• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Real Estate

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tugas Real Estate"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS KELOMPOK

REAL ESTATE

Benny Taufan (05120080071)

Jessica Julieta (05120080056)

Reno Pramudya (05120080025)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

2011

(2)

BAB 1

PENERAPAN PRINSIP KEPENTINGAN UMUM PADA MASA KOLONIAL DAN SETELAH MASA KEMERDEKAAN

Sebelum lahirnya agrarische wet, persahaan swasta sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk berusaha di Indonesia, karena bidang agraria dimonopolu oleh pemerintah Belanda oleh karena itu Agrarische Wet lahir karena adanya desakan para pemilik modal swasta besar. Sejak diterapkannya agrarische wet, dimulailah penyelenggaraan politik agraria yang baru, dimana perusahaan swasta diperkenankan untuk menguasai tanah-tanah yang diperlukannya, dan memberikan jaminan perolehan tanah yang luas dengan hak kuat yaitu tanah-tanah negara hak erfpacht yang berjangka waktu selama 75 tahun. Selain itu diberi kemungkinan pula untuk menyewa tanak rakyat dengan jaminan yang kuat pula.

Pada masa pemberlakuan domein verklaring terjadi benturan kepentingan antara kepentingan pemerintah. Kepentingan pegusaha dan kepentingan umum. Dalam praktiknya, fungsi domein verklaring dalam perundang-undangan pertanahan pemerintah kolonial belanda adalah

a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUHPerdata, seperti hak Erfpacht. Hak opstal, dan lain lainnya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik negara kepada penerima tanah.

B. Berfungsi sebagai pembuktian kepemilikan.

Agrarische wet secara de jure dalam tujuannya telah memberikan jaminan hak-hak atas tanah terhadap rakyat asli Indonesia. Tujuan agrarische besluit adalah untuk memperhatikan kepentingan Rakyat asli dengan cara:

a. Melindungi hak-hak atas tanah rakyat asli

b. Memberikan kesempatan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru. Pemberlakuan domein verklaring ditentang keras oleh pengajar hukum adat seperti van vollenhoven, yang menyatakan pemerintah Belanda sebagai penguasa (badan

(3)

publik) sekaligus sebagai pembuat Undang-undang, tidak perlu mengklaim dirinya selaku pemilik secara 'privaatrechtelijk' , sebab wewenang dan kekuasaan cukup ada padanya untuk mengatur dan mengatasi masalah pertanahan. Pernyataan pemerintah bahwa tanah milik adat adalah tanah domein negara tidak dapat diterimanya dan dianggap sebagai perlakuan tidak terhadap rakyat Indonesia.

Ketentuan pencabutan hak atas tanah yang diatur dalam onteigeningsordonantie ini disusun atas dasar pengertian hak 'eigendom' yaitu hak perseorangan yang tertinggu menurut hukum barat yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat, telah memberikan perlindungan yang kuat dalam hal pencabutan haknya. Untuk melakukan pencabutan hak menurut ordinantie memerlukan waktu yang lama, karena harus melalui instansi legislatif, eksekutif maupun pengadilan.

Tanah-tanah rakyat yang dahulu dikuasai oleh penjajah diubah kepemilikannya dengan melakukan nasionalisasi, sebagai akibat mendominasinya modal asing di indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia terpaksa mengakhirinya, khususnya modal-modal milik belanda. Karena sebenarnya tidaklah pada tempatnya apabila dalam suatu negara yang berdaulat penuh dengan tujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur masih banyak bercokol modal-modal asing yang justru secara langsung menyangkut hajat hidup orang banyak.

(4)

BAB 2

PENERAPAN PRINSIP KEPENTINGAN UMUM SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

Fungsi dan peran tanah dalam berbagai sektor kehidupan manusia memiliki tiga aspek yang sangat strategis, yaitu aspek ekonomi, politik dan hukum.

Undang-undang pokok agrarian adalah undang-undang yang mengatur asas-asas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja mengenai pertanahan, karenanya disebut undang-undang pokok agrarian. Adapun pelaksanaannya akan diatur dalam berbagai undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan perundang-undangan lainnya. Undang-undang pokok agrarian merupakan perundang-undangan yang dibentuk sebagai penyempurnaan perundang-undangan sebelumnya yang dianggap kurang mampu memberikan keadilan bagi masyarakat pribumi sebagai pemilik asli tanah, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Didalam praktik, pemahaman kepentingan umum dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 sering kali rancu dan bias, misalnya apakah rumah sakit yang dibangun oleh pihak swasta termasuk kategori kepentingan umum dalam keputusan presiden tersebut, padahal rumah sakit swasta tidak lagi melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat sosial, tetapi mencari keuntungan yang berlebihan. Kalaupun rumah sakit itu awalnya dibangun oleh pemerintah, namun setelah gedung rumah sakit itu jadi dan diresmikan, tidak menutup kemungkinan pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta yang jelas akan mencari keuntungan. Demikian juga dengan pembuatan pelabuhan, bandara udara, dan terminal dan jalan yang dikelola oleh BUMN Persero, yang dalam melakukan kegiatan usahanya tidak bersifat sosial, melainkan berorientasi mencari keuntungan semata.

Terhadap rumusan kepentingan umum, belum dapat diberikan suatu definisi yang dibakukan, hanya saja hakikat dari kepentingan umum dapat dikatakan untuk keperluan, kebutuhan, atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas. Namun demikian, rumusan yang demikian masih terlalu umum dan tidak ada batasnya.

(5)

Pencabutan hak milik atas tanah, meskipun untuk kepentingan umum tidaklah semau-maunya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang sudah digariskan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengatur hak tersebut. Apabila, diatas tanah milik adat sesorang terdapat minyak bumi, maka pemerintah tidak dapat begitu saja mengambilnya, karena berkaitan dengan hukum adatnya dan menurut ketentuan harus diberikan ganti kerugian dan bagi hasil bagi masyarakat setempat. Jangan sampai ada pihak yang merasa tidak puas dan dirugikan sebagai akibat tidak adanya penyelesaian pemberian ganti rugi.

Penetapan ganti rugi yang diberikan harus memperhatikan status hak atas tanah yang bersangkutan. Jika statusnya Hak Milik, maka harus menjadi pertimbangan dan perkiraan yang akurat terhadap harga ganti ruginya. Artinya, harus lebih besar dari hak-hak atas tanah lainnya seperti HGB dan HGU. Ganti rugi tidak saja pada tanahnya, tetapi juga harus memperhitungkan benda-benda yang ada diatas tanah hak milik, seperti bangunan, pagar, tanam-tanaman, listrik, telepn, dan lain-lainnya. Ganti rugi bukan hanya diberikan kepada pemilik tanah, tetapi juga kepada mereka yang sedang menyewa tanah atau rumah atau menggarap tanah yang bersangkutan.

Kebijakan mengenai pemberian ganti kerugian sebenarnya tidak terbatas pada penggantian nilai tanah, bangunan dan tanam-tanaman, tetapi juga seharusnya meliputi penilaian kerugian yang bersifat immaterill dan kerugian yang timbul, seperti kegiatan usahanya, akibat kepindahan ke tempat lainnya. Selain itu pencabutan hak juga akan menyebabkan hilangnya tanah mereka karena telah diambil oelh pemerintah sehingga sumber penghasilan mereka berkurang. Lebih parah lagi pemerintah turut berperan menciptakan kemiskinan, kemelaratan dan tunawisma bagi bangsanya. Oleh karena itu pencabutan hak dimungkinkan tetapi sengan syarat tertentu misalnya harus disertai dengan ganti rugi yang layak.

Meskipun dalam praktiknya, pencabutan hak milik atas tanah untuk kepentingan umum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 sangat jarang sekali digunakan dalam praktik karena panjang, berat, dan rumit, institusi ini perlu dipertimbangkan kembali karena nomenklatur pencabut hak milik atas tanah merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip dasar hak asasi manusia.

(6)

Konsep fungsi sosial atas tanah dalam UUPA dan memori penjelasannya sebenarnya mengambil konsep hukum adat yang sudah dikembangkan atau konsep hukum adat sebagai dasar dari UUPA. Hal ini erat kaitannya dengan pengakuan hukum adat sebagai dasar dari UUPA. Dalam sistem hukum adat, setiap perbuatan tingkah lakum termasuk hal-hal yang berkenaan dengan tanah tidak bisa dilepaskan dengan sifat gotong-royong sebagai cerminan fungsi sosial. Jika tanah hak milik diterlantarkan, akan merugikan kepentingan seluruh masyarakat dalam wilayah persekutuan hukum yang bersangkutan. Jika tanah ditelantarkan, maka tindakan itu merupakan bentuk pelanggaran yang menyalahi tujuan diperbolehkan menguasai tanah itu. Oelh karena itulah dalam hukum adat, jika tanah ditelantarkan dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan masing-masing persekutuan hukum adat. Hak milik atas tanah dalam hukum adat diakui dan mendapat tempat dalam kedudukan masyarakat adat. Namun demikian hak milik itu tidak bersifat mutlak, karena didalamnya terdapat fungsi sosialm yakni masih ada hal-hal yang bersifat kebersamaan.

Fungsi sosial hak milik atas tanah merupakan konsekuensi logis dalam hukum adat, karena dalam penggunaanya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup pemilik, tetapi sekaligus dapat dinikmati oelh masyarakat banyak. Hal ini telah berlangsung lama dalam kenyataanya bahwa hukum adat sejak berabad-abad lamanya sudah mempunyai prinsip fungionalisme, yaitu suatu aliran paling modern di dunia barat, dan karenanya diyakini akan terjadi suatu dependasi manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka falsafah hidup tersebut disebut fungsionalisme religius.

Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum merupakan suatu cara terakhir untuk memperoleh tanah yang sangat diperlukan guna keperluan-keperluan tertentu untuk kepentingan umum, yaitu setelah dilakukan berbagai caram, tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan, sedangkan keperluan untuk pembangunan tanah yang dimaksud sangat mendesak sekali. Adapun yang berwenang melakukan pencabutan hak atas tanah adalah presiden sebagai pejabat eksekutif yang tertinggi setelah mendengar penjelasan Menteri Dalam Negeri, menteri kehakiman, dan menteri yang bersangkutan yaitu menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta dilakukannya pencabutan hak atas tanah tersebut.

(7)

IMPLEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PEMBEBASAN TANAH TIDAK MENJAMIN HAK-HAK MASYARAKAT

Dalam hal pembebasan tanah, terdapat dua kepentigan yang seimbang. Pemegang hak atas tanah tentu menginginkan sejumlah ganti rugi dari pemerintah sebagai pelaksana pembangunan. Dengan alas an dua kepentingan yang berbedam persoalan akan tanah semakin rumit. Pembebasan tanah hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak, baik mengenai besar maupun bentuk ganti rugi yang diberikan terhadap tanahnya. Bilamana instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk keperluan tertentu sedangkan diatas tanah tersebut masih dipenuhi dengan hak tertentu harus diajukan permohonan pembebasan hak atas tanah kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dengan mengemukakan tujuan penggunaan tanahnya.

Tugas panitia pembebasan tanah mengadakan inventarisasi serta penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanaman, tumbuhan, dan bangunan-bangunan, mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan bangunan, menafsir besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan kepada yang berhak, membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa/pertimbangan dan menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas tanah/bangunan/tanaman.

(8)

BAB 3

PENYIMPANGAN PRINSIP KEPENTINGAN UMUM DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN MEGA PROYEK

A. Proyek-Proyek yang Menyebabkan Pemindahan Penduduk Secara Terpaksa dan Dampaknya

Beraneka ragam proyek menyebabkan pembebasan tanah milik masyarakat, antara lain sebagai berikut :

1. Pembangunan bendungan untuk irigasi dan tenaga listrik, dan persediaan air yang menciptakan danau-danau buatan di daerah-daerah yang tadinya dihuni orang.

2. Pembangunan pelabuhan atau kota-kota baru.

3. Pembangunan atau perbaikan/peningkatan prasarana perkotaan seperti saluran air, cabang-cabang jalan, jalan-jalan dalam kota, dan lain-lain secara lebih luas, keseluruhan kegiatan penataan kota.

4. Pembukaan kegiatan pertambangan. 5. Perlindungan kawasan-kawasan jalur hijau

6. Ruas jalan atau rel kereta api, ini akan berdampak pada Pemukiman Kembali terhadap alinyemen/jalur jalan atau rel kereta api.

Proyek pembangunan yang mengubah pola penggunaan lahan, air dan sumber daya alam lainnya dapat menyebabkan dampak pemukiman kembali. Dampak ini sering timbul akibat pengadaan lahan yang didapat melalui ekspropriasi atau melalui pengaturan lainnya.

Jika pemukiman kembali tidak dapat dihindari, maka langkah-langkah konkret harus dilakukan, yakni :

1. melindungi kehidupan dan kesejahteraan mereka yang dipindahkan

2. mengurangi dan mengatasi kerugian potensi ekonomi yang diderita kelompok yang terkena dampak dan ekonomi daerah serta wilayah

(9)

3. membantu mengembangkan potensi ekonomi, sosial dan budaya kelompok masyarakat yang terkena dampak.

A. Pilihan Penduduk di antara Migrasi Secara Sukarela atau Pemukiman Secara Terpaksa Akibat Pembangunan Mega Proyek Oleh Pemerintah

Transmigran dibantu untuk pindah ke lokasi baru, diberikan rumah dan bantuan makanan selama masa transisi, dilatih dan dibina bagaimana mengembangkan diri dan diberikan bantuan fasilitas di daerah transmigrasi, atau balai pengobatan, sarana olahraga, kesenian, pembinaan kepemudaan.

Pemukiman kembali secara terpaksa melibatan penduduk dan berbagai tingkat usia dan jenis kelamin. Sebagian dari mereka dipindahkan ke tempat lain yang bertentangan dengan keinginannya. Kebanyakan mereka ini tidak suka mengambil risiko dan kurang dinamis, kurang inisiatif dan tidak menginginkan pindah ke lokasi baru ini dan tidak ingin melakukan pekerjaan baru.

Sejumlah faktor utama yang memberikan sumbangan terhadap keberhasilan pemukiman kembali antara lain adalah :

1. komitmen politik peminjam dalam bentuk UU, kebijaksanaan dan alokasi sumber daya

2. ketaatan pelaksanaan pada petunjuk dan prosedur yang telah disusun

3. analisis sosial yang logis, penyelidikan data kependudukan yang dapat dipercaya, dan keahlian teknis yang tepat dalam merencanakan pemukiman kembali yang berorientasi pada pembangunan

4. perkiraan biaya yang dapat diandalkan dan ketentuan pendanaan yang diperlukan dengan penahapan kegiatan pemukiman kembali yang sejalan dengan pembangunan pekerjaan sipil

(10)

5. instansi pelaksana yang efektif dan responsif terhadap kebutuhan kesempatan dan kendala pembangunan daerah

6. partisipasi masyarakat dalam menetapkan tujuan pemukiman kembali, mengidentifikasi cara-cara penyelesaian permasalahan dan melaksanakannya.

A. Tinjauan Beberapa Pembangunan Waduk dan Masalahnya

1. Inkosistensi Ganti Rugi dalam Pembangunan Waduk Cirata dan Ketidakjelasan Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah

2. Kegagalan Pemerintah dalam Perencanaan Proyek Pembangunan Waduk Kedung Ombo

a. Latar Belakang Pembangunan Waduk Kedung Ombo

Akibat pesatnya pertumbuhan penduduk dengan segala kebutuhannya yang harus dipenuhi oleh alam dengan cara yang tidak proporsional, yang seharusnya menempatkan alam sebagai benda yang dipelihara dan dilestarikan daya dukungnya, telah mengakibatkan Lembah Juana, yang dahulu sebagai lembah yang sangat strategis dan “lubang penyelamat”, dalam perkembangannya tidak mampu menampung luapan air dan tidak mampu mendistribusikan secara sistematis sungai Serang.

b. Penyimpangan Pelaksanaan Pembebasan Tanah, Intimidasi Ganti Rugi dan Kegagalan Pemukiman Kembali Penduduk yang Terkena Pembebasan Tanah dalam Pembangunan Waduk Kedung Ombo

c. Dampak Proyek Pembangunan Waduk Kedung Ombo

Dampak ikutan yang negatif dari pembangunan Waduk Kedung Ombo ini tidak hanya menimbulkan kerugian dan kesengsaraan di kalangan penduduk yang terkena pembebasan tanah, tetapi terbuangnya suatu

(11)

investasi miliaran rupiah sebagai akibat kurangnya perencanaan secara matang, terbuangnya sumber daya penduduk, ikatan budaya yang hancur. d. Tinjauan Ganti Rugi Berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.

2263 K/PDT/1991 28 Juli 1993

Ketidakpuasan dan berbagai upaya untuk mendapatkan penghidupan yang layak akibat ditenggelamkannya penghidupan penduduk terus berlanjut, hasilnya adalah bentuk putusan MA yang controversial dari putusan pengadilan negeri Boyolali, yang dituangkan dalam Putusan Kasasi MA No. 2263 K/PDt/1993 tanggal 28 Juli 1993, yang mengabulkan gugatan 34 warga Kedung Ombo, meskipun putusan tersebut baru diterima setahun kemudian.

e. Tinajauan Ganti Rugi Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 650 PK/Pdt/1994 Tanggal 26 Oktober 1994

Pada tahun 1994 Majelis Khusus Peninjauan Kembali Mahkamah Agung membatalkan putusan kasasi dengan Nomor Putusan 650 PK/Pdt/1994 tanggal 26 Oktober 1994. Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK) berpendapat bahwa majelis Hakim Kasasi telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut, hal mana menurut Majelis Hakim PK bertentangan dengan Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 67 huruf c UU Mahkamah Agung No. 14 tahun 1985.

f. Perkembangan Penanggulangan Korban Pembangunan Waduk Kedung Ombo

Setelah jatuhnya Soeharto sebagai Presiden, mulailah pencerahan harapan warga Kedungpring dan penduduk lainnya yang menjadi korban pembangunan waduk Kedung Ombo untuk menuntut kembali hak-hak atas ganti ruginya. Abdurrahman Wahid mendesak untuk segera memberikan ganti rugi dan relokasi secara layak dan wajar. Menurutnya, rakyat dipaksa untuk menerima ganti rugi yang tidak manusiawi yang membuat rakyat menderita.

(12)

A. Kebijaksanaan Pencegahan Pemukiman Kembali Secara Terpaksa

Pemukiman kembali secara terpaksa harus menjadi pertimbangan yang penting dalam identifikasi proyek. Tiga unsure penting dalam pemukiman kembali secara terpaksa adalah :

1. ganti rugi atas kehilangan kekayaan serta mata pencarian dan pendapatan 2. bantuan untuk relokasi termasuk penyediaan tempat relokasi dengan

sarana dan fasilitas social yang sesuai

3. bantuan rehabilitasi untuk mencapai, sekurang-kurangnya, tingkat kehidupan yang sama sebagaimana tanpa proyek.

Prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pemukiman kembali, yaitu :

1. sedapat mungkin menghindarkan program pemukiman kembali secara terpaksa

2. memperkecil pemukiman kembali apabila pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan dan menjamin bahwa orang yang dipindahkan menerima bantuan, sebaiknya di bawah tanggung jawab proyek supaya kondisi mereka paling tidak sama seperti bila proyek tidak ada

3. apabila pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, dampak negatif harus dikurangi dengan mencari seluruh alternatif pilihan proyek yang layak

4. segala langkah harus ditempuh untuk mencegah masyarakat yang terpaksa pindah itu tidak menjadi melarat

5. setiap pemukiman kembali secara terpaksa harus sejauh mungkin direncanakan dan dilaksanakan sebagai bagian proyek atau program pembangunan, dan rencana pemukiman kembali secara terpaksa harus dipersiapkan dengan pengalokasian waktu dan anggaran yang sesuai

(13)

6. orang yang terkena pembebasan tanah harus diberi informasi lengkap dan dikonsultasikan mengenai pilihan-pilihan pemukiman kembali dan ganti rugi yang akan diterima.

7. Pola organisasi social yang sesuai harus dibina, dan lembaga-lembaga social dan budaya pemukim dan penduduk di lokasi pindahan harus ditunjang dan difungsikan seefetif mungkin.

8. Ketiadaan sertifikat kepemilikan yang sah atas tanah dari beberapa kelompok yang terkena dampak tidak harus merupakan halangan untuk memberikan ganti rugi.

9. Seluruh biaya pemukiman kembali dan ganti rugi, termasuk biaya-biaya persiapan social dan program mata pencarian, serta keuntungan tambahan yang diperoleh apabila keadaan “tanpa proyek”, perlu dimasukkan dalam penetuan biaya dan manfaat proyek.

10. Agar lebih menjamin ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan tepat pada waktunya, dan agar memenuhi prosedur pemukiman kembali secara terpaksa selama pelaksanaan, biaya pemukiman kembali dan ganti rugi yang layak dapat dimasukkan dalam pendanaan pinjaman Bank Dunia bagi proyek, kalau diminta.

A. Kebijakan Pemukiman Kembali di Beberapa Negara

1. Kebijakan Pemukiman Kembali di Negara Cina

Pada umumnya rencana pemukiman kembali disusun oleh instansi peminjam atau lembaga perencana local setelah berkonsultasi dengan kabupaten dan/atau kotamadya yang terkena dampak.

2. Kebijakan Pemukiman Kembali di Negara India

Pengadaan tanah dan pemukiman kembali diatur dengan petunjuk umum atau petunjuk untuk proyek tertentu. UU 1976 telah disempurnakan dengan Maharashtra Project Affected Persons Rehabilitasi Act 1986. UU ini diterapkan pada proyek irigasi dan menyediakan kerangka pemukiman

(14)

kembali kaum yang terkena dampak, dengan pemberian sawah pengganti dan pekarangan rumah sekitar lokasi irigasi.

3. Kebijakan Pemukiman Kembali di Negara Pakistan

UU Pengadaan Tanah (1894 dengan perubahan beberapa kali) mengatur pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pakistan.

4. Kebijakan Pemukiman Kembali di Negara Filipina

UUD Philipina 1987 menetapkan kebijaksanaan dasar untuk tanah dan mempersyaratkan ganti rugi yang adil untuk ekspropriasi harta swasta oleh Negara.

5. Kebijakan Pemukiman Kembali di Negara Vietnam

UU Pertanahan 1993 menyatakan bahwa tanah adalah milik rakyat, dan Negara adalah pengurus tunggalnya, berlaku adil dalam mengalokasikan tanah dan menentukan penggunaannya. Setiap kota praja wajib menyisihkan sampai 5% tanah pertaniannya untuk kesejahteraan atau kepentingan umum.

A. Pengambilan Tanah melalui Penggusuran Bertentangan dengan Tujuan UU Pokok Agraria

Tindakan penggusuran tanah sebagai upaya pemerintah atau pihak swasta untuk memperoleh tanah nyata-nyata bertentangan dengan asas-asas dan tujuan UU Pokok Agraria, karena tidak didasarkan pada satupun ketentuan peraturan perundang-undangan, baik UU mengenai pencabutan hak, peraturan perundang-undangan pembebasan tanah dan pengadaan tanah. Dewasa ini protes-protes politik yang berkaitan dengan penggusuran lahan garapan banyak dilakukan, terutama terhadap institusi politik yang berkaitan dengan masalah pertanahan.

Secara Konstitusional, perlindungan hak atas tanah juga telah dijamin dalam, pertama Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa

(15)

“Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik tersebut tidak

boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.

Kedua, dalam Pasal 32 Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang

HAM, dinyatakan bahwa “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi

dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang.” Ketiga, pada Bagian Ketujuh mengenai “Hak Atas Kesejahteraan” dalam UU

Nomor 39 Tahun 1999 yang ditegaskan dalam dua ayat, yaitu Pasal 36 dan Pasal 37 ayat (1) dan (2).

B. Kebutuhan Mendesak Pembaruan Hukum Pengadaan Tanah

Meningkatnya kegiatan pembangunan dewasa ini, kebutuhan akan tanah untuk keperluan berbagai proyek juga turut meningkat. Sedangkan di lain pihak penyediaan tanah untuk itu kurang. Ketentuan perundang-undangan mengenai pencabutan, atau pembebasan hak-hak atas tanah untuk kepentingan umum yang berlaku sekarang, perlu dirumuskan kembali sesuai dengan nilai-nilai social yang berkembang dewasa ini, antara lain :

- Pertama, pendefinisian yang konkret tentang pengertian “kepentingan

umum” menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang. Batasan tentang pengertian kepentingan umum yang abstrak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam masyarakat, akibatnya terjadi “ketidakpastian hukum”.

- Kedua, pada peraturan sekarang hanya ditentukan penggantian kerugