• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH DISTRAKSI MENONTON ANIMASI KARTUN TERHADAP TINGKAT STRES HOSPITALISASI PADA ANAK SAAT DILAKUKAN INJEKSI BOLUS (Studi di Paviliun Seruni RSUD Jombang) - STIKES Insan Cendekia Medika Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH DISTRAKSI MENONTON ANIMASI KARTUN TERHADAP TINGKAT STRES HOSPITALISASI PADA ANAK SAAT DILAKUKAN INJEKSI BOLUS (Studi di Paviliun Seruni RSUD Jombang) - STIKES Insan Cendekia Medika Repository"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH DISTRAKSI MENONTON ANIMASI KARTUN TERHADAP TINGKAT STRES HOSPITALISASI PADA ANAK SAAT DILAKUKAN INJEKSI BOLUS

(Studi di Paviliun Seruni RSUD Jombang)

Disusun Oleh:

DESSY EKAWATI 13.321.0013

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG

2017

(2)

PENGARUH DISTRAKSI MENONTON ANIMASI KARTUN TERHADAP TINGKAT STRES HOSPITALISASI PADA ANAK SAAT DILAKUKAN INJEKSI BOLUS

(Studi di Paviliun Seruni RSUD Jombang)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Pada Program Studi S1 Keperawatan Pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang

DESSY EKAWATI 13.321.0013

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG

2017

(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jombang, 17 Desember 1994. Penulis merupakan anak

pertama dari empat bersaudara dan merupakan anak dari pasangan Bapak Baderi dan Ibu Muni’ah.

Pada tahun 2007 penulis lulus dari SDN Mancar 01 Peterongan, Jombang,

pada tahun 2010 penulis lulus dari SMPN 2 Jombang, pada tahun 2013 penulis

lulus dari SMAN 01 Mojoagung , pada tahun 2013 penulis lulus seleksi masuk STIKes “Insan Cendekima Medika” Jombang melalui PMDK. Penulis memilih

program studi S1 Keperawatan di STIKes “ICMe” Jombang.

Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar – benarnya.

Jombang, Mei 2017

DESSY EKAWATI 13.321.0013

(7)

MOTTO

“Bagaimanapun keadaan kita, sedih, bahagia, waktu tidak pernah berhenti untuk menunggu. Waktu tetap berjalan. “

(8)

PERSEMBAHAN

Syukur Alhamdulillah saya ucapkan akan kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayah-Nya yang telah memberi kemudahan dan kelancaran dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai sesuai dengan yang dijadwalkan. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan. Skripsi ini saya persembahkan kepada :

1. Kedua orang tua saya (Bapak Baderi dan Ibu Muni’ah) yang tak henti mencurahkan do’a serta kasih sayang yang tak terhingga. Dengan semangat dan dukungan yang tiada hentinya , baik secara moril maupun materi. Hanya do’a dan prestasi yang dapat saya berikan. Terima kasih ayah dan ibu atas do’a dan kasih sayang yang telah kalian berikan.

2. Semua keluarga saya khususnya ketiga adik saya serta nenek saya yang telah banyak memberi do’a , semangat serta dukungan demi kelancaran kuliah saya.

3. Teman – teman Mahasiswa S1 – Keperawatan STIKes ICMe Jombang yang

selalu sabar mendengarkan keluh kesah saya dan memotivasi disetiap langkah saya.

4. Kedua dosen pembimbing saya, Ibu Inayatur Rosyidah, S.Kep.,Ns., M.Kep.

serta Bapak Sumarsono, S.Si., M.MT yang telah membimbing saya dengan sabar dan teliti dalam mengerjakan skripsi ini. Semoga ilmu dan nasehat yang beliau berdua berikan dapat bermanfaat.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen S1 Keperawatan terima kasih banyak atas semua ilmu , nasehat serta motivasi yang telah diberikan dan semoga bermanfaat.

6. Kepala ruangan dan seluruh perawat di Paviliun Seruni RSUD Jombang yang telah memberi ijin untuk melakukan penelitiandan membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Distraksi Menonton Animasi Kartun Terhadap Tingkat Stres

Hospitalisasi Pada Anak Saat Dilakukan Injeksi Bolus (Studi di Paviliun Seruni RSUD Jombang)“ ini dengan sebaik-baiknya.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah banyak mendapat bimbingan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada

Bapak H.Bambang Tutuko S.H.,S.Kep.,Ns.,M.H. selaku ketua STIKes ICMe

Jombang; Ibu Inayatur Rosyidah, S.Kep.,Ns,.M.Kep. selaku Kaprodi S1

Keperawatan dan pembimbing I yang telah memberikan bimbingan serta motivasi

kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini; Bapak Sumarsono, S.Si.,

M.MTselaku pembimbing II yang telah rela meluangkan waktu, tenaga serta

pikirannya demi terselesaikannya skripsi ini; Direktur RSUD Jombang yang telah

memberikan ijin penelitian serta kepala ruangan dan seluruh perawat Paviliun

Seruni yang telah memberikan ijin penelitian serta menyediakan data yang

diperlukan selama menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih

jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi

perbaikan skripsi ini dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya, Amin.

Jombang, Mei 2017

Penulis

(10)

ABSTRAK

PENGARUH DISTRAKSI MENONTON ANIMASI KARTUN TERHADAP TINGKAT STRES HOSPITALISASI PADA ANAK SAAT DILAKUKAN INJEKSI BOLUS

(Studi di Paviliun Seruni RSUD Jombang) Oleh :

Dessy Ekawati

Hospitalisasi bagi anak merupakan suatu tindakan yang akan membatasi anak dengan dunia luar. Saat anak dalam masa perawatan sering didapatkan anak menangis, terlihat gelisah, rewel dan bersikap tidak kooperatif. Anak sering merasa ketakutan dan cemas karena bertemu dengan orang baru, lingkungan baru serta tindakan medis maupun keperawatan yang diberikan pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh distraksi menonton animasi kartun terhadap tingkat stres hospitalisasi pada anak saat dilakukan injeksi bolus di Paviliun Seruni RSUD Jombang.

Desain penelitian ini adalah one group pre test post test design. Populasi dalam penelitian ini adalah rata – rata pasien anak per bulan usia 3 – 5 tahun selama tahun 2016 di Paviliun Seruni RSUD Jombang sejumlah 57 anak, sampelnya berjumlah 50 anak dengan teknik consequtive sampling. Variabel

independent yakni distraksi menonton animasi kartun serta variabel dependent

yaitu tingkat stres hospitalisasi. Pengumpulan data menggunakan lembar observasi Modifikasi DASS 21. Teknik analisis data menggunakan uji statistik Wilcoxon

test.

Hasil penelitian ini didapatkan dari 50 responden, sebelum pemberian distraksi sebagian besar responden mengalami tingkat stres hospitalisasi berat sejumlah 28 anak (56%) dan stres sedang sejumlah 22 anak (44%), sesudah pemberian distraksi hampir seluruh responden mengalami tingkat stres hospitalisasi ringan sejumlah 40 anak (80%) dan stres sedang sejumlah 10 anak (20%). Uji statistik Wilcoxon menunjukkan bahwa nilai p = 0.000 < α (0.05)

sehingga H0 ditolak dan H1 diterima.

Kesimpulannya adalah ada pengaruh distraksi menonton animasi kartun terhadap tingkat stres hospitalisasi pada anak saat dilakukan injeksi bolus di Paviliun Seruni RSUD Jombang.

Kata Kunci: anak, distraksi, stres hospitalisasi

(11)

ABSTRACT

THE EFFECT OF DISTRACTION WATCHING CARTOON ANIMATION ON THE LEVEL OF STRESS HOSPITALIZATION TO CHILDREN WHEN BOLUS INJECTION WAS DONE

(Studied in the Pavilion of Seruni RSUD Jombang) by :

Dessy Ekawati

Hospitalization for children is an act that will limit children to the outside world. When the child in the treatment often found the child crying, looking anxious, fussy and uncooperative. Children often feel frightened and anxious about meeting new people, new surroundings as well as the medical or nursing actions given to the child. The purpose of this research was to analyze the effect of distraction watching cartoon animation on level of stress hospitalization to children when bolus injection was done in the Pavilion of Seruni RSUD Jombang.

This research design was one group pre test post test design. The population

in this research was the average pediatric patient per month of age 3 – 5 years

old during the year 2016 in the Paviliun of Seruni RSUD Jombang numbered 57 children, the samples were numbered 50 children with technique of consequtive sampling. The independent variabel which was distraction of watching cartoon animation and the dependent variabel which was the level of stres hospitalization. Data collecting used observation sheet of modification DASS 21. Data analyzing techniques used a statistical test of Wilcoxon test.

The results was obtained that’s from 50 respondents, before giving

distraction most of respondents experienced severe hospitalization stress levels in number were 28 children (56%) and moderate hospitalization stress levels in number were 22 children (44%),while after giving disraction almost all of respondent experienced light hospitalization stress levels in number were 40 children (80%)and moderate hospitalization stress levels in number were 10

children (20%). The statistical test of Wilcoxon showed that’s the value of p = 0.000 < α (0.05) so H0 was rejected and H1 was accepted.

The conclusion was there’s an influence distraction of watching cartoon animation on the stress level of hospitalization in children When bolus injection was done in the Pavilion of Seruni RSUD Jombang.

Keywords : child, distraction, hospitalization stress

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL DALAM ... ii

LEMBAR KEASLIAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN... iv

PENGESAHAN PENGUJI ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN

2.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak ... 7

2.1.3 Prinsip – prinsip Keperawatan Anak ... 21

2.2 Konsep Stres Hospitalisasi ... 23

2.2.1 Definisi Stres Hospitalisasi ... 23

2.2.2 Stresor dan Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi ... 23

2.2.3 Dampak Hospitalisasi ... 26

(13)

2.2.4 Tingkat Stres Hospitalisasi 27

2.2.5 Pengukuran Tingkat Stres

Hospitalisasi 28

2.2.6 Cara Mengatasi Dampak

Hospitalisasi Pada Anak 29

2.3 Teknik Distraksi ... 32

2.3.1 Definisi Teknik Distraksi 32 2.3.2 Tujuan dan Manfaat Teknik Distraksi 32 2.3.3 Prosedur Teknik Distraksi 32 2.3.4 Kelemahan dan Kelebihan Animasi Sebagai Media Distraksi Stres Hospitalisasi 35 2.4 Injeksi Intravena Secara Tidak Langsung (Bolus) ... 36

2.4.1 Definisi Bolus 36 2.4.2 Tujuan Bolus36 2.4.3 Pengaruh Injeksi Bolus Terhadap Stres Hospitalisasi Anak 36 2.4.4 Hal Yang Harus Diperhatikan Selama Pemberian Obat 37 2.5 Pengaruh distraksi menonton animasi kartun terhadap tingkat stres hospitalisasi anak 38

4.5 Identifikasi Variabel ... 47

4.6 Definisi Operasional ... 47

4.7 Instrumen Penelitian ... 48

4.8 Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data ... 51

4.9 Pengolahan dan analisa data ... 52

(14)

4.11 Keterbatasan penelitian ……….... 56

(15)

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian 57

5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 57

5.1.2 Data Umum 58

5.1.3 Data Khusus 61

5.2 Pembahasan 64

5.2.1 Tingkat stres hospitalisasi pada anak saat dilakukan injeksi bolus sebelum pemberian distraksi menonton animasi

kartun 64

5.2.2 Tingkat stres hospitalisasi pada anak saat dilakukan injeksi bolus sesudah pemberian distraksi menonton animasi

kartun 67

5.2.3 Pengaruh distraksi menonton animasi kartun terhadap tingkat stres hospitalisasi pada anak saat dilakukan injeksi

bolus 70

BAB 6 PENUTUP

6.1 Kesimpulan 73

6.2 Saran 73

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(16)

DAFTAR TABEL

No. Daftar Tabel Halaman

2.1 Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Pieget ... 11

2.2 Tahap Perkembangan Moral Menurut Kohlberg ... 13

2.3 Tahap Perkembangan Spiritual Menurut Fowler ... 16

2.3 Teori Psikoseksual Menurut Freud ... 20

2.5 Delapan Tahap Perkembangan Psikososial Menurut Erikson ... 20

4.1 One Group Pretest – Posttest Design ... 43

4.2 Definisi operasional... 48

5.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin pasien anak di Paviliun Seruni RSUD Jombang ... 58

5.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur pasien anak di Paviliun Seruni RSUD Jombang ... 59

5.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan lama masuk rumah sakit (MRS) pasien anak di Paviliun Seruni RSUD Jombang ... 59

5.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengalaman hospitalisasi pasien anak di Paviliun Seruni RSUD Jombang ... 60

5.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis penyakit pasien anak di Paviliun Seruni RSUD Jombang ... 60

5.6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat stres hospitalisasi pada anak saat dilakukan injeksi bolus sebelum pemberian distraksi menonton animasi kartun di Paviliun Seruni RSUD Jombang ... 61

5.7 Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat stres hospitalisasi pada anak saat dilakukan injeksi bolus sesudah pemberian distraksi menonton animasi kartun di Paviliun Seruni RSUD Jombang ... 62

5.8 Tabulasi silang pengaruh distraksi menonton animasi kartun terhadap tingkat stres hospitalisasi pada aak saat dilakukan injeksi bolus di Paviliun Seruni RSUD Jombang ... 63

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Daftar Gambar Halaman

3.1 Kerangka konseptual ... 41 4.1 Kerangka kerja ... 46

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar Permohonan Menjadi Responden

2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden

3. Lembar Observasi Modifikasi DASS 21

4. Lembar SOP Teknik Distraksi Menonton Animasi Kartun

5. Lembar Pernyataan Dari Perpustakanan

6. Lembar Surat Studi Pendahuluan

7. Lembar Surat Balasan Izin Studi Pendahuluan dan Penelitian dari

RSUD Jombang

8. Lembar Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian

9. Lembar Konsultasi Proposal Penelitian dan Skripsi

10.Jadwal Kegiatan Penelitian

11.Lembar Tabulasi Data Umum

12.Lembar Tabulasi Data Khusus

13.Lembar Hasil Output SPSS Data Umum

14.Lembar Hasil Output SPSS Data Khusus

15.Lembar Bebas Plagiasi

(19)

DAFTAR LAMBANG

1. H1 : hipotesis alternatif

2. % : prosentase

3. : alfa (tingkat signifikansi)

4. O1: sebelum perlakuan (pretest)

5. O2: sesudah perlakuan (posttest)

6. X : perlakuan

7. N : jumlah populasi

8. n : jumlah sampel

9. > : lebih besar

10.< : lebih kecil

11.≥: lebih besar sama dengan

12.≤: lebih kecil sama dengan 13. ∑ : Total (sigma)

DAFTAR SINGKATAN

STIKes : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

DASS : Depression Anxiety Stress Scale

SPSS : Statistic Package for The Social Software

SOP : Standart Operasional Prosedur

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hospitalisasi bagi anak merupakan suatu tindakan yang akan membatasi

anak dengan dunia luar. Pengalaman hospitalisasi dapat mengganggu psikologi

anak terlebih bila anak tersebut tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan

barunya di rumah sakit (Supartini, 2012). Fenomena yang terjadi di rumah sakit

saat anak dalam masa perawatan sering didapatkan anak sering menangis, terlihat

gelisah, rewel dan bersikap tidak kooperatif. Hal tersebut dapat terjadi karena

adanya rasa takut anak terhadap pengobatan, lingkungan yang asing bagi anak

serta takut pada petugas kesehatan yang datang meskipun hanya untuk mengukur

suhu sekalipun (Ambarwati, 2015). Pengalaman hospitalisasi yang dialami anak

selama rawat inap tersebut tidak hanya mengganggu psikologi anak, tetapi juga

akan sangat berpengaruh pada psikososial anak dalam berinteraksi terutama pihak

rumah sakit termasuk pada perawat. Masalah tersebut akan berpengaruh pada

pelayanan keperawatan yang akan diberikan misalnya saat pemberian obat melalui

injeksi bolus.

Timbulnya berbagai jenis penyakit yang menyerang anak – anak membuat

populasi anak yang dirawat dirumah sakit meningkat, sehingga semakin banyak

anak – anak yang mengalami stress akibat hospitalisasi. Berdasarkan data

Perhimpunan Nasional Rumah Sakit Anak di Amerika, sebanyak 6,5 juta

anak/tahun yang menjalani perawatan di rumah sakit dengan usia kurang dari 17

tahun (CDC National Health Report, 2013). Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi

(21)

2

Nasional (Susenas) tahun 2016, angka kesakitan anak umur 0 – 6 tahun tertinggi

terdapat pada umur 1 – 2 tahun yakni pada anak laki – laki sebesar 49% dengan

perawatan selama 4 hari sedangkan untuk anak perempuan sebesar 49,6% dengan

perawatan selama 4 hari. Proporsi angka kesakitan pada umur 7 – 12 tahun

menurut Susenas 2016 terdapat angka tertinggi pada umur 7 tahun yakni sebesar

27,7% pada anak laki – laki dan 28,2% pada anak perempuan dengan rata – rata

perawatan selama 3 – 4 hari (Susenas, 2016). Angka proporsi kesakitan anak di

Paviliun Seruni RSUD Jombang pada bulan Januari 2017 sebesar 399 anak dan

pada bulan Februari 2017 sebesar 272 anak.

Berdasarkan penelitian Cut (2012) yang dilakukan di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta tentang “Hubungan Lama Rawat Inap Dengan

Stres Anak Akibat Hospitalisasi” melaporkan bahwa rata – rata anak usia sekolah

mengalami stres sedang (47,5%) saat menjalani hospitalisasi. Studi pendahuluan

yang dilakukan peneliti pada tanggal 6 Maret 2017 di Paviliun Seruni RSUD

Jombang didapatkan hasil bahwa dari 10 anak usia 3 – 5 tahun yang menjalani

hospitalisasi, seluruh anak mengalami gejala stres hospitalisasi saat dilakukan

injeksi bolus, seperti menangis, memanggil nama ibunya, tidak bersikap

kooperatif bahkan memukul orang yang berada disekitarnya tanpa disengaja. Hal

tersebut membuktikan bahwa anak yang dirawat di rumah sakit hampir seluruhnya

mengalami stress hospitalisasi.

Asuhan keperawatan selama proses hospitalisasi pada umumnya

memerlukan tindakan invasif berupa pemasangan infus dan injeksi (Nursalam,

2005). Tindakan invasif tersebut dapat menimbulkan sugesti secara langsung pada

anak. Anak akan meyakini bahwa dirawat dirumah sakit (hospitalisasi) adalah

(22)

3

pengobatan yang menakutkan. Stress yang dialami anak memberikan berbagai

dampak yang cukup mempengaruhi proses perawatan selama di rumah sakit,

misalnya waktu perawatan yang seharusnya diperlukan untuk kesembuhan anak

hanya 4 hari, akan menjadi lebih lama karena anak tidak dapat bersikap kooperatif

akibat stress yang anak alami dan mengakibatkan waktu perawatan yang

dibutuhkan semakin lama (Ibung, 2008).

Perawat memerlukan teknik komunikasi terapeutik yang efektif dalam setiap

tindakan yang akan diberikan kepada klien termasuk untuk prosedur pemberian

injeksi bolus, selain itu diperlukan pula teknik non farmakologis agar anak dapat

bersikap kooperatif misalnya dengan teknik distraksi (pengalihan) (Prasetyo,

2010). Salah satu teknik distraksi yang dapat dilakukan pada anak adalah

menonton kartun animasi (Wong, 2009). Ketika anak lebih fokus pada kegiatan

menonton film kartun, hal tersebut mengakibatkan impuls nyeri yang disebabkan

adanya cidera tidak mengalir melalui tulang belakang, pesan nyeri tidak

tersampaikan ke otak sehingga anak tidak merasakan nyeri (Brannon dkk, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Chusniyah (2016) pada anak usia 6-9 tahun

dengan judul Pengaruh Bimbingan Imajinasi Mengunakan Media Audio Visual

(Video) Terhadap Stress Hospitalisasi Anak di RS Islam Surabaya” menunjukan

hasil analisa perbedaan rerata didapatkan pada kelompok perlakuan nilai rerata

sebelum intervensi (pretest) 12.25 (stres sedang ) dan setelah dilakukan bimbingan

imajinasi menggunakan media video (post test) memiliki nilai rerata 6.75 (stres

ringan). Penelitian tersebut membuktikan bahwa tingkat stres hospitalisasi juga

dapat diturunkan dengan metode distraksi jenis lain berupa imajinasi terbimbing.

(23)

4

Dari uraian diatas dan melihat fenomena yang terjadi peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang pengaruh teknik distraksi menonton kartun animasi

terhadap tingkat stress hospitalisasi anak saat dilakukan prosedur injeksi bolus.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat

diambil adalah apakah ada pengaruh teknik distraksi menonton kartun animasi

terhadap tingkat stress hospitalisasi pada anak saat dilakukan prosedur injeksi

bolus ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh teknik distraksi menonton kartun animasi terhadap

tingkat stress hospitalisasi pada anak saat dilakukan prosedur injeksi bolus.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi tingkat stress hospitalisasi pada anak saat dilakukan prosedur injeksi bolus sebelum pemberian teknik distraksi menonton kartun

animasi.

2. Mengidentifikasi tingkat stress hospitalisasi pada anak saat dilakukan

prosedur injeksi bolus sesudah pemberian teknik distraksi menonton kartun

animasi.

3. Menganalisis pengaruh teknik distraksi menonton kartun animasi terhadap

tingkat stress hospitalisasi pada anak saat dilakukan prosedur injeksi bolus.

(24)

5

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai kajian pustaka

untuk menambah kasanah keilmuan dalam bidang keperawatan anak .

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi perawat rumah sakit

Sebagai bahan masukan guna lebih meningkatkan kreatifitas saat

memberikan asuhan keperawatan terutama dalam mengatasi stres

hospitalisasi yang dialami anak.

2. Bagi Institusi STIKes ICME

Sebagai bahan tambahan pengetahuan dalam memberikan materi tentang

keperawatan anak.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Sebagai informasi serta menjadi referensi ilmiah pada penelitian lebih lanjut

untuk lebih menyempurnakan pembahasan dan penggunaan perlakuan atau

metode lain guna membantu mengatasi stres hospitalisasi yang dialami anak – anak saat perawatan dirumah sakit. Penelitian lanjutan dapat berupa

penelitian dengan sampel yang lebih besar, jenis dan rancangan penelitian

yang berbeda serta penggunaan kelompok kontrol.

(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep anak

2.1.1 Pengertian Anak

Anak adalah individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak yaitu masa

pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia

bermain/toddler (1-2,5 tahun), prasekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun)

hingga remaja (11-18 tahun) (Wong, 2009). Anak satu dengan anak lainnya

memiliki rentang yang berbeda mengingat latar belakang anak berbeda. Anak

memiliki rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat

dan lambat. Anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan

perilaku sosial dalam proses perkembangannya (Winarno, 2012).

Perkembangan konsep diri anak sudah ada sejak bayi, akan tetapi belum

terbentuk secara sempurna dan akan mengalami perkembangan seiring dengan

pertambahan usia pada anak. Pola koping yang dimiliki anak juga sudah terbentuk

mulai bayi, hal ini dapat terlihat saat bayi menangis (Supartini, 2012).

Salah satu pola koping yang dimiliki anak adalah menangis seperti saat anak

lapar, sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, dan lain sebagainya.

Perilaku sosial pada anak juga mengalami perkembangan yang terbentuk

mulai bayi. Perilaku sosial pada anak saat masih bayi sudah terlihat seperti saat

anak mau diajak orang lain, bersama dengan orang banyak dengan menunjukkan

keceriaan. Hal tersebut sudah mulai menunjukkan terbentuknya perilaku sosial

yang sesuai dengan perkembangan usia. Perubahan perilaku sosial juga dapat

(26)

7

berubah sesuai dengan lingkungan yang ada, seperti saat anak sudah mau bermain

dengan kelompoknya (Azis, 2005).

Anak merupakan individu yang rentan karena perkembangan kompleks

yang terjadi di setiap tahap masa kanak- kanak dan masa remaja. Anak juga secara

fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa serta memiliki pengalaman

yang terbatas, yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi mereka mengenai

dunia (Supartini, 2012). Penyakit awal yang menyerang anak seringkali

mendadak dan penurunan status kesehatan dapat berlangsung dengan cepat. Faktor

yang mempengaruhi adalah sistem pernapasan dan kardiovaskular yang belum

matang, memiliki tingkat metabolisme yang lebih cepat, pertukaran gas yang lebih

besar dan asupan cairan serta asupan kalori yang lebih tinggi per kilogram berat

badan dibandingkan orang dewasa. Kerentanan terhadap ketidakseimbangan

cairan pada anak adalah akibat jumlah dan distribusi cairan di dalam tubuh

(Wong, 2009).

Tubuh anak terdiri dari 70 – 75% cairan, dibandingkan dengan 57 – 60%

cairan pada orang dewasa. Sebagian besar cairan pada anak – anak berada di

kompartemen cairan ekstrasel , sehingga cairan ini lebih dapat diakses. Oleh

karena itu apabila anak kehilangan cairan yang relatif sedang dapat mengurangi

volume darah, menyebabkan syok, asidosis dan kematian (Slepin, 2006).

2.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Aspek tumbuh kembang pada anak merupakan aspek yang menjelaskan

mengenai proses pembentukan seseorang, baik secara fisik maupun psikososial.

Winarno (2012) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu:

(27)

8

1.Faktor Herediter

Supartini (2004) menjelaskan bahwa faktor herediter merupakan faktor

pertumbuhan yang dapat diturunkan, yaitu suku, ras dan jenis kelamin.

