muka | daftar isi
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT)
Qawaid Fiqhiyah
Penulis : Ahmad Sarwat, Lc., MA
45 hlm
Judul Buku
Qawaid Fiqhiyah
PenulisAhmad Sarwat, Lc.,MA
Editor
Fatih
Setting & Lay outFayyad & Fawwaz
Desain CoverFaqih
PenerbitRumah Fiqih Publishing Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan
Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Cetakan Pertama
muka | daftar isi Daftar Isi Daftar Isi ... 4 A. Pengertian ... 6 1. Qawaid ... 6 2. Kaidah Fiqih ... 7
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah ... 7
b. Al-Jurjani ... 7
c. As-Subki ... 8
d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim ... 8
e. Al-Suyuthi ... 8
B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih ... 11
C. Manfaat, Objek dan Keutamaan ... 21
1. Manfaat ... 21
2. Objek ... 21
3. Keutamaan ... 21
4. Hubungannya dengan Ilmu lain ... 22
5. Perkembangan Kaidah ... 22
D. Kaidah Kubra Pertama ... 24
1. Kaidah Turunan Pertama ... 24
2. Kaidah Turunan Kedua ... 25
3. Kaidah Turunan Ketiga ... 26
E. Kaidah Kubra Kedua ... 28
1. Kaidah Turunan Pertama ... 28
muka | daftar isi
3. Kaidah Turunan Ketiga ... 29
4. Kaidah Turunan Keempat ... 30
5. Kaidah Turunan Kelima ... 30
F. Kaidah Kubra Ketiga ... 32
1. Kaidah Turunan Pertama ... 32
2. Kaidah Turunan Kedua ... 33
3. Kaidah Turunan Ketiga ... 33
4. Kaidah Turunan Keempat ... 34
5. Kaidah Turunan Kelima ... 35
G. Kaidah Kubra Keempat ... 36
1. Kaidah Turunan Pertama ... 36
2. Kaidah Turunan Kedua ... 37
3. Kaidah Turunan Ketiga ... 38
4. Kaidah Turunan Keempat ... 39
5. Kaidah Turunan Kelima ... 39
6. Kaidah Turunan Keenam ... 40
H. Kaidah Kubra Kelima ... 41
1. Kaidah Turunan Pertama ... 41
2. Kaidah Turunan Kedua ... 42
3. Kaidah Turunan Ketiga ... 43
4. Kaidah Turunan Keempat ... 44
muka | daftar isi
A. Pengertian
1. Qawaid
Kata qawa'id ( دعاوق) adalah bentuk jamak dari kata
qaidah (ةدعاق) yang arti secara bahasa bermakna asas,
dasar, atau pondasi.
Makna ini bisa dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawa'id al-bait, yang artinya pondasi rumah, atau qawa'id al-din, artinya dasar-dasar agama, atau qawa'id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu.
ذِإو
عفري
ميِهاربِإ
دِعاوقلا
نِم
ِتيبلا
ليِعاسمِإو
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (QS. al-Baqarah : 127)
دق
ركم
نيِذّلا
نِم
بق
ِل
مِه
ىتأف
ّللا
م نهاين ب
نِم
ِدِعاوقلا
Allah menghancurkan bagunan mereka dari pondasi-pondasinya"(QS. al-Nahl : 26)
Dari dua ayat di atas, bisa disimpulakan bahwa arti kaidah adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang di atasnya berdiri suatu bagunan.
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam ilmu nahwu (grammer) bahasa Arab, seperti maf'ul itu
muka | daftar isi
manshub dan fa'il itu marfu'. Inilah yang disebut
dengan al-qawaid an-nahwiyyah (kaidah nahwu).
Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat menyeluruh, yang mencakup banyak bagian dan cabang yang ada di bawahnya.
Dengan demikian, maka al-Qawa'id al-Fiqihiyah secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis Fiqih.
