• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemahaman dan penekanan cara pandang para peneliti tentang subak Sutawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemahaman dan penekanan cara pandang para peneliti tentang subak Sutawan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

11

Pengertian tentang subak relatif beragam. Hal ini akibat dari perbedaan pemahaman dan penekanan cara pandang para peneliti tentang subak Sutawan (2008). Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012, subak adalah organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usahatani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosio-agraris, religious, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Definisi ini ditetapkan oleh Gubernur Bali tanggal 17 Desember 2012.

Sutawan (2008) memberikan beberapa definisi tentang subak, yaitu (1) subak sebagai sistem irigasi, selain merupakan sistem fisik juga merupakan sistem sosial. Sistem fisik diartikan sebagai lingkungan fisik yang berkaitan erat dengan irigasi seperti sumber-sumber air beserta fasilitas irigasi berupa empelan, bendung atau dam, saluran-saluran air, bangunan bagi, dan sebagainya, sedangkan sistem sosial adalah organisasi sosial yang mengelola sistem fisik tersebut; (2) subak sebagai organisasi petani pemakai air yang sawah-sawah para anggotanya memperoleh air dari sumber yang sama dan mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul, serta mempunyai otonomi penuh baik ke dalam (mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri), maupun ke luar dalam arti kata bebas mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar secara mandiri; dan (3) subak sebagai lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosio-religius terutama

(2)

bergerak dalam pengelolaan air untuk produksi tanaman setahun khususnya padi berdasarkan prinsip THK.

Di samping itu, Geertz (1980) berpendapat bahwa “subak selain sebagai masyarakat irigasi, subak juga merupakan satu unit perencanaan pertanian, suatu badan hukum yang otonom, dan sebuah komunitas yang religius. Goris (1954) berpendapat bahwa kira-kira tahun 600 masehi terdapat sistem persawahan yang teratur di Bali. Hal ini dibuktikan oleh adanya aungan (terowongan) tempat mengalirnya air ke sungai dan selanjutnya ke lahan pertanian. Walaupun demikian, belum dapat diungkapkan dengan pasti sejak kapan subak di Bali mulai terbentuk.

Keberadaan subak dapat dilihat pada beberapa prasasti, seperti Prasasti Trunyan, Prasasti Sukawana, Prasasti Bebetin, Prasasti Raja Purana. Dalam Prasasti Trunyan tertulis bahwa tahun 881 masehi telah dikenal istilah makar aser yang berarti pekaseh atau pengurus pengairan. Pada tahun 882 masehi dalam Prasasti Sukawana ditemukan istilah huma (sawah) dan perlak (tegalan), kemudian dalam Prasasti Bebetin tahun 896 masehi ditemukan istilah undagi

lancah (tukang pembuat perahu), undagi batu (tukang pembuat batu), dan undagi

pengarung (tukang membuat terowongan air). Pada masa itu sudah dikenal

adanya kilan (bangunan pembagi air) yang mengalirkan air masuk ke petakan sawah. Tahun 1072 masehi, dalam Prasasti Raja Purana disebutkan telah ada pembagian air yang masuk ke petak sawah secara baik dan adil yang berasal dari satu sumber (Purwita, 1997).

(3)

Menurut Purwita (1997), berdasarkan beberapa prasasti tersebut, secara faktual pada tahun 1072 masehi di Bali sudah terbentuk organisasi yang mengatur sistem pengairan di sawah beserta segala kegiatan yang dilakukan oleh anggotanya yang dikenal dengan nama subak. Pada saat Bali berada di bawah naungan Kerajaan Majapahit tahun 1343, diangkat asidahan yang mengkoordinir subak-subak yang ada di Bali (sekarang bernama sedahan) dan bertugas mengurus pungutan upeti atau tigasana (pajak) pertanian. Di setiap kabupaten dibentuk Sedahan Agung yang mengkoordinasikan sedahan-sedahan dalam konteks pembinaan subak dan pemungutan pajak pertanian, pada masa pemerintahan Belanda di Bali. Selain itu, Belanda juga membagi sawah-sawah menurut tingkat kesuburan tanah, sehingga tanah-tanah yang ada di Bali menjadi berklas-klas. Pembagian tanah ini ada hubungannya dengan besar kecilnya pajak yang dipungut. Pembayaran pajak pertanian dilakukan dalam bentuk uang. Dalam upaya mengintensifkan pembayaran pajak, pemerintahan Belanda mengadakan pengukuran luas tanah secara pasti yang disebut klasier (klasifikasi). Berdasarkan hasil klasifikasi dapat diketahui secara pasti luas sawah maupun tegalan, sehingga besarnya pajak dapat ditetapkan.

Purwita (1997) berpendapat bahwa secara kualitatif subak di Bali berkembang. Hal ini antara lain dilihat dari tata organisasi semakin rapi, sehingga subak menjadi wahana yang baik bagi usaha pemerintah untuk meningkatkan intensifikasi pertanian dan berfungsi membantu pemerintah dalam menyalurkan pupuk kepada petani serta sebagai komunikator dalam program siaran perdesaan dan sebagai sarana kontak antar petani dengan pemerintah.

(4)

Dalam Perda Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012 tentang subak, dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut.

1. Subak berasaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan konsep THK dijiwai Agama Hindu (Pasal 2). 2. Tujuan subak mencakup: (1) memelihara dan melestarikan organisasi subak;

(2) mensejahterakan kehidupan petani; (3) mengatur pengairan dan tata tanaman; (4) melindungi dan mengayomi petani; dan (5) memelihara serta memperbaiki saluran air ke sawah (Pasal 3).

3. Kedudukan dan fungsi subak di Provinsi Bali sebagai organisasi tradisional yang mengayomi masyarakat adat di Bali di bidang pertanian dan pengairan (Pasal 7).

4. Subak sebagai organisasi tradisional mempunyai fungsi: (1) membantu

pemerintah dalam meningkatkan pembangunan di bidang pertanian; (2) melaksanakan hukum adat dan adat istiadat dalam subak; (3) menetapkan

awig-awig sebagai suatu kesepakatan dalam mengatur kepentingan sosial,

pertanian, dan keagamaan; (4) membina dan melestarikan nilai-nilai agama dan adat istiadat Bali serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan anggota

berdasarkan paras paros segilik seguluk selunglung sebayantaka; (5) menjaga, memelihara, mengembangkan, dan memanfaatkan kekayaan

subak dan prasarana-prasarana irigasi lainnya guna menjamin kelancaran

tertibnya irigasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat; (6) mengembangkan kemampuan krama subak untuk meningkatkan

(5)

kelestarian wilayah subak dan lingkungannya dalam rangka pertanian berkelanjutan (Pasal 8).

Subak sebagai organisasi tradisional di Bali memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (1) Mempunyai prajuru subak (staf pengurus). (2) Mempunyai krama

subak (anggota subak). (3) Mempunyai wilayah berupa areal persawahan dengan

batas-batas yang jelas. (4) Mempunyai sumber air irigasi dari sebuah empelan (bendungan). (5) Mempunyai satu atau lebih Pura tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan. (6) Mempunyai awig-awig (peraturan-peraturan dasar). (7) Mempunyai otonomi penuh baik ke dalam (mengurus rumah tangganya sendiri) maupun keluar (bebas mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar). Ketujuh ciri yang dimiliki tersebut dapat menjamin tercapainya tujuan subak (Sutawan, 1986).

Subak sebagai organisasi memiliki struktur organisasi subak yang disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1.

Bagan Susunan Organisasi Subak yang Memiliki Beberapa Tempek Tanpa Status Semiotonom (Sutawan, 2008)

Penyarikan (Sekretaris)

Juru raksa/petengen (Bendahara)

Beberapa juru arah

Krama tempek (anggota tempek). Anggota dari

semua tempek adalah anggota Subak. Pekaseh

(Ketua Subak)

Kelian Tempek (Ketua Tempek)

(6)

Sudarta (2005) berpendapat bahwa subak memiliki beberapa nilai tradisional, yaitu (1) nilai kepercayaan yang bersumber pada religi Hindu; (2) nilai kerja; (3) nilai kerjasama yang terlihat dalam bentuk gotong royong dan tolong menolong; (4) nilai musyawarah mufakat; (5) nilai awig-awig; (6) nilai efisiensi dan efektivitas; (7) nilai dewasa-ayu; dan (8) nilai pelestarian alam. Nilai-nilai tradisional subak di atas relevan dengan inovasi di bidang pertanian. Bahkan nilai-nilai tradisional itu dilaksanakan secara terpadu dengan nilai-nilai-nilai-nilai modern.

2.2 Fungsi Subak

Pengelolaan subak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada anggotanya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut pengelola dihadapkan pada fungsi dan tugas pokok dalam subak. Fungsi dan tugas yang dilakukan oleh subak dibagi atas fungsi internal dan eksternal. Secara eksternal, subak mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. Secara internal, subak mempunyai peranan, fungsi, dan tugas yang sangat penting dan mutlak bagi kehidupan organisasi subak maupun anggota-anggotanya dalam hubungannya dengan pertanian. Berikut ini diuraikan lima fungsi/aktivitas subak menurut Sutawan (2008).

2.2.1 Pencarian dan distribusi air irigasi

Sutawan (2008) membedakan pengertian pengalokasian dan pendistribusian air irigasi. Pengalokasian air irigasi adalah kegiatan menjatahkan atau kegiatan memberikan hak pemanfaatan air yang tersedia kepada setiap anggota subak. Di pihak lain, pendistribusian air irigasi adalah penyaluran atau pemberian jatah air yang telah ditetapkan itu dari saluran induk sampai kepada

(7)

petak sawah tiap anggota agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk produksi pangan khususnya beras.

Sudarsana (1984) mengemukakan bahwa fasilitas irigasi yang dibangun subak untuk mendapat air irigasi dari suatu sumber adalah empelan, aungan, saluran, dan bangunan fisik lainnya. Air yang telah didapatkan oleh subak kemudian didistribusikan ke sawah anggota subak sesuai dengan haknya.

Hak atas air anggota subak ditentukan berdasarkan luas sawah yang diukur dengan tektek atau kecoran. Secara umum, air irigasi satu tektek diberikan untuk sawah seluas antara 30 sd 40 are. Satu tektek adalah besarnya air yang mengalir melalui penampang dengan lebar sekitar lima cm dan tinggi sekitar satu cm. Satu

tektek air berarti “satu porsi” air. Hak air satu tektek menuntut kontribusi tenaga

kerja (ayahan) sebanyak satu orang tenaga kerja pada setiap kegiatan subak dan kontribusi materi atau uang (disebut peturunan) sebesar “satu porsi” (Sutawan, 2008).

Sutawan (2008) berpendapat bahwa pendistribusian air ke sawah petani pada umumnya menggunakan dua metode, yaitu (1) metode pengaliran kontinyu

(continuous flow) dan (2) metode bergilir. Dalam metode pengaliran kontinyu,

semua petani mendapatkan air secara serempak pada musim hujan dan musim kemarau. Artinya, semua pintu air dalam keadaan terbuka terus menerus sepanjang tahun. Sebaliknya, dalam metode bergilir tidak semua anggota subak mendapatkan air pada suatu waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam metode bergilir, wilayah subak dibagi dalam dua atau tiga kelompok persawahan.

(8)

Dalam metode bergilir, setiap kelompok persawahan menerima air irigasi pada waktu yang berbeda. Apabila wilayah subak dibagi dalam dua kelompok persawahan maka pada musim hujan kedua kelompok menerima air irigasi (MT Padi I), sedangkan pada musim kemarau untuk MT Padi II: kelompok I menanam padi dan kelompok II menanam palawija, kemudian MT III: kelompok I menanam palawija dan kelompok II menanam padi. Metode ini disebut nugel

bumbung (metode bergilir). Apabila persawahan dibagi dalam tiga kelompok

maka pada musim hujan semua kelompok menerima air irigasi, tetapi pada musim kemarau kelompok hulu (persawahan di bagian hulu) berhak menerima air yang pertama, kemudian digeser ke kelompok menengah (maongin), dan terakhir digeser ke kelompok hilir (ngasep). Dalam beberapa subak, alokasi air dimulai dari bagian hilir, kemudian ke bagian tengah, dan terakhir ke bagian hulu (Sutawan, 2008).

Jaringan irigasi subak sudah dikonstruksi sedemikian lengkap seperti dalam uraian berikut.

1. Empelan/buka/free intake (bangunan pengambilan utama) di sumber airnya

dilengkapi dengan langki atau tanjerig (pembatas aliran banjir).

2. Telabah (saluran pembawa) untuk mengalirkan air dari bangunan utama yang

dilengkapi dengan bangunan pelengkap seperti abangan (talang), telepus (siphon), petaku (terjunan), pekiyuh (peluap samping).

3. Aungan (terowongan) yang dilengkapi dengan lubang udara dan lubang

kontrol, di mana bila lubang tersebut ditempatkan mendatar disebut dengan

(9)

4. Bangunan pembagi air dari pembagi utama sampai saluran pembawa di petak sawah, yaitu tembuku aya (bangunan bagi utama), tembuku pemaron (bangunan bagi), tembuku daanan (bangunan sadap), tembuku pengalapan (bangunan pembagi di petak sawah).

5. Saluran irigasi dari tembuku pemaron disebut dengan telabah pemaron (saluran sekunder), sedangkan saluran irigasi yang membawa air dari

tembuku daanan (bangunan sadap) ke petak sawah disebut dengan telabah

daanan (saluran tersier).

6. Telabah pengutangan (saluran pembuangan) yaitu saluran yang berfungsi

untuk membuang kelebihan air dari petak sawah yang dialirkan kembali ke

pangkung (lembah alam).

Berdasarkan sistem saluran irigasi subak seperti diperlihatkan pada Gambar 2.2 maka dapat dilihat bahwa saluran irigasi dapat melintasi beberapa wilayah administratif. Dengan demikian, keanggotaan subak tidak terbatas dalam satu wilayah administratif. Satu lembaga subak keanggotaannya dapat berasal lebih dari satu desa adat, kecamatan bahkan kabupaten yang berbeda, sesuai dengan wilayah hidrologis dan topografinya. Oleh karena itu, subak dapat dikatakan sebagai lembaga yang otonom terlepas dari lembaga desa adat. Namun demikian, hubungan antara desa adat dengan subak telah berjalan secara harmonis karena masing-masing lembaga dipayungi oleh filosofi ajaran Agama Hindu yang sangat mendalam yaitu THK (Sushila, 2006). Jaringan irigasi subak disajikan pada Gambar 2.2.

(10)

Gambar 2.2.

Jaringan Irigasi Subak (Sushila, 2006) 2.2.2 Operasi dan pemeliharaan fasilitas

Menurut Sutawan (2008), berdasarkan tanggung jawab operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, maka subak dapat dibedakan menjadi (1) subak yang sepenuhnya dikelola oleh petani, yaitu semua urusan persubakan ditangani oleh petani termasuk operasi dan pemeliharaan bendung, jaringan utama, maupun

(11)

jaringan tersier dan (2) subak yang dikelola secara patungan, yaitu jaringan utama (jaringan primer dan sekunder) dikelola oleh pemerintah, sedangkan jaringan tersier oleh subak. Sebagian besar (70%) subak berada dalam katagori yang kedua.

Berdasarkan Peraturan Menteri No. 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, operasi jaringan irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi pada jaringan irigasi yang meliputi penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, pembuangan dan konservasi air irigasi termasuk kegiatan membuka dan menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, kalibrasi, pengumpulan data, pemantauan dan evaluasi. Pengertian pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya (Peraturan Menteri No. 32/PRT/M/2007, 2007).

2.2.3 Mobilisasi sumberdaya dan penggalian dana

Pada umumnya, sumber dana subak adalah (1) sarin tahun, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak setiap habis panen padi. Sarin tahun umumnya dalam bentuk gabah yang besarnya sesuai dengan luas sawah atau hak atas air;

(2) peturunan, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak secara insidental

sesuai dengan kebutuhan subak. Bentuk peturunan dapat berupa uang atau material; (3) dedosan atau denda, yaitu pelaku pelanggaran awig-awig didenda sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran; (4) pengoot; (5) hasil-hasil yang diperoleh dari berbagai kegiatan bisnis yang dilakukan oleh subak, seperti

(12)

kontrak/lelang bebek. Lelang bebek yaitu subak mengontrakkan sawahnya sehabis panen padi kepada para pengembala itik selama dua minggu; dan (6) bantuan pemerintah, yaitu pemerintah membantu subak dalam merehabilitasi sarana dan prasarana (Pitana, 1997; Sudarta, 2002; dan Sutawan, 2008).

Menurut Sudarta dkk. (1989), Pitana (1997), dan Sutawan (2008), dana subak yang terkumpul dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan subak, meliputi pemeliharaan dan perbaikan fasilitas air irigasi (bendungan, saluran air irigasi, dan terowongan), pemeliharaan dan perbaikan pura subak, upacara keagamaan, administrasi, rapat-rapat subak, imbalan pengurus subak, dan keperluan-keperluan lainnya.

2.2.4 Penanganan persengketaan/konflik

Subak sebagai lembaga irigasi sering mengalami konflik terkait dengan air irigasi. Di samping itu, konflik juga dapat bersumber pada batas-batas tanah sawah, adanya pepohonan di perbatasan sawah yang menaungi sawah orang lain, hewan peliharaan yang merusak tanaman orang lain, dan sebagainya (Sutawan, 2008).

Menurut Sutawan (2008), konflik yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan akan dibawa dalam rapat subak. Umumnya konflik yang terjadi tidak sampai menimbulkan benturan fisik dan dapat diselesaikan baik di tingkat

tempek maupun di tingkat subak.

2.2.5 Penyelenggaraan kegiatan ritual

Salah satu keunikan subak dibandingkan dengan organisasi petani pemakai air di luar Bali adalah adanya upacara keagamaan dengan frekuensi yang cukup

(13)

tinggi. Upacara keagamaan mengikuti siklus kehidupan padi, ada yang dilakukan di tingkat petani dan ada pula di tingkat tempek (Sutawan, 2008).

Menurut Sutawan (2008), upacara keagamaan di tingkat petani adalah

(1) ngendagin (memasukkan air ke sawah); (2) ngurit (saat menabur benih di

pembibitan); (3) nuasen (menanam padi); (4) neduh (saat padi berumur 35 hari);

(5) biyukukung (saat padi bunting); (6) banten manyi (saat mulai panen);

(7) mantenin (setelah padi disimpan di lumbung). Pada umumnya, upacara

keagamaan yang dilaksanakan petani di tingkat tempek baik di subak-gede maupun non subak-gede adalah (1) mendak toya, yaitu upacara pada saat mulai mencari air untuk pertama kalinya sebelum MT padi; (2) mebalik sumpah, yaitu upacara yang dilakukan pada saat padi berumur sekitar dua minggu; (3) merebu, yaitu upacara dilakukan menjelang panen; (4) ngusaba, yaitu upacara yang dilaksanakan setelah selesai panen; (5) nangluk merana, yaitu upacara yang dilakukan apabila padi diserang hama dan penyakit yang dipandang membahayakan; (6) pakelem, yaitu upacara yang dilakukan sewaktu-waktu bergabung dengan subak lain; dan (7) odalan, yaitu upacara yang dilakukan di berbagai pura yang disungsung oleh subak.

Keterikatan dan kekompakan dalam kelompok tani di kawasan subak tidak semata-mata karena kepentingan air irigasi, tetapi disebabkan adanya nilai-nilai religius yang berkaitan dengan filosofi dan ditaati oleh anggota subak. Semua aspek kehidupan anggota subak tidak terlepas dari upacara dan sajen sebagai perwujudan doa permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

(14)

Nilai-nilai religius inilah yang menyebabkan organisasi subak tetap ajeg sampai sekarang (Sutawan, 2008).

2.3 Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Subak

Subak sebagai suatu organisasi memerlukan manajemen yang baik untuk mencapai tujuan. Manajemen adalah seni untuk mencapai hasil yang diinginkan secara gemilang dengan sumberdaya yang tersedia bagi organisasi. Manajemen suatu organisasi merupakan sederetan fungsi, yaitu meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, dan pengkoordinasian (5P). Untuk menopang berhasil tidaknya kelima fungsi tersebut perlu ditambah dua fungsi yaitu pengkomunikasian dan pemotivasian. Manajemen sebagai sebuah roda, dengan manajer sebagai porosnya. Kelima fungsi manajemen merupakan jari-jari yang mempengaruhi langsung ke luar kepada tujuan manajer. Roda manajemen melukiskan perlunya memandang manajemen sebagai satu kesatuan, yang masing-masing fungsinya terkait pada keterkaitan antar fungsi yang selaras dan tumpang tindih satu sama lain. Masing-masing fungsi diperlukan sebagaimana jari-jari diperlukan pada roda. Perencanaan menguraikan penetapan program khusus untuk mencapai hasil. Pengorganisasian mencakup pemaduan bagian-bagian organisasi agar cocok satu sama lain. Pengarahan merupakan daya upaya untuk menunjukkan jalan terbaik. Pengkoordinasian menggambarkan usaha-usaha untuk memastikan bahwa “gigi roda” organisasi bertautan dengan lancar. Pengendalian berarti pemeriksaan atas tercapai tidaknya tujuan (David dan Erickson, 1992).

(15)

Motivasi sebagai pemutar atau pengatur kecepatan untuk menjalankan fungsi tersebut. Motivasi menimbulkan gerakan sehingga roda dapat bergerak maju atau mundur. Motivasi yang baik menghasilkan manajemen yang cekatan, efisien, berhasil, dan bergerak menuju sasaran, sedangkan motivasi yang buruk dapat mengakibatkan hal yang sebaliknya. Gambar tempat seluruh roda manajemen berputar menunjukkan komunikasi. Tanpa komunikasi yang baik roda manajemen segera mulai goyang dan mendesit. Bila perhatian tidak diberikan cukup cepat maka seluruh roda tampaknya akan pecah (David dan Erickson, 1992). Perhatian terhadap roda manajemen tersebut perlu dilakukan pula terhadap manajemen subak agar subak dapat mencapai tujuannya.

Subak memiliki sumberdaya yang terbatas untuk dialokasikan ke dalam berbagai fungsi/aktivitas subak termasuk aktivitas usahatani di lahan sawah. Usahatani merupakan salah satu aktivitas dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya subak. Produksi tanaman pangan khususnya padi merupakan produksi utama lahan sawah. Sementara itu, komoditi lainnya dapat diusahakan dalam luas lahan tertentu yang telah ditetapkan oleh subak. Menurut Doll dan Orazem (1984), dalam proses produksi terdapat tiga hubungan dasar sebagai berikut.

1 Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil yang tetap. Hal ini dapat digambarkan dengan bentuk isoquant.

2 Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil yang tidak tetap, yang digambarkan dengan fungsi produksi (production function).

3 Hubungan antara produk satu dengan produk yang lain, yang digambarkan dengan production possibilities curve (PPC).

(16)

PPC merupakan tempat kedudukan kombinasi beberapa komoditas yang diusahakan menurut dimensi ruang dan waktu (Arsyad, 1997). Tiga kombinasi pada PPC adalah (1) kombinasi komplementer, yaitu peningkatan dari satu produk akan menyebabkan peningkatan pada produk yang lain, (2) kombinasi suplementer, yaitu peningkatan satu produk tidak meningkatkan produk yang lain (tetap), dan (3) kombinasi kompetitif, adalah peningkatan satu produk akan menyebabkan penurunan produk yang lain.

Dalam pengambilan keputusan atas dasar PPC perlu memperhatikan konsep opportunity cost. Konsep opportunity cost adalah apabila hendak meningkatkan salah satu produk tertentu maka produk yang lain harus dikurangi. Menurut Epp dan Malone (1981), maksimisasi profit terjadi pada PPC dengan kombinasi kompetitif, karena pada daerah tersebut terjadi persaingan penggunaan sumberdaya terbatas. Hubungan antara kombinasi dua produk (output) dari sumberdaya (input) yang terbatas dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3.

Hubungan antara Dua Output dari Pengalokasian Input yang Terbatas (Epp dan Malone, 1981)

A PL PPC Q1 Q1* 0 Q2* Q2

(17)

Pengelola yang rasional akan mempertimbangkan setiap titik yang ada pada PPC. Pada Gambar 2.3, titik yang berada dibawah PPC mewakili tingkat produksi dibawah potensi sumberdaya yang tersedia. Titik singgung (titik A) antara PPC dengan garis harga merupakan kombinasi output Q1 dan Q2 yang

dapat memaksimalkan penerimaan. Garis harga adalah rasio (negatif) antara harga Q1 dan Q2. Rasio harga (slope garis harga) yang negatif ini mewakili laju

pertukaran Q1 dan Q2. Di titik A, pada PPC terjadi tradeoff fisik antara Q1 dan Q2,

sedangkan garis harga merupakan tradeoff finansial (Darmawan, 2011).

Berkaitan dengan sumberdaya subak yang terbatas merupakan kendala dalam menjalankan beragam fungsi subak maka perlu perencanaan yang matang dalam alokasi penggunaan sumberdaya tersebut. Hal ini perlu dilaksanakan agar tujuan subak untuk mensejahterakan anggotanya dapat dicapai. Untuk memecahkan permasalahan tersebut maka diperlukan optimalisasi pengelolaan fungsi/aktivitas subak.

Keuntungan dari model optimalisasi adalah model mampu

mengungkapkan dua hal penting dari permasalahan yang dihadapi, yaitu (1) penyelesaiannya memberikan nilai-nilai bagi alternatif aktivitas yang

diperlukan untuk mencapai nilai maksimal atau minimal dari fungsi tujuan, dan (2) menunjukkan kendala-kendala yang perlu untuk dilonggarkan guna memperbaiki nilai optimal dari fungsi tujuan. Kedua permasalahan ini dapat dipecahkan dengan menggunakan program linier (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

(18)

Keunggulan program linier dalam optimalisasi pengelolaan fungsi subak adalah (1) penyelesaiannya dapat memberikan nilai-nilai bagi alternatif aktivitas

yang diperlukan untuk mencapai produktivitas maksimal subak, dan (2) menunjukkan kendala-kendala yang perlu untuk dilonggarkan untuk

memperbaiki nilai produktivitas subak. Pengoptimalan penggunaan sumberdaya subak dapat menentukan pola pengelolaan fungsi subak yang paling menguntungkan dari beberapa alternatif aktivitas yang ada.

Program linier pada hakekatnya merupakan suatu teknik perencanaan yang bersifat analitis. Analisis yang dipakai adalah model matematika, dengan tujuan menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah. Setelah itu menemukan beberapa alternatif pemecahan masalah, kemudian dipilih alternatif yang terbaik di antaranya dalam rangka menyusun strategi dan langkah-langkah lebih lanjut tentang alokasi sumberdaya yang terbatas guna mencapai tujuan yang diinginkan secara optimal (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

Program linier sebagai alat optimasi pertama kali dipakai tahun 1947 oleh seorang ahli matematika George Dantzig dalam memecahkan masalah pasokan pada Angkatan Udara Amerika Serikat. Metode tersebut dikembangkan untuk memecahkan masalah kegiatan-kegiatan di sektor perekonomian yang lebih luas seperti di sektor perhubungan, sektor perindustrian, dan sektor lainnya (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

(19)

2.4 Landasan Teori

2.4.1 Hubungan fungsi produksi dengan pemograman linier

Fungsi produksi menunjukkan hubungan teknis antara input dengan

output. Dalam konsep efisiensi produksi dikenal istilah efisiensi teknik dan

efisiensi ekonomis. Efisiensi teknik mengacu pada tingkat output maksimum yang secara teknik produksi dapat dicapai dari penggunaan kombinasi input tertentu dalam proses produksi. Sedangkan efisiensi ekonomis mengacu pada kombinasi penggunaan input yang secara ekonomis mampu menghasilkan output tertentu dengan biaya yang seminimal mungkin pada tingkat harga input yang berlaku (Gaspersz, 2008). Doll dan Orazem (1978) berpendapat bahwa efisiensi ekonomi sebagai konsep normatif terjadi jika sumberdaya yang tersedia dialokasikan secara optimal dalam proses produksi.

Dalam kegiatan usahatani, petani anggota subak berhadapan dengan faktor produksi yang terbatas. Oleh karena itu, dalam penelitian ini semua fungsi diasumsikan berada dalam kondisi linier. Sesuai dengan Hukum Minimum Leibig yang menyebutkan bahwa input yang terbatas jumlahnya mempunyai hubungan yang linier dengan output. Hal ini berarti kenaikan output proporsional terhadap

input yang jumlahnya terbatas. Seperti dinyatakan oleh Hartono (1983) bahwa

petani dengan modal yang terbatas sering dihadapkan dengan fungsi produksi linier.

Menurut Heady dan Agrawal (1972) program linier merupakan suatu metode analisis yang secara matematis dapat menurunkan suatu keputusan yang optimal bagi pengambilan keputusan dalam rencana ekonomi yang tidak terbatas

(20)

pada satu macam kendala saja. Hubungan antara fungsi produksi dengan program linier disajikan pada Gambar 2.4.

Keterangan:

P1 : aktivitas produksi 1

P2 : aktivitas produksi 2

A : output yang dihasilkan oleh P1

B : output yang dihasilkan oleh P2

AB : production indifferent curve

AC : profit indifferent curve

X1*, X2* : sumberdaya X1 dan X2 yang tersedia

E : keuntungan maksimum

Gambar 2.4.