2. Faktor Lingkungan (Hidayat, 2008)

Faktor lingkungan merupakan faktor yang berperan penting dalam

menentukan tercapai dan tidak suatu potensi yang sudah dimiliki. Faktor

lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu: a) Faktor Pranatal

Faktor pranatal merupakan lingkungan dalam kandungan, mulai dari

konsepsi sampai lahir yang meliputi gizi ibu hamil, lingkungan

mekanis, toksin/zat kimia, hormon, radiasi, infeksi, kelainan

imunologis dan kondisi psikologis ibu.

b) Faktor Paskanatal

Faktor paskanatal merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi

anak setelah lahir. Secara umum dapat digolongkan menjadi

lingkungan biologis, faktor fisik, faktor psikososial, dan faktor

keluarga.

I. Pertumbuhan Anak

Pertumbuhan anak yaitu bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh dalam

arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multifikasi sel-sel tubuh serta

bertambah besarnya ukuran sel (Wong, 2009). Adanya multifikasi dan

pertambahan ukuran sel berarti terdapat pertambahan secara kuantitatif dan hal

tersebut terjadi sejak dimu/lai proses konsepsi, yaitu bertemunya sel telur dan

sperma hingga dewasa (IDAI, 2000). Pertumbuhan lebih ditekankan pada

(28)

9

bertambahnya ukuran fisik seseorang, yaitu menjadi lebih besar atau lebih

matang bentuknya, seperti bertambahnya ukuran berat badan, tinggi badan dan

lingkar kepala.

Pertumbuhan pada masa anak-anak bervariasi sesuai dengan bertambahnya

usia anak. Pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki. Kematangan

pertumbuhan pada bagian kepala berlangsung lebih dahulu, lalu secara

berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian bawah. Pertumbuhan kepala pada

masa fetal lebih cepat dibandingkan dengan masa setelah lahir, yaitu 50 % dari

total panjang badan. Pertumbuhan bagian bawah akan bertambah secara teratur.

Besar kepala pada usia dua tahun kurang dari seperempat panjang badan

keseluruhan, sedangkan ukuran ekstremitas bawah lebih dari seperempatnya.

II. Perkembangan

Perkembangan yaitu bertambahnya kemampuan dan struktur fungsi tubuh

yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan

diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh,

organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2000). Aspek perkembangan

bersifat kualitatif, yaitu pertambahan kematangan fungsi dari masing-masing

bagian tubuh. Perkembangan diawali dengan berfungsinya jantung untuk

memompakan darah, kemampuan untuk bernafas, sampai kemampuan anak

untuk tengkurap, duduk, berjalan, memungut benda-benda di sekelilingnya

serta kematangan emosi dan sosial anak. Perkembangan anak menurut

Winarno (2012) meliputi :

(29)

10

1. Perkembangan Kognitif

Piaget (Winarno, 2012) mengemukakan ada empat tahap

perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara

kronologis, yaitu :

a. Tahap Sensori Motorik 0 – 2 tahun (Sensory Motoric Stage)

Anak yang berada di tahap ini memperoleh pengalaman melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada tahap ini, bayi lahir dengan reflek bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Anak belum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Anak hanya dapat mengetahui hal – hal yang ditangkap dengan indranya (Winarno, 2012).

b. Tahap Pre Operasi 2 – 7 tahun (Pre Operational Stage)

Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian tindakan kognitif yang konkret, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek, menata letak benda – benda menurut urutan tertentu, dan membilang. Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya tetapi masih terbatas pada hal – hal yang dapat dijumpai dilingkungannya saja (Winarno, 2012).

c. Tahap operasi konkret 7–11 tahun (Concrete Operational Stage) Anak

– anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah

Dasar dan telah memahami operasi logis dengan bantuan benda

– benda konkret. Anak telah dapat mengetahuii simbol – simbol

sistematis tetapi belum dapat menghadapi hal – hal yang abstrak (tak berwujud) (Winarno, 2012).

d. Tahap operasi formal 11 tahun keatas (Formal Operational Stage)

Anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak

dibingungkan oleh isi argumen. Pada tahap ini, anak telah memasuki

(30)

11

tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalran abstrak. Operasi formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal serta pemahaman untuk masalah filosofis (Winarno, 2012).

Tabel 2.1 Fase Perkembangan Kognitif Menurut Pieget

Fase dan Tahap Usia Perilaku Signifikan

Fase Sensorimotor Lahir – 2 tahun

Tahap 1 Lahir – 1 bulan Sebagian besar tindakan bersifat reflek Penggunaan Reflek

Tahap 2 1 – 4 bulan Persepsi tentang berbagai kejadian terpusat pada

Reaksi Sirkuler tubuh

Primer Objek merupakan eksistensi diri

Tahap 3 4 – 8 bulan Mengenali lingkungan eksternal

Reaksi Sirkuler dan Membuat perubahan secara aktif di dalam lingkungan Sekunder

Tahap 4 8 – 12 bulan Dapat membedakan tujuan dari cara pencapaian

Koordinasi Skema tujuan tersebut

Sekunder

Tahap 5 12 – 18 bulan Mencoba dan menemukan tujuan serta cara baru Reaksi Sirkuler untuk mencapai tujuan

Tersier Ritual merupakan hal penting

Tahap 6 18 – 24 bulan Menginterpretasi lingkungan dengan kesan mental Penemuan Arti Melakukan permainan imajinasi dan imitasi yang Baru

Fase Prakonseptual 2 – 4 tahun Menggunakan pendekatan egosentrikuntuk mengakomodasi tuntutan lingkungan

Semua hal bermakna dan berkaitan dengan “aku” Mengeksplorasi lingkungan

Bahasa berkembang dengan cepat Mengasosiasikan kata dengan objek Fase Pemikiran 4 – 7 tahun Pola pikir egosentrik berkurang

Intuitif Memimikirkan sebuah ide pada satu waktu

Melibatkan orang lain di lingkungan tersebut Kata – kata mengekspresikan pikiran Fase Operasi 7 – 11 tahun Menyelesaikan masalah yang konkret

Konkret Mulai memahami hubungan seperti ukuran

Mengerti kanan dan kiri

Sadar akan sudut pandang orang Fase Operasi 11 – 15 tahun Menggunakan pemikiran yang rasional

Formal Pola pikir yang deduktuf dan futuristik

Sumber : Piaget, J. (1996). The Origin of Intelligence in Children. International Universities Press, Inc.

2. Perkembangan Moral

Perkembangan moral anak menurut Kohlberg didasarkan dari

perkembangan kognitif anak dan terdiri atas tiga tahapan utama , yaitu : 1.

Pre Conventional 2. Conventional 3. Post Conventional (Supartini, 2012).

(31)

12

a. Fase Pre Conventional

Anak belajar baik dan buruk, benar dan salah melalui budaya sebagai

dasar dari peletakan nilai moral. Fase ini terdiri dari tiga tahapan.

Tahap satu didasari oleh adanya rasa egosentris pada anak. Tahap dua

yaitu orientasi hukumandan ketaatan. Tahap selanjutnya yaitu anak

berfokus pada motif yang menyenangkan sebagai suatu kebaikan.

b. Fase Conventional

Anak berorentasi pada mutualitas hubungan interpersonal dengan

kelompok. Anak sudah mampu bekerjasama dengan kelompok dan

mempelajari serta mengadpsi norma – norma yang ada di dalam

kelompok selain norma yang ada di keluarganya. Anak

mempersepsikan perilakunya sebagai suatu kebaikan ketika perilaku

anak menyebabkan mereka diterima oleh keluarga atau teman

sekelompoknya. Anak akan mempersepsikan perilakunya sebagai

suatu keburukan ketika tindakannya mengganggu hubungannya

dengan keluarga, temannya atau kelompoknya. Anak melihat keadilan

sebagai suatu yang saling menguntungkan antar individu.

c. Fase Post Conventional

Anak usia remaja telah mampu membuat pilihan berdasar pada prinsip

yang dimiliki dan yang diyakini. Segala tindakan yang diyakininya

dipersepsikan sebagai suatu kebaikan. Ada dua fase pada tahapan ini,

yaitu orientasi pada hukum dan orientasi pada prinsip etik yang

umum. Pada fase pertama , anak mendapatkan nilai budaya, hukum

dan perilaku yang tepat yang menguntungkan bagi masyarakat sebagai

(32)

13

sesuatu yang baik. Fase kedua adalah dapat menilai perilaku baik dan

buruk pada dirinya sendiri.

Tabel 2.2 Tahap Perkembangan Moral Menurut Kohlberg

Tingkat Tahap Usia Rata – rata

1. Pra Convensional 1. Orientasi Hukuman dan Kepatuhan Todler – usia 7

Anak berespon terhadap Takut terhadap hukuman, bukan rasa tahun peraturan budaya mengenai label hormat terhadap otoritas merupakan baik buruk , benar atau salah. alasan terbentuknya keputusan, perilaku Peraturan yang terbentuk secara dan konformitas.

eksternal menentukan tindakan 2. Orientasi Relavist Instrumental Prasekolah – usia yang benar atau salah. Anak Konformitas didasarkan pada sekolah

memahaminya dalam istilah kebutuhan egosentrik dan narsisistik. hukuman, penghargaan atau Tidak ada rasa keadilan, loyalitas dan pertukaran kebaikan. terima kasih.

Fase Egosentrik

2. Convensional 3. Orientasi Persetujuan Interpersonal Usia sekolah –

Individu memikirkan upaya Keputusan dan perilaku didasarkan dewasa (sebagian untuk mempertahankan harapan pada kekhawatiran akan reaksi orang besar wanita berada dan peraturan keluarga, lain. Individu menginginkan pada tahap ini) kelompok, negara serta persetujuan dan penghargaan dari

masyarakat. Perasaan bersalah orang lain. Respon empati, yang telah berkembang dan didasarkan pada pemahaman tentang mempengaruhi perilaku. perasaan orang lain, merupakan faktor Individu menerima nilai tertentu terbentuknya keputusan dan

konformitas, loyalitas dan perilaku. Remaja dan dewasa berusaha aktif dalam 4. Orientasi Hukum dan Tata Tertib (sebagian besar mempertahankan tata tertib dan Individu ingin menerapkan peraturan pria berada pada kontrol sosial. yang berasal dari otoritas. Alasan tahap ini)

terbentuknya keputusan dan perilaku Fokus Sosial adalah bahwa peraturan dan tradisi

sosial dan seksual menuntut respon

tersebut.

3. Post Convensional 5. Orientasi Legalistik Kontrak Sosial Usia pertebgahan

Individu hidup secara otonom Peraturan sosial bukan merupakan satu atau lansia dan mendefinisikan nilai serta – satunya dasar terbentuknya keputusan

prinsip moral yang membedakan dan perilaku. Sebab, individu meyakini antara identifikasi pribadi adanya prinsip moral yang lebih tinggi.

dengan kelompok. Individu 6. Orientasi Prinsip Etis Universal Usia pertengahan hidup menurut prinsip yang Kepuusan dan perilaku didasarkan pada atau lansia. disetujui secara universal dan peraturan yang terinternalisasi , lebih Beberapa orang yang dianggap sesuai untuk kepada hati nurani ukan hukum sosial, mencapai atau kehidupannya. dan juga berdasar prinsip etis dan mempertahankan

abstrak pilihan pribadi yang bersifat tahap ini. Fokus Bersifat Universal universal, komperehensif dan

konsisten.

Sumber : Murray, R.B., Zentner, J.P. (2001). Health Promotion Strategies Through the Life Span, 7thed. (hlm. 252 – 253).Upper Saddle River, NJ : Merril/Prentice Hall

(33)

14

3. Perkembangan Spiritual

James Fowler (1993, 2000) mengemukakan bahwa antara

kebutuhan kognitif dan emosional tidak dapat dipisahkan dalam

perkembangan spiritual. Spritual tidak dapat berkembang lebih cepat dari

kemampuan intelektual dan tergantung pada perkembangan kepribadian.

Jadi teori perkembangan spiritual Fowler meliputi ketidaksadaran,

kebutuhan, kemampuan seseorang, dan perkembangan kognitif. Menurut

Fowler (2000) dalam buku karangan Dacey, et.al.(2004) melihat ada 6

fase perkembangan spiritual yaitu :

a. Intuitive-projective faith

Fase ini minimal terjadi setelah usia 4 tahun. Pada fase ini manusia

hanya fokus pada kualitas secara permukaan saja, seperti apa yang

digambarkan oleh orang dewasa dan tergantung pada luasnya fantasi

dari manusia itu sendiri. Di sini konsep Tuhan direfleksikan sebagai

sesuatu yang gaib.

b. Mythical-literal faith

Fase ini terjadi pada usia minimal 5 sampai 6 tahun. Pada fase ini,

fantasi sudah tidak lagi menjadi sumber utama dari pengetahuan, dan

pembuktian fakta menjadi perlu. Pembuktian kebenaran bukan berasal

dari pengalaman aktual yang dialami sendiri, tapi berasal dari sesuatu

yang dianggap lebih ahli, seperti guru, orang tua, buku, dan tradisi.

Kepercayaan di fase ini mengarah pada sesuatu yang konkrit dan

tergantung dari kredibilitas orang yang bercerita.

(34)

15

c. Poetic-conventional faith

Terjadi pada usia minimal 12 sampai 13 tahun. Pada fase ini

kepercayaan tergantung pada konsensus dari opini orang lain, orang

yang lebih ahli. Mempelajari fakta masih menjadi sumber informasi,

tapi individu mulai percaya pada penilaian mereka sendiri. Meskipun

demikian mereka belum sepenuhnya percaya terhadap penilaian mereka

tersebut.

d. Individuating-reflective faith

Fase ini terjadi pada usia minimal 18 sampai 19 tahun. Pada fase yang

ketiga remaja tidak dapat menemukan area pengalaman baru karena

tergantung pada orang lain di kelompoknya yang belum tentu dapat

menyelesaikan masalah. Individu di fase ini mulai mengambil

tanggungjawab atas kepercayaannya, perilaku, komitmen, dan gaya

hidupnya. Tapi individu pada tahap ini tetap masih membutuhkan

figure yang bisa diteladani.

e. Paradoxical-consolidation faith

Fase ini terjadi pada usia minimal 30 tahun. Pada fase ini individu

mulai bisa memahami dan mengintegrasikan elemen spiritual seperti

simbolisasi, ritual, dan kepercayaan. Individu di fase ini juga

menganggap bahwa semua orang termasuk dalam kelompok yang

universal dan memiliki rasa kekeluargaan terhadap semua orang.

f. Universalizing faith

Fase ini terjadi pada usia minimal 40 tahun. Tapi meskipun begitu Fowler menganggap bahwa sangat sedikit orang yang mampu mencapai fase ini, sama seperti fase terakhir dari perkembangan moral Kohlberg.

(35)

16

Tabel 2.3 Tahap Perkembangan Spiritual Menurut Fowler

Tahapan Usia Deskripsi

Tahapan ke – 0 0 – 3 tahun Bayi tidak mampu merumuskan konsep Tidak Terdeferensiasi mengenai diri sendiri ataupun lingkungan. Tahapan ke – 1 4 – 6 tahun Suatu kombinasi gambaran dan kepercayaan Intuitif – Proyektif yang diberikan oleh orang lain yang

dipercaya, yang digabungkan dengan pengalaman dan imainasi anak sendiri.

Tahapan ke – 2 7 – 12 tahun Dunia fantasi dan khayalan pribadi, m=simbol Mitos – Faktual – simbol mengacu pada sesuatu yang khusus;

kisah dramatik dan mitos digunakan untuk menyampaikan maksud spiritual.

Tahapan ke – 3 Remaja Dunia dan lingkungan yang mendasar yang Sintetik– konvensional dewasa tersusun atas pengharapan dan penilaian orang

lain; fokus interpersonal.

Tahapan ke – 4 Setelah 18 Membangun sistem pribadi yang eksplisit; Individualisasi – Refleksi tahun kesadaran diri tinggi.

Tahapan ke – 5 Setelah 30 Kesadaran akan kebenaran yang berasal dari Paradoksial– Konsolidatif tahun berbagai sudut pandang.

Tahapan ke – 6 Mungkin tidak Menjadi perwujudan prinsip cinta dan Universalizing akan pernah keadilan.

Sumber: Fowler, J. (1985). Life Maps : Conversation in The Journey of Faith. Waco, TX :Word Books.

4. Perkembangan Psikoseksual

Menurut Sigmund Freud, kepribadian sebagian besar dibentuk pada

usia lima tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar dalam

pembentukan kepribadian dan terus mempengaruhi perilaku di kemudian

hari. Jika tahap – tahap psikoseksual selesai dengan sukses, hasilnya

adalah kepribadian yang sehat. Jika masalah tertentu tidak diselesaikan

pada tahap yang tepat, fiksasi dapat terjadi. Fiksasi merupakan suatu fokus

yang gigih pada tahap awal psikoseksual. Sampai konflik ini diselesaikan, individu akan tetap “terjebak” dalam tahap ini. Misalnya, seseorang yang

terpaku pada tahap oral mungkin terlalu bergantung pada orang lain dan

dapat mencari rangsangan oral melalui merokok, minum, atau makan.

Kozier (2012) menjelaskan perkembangan psikoseksual menurut teori

Freud, yaitu :

(36)

17

a. Fase Oral

Pada tahap oral, sumber utama bayi interaksi terjadi melalui mulut,

sehingga perakaran dan refleks mengisap adalah sangat penting.

