang lain. Pada dasarnya, manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dari biologis mereka sebagai suatu hasil adaptasi dari lingkungannya. Budaya memiliki ragam perilaku berbeda. Kebiasaan-kebiasaan, praktik-praktik, dan tradisi-tradisi untuk terus berkembang diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Generasi-generasi berikutnya terkondisikan untuk menerima kebenaran-kebenaran A. Latar Belakang Masalah

Budaya merupakan gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya

ke generasi. Usaha dan keinginan yang kuat untuk tetap mempertahankan kebudayaan dan adat istiadat yang telah dianut hingga berabad-abad menjadi modal bagi setiap generasi untuk mewariskan ke generasi selanjutnya. Kebudayaan didefiniskan sebagai pengetahuan, kepercayaan, nilai dan makna yang diyakini oleh sebuah kelompok, organisasi, atau komunitas, meliputi “cara hidup” mereka yang khas. Pengekspresian budaya biasanya melalui perilaku, seperti bahasa maupun jargon-jargon, tata aturan dan norma, ritual dan kebiasaan, cara berinteraksi ataupun berkomunikasi dengan orang lain, harapan dalam bermasyarakat, sampai misalnya pada penggunaan barang dan jasa.

tersebut tentang kehidupan sekitar mereka.1

(12)

2

Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, h. 34. 3

Kim Ahmad, Budaya dan Unsur-unsurnya (Semarang: PT Angkasa Jaya Media, 2001), h. 6.

Sebagai suatu perilaku hidup, budaya dimiliki oleh seluruh manusia. Namun, terdapat ragam perilaku manusia dalam mengembangkan budayanya sesuai dengan kondisi lingkungan dan kapasitasnya, sehingga budaya setiap orang tidak sama. Akan tampak adanya kontradiksi, seperti makanan yang dianggap lezat oleh budaya lain, mungkin terlihat menjijikkan bagi budaya yang lainnya, atau sesuatu yang dianggap wajar dan lumrah oleh suatu budaya justru dianggap sebagai perilaku moral bagi

Negara Indonesia yang memiliki keragaman budaya atau “culture diversity” yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut.

individu untuk memperoleh aturan budaya dimulai pada masa awal kehidupan. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan kedalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku kita. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu-individu itu disebut ekulturasi atau istilah-istilah serupa lainnya seperti pelaziman budaya (cultural conditioning) dan program budaya

anggota masyarakat lewat pertisipasi dan pertukaran dalam kelompok sosial sebagaimana termanifestasi dalam intuisi dan artefak. EB. Taylor dalam (Resky Dwi

(cultural programmiang).3

Kebudayaan merupakan proses pembelajaran yang diperoleh oleh setiap budaya lain.2

(13)

4

Rezky Dwi Riana, Makna Budaya Siri’ Na Pacce Dalam Film “Badik Titipan Ayah Sebuah

Studi Opin Mahasiwa” (Makassar Universitas Hasanuddin, 2011), h. 6.

Riana) mendefenisikan bahwa belajar mereka sangat kompleks, termasuk ilmu

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, kebiasaan dan kapabilitas lain atau kebiasaan yang diterima oleh anggota masyarakat.4

Dari waktu ke waktu peranan Sulawesi Selatan sebagai salah satu penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia makin menonjol. Daerah ini bersama putra-putrinya terus berusaha menggali dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan. Kita sepaham bahwa sejarah dan budaya merupakan aset yang selama ini belum diungkapkan secara optimal baik dari segi mutu maupun besarnya.

Pengenalan adat, budaya dan sejarah perkembangan suatu daerah tertentu penting bukan hanya bagi daerah itu, tetapi juga untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan. Penting bukan hanya dari aspek pengenalan sejarah, asal-usul dan nilai-nilai luhur budaya masa lalu, melainkan juga dari aspek kemanfaatannya bagi masa depan.

Pada dasarnya Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia, yang memiliki berbagai jenis kebudayaan serta terdapat empat jenis suku etnis yang berbeda-beda, yakni suku Bugis, Makassar, Mandar, serta Toraja. Walaupun ke empat suku ini berbeda tetapi mereka tetap juga menjujung tinggi nilai perbedaan, sebagaimana yang tercantum di dalam empat pilar kebangsaan salah satunya yakni Bhineka Tunggal Ika, yaitu berbeda-beda tetap satu jua.

(14)

1. Patumbu Tau : Peningkatan sumberdaya manusia. 2. Pambaungang Balla : Peningkatan sumberdaya alam. 3. Patumbu Katallassang : Peningkatan kesejahteraan. 4. Ammoterang Ripammasena : Sosial, budaya dan agama.

Tahap Pertama, (sebelum tahun 1942) seiring dengan perkembangan waktu, terbentuk suatu komunitas yang dikenal dengan rumpun “adat sampulonrua” di

Bulutana, dimana diawli dengan berdirinya tiga buah rumah adat yaitu, Balla lompoa, Balla jambu, dan Balla tinggia.

Tahap Kedua, (1942-1950) pada periode ini rumpun “adat sampulonrua” di Bulutana ini masuk mengabdikan diri dengan Kerajaan Gowa dengan sebutan “Erangkale Rigowa” yang dipimpin oleh seorang Karaeng yang berturut-turut antara

lain yaitu, Bando, Ganyu, Dekkang, Pangge, dan Solle. Gallarrang yang berturut-turut antara lain: Lalla, Sanggong, Maintang, Manrau, dan Rau.

Pada periode pertama dan kedua inilah berjalan bentuk pemerintahan di wilayah ini yang dikenal dengan nama Adat Sampulonrua atau 12 (duabelas) orang pemangku adat yang dipimpin oleh Noempa bin Pangge (Karaeng Bulu) bersama seorang Gallarrang bernama Coleng bin Rauf dengan memiliki struktur organisasi antara lain yaitu, Karaeng Bulu, Gallarrang Bulu, Ana‟ Pattola, Tau Toa, Baku, Ana‟ Jajiang, Sanro, Pinati, Batang Pa‟jeko, Jannang, Palekka Sempe, dan Suro.

(15)

5

Franz Jossep Gilers, Berkomunikasi Antar Budaya (Flores: Nusa Indah, 1995), h. 11.

Tahap Ketiga, (1950-1980) dengan masuknya sistem pemerintahan Belanda pada masa ini maka Bulutana yang mempunyai rumpun adat dan merupakan bagian dari Kerajaan Gowa mengalami perubahan sistem pemerintahan dibawah Distrik Parigi, yang dipimpinan oleh seorang Kepala Desa yang bernama Ganyu bin La‟lang (digelar Karaeng Bulu) bersama seorang Gallarrang bernama Makka bin Coleng dan merekapun berperan dalam menjalankan pemerintahan adat tersebut diatas.

Dalam hal ini, budaya juga tidak bisa terlepas dari sebuah komunikasi, karena komunikasi disini berperan sebagai alat yang dapat membentuk sebuah karakter seseorang untuk bisa bersosialisasi antara orang yang satu dengan yang lainnya sehingga dalam hal pembentukan karakter ini muncullah yang namanya sebuah budaya. Jadi komunakasi dan budaya tidak dapat terpisah dalam kehidupan manusia

karena dengan adanya komunikasi seseorang akan lebih mudah beradaptasi dengan banyak orang.

Komunikasi tidak dapat meninggalkan faktor-faktor sosio-budaya. Komunikasi selalu melekat dalam sistem kepercayaan, sistem nilai, dan norma-norma sosial budaya yang berkembang pada ranah atau domain yang luas. Hal ini sejalan dengan ilmu komunikasi itu sendiri yang bersifat sangat heterogen, antidisiplin dan efektif.5 Berdasarkan Latar belakang tersebut maka peneliti mengadakan penelitian dengan mengambil judul :

“Adat Sampulonrua (Studi Analisis Komunikasi Budaya di Kel. Bulutana Kec.

(16)

“Bagaimana makna Adat Sampulonrua di Kel. Bulutana Kec.

Tinggimoncong kab. Gowa?” C.Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus

1. Fokus Penelitian

2. Deskripsi Fokus

1. Adat Sampulonrua

2. Pola Komunikasi Adat Sampulonrua

Pola komunikasi adalah bentuk atau pola lebih dalam proses pengiriman Berdasarkan dari uraian latarbelakang, maka untuk memperjelas arah penelitian ini yang membahas tentang budaya Adat Sampulonrua, maka dibutuhkan rumusan masalah, rumusan masalah tersebut sbb:

Penelitian ini berjudul “Adat Sampulonrua (Studi Analisis Komunikasi Budaya di Kel. Bulutana Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa)”. Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan jenis penelitian kualitatif dan menggunakan metode pendekatan kajian komunikasi budaya, maka penelitian ini di fokuskan pada Adat Sampulonrua di Kel. Bulutana Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa.

Adat Sampulonrua merupakan budaya Bugis Makassar khususnya di Kelurahan Bulutana, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa. Adat Sampulonrua sendiri merupakan suatu lembaga yang berdiri sebelum terbentuknya pemerintahan di Kelurahan Bulutana.

(17)

komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses mengaitkan dua komponen yaitu gambaran atau rencana yang menjadi langkah-langkah atau aktivitas dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan antar organisasi ataupun juga manusia.

Adapun pola komunikasi yang dimaksud dalam Adat Sampulonrua yakni bagaimana proses komunikasi antara pemimpin Adat Sampulonrua dengan para pemangku Adat Sampulonrua dalam melakukan aktifitas dan ritual-ritual kebudayaan yang ada di Kelurahan Bulutana Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa. Demikian juga tidak terlepas dengan hubungan atau pola komunikasi para pemangku Adat Sampulonrua dengan masyarakat, dan masyarakat dengan para pemangku Adat Sampulonrua.

Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun dengan hasil belajar yang dimiliki.

Adat Sampulonrua tentunya memiliki arti tersendiri diantara pemangku Adat Sampulonrua dan juga masyarakat di Bulutana baik dalam keseharian dan juga dalam setiap prosesi-prosesi adat yang ada di dalam masyarakat Bulutana. Bagaimana makna dan tugas-tugas para pemangku Adat Sampulonrua dalam melakukan ritual atau prosesi adat kebudayaan di Bulutana.

3. Makna Adat Sampulonrua

(18)

4. Komunikasi Budaya

Komunikasi adalah suatu interaksi penyampaian pesan antara satu

kalimat-kalimat, angka-angka atau tanda-tanda lainnya.6

Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

5. Analisis Semiotika

Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign)

dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya

6

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Cet. 12; Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2008), h.46.

dengan lainnya, baik itu secara individu maupun antara kelompok. Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang. Lambang yang baik umum digunakan dalam komunikasi antar manusia atau bahasa verbal dalam bentuk kata-kata,

pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia. Kebudayaan sendiri diartikan sebagai segala hal yang berkaitan dengan akal atau pikiran manusia, sehingga dapat menunjuk pada pola pikir, perilaku serta karya fisik sekelompok manusia.

(19)

dengan kata-kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Seluruh aktifitas manusia dalam keseharian selalu diliputi berbagai kejadian-kejadian yang secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tak-sadar, memiliki potensi makna yang terkadang luas nilainya jika dipandang dari sudut-sudut yang dapat mengembangkan suatu objek pada kaitan-kaitan yang mengindikasikan suatu pesan atau tanda tertentu. Jika diartikan melalui suatu penjelasan maka akan dapat diterima oleh orang lain yang menyepakati.7

D.Kajian Pustaka

Kajian pustaka yang dimaksud dalam skripsi ini adalah pembahasan masalah-masalah secara umum yang telah di bahas oleh beberapa penulis, antara lain:

1. Hendra, 2014, Badik/ Kawali Budaya Bugis (Analisis Semiotika Terhadap Budaya Masyarakat Desa Watang Padecenga Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone).

7

Eco, Semiotika; Wacana, Kebijakan Redaksional, dan Analisis Korelasional (Koransind: Jakarta, 2014), h. 12.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap badik dan mengetahui simbol-simbol apa saja yang terkandung dalam badik menurut pemahaman masyarakat di Desa Watang Padecenga Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone.

(20)

(Studi Pada Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah).

dan Etnik Bugis Makassar di Kota Makassar.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkategorisasi perilaku komunikasi dan mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat perilaku komunikasi antara etnik Toraja dan budaya Bugis Makassar di Kota Makassar.

Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggambarkan realitas sosial yang terjadi dengan melakukan penjelajahan lebih dalam.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi, dan menemukan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam komunikasi antar budaya, dan menemukan faktor-faktor yang dapat menjadi pendukung komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU. Adapun metode yang digunakan penelitian deskriptif kualitatif, dengan pendekatan sosiologis dan antropologis.

3. Fiola panggalo, 2013, Perilaku Komunikasi Antar Budaya Etnik Toraja pernyataan-pernyataan dari pihak-pihak atau narasumber yang memiliki kapasitas untuk memberikan keterangan terkait penelitian yang akan dilakukan, dalam hal ini semiotika, yakni mengkaji struktur tanda atau makna badik dalam budaya masyarakat Desa Watang Padangcenga Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone.

(21)

E.Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui pola komunikasi adat sampulonrua di Kel Bulutana Kec Tinggimoncong Kab. Gowa.

b. Mengetahui makna adat sampulonrua di Kel. Bulutana Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa.

c. Bagi Masyarakat b. Bagi Pemerintah

Dengan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah setempat bagaimana pentingnya bersinergi dengan para pemangku Adat Sampulonrua, dan melestarikan budaya yang ada di Kelurahan Bulutana Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa.

a. Bagi Pemangku Adat Sampulonrua

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang bagaimana pentingnya menjaga hubungan antar pemangku adat dan keberadaan budaya Adat Sampulonrua yang ada di Kelurahan Bulutana Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa.

2. Kegunaan Penelitian

Disamping hendak mencapai tujuan yang diharapkan, dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis sebagai berikut :

(22)
(23)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS A.Komunikasi

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari dari

dengan bagaimana pengirim dan penerima, mengirimkan dan menerima pesan.

8

William I. Gorden,Comumunitas: Personal and Public (Sherman Oaks, CA: Alfred, 1978), h.28.