2. Kaidah Fiqih
Para ulama memang berbeda dalam
mendefinisikan ilmu Kaidah Fiqih secara istilah. Ada yang mendefinisikannya dengan makna yang luas tetapi juga ada yang mendefinisikannya dengan mana yang sempit. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah
Syeikh Muhammad Abu Zahrah mendefisikan kaidah sebagai berikut:
ٍدِحاو ٍسايِق ىلِإ ُعِجرت يِتّلا ِتاهِّبشتُملا ِماكحلأا ُةعوُمجم
اهُعمجي
"Kumpulan hukum-hukum yang serupa
berdasarkan qiyas (analogi) yang
mengumpulkannya." b. Al-Jurjani
Sedangkan Al-Jurjani memberikan definisi bahwa Kaidah Fiqih adalah:
muka | daftar isi
ِّلُك ٌةّي ِضق
ِبطنُم ٌةّي
اهِتاّيِئزُج ِعيِمج ىلع ٌةق
"Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya"
c. As-Subki
Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H) mendefisikan kaidah fiqhiyah sebagai :
ِّئزُج ِهيلع ُقِبطني يِذلّا ُّيِّلُكلا ُرملأا
اهُماكحأ ُمهفُي ٌةريِثك ٌتاّي
اهنِم
"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi"d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim
Ibnu Abdin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
اهيلع ماكحلأا اوُعّرفو اهيلِإ ُّدرُت يِتّلا ِدِعاوقلا ُةفِرعم
"Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan hukum tersebut dirinci dari padanya"e. Al-Suyuthi
Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah:
muka | daftar isi
"Hukum kulli (menyeluruh, gerenal) yang meliputi bagian-bagiannya"
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh meliputi bagian-bagian dalam arti bisa diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kesimpulan
Jadi bisa kita simpulkan bahwa definisi kaidah fiqhiyah adalah:
ىلع ُقِبطني ٌّيِبلغأ ٌمكُح
نِم اهُماكحأ فرعُتِل ِهِتاّيِئزُج ِمظعُم
ُه
“Hukum yang bersifat mayoritas dan mencakup
sebagian besar bagian-bagiannya supaya dapat
diketahui hukum-hukumnya.”
Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya yaitu kalimat mayoritas bukan menyeluruh.
Karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus hukum yang menjadi pengecualian dari kaidah fiqih yang ada, sehingga sifatnya mayoritas. Artinya menampung banyak hukum dari permasalahan fiqih namun tidak mencakup secara keseluruhan.
Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul fiqih yang sifatnya memang mencakup secara keseluruhan.
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu kaidah ushul (ةيلوصلأا دعاوقلا) dan kaidah fiqih (ةيهقفلا دعاوقلا):
▪ Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqih, yang digunakan
muka | daftar isi
untuk menyimpulkan hukum (takhrij
al-ahkam) dari sumbernya yaitu Al-Quran dan
Al-Hadits.
▪ Kaidah Fiqih. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih, kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqih maupun kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagai bagian dari metodologi hukum Islam.
Namun dengan catatan bahwa kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij al-akham, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah Fiqih sering
digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu
penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhilafahan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut Majalah al-Ahkam Al-Adliyah (ةيلدعلا ماكحلأا ةلجم) yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah Fiqih di bidang muamalah dengan 1.851 pasal.
muka | daftar isi
B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih
Sulit diketahui siapa pembentuk kaidah Fiqih, yang jelas dengan meneliti kitab-kitab kaidah Fiqih dan masa hidup penyusunnya ternyata kaidah Fiqih tidak terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam.
Walaupun demikian, kalangan ulama di bidang kaidah Fiqih, menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, telah mengumpulkan kaidah Fiqih mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Abu Thahir selalu mengulang-ulang kaidah tersebut di masjid, sebelum para jamaah pulang ke rumahnya masing-masing.
Kemudian Abu Sa'id al-Harawi, seorang ulama mazhab Asy-Syafi'i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah Fiqih yang dihafalkan Abu Thahir. Diantara kaidah tersebut adalah lima kaidah besar di atas.
Setelah seratus tahun kemudian, datang ulama
besar Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang
menambahkan kaidah Fiqih yang sudah dikumpulkan Abu Thahir sehingga menjadi 37 kaidah.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah Fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah.
muka | daftar isi
bahwa kitab tafsir, hadits, ushul fiqih dan kitab-kitab Fiqih pada masa itu telah dibukukan. Dengan demikian materi tentang tafsir, hadits, dan Fiqih telah cukup banyak.
Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita untuk mempermudah menentukan hukum pada masalah-masalah yang kita jumpai di
masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan
investasi besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum Islam ini dengan mudah.
Oleh karena itu, bahwa proses pembentukan kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :
1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;
2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi
di dalam penarikan hukum (istibath al-ahkam).
Dengan metodologi ushul fiqih yang
menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola piker
muka | daftar isi
deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang
mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih
menggunakan kaidah tadi untuk menjawab permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial,
ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya
memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberikan fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih, bahkan kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185 pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka.
Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H) murid Ibnu Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin", memunculkan kaidah :
muka | daftar isi
ُرُّيغت
ِةنِمزلأا ِرُّيغت ِبسحِب اهُفلاِتخاو ىوتفلا
ِلاوحلأاو ِةنِكملأاو
ِدِئاوعلاو ِتاّيِّنلاو
"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan"Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H)
dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa
Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan
perbedaan pendapat ulama tentang masalah batas maksimal kehamilan, beliau berkesimpulan dengan kaidah :
ِرِداّنلاِب لا ِداتعُملاِب نوُكي نأ ُبِجي امّنِإ ُمكُحلاو
"Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang terjadi"Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan kata-kata :
ٍّقحِب ّلاِإ ٍدحأ ِدي نِم اًئيش جِرخُي نأ ِمامِلإِل سيل
"Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari tangan seseorang, kecuali dengan cara yang dibenarkan"Contoh lain:
صملاِب ٌطوُنم ِةيِعاّرلا ىلع ِمامِلإا ُفُّرصت
ِةحل
muka | daftar isi
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya
harus berorientasi kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang berbunyi :
ِميِتيلا نِم ِّيِلولا ِةلِزنمك ِةيِعاّرلا نِم يِلاولا ُةلِزنم
"Kedudukan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak yatim"
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama ulama di bidang fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas.
Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah, kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
ِهيلع ىعّدُملا ىلع ُنيِميلاو يِعّدُملا ىلع ُةنِّيبلا
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh
penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas), atau juga hadits:
muka | daftar isi
الا
اض
ار ار
او
الا
ار ِض
را
"Jangan memudaratkan dan jangan
dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).
Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:
ُلازُي ُرر ّضلا
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang lima)Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits, selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa dijadikan sebagai kaidah yang mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode) dalam menjawab problem-problem di masyarakat dan memunculkan hukum-hukum Fiqih baru.
Misalnya kaidah:
مِب ُروُمُلأا
اهِد ِصاق
“Semua perkara itu tergantung kepada maksudnya”
Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan tergantung kepada niatnya.
muka | daftar isi
sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha.
Dalam muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan. Dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan kepada niat, maksud dan tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:
ِتاّيِّنلِبِ لامعلأا اّنِّإ
"Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)
Juga kepada Hadits:
امو نايسِّنلاو أطلخا ِتِّم أ نع عِف ر
ِهيلع هِرك تسا
"Diangkat dari umatku (tidak dituliskan berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)
Tidak hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang berubungan dengan niat, seperti ayat berikut :
"Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (QS. Al-Ahzab : 5)
muka | daftar isi
Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat).
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada manusia.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa;
▪ Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa menjadi kaidah di kalangan Ulama Fiqih.
▪ Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada
pemahaman nash-nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah.
Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama mengelompokkan kembali materi-materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah.
Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:
اهِد ِصاقمِب ُروُمُلأا
"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam beberapa sub poko bahasan:
muka | daftar isi
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit
di kelompokkan dan disandarkan kepada kaidah tersebut, seperti masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan
adat kebisaaan dan masalah Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam
hal perbuatan-perbuatan yang serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
Dalam hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'i, al-Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu:
ا ظفّللا ُص ِّصخُت ِنيِميلا يِف ُةّيِّنلا
ّصاخلا ُمِّمعُت لاو ّماعل
"Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"
Bersumpah dengan tidak menyebutkan nama orang atau sesuatu secara khusus maka harus dijelaskan apa yang diniatkan itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di niatkan kepada seseorang, maka tidak bisa digeneralisir;
muka | daftar isi
secara khusus yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.
Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:
بِقوُع ٍمّرحُم ٍهجو ىلع ِهِتقو لبق ُهل حيِبُأ ام وأ ُهّقح لّجعت نم
ِهِنامرِحِب
"Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang haram, maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak tersebut"Contoh kaidah ini adalah seperti ahli waris yang membunuh pewaris, maka ia dilarang mendapatkan warisan tersebut.
Atau ada orang yang menikahi wanita sebelum habis masa iddah-nya, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita tersebut.
Atau ada orang yang memburu binatang dalam keadaan ihram, maka ia diharamkan memburu binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan dengan ungkapan:
ِهِنامرِحِب بِقوُع ِهِناوأ لبق ٍءيشِب لّجعت نم
"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, diberi sanksi dengan haramnya hal tersebut"muka | daftar isi
C. Manfaat, Objek dan Keutamaan
1. Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nash-nya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi Fiqih yang lain yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta lebih memudahkan kita dalam menentukan hukum.
2. Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu adalah perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi Fiqih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran atau Sunnah atau Ijma (konsensus para ulama).
3. Keutamaan
Orang yang ingin memahami Ilmu Fiqih, akan mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih apabila dibekali dengan ilmu kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang menguasai kaidah-kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya"
muka | daftar isi 4. Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari Ilmu Fiqih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits, Akidah dan Akhlak.
Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang kesesuiannya dan substansinya.
Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil kulli (general), maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan.
Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Quran dan Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Quran dan Hadits juga.
5. Perkembangan Kaidah
Para pencetus dan pengembang kaidah-kaidah Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmu dan wawasannya dalam Ilmu Fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang baru mengumpulkan 17 kaidah Fiqih.
Di kalangan tiap mazhab, ada banyak ulama yang menjadi pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah Fiqih.
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd al-Salam (w.660 H), beliau telah menyusun kitab berjudul
(kaidah-muka | daftar isi
kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).
Intinya menjelaskan tentang maksud Allah
mensyariatkan hukum, dan semua kaidah
dikembalikan kepada kaidah pokok yaitu:
ِد ِسافملا ُءردو ِحِلاصملا ُبلج
"Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah"Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep al-ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat.
Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak akan menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah. Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi apapun terhadap kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.
muka | daftar isi
D. Kaidah Kubra Pertama
ُلأا
ُم
ُرو
ِب
ام اق
اصا
ِد
اها
Segala sesuatu tergantung tujuannya1. Kaidah Turunan Pertama
ِعلا
ارب ُة
ِيف
ُعلا
ُق
ِدو
ِب
ملا
اـ اق
ِصا
ِد
او
ملا
اـ
ااع
ِين
الا
ِب
الأا
افل
ِظا
او
ملا
اـ اب
ِنا
ي
“Yang dapat dijadikan pegangan dalam akad
adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan bentuk perkataan”
Contoh
Jika ada seseorang yang mengatakan kepada
temannya, “Aku hadiahkan mobil ini kepadamu
dengan catatan berikan mobilmu itu kepadaku”,
maka akad yang terjadi disini bukanlah hadiah, walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena makna dan maksud akad tersebut sudah jelas, yaitu jual beli (barter). Dan dalam akad, yang dijadikan pijakan adalah maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk perkataan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah adalah pemberian yang tidak membutuhkan imbalan dalam bentuk apa pun.
muka | daftar isi 2. Kaidah Turunan Kedua
ِّلا
ين
ُة
ِيف
لا اي
ِم
ِني
ُت
اخ
ِّص
ُص
لا
اظفل
اعلا
اما
او
الا
ُت
اع ِّم
ُم
اخلا
صا
“Dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata
yang masih umum namun tidak bisa merubah kata
yang bermakna khusus menjadi umum”
Contoh
Kaidah ini membutuhkan dua contoh. Karena kaidah ini memiliki dua bagian yang berbeda. Pertama Takhsis al-‘Aam bi An-Nyiyah dan kedua
Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah.
Untuk bagian pertama, bisa diterapkan dalam kasus seperti ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak berbicara dengan siapapun, namun dalam hatinya dia meniatkan hanya tidak berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah jika berbicara dengan selain zaid. Sebab, meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu; tidak berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya khusus yaitu tidak mengajak bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum.
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al
-Khas bi an-Niyyah bisa diterapkan dalam kasus berikut; Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak meminum air si Fulan jika merasa haus, namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka berdasarkan kaidah ini, ia tidak dianggap melanggar sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu
muka | daftar isi
untuk mandi.
Karena lafadznya khusus dalam satu manfaat yaitu; minum karena haus. Sedangkan niat dalam hatinya yang umum yaitu; tidak mengambil manfaat apapun, tidak bisa membuat lafadz khusus itu menjadi umum.
Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di dalam
madzhab syafi’iyyah dan sebagian hanafiah. Namun
beberapa madzhab yang lain menganggap si pengucap sumpah telah melanggar sumpahnya karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat yang umum dalam hati tersebut -menurut madzhab ini- bisa membuat lafadz sumpah yang khusus itu menjadi umum.
3. Kaidah Turunan Ketiga
ام اق
ِصا
ُد
للا
ِظف
اع
اىل
ِن
ي ِة
لالا
ِف
ِظ
ِإ
لا
ِف
ي
ايلا
ِم
ِني
ِع
ادن
اقلا
ِضا
ي
“Maksud atau kandungan makna suatu perkataan
akan diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, kecuali dalam masalah sumpah
diahadapan qadhi (hakim)”
Contoh Penerapannya :
Pada dasarnya ucapan atau lafadz sumpah diserahkan maksud dan maknanya langsung kepada orang yang mengucapkan. Sehingga, sebagaimana kata-kata yang lain, sumpah juga berpeluang untuk diinterpretasikan beragam sesuai kehendak orang yang mengucapkan.
muka | daftar isi
salah satu jalan keluar penyelesaian suatu sengketa, maka penafsiran lafadz sumpah -yang diucapkan oleh salah satu pihak yang bersengketa di Meja Hijau- diserahkan kepada hakim. Karena pengadilan adalah institusi yang rawan akan intrik, manipulasi fakta dengan kata-kata ataupun tipu muslihat.
Maka, ketika seorang hakim meminta kepada terdakwa untuk bersumpah, penafsiran lafadz sumpahnya diserahkan sepenuhnya kepada sang Hakim.
Sebagai contoh, si Terdakwa kasus piutang telah bersumpah bahwa ia tidak pernah berhutang kepada pendakwa sama sekali. Dalam hatinya, ia niatkan bahwa maksudnya adalah tidak berhutang pada tahun yang lalu.
Maka niat itu tidak berfungsi sama sekali disini. Ia tetap dianggap telah melanggar sumpahnya itu. Sebab, meski maksud atau kandungan makna suatu perkataan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, hanya saja hal tersebut tidak berlaku jika kata-kata itu berupa sumpah yang diucapkan di hadapan hakim atau Meja Hijau.
muka | daftar isi
E. Kaidah Kubra Kedua
نيقيلا
لا
لازي
كشلاب
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh
kebimbangan”
1. Kaidah Turunan Pertama
لصلأا
ءاقب
ام
ناك
ىلع
ام
ناك
“Hukum Asal adalah ketetapan yang telah
ada/dimiliki sebelumnya”
Contoh Penerapannya:
Jika seseorang telah berwudhu untuk shalat fardhu, dan setelah shalat ia masih merasa yakin dalam kedaan suci, namun ketika hendak shalat fardhu berikutnya ia ragu apakah sudah batal atau belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci. Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada sebelumnya. Dan hukum asal adalah ketetapan awal itu.
2. Kaidah Turunan Kedua
لصلأا
يف
ءايشلأا
ةحابلإا
“Hukum Asal segala sesuatu adalah boleh”
muka | daftar isi
Jika ada hewan yang tidak jelas dan buram perkaranya, maka hewan tersebut dianggap halal dimakan. Contoh hewan seperti ini –seperti yang dicontohkan Imam Suyuti- adalah Jerapah. Menurut Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah bahwa Jerapah boleh dimakan, karena hukum asal segala sesuatu adalah boleh.
Jadi dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua jenis barang tersebut dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung kaidah ini. Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya masih ada perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.
3. Kaidah Turunan Ketiga
لصلأا
يف
عاضبلأا
ميرحتلا
“Hukum Asal Abdha’(farji) adalah haram”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang yang mempunyai empat istri kemudian dia mantalak salah satunya, tapi di kemudian hari dia lupa siapa istri yang telah ia talak? Maka haram baginya untuk berhubungan intim dengan mereka semua karena adanya keraguan akut tentang siapa yang telah menjadi haram baginya. Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun
hukum asal Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman
ini berlangsung sampai jelas siapa yang telah ditalaknya.
muka | daftar isi
Para ulama berbeda pendapat dalam
menyelesaikan kasus seperti diatas. Ada yang berpendapat dengan cara diundi dan ada yang berpendapat harus ditunggu sampai benar-benar jelas.
4. Kaidah Turunan Keempat
لصلأا
يف
ملاكلا
ةقيقحلا
“Hukum Asal dalam perkataan adalah makna
hakiki”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang bersumpah tidak akan menjual rumahnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah jika mewakilkan ke orang lain untuk menjualnya. Karena makna hakiki menjual adalah dirinya sendiri yang menjual langsung bukan orang lain yang menjual atas nama dirinya. Dan hukum asal dalam perkataan adalah makna hakikinya.
5. Kaidah Turunan Kelima
لصلأا
ةءارب
ةمذلا
“Hukum Asal adalah bebas dari tanggungan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang merusak barang milik orang lain yang harga belinya -sejauh pengetahuan si perusak- sekitar sekian rupiah. Namun ternyata si pemilik mengatakan bahwa harga belinya diatas
muka | daftar isi
harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik tidak bisa menunjukkan bukti atas harga yang diklaimnya itu. Maka klaim yang diterima adalah klaim si perusak dengan disertai sumpah. Karena hukum asalnya adalah terbebasnya si perusak dari beban atau tanggungan tambahan harga yang diklaim si pemilik.
muka | daftar isi
F. Kaidah Kubra Ketiga
ةقشملا
بلجت
ريسيتلا
“Kesulitan itu akan mendorong kemudahan”
1. Kaidah Turunan Pertama
اذإ
قاض
رملأا
عستا
و
اذإ
عستا
رملأا
قاض
“Ketika sesuatu menyempit, maka hukumnya
menjadi luas (ringan), dan Ketika keadaan lapang,
maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang memiliki tanggungan hutang yang sudah jatuh tempo pembayarannya, namun dia benar-benar belum memiliki uang untuk membayar, maka pembayarannya wajib untuk ditunda. Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara kontan maka pembayarannya boleh dengan cara diangsur.
Karena sebuah perkara jika menyempit,
hukumnya jadi luas (longgar). Namun jika ia tiba-tiba mendapatkan rizki yang dengannya ia mampu melunasi seluruh hutangnya, maka wajib baginya untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika sudah lapang, maka hukumnya kembali menyempit (ketat).
muka | daftar isi 2. Kaidah Turunan Kedua
تارورضلا
حيبت
تاروظحملا
“Kondisi dharurat akan memperbolehkan sesuatu
yang semula dilarang”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang hampir-hampir mati karena kelaparan, dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali
bangkai yang diharamkan, maka baginya
diperbolehkan untuk memakan bangkai tersebut untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat. Karena kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan seseuatu yang semula dilarang.
3. Kaidah Turunan Ketiga
ةرورضلا
ردقت
اهردقب
“Dharurat harus diukur kadar dharuratnya”
Contoh penerapannya :
Contoh kaidah ini hampir mirip dengan contoh kasus pada kaidah sebelumnya. Bahwa seseorang boleh makan bangkai yang awalnya diharamkan itu ketika dalam kondisi dharurat itu.
Hanya saja, ia perlu mencukupkan diri dalam memakannya pada porsi yang kira-kira sudah cukup untuk menyambung atau menyelamatkan hidupnya. Karena diperbolehkannya mengonsumsi makanan haram tersebut, hanya dalam kondisi dharurat. Dan
muka | daftar isi
dharurat harus diukur kadar dharuratnya.
Contoh lainnya yang mungkin bisa ditulis disini adalah ketika ada pasien yang harus membuka
auratnya demi terlaksananya terapi atau
pengobatan, maka si pasien hanya diperbolehkan untuk membuka aurat yang memang dibutuhkan untuk dibuka dalam pengobatan tersebut.
Dan dokter juga hanya diperbolehkan untuk melihat aurat yang memang dibutuhkan untuk dilihat. Lebih dari itu, maka tetap diharamkan. Karena pembolehan membuka aurat bagi pasien dan atau melihat aurat bagi dokter hanyalah dalam kondisi dharurat saja. Dan dharurat harus diukur kadar dharuratnya.
4. Kaidah Turunan Keempat
رارطضلاا
لا
لطبي
قح
ريغلا
“Keadaan darurat tidak mambatalkan hak orang
lain”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah kapal hampir-hampir tenggelam karena terlalu beratnya beban muatan kapal, kemudian untuk menyelamatkan kapal dari tenggelam, ada penumpang yang melempar beberapa barang-barang penumpang lain untuk meringankan kapal tersebut, maka si pelempar tadi wajib untuk menggantinya.
Sebab, keadaan dharurat tidak bisa membatalkan hak orang lain. Dalam kaidah ini ada pembahasan
muka | daftar isi
yang lebih mendalam.
5. Kaidah Turunan Kelima
ةجاحلا
دق
تلزن
ةلزنم
ةرورضلا
ةماع
تناك
وأ
ةصاخ
“Suatu kebutuhan terkadang bisa naik menempati
posisi dharurat, baik kebutuhan umum maupun
khusus”
Contoh penerapannya :
Para pedagang membutuhkan gugurnya hak
khiyar ru’yah para pembeli untuk melihat semua
barang dagangan yang hendak dibelinya. Gugurnya
khiyar ru’yah ini diganti dengan melihat sample
komoditas yang hendak dibeli.
Maka gugurnya khiyar ru’yah ini diperbolehkan,
karena jika khiyar ru’yah tetap wajib dilakukan, maka
itu akan memberatkan para pedagang, apalagi jika komoditas yang hendak dijual berjumlah banyak dan dikemas dengan kemasan yang membukanya cukup menyita waktu.
Maka hadirlah keringanan berupa gugurnya khiyar
ru’yah ini dalam kebutuhan mendesak yang naik
muka | daftar isi
G. Kaidah Kubra Keempat
ضلا
ار ُر
ُي ا
ز
ُلا
“Bahaya harus dihilangkan”
1. Kaidah Turunan Pertama
ضلا
ار ُر
ُي
افد
ُع
ِب اق
ِرد
ِلإا
ااكم
ِن
“Bahaya harus ditolak semampu mungkin”
Contoh penerapannya :
Sebuah bahaya bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Maka perlu dilakukan sebuah tindakan untuk menolak bahaya tersebut. Jika kita tidak berhasil menolak semuanya, maka setidaknya kita menolak sebagiannya.
Dan jika kita sudah berusaha menolaknya, namun bahaya tersebut terjadi juga maka setidaknya kita bisa mengurangi efek bahaya tersebut setelah terjadinya.
Maka penolakan bahaya bisa dibagi secara waktu menjadi penolakan sebelum terjadi dan penolakan setelah terjadi. Sedangkan secara prosentase penolakan bisa dibagi menjadi penolakan secara keseluruhan atau penolakan sebagian bahaya.
muka | daftar isi
pensyariatan khiyar majlis dan khiyar syart dalam transaksi jual beli. Untuk menolak bahaya yang mungkin bisa terjadi setelah dilakukannya transaksi jual beli.
Contoh penolakan setelah terjadi adalah adanya khiyar ghibn, khiyar aib dan khiyar tadlis setelah transaksi jual beli selesai dilakukan. Untuk menolak bahaya kerugian yang telah dialami oleh salah satu pihak setelah transaksi tersebut.
Dua contoh diatas sekaligus sebagai contoh untuk penolakan bahaya secara keseluruhan.
Sedangkan contoh penolakan bahaya sebagian adalah jika ada seseorang yang suka mencelakai orang lain dan dia tidak akan berhenti kecuali jika diberi uang, maka pemberian uang dalam hal ini merupakan sebagian dari bahaya yang tidak mungkin ditolak demi menolak bahaya yang lebih besar sebisa mungkin.
2. Kaidah Turunan Kedua
ضلا
ار
ُرا
الا
ُي ا
ز
ُلا
ِب
ِم
ِلث
ِه
“Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya
serupa dan setara”
Contoh penerapannya :
Jika ada orang faqir yang memiliki kerabat yang dalam tanggungannya yang juga faqir, maka keduanya tidak berkewajiban untuk memberi nafkah bagi yang lain jika memang dia bahkan susah menafkahi dirinya sendiri.
muka | daftar isi
Karena kondisi faqir adalah baya bagi dirinya, dan kewajiban memberi nafkah adalah bahaya yang lain yang tidak bisa menghilangkan bahaya pertama.
Atau dengan contoh lain misalnya ada orang yang dipaksa untuk membunuh orang lain, dan jika tidak mau maka ia yang akan dibunuh, maka dia tetap tidak boleh membunuh orang lain tersebut.
Karena ancaman pembunuhan atasnya adalah bahaya serupa dan setara dengan bahaya pembunuhan terhadap orang lain. Dan bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa atau setara.
3. Kaidah Turunan Ketiga
ضلا
ار
ُرا
الأا
اش
ُّد
ُي از
ِلا
ِاب
ضل
ار ِر
الأا
اخ
ِّف
“Bahaya yang lebih berat harus dihilangkan
dengan mengerjakan bahaya yang lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika bahayanya tidak setara, maka bahaya yang lebih berat bisa dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.
Contohnya adalah jika ada dua kerabat yang salah satunya faqir dan yang lain berkecukupan, maka wajib bagi yang berkecukupan untuk memberi nafkah kepada si Faqir.
Karena meskipun kewajiban memberi nafkah oleh yang berkecukupan adalah bentuk bahaya atasnya, tapi ketiadaan nafkah bagi si Faqir adalah bahaya yang lebih besar.
muka | daftar isi
dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.
4. Kaidah Turunan Keempat
ُي
اتخ
ُرا
اأ
اخ
ُّف
ضلا
ار ار
ِني
“Yang harus dipilih adalah bahaya/resiko yang
lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang memiliki luka ditubuhnya dan luka itu akan mengalirkan darah jika dibawa sujud, maka ia shalat dengan meninggalkan sujud. Karena ia sedang menghadapi dua bahaya; meninggalkan sujud dalam shalat dan shalat dengan bernajis.
Dan shalat bernajis adalah bahaya yang lebih besar daripada shalat tanpa sujud. Maka harus ditempuh bahaya yang lebih ringan.
Begitu pula, meninggalkan sujud dalam hal ini juga bisa menolak bahaya yang lain yaitu keluarnya banyak darah. Maka yang dipilih adalah bahaya atau resiko yang lebih ringan.
5. Kaidah Turunan Kelima
اد
ُءر
ملا
اـ اف
ِسا
ِد
ُم اق
د ٌم
اع
اىل
اج
ِبل
ملا
اـ
اص
ِلا
ِح
“Mencegah mafsadah lebih utama daripada
menarik datangnya maslahah”
Contoh penerapannya :
muka | daftar isi
ia tidak menemukan sarana untuk menutupinya dari pandangan laki-laki, maka wajib baginya untuk mengakhirkan mandi jinabah.
Karena meski dalam mandi janabah terdapat maslahah, namun terbukanya aurat wanita di depan laki-laki adalah mafsadah atau kerusakan yang jauh lebih besar. Dan mencegah mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya maslahah.
6. Kaidah Turunan Keenam
اي ات
اح
م
ُل
ضلا
ار ُر
ااخلا
ُّص
ِل
اد
ِعف
ضلا
ار ِر
اعلا
ِما
“Bahaya khusus harus ditanggung demi menolak
bahaya umum”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon dengan dahan dan ranting yang tumbuh lebat hingga mengganggu para pengguna jalan, maka dahan dan ranting yang mengganggu itu wajib untuk dipotong. Sebab, meski dalam pemotongan tersebut terdapat resiko kerugian bagi si pemilik pohon, hanya saja kerugian tersebut adalah kerugian atau bahaya khusus. Dan gangguan pengguna jalan adalah bahaya umum. Dan bahaya khusus harus ditempuh dan ditanggung demi menolak bahaya umum.
muka | daftar isi
H. Kaidah Kubra Kelima
اعلا
ادا
ُة
ُم اح
ك
ام ٌة
“Adat istiadat dapat dijadikan pijakan hukum”
Adat atau apa yang dianggap sebagai kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum Allah dan sudah berlaku secara umum di tengah masyarakat, bisa dijadikan salah satu pedoman dalam hukum.
1. Kaidah Turunan Pertama
ِا
ِتس
امع
ُلا
نلا
ِسا
ُح
ج
ٌة
اي ِج
ُب
اعلا
ام ِل
ِب
اها
“Tradisi masyarakat (dalam berbahasa) adalah
hujjah yang harus dijadikan pijakan dalam
beramal”
Contoh Penerapan :
Kaidah ini memiliki kemiripan makna dengan kaidah kubranya. Maka sebagian ulama ada yang menyamakan antara keduanya, sedangkan sebagian yang lain ada yang membedakan.
Bagi yang membedakan, perbedaannya adalah bahwa kaidah kubra bersifat umum, sedangkan kaidah ini bersifat khusus, yaitu khusus berlaku dalam tradisi berbahasa saja. Perbedaan tersebut dipicu oleh perbedaan mereka dalam memaknai kata
muka | daftar isi
isti’mal yang terdapat di awal kaidah.
Contohnya adalah ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak minum dari air sungai A. Dan sudah jamak diketahui bahwa masyarakat di sekitar orang tersebut menggunakan makna majazi lebih banyak dari pada menggunakan makna hakiki.
Makna hakiki ‘minum dari sungai’ disini adalah
langsung meneguk dari sungai tersebut tanpa sarana
apapun. Sedangkan makna majazi ‘minum dari sungai’ adalah minum dari air yang diambil atau
bersumber dari sungai tersebut.
Jika orang tersebut kemudian minum dari sungai itu setelah bersumpah untuk tidak minum darinya, maka hukumnya terjadi perbedaan diantara para ulama menjadi tiga pendapat :
Pertama, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika meminumnya dengan sarana seperti minum air dirumahnya yang bersumber dari sungai tersebut, bukan langsung meneguk dari sungai.
Kedua, dia dianggap melanggar sumpahnya baik meneguknya langsung dari sungai seperti para musafir pedalaman, atau minum di rumahnya yang air minumnya memang bersumber dari sungai tersebut.
Ketiga, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika meneguk langsung dari sungai sebagaimana para musafir pedalaman.
2. Kaidah Turunan Kedua
احلا
ِق
اقي
ُة
ُت
ارت
ُك
ِب
اد
الا ال
ِة
اعلا
ادا ِة
muka | daftar isi
“Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika
tradisi masyarakat menggunakan makna majazi”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak
menunjukkan ‘batang hidung’nya di depan bosnya,
maka ia tetap dianggap melanggar sumpahnya jika ia
menunjukkan dirinya dihadapannya. Karena,
walaupun secara hakiki ‘batang hidung’ hanya
menunjukkan salah satu anggota badan, namun yang menjadi tradisi berbahasa masyarakat adalah makna secara majazi. Sebab, makna hakiki sebuah kata
harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat
menggunakan makna majazi.
3. Kaidah Turunan Ketiga
ِإ ن
اما
ُت
اتع
اب ُر
اعلا
ادا
ُة
ِإ اذ
ا
طا
ار اد
ت
اأ
و
اغ ال
اب
ت
“Sebuah tradisi hanya akan bisa diterima sebagai
pijakan hukum ketika tradisi tersebut sudah
berjalan berulang-ulang dan mendominasi”
Contoh penerapannya :
Jika ada dua orang di dua negara yang sedang bertransaksi dalam suatu bisnis internasional dan
mereka sepakat bahwa pembayarannya
menggunakan mata uang dollar tanpa menyebutkan dollar negara mana, maka dollar yang dimaksud adalah dollar amerika. Karena transaksi dengan mata
uang tersebut sudah berulang-ulang dan
muka | daftar isi 4. Kaidah Turunan Keempat
ِعلا
ارب ُة
ِل
اغل
ِلا
ِب
شلا
ِئا
ِع
الا
ِل
نل
ِدا
ِر
“Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan
dominan dan populer bukan kebiasaan yang
langka”
Contoh penerapannya :
Syariat telah menetapkan bahwa umur lima belas adalah batasan dimulainya usia baligh bagi mereka yang tidak memiliki tanda-tanda baligh. Karena usia lima belas adalah usia yang secara kebiasaan dominan manusia sudah mengalami baligh di usia tersebut.
Sedangkan ‘belum mengalami baligh’ pada usia
tersebut adalah kejadian yang sangat jarang terjadi. Sesuatu yang jarang ini, dalam syariat sama sekali tidak dilirik untuk dijadikan sandaran hukum.
Justru yang belum mengalami tanda-tanda baligh di usia lima belas tetap dihukumi sudah baligh hanya dengan menginjak usia lima belas. Karena yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan langka.
5. Kaidah Turunan Kelima
الا
ُي
اكن
ُر
ات اغ
ُّي
ُر
الأا
اكح
ِما
ِب
ات اغ
ُّي
ِر
الأا
امز
ِنا
“Perubahan hukum ijtihadi karena adanya
perubahan zaman sama sekali tidak boleh dicela”
muka | daftar isi
Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu bahwa masjid tidaklah ditutup pada saat kapan pun. Karena masjid adalah tempat suci yang dipersiapkan untuk beribadah.
Namun, ketika zaman berubah, kejahatan
merajalela, maka para ulama kemudian
menfatwakan bolehnya mengunci masjid di luar waktu shalat, demi menjaga masjid dari kesia-sian atau pencurian. Dan perubahan hukum ini sama sekali tidak boleh untuk dicela.