Mulut sangat penting untuk makan, dan bayi mendapat kesenangan

dari rangsangan oral melalui kegiatan memuaskan seperti mencicipi

dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya tergantung pada pengasuh

(yang bertanggung jawab untuk memberi makan anak), bayi juga

mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan melalui stimulasi

oral.

Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harus

menjadi kurang bergantung pada para pengasuh. Jika fiksasi terjadi

pada tahap ini, Freud percaya individu akan memiliki masalah dengan

ketergantungan atau agresi. fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah

dengan minum, merokok makan, atau menggigit kuku.

b. Fase Anal

Pada tahap anal, Freud percaya bahwa fokus utama dari libido

adalah pada pengendalian kandung kemih dan buang air besar.

Konflik utama pada tahap ini adalah pelatihan toilet training, anak

harus belajar untuk mengendalikan kebutuhan tubuhnya.

Mengembangkan kontrol ini menyebabkan rasa prestasi dan

kemandirian. Menurut Sigmund Freud, keberhasilan pada tahap ini

tergantung pada cara di mana orang tua pendekatan pelatihan toilet.

Orang tua yang memanfaatkan pujian dan penghargaan untuk

menggunakan toilet pada saat yang tepat mendorong hasil positif dan

(37)

18

membantu anak-anak merasa mampu dan produktif. Freud percaya

bahwa pengalaman positif selama tahap ini berperan sebagai dasar

orang untuk menjadi orang dewasa yang kompeten, produktif dan

kreatif. Namun, tidak semua orang tua memberikan dukungan dan

dorongan bahwa anak-anak perlukan selama tahap ini. Beberapa orang

tua bahkan menghukum, mengejek atau malu seorang anak untuk

kecelakaan.

Menurut Freud, respon orangtua tidak sesuai dapat mengakibatkan

hasil negatif. Jika orangtua mengambil pendekatan yang terlalu

longgar, Freud menyarankan bahwa kepribadian anak dapat

berkembang di mana individu menjadi boros atau merusak

kepribadian mereka. Jika orang tua terlalu ketat atau mulai toilet

training terlalu dini, Freud percaya bahwa kepribadian anal

berkembang di mana individu tersebut ketat, tertib, kaku dan obsesif.

c. Fase Phalic

Pada tahap phallic, fokus utama dari libido adalah pada alat

kelamin. Anak-anak juga menemukan perbedaan antara pria dan

wanita. Freud juga percaya bahwa anak laki-laki mulai melihat ayah

mereka sebagai saingan untuk kasih sayang ibu. Kompleks Oedipus

menggambarkan perasaan ini ingin memiliki ibu dan keinginan untuk

menggantikan ayah. Namun, anak juga memiliki kekhawatiran bahwa

ia akan dihukum oleh ayah untuk perasaan ini.

(38)

19

d. Fase Latent

Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap

ada, tetapi diarahkan ke daerah lain seperti pengejaran intelektual dan

interaksi sosial. Tahap ini sangat penting dalam pengembangan

keterampilan sosial dan komunikasi dan kepercayaan diri. Freud

menggambarkan fase latens sebagai salah satu yang relatif stabil.

Tidak ada organisasi baru seksualitas berkembang, dan dia tidak

membayar banyak perhatian untuk itu. Untuk alasan ini, fase ini tidak

selalu disebutkan dalam deskripsi teori sebagai salah satu tahap, tetapi

sebagai suatu periode terpisah.

e. Fase Genital

Pada tahap akhir perkembangan psikoseksual, individu

mengembangkan minat seksual yang kuat pada lawan jenis. Dimana

dalam tahap-tahap awal fokus hanya pada kebutuhan individu,

kepentingan kesejahteraan orang lain tumbuh selama tahap ini. Jika

tahap lainnya telah selesai dengan sukses, individu sekarang harus

seimbang, hangat dan peduli. Tujuan dari tahap ini adalah untuk

menetapkan keseimbangan antara berbagai bidang kehidupan.

(39)

20

Tabel 2.4 Teori Psikoseksual Menurut Freud Tahap – Usia Karakteristik

Fase Oral Sumber kenikmatan utama bayi melibatkan aktivitas berorientasi mulut (Lahir – 12 bulan) (menghisap dan menelan)

Konflik utama : Penyapihan

Fase Anal Anak mendapatkan kepuasan seksual dengan menahan atau (12 – 18 bulan) melepaskan feses. Zona kepuasan anak adalah daerah anal

Konflik utama: toilet training

Fase Phalic Anak menjjadi lengket dengan orang tua dari jenis kelamin berlainan (3 – 6 tahun) kemudian mengidentifikasinya dengan orang tua berjenis kelamin

sama. Superego berkembang. Zona kepuasan bergeser pada daerah genital.

Fase Latency Energi digunakan untik aktivitas fisik dan intelektualitas. Impuls (6 tahun – pubertas) seksual yang muncul cenderung ditekan. Membangun hubungan

dengan teman sebaya yang berjenis kelamin sama.

Fase Genital Kemunculan kembali dorongan seksual tahap phalic, disalurkan (Pubertas – dengan seksualitas masa dewasa. Energi diarahkan untuk kematangan Kedewasaan) dan fungsi seksual yang utuh dan perkembangan keterampilan

dibutuhkan untuk menghadapi lingkungan.

Sumber : Murray, R.B., Zentner, J.P. (2001). Health Promotion Strategies Through the Life Span, 7thed. (hlm. 238).Upper Saddle River, NJ : Merril/Prentice Hall

5. Perkembangan Psikososial

Pendekatan Erikson dalam membahas proses perkembangan anak adalah dengan menguraikan lima tahapan perkembangan psikososial , yaitu percaya vs tidak percaya (0 – 1 tahun), otonomi vs rasa malu dan ragu (1 – 3 tahun), inisiatif vs rasa bersalah (3 – 6 tahun), industry vs

infiority (6–12 tahun), serta identitas vs kerancuan peran (12–18 tahun).

Tabel 2.5 Delapan Tahap Perkembangan Psikososial Menurut Erikson

Tahap – Tugas Pokok Indikator Resolusi Positif Indikator Resolusi Negatif

Usia

Bayi Percaya vs Belajar untuk mempercayai Tidak percaya, menarik diri, (Lahir – 18 tidak percaya orang lain mengasingkan diri, isolasi

bulan) sosial

Kanak – Otonomi vs Kendali diri tanpa kehilangan Kendali diri kompulsif atau kanak Awal rasa malu dan harga diri kepatuhan

(18 bulan – ragu Kemampuan untuk bekerjasama Kurang kemauan dan 3 thn) dan mengekspresikan diri ketidakpatuhan

sendiri

Kanak – Inisiatif vs Mempelajari sejauh mana sikap Kurang percaya diri, kanak Akhir rasa bersalah asertif dan tujuan pesimisme, takut membuat (3 – 5 thn) mempengaruhi lingkungan kesalahan

Memulai kemampuan untuk Kendali dan pematasan mengevaluasi perilaku diri aktivitas diri yang

sendiri berlebihan

Usia Industri vs Mulai untuk menciptakan, Putus harapan, merasa diri Sekolah inferioritas mengembangkan, dan biasa – biasa saja

(6 – 12 thn) memanipulasi sesuatu Menarik diri dari teman Mengembangkan rasa potensi sekolah dan teman sebaya dan ketekunan

(40)

21

Remaja Identitas vs Sadar akan diri sendiri Perasaan bingung, tidak (12 – 20 th) kebingungan Bermaksud untuk mampu membuat keputusan

peran mengaktualisasikan diri sendiri dan mungkin terdapat perilaku anti – sosial Dewasa Keakraban vs Memiliki hubungan yang intim Hubungan impersonal

Muda isolasi dengan orang lain Menghindari komitmen

(18 – 25 thn) Memiliki komitmen terhadap dalam hubungan, karier atau pekerjaan dan hubungan gaya hidup

Dewasa Generativitas Kreativitas, produktivitas dan Mengikuti kata, memikirkan (25 – 65 th) vs stagnasi kepedulian terhadap orang lain diri sendiri dan kurang minat

serta komitmen

Lanjut Usia Integritas vs Penerimaan terhadap kelebihan Merasa kehilangan, (65 th – putus asa dan keunikan diri sendiri memandang rendah orang

wafat) Penerimaan akan kematian lain.

Sumber : Erikson, E. (1963). Childhood and Society, 2nded., (pp.247 – 274). W.W Norton & Company,Inc., New York.

2.1.3 Prinsip – prinsip Keperawatan Anak

Terdapat prinsip atau dasar dalam keperawatan anak yang dijadikan sebagai

pedoman dalam memahami filosofi keperawatan anak. Perawat harus

memahaminya, mengingat ada beberapa prinsip yang berbeda dalam penerapan

asuhan keperawatan. Menurut Aziz (2005), prinsip dalam asuhan keperawatan

anak tersebut adalah:

1. Anak bukan miniature orang dewasa melainkan sebagai individu yang unik.

Prinsip dan pandangan ini mengandung arti bahwa perawat tidak boleh

memandang anak dari ukuran fisik saja sebagaimana orang dewasa

melainkan anak sebagai individu yang unik yang mempunyai pola

pertumbuhan dan perkembangan menuju proses kematangan. Pola-pola

tersebut harus dijadikan ukuran, bukan hanya bentuk fisiknya saja tetapi

kemampuan dan kematangannya.

2. Anak merupakan individu yang unik dan mempunyai kebutuhan sesuai

dengan tahap perkembangan. Anak memiliki berbagai kebutuhan yang

berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan usia tumbuh kembang.

Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisiologis seperti kebutuhan nutrisi

(41)

22

dan cairan, aktivitas, eliminasi, istirahat, tidur, dan lain-lain. Anak juga

sebagai individu yang membutuhkan kebutuhan psikologis, sosial, dan

spiritual. Hal tersebut terlihat pada tahap usia tumbuh kembang anak.

Perawat perlu memandang tingkat kebutuhan khusus yang dialami oleh

anak.

3. Pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya pencegahan penyakit

dan peningkatan derajat kesehatan, bukan hanya mengobati anak yang sakit.

Hal tersebut berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian

pada anak, mengingat anak adalah generasi penerus bangsa.

4. Keperawatan anak adalah disiplin ilmu kesehatan yang berfokus pada

kesejahteraan anak sehingga perawat bertanggung jawab secara

komprehensif dalam memberikan asuhan keperawatan anak.

5. Praktik keperawatan anak terdiri atas kontrak dengan anak dan keluarga

untuk mencegah, mengkaji, mengintervensi, dan meningkatkan

kesejahteraan hidup, dengan menggunakan proses keperawatan yang sesuai

dengan aspek moral (etik) dan aspek hukum (legal).

6. Tujuan keperawatan anak dan remaja yaitu untuk meningkatkan maturasi

atau kematangan yang sehat bagi anak dan remaja sebagai mahluk

biopsikososial dan spiritual dalam konteks keluarga dan masyarakat.

7. Keperawatan anak berfokus pada ilmu tumbuh kembang sebab ilmu tumbuh

kembang ini yang akan mempelajari aspek kehidupan anak.

(42)

23

2.2 Konsep stres hospitalisasi

2.2.1 Definisi Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah suatu proses yang menjadi alasan yang berencana atau

darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi

pengobatan dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Anak yang

baru pertama kali dirawat di rumah sakit menunjukan perilaku kecemasan. Orang

tua akan menunjukkan perasaan cemasnya juga apabila kurang mendapat

dukungan emosi dan sosial dari keluarga, kerabat, maupun petugas kesehatan

(Supartini, 2012).

2.2.2 Stresor dan Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada

anak. Jika seorang anak dirawat dirumah sakit, maka anak tersebut akan mudah

mengalami krisis karena anak mengalami stres akibat perubahan yang terjadi baik

terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari –

hari serta anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk

mengatasi masalah maupun kejadian – kejadian yang bersifat menekan. Reaksi

anak dalam mengatasi krisis tersebut dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia,

pengalaman sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat, sistem dukungan yang

tersedia, serta keterampilan koping dalam menangani stres (Ambarwati, 2015).

Adapun stresor utama dari hospitalisasi dan reaksi anak prasekolah menurut

Wong (2009) dalam Ambarwati (2015) adalah sebagai berikut :

1. Cemas akibat perpisahan

Sebagian besar stres terjadi pada bayi usia pertengahan sampai anak

periode pra sekolah, khususnya anak yang berumur 0 sampai 30 bulan

(43)

24

adalah cemas karena perpisahan. Balita belum mampu berkomunikasi

dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar serta memiliki pengertian

yang terbatas tentang realitas. Hubungan anak dengan ibu sangat dekat pada

usia ini, akibatnya perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa

kehilangan pada anak sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan

tidak aman dan rasa cemas. Respon perilaku anak akibat perpisahan dibagi

dalam 3 tahap, yaitu :

a. Tahap Protes (Phase of Protes)

Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit dan

memanggil ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif seperti

menendang , menggigit, memukul, mencubit , mencoba membuat orang

tuanya tetap tinggal dan menolak perhatian orang lain. Secara verbal, anak menyerang dengan rasa marah , seperti mengatakan “pergi”.

Perilaku tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa

hari. Perilaku menangis tersebut akan terus berlanjut dan hanya akan

berhenti bila anak merasa kelelahan. Pendekatan dengan orang lain

secara tergesa – gesa akan meningkatkan protes.

b. Tahap Putus Asa (Phase of Despair)

Pada tahap ini anak nampak tegang, tangisannya berkurang, tidak aktif,

kurang berminat untuk bermain, tidak nafsu makan, menarik diri, tidak

mau berkomunikasi, sedih, apatis, dan regresi (misalnya mengompol

atau menghisap jari). Pada tahap ini, kondisi anak mengkhawatirkan

karena anak menolak makan, minum ataupun bergerak.

(44)

25

c. Tahap Menolak (Phase of Denial)

Pada tahap ini, secara samar – samar anak menerima perpisahan, mulai

tertarik dengan apa yang ada disekitarnya, dan membina hubungan

dengan orang lain. Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya

terjadi pada anak setelah perpisahan yang lama dengan orang tuanya.

2. Kehilangan Kendali

Balita berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan otonominya.

Hal ini terlihat jelas pada kemampuan mereka dalam hal motorik, bermain,

melakukan hubungan interpersonal, melakukan aktivitas hidup sehari – hari

serta berkomunikasi. Balita telah mampu menunjukkan kestabilan dalam

mengendalikan dirinya dengan cara mempertahankan kegiatan – kegiatan

rutin misalnya bermain. Saat sakit dan dirawat dirumah sakit, anak akan

kehilangan kebebasan pandangan egosentris dalam mengembangkan

otonominya. Hal tersebut akan menimbulkan regresi. Ketergantungan

merupakan kharakteristik dari peran sakit. Anak akan bereaksi terhadap

ketergantungan dengan sikap negatif, terutama anak akan menjadi lebih

mudah marah dan agresif. Jika terjadi ketergantungan dalam jangka waktu

yang lama, maka anak akan kehilangan otonominya dan pada akhirnya akan

menarik dri dari hubungan interpersonal (Wong, 2009 dalam Ambarwati,

2015).

3. Cidera tubuh dan adanya nyeri

Konsep tentang citra tubuh (body image) , khususnya pengertian mengenai

perlindungan tubuh (body boundaries) sedikit sekali berkembang pada

balita. reaksi anak terhadap tindakan yang tidak menyakitkan sama seperti

(45)

26

reaksi terhadap tindakan yang sangat menyakitkan. Reaksi balita terhadap

respon nyeri sama seperti sewaktu masih bayi, namun jumlah variabel yang

mempengaruhi responnya lebih kompleks dan bermacam – macam (Wong,

2009).

Menurut Potter & Perry (2005) , semua prosedur atau tindakan

keperawatan baik yang menimbulkan nyeri maupun tidak, keduanya akan

menyebabkan kecemasan bagi anak usia prasekolah selama hospitalisasi

sehingga anak usia prasekolah lebih mudah mengalami stres hospitalisasi.

Anak akan bereaksi terhadap nyeri dengan menyeringaikan wajah,

menangis, mengatupkan gigi, mengigit bibir, membuka amata dengan lebar,

atau melakukan tidakan yang agresif seperti mengigit, menendang,

memukul atau berlari keluar. Pada akhir periode balita, anak biasanya sudah

mampu menyampaikan rasa nyeri yang mereka alami dan menunjukkan

lokasi nyeri. Namun demikian, kemampuan mereka dalam menggambarkan

bentuk dan intensitas nyeri belum berkembang (Ambarwati, 2015).

2.2.3 Dampak Hospitalisasi

Dampak hospitalisasi bagi anak tidak hanya terjadi pada anak tersebut,

melainkan kepada orang tua serta saudara-saudaranya. Dampak hospitalisasi pada

anak dan orang tua adalah sebagi berikut :

1. Dampak Ke Anak

Salah satu dampak hospitalisasi pada anak adalah perubahan perilaku.

Anak akan bereaksi terhadap stres pada saat sebelum, selama dan setelah

proses hospitalisasi. Perubahan perilaku yang dapat diamati pada anak

setelah pulang dari rumah sakit berupa merasa kesepian,tidak mau lepas dari

(46)

27

orang tua, menuntut perhatian dari orang tua serta takut adanya perpisahan

(Supartini, 2012). Faktor yang mempengaruhi dampak negatif hospitalisasi

adalah lamanya rawat inap, tindakan invasif yang dilakukan serta

kecemasan orang tua. Respon yang biasa muncul pada anak akibat

hospitalisasi adalah regresi, cemas karena perpisahan, apatis, takut, dan

gangguan tidur terutama terjadi pada anak yang berusia kurang dari 7 tahun

(Ramdaniati, 2011).

2. Dampak Ke Orang tua

Perawatan anak di rumah sakit menimbulkan berbagai macam

perasaan yang muncul pada orang tua yaitu takut, rasa bersalah, stres dan

cemas. Perasaan orang tua tidak boleh diabaikan karena apabila orang tua

mengalami stres maka orang tua tidak dapat merawat anaknya dengan baik

dan akan menyebabkan anak akan menjadi semakin stres (Supartini, 2012).

Perasaan takut, cemas dan frustasi merupakan perasaan yang banyak

diungkapkan oleh orang tua. Takut dan cemas dapat berkaitan dengan

keseriusan penyakit dan prosedur medis yang dilakukan. Kecemasan yang

paling besar berkaitan dengan trauma dan nyeri yang terjadi pada anak.

Perasaan frustasi sering berhubungan dengan prosedur dan pengobatan,

ketidaktahuan tentang peraturan rumah sakit, rasa tidak diterima oleh

petugas,serta prognosis yang tidak jelas, atau takut mengajukan pertanyaan

(Wong, 2009).

2.2.4 Tingkat Stres Hospitalisasi

Rasmun (2004) mengatakan bahwa stres hospitalisasi dibagi menjadi empat

tingkatan. Stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek fisiologis dari

(47)

28

seseorang. Stres ringan umumnya dirasakan setiap anak misalnya lupa, lapar,

ketiduran, dan lain-lain. Stres ringan biasanya hanya terjadi beberapa menit atau

beberapa jam. Situasi ini tidak menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi terus – menerus.

Stres sedang terjadi lebih lama, dari beberapa jam hingga beberapa hari.

Contoh yang dapat menimbulkan stres sedang adalah berpisah dari orang tua

ataupun orang terdekat anak dengan waktu yang cukup lama, anak tidak dapat

menyesuaikan lingkungan yang baru, serta riwayat hospitalisasi sebelumnya. Hal

ini dapat menyebabkan anak rewel, terus menangis dan tidak dapat bersikap

kooperatif.

Stres berat dan sangat berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa

minggu sampai beberapa tahun. Contoh dari stresor yang dapat menimbulkan stres

berat dan sangat berat adalah perceraian kedua orang tua, putus sekolah, adanya

musibah yang menyebabkan trauma dan penyakit kronis yang dialami. Stres ini

dapat membuat anak menjadi lebih pemurung, tidak ingin berkomunikasi dengan

orang lain, bersikap destruktif (merusak) bahkan bunuh diri jika tidak cepat

diatasi.

2.2.5 Pengukuran Tingkat Stres Hospitalisasi

Tingkat stres dapat dikelompokkan dengan menggunakan kriteria

modifikasi dari DASS (Depression Anxiety Stress Scale) 21. DASS 21 terdiri dari

21 respon yang dapat diamati dari klien. Respon yang dinilai yaitu respon

fisiologis dan respon emosional / perilaku. Jika klien mengalami respon yang

terdapat di dalam DASS 21, maka cukup diberikan nilai 1 pada kolom YA dan

apabila klien tidak mengalami respon tersebut dapat diberikan nilai 0 pada kolom

(48)

29

TIDAK. Selanjutnya dihitung jumlah tanda centang di kolom YA. Jumlah yang

didapat pada kolom YA dikalikan dua lalu dimasukkan ke dalam indikasi

penilaian derajat stres, dengan ketentuan sebagai berikut :

1.Ringan : 15 – 18

2.Sedang : 19 – 25

3.Berat : 26 – 33

4.Sangat Berat : ≥ 34

Penelitian ini menggunakan lembar observasi / kuisioner modifikasi dari

DASS 21 dalam mengukur tingkat stress hospitalisasi anak. Modifikasi DASS 21

juga dipergunakan oleh Bottesi, et.al., (2015) dalam penelitiannya yang berjudul

The Itallian Version of Depresion Anxiety Stress Scale – 21 : Factor Structure and

Psychometric Properties on Community and Clinical Sampel yang menyatakan

bahwa Modifikasi DASS 21 sangat berguna untuk praktek klinik komunitas

maupun individu. Instrumen Modifikasi DASS 21 juga digunakan oleh Yosiana,

et.al., (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Gambaran Tingkat Stress Pada

Anak Hospitalisasi Di Ruang Kelas Tiga Rumah Sakit Al Islam , Bandung. Dari

dua penelitian tersebut, terbukti bahwa instrumen Modifikasi DASS 21 valid

untuk dipergunakan dalam pengukuran tingkat stres hospitalisasi anak.

2.2.6 Cara Mengatasi Dampak Hospitalisasi Pada Anak

Ketakutan yang dialami anak akibat hospitalisasi biasanya disebabkan

karena tidak mempunyai pengalaman dirawat atau ketidaktahuan tentang prosedur tindakan. Penelitian Karuniawati (2011) menyatakan bahwa dampak dari lama masuk rumah sakit akibat hospitalisasi juga dapat berakibat pada tingkat kecemasan. Apabila kecemasan anak tidak segera ditangani, maka anak tersebut akan mengalami stres hospitalisasi. Apabila anak tidak mempunyai koping yang

(49)

30

efektif, hal tersebut akan menimbulkan stres. Stres yang terjadi dapat dicegah dengan cara memberikan penjelasan kepada anak, seperti membawa anak berkeliling rumah sakit , atau melalui teknik distraksi (pengalihan). Ketika anak didaftarkan untuk dirawat, perawat sebaiknya menjelaskan mengenai prosedur – prosedur yang akan dilakukan pada anak (Wong, 2009). Pelander & Leino-Kilpi (2010) dalam Utami (2014) menyatakan bahwa semakin sering seorang anak berhubungan dengan rumah sakit, maka semakin kecil tingkat stres hospitalisasi

yang dialami. Cara mengatasi dampak hospitalisasi pada anak juga dijelaskan oleh Ambarwati (2015) yaitu :

1. Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan

a. Rooming In

Rooming In berarti orang tua dan anak tinggal bersama. Jika tidak bisa,

sebaiknya orang tua dapat melihat anak setiap saat untuk mempertahankan kontak / komunikasi antara orang tua dan anak

b. Partisipasi Orang Tua

Oraang tua diharapkan dapat berpartisipasi dalam merawat anak yang

sakit, terutama dalam perawatan yang bisa dilakukan. Perawat dapat

memberikan kesempatan pada orang tua untuk menyiapkan makanan

anak atau memandikannya. Dalam hal ini, perawat berperan dalam hal

pendidik kesehatan (health educator) bagi keluarga.

c. Membuat Ruang Perawatan

Ruang perawatan dibuat seperti situasi dirumah dengan mendekorasi

dinding memakai poster / kartu bergambar sehingga anak merasa aman

jika berada di ruangan tersebut.

Gambar

Tabel 2.1 Fase Perkembangan Kognitif Menurut Pieget
Tabel 2.2 Tahap Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Tabel 2.3 Tahap Perkembangan Spiritual Menurut Fowler
Tabel 2.5 Delapan Tahap Perkembangan Psikososial Menurut Erikson
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Perlindungan ekonomis, antara lain adalah jaminan upah, upah lembur, tunjangan hari raya, dll. Perlindungan ekonomis ini adalah sebagai hak tenaga kerja atas apa yang telah

Teori belajar ini mendukung kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Three Step Interview berbasis scientific, karena dalam proses pembelajaran siswa

Efektifitas Pembelajaran Al- Qur’an Teaching Model Ditinjau Dari Pemahaman Konsep Matematis Siswa (Studi pada Siswa Kelas VII.. SMP Negeri 2 Metro Semester Tahun

PCS akan menentukan distribusi ukuran partikel rata-ratanya, sedangkan DLS digunakan untuk menentukan ukuran partikel dengan cara memasukkan partikel kecil di dalam

diperoleh bahwa pendugaan area kecil pada pengeluaran perkapita menggunakan. metode EBLUP dan EB memiliki hasil yang lebih akurat dibandingkan

dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar.. di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009-2011 yang

Kesimpulan penelitian adalah terdapat hubungan yang positif antara antara kualitas produk dan kualitas pelayanan dengan kepuasan konsumen Matahari Dept Store pada warga RW

Tanggapan dari masyarakat terhadap pertunjukan WKCB menjadi tanda- tanda bahwa wacana pada tokoh punakawan yang dihadirkan oleh Dalang Nardayana pada pertunjukan WKCB