9

Onong Uchjana Effendy,Ilmu komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), h.4.

10

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Cet. 12; Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2008), h.46.

tanda lainnya.10

Kurangnya kesamaan pandangan mengenai sifat dasar dari ilmu komunikasi dalam hal ini direfleksikan terdapat dua mazhab utama di dalam ilmu komunikasi, yaitu;

1) Kelompok yang melihat komunikasi sebagai trasmisi pesan. Kelompok ini fokus pikiran, mendiskusikan makna, dan mengirimkan pesan.9

Komunikasi adalah suatu interaksi penyampaian pesan antara satu dengan lainnya, baik itu secara individu maupun antara kelompok. Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang. Lambang yang baik umum digunakan dalam komunikasi antar manusia atau bahasa verbal dalam bentuk kata-kata, kalimat-kalimat, angka-angka atau tanda-kata latin yang berarti “sama”.8 Istilah pertama (communis) paling sering disebut

(24)

perbedaan-perbedaan budaya antara pengirim dan penerima.11 a. Jenis-Jenis Komunikasi

1) Komunikasi Verbal

Yaitu komunikasi yang menggunakan bahasa dan tulisan. Menurut Paulette J.

kata-kata (bahasa).12

11

Jhon Fiske, Pengantar Ilmu Komunikasi. (Ed. 3; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 5.

12

Agus M. Harjana. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal, h. 26

Thomas, komunikasi verbal adalah penyampaian dan penerimaan pesan dengan menggunakan bahasa lisan dan tulisan. Lambang-lambang verbal adalah semua lambang yang digunakan untuk menjelaskan pesan-pesan dengan memanfaatkan 2) Melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Kelompok ini fokus

(25)

kita.13

2) Komunikasi Non Verbal

13

Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 93

14

Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 94

salah.14

Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk non verbal, tanpa kata-kata. Dalam hidup nyata komunikasi non verbal ternyata jauh banyak dipakai dari pada komunikasi verbal, dengan kata-kata. Dalam berkomunikasi hampir secara otomatis komunikasi non verbal ikut terpakai, karena itu komunikasi

Komunikasi non verbal adalah jenis komunikasi yang menggunakan simbol, lambang, gerakan-gerakan, sikap, ekspresi wajah dan isyarat yang tidak menggunakan bahasa lisan dan tulisan. Pelaksanaan komunikasi non verbal inipun tidak kalah pentingnya, namun dalam kenyataannya jika seseorang belum mengetahui lambang-lambang yang ada, maka akan salah arti, dan akibatnya akan fatal. Dalam prakteknya yang lebih efektif itu adalah komunikasi verbal dan non verbal saling mengisi. Seperti halnya jika ada gambar di surat kabar, maka akan lebih jelas jika ada keterangannya dengan verbal. Karena jika tidak ada keterangan, mungkin akan

Bahasa lisan dan tulisan adalah lambang yang paling banyak digunakan dalam komunikasi seperti komunikasi yang terjadi antara guru dan murid. Sebabnya ialah karena bahasa selain dapat mewakili kenyataan yang konkrit dan obyektif dalam dunia sekeliling kita, juga dapat mewakili hal yang abstrak sekalipun. Yakni bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, gagasan, perasaan dan maksud

Dalam proses belajar mengajar komunikasi verbal dapat dilangsungkan

(26)

non verbal bersifat tetap dan selalu ada. Komunikasi non verbal lebih jujur

mengkoordinasikan semua kebutuhannya dengan dan bersama orang lain.16 Komponen-komponen ataupun unsur-unsur komunikasi yaitu:

2) Penerima

Penerima (receiver) adalah Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.17 Penerima juga dapat berarti orang yang menafsirkan pesan yang

15

Agus M. Harjana, Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal, h.26

16

Alo Liliweri, Komunikasi: Serba Ada Serba Makna, (Jakarta; Kencana, 2011), h. 35.

17

Onong Uchjana Effendy, op. cit. h. 19

1) Pengirim atau sumber

Pengirim adalah orang yang membuat pesan, pesan merupakan pemrakarsa yang ingin menyajikan pikiran dan pendapat tentang suatu peristiwa atau objek. Sebagai pengirim pesan yang bertujuan tertentu, maka pengirim tidak selalu berada dalam posisi serba tahu atau serba kenal terhadap penerima. Karena itu, pengirim mentransmisikan pesan untuk mendapat respons demi meyamakan persepsi terhadap pesan.

mengungkapkan hal yang mau dianggap secara sepontan.15 b. Komponen Komunikasi

(27)

3) Encoding dan Decoding

Encoding yaitu penyandian, yakni proses pengalihan pikiran kedalam bentuk

4) Pesan

Pesan adalah gagasan, perasaan atau pemikiran yang telah di-encode oleh

18

Onong Uchjana Effendy, op. cit. h. 18.

pengirim atau di-decode oleh penerima. Pesan disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi. Pada umumnya pesan-pesan terbentuk berbentuk sinyal, simbol, tanda-tanda atau kombinasi dari semuanya dan berfungsi sebagai stimulus yang akan direspons oleh penerimanya. Apabila pesan ini berupa tanda, maka kita dapat membedakan tanda yang alami artinya tanda yang diberikan oleh lingkungan fisik, tanda mana sudah dikenal secara universal. Contoh, Guntur dan awan hitam menandakan bahwa hujan akan turun. Kita menafsirkan pesan yang bertanda secara denotative. Ada pula tanda yang dibuat oleh manusia, tanda seperti lambang.18Encoding juga berarti poses dimana pengirim menerjemahkan ide atau masukannya ke dalam simbol-simbol berupa kata-kata atau nonverbal. Hasil terjemahan ide ini merupakan pesan yang akan dikirimkan kepada penerimanya. Sementara itu, aktivitas seorang penerima adalah decoding, yaitu menerjemahkan simbol-simbol verbal dan nonverbal tadi ke dalam pesan yang bisa saja mirip, persis sama dengan atau sangat berbeda dari apa yang dimaksudkan oleh pengirim.

(28)

5) Saluran

Saluran komunikasi merupakan sarana untuk mengangkut atau memindahkan

6) Noise

Komunikasi manusia tidaklah selalu lancar, komunikasi sering mengalami hambatan, gangguan atau distorsi. Mengingat perkembangan model awal komunikasi berbasis pada teknik-teknik matematika maka Shannon dan Weaver mengartikan konsep noise sebagai kebisingan. Misalnya seseorang berdiri di tepi trotoar dan menelpon dengan menggunakan telepon seluler, orang tersebut mengalami kebisingan karena hilir mudik kendaraan di jalan raya. Jika suara kebisingan semakin keras, maka semakin sulit mengirimkan pesan dan semakin sulit pula penerima pesan pesan dari pengirim kepada penerima. Dalam komunikasi, semua pesan yang dikirimkan harus melalui saluran, saluran bisa tunggal namun bisa juga banyak, misalnya pada sarana transportasi seperti mobil pengangkut barang atau manusia, fungsi sarana ini adalah mengangkut atau memindahkan manusia atau barang dari suatu tempat ke tempat yang lain, berbagai sarana juga bisa digunakan, seperti kuda, sepeda motor, kapal feri ataupun pesawat, begitupun dengan saluran komunikasi. Komunikasi antara sesama dilakukan melalui bahan cetakan seperti buku, e-mail atau telepon.

