• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku School Bullying Pada Siswa Sekolah Dasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perilaku School Bullying Pada Siswa Sekolah Dasar"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Perilaku School Bullying Pada Siswa Sekolah Dasar

Putu Yulia Angga Dewi

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja, Indonesia anggadewiyulia@gmail.com

ARTICLE INFO ABSTRACT

Received 2020-02-01 Revised 2020-03-02 Accepted 2020-03-20 This is an open access article under the CC–BY-SA

license.

Behavior in children can be classified as normal or abnormal behavior. Children's behavior can be said to be normal if the behavior is in accordance with that in society. While children's behavior can be said to be abnormal if the child's behavior has deviated from the prevailing order in the community so that the community directly or indirectly rejects it. Children who are accustomed to observing and even experiencing violence both physically and verbally in the home environment or play, later children will build a framework that is a natural thing and needs to be done. Hurlock (1978: 221) says anger is an expression that is more often expressed in children. The reason is because the stimulation that causes more anger in children, children also know that anger is an effective way to get attention or fulfill their desires.

Keywords: School Bullying, Elementary school student

Perilaku pada anak dapat digolongkan pada perilaku normal ataupun perilaku abnormal. Perilaku anak dapat dikatakan normal apabila perilaku tersebut sesuai dengan yang ada di masyarakat. Sedangkan perilaku anak dapat dikatakan abnormal apabila perilaku anak telah menyimpang dari tatanan yang berlaku di masyarakat tersebut sehingga masyarakatpun secara langsung maupun tidak langsung melakukan penolakan. Anak yang terbiasa mengamati bahkan mengalami kekerasan baik fisik maupun verbal di lingkungan rumah ataupun bermainnya, nantinya anak akan membangun suatu kerangka pikir bahwa hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar dan perlu untuk dilakukan. Hurlock (1978: 221) mengatakan rasa marah adalah ekspresi yang lebih sering diungkapkan pada anak. Alasannya karena rangsangan yang menimbulkan rasa marah lebih banyak pada anak, anak juga mengetahui bahwa kemarahan merupakan cara yang efektif untuk memperoleh perhatian atau memenuhi keinginan mereka.

(2)

PENDAHULUAN

Sekolah dasar kerap terjadi peristiwa bullying. Sekolah Dasar (SD) merupakan jenjang pendidikan paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia yang memiliki peranan dalam keberlangsungan proses pendidikan selanjutnya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa pendidikan dasar memiliki tujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa tujuan pendidikan dasar di Indonesia adalah untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan pada diri masing-masing anak. Suatu yang mendasar dapat diibaratkan sebagai pondasi, dimana pondasi inilah yang nantinya akan menopang dan menyokong segala sesuatu yang berada di atasnya.

Pendidikan dasar di Indonesia merupakan pondasi bagi jenjang pendidikan selanjutnya haruslah berperan dalam membentuk suatu pondasi yang kokoh berkaitan dengan watak serta kepribadian anak khususnya peserta didik. Namun, apabila pondasi dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan yang berdampak pada pembentukan watak serta kepribadian anak tidak kuat, nantinya anak akan mudah terpengaruh dengan hal-hal negative. Dewasa ini beberapa orang tua menyerahkan sepenuhnya dalam hal mendidik anaknya kepada pihak sekolah karena adanya tuntutan dunia kerja yang tidak dipungkuri telah menyita banyak waktu orang tua tersebut. Pendidikan yang pertama didapatkan dari lingkungan keluarga. Pembentukan perilaku, watak

serta kepribadian anak berawal dari lingkungan keluarga. Masing-masing keluarga menerapkan pola asuh yang berbeda-beda di dalam mendidik anaknya. Perbedaan pola asuh yang diterapkan pada setiap keluarga tentu membentuk perilaku anak yang berbeda-beda pula. Peran sekolah menjadi jauh lebih berat apabila tugas pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada sekolah.

Bentuk penyimpangan perilaku yang terjadi pada siswa SD tidak hanya berupa kekerasan yang merupakan salah satu bentuk dari perilaku agresif. Pada kenyataannya, hal-hal yang kita pandang sebagai perilaku yang wajar dilakukan anak usia SD terkadang tergolong dalam penyimpangan perilaku. Mulai dari sekedar mengejek temannya, memukul, mencubit, menjambak dan menjegal temannya saat sedang berjalan.

Perilaku school bullying tidak ditanggapi serius oleh guru, guru beranggapan bahwa perilaku school bullying yang terjadi adalah sebuah proses dari perkembangan siswa dan belum adanya tindak lanjut dari guru untuk mengatasi permasalahan perilaku school bullying yang terjadi di sekolah akan mengakibatkan perilaku school bullying lebih sering terjadi berulang-ulang karena minimnya respon dari guru terhadap perilaku school bullying yang terjadi di kelas maupun lingkungan sekolah. Pada dasarnya guru sebagai pendidik harus mengembangkan potensi dasar peserta didik secara optimal sehingga menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk proses belajar mengajar yang aman dan nyaman, membimbing peserta didik agar dapat menciptakan hubungan yang baik, menghindari perselisihan serta konflik di dunia pendidikan.

(3)

Melihat luasnya permasalahan mengenai penyimpangan perilaku seperti yang diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengetahuan guru mengenai school bullying dan mengidentifikasi bentuk-bentuk perilaku school bullying. Tindak kekerasan/bullying dapat memberikan dampak yang negatif untuk jangka waktu yang pendek dan panjang. Pengaruh jangka pendek yang ditimbulkan akibat perilaku bullying adalah korban menjadi depresi karena mengalami penindasan, menurunnya minat untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru dan menurunnya minat untuk mengikuti kegiatan sekolah. Sedangkan akibat yang ditimbulkan bagi korban dalam jangka panjang dari penindasan ini seperti mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan baik dengan teman sebaya dan selalu memiliki kecemasan terhadap perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman-temannya.

PEMBAHASAN

a. Perilaku School Bullying

Perilaku adalah aktifitas seorang individu bermula dari sebuah stimulus atau rangsangan yang bersentuhan dengan diri individu tersebut dan bukannya timbul tanpa sebab. Perilaku manusia adalah refleksi seperti pengetahuan, persepsi, minat, keinginan, dan sikap. Hal hal yang mempengaruhi perilaku seseorang terletak dalam dari individu/faktor internal, dari luar dirinya/faktor eksternal, didorong oleh aktifitas dari sistem organisme dan respon terhadap stimulus. Notoatmodjo (2014: 20) berpendapat bahwa perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Wawan & Dewi (2010: 48) berpendapat bahwa perilaku adalah respon

individu terhadap suatu stimulus atau sesuatu tindakan yang dapat diamati serta mempunyai frekuensi spesifik, durasi, dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Skiner (Notoatmodjo, 2014: 20) berpendapat bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Teori ini disebut dengan teori: “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respon. Ensiklopedia Amerika (Wawan & Dewi, 2010: 59) berpendapat bahwa perilaku yaitu sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya, hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada reaksi yang disebut rangsangan.

Istilah bullying berasal dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti banteng. Banteng merupakan hewan yang suka menyerang secara agresif terhadap siapapun yang berada di dekatnya. Sama halnya dengan bullying, suatu tindakan yang digambarkan seperti banteng yang cenderung bersifat destruktif. Bullying merupakan sebuah kondisi dimana telah terjadi penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh perseorangan ataupun kelompok dan bertujuan untuk menyakiti orang lain. Penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan dilakukan pihak yang kuat tidak hanya secara fisik saja tetapi juga secara mental. Istilah bullying dalam bahasa Indonesia bisa menggunakan menyakat (berasal dari kata sakat) dan pelakunya (bully) disebut penyakat. Menyakat berarti mengganggu, mengusik, dan merintangi orang lain (Wiyani, 2012: 11-12). Sedangkan kata school berarti sekolah. Secara singkat school bullying dapat diartikan sebagai kekerasan yang terjadi di sekolah.

(4)

Bullying merupakan suatu pola perilaku yang bersifat negatif yang dilakukan secara berulang-ulang dan bertujuan negatif. Perilaku tersebut mengarah langsung dari anak yang satu ke anak yang lain karena adanya ketidakseimbangan kekuatan. Tattum (Wiyani, 2012: 12) berpendapat bahwa bullying adalah the willful, conscious desire to hurt anither and put him/her under stress. Sementara itu Ronald memberikan definisi bullying sebagai berikut long standing violence, physical or psychological, perpeted by an individual or grup directed against an individual who can not defend himself or herself. Mendefinisikan perilaku bullying sebagai intimidasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok baik secara fisik, psikologis, sosial, verbal atau emosional, yang dilakukan secara terus menerus.

b. Bentuk-Bentuk Perilaku School Bullying

Bentuk-bentuk perilaku school bullying yang terjadi mulai dari lingkungan pergaulan hingga di lingkungan sekolah sangat beragam. Bentuk-bentuk perilaku school bullying

dapat dilakukan secara langsung yang berupa verbal bullying (mengejek, mencela, menyindir, dan menyebarkan gosip). Physical bullying (memukul, menendang, mencubit, dan menjegal). Nonverbal/nonphysical bullying (mengancam, dan menunjukkan sikap yang janggal atau tidak seperti biasanya, melarang orang lain masuk dalam kelompok, memanipulasi hubungan persahabatan).

Margareta, dkk, (2009: 17) berpendapat bahwa perilaku school bullying yaitu perilaku yang dilakukan oleh orang kuat yang bertujuan untuk

menyalahgunakan kekuatannya kepada orang yang lebih lemah. Bentuk perilaku bullying antara lain, bullying secara fisik, perilaku yang ditunjukkan dapat berupa memukul, menandang, dan mendorong. Bullying secara verbal, perilaku yang ditunjukkan dapat berupa mengejek, menghina, dan ucapan yang menyinggung. Bullying tidak langsung, perilaku yang ditunjukkan dapat berupa menyebarkan cerita bohong, mengucilkan, dan menghasut orang lain.

Sejiwa, 2008 (Putri, 2015: 5) menyatakan bahwa ada tiga kategori perilaku bullying, yaitu:

1. Bullying Fisik Merupakan bentuk perilaku bullying yang dapat dilihat secara kasat mata karena terjadi kontak langsung antara pelaku bullying dengan korbannya. Bentuk bullying fisik antara lain: menampar, menginjak kaki, menjambak, menjegal, memukul dan menendang.

2. Bullying Verbal Merupakan bentuk perilaku bullying yang dapat ditangkap melalui pendengaran. Bentuk bullying verbal antara lain: menjuluki, meneriaki, memaki, menghina, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar gosip, dan memfitnah.

3. Bullying Mental/Psikologis Merupakan bentuk perilaku bullying yang paling berbahaya dibanding dengan bentuk bullying lainnya karena kadang diabaikan oleh beberapa orang. Bentuk bullying mental/psikologis yaitu dengan memandang sinis, memandang penuh ancaman, mendiamkan, mengucilkan, memelototi, dan mencibir.

(5)

Suharto, 1997 (Hurraerah, 2012: 47-48) mengelompokkan bentuk perilaku school bullying sebagai berikut.

a. Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap orang lain, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka fisik serta kematian orang lain. Bentuk luka dapat berupa lecet, memar akibat bersentuhan langsung dengan perilaku yang dilakukan oleh pelaku.

b. Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor kepada orang lain.

c. Kekerasan secara seksual, dapat berupa perlakuan dengan adanya kontak sexsual kepada orang lain misalnya memegang alat vital.

c. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku

School Bullying

Perilaku school bullying terjadi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi setiap bagian yang ada di sekitar anak juga turut memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam munculnya perilaku tersebut. Trevi, 2010 (Levianti, 2008: 6) berpendapat bahwa bullying dapat terjadi akibat faktor dari anak yang sering berperilaku menyimpang, agresif, dan senang melakukan kekerasan. Selanjutnya faktor dari lingkungan pergaulan anak, pola asuh keluarga, iklim sekolah sekolah, dan media berupa internet, televisi, serta media elektronik lainnya yang memberi pengaruh buruk terhadap perkembangan anak. Assegaf dalam penelitiannya mengungkapkan beberapa analisis

penyebab terjadinya bullying dalam dunia pendidikan (Wiyani, 2002: 21-22). Pertama, school bullying terjadi akibat pelanggaran dan disertai hukuman secara fisik. Kedua, school bullying bisa terjadi akibat buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang diberlakukan. Selanjutnya, school bullying dapat pula diakibatkan oleh pengaruh lingkungan maupun masyarakat, khususnya media elektronik, seperti televisi yang memberi pengaruh kuat bagi pemirsanya. Selain ketiga faktor tersebut, school bullying

merupakan refleksi perkembangan kehidupan masyarakat dengan pergeseran yang sangat cepat (moving faster) sehingga menimbulkan adanya instan solution. Faktor terakhir adalah, pengaruh faktor sosial dan ekonomi dari pelaku

school bullying.

Lantip (2013: 9-12) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying yaitu:

1. Kontribusi anak adalah hal hal yang terdapat di dalam diri anak yang dapat mempengaruhi tingkah laku. Tempramen merupakan karakteristik individu yang secara potensial telah dimiliki sejak lahir, oleh karena itu faktor tempramen ini tidak dapat dipungkiri diasumsikan sebagai salah satu penyebab terjadinya bullying pada semua tingkatan anak karena yang dimaksud dengan anak yang tempramen adalah anak yang emosional, pemarah, sensitif, agresif, sering berperilaku menyimpang, mendominasi, dan lepas kendali.

2. Pola asuh dalam suatu keluarga mempunyai peran dalam pembentukan perilaku anak terutama pada munculnya perilaku

(6)

bullying. Keluarga yang menerapkan pola asuh permisif membuat anak terbiasa untuk bebas melakukan segala sesuatu yang diinginkannya. Anak pun juga menjadi manja, akan 29 memaksakan keinginannya. Anak juga tidak tahu letak kesalahannya ketika melakukan kesalahan sehingga segala sesuatu yang dilakukannya dianggapnya sebagai suatu hal yang benar. Begitu pula dengan pola asuh yang keras, yang cenderung mengekang kebebasan anak sehingga terbiasa mendapatkan perlakuan kasar yang nantinya akan dipraktikkan dalam pertemanannya bahkan anak akan menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar. Pola asuh otoriter yang sangat mementingkan kepatuhan anak terhadap orang tua, pola asuh seperti ini akan terjadi pemaksaan kehendak dari orang tua yang tidak menutup kemungkinan berbenturan dengan kesiapan anak sehingga anak mengalami trauma atau melakukan perlawanan dalam bentuk substitusi atau pengalihan perlawanan dengan melakukan bullying pada anak lain yang

imbalance a power. Pola asuh yang mengabaikan (uninvoloved parenting) juga dapat menjadi faktor yang mendorong terjadinya bullying pada anak. Pola asuh mengabaikan tindak berpusat pada apa yang baik untuk anak, melainkan hanya berpusat pada keinginan dan kepentingan orang tua. Pola asuh seperti ini mengakibatkan anak bertindak tanpa kendali dan jika dibiarkan

dapat menyebabkan terjadinya tindakan bullying dan memiliki kecendurungan terlibat dalam kenakalan remaja dan bertingkah antisosial.

3. Teman sebaya yang sering melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain akan berimbas kepada perkembangan anak. Anak juga akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Selain itu anak baik dari kalangan sosial rendah hingga atas juga melakukan bullying dengan maksud untuk mendapatkan pengakuan serta penghargaan dari teman-temannya. Anak usia SD secara sosial dikenal sebagai fase awal untuk berkelompok dan memiliki banyak teman sehingga dikenal sebagai gang age, oleh karena itu konformitas teman sebaya atau peer lebih memiliki pengaruh terhadap perilaku anak, memiliki teman dan kelompok yang baik bisa menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditawarkan untuk menghindari perilaku anak dari tindakan yang negatif/bullying.

4. Media saat ini menjadi komponen kehidupan yang dapat mempengaruhi pola kehidupan seseorang baik itu media cetak maupun elektronik, pengaruh yang ditimbulkan dapat saja berdampak positif maupun negatif tergantung pada pengguna dari media tersebut. Oleh karena itu menggunakan media sesuai fungsi utamanya yaitu menjadi sumber belajar harus menjadi pilihan utama dalam membimbing anak,

(7)

sebab jika lepas kendali akan dapat dipastikan anak memilih informasi dan tontonan yang merusak moral dan perilakunya. Media dapat menimbulkan tindakan bullying yang meningkat pada anak. Oleh karena itu sejatinya para pengelola media dan orang tua dapat memberikan dan mengontrol tontonan dan bacaan peserta didik anak usia SD untuk kebaikan yang lebih utama dimasa yang akan datang.

5. Iklim sekolah atau school climate

adalah kondisi dan suasana sekolah sebagai tempat belajar bagi peserta didik anak usia MI/SD. Sekolah bagi anak usia MI/SD adalah rumah kedua yang kondisinya harus diciptakan senyaman mungkin like at home. Jika kondisi terjadi sebaliknya sekolah justru menjadi tempat berlatih untuk bertindak negatif maka iklim sekolah seperti ini akan merusak bahkan menghancurkan masa depan anak. Dengan demikian iklim sekolah yang didesain degan baik aman dan nyaman akan menciptakan output bahkan outcome yang baik pula dan tentu saja semua komponen pendidikan berharap generasi emas kita menjadi pendulang emas bagi kesejahteraan mereka dimasa yang akan datang dan terutama bagi kemajuaan bangsa ini.

6. Karakteristik Pelaku School Bullying (Bully) dalam setiap aksi kekerasan tentu saja terdapat pelaku aksi kekerasan serta korban aksi kekerasan. Dimana keduanya memiliki karakteristik tersendiri

yang dapat diamati. Pelaku school bullying biasanya anak-anak yang secara fisiknya berukuran besar dan kuat. Tidak menutup kemungkinan apabila pelaku bullying memiliki ukuran tubuh yang kecil atau sedang dengan dominasi kekuatan serta kekuasaan yang besar di kalangan teman-temannya. Hidayati (2012: 44) mengatakan pelaku bullying memiliki sikap yang mendukung kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan permasalahan mereka atau sebagai sarana untuk memperolah apa yang mereka inginkan.Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik pelaku school bullying yaitu suka memanfaatkan orang lain, sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain, hanya peduli pada kebutuhan kesenangan mereka sendiri, cenderung melukai anak-anak lain ketika ada orang dewasa di sekitar mereka, memandang rekan lebih lemah sebagai mangsa/korban, tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya, tidak memiliki pandangan terhadap masa depan, haus perhatian dan memiliki dominasi psikologis yang kuat di kalangan teman-temannya dikarenakan faktor status sosial atau kedudukan sehingga seolah-olah dia yang berkuasa untuk memperoleh apa yang mereka inginkan.

Perilaku school bullying tentu saja terjadi dengan dilatarbelakangi suatu alasan yang kuat pada diri masing-masing anak. Alasan kuat inilah yang menjadi

(8)

motivasi tersendiri dalam melakukan penindasan anak yang satu dengan yang lain. Pelaku bullying memiliki kepuasan tersendiri apabila ia menjadi penguasa di kalangan teman-temannya. Dengan melakukan bullying, anak tersebut akan mendapatkan pengakuan serta pelabelan dari teman sebayanya bahwa ia adalah orang yang hebat, kuat, dan besar. Hal ini semakin mempertegas ketidak berdayaan dan betapa lemahnya si korban di mata pelaku bullying. Douglas & Waksler (Assegaf, 2004: 39) istilah kekerasan/bullying digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain, secara terbuka (overt) kekerasan secara langsung, seperti perkelahian atau yang berkaitan dengan fisik. Tertutup (covert) kekerasan yang dilakukan secara tidak langsung misalnya, mengancam, mengucilkan dan mengintimidasi. Rigby (2008: 24) Opine That Occurs when these conditions are statisfied:

a) An individual group of person wants to hurt someene or put them under pressure. Seseorang atau sekelompok orang ingin melukai seseorang atau membuat mereka berada dalam tekanan.

b) An opportunity presents it self in which the would-be aggresor are more powerfull target. Adanya kesempatan yang memungkinkan pelaku bullying menjadi lebih kuat daripada korban yang dituju/dipilih.

c) Intenionally hurtfull or

threatening action is actually carried out. Kesengajaan melukai dan mengancam.

d) The action taken is not justidied or provoked in anyway. Perilaku

terjadi tanpa alasan atau provokasi.

e) It is typically repeated. Memang terjadi berulang-ulang.

f) Those targeted are unable or unwilling o defend themselves and feel oppresed. Targetnya tidak mampu mempertahankan diri mereka sendiri dan merasa terancam).

g) Perpetrators enjoy feelings of domination. Pelaku bullying menikmati kedominasinya)

Heirichs (Dubin, 2007: 94-95)

disscuses the need that bullies have for dominance and control. I would argue that some children who are perceived as “bullies” are merely trying to assert control over their environment and make is more predictable for their own comfort level. Pembulian dilakukan untuk mendominasi dan mengontol. Beberapa anak beranggapan bahwa pembulian semata-mata mencoba untuk menonjolkan diri mereka untuk mengontrol lingkungan mereka dapat dikendalikan sesuai tingkat kenyamanan mereka.

Diambil dari berbagai sumber yang ada, dapat disimpulkan bahwa anak-anak melakukan bullying berdasarkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik pada anak untuk menonjolkan diri dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kehendak mereka. Pelaku “bully

mempunyai karakteristik yang agresif, suka mendominasi, mempunyai pandangan yang positif tentang kekerasan dan tidak mempunyai sifat empati terhadap orang lain.

Dalam school bullying tidak mungkin terjadi hanya dengan pelaku, tetapi terdapat anak yang menjadi sasaran penganiayaan dan penindasan oleh pelaku

(9)

bullying. Anak-anak yang menjadi korban bullying memiliki postur tubuh yang lebih kecil dibanding temannya yang lain, lemah secara fisik ataupun psikis. Anak yang memiliki penampilan yang berbeda dari segi berpakaian dan berperilaku misalnya saja anak yang mengucilkan diri dari pergaulan, susah beradaptasi dengan lingkungannya, memiliki kepercayaan diri yang rendah, dan anak yang memiliki aksen yang berbeda. Anak orang tak mampu juga sering menjadi korban bullying bahkan anak orang kaya pun tidak luput dari perlakuan bullying. Selain itu, anak-anak yang kurang pandai dan memiliki keterbatasan fisik seperti gagap juga sering menjadi korban bullying. Karakteristik korban bullying adalah mereka yang tidak mampu melawan atau mempertahankan dirinya dari tindakan bullying.

Murphy, 2009 (Hidayati, 2012: 11) mengatakan sebagian anak yang menjadi korban bullying berasal dari latar belakang, etnik, keyakinan atau budaya yang berbeda dari kebanyakan anak di lingkungan tersebut. Ada pula anak-anak yang menjadi korban bullying memiliki keterbatasan kemampuan tertentu, misalnya mengalami kesulitan membaca, dan berhitung. Karakteristik lain yaitu korban bullying biasanya memiliki kecemasan dan kegugupan atau rasa tidak aman.

Natalini, 2004 (Andina, 2016: 11) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklarifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi. Dampak lain yang kurang terlihat, namun berefek jangka panjang adalah menurunnya kesejahteraan psikologis dan penyesuaian sosial yang buruk. Dari penelitian yang dilakukan

Riauskina, dkk, ketika mengalami bullying banyak emosi negatif, kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Diambil dari berbagai sumber yang ada, dapat disimpulkan bahwa karakteristik seorang anak yang menjadi korban bullying yaitu merasakan banyak emosi negatif seperti marah, dendam, kesal, tertekan, malu, takut, sedih, dan terancam namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang emosiemosi ini dapat berujung pada munculnya kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga.

PENUTUP

School bullying tidak mungkin terjadi hanya dengan pelaku, tetapi terdapat anak yang menjadi sasaran penganiayaan dan penindasan oleh pelaku bullying. Anak-anak yang menjadi korban bullying memiliki postur tubuh yang lebih kecil dibanding temannya yang lain, lemah secara fisik ataupun psikis. Anak yang memiliki penampilan yang berbeda dari segi berpakaian dan berperilaku misalnya saja anak yang mengucilkan diri dari pergaulan, susah beradaptasi dengan lingkungannya, memiliki kepercayaan diri yang rendah, dan anak yang memiliki aksen yang berbeda. Anak orang tak mampu juga sering menjadi korban bullying bahkan anak orang kaya pun tidak luput dari perlakuan bullying. Selain itu, anak-anak yang kurang pandai dan memiliki keterbatasan fisik seperti gagap juga sering menjadi korban bullying. Karakteristik korban bullying adalah mereka yang tidak mampu melawan atau mempertahankan dirinya dari tindakan bullying.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A., & Uhbiyati, N. (2001). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Andina, E. (2016). Akhiri Mendidik Anak

dengan Kekerasan. Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Diakses dari https://berkas.dpr.go.id pada tanggal 18 Januari 2020

Anantasari. (2006). Menyikapi Perilaku Agresif Anak. Yogyakarta: Kanisius.

Assegaf, A. R. (2004). Pendidikan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Tiara Waca Yogya.

Budiman, N. (2006). Memahami Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.

Darwis, A. (2006). Pengubah Perilaku Menyimpang Murid Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.

Depdikbud. (2003). Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dubin, N. (2007). Aspegers Syndome and Bullying: Strategis and Solution. Philadelphia: Jessica Kingslay Publishers.

Fleming, D., & Ritts, M. (2007). Mengatasi Perilaku Negatif Anak. Alih bahasa: Rizki Wahyudi. Yogyakarta: Think Yogyakarta.

Dewi, P. Y. A. (2020). Hubungan Gaya Komunikasi Guru Terhadap Tingkat Keefektifan Proses Pembelajaran. Purwadita: Jurnal

Agama dan Budaya, 3(2), 71-78.

Dewi, P. Y. A., & Primayana, K. H. (2019). PERANAN TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) DI SEKOLAH DASAR. Jurnal Penjaminan Mutu, 5(2), 226-236.

Primayana, K. H. (2019, March). The Implementation Of School

Management Based On The Values Of Local Wisdom Tri Hita Karana And Spiritual Intelligence On Teacher Organizational Commitments. In Proceeding

International Seminar

(ICHECY) (Vol. 1, No. 1).

Primayana, K. H., Lasmawan, I. W., & Adnyana, P. B. (2019).

PENGARUH MODEL

PEMBELAJARAN

KONTEKSTUAL BERBASIS LINGKUNGAN TERHADAP HASIL BELAJAR IPA DITINJAU DARI MINAT OUTDOOR PADA SISWA KELAS IV. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran IPA

Indonesia, 9(2), 72-79.

Primayana, K. H. (2020). Menciptakan Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah Dengan Berorientasi Pembentukan Karakter Untuk Mencapai Tujuan Higher Order Thingking Skilss (HOTS) Pada Anak Sekolah Dasar. Purwadita:

Jurnal Agama dan Budaya, 3(2),

85-92.

Primayana, K. H. (2020, March). Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0. In Prosiding Seminar

Nasional Dharma Acarya (Vol. 1,

No. 3, pp. 321-328).

Winia, I. N., Harsananda, H., Maheswari, P. D., Juniartha, M. G., & Primayana, K. H. (2020). Building The Youths Characters Through Strengthening Of Hindu Religious Education. Vidyottama Sanatana: International Journal of

Hindu Science and Religious

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah ada hubungan positif yang sangat signifikan antara paparan kekerasan dengan perilaku bullying di Sekolah

Dari fenomena dan data penelitian di atas yang dilakukan oleh Funk (2004) salah satu penyebab agresi atau perilaku bullying adalah paparan kekerasan yang terjadi pada

Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi Kekerasan Pada Anak.. Preservice Teacher’s Response to Bullying Scenario: Comparing Physical, Verbal, and

Kalau di kelas IV ini, perilaku bullying secara fisik yang sering dilakukan oleh “H” kepada teman- temannya yang lain itu apa saja bu?”. Guru : “Ya, paling mendorong

sebagai pelaku bullying memiliki karakteristik diantaranya : a) memiliki.. sikap positif terhadap kekerasan, b) impulsif, c) ingin mendominasi orang. lain, d) kurang

Pelaku bullying dinilai merupakan anak-anak yang tidak atau kurang memiliki rasa empati terhadap orang lain, rendah perilaku pro-sosial, 21.. sedangkan korban bully

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan remaja sebagai pelaku bullying berkaitan dengan permasalahan kesehatan mental,

Habituasi sikap anti bullying harus dilakukan karena praktek bullying masih terjadi di sekolah sehingga harus ada model yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bullying