• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis terhadap pasal 210 Kompilasi Hukum Islam tentang kadar hibah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis terhadap pasal 210 Kompilasi Hukum Islam tentang kadar hibah"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

dalam bidang Ilmu Hukum Keluarga Islam Dosen Pembimbing: Yunita Dewi Septiana, S. Ag., MA

Disusun Oleh: Da’i Rif’at Fikri

122111042

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

(2)
(3)

iii

َنَمآ ْنَم َّرِبْلا َّنِكََٰلَو ِبِرْغَمْلاَو ِقِرْشَمْلا َلَبِق ْمُكَهوُجُو اوُّلَوُ ت ْنَأ َّرِبْلا َسْيَل

ِهِّبُح َٰىَلَع َلاَمْلا ىَتآَو َنيِّيِبَّنلاَو ِباَتِكْلاَو ِةَكِئ َلََمْلاَو ِر ِخ ْلْا ِمْوَ يْلاَو ِهَّللاِب

َسَمْلاَو َٰىَماَتَيْلاَو َٰىَبْرُقْلا يِوَذ

ِباَقِّرلا يِفَو َنيِلِئاَّسلاَو ِليِبَّسلا َنْباَو َنيِكا

اوُدَهاَع اَذِإ ْمِهِدْهَعِب َنوُفوُمْلاَو َةاَكَّزلا ىَتآَو َة َلََّصلا َماَقَأَو

ۖ

َنيِرِباَّصلاَو

ِسْأَبْلا َني ِحَو ِءاَّرَّضلاَو ِءاَسْأَبْلا يِف

ۖ

اوُقَدَص َنيِذَّلا َكِئََٰلوُأ

ۖ

َكِئََٰلوُأَو

ُمُه

َنوُقَّ تُمْلا

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al- Baqarah : 177)

(4)
(5)

v

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati, perjuangan dan pengorbanan yang diiringi do‟a. Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, taufiq dan inayah-Nya. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang kita nantikan syafa‟atnya hingga hari akhir nanti. Amiin

Karya sederhana ini, penulis persembahkan kepada:

1. Keluarga di rumah, khususnya ayah ibu tercinta, yaitu; Bapak A. Supriyono dan Ibu Malekhatun Nafi‟ah, yang dengan perjuangan, ketulusan, kasih sayang, restu, dan do‟a beliau kepada penulis. Salam ta‟dzim, semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan rahmat, memberi panjang umur dan sehat selalu, serta memberi ampunan dan kebahagiaan di dunia hingga akhirat kepadamu orang tua penulis. Amiin

2. Kepada istri tercinta Nur Laili Khoiriyah S.H yang senantiasa memberi motivasi, semangat, kasih sayang, cinta serta do‟a kepada penulis. Semoga senantiasa di beri kesehatan, ilmu yang manfaat serta rizki yang barokah dari Allah SWT. Amiin

3. Tidak lupa kepada kakak tercinta dan istri, Mas Saiful Mujab Wilayati Ula dan Mbak Umi Setyaningsih serta Si Kecil Dek Azza Adzin Mubarok Wilayatil Ula beserta keluarga besar saya yang tiada henti memberi support baik moral maupun moril.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dalam langkah kita. Amin Ya Robbal „Alamin.

Semarang 25 Juli 2019 Penulis,

(6)

vi DEKLARASI

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak memuat materi yang telah ditulis maupun diterbitkan pihak manapun. Demikian juga skripsi ini tidak memuat atau mengandung tulisan siapapun, selain berbagai sumber yang telah penulis sebutkan dalam referensi yang dijadikan sebagai rujukan pembuatan skripsi ini.

Semarang 4 Juli 2019 Penulis,

Da‟I Rif‟at Fikri NIM: 122111042

(7)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi merupakan hal yang penting dalam skripsi karena pada umumnya banyak istilah Arab, nama orang, judul buku, nama lembaga dan lain sebagainya yang aslinya ditulis dengan huruf Arab harus disalin ke dalam huruf Latin. Untuk menjamin konsistensi, perlu ditetapkan satu pedoman transliterasi sebagai berikut:

A. Konsonan

ء

= '

ز

= z

ق

= q

ب

= b

س

= s

ك

= k

ت

= t

ش

= sy

ل

= l

ث

= ts

ص

= sh

م

= m

ج

= j

ض

= dl

ن

= n

ح

= h

ط

= th

و

= w

خ

= kh

ظ

= dz

ھ

= h

د

= d

ع

= „

ي

= y

ذ

= dz

غ

= gh

ر

= r

ف

= f B. Vokal

َ

= a

َ

= i

َ

= u C. Diftong

يَا

= ay

وَا

= aw

(8)

viii E. Kata Sandang (...لا)

Kata sandang (...لا) ditulis dengan al-…., misalnya:

ة َعاَن ِص لَا

= al-shina‟ah.

Al- ditulis dengan huruf kecil kecuali jika terletak pada permulaan kalimat. F. Ta’ Marbuthah (ة)

Setiap ta‟ marbuthah ditulis dengan “h”, misalnya:

ْةَشْيِعَمْلَا

(9)

ix

ABSTRAK

Pembentukan hukum Islam di Indonesia, secara historis terdapat sebuah kumpulan hukum yang berbentuk bab, pasal dan ayat. Yang dibentuk dan disusun oleh sebuah panitia kerja selama kurang lebih lima tahun. Dimulai pada tahun 1983, yaitu setelah penandatanganan SKB 6 Ketua mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. Hal ini dilakukan untuk keseragaman dan rujukan hakim-hakim pada pengadilan Agama. Sehingga pada tahun 1988 rumusan hukum tersebut diajukan kepada pemerintah untuk dijadikan sebuah perundang-undangan. Selama tiga tahun lebih menanti akan disahkannya rancangan tersebut. Sehingga akhirnya pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991, yang populer dengah nama Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Lalu dengan terbentuknya KHI yang merupakan sebuah hasil karya para ulama Indonesia. Jika dikembalikan kepada sumber fiqh, setidaknya memunculkan beberapa pertanyaan; Apakah KHI merupakan transformasi dari fiqih Islam; Jika merupakan transformasi, kitab apakah yang menjadi sumber rujukannya; Sudahkan sinergis dengan sumber aslinya?

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan Hibah dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui bagaimana Analisis terhadap Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam tentang Kadar Hibah.

Jenis penelitian ini adalah Studi Pustaka (Library Research) Penelitian ini dilakukan dengan cara data-data dikumpulkan dengan membaca buku-buku ataupun perundang-undangan berhubungan dengan masalah yang dibahas. Data yang diperoleh melalui studi pustaka akan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu dengan menguraikan analisis terhadap pasal 210 kompilasi hukum islam tentang kadar hibah.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan, Pertamamaka batasan 1/3 harta yang dihibahkan itu sama dengan wasiat. Ini berarti bahwa 1/3 harta yang dihibahkan adalah mengqiyaskannya kepada wasiat. Hal ini terdapat pemahaman dari kalangan para ulama, bahwa ketika harta itu dihibahkan maka harus ada pembatasan sekalipun dalam nash tidak disebutkan secara tertulis. Akan tetapi ketentuan 1/3 itu merujuk pada ketentuan wasiat, sebab memiliki kesamaaan. Secara aqli bahwa pemahaman para ulama tentang ketentuan hibah 1/3 itu difahamkan bahwa apabila harta itu dihibahkan semuanya, maka akan berkonsekuensi pada pemilik harta hibah dan eksistensi ahli waris. Kedua,

Pembatasan kadar hibah pada Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam tidak boleh melebihi sepertiga adalah untuk menjaga hak-hak ahli waris, dan jika dibolehkan maka sama halnya dengan menggugurkan hak-hak mereka untuk mendapatkan warisan. Hibah dalam KUHPerdata dan kompilasi hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari batasan harta yang boleh dihibahkan, walaupun bagian-bagiannya berbeda dalam menentukan besar kecil harta yang dihibahkan, tetapi prioritas utama dalam hibah harus mempertimbangkan ahli

(10)

x

Kata kunci: Hibah, Kadar Hibah, Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam

KATA PENGANTAR











Dengan segala kerendahan hati, perjuangan dan pengorbanan yang diiringi do‟a. Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, taufiq dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Terhadap Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam Tentang Kadar Hibah”. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang kita nantikan syafa‟atnya hingga hari akhir nanti. Amiin

Skripsi ini digunakan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata I (S.1) dalam bidang Ilmu Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

Dalam proses penyusunan skripsi, penulis mendapatkan banyak bimbingan, dukungan, saran-saran, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi besar dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Ibu Yunita Dewi Septiana, M. Ag., MA selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, memberikan arahan, dan yang selalu memberikan kontribusi tenaga dan pikirannya dalam penyusunan skripsi ini.

2. Orang tua tercinta, Bapak A. Supriyono dan Ibu Malekhatun Nafiah serta Istri Tercinta Nur Laili Khoiriyah S.H yang senantiasa memberikan doa dan motivasi

(11)

xi

dikeluarkan khususnya yang berkaitan dengan kelancaran penulisan skripsi ini. 4. Bapak Dr. H. Akhmad Arif Junaidi, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

5. Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islām Negeri Walisongo Semarang.

6. Dewan penguji sidang munaqosah

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan serta staf dan karyawan Fakultas Syari‟ah dan Hukum dengan pelayanannya..

8. Prof. Dr. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor UIN Walisongo Semarang. 9. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan

menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih atas seluruh bantuan, motivasi, dan do‟a yang telah diberikan kepada penulis. Penulis hanya bisa mendoakan agar menjadi amal kebaikan yang akan mendapat balasan dari Allah SWT.

Penulis menyadari dalam penelitian ini terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca agar menjadi karya yang lebih baik.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.

Semarang 25 Juli 2019 Penulis,

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN MOTTO ... iii

PENGESAHAN………...………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN DEKLARASI ... vi

HALAMAN TRANSLITRASI ... vii

HALAMAN ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... ... 1 B.Rumusan Masalah ... 10 C.Tujuan Penelitian... 10 D.Telaah Pustaka... 10 E. Metode Penulisan ... 15 F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HIBAH A.Hibah Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Hibah ... 18

2. Dasar Hukum Hibah ... 20

3. Rukun Hibah……….20

4. Syarat-syarat Hibah ... 23

(13)

xiii

2. Dasar Hukum Hibah ... 32

3. Syarat-syarat Hibah ... 33

BAB III : HIBAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM A.Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam………...…42

1. Pengertian Hibah ... 43

2. Dasar Hukum Hibah ... 44

B.Ketentuan Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam ... 44

1. Batasan Usia Penghibah………45

2. Kepemilikan Harta………46

3. Kadar Hibah………..46

4. Hibah Kepada Ahli Waris……….48

5. Pencabutan Hibah……….51

6. Pembuatan Surat Hibah………53

BAB IV : ANALISIS TERHADAP PASAL 210 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG KADAR HIBAH A.Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam Tentang Kadar Hibah ... 55

B.Analisis Hukum Positif Terhadap Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam Tentang Kadar Hibah ... 63

BAB V : PENUTUP A.Kesimpulan... 67

B.Saran ... 68

C.Penutup ... 69 DAFTAR PUSTAKA

(14)
(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembentukan hukum Islam di Indonesia, secara historis terdapat sebuah kumpulan hukum yang berbentuk bab, pasal dan ayat. Yang dibentuk dan disusun oleh sebuah panitia kerja selama kurang lebih lima tahun. Dimulai pada tahun 1983, yaitu setelah penandatanganan SKB 6 Ketua mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. Hal ini dilakukan untuk keseragaman dan rujukan hakim-hakim pada pengadilan Agama. Sehingga pada tahun 1988 rumusan hukum tersebut diajukan kepada pemerintah untuk dijadikan sebuah perundang-undangan. Selama tiga tahun lebih menanti akan disahkannya rancangan tersebut. Sehingga akhirnya pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991, yang populer dengah nama Kompilasi Hukum Islam (KHI).1

Kompilasi Hukum Islam walaupun hanya dengan kekuatan Inpres yang ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama. Akan tetapi, KHI merupakan sebuah produk hukum Indonesia yang digali oleh para ulama dalam sebuah peraturan hukum yang substansinya berbentuk undang-undang (qanun). Hal ini mendapat respon positif terutama kalangan umat Islam,

1Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana

(16)

karena meskipun ketetapannya berupa Inpres, akan tetapi keberadaannya sangat berfungsi di Indonesia dan dapat dijadikan sumber rujukan dalam penerapan hukum Islam di Indonesia, terutama para hakim pengadilan Agama dalam mengambil sebuah keputusan hukum. Secara yuridis Impres nomor 1 Tahun 1991, KHI memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengikat. Inpres No 1 Tahun 1991 berdasarkan konsideran UUD pasal 4 ayat 1, bebunyi:

Kekuasaan presiden untuk memegang kekuasaan pemerintah Negara baik yang disebut keputusan presiden (Kepres) ataupun instruksi presiden (Inpres) kedudukan hukumnya adalah sama.2

Pelaksanaannya diperkuat dengan terbitnya Keputusan Menteri Aagma No. 254/ 1991 tertanggal 22 Juli 1991, menyebutkan dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 UUD 1945, berbunyi:

Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan, kewarisan, perwakafan sebagaimana dimaksud dalam dictum pertama instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1/1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam masalah-masalah di bidang tersebut.3

Perkembangannya, untuk menghindari ketidakpastian hukum tersebut, pada bulan Maret 1985 secara politis Presiden Soeharto mengambil prakarsa dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan menteri Agama. SKB tersebut membentuk proyek Kompilasi Hukum

2

Ibid., h. 60.

3 Ismail Suny, Kompilasi Hukum Islam Ditinjau dari Sudut Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia, (dalam Harian Pelita edisi 5 Agustus 1991).

(17)

Islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing tentang Hukum Perkawinan (Buku I), Hukum Kewarisan (Buku II) dan Hukum Perwakafan (Buku III).4

Berdasar pada hal demikian, ketentuan penyelesaian masalah hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan bagi pemeluk agama Islam adalah mengacu kepada KHI. Ditetapkan melalui proses taqnin dalam bentuk Inpres dan berlaku sebagai hokum positif bagi umat Islam. Oleh karenanya, KHI yang memuat hukum materilnya dapat diterima dan telah ditetapkan oleh Keputusan Hukum Presiden/ Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 dapat dipandang sebagai hukum tertulis. Bahkan sebagian kalangan akademisi dan para pemikir Islam menyebut Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang KHI sebagai qanun yang dibentuk diinduksi dari fiqih nasional Versi Indonesia.5 Diperkuat dengan penjelasan umum yang terdapat dalam KHI nomor 1 bahwa:

Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat bangsa Indonesia.

Lalu dengan terbentuknya KHI yang merupakan sebuah hasil karya para ulama Indonesia. Jika dikembalikan kepada sumber fiqh, setidaknya memunculkan beberapa pertanyaan; Apakah KHI merupakan transformasi

4Ibid., h. 60-61. 5Ibid., h. 61.

(18)

dari fiqih Islam; Jika merupakan transformasi, kitab apakah yang menjadi sumber rujukannya; Sudahkan sinergis dengan sumber aslinya?

KHI bab hibah, apabila dilihat dari isinya menggambarkan bahannya dari sumber fiqih Islam. Dalam fiqih Islam dibahas tentang hibah secara khusus. Antara isi fiqih Islam tentang hibah dengan KHI terdapat persamaan-persamaan. Jika dilihat dalam fiqih Islam hibah pembahasannya berdasarkan konsep, sedangkan dalam KHI pembahasannya sudah berubah bentuk menjadi bab, pasal dan ayat, perubahan ini berbentuk seperti perundang-perundangan (qanun). Bentuk seperti ini dikenal dengan istilah transformasi.6

Mengenai tentang hibah, kata hibah adalah bentuk masdar dari kata

wahaba digunakan dalam Al-Qur‟an beserta kata derivatnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, 38, Maryam, 19:5, 49, 50, 53). Bagi orang yang diberi hibah disyaratkan benar- benar ada waktu diberi hibah. Apabila tidak benar-benar ada atau diperkirakan adanya, misalnya janin maka tidak sah.7

Secara pengertian syara‟, hibah berarti akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain pada saat ia masih hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tanpa hak kepemilikan, maka hal tersebut disebut i’aarah “pinjaman”. Begitu juga jika seseorang memberikan sesuatu yang harta,

6 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukurn Indonesia, (Jakarta: Getna Insani, 2002, cet. ke-2), h. 24.

7 Shomad, Abd., Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum (Indonesia,

(19)

seperti khamar atau bangkai, maka hal tersebut tidak layak sebagai hadiah dan bukanlah sebuah hadiah. Jika hak kepemilikan belum terlaksana pada saat pemberinya masih hidup, tetapi diberikan setelah dia meninggal, maka hal tersebut dinamakan wasiat. Jika pemberian itu disertai dengan suatu imbalan, maka hal tersebut sebagai penjualan dan diberlakukan hukum jual-beli.

Hibah dimiliki semata mata hanya setelah terjadinya akad, sesudah itu tidak dilaksanakan tindakan penghibahan kecuali atas izin dari orang yang diberi hibah. Dalam hibah berlaku juga khiyar, syuf’ah dan disyaratkan agar imbalan itu diketahui. Apabila tidak, maka hibah itu batal. Hibah mutlak tidak menghendaki suatu imbalan, baik yang semisal atau yang lebih rendah, ataupun yang lebih tinggi nilainya.8 Ketahuilah, setiap sedekah dan hadiah itu bisa menjadi hibah, namun hibah tidaklah berarti sedekah atau hadiah. Jika anda telah mengetahui hal tersebut, maka barang yang dihibahkan itu termasuk salah satu rukun hibah, dan barang yang dihibahkan itu kriteria atau sifatnya sama dengan apa yang diberlakukan dalam jual beli.9

Hibah adalah satu praktik cuma-cuma atau perpindahan milik yang terjadi pada masa hidup yang melakukan hibah. Berdasarkan pendapat Abu Khathob dan kebanyakan sahabat Imam Syafi‟i, apabila seorang mati yang berstatus penghibah, maka ahli warislah yang bertindak selaku pemberi izin

8

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah jilid 4, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006), h. 435.

9 Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar jilid 2, (Surabaya : PT

(20)

untuk menerimakan hibah tersebut kepada yang diberi hibah itu, hal ini menunjukkan bahwa hibah tidak batal karena meninggalnya penghibah.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bab ke 10 tentang hibah bagian ke satu ketentuan-ketentuan umum, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.10

Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi (akad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup. Hendaknya seseorang tidak menolak hadiah walaupun jumlahnya sedikit, dan disunahkan untuk membalasnya, karena Rasulullah SAW menerima hadiah dan membalasnya.11

Hibah dalam hukum adat dikenal dengan “beri-memberi” atau be-ulah be-atei (berkarya hati) yang memiliki makna memberi orang lain barang-barang untuk menunjukkan belas kasih, harga menghargai, tanda ingat, tanda hormat, tanda terima kasih, tanda akrab, tanda prihatin dan sebagainya. Beri memberi ini dapat dilakukan dengan objek yang berupa barang ringan atau

10

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT Pradnya Paramita, 2004), h. 436.

(21)

barang berat. Barang ringan adalah barang-barang yang nilai harganya rendah, sedangkan barang berat adalah barang-barang yang bernilai tinggi.12

Dalam rumusan kompilasi, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (ps. 171 huruf g KHI).13

Beberapa dasar hukum hibah dari Al-Qur‟an dan Hadits antara lain :

ةاَش َنِسْرِف ْوَلَو اَِتَِراَِلِ ٌةَراَج َّنَرِقَْتَ َلا ِتاَمِلْسُمْلا َءاَسِن اَي

.

“Abu Hurairah berkata : Nabi saw pernah bersabda, “Wahai para wanita muslimah, jangan sekali-kali seseorang meremehkan pemberian tetangga, meskipun hanya berupa teracak (kuku) kambing.” (H.R. Al-Bukhori dan Muslim)14

ْنَم َِّبِْلا َّنِكََٰلَو ِبِرْغَمْلاَو ِقِرْشَمْلا َلَبِق ْمُكَهوُجُو اوُّلَوُ ت ْنَأ َِّبِْلا َسْيَل

َلاَمْلا ىَتآَو َينِّيِبَّنلاَو ِباَتِكْلاَو ِةَكِئ َلََمْلاَو ِر ِخ ْلْا ِمْوَ يْلاَو ِهَّللاِب َنَمآ

َسَمْلاَو َٰىَماَتَيْلاَو ََٰبَْرُقْلا يِوَذ ِهِّبُح َٰىَلَع

َينِلِئاَّسلاَو ِليِبَّسلا َنْباَو َينِكا

اوُدَهاَع اَذِإ ْمِهِدْهَعِب َنوُفوُمْلاَو َةاَكَّزلا ىَتآَو َة َلََّصلا َماَقَأَو ِباَقِّرلا ِفَِو

ۖ

َنيِرِباَّصلاَو

ِفِ

ِءاَسْأَبْلا

ِءاَّرَّضلاَو

َين ِحَو

ِسْأَبْلا

ۖ

َكِئََٰلوُأ

َنيِذَّلا

اوُقَدَص

ۖ

َكِئََٰلوُأَو

ُمُه

َنوُقَّ تُمْلا

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,

12 Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta :

Gajah Mada University Press, 2011), h. 60.

13 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 74.

(22)

dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al- Baqarah : 177)15 Mencermati pengertian di atas dapat ditarik suatu pemahaman bahwa

hibah dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain. Hibah juga dapat dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Hibah demikian dapat diperhitungkan sebagai warisan (ps. 211 KHI). Sebagaimana telah disinggung di muka, hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan (ps. 211).16

Terdapat perbedaan pendapat pula tentang status hukum melebihkan

hibah kepada satu anak, tidak kepada yang lain. Oleh karena itu, yang terpenting dalam pemberian hibah tersebut adalah dilakukan secara musyawarah dan atas persetujuan anak-anak yang ada. Ini penting, agar tidak terjadi perpecahan dalam keluarga. Memang, prinsip pelaksanaan hibah orang tua kepada anak sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, hendaknya bagian mereka disamakan. Kalaupun dibedakan, hanya bisa dilakukan jika mereka saling menyetujuinya.17

Dalam pasal 210 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa ada paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya

15 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: Sygma Exagrafika, 2009),

h. 27.

16Ibid., h. 91.

17 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), h.

(23)

kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki (ayat 2).18

Walaupun menurut mayoritas ulama bahwa seseorang dibolehkan untuk menghibahkan semua harta yang dimilikinya kepada orang lain, namun Muhammad ibnu Hasan dan sebagian kalangan Hanafi berkata, “Tidak sah

menghibahkan semua harta meskipun dengan tujuan kebaikan.” Mereka menganggap bahwa orang yang berbuat demikian itu sebagai orang bodoh yang wajib dibatasi tindakannya. Pengarang Kitab ar-Raudhah an-Nadiyyah

menganalisis masalah ini, sebagaimana perkataannya, “Barang siapa yang

mampu bersabar atas kemiskinan dan kekurangan harta, maka tidak mengapa baginya menyedekahkan sebagian besar atau bahkan semua hartanya. Barang siapa yang besar kemungkinan meminta-minta kepada manusia pada saat dia memerlukan, maka tidak dibolehkan menyedekahkan semua atau sebagian besar dari hartanya.” Inilah gabungan pengertian hadits-hadits yang menunjukkan bahwa sedekah yang melampaui sepertiga itu tidak disyariatkan dan semua hadits yang menunjukkan pensyariatan sedekah yang melebihi sepertiga.19

Maka berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menganalisi dan mengkaji dalam skripsi yang berjudul “Analisis Terhadap Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam Tentang Kadar Hibah”

18 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal 90

(24)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan Hibah dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam?

2. Bagaimana Analisis terhadap Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam tentang Kadar Hibah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian mengenai hibah seluruh harta kepada anak angkat ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan Hibah dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui bagaimana Analisis terhadap Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam tentang Kadar Hibah.

D. Telaah Pustaka

Kajian tentang hibah sebenarnya sudah banyak yang menulis sebelumnya, namun belum ada yang secara spesifik membahas tentang Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam tentang

(25)

Kadar Hibah, mengenai tulisan dalam bentuk skripsi yang membahas tentang hibah antara lain :

Skripsi yang ditulis oleh R. Siti Shoviyah Cholil (2102088) fakultas syari‟ah IAIN Walisongo Semarang yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Tentang Hibah Wasiat (Dalam Pasal 968 KUH Perdata)” yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa dalam pasal 968 KUH Perdata ditegaskan bahwa hibah wasiat mengenai kebendaan yang tidak jelas bentuk, jenis dan kualitasnya adalah diizinkan, baik si yang mewariskan meninggalkan kebendaan yang demikian atau tidak. Pasal tersebut secara konkrit menyatakan bahwa seseorang boleh memberi hibah wasiat terhadap benda yang belum jelas bentuknya, jenisnya dan kualitasnya. Demikian pula seseorang boleh memberi hibah wasiat terhadap benda yang sebetulnya belum ada atau tidak dimiliki pemberi hibah wasiat. Pasal 968 KUH Perdata tersebut mempunyai konsekuensi yaitu jika seseorang boleh memberi hibah wasiat terhadap benda yang sebetulnya belum ada atau tidak dimiliki pemberi hibah wasiat, maka akan menimbulkan ketidakjelasan hukum. Artinya seseorang yang menerima hibah wasiat harus dipastikan bahwa ia akan dan pasti menerima barang itu. Karena itu dalam perspektif hukum Islam bahwa hibah wasiat itu harus ada barang yang jelas.20

Skripsi yang ditulis oleh Nur Hudam Mustaqim (062111048), mahasiswa Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang yang berjudul “Hak

20 Sitti Shoviyah Cholil, Judul Skripsi, Tinjauan Hukum Islam Tentang Hibah Wasiat

(26)

Anak Angkat Dalam Hibah (Studi Analisis Putusan Hakim No.15/Pdt.G/2006/PN.Kendal)”. yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa putusan Pengadilan Negeri No.15/Pdt.G/2006/PN.Kendal majelis hakim Pengadilan Negeri Kendal memutuskan mengabulkan permohonan penarikan hibah para penggugat dengan alasan bahwa surat tanah dan pekarangan masih atas nama di penghibah (almarhum), tidak ada perubahan menjadi atas nama si penerima hibah, walaupun sudah ada bukti surat pernyataan hibah yang dilakukan di hadapan saksi-saksi dan kepala desa. Pengadilan dirasa tidak tepat dan tidak benar dalam memutus perkara penarikan hibah oleh ahli waris, karena pihak ahli waris selaku penggugat seharusnya tidak mempunyai kewenangan untuk mencabut harta yang telah diberikan oleh Kasmadi bin Nawawi kepada pihak tergugat selaku anak angkat, karena ini bertentangan baik dengan KUH Perdata, Kompilasi Hukum Islam, maupun dalam Fiqh. Dalam hal ini, perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi penulis adalah permasalahannya yaitu dalam skripsi tersebut tentang penarikan hibah karena dalam sertifikat belum ada perubahan atas nama, sedangkan skripsi yang penulis bahas adalah mengenai orang tua angkat yang menghibahkan seluruh hartanya kepada anak angkatnya.21

Skripsi yang ditulis oleh Maulana Yusuf Seknun, yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Hibah Di Pengadilan Agama Makassar”. Yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa kedudukan harta berupa rumah

21 Mustaqim, Nur Hudam, Judul Skripsi, Hak Anak Angkat dalam Hibah (Studi Analisis Putusan Hakim No. 15/Pdt.G/2006/PN. Kendal, (Semarang: 2011).

(27)

setelah dihibahkan, kepemilikan rumah segera beralih kepada penerima hibah dan tidak dapat dicabut atau dibatalkan kecuali hibah untuk anak sesuai Kompilasi Hukum Islam pasal 212, sepanjang tidak ada upaya yang melanggar hukum yang tujuannya untuk mempercepat proses peralihan hibah. Serta sesuai pasal 210 Kompilasi Hukum Islam yaitu menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi, berarti nilai dari harta yang dihibahkan tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah harta pemberi hibah. Dalam hal perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi penulis adalah dimana skripsi tersebut membahas tentang penarikan kembali hibah yang telah diterima seorang anak setelah sang ayah (pemberi hibah) meninggal dunia oleh ibu dan 10 saudaranya, sedangkan skripsi yang penulis bahas adalah tentang hibah seluruh harta kepada anak angkat.22

Skripsi yang ditulis oleh Wachidah Efi Nugrahaeni (132111100), mahasiswa Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang yang berjudul “Hibah Seluruh Harta Kepada Anak Angkat (Studi Kasus Keluarga Djaelani di Dusun Dakawu Desa Lebak Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang)”. Yang menghasilkan sebuah kesimpulan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Praktek hibah seluruh harta ini jelas dilarang oleh Kompilasi Hukum Islam karena dalam Kompilasi Hukum Islam dibatasi dengan sepertiga

22 Seknun, Maulama Yusuf, Judul Skripsi, Penyelesaian Sengketa Hibah di Pengadilan Agama Makasar, (Makasar: 2014).

(28)

harta saja. Dalam ketentuan fikih hal ini juga menghilangkan hak ahli waris untuk menerima harta warisan karena seluruh hartanya sudah dihibahkan kepada anak angkatnya. Walaupun hibah seluruh harta ini dilakukan berdasarkan persetujuan ahli waris, namun memberikan seluruh harta kepada anak angkat yang bukan ahli waris dipandang tidak tepat, berdasarkan hadist Rasul saw yang melarang hibah melebihi sepertiga harta karena memprioritaskan ahli waris dari pada orang lain agar tetap berkecukupan, disamping itu memberikan hibah lebih dari sepertiga harta dianggap sebagai tindakan merugikan ahli waris karena menggugurkan hak-hak mereka.

2. Alasan hibah seluruh harta yang dilakukan oleh Bapak Djaelani kepada Mahmud anak angkatnya ini supaya segala kebutuhan hidup di masa tuanya ditanggung oleh anak angkatnya karena Bapak Djaelani sendiri tidak mempunyai anak kandung, dan apabila beliau sakit terlebih di masa tuanya supaya ada yang merawat dan tinggal bersamanya dan yang paling utama yaitu supaya tidak terjadi sengketa antar ahli waris setelah meninggalnya penghibah. Hibah seluruh harta ini dapat diterima apabila dilihat dari segi kemaslahatan, akan tetapi apabila dilihat dari segi hukum positif (Kompilasi Hukum Islam)

(29)

maupun hukum Islam tidak dapat diterima karena melanggar batasan yang sudah ditetapkan yaitu sepertiga harta.23

E. Metodelogi Penelitian

Sesuai dengan judul dari penelitian ini, maka dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan primer, bahan pustaka atau bahan sekunder lainnya. Penelitian ini akan berfokus untuk menganalisis pasal 210 Kompilasi Hukum Islam tentang Kadar Hibah.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Studi Pustaka (Library Research) Penelitian ini dilakukan dengan cara data-data dikumpulkan dengan membaca buku-buku ataupun perundang-undangan berhubungan dengan masalah yang dibahas.

2. Sumber Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan digunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu data primer dan data sekunder yang bersumber pada bahan hukum primer yaitu Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam dan data sekunder berupa hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah dan berita internet yang relevan dengan penelitian ini.

23

Nugrahaeni, Wachidah Efi, Judul Skripsi, Hibah Seluruh Harta Kepada Anak Angkat (Studi Kasus Keluarga Djaelani di Dusun Dakawu Desa Lebak Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang), (Semarang: 2017)

(30)

3. Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Hasil analisis tersebut dapat ditafsirkan untuk menjawab suatu permasalahan yang dikaji. Data yang diperoleh melalui studi pustaka akan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu dengan menguraikan analisis terhadap pasal 210 kompilasi hukum islam tentang kadar hibah.

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab, di mana dalam setiap bab terdiri atas sub-sub bab permasalahan. Maka penulis menyusunnya dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Umum Tentang Hibah Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)

Dalam bab ini memuat beberapa sub pembahasan yaitu pengertian hibah, dasar hukum hibah, syarat hibah macam-macam hibah.

(31)

BAB III Hibah menurut Kompilasi Hukum Islam

Bab ini meliputi hibah menurut Kompilasi Hukum Islam, ketentuan-ketentuan hibah dalam Kompilasi Hukum Islam

BAB IV Analisis terhadap Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam tentang kadar hibah

Bab ini merupakan pokok dari penulisan skripsi ini, yang meliputi pertama, analisis hukum islam tentang kadar hibah. Kedua. Analisis hukum positif tentang kadar hibah

BAB V Penutup

Dalam bab ini memuat kesimpulan, saran-saran, dan penutup.

(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HIBAH A. Hibah Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Hibah

Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba artinya memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, 38, Maryam, 19:5, 49, 50, 53).

Hibah yaitu memberikan barang dengan tidak ada tukarannya dan tidak ada sebabnya.24 Kata hibah berasal dari hubub ar-rih yang berarti hembusan angin. Dan kata ini digunakan untuk menunjuk pemberian dan kebajikan kepada orang lain, baik dengan harta maupun lainnya. Menurut syariat, hibah adalah akad yang berisi pemberian sesuatu oleh seseorang atas hartanya kepada orang lain ketika dia masih hidup tanpa imbalan apapun. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tanpa hak kepemilikan, maka hal tersebut disebut

i’aarah “pinjaman”. Begitu juga jika seseorang memberikan sesuatu yang harta, seperti khamar atau bangkai, maka hal tersebut tidak layak sebagai hadiah dan bukanlah sebuah hadiah. Jika hak kepemilikan belum terlaksana pada saat pemberinya masih hidup, tetapi diberikan setelah dia meninggal, maka hal tersebut dinamakan wasiat. Jika pemberian itu

(33)

disertai dengan suatu imbalan, maka hal tersebut sebagai penjualan dan diberlakukan hukum jual-beli.

Adapun hibah dengan makna umum, mencakup hal-hal berikut ini:

Ibra’ (penghapusan hutang) yaitu penghibahan hutang kepada orang yang berhutang.Sedekah yaitu penghibahan sesuatu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala di akhirat. Hadiah yaitu penghibahan sesuatu yang mengharuskan si penerimanya untuk mengganti (dengan yang lebih baik).25

Sedangkan dalam istilah ada beberapa defenisi yang ditawarkan baik dari ulama dahulu maupun modern sekarang ini, seperti Hibah disyariatkan bertujuan untuk saling menguatkan ikatan batin antara sesama sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari yaitu saling memberi hadiahlah kamu akan saling mencintai.

Dalam al-Qur‟an terdapat banyak ayat yang menganjurkan agar saling memberi terhadap sesama manusia diantara dalam surah al-Munafiqun: 10.

َلوُقَ يَ ف ُتْوَمْلا ُمُكَدَحَأ َ ِتِْأَي ْنَأ ِلْبَ ق ْنِم ْمُكاَنْ قَزَر اَم ْنِم اوُقِفْنَأَو

َينِِلِاَّصلا َنِم ْنُكَأَو َقَّدَّصَأَف بيِرَق لَجَأ ََٰلَِإ ِنَِتْرَّخَأ َلاْوَل ِّبَر

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?"

(34)

2. Dasar Hukum Hibah

Beberapa dasar hukum hibah dari Al-Qur‟an dan Hadits antara lain:

ةاَش َنِسْرِف ْوَلَو اَِتَِراَِلِ ٌةَراَج َّنَرِقَْتَ َلا ِتاَمِلْسُمْلا َءاَسِن اَي

.

“Abu Hurairah berkata : Nabi saw pernah bersabda, “Wahai para wanita muslimah, jangan sekali-kali seseorang meremehkan pemberian tetangga, meskipun hanya berupa teracak (kuku) kambing.” (H.R. Al-Bukhori dan Muslim)

َو ِقِرْشَمْلا َلَبِق ْمُكَهوُجُو اوُّلَوُ ت ْنَأ َِّبِْلا َسْيَل

ِمْوَ يْلاَو ِهَّللاِب َنَمآ ْنَم َِّبِْلا َّنِكََٰلَو ِبِرْغَمْلا

َٰىَماَتَيْلاَو ََٰبَْرُقْلا يِوَذ ِهِّبُح َٰىَلَع َلاَمْلا ىَتآَو َينِّيِبَّنلاَو ِباَتِكْلاَو ِةَكِئ َلََمْلاَو ِرِخ ْلْا

َأَو ِباَقِّرلا ِفَِو َينِلِئاَّسلاَو ِليِبَّسلا َنْباَو َينِكاَسَمْلاَو

َنوُفوُمْلاَو َةاَكَّزلا ىَتآَو َة َلََّصلا َماَق

اوُدَهاَع اَذِإ ْمِهِدْهَعِب

ۖ

ِسْأَبْلا َينِحَو ِءاَّرَّضلاَو ِءاَسْأَبْلا ِفِ َنيِرِباَّصلاَو

ۖ

َكِئََٰلوُأ

اوُقَدَص َنيِذَّلا

ۖ

َنوُقَّ تُمْلا ُمُه َكِئََٰلوُأَو

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al- Baqarah : 177)

3. Rukun Hibah

Rukun hibah meliputi: Al-Wahib (pemberi hibah), yaitu pemilik sah barang yang dihibahkan. Pemberi hibah ketika menyerahkan barang harus dalam keadaan sudah dewasa, sehat jasmani dan rohani serta tidak

(35)

karena terpaksa.26

Pemberi hibah memiliki persyaratan :27 1) Barang yang dihibahkan milik sendiri

2) Bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan 3) Penghibah itu orang dewasa

4) Dan keadaannya tidak dipaksa untuk memberi hibah

Al-Mauhûb lah (penerima hibah), setiap orang, baik perorangan atau badan hukum. Tidak sah suatu hibah, jika penerima hibah adalah anak yang masih dalam kandungan.28 Persyaratanya:29

1) Penerima hibah harus benar-benar ada sewaktu menerima hibah. Apabila tidak ada atau diperkirakan adanya seperti janin, maka hibah tidak sah.

2) Apabila penerima hibah itu ada akan tetapi dia masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil walinya, pemeliharaannya, atau orang yang mendidiknya, sekalipun dia orang asing.

Al-Mauhub bih (barang yang dihibahkan) yaitu segala macam barang, baik yang begerak atau tidak bergefak, bahkan manfaat atau hasil

26 Khosyi'ah, Siah, Wakaf dan Hibah Persfektif Ualma Fiqih dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. ke- 1,2010), h. 242.

27

Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 179.

28 Siah Khosyi'ah, Op. Cit., h. 243. 29 Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 179.

(36)

dari suatu barang.30 Persyaratannya :31 1) Benar-benar ada

2) Hartanya yang bernilai

3) Dapat dimiliki zatnya yaitu yang dihibahkan itu adalah apa yang biasanya dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Oleh karena itu tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara,mesjid-mesjid atau pesantren-pesantren.

4) Tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon atau bangunan tanpa tanahnya. Akan tetapi yang dihibahkan itu wajib dipisahkan dan diserahkan kepada yang diberi hibah sehingga menjadi milik baginya.

5) Dikhususkan yaitu yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan tidak sah kecuali bila ditentukan (dikhusukan) seperti halnya jaminan.

Ijab qabul, yaitu akad lafadz serah terima antara pemberi dan penerima.32 Hibah itu sah melalui ijab dan qabul, bagaimanapun bentuk ijab qabul yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan. Misalnya penghibah berkata: "Aku hibahkan kepadamu; aku hadiahkan kepadamu;

30

Siah Khosyi'ah, Loc. Cit.

31 Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 179-180. 32 Siah Khosyi'ah, Loc. Cit.

(37)

aku berikan kepadamu; atau yang serupa itu; sedang penerima berkata: "Ya aku terima".33

4. Syarat-syarat Hibah

Hibah dinyatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:34

1) Pemberi hibah harus orang yang sudah dewasa, cakap dalam melakukan tindakan hukum.

2) Barang yang dihibahkan harus memiliki nilai yang jelas, tidak terkait dengan harta pemberi hibah. Barang yang dihibahkan hendaknya berupa barang yang sah diperjualbelikan. Oleh karena itu tidak sah menghibahkan barang yang tidak diketahui dan yang tidak boleh dipeijualbelikan. Berbeda dengan menghadiahkan dan menyedekahnkan, keduanya dianggap sah (sekalipun keberadaan objeknya masih msiteri bagi penerimanya). Dianggap sah menghibahkan sesuatu yang masih menyatu dengan milik orang lain dalam ikatan perseroan. Diperbolehkan pula memperjualbelikannya seakalipun sebelum dilakukan pembagian, tanpa memandang apakah dia dihibahkan kepada teman seperseroannya atau kepada orang lain.

3) Penerima hibah adalah orang yang cakap melakukan tindakan

33 Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 178. 34 Siah Khosyi'ah, Op. Cit., h. 243-244.

(38)

hukum.

4) Ijab qabul sebagai syarat sahnya suatu hibah.

5) Pada dasarnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan harta warisan.

6) Hibah dapat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat, namun untuk kepastian hukum sebaiknya pelaksnaannya dilakukan secara tertulis.

7) Hibah harus mempunyai fungsi seperti mewujudkan keadilan sosial, menolong orang yang lemah, menumbuhkan sosial, dan sebagainya.

5. Macam-macam Hibah

a. Hibah Umri

Umri artinya umur, asal pemberian dengan umri yaitu perbuatan orang-orang Arab sejak zaman Jahiliyah, kemudian ditetapkan atau dilestarikan keberlakuannya oleh Islam.35 Hibah Umri adalah bentuk hibah yang disyaratkan selama orang yang diberi hibah masih hidup. Misalnya, jika seseorang memberi tempat tinggal kepada orang lain

35 Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, (Bandung: Gunung Djuti Press, cet. ke-1, 1997), h.

(39)

selama orang yang diberi hibah masih hidup, jika ia meninggal dunia, hibah tersebut menjadi hak milik orang yang memberi hibah kembali.36 Dengan lafadz 'amaratuka hadza (aku umrakan ini padamu) yaitu ja'altuhu laka 'umraka (aku jadikan umra bagimu).37

'Amaratuka dari (aku umrakan rumahku) jika engkau mati lebih dahulu maka rumah itu kembali jadi milikku. Tapi jika aku mati lebih dahulu, maka rumah itu jadi milikmu.38

Sebaliknya hibah tidak sah bila dibarengi dengan pembatasan waktu selain masalah umri dan ruqbi. Jika penghibah membatasi dengan usia penerima hibah, misalnya dikatakan, "aku hibahkan kepadamu barang ini seumur hidupmu," atau "sepanjang kamu masih hidup," maka hibahnya sah, sekalipun penghibah tidak mengatakan, "apabila aku mati, maka hibah tersebut buat ahli warismu". Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir radiyallahu anhu Rasulullah Saw. Bersabda,

Telah memberitakan pada kami "Nabi Saw Abu Nu 'aim, telah memberitakan pada kami Syaiban dari Yahya dari Salamah dari Jabir radiyallahu anhu, ia berkata "Telah menghukum dengan 'umra, bahwa sesungguhnya 'umra adalah milik orang yang

36 Siah Khosyi'ah, Op. Cit. h. 246.

37 al-Anshary, Abu Yahya Zakaria, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj al-Thulab,

(Semarang: Thaha Putra, juz ke-1, t.t.), h. 260.

38 al-Anshary, Zakariya , Tuhfah al-Thulab bi Syarh Tahrir tanqih al- Lubab, (Syirkah

(40)

diberinya".39

b. Hibah Ruqbi

Hibah ruqbi yaitu hibah bersyarat. Hibah yang dilakukan melalui persyaratan, jika syarat itu ada, barang tersebut dihibahkan bagi yang menerima hibah, tetapi jika syarat itu tidak ada, barang yang dihibahkan menjadi milik penghibah.40 Seperti lafadz arqabtuka lahu (aku ruqbahkan ia padamu) atau ja 'altuhu laka ruqbi (aku jadikan ia bagimu ruqbi).41

Akan tetapi hibah tidak sah apabila digantungkan dengan sesuatu yang tidak jelas, misalnya: "apabila awal bulan Ramadhan tiba, barang itu aku hibahkan kepadamu," atau "bila datang permulaan Ramadhan, maka aku membebaskanmu dari tanggungan utangmu".42

Hibah ruqbi termasuk hibah yang biasa dilaksanakan pada masyarakat Arab sebelum Islam, kemudian hibah ini diberlakukan kembali pada masa Rasulullah Saw. dengan sabdanya: “Telah memberitakan pada kami Ahmad bin Hanbal, telah memebritakan pada kami Husyaim, telah mengkhabarkan pada kami Dawud dari Abi Zubair dari Jabir berkata; Rasulullah Saw. telah bersabda "Dari

39 Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op. Cit., h. 96. 40

Siah Khosyi'ah, Op. Cit., h. 247.

41 Abu Yhaya Zakaria al-Anshary, Loc. Cit.

(41)

Jabir ra, Nabi saw bersabda, 'Umra itu boleh dilakukan bagi orang yang sanggup melakukannya, dan ruqbi juga dilakukan bagi orang yang sanggup melakukannya”.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasa'i dari Jabir, Rasulullah Saw. besabda:” Telah memberitakan pada kami Ishaq bin Ismail, telah memebritakan pada kami Sufyan dari Ibnu Juraij dari 'Atha dari Jabir bahwasnnay Nabi Saw. telah bersabda: "Janganlah kamu mengatakan ruqbah dan jangan pula mengatakan umra, rnaka sesuatu yang diruqbah-kan atau diumra-kan itu untuk ahli warsinya.

Hibah umri dan ruqbi terdapat persamaan, keduanya sama-sama dikaitkan dengan persyaratan. Hibah umri disyaratkan dengan umur, sedangkan ruqbi dengan benda. Dalam hal ini hibah yang dikaitkan dengan persyaratan berarti sah dalam Islam.

6. Serah Terima Hibah

Hibah itu menjadi hak bagi orang yang diberi hibah hanya dengan semata-mata akad tanpa syarat harus dipegang di tangan. Sebab pada prinsipnya adalah adanya prjanjian dianggap sah tanpa syarat harus di pegang di tangan. Maka penghibah atau yang diberi hibah meninggal sebelum penyerahan hibah, hibah itu tidak batal, karena titik tolaknya pada akad semata dan hibah telah menjadi milik orang yang diberi hibah.

(42)

Namun di sisi lain hibah belum menjadi suatu keharusan dengan akad melainkan hanya dengan penerimaan, karena berlandaskan kepada hadits yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah menghadiahkan tiga puluh auqiyah minyak kesturi kepada Raja Najasyi, ternyata Raja Najasyi keburu wafat (meninggal dunia). Maka Nabi Saw. membagai-bagikannya kepada semua isteri beliau sendiri. Diqiyaskan kepada masalah ini hal-hal lainnya(yakni hibah dan sedekah).

Kedua perbedaan di atas menunjukkan bahwa hibah telah terjadi perubahan apabila hibah belum diserahterimakan. Hibah tidak dilanjutkan karena penekanannya lebih kepada pengguaan dan pemanfaatan benda yang dihibahkan. Apabila telah terjadi akad maka berdasar istishab berarti hibah itu tidak beralih hak kepemilikannya kepada orang lain sebelum adanya hukum yang merubahnya. Dikecualikan karena penerima meninggal sebelum diserahterimakan, maka dengan alasan inilah pemberi hibah dapat merubah status kepemilikan berdasar hadits di atas.

Diperjelas oleh Zainuddin al-Malibari bahwa Seandainya seseorang mengirimkan suatu hadiah kepada seseorang, kemudian ternyata orang yang dituju meninggal dunia sebelum hadiah itu sampai kepadanya, maka hadiah tersebut tetap menjadi milik pemberi hadiah. Jika pemberi hadiah meninggal dunia, maka pengantar hadiah tidak boleh membawanya langsung kepada alamat yang dituju (sebelum mendapat izin dari ahli warisnya).

(43)

B. Hibah Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)

1. Pengertian Hibah

Hibah dalam KUH Perdata terdapat pada Pasal 1666, penghibahan (bahasa Belanda: schenking, bahasa Inggris: danation). Dalam Pasal 1666 KUH Perdata tersebut dapat dipahami bahwa:

Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.43

Dari rumusan tersebut di atas, dapat diketahui unsur-unsur hibah, sebagai berikut:

a. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan cuma-cuma. Artinya, tidak ada kontra prestasi dari pihak penerima hibah.

b. Dalam hibah selalu disyaratkan bahwa penghibah mempunyai maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah.

c. Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala macam harta milik penghibah, baik berada berwujud maupun tidak berwujud,

(44)

benda tetap maupun benda bergerak, termasuk juga segala macam piutang p enghibah.

d. Hibah tidak dapat ditarik kembali.

e. Penghibahan harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.

f. Pelaksanaan dari penghibahan dapat juga dilakukan setelah penghibah meninggal dunia.

g. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris.44

Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan: perjanjian "dengan cuma-cuma" (bahasa Belanda: "om niet"), dimana perkataan "dengan cuma-cuma" itu ditujukan hanya pada adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lainnya tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang demikian itu juga dinamakan perjanjian "sepihak" (unilateral) sebagai lawan dari perjanjian "timbal balik" (bilateral). Perjanjian yang banyak tentunya adalah bertimbal balik, karena yang lazim adalah bahwa orang menyanggupi suatu prestasi karena ia akan menerima suatu kontra-prestasi.

Meskipun hibah sebagai perjanjian sepihak yang menurut rumusannya dalam pasal 1666 BW tidak dapat ditarik kembali, melainkan atas persetujuan pihak penerima hibah. Akan tetapi dalam pasal 1688 BW

44 Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h.

(45)

dimungkinkan bahwa hibah dapat ditarik kembali atau bahkan dihapuskan oleh penghibah, yaitu:

a. Karena syarat-syarat resmi untuk penghibahan tidak dipenuhi.

b. Jika orang yang diberi hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan lain terhadap penghibah.

c. Apabila penerima hibah menolak memberi nafkah atau tunjangan kepada penghibah, setelah penghibah jatuh miskin.45

Perkataan "diwaktu hidupnya" si penghibah, adalah untuk membedakan penghibahan ini dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testamen (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah si pemberi meninggal dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat dirubah atau ditarik kembali olehnya. Pemberian dalam testament itu dalam B.W. dinamakan "legaat" (hibah wasiat) yang diatur dalam hukum waris, sedangkan penghibahan ini adalah suatu perjanjian. Karena penghibahan menurut B.W. itu adalah suatu perjanjian, maka sudah dengan sendirinya ia tidak boleh ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah.

Perkataan penghibahan atau (pemberian) ini mempunyai dua pengertian, yaitu:46

45Ibid, h. 86-87. 46Ibid., h. 99.

(46)

a. Penghibahan dalam arti yang sempit, adalah perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal ini. Misalnya syarat "dengan cuma-cuma" yaitu tidak memakai pembayaran. Dalam hal ini orang lazim mengatakan "formale schenking" yaitu suatu penghibahan formal.

b. Penghibahan dalam arti yang luas, adalah penghibahan menurut hakekat atau "materiele schenking", misalnya seorang yang menjual rumahnya dengan harga yang sangat murah atau membebaskan debitur dari hutangnya. Maka menurut pasal 1666 KUH Perdata ia tidak melakukan suatu penghibahan atau pemberian, tetapi menurut pengertian yang luas ia dapat dikatakan menghibahkan atau memberikan.

2. Dasar Hukum Hibah

Dasar Hukum Hibah menurut Hukum:

a. Bab tentang Hibah dalam pasal 1666-1693. Pada pasal 1666 berbunyi:

Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup.

b. Pasal 1667 berbunyi:

(47)

Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekadar mengenai itu hibahnya adalah batal. c. Pasal 1676 berbunyi:

Setiap orang diperbolehkan memberi sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tak cakap untuk itu. d. Pasal 1677 berbunyi:

Orang-orang belum dewasa tidak diperbolehkan memberi hibah, kecuali dalam hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku.47

3. Syarat-syarat Hibah

Dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara tegas mengenai syarat-syarat hibah. Akan tetapi, dengan melihat pasal 1666 KUH Perdata maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa syarat-syarat hibah dalam KUH Perdata, diantaranya adalah:

a. Adanya Perjanjian b. Penghibah

c. Penerima Hibah d. Barang Hibah

Dibawah ini akan dijelaskan mengenai syarat-syarat hibah dalam KUH Perdata yang telah disebutkan diatas.

a. Adanya Perjanjian

(48)

Di dalam pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa yang dinamakan dengan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Subekti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian oleh Buku III BW adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.48

Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Penghibahan, dalam hal ini dapat dikategorikan perjanjian dengan cuma-cuma atau biasa dinamakan dengan perjanjian sepihak (unilateral).

(49)

Untuk dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu rumusan Rutten adalah sebagai berikut:49

1) Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas- formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.

2) Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu perjanjian yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan.

Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan.

Bila secara lisan sampai terjadi perselisihan, maka sebagai alat pembuktian akan lebih sulit, disamping harus dapat menunjukkan

49 Patrik, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: CV Mandar Maju, 1994),

(50)

sanksi-sanksi, juga I‟tikad baik pihak-pihak diharapkan dalam perjanjian itu.

Perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum, perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dimana untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang itu.

Untuk suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat, yaitu:

1) Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri.

Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan dalam KUH Perdata, beberapa golongan orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti orang di bawah umur, orang di bawah pengawasan dan perempuan yang telah kawin.

(51)

Menurut yurisprudensi sekarang ini, perempuan yang sudah kawin cakap untuk membuat persetujuan atau dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.

3) Suatu hal tertentu yang diperjanjikan.

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu.

4) Suatu sebab yang halal.50

Hibah dibuat di hadapan notaris (merupakan suatu keharusan), tetapi hal ini tentu akan menimbulkan kesukaran pada tempat-tempat yang jauh sekali letaknya dengan tempat-tempat adanya kantor notaris. Maka dapat dimengerti bahwa kadang-kadang hibah ini dibuat di hadapan pejabat pemerintahan setempat. Akta hibah itu ditandatangani oleh pemberi hibah dan penerima hibah. Namun demikian, suatu hibah terhadap barang-barang yang bergerak tidak memerlukan suatu akta dan adalah sah dengan penyerahan belaka kepada penerima hibah atau kepada seorang pihak ketiga yang menerima pemberian itu atas nama penerima hibah. Seperti: seorang pemberi hibah memberikan sebuah arloji kepada penerima

(52)

hibah, maka hal tersebut tidak memerlukan suatu akta otentik yang dibuat di hadapan seorang notaris.51

b. Penghibah

Untuk menghibahkan seseorang harus sehat pikirannya, harus sudah dewasa. Diadakan kekecualian dalam halnya seorang yang belum mencapai usia genap 21 tahun, menikah dan pada kesempatan itu memberikan sesuatu dalam suatu perjanjian perkawinan (pasal 1677). Orang yang belum mencapai usia 21 tahun itu diperkenankan membuat perjanjian perkawinan asal ia dibantu oleh orang tuanya atau orang yang harus memberikan izin kepadanya untuk melangsungkan perkawinan.52

Tentang kecakapan untuk memberikan sesuatu sebagai hibah setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah, kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tak cakap untuk itu, seperti anak-anak di bawah umur, orang gila, atau orang yang berada di bawah pengampuan.53 Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu barang yang termasuk dalam penghibahan. Penghibahan yang semacam

51

Sulistini, Elise T., Rudy T. Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-perkara Perdata

(Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 58-59.

52

Subekti, Op. Cit., 100.

53

Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 90.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan pengamatan terhadap terhadap intensitas penyakit terlihat bahwa cara aplikasi bahan penginduksi melalui perendaman benih menunjukkan intensitas penyakit yang

Sistem input yaitu bagian yang berfungsi untuk mendeteksi gejala-gejala fisis dari lingkungan terkait dengan keamanan sebuah gedung, seperti adanya tindak kriminal dalam hal ini

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh Kompetensi, etika auditor, risiko kesalahan, akuntanbilitas, independensi dan due professional care terhadap kualitas

Budaya keselamatan pasien pada setiap instalasi tergolong kuat dengan instalasi yang memiliki budaya keselamatan yang sangat kuat terdapat pada instalasi gawat

Subyek Penelitian adalah seseorang atau hal yang akan diperoleh keterangan tentang mereka. 18 Subyek peneliti ini berkaitan dengan sumber- sumber informasi

Dari data pengukuran pH larutan nutrisi tersebut menunjukkan bahwa pH larutan nutrisi pada ketiga kemiringan cenderung mengalami fluktuasi pada setiap periode

Proses Fermentasi dimulai dengan menambahkan sejumlah starter beserta ergosterol ke dalam medium fermentasi (nira nipah) dengan komposisi yang sesuai dengan

Pada zaman modern seperti sekarang ini, ketika manusia tidak mau bersusah payah melihat matahari setiap kali akan melaksanakan salat. Metode hisab dapat dijadikan pedoman