(29)

menerima pesannya, apalagi memahami maksud dan pesan yang disampaikan oleh

19

Alo Liliweri, op. cit, h. 39-41

Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Berikut pengertian budaya dari pendapat ahli; E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks pengirim pesan19

B.Budaya

Budaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi budaya, oleh karena melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar komunikasi. Komunikasi itu terikat dengan budaya. Sebagaimana budaya berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka dalam pratik dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya tersebut pun akan berbeda pula.

Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa sanskerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Belanda di istilahkan dengan kata cultuur, dalam bahasa latin, berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah,

mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani).

(30)

yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.20

















kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal “.21

Kebanggaan pada nasab dan suku merupakan kebanggaan yang paling

20

Elly M. Setiadi, Ilmu Social Dan Budaya (Cet. III; Jakarta: Prenada Media Group: 2007), h. 27-28.

21

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media)

Namun mengingat bahwa hal-hal ini bersifat berubah-ubah, material, transient tentu saja ajaran samawi seperti Islam sekali-kali tidak akan menerima hal tersebut; karena itu Islam menarik garis tegas dan menampakkan kebatilan masalah ini. Nilai

digandrungi di kalangan kaum jahiliyah sedemikian sehingga setiap suku memandang sukunya sebagai suku yang paling hebat dan setiap ras menilai rasnya yang paling unggul. Kelompok lainnya memandang harta, kekayaan, memiliki istana, pelayan, dan semisalnya sebagai nilai, dan senantiasa berusaha untuk mendapatkannya. Sementara kelompok lainnya menganggap strata sosial dan politik sebagai kriteria kemuliaan. Dengan demikian, setiap kelompok melangkah untuk meraih sebanyak mungkin apa yang dipandangnya sebagai kemuliaan dan menambatkan hati padanya. Terjemahannya :

“ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki

(31)

atas turun dan menjelaskan tentang kriteria nilai sejati dan kemuliaan ril.22 Dalam sebuah hadis kita membaca, “Suatu hari Rasulullah Saw

22

Ismail Haqqibursui, Ruh al-Bayân, Dar al-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun; Muhammad bin Ahmad Qurthubi, al-Jâmi’ al-Ahkâm al-Qur’ân, Intisyarat Nashir Khusruw, (Cetakan Pertama, Teheran, 1364 S). hal. 90.

Dalam buku Adab al-Nufus Thabari disebutkan bahwa Rasulullah Saw pada hari-hari tasyriq (hari-hari 11, 12 dan 13 Dzulhijjah) di kota Mina selagi beliau menunggangi seekor unta beliau mengarahkan wajahnya kepada orang-orang di menyampaikan khutbah kepada penduduk Mekah. Beliau bersabda, “Wahai Manusia!

Allah Swt telah mencerabut dari kalian kejahatan jahiliyah dan kebanggaan atas nenek moyang. Manusia terdiri dari dua bagian; Pertama orang-orang budiman dan bertakwa serta bernilai di sisi Allah Swt. Kedua, orang-orang jahat dan rendah di sisi Allah Swt. Seluruh manusia adalah anak-anak Adam dan Allah Swt menciptakan Adam dari tanah.

Menariknya sehubungan dengan sebab-sebab pewahyuan yang disebutkan atas ayat ini yang sejatinya mengisahkan tentang kedalaman ajaran Islam di antaranya bahwa setelah Fathu Mekkah, Rasulullah Saw memerintahkan supaya adzan dikumandangkan. Bilal naik di atas Ka‟bah dan mengumandangkan adzan. Ithab bin

(32)

masyarakat tersebut untuk mengembangkan kebudayaan,25

Sejalan dengan pikiran para ahli tersebut, Koentjaraningrat,

mengemumukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, yaitu:

23

Ismail Haqqibursui, Ruh al-Bayân, h. 22 24

Shaff Muhtamar, Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan Sulawesi Selatan, (Makassar: Pustaka Dewan Sulawesi, 2004), h. 1.

25

Syahriar Tato, Pusaka Warisan Budaya Indonesia (Makassar: El Shaddai, 2009), h. 1

“Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang gaib.”23

Dengan demikian, kebudayaan atau budaya adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, budaya itu bersifat abstrak. Hampir setiap komunitas masyarakat manusia yang ada dan atau yang pernah ada dalam kehidupan kehidupan ini, menerima warisan kebudayaan dari leluhur mereka. Waris dan kebudayaan itu adanya berupa gagasan, ide atau nilai-nilai luhur dan benda-benda budaya, warisan kebudayaan ini boleh jadi sebuah kecenderungan alamiah dari kehidupan manusia untuk terus menerus melanggengkan nilai-nilai dan fakta-fakta kebenaran yang ada.24 Ketika interaksi sosial budaya suatu masyarakat semakin luas maka kian beragam dan kompleks jaringan yang dilakoninya. Semakin tinggi intensitas sosial budaya yang dikembangkan oleh suatu komunitas lokal dalam pergaulannya dengan komunitas di luarnnya maka semakin besar pula peluang

tempat itu dan bersabda, “Ayyuhannas! Tuhan kalian adalah satu dan nenek moyang

(33)

1) Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud tersebut menunjukkan wujud ide dari kebudayaan, sifat abstrak, tak dapat diraba, dipegang atapun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari

manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat.

3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda-benda hasil karya manusia. Wujud yang terakhir ini disebut pula kebudayaan fisik. Dimana wujud foto yang berwujud

Sedangkan menurut Brodbeck,28 makna terbagi kedalam tiga macam, yaitu makna inferensial, makna significance dan makna intensional.

26

Elly M. Setiadi, op.cit. h. 29 27

Alex Sobur, Simiotika Komunikasi (Cet. III Bandung ; PT. Remaja rosdakarya offset, 2006),h. 256 .

28

Alex Sobur, Simiotika Komunikasi., h. 262.

besar ataupun kecil.26 C.Pengertian Makna

(34)

menyebutnya sebagai makna yang menekankan maksud pembicara29. a. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

29

Alex Sobur, Simiotika Komunikasi, h.262. 30

Alex Sobur, Simiotika Komunikasi, h. 263.

Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian

emosionalnya.30 Makna denotatif itu sendiri disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti, makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial atau makna proposisional.

Menurut Lyons, denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Sedangkan DeVito menjelaskan bahwa, jika denotasi sebuah kata adalah definisi objek kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau

Makna denotatif suatu kata adalah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata mawar berarti „sejenis bunga’. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah segala gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin coonotare, “menjadi tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata.

(35)

Beberapa teori atau konsep makna menurut Wendell Johnsosn31 yang menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia antara lain :

1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap untuk menggambarkan makna yang dimaksudkan.

2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Tapi makna dari kata-kata itu terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna.

3) Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati.

31

Alex Sobur, Simiotika Komunikasi, h. 258.

Pada dasarnya, konotasi timbul disebabkan masalah hubungan sosial atau hubungan interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain. Karena itu, bahasa manusia tidak sekedar menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan sekedar menjadi alat untuk menyampaikan informasi. Namun, juga ada konotasi-konotasi makna yang terkandung di dalamnya.

b. Teori-teori Makna

(36)

4) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah atau dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna.

5) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tapi sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna-makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita.

D.Analisis Semiotika

Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan

dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata-kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Seluruh aktifitas manusia dalam keseharian selalu diliputi berbagai kejadian-kejadian yang secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tak-sadar, memiliki potensi makna yang terkadang luas nilainya jika dipandang dari sudut-sudut yang dapat mengembangkan suatu objek pada kaitan-kaitan yang mengindikasikan suatu pesan atau tanda tertentu. Jika diartikan melalui suatu penjelasan maka akan dapat diterima oleh orang lain yang menyepakati.32

Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem

32

(37)

apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna.33

Lebih spesifik lagi jika sebuah studi atas kode-kode tertentu memiliki kaitan dengan kehidupan kita, bahkan sangat fundamental jika ada kesalahan artikulasi atas kode tersebut. Pemicu awal terciptanya suatu hukum bisa berawal dari kode-kode sebuah tanda yang telah disepakati dan menjadi kebudayaan menyeluruh.Kita dapat melihat tentang bagaimana tanda-tanda tertentu berbeda makna dari orang-orang yang terbagi dalam berbagai aspek seperti, geografis, demografis, suku dan budaya.

Sehingga bagi Ferdinand de Saussure menuturkan bahwa semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat”.34

Tanda-tanda dalam masyarakat yang telah disepakati sebenarnya hasil dari pemikiran logika seperti yang diungkapkan oleh Charles S. Pierce bahwa semiotika tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal tentang tanda-tanda”.35

Penggunaan kata doktrin disini adalah wujud dari kesepakatan generasi ke generasi contohnya tentang tanda alam, “jika mendung maka itu tanda akan segera

turun hujan”. Walaupun terkadang hujan tanpa mendung-pun sering terjadi, dan mendung tanpa hujan pun ada. Namun, ada makna yang terkandung di dalam tentang artikulasi bagi sebagian orang atau kelompok tentang tanda “mendung”. Dalam ilmu

fisika kita mengetahui sebab apa sehingga turun hujan akan mengartikan sebagai

33

Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Jalasutra, September 2011), h. 3. 34

Kris Budiman, Semiotika Visual, h. 4. 35

(38)

proses menguapnya kandungan air yang ditampung sehingga langit mendung dan menurunkan hujan. Akan tetapi, bagi kelompok lain tanpa melakukan sebuah analisis akademis seperti itu pun mengisyaratkan bahwa langit mendung pertanda akan turun hujan. Tanda langit mendung menjadi acuan yang disepakati baik secara doktrinisasi ataupun secara historis masyarakat yang mengalami itu berkali-kali dan dapat mengartikan “hujan akan segera turun” atau disebut juga dengan “bahasa alam”.

Sedangkan menurut John A. Walker semiotika adalah “ilmu yang mengkaji

tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.36 Definisi tersebut menjelaskan relasi yang tidak dapat dipisahkan antara sistem tanda dan penerapannya di dalam masyarakat. Oleh karena tanda itu selalu ditempa di dalam kehidupan sosial dan budaya, maka jelas keberadaan semiotika sangat sentral di dalam studi kebudayaan (cultural studies). Tanda tidak berada di ruang kosong, tetapi hanya bisa eksis bila ada komunitas bahasa yang menggunakannya. Budaya, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai bangunan yang dibangun oleh kombinasi tanda-tanda, berdasarkan aturan tertentu (code), untuk menghasilkan makna.

Tanda di dalam fenomena kebudayaan mempunyai cakupan yang sangat luas, di mana selama unsur-unsur kebudayaan mengandung di dalam dirinya makna tertentu, maka ia adalah sebuah tanda, dan dapat menjadi objek kajian semiotik. Apakah itu pola tingkah laku seseorang, pola pergaulan, penggunaan tubuh, pengorganisasian ruang, pengaturan makanan, cara berpakaian, pola berbelanja, hasil ekspresi seni, cara berkendaraan, bentuk permainan dan objek-objek produksi, semuanya dianggap sebagai tanda dan produk bahasa.37

36

John A. Walker, Desain, Sejarah, Budaya; Sebuah Pengantar Komprehensif (I; Yogyakarta: Jalasutra, Mei 2010), h. 45.

37

(39)

Menurut John A. Walker, arti tanda lebih plural, karena mengisyaratkan tentang respon dari indra seseorang yang ditimpa stimulus apapun bisa berarti sebuah tanda. Bahkan hal terkecilpun memiliki potensi besar berupa makna.Namun, keragaman makna di sini berlaku ketika adanya sebuah komunitas bahasa yang menyetujui tentang berbagai tanda yang disepakati dan mempunyai legitimasi aturan-aturan tentang pemaknaan tersebut. Begitu juga sebaliknya ada kekuatan personal orang yang mampu memaknai berbagai tanda, akan tetapi orang lain tidak mampu bahkan tidak menyetujui akan makna dari perseorangan tersebut, itu tidak berlaku dalam sebuah analisa dan tidak bisa diwujudkan dalam kehidupan luas.38

Maka dari itu sebuah tanda tertentu yang dapat memberikan makna harus diteliti dan dibuktikan dalam sebuah praktek meskipun artikulasi itu tidak nampak atau tidak riil wujudnya. Dari interpreter ke interpreter selanjutnya harus jelas dalam memaknai, sehingga dengan sendirinya makna-makna yang akan membudaya secara automatic menyatu dalam sebuah wadah budaya dan disepakati. Contohnya adalah

kultur barat yang dahulu merayap menggunduli budaya luhur dan saat ini menggunduli dirinya sendiri dan idealisme budaya Indonesia digantikan dengan budaya Kapitalisme. Tanpa terasa luka itu bertambah parah menggerogoti kesejahteraan rakyat hidup dengan layak. Ini semua berawal dari tanda yang dimaknai dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang pada akhirnya menjadi budaya baru yang memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang disebut modern. Cara-cara berpakaian, konsumerisme, cara berpikir liberal tak bermoral, dan lain sebagainya bisa dinamakan tanda-tanda budaya barat yang dimaknai modern oleh masyarakat Indonesia.

38

(40)

Bahasa, dalam perspektif semiotika, hanyalah salah satu sistem tanda-tanda (system of signs). Dalam wujudnya sebagai suatu sistem, pertama-tama, bahasa adalah sebuah institusi sosial otonom, yang keberadaannya terlepas dari individu-individu pemakainya. Bahasa merupakan seperangkat konvensi sistematis, produk dari kontrak kolektif, yang bersifat memaksa.Sausseremenyebutnya sebagai lengue. Kedua, bahasa tersusun dari tanda-tanda, yakni entitas fisik, yang di dalam bahasa lisan berupa citra-bunyi (sound image), yang berelasi dengan konsep tertentu. Selanjutnya, Saussere menamakan entitas material-sensoris ini sebagai penanda (signifier atau signifiant) dan konsep yang berkait dengannya sebagai petanda (signified atau signifie). Masih menurut Saussure, tanda-tanda, khususnya tanda-tanda kebahasaan, setidak-tidaknya memiliki dua buah karakteristik primordial, yakni bersifat linear dan arbitrer.39

Karakteristik pertama, linearitas penanda (linear nature of the signifier), berkaitan dengan dimensi kewaktuannya. Penanda-penanda kebahasaan harus diproduksi secara beruntun, satu demi satu, tidak mungkin secara sekaligus atau simultan. Artinya, penanda tersebut bersifat linier karena “pendengaran penanda memiliki perintah mereka hanya dimensi waktu”. Ini merupakan sejengkal dan rentang yang dapat diukur dalam dimensi tunggal yaitu waktu.

Saussure says that linguistic signs are by nature linear, because they

represent a span in a single dimension. Auditory signifiers are linear, because they

succeed each other or form a chain. Visual signifiers, in contrast, may be grouped

simultaneously in several dimensions.40

39

Kris Budiman, Semiotika Visual, h. 16. 40

(41)

(Tanda-tanda linguistik secara alami linear, karena mereka mewakili rentang dalam dimensi tunggal. Penanda pendengaran adalah linear, karena mereka berhasil satu sama lain atau membentuk rantai. Penanda visual, sebaliknya, dapat dikelompokkan secara bersamaan dalam beberapa dimensi).

Karakteristik kedua, kearbitreran tanda (the arbitrary nature of the signs), bersangkutan dengan relasi di antara penanda dan petanda yang “semena-mena” atau “tanpa alasan”—tak bermotivasi (unmotivated). Relasi diantara penanda dan petanda

adalah semata-mata berdasarkan konvensi. Selanjutnya Seassure di kesempatan yang lain mengatakan bahwa bahasa lisan mencakup komunikasi konsep melalui suara-gambar dari pembicara ke pendengar. Bahasa adalah produk komunikasi pembicara dari tanda-tanda untuk pendengar. Tanda linguistik adalah kombinasi dari konsep dan suara-gambar. Konsepnya adalah apa yang ditandakan dan suara-gambar penanda. Kombinasi signifier dan signified adalah sewenang-wenang, yaitu, suara apapun citra dibayangkan dapat digunakan untuk menandakan sebuah konsep tertentu. Namun, terkadang ada perubahan-perubahan dalam hubungan signifier dan signified dan perubahan tanda-tanda linguistik berasal dari perubahan kegiatan sosial.41

Tanda-tanda arbitrer disebut secara khusus oleh Pierce, sebagai simbol (symbol). Oleh karena itu, dalam terminologi Pierce, bahasa dapat dikatakan juga sebagai sistem simbol lantaran tanda-tanda yang membentuknya bersifat arbitrer dan konvensional.Misalnya, Hewan yang menggonggong dikatakan anjing oleh orang Indonesia dan dog oleh Inggris. Masing-masing bangsa itu sungguh “semena-mena” dalam menamakan hewan yang menggonggong tadi.42

41

Kris Budiman, Semiotika Visual, h. 28. 42

(42)

Di dalam tatanan budaya itu „bermacam area kehidupan sosial terlihat

dipetakan ke dalam wilayah diskursif, wilayah itu secara hierarkis terorganisasi menjadi pemaknaan-pemaknaan yang dominan atau yang disukai. Karena tatanan budaya itu tidak tunggal dan bukannya tidak dipersoalkan, maka pemaknaan yang disukai menjadi bisa dijamin. Tapi karena tatanan itu dominan, maka tatanan itu pastilah mendukung suatu keseimbangan probabilitas, sebab tatanan itu menguntungkan bagi beberapa pembacaan-pembacaan yang bersifat pribadi varian. Seperti contoh di atas jika kata anjing disepakati oleh masyarakat internasional untuk menamakan hewan menggonggong, maka akan kesulitan bagi mereka yang sulit mengucapkan kata anjing. Jadi ada kesewenang-wenangan dalam memaknai dan menamai tanda gonggong itu dimiliki oleh anjing bagi orang Indonesia, begitu juga di seluruh dunia yang tidak sama menamai hewan menggonggong. Tetapi “perspektif selektif” hampir tidak pernah secara seselektif, seacak, dan sepribadi apa yang

dikatakan oleh konsepnya.

Namun, dalam masalah peristilahan ini pula kemudian timbul kesengkarutan karena Saussure dan Pierce ternyata menggunakan satu istilah yang sama untuk menunjuk kepada konsep yang sama sekali bertolak-belakang. Menurut terminologi Pierce, simbol adalah tanda arbitrer, sementara Saussure sebaliknya, dan mengatakan bahwa simbol adalah tanda-tanda yang tidak sepenuhnya arbitrer. Kerancuan ini dapat menjadi pelajaran bagi siapa saja yang belajar semiotika agar senantiasa waspada dan tidak sembrono dengan terminologi dan konsep-konsep karena nyaris setiap pemikir dan “selebriti” semiotika menggunakan istilah yang sama atau hampir

(43)

linguistik dan semiotika terlampau menekankan pada konvensionalitas atau kearbitreran tanda sehingga kerap mengabaikan karakteristik tanda yang sebaliknya seolah-olah bahasa tidak mungkin berkarakteristik ikonitas menurut Saussure yang menurut Pierce menaruh perhatiannya terhadap masalah ikonitas.

Begitu peliknya masalah yang dihadapi dalam artikulasi serat memaknai tanda-tanda menurut Saussure dan Pierce. Meskipun keduanya hidup bersamaan di zamannya, namun mereka tidak pernah saling kenal dan bertemu. Akan tetapi para murid-muridnya mencoba merangkum apa yang dimaksudkan oleh Saussure dengan linguistik dan Pierce mengatakan dengan nama lain dari semiotika adalah Logika atau permainan logika. Perkembangan yang semakin menunjukkan eksistensi tentang semiotika berkaitan dengan pemaknaan tanda. Kami akan mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan ikon dan ikonitas yang merupakan tanda-tanda non-atbitrer menurut Pierce.

Bagi Pierce, ikon termasuk dalam tipologi tanda pada trikotomi kedua. Ikon merupakan sebutan bagi tanda yang non-arbitrer (bermotivasi). Menurut Pierce, Ikon adalah hubungan antara tanda dan objeknya atau acuan yang bersifat kemiripan.43 Dia menyatakan bahwa ikon adalah tanda yang memiliki kemiripan/similaritas dengan objeknya.44 Ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan.45

Ikon merupakan tanda yang didasarkan oleh adanya similaritas (similarity) atau “keserupaan” (resemblance) di antara kedua kolerat tersebut.46 Jenis tanda yang

43

Alexis, Semiotika Komunikasi (Rosda Karya: Bandung, 2003), h. 41. 44

Kris Budiman, Ikonisitas; Semiotika Sastra dan Seni Visual (Buku Baik: Yogyakarta, 2005), h. 25.

45

Nurgiyantoro, Budaya Meta Budaya ( Jalasutra: Yogyakarta, Juli 2010), h. 45. 46

(44)

didasari resemblance itu adalah tanda ikonis dan gejalanya dapat disebut sebagai ikonisitas.

Ikonisitas merupakan salah satu gejala yang tidak kurang penting di dalam semiotika. Padahal, berbagai tanda ikonis berserakan di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: gambar wajah Dian Sastro tersenyum manja dengan bibir merah basah merekah sedikit terbuka dalam bungkus sabun, wajah Hitler pada kaos kita, atau gambar group band Peterpan dalam poster (ketiganya adalah ikon Images). Betapa terpolusinya kehidupan kita dengan tanda ikonis, tetapi kadang tidak terpikirkan.

Di dalam bahasa, kita menemukan kata onomatope sebagai tanda ikonis, misalnya kata ku ku ru yuk yang mengacu pada objek suara yang diacunya, yaitu Ayam Jago. Selain itu, kata dangdut yang juga mengacu pada objek suara yang diacunya.

Suatu tanda atau representamen, merupakan sesuatu yang menggantikan sesuatu bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas.Ia tertuju kepada seseorang, artinya di dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain yang ekuivalen, atau mungkin suatu tanda yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Tanda yang menggantikan sesuatu, yaitu objeknya, tidak dalam segala hal, melainkan dalam rujukannya pada sejumput gagasan, yang kadang saya sebut sebagai latar dari representamen.47

Pierce, menyusun tipe ikon secara triparit. Yang mana karakteritik arbitrer dan konvesional itu hanya terdapat pada salah satu sub-tipe tanda yang dinamakannya

47

(45)

sebagai simbol.48 Tipe-tipe ikon itu misalnya, ikon image, ikon diagram, dan ikon metaforis.Ikon metafora (metaphor) merupakan suatu meta-tanda (metasign) yang ikonisitasnya berdasarkan pada kemiripan atau similaritas di antara objek-objek dari dua tanda simbolis. Biasanya berupa hubungan similaritas relasi abstrak seperti kemiripan sifat.

Contoh ikon metafora: Metafora “Kaki Gunung” dapat dihasilkan dengan

mempersamakan objek yang berupa gunung dengan objek lain yang berupa tubuh manusia (atau hewan) yang memilih kaki. Kemiripannya, sama-sama berada di bawah dan berfungsi untuk menopang tubuh atau gunung.









Terjemahannya : 48

Kris Budiman, Semiotika Visual, h. 71.

syams, al-qamar, dan sajidin merupakan tanda yang mengacu pada sebelas bintang,

matahari, bulan, dan aktivitas sujud dalam arti sebenarnya sebagaimana yang dipahami pelaku mimpi (Yusuf) Pemahaman Yusuf berbeda dengan ayahnya yang mampu menangkap makna lain (konotatif) dari tanda-tanda tersebut namun ia tidak menjelaskan secara eksplisit. Karena itu, makna konotatif tanda itu dapat diketahui .

“(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku[742],

Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

[742] Bapak Yusuf a.s. ialah Ya'qub putera Ishak putera Ibrahim a.s.

(46)

49

Selengkapnya Lihat Ali Imron, Semiotika Alquran, hlm. 54-59.

jika memperhatikan tanda-tanda pada ayat berikutnya. Inilah proses pembacaan semiotik tingkat kedua yang berkesimpulan bahwa tanda-tanda tersebut bermakna sebelas saudara Yusuf, Ya‟qub, ibu Yusuf, dan ketundukan orang-orang tersebut

kepada Yusuf. Selain itu, tanda-tanda tersebut juga memiliki konotasi lain yakni simbolisme yang menunjukkan kemuliaan dan derajat tinggi yang dimiliki Yusuf.49

Seiring dengan perkembangan teori ilmu pengetahuan di bidang bahasa, ilmu

linguistik modern tidak hanya berpengaruh dalam linguistik dan ilmu sosial saja. Ilmu ini telah merambah dan memiliki peran yang cukup signifikan juga terhadap

pengembangan pendekatan studi Alquran. Pada perkembangan pemaknaan terhadap teks Alquran di masa modern, teori yang dikembangkan Saussure juga digunakan untuk menganalisis teks Alquran. Alquran merupakan representasi nilai religius teologis muslim yang bercorak bahasa sehingga untuk memahami dan mengkajinya maka salah satu pisau analisis yang dapat digunakan adalah pendekatan bahasa. Karena itu, beberapa intelektual muslim telah mencoba mengaplikasikan teori linguistik dalam pengkajiannya. Dalam konteks ini, grand theme yang mereka kembangkan masih berada dalam bingkai ilmu linguistic seperti yang telah dikembangkan Saussure, namun dalam aplikasinya terdapat corak yang berbeda satu-sama lain. Tokoh yang pernah mengaplikasikan konsep Saussure terhadap penafsiran Alquran antara lain Muhammad Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zaid.

(47)

konsep langue, parole, dan langage.50

Langue dirumuskan Arkoun sebagai harta asal milik bersama (suatu

pada umumnya adalah penerus dan pengembang dari teori Saussure.51

Adapun teori yang digunakan oleh Nasr Hamid Abu Zaid, terutama pada

50

Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik Dalam Tafsir Alquran Kontemporer

„Ala‟ M Syahrur, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hlm. 3-4.

51

Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 14

kebudayaan), analisis sosiokritis (proses sosial pengujaran), serta psikokritis (penyajian persepsi). Sedangkan pada wilayah diakronik pembahasan Arkoun lebih mengarah pada konsepnya tentang pembentukan masyarakat kitab, tradisi kitab suci, dan tradisi budaya. Selain aspek sinkronis dan diakronik, Arkoun juga menggunakan

masyarakat), sedangkan langage dipakai dalam arti sebuah alat yang tersedia bagi manusia untuk mengungkapkan diri secara lisan atau tertulis. Uniknya, pembedaan antara langage, langue dan parole yang berasal dari Saussure dirumuskan dengan cara berbeda oleh Arkoun. Tak hanya memanfaatkan konsep sederhana Saussure, dalam pengkajiannya Arkoun juga menggunakan berbagai metode dan analisis yang dikembangkan beberapa tokoh lain seperti Roland Barthes, Greimas, Hjelmslev yang

karyanya Teks Otoritas Kebenaran yakni teori tentang hubungan antara penanda dan petanda dalam mengkaji tanda. Dengan mengutip Saussure, ia menyatakan bahwa Penanda dan petanda sebagai dua aspek dari tanda bahasa yang tidak saja mengacu

pada “benda‟ melainkan pada konsep mental yang serupa dengan makna dan bukan

(48)

pada langue, akan tetapi ia merupakan parole dalam sistem kebahasaan tersebut.52 Penggunaan teori Semiotika Saussure oleh beberapa tokoh tersebut

melingkupi Alquran.53

Alquran adalah dunia tanda sehingga untuk menemukan arti dan maknanya

52

Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran,terj. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta: LkiS, 1995), hlm. 100-108.

53

Ali Imron, Semiotika Alquran, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 41.

kesadaran masyarakat dan juga dalam bawah sadarnya. Selain itu, Nasr Hamid juga mengaplikasikan konsep langue dan parole dalam analisisnya terhadap Alquran. Baginya, teks Alquran sebagai firman Allah termasuk dalam kategori parole, dan bukan langue Posisi parole ini dilihat dari segi keberadaannya sebagai teks yang ditujukan pada manusia dalam sebuah konteks kebudayaan tertentu, dan bukan dari pihak yang menuturkan yakni Allah swt. Teks Alquran memang mendasarkan diri

berdasarkan pada asumsi bahwa pada media bahasa yang digunakan Alquran sebagai sarana untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia lewat Nabi Muhammad terdapat sistem tanda. Teks Alquran merupakan sekumpulan tanda yang didalamnya terdapat hubungan dialektika antara penanda dan petanda. Penanda Alquran adalah wujud teks yang berupa bahasa Arab, meliputi huruf, kata, kalimat, ayat, surat maupun hubungan masing-masing unsur. Kompleksitas unsur yang saling berhubungan tersebut juga termasuk tanda Alquran. Sedangkan petanda Alquran merupakan aspek mental atau konsep yang berada di balik penanda Alquran. Hubungan antara penanda dan petanda Alquran ditentukan oleh konvensi yang

(49)

memiliki signifikansi yang lebih kompleks daripada bahasa-bahasa lain.54

Dari berbagai teori yang telah dijelaskan di atas maka penulis menggunakan

54

Ali Imron, Semiotika Alquran, hlm. 4-5.

teori semiotika menurut Eco, yakni semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata-kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

55

Moleong Lexy Y, Metodologi Penelitian Kuailitatif (Bandung: Remaja Karya, 1989), h.15 56

Strauas and Corbin, Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta: PT. Pustaka Pelajar, 1997), h. 22. 57

Nasution, Metode Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsinto, 1996), h. 43.

A.Jenis dan Lokasi Penelitian

Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari komunikasi (pengukuran). Penelitian kualiktatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kahidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain. Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk di pahami secara memuaskan.55

Adapun perbedaan kualitatif dengan penelitian kuantitatif yaitu penelitian kuantitatif dalam hal ini merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang dapat diperoleh (dicapai) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik

dalam menetapkan lokasi penelitian yaitu, tempat, pelaku, dan kegiatan.57 Oleh karena itu yang dijadikan tempat atau lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Bulutana Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa.

(pengukuran).56

(51)

B.Metode Pendekatan

Berpijak pada metodologi yang digunakan penulis, yakni jenis penelitian

58

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya), h. 5.

kualitatif yang tidak mempromosikan teori sebagai alat atau parameter yang hendak diuji. Maka teori dalam hal ini berfungsi sebagai metode atau pendekatan untuk memahami lebih dini konsep-konsep ilmiah yang relevan dengan fokus permasalahan.

(52)

C.Metode Pengumpulan Data

Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis data, yakni data

1. Library Research

Library Research adalah kegiatan mencari dan mengelolah data-data liberatur

2. Field Research a) Metode Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala

59

Husaini Usman Poernomo, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), H. 54.

yang disadur dari telah pustaka (library research) dan data yang bersumber dari penelitian lapangan (field research). kedua data tersebut merupakan satu rangkaian utuh yang akan terus dieksplotasi hingga penelitian ini selesai dilaksanakan. Penjelasan tentang kedua jenis data tersebut diuraikan sebagai berikut:

yang relevan untuk dijadikan referensi dan sebagai acuan dasar untuk menerangkan konsep-konsep penelitian ini. Berdasarkan bentuk penelitianya, data literatur yang dimaksud berupa buku ilmiah, ensliklopedi, dan sumber data lainya yang dapatkan di beberapa perpustakaan.

(53)

60

Kamaluddin Tajibu, Metode Penelitian Komunikasi (Cet.I; Makassar; Alauddin press 2013), h.190

memperhatikan. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah Adat Sampulonrua Kelurahan Buluta Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa. b) Metode Wawancara

Wawancara merupakan salah satu tehnik pengumpulan data dalam metode survey melalui daftar pertanyaan yang di ajukan secara lisan terhadap informan.

Wawancara atau Interview merupakan metode pengumpulan data untuk mendapatkan keterangan lisan melalui tanya jawab dan berhadapan langsung kepada orang yang dapat memberikan keterangan. Keuntungan dengan tehnik wawancara ini adalah peneliti dapat menangkap suasana batin responden, seperti gelisah, takut, senang, sedih atau jawaban yang tidak wajar, bahkan jawaban bohong pun dapat segera terdeteksi.60

Dalam penelitian ini, peneliti telah memilih 4 (empat) informan yaitu H Mustari Dg. Ngago sebagai tokoh masyarakat, Amir Selle sebagai Pemangku Adat Sampulonrua (Gallarrang Bulu), Ramli S.Sos sebagai staf lurah Bulutana, dan Tuju sebagai masyarakat Kelurahan Bulutana.

Sifat wawancara yang digunakan ialah wawancara mendalam (in-depth interview) dengan model wawancara bebas terpimpin, serta menggunakan panduan wawancara (interview guide). Panduan wawancara dalam hal ini berfungsi sebagai instrumen penelitian, sebagai pedoman terarah bagi peneliti dan informan untuk mengungkap fokus permasalahan.

c) Dokumentasi

(54)

penelitian.

D.Instrumen Penelitian

Teknik yang digunakan oleh penulis selama analisis data yaitu triangulasi data sumber. Analisis data dengan teknik triangulasi bermaksud mengolah keragaman data

61

Burhan Bungin. Menurut Burhan Bungin, seluruh rangkaian kegiatan penelitian adalah terisolasi secara inklud dan secara utuh adalah sebuah sintesis terhadap pengumpulan data, teorisasi, membangun hipotesis, menguji, dan seterusnya.

Instrumen penelitian merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh dalam kegiatan meneliti yakni mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan lebih mudah. Adapun wujud dari instrument penelitian yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data-data yang ada kaitannya d

Gambar

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kel.Bulutana
Gambar 4.2 Pola Komunikasi
Gambar. 4.3

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsep diri akademik dan motivasi berprestasi mahasiswa yang tidak lolos evaluasi

Terima kasih atas segala dukungan, cinta kasih dan pengorbanan yang selama ini sudah diberikan kepada peniliti dari awal masuk ke Universitas hingga dengan

Harga Samsung yang tinggi tergolong wajar jika dibandingkan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh. Harga Samsung sebanding dengan kualitas

menetapkan pasal yang didakwakan terhadap penyalahguna narkotika. Untuk mengetahui cara dan proses Jaksa Penuntut Umum dalam. menentukan bentuk dakwaan yang akan

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, penelitian ini didukung dengan hasil penelitian yang berjudul “Pernikahan Dini dan Implikasinya Terhadap Kehiduan Keluarga

Tol Laut merupakan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi disparitas harga antara wilayah Indonesia bagian timur dan barat dengan cara mensubsidi biaya pelayaran untuk

Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan

Dan studi ini dipusatkan pada fungsionalitas dalam Paviliun Jantung RS X. Hasil temuannya ialah Paviliun ini sudah memenuhi standar, hal ini terlihat pada terpenuhinya checklist