Hubungan antara Input dengan Berbagai Output (Baumol, 1977)

Pada Gambar 2.4 (Baumol, 1977) menjelaskan bahwa apabila aktivitas produksi 1 (P1) menghasilkan 10 unit Q di titik A dan aktivitas produksi 2 (P2)

menghasilkan 10 unit Q di titik B maka terbentuk kurva AB yang sering disebut

production indifferent curve, yaitu merupakan suatu kurva yang menggambarkan

aktivitas produksi (P1 dan P2) yang dapat menghasilkan produksi sama. Jika satu

unit Q dapat menghasilkan keuntungan Rp 1,00 pada P1 maka 10 unit Q akan

menghasilkan keuntungan Rp 10,00. Apabila satu unit Q dapat menghasilkan keuntungan Rp 1,25 pada P2 maka untuk menghasilkan keuntungan sebesar

Rp 10,00 maka P2 harus memproduksi sebesar delapan unit Q. Oleh karena itu

terbentuk profit indifferent curve (AC), yaitu kurva yang menggambarkan E P2 A B X2 X2* 0 X1* X1 P1 C

(21)

keuntungan yang sama dari aktivitas produksi P1 dan P2. Pada Gambar 2.4 dapat

dilihat bahwa melalui penggunaan input sebesar X1 dan X2 dari sumberdaya yang

tersedia akan menghasilkan keuntungan maksimum di titik E. 2.4.2 Prinsip optimasi dalam pengelolaan fungsi subak

Subak memiliki sumberdaya terbatas dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Oleh karena itu, salah satu keputusan manajerial yang sangat penting adalah alokasi sumberdaya subak yang terbatas. Salah satu metode analisis yang baik untuk menyelesaikan persoalan alokasi sumberdaya adalah metode program linier (linear programming/LP).

Dalam analisis program linier dirumuskan suatu hubungan antara

input-output adalah linier dan koefisien input-output mempunyai nilai penduga tunggal.

Metode LP dapat digunakan dalam perencanaan ekonomi skala makro karena LP memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Keunggulan-keunggulan metode LP adalah sebagai berikut.

1. LP telah berhasil menjadi alat analisis yang berdayaguna tinggi dalam perencanaan pembangunan.

2. LP sebagai alat pembangunan ekonomi lebih realistis.

3. Metode LP memperhatikan kendala-kendala sumberdaya dan sumberdana yang tersedia (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

Selain keunggulan-keunggulan tersebut maka LP juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu sebagai berikut.

(22)

2. Jika fungsi tujuan telah ditetapkan, tidak dengan mudah dapat ditemukan adanya berbagai kendala sosial kelembagaan, finansial, dan lainnya yang mungkin menghambat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

3. Berdasarkan tujuan tertentu dan sekumpulan kendala maka mungkin kendala-kendala tersebut tidak dapat dinyatakan secara langsung sebagai ketidaksamaan linier.

4. Jika masalah teratasi, masalah pokoknya adalah masalah memperkirakan nilai yang relevan dari berbagai koefisien konstan yang masuk ke dalam masalah linier.

5. Bahwa LP didasarkan pada asumsi hubungan linier antara input dan output, padahal dalam kenyataan kebanyakan hubungan input-output adalah tidak linier.

6. Teknik ini mengasumsikan adanya persaingan murni dalam produk dan pasar faktor produksi, tetapi kompetisi murni bukanlah suatu realita.

7. Teknik LP didasarkan pada asumsi penerimaan konstan dalam perekonomian, sedangkan dalam kenyataan penerimaan itu tidak konstan (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

Selain keunggulan dan kelemahan tersebut maka dalam menggunakan LP diperlukan beberapa asumsi, yaitu sebagai berikut.

1. Linearity artinya fungsi-fungsi tujuan dan batasan-batasan harus berupa suatu

fungsi linier.

2. Additivity yaitu nilai tujuan tiap-tiap kegiatan tidak saling pengaruh

(23)

diakibatkan oleh kenaikan suatu kegiatan dapat ditambahkan tanpa mempengaruhi bagian nilai (Z) yang diperoleh dari kegiatan lain.

3. Proportionality artinya naik turunnya nilai (Z) dan penggunaan sumber atau

fasilitas yang tersedia akan berubah secara sebanding dengan perubahan tingkat kegiatan.

4. Divisibility artinya baik input maupun output dapat berupa bilangan pecahan.

5. Non-negativity artinya setiap input, output serta penyelesaian yang dihasilkan

tidak boleh negatif.

6. Deterministic (certainty), single value expectation, artinya semua input atau

koefisien dari aktivitas harus mempunyai nilai tertentu atau pasti (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam optimalisasi penggunaan sumberdaya subak menggunakan metode LP perlu dipertimbangkan agar hasilnya secara operasional dapat diterapkan dengan kendala yang dimiliki subak, sehingga dapat menghasilkan produktivitas maksimal.

Langkah-langkah yang diperlukan dalam penyusunan model program

linier adalah (1) menentukan aktivitas; (2) menentukan sumberdaya; (3) menghitung input-output setiap aktivitas (koefisien aktivitas); (4) menentukan

kapasitas kendala; (5) menyusun model (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

(24)

2.4.2.1 Program linier dalam bentuk primal

Menurut Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987), Mulyono (1991), dan Taha (1992), secara umum bentuk matematis model program linier yang memaksimalkan fungsi tujuan adalah sebagai berikut.

I Fungsi tujuan: Maksimalkan Z= C1X1 + C2X2 + … + CnXn II Faktor pembatas: a11X1 + a12X2 + … + a1nXn < b1 a21X1 + a22X2 + … + a2nXn < b2 . . am1X1 + am2X2 + … + amnXn < bm Di mana: X1, X2, … , Xn > 0

Dalam bentuk sederhana menjadi: I Fungsi tujuan: Memaksimalkan Z = n j j ijX C 1 II Faktor pembatas: i n j j ijX b a 1

III Aktivitas tidak negatif: Xj > 0 untuk seluruh j.

Di mana: i = 1, 2, 3, …, m (banyaknya faktor pembatas) j = 1, 2, 3, …, n ( banyaknya aktivitas)

Keterangan:

Z : fungsi tujuan yang dimaksimalkan C : kontribusi

Xn : aktivitas-aktivitas

amn : koefisien input-output dari masing-masing aktivitas

(25)

2.4.2.2 Program linier dalam bentuk dual

Menurut Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987), Mulyono (1991), dan Taha (1992), setiap masalah primal dalam program linier akan diikuti dengan masalah dual (kembar). Teori dual dalam programasi linier memegang peranan penting terutama untuk analisis sensitivitas.

Persoalan program linier dalam bentuk: Memaksimalkan: Z = ∑ CjXj dengan

Kendala: ∑ aijXj ≤ bi, untuk i = 1, 2, 3, …, m dan

Xj ≥ 0, untuk j = 1, 2, 3, …n. Hal ini disebut primal problem,

sedangkan dualnya adalah: Y0 = ∑ bi Yi,

Dengan syarat: ∑ aij Yi ≥ Cj untuk j = 1, 2, 3, …, n dan

Yi ≥ 0, untuk i = 1, 2, 3, …, m.

Kondisi optimal dari masalah primal merupakan satu-satunya jawaban yang

feasible bagi permasalahan dual. Oleh karena itu, nilai Z maksimal pada masalah

primal adalah Y0 minimum pada masalah dual. Jika jawaban optimal masalah

primal telah ditentukan maka nilai-nilai dual variabelnya (shadow price) dipakai

untuk mengevaluasi apakah alokasi sumberdaya harus dirubah. Shadow price Yi*

untuk sumber i menunjukkan berapa harga per unit yang bersedia dibayar untuk menaikkan alokasi sumberdaya tersebut (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992). Hubungan antara permasalahan primal dengan dual suatu program linier oleh Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987), Mulyono (1991), dan Taha (1992) digambarkan seperti pada Gambar 2.5.

(26)

PRIMAL Koefisien X1 X2 X3 ……… Xn NK D U A L K o e f i s i e n Y1 a11 a12 a13 ……… a1n ≤ b1 Koefisien Y2 a21 a22 a23 ……… a2n ≤ b2 Fungsi Y3 a31 a32 a33 ……… a3n ≤ b3 Tujuan . . . . ……… . . . . . . ……… . . Minimisasi Ym am1 am2 am3 ……… amn ≤ bm NK ≥C1 ≥C2 ≥C3 ……… ≥Cn

Koefisien Fungsi Tujuan Maksimisasi

Gambar 2.5.

Hubungan Primal-Dual dalam Persoalan Program Linier (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992)

Pada Gambar 2.5, bagian mendatar adalah masalah primal dan bagian tegak adalah masalah dualnya. Hubungan antara primal-dual adalah sebagai berikut.

1. Parameter di batasan primal (dual) merupakan variabel dual (primal).

2. Koefisien fungsi tujuan primal (dual) merupakan nilai kanan bagi dual (primal).

3. Jika primal adalah masalah maksimisasi maka dualnya adalah minimisasi atau sebaliknya.

4. Jika masalah primal mempunyai n variabel dan m kendala maka dualnya mempunyai m variabel dan n kendala.

5. Penyelesaian salah satu primal atau dual akan memberikan suatu penyelesaian untuk keduanya.

(27)

Dual dari masalah primal adalah masalah primal dari dual. Berikut adalah hubungan primal-dual dalam persoalan programasi linier (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

Setelah diketahui penyelesaian maksimal dari suatu masalah programasi linier maka dilanjutkan dengan analisis sensitivitas yang dapat digunakan untuk mendeterminasi pengaruh perubahan nilai koefisien input-output dan sumberdaya yang tersedia pada solusi optimal. Menurut Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987), Mulyono (1991), dan Taha (1992), analisis sensitivitas terdiri atas dua bentuk, yaitu (1) perubahan koefisien biaya (variabel price programming) dan (2) perubahan faktor pembatas (variabel resource programming). Lebih jelas kedua bentuk analisis ini adalah sebagai berikut.

1. Variabel price programming. Analisis ini digunakan untuk mendeterminasi

pengaruh perubahan harga sumberdaya dan aktivitas. Bentuk secara matematiknya:

Memaksimalkan: Z = C X, dengan syarat: Ax ≤ B dan X ≥ 0 Di mana: C = c1, c2, c3, …, cj1, …, cn1 (untuk permasalahan asli)

C’ = c1, c2, c3, …,c’j1, …, cn1 (untuk permasalahan baru)

C dan C’ berbeda pada elemen ke-j, di mana j ≥ 0 dan C’j = Cj + j Maka permasalahan baru menjadi:

Memaksimalkan Z = C’X dengan syarat Ax ≤ B dan x ≥ 0.

2. Variabel resource programming. Analisis ini digunakan untuk

mendeterminasi pengaruh perubahan jumlah sumberdaya yang tersedia. Bentuk matematiknya:

(28)

Di mana: B = b1, b2, …, bi, …, bm (untuk permasalahan asli)

B’= b1, b2, …, b’i, …, bm (untuk permasalahan baru)

B dan B’ berbeda pada elemen ke-i, di mana i ≤ 0 atau i ≥ 0 dan b’i = b + i, maka persamaan baru menjadi:

Memaksimalkan Z = C X dengan syarat: Ax ≤ B’ dan x ≥ 0.

Perubahan yang terjadi setelah dicapainya penyelesaian yang optimal terdiri atas beberapa hal sebagai berikut.

1. Perubahan nilai kanan fungsi batasan. Perubahan ini menunjukkan adanya pengetatan atau pelonggaran batasan tersebut. Makin besar nilai kanan suatu fungsi batasan, berarti makin longgar dan sebaliknya, semakin ketat batasan tersebut bilamana nilai kanan dari fungsi batasan diperkecil.

2. Perubahan pada koefisien fungsi tujuan. Perubahan ini menunjukkan adanya perubahan kontribusi masing-masing produksi terhadap tujuan.

3. Perubahan pada koefisien teknis fungsi batasan. Koefisien-koefisien yang menunjukkan berapa bagian kapasitas sumberdaya yang digunakan oleh satu satuan kegiatan. Perubahan terhadap koefisien-koefisien teknis fungsi-fungsi tujuan akan mempengaruhi fungsi-fungsi batasan pada dual program sehingga akan mempengaruhi penyelesaian optimal.

4. Menambahkan batasan baru. Penambahan batasan baru akan mempengaruhi penyelesaian optimal apabila batasan baru tersebut aktif atau semua sumberdaya habis digunakan. Oleh karena itu, tambahan batasan baru dapat mempengaruhi penyelesaian optimal.

Dalam program ini, peningkatan produktivitas dicapai melalui pengurangan input yang tidak perlu dan mengurangi sedikit output. Pengurangan

(29)

input lebih besar daripada pengurangan output (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

2.5 Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian subak terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Suyatna (1982) meneliti tentang ciri-ciri kedinamisan kelompok sosial tradisional di Bali dan peranannya dalam pembangunan. Sistem pertanian di Bali berkait erat dengan sistem subak, karena sistem subak mengelola sistem irigasi dari sektor pertanian, dan juga mengatur pola dan jadual tanam. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sistem subak menjadi penunjang utama dari eksistensi sektor pertanian. Sistem subak juga memiliki peranan yang sangat nyata dalam proses pembangunan nasional. Dengan demikian, untuk menyelamatkan sektor pertanian maka sistem subak sangat perlu lebih diberdayakan.

Windia (2002) meneliti tentang transformasi sistem irigasi subak yang berlandaskan Konsep THK. Sistem irigasi subak merupakan teknologi yang sepadan bagi anggota subak yang bersangkutan. Sistem irigasi subak bersifat memiliki peluang untuk ditransformasi ke wilayah lain, sejauh nilai-nilai kesepadanan teknologi yang dimiliki dapat terpenuhi.

Sarjana (2005) meneliti tentang keberdayaan masyarakat pedesaan dalam pelestarian subak di Bali (Kasus Subak Giri Mertha Yoga, Desa Mengani, Bangli).

Budiasa (2005) mendeskripsikan eksistensi institusi subak dengan berbagai aktivitasnya baik yang mengelola sistem irigasi permukaan maupun

(30)

sistem irigasi pompa air tanah serta menawarkan beberapa konsep pengembangan sistem pertanian beririgasi berkelanjutan berbasis sistem subak dan konsep perencanaan strategis pengembangan dan penguatan institusi subak.

Suamba (2005) telah merumuskan pola pengembangan unit usaha pada subak yang ditujukan untuk menunjang kemandirian dalam pengelolaan jaringan irigasi.

Sutawan (2005) merumuskan konsep subak lestari/berkelanjutan. Kelestarian subak akan terwujud jika (1) kelestarian organisasi subak

(institutional sustainability); (2) kelestarian jaringan irigasi (technical

sustainability); (3) kelestarian produksi pangan (economic sustainability);

(4) kelestarian ekosistem lahan sawah (ecological sustainability); (5) dan kelestarian nilai-nilai sosial budaya/ritual keagamaan (socio-cultural

sustainability); dan kelestarian DAS dan sumberdaya air bagian hulu

(environmental sustainability) dapat dijaga.

Telah banyak dilakukan penelitian tentang subak. Di atas telah disajikan beberapa penelitian terkait dinamika subak; pemberdayaan subak; transformasi sistem irigasi subak; pelestarian subak.

Penelitian tersebut menggambarkan bagian dari road map kebaruan penelitian tentang “Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Sistem Subak di Daerah Irigasi Kedewatan, Provinsi Bali”, karena belum pernah dilakukan peneliti sebelumnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif menggunakan programasi linier dengan unit analisisnya adalah subak. Penelitian dilakukan dalam satu daerah irigasi.

(31)

Di samping itu, road map kebaruan penelitian tentang “Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Sistem Subak di Daerah Irigasi Kedewatan, Provinsi Bali” disajikan dalam bentuk ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai berikut. 1. Ontologi dalam penelitian ini, terdiri atas: (1) pola pengelolaan fungsi subak

yang optimal; (2) kelestarian sistem subak; (3) sistem subak memiliki peluang untuk ditransformasi; dan (4) telah ditemukan indikator dalam mentransformasi subak. Dengan demikian, subak dapat dilestarikan.

2. Epistemologi

Penelitian “Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Sistem subak di Daerah Irigasi Kedewatan, Provinsi Bali” didukung oleh beberapa analisis yang terdiri atas: (1) analisis kelayakan usahatani; (2) analisis kebutuhan air irigasi; dan (3) analisis program linier.

3. Aksiologi penelitian ini, terdiri atas: (1) meningkatkan keragaan subak; (2) alternatif pola pengelolaan fungsi subak yang selayaknya dilaksanakan oleh Subak Lodtunduh dan Subak Padanggalak: (3) alternatif teknik distribusi air irigasi yang dapat dilaksanakan berkaitan dengan melestarikan dan mentransformasikan subak.

Referensi

Dokumen terkait

adalah pajak yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi subjek pajak dalam negeri berupa gaji, upah, honorarium,

Namun, impor tidak selalu dipengaruhi oleh pendapatan saja namun turut dipengaruhi faktor lain yang berkaitan dengan keseimbangan permintaan dan penawaran yang terjadi,

Bahwa Setelah kedua pasangan calon melakukan perbaikan syarat calon dan pencalonan dari tanggal 6 September sampai dengan 10 September 2015, pada hari Kamis

Berdasarkan hasil penelitian dan analis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut Return On Assets (ROA) berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan

72 baik tidak merespo n dengan baik akan berdamp ak pada lingkung an ng peran masyarak at manapun T4 (Penanga nan dan Pengelol aan Sampah Belum Optimal) Respon

PENERIMA DANA PROGRAM KEMITRAAN BAGI MASYARAKAT (PKM) SUMBER DANA DIPA UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN.

BERLAKUNYA HUKUM TIDAK TERTULIS YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT DALAIN ICONTEKS ASAS

Dari hasil penelitian ini akan terlihat bagaimana mahasiswa menerapkan peraturan tata guna lahan pada hasil tugas SPA 3 sesuai ketentuan yang telah diatur dalam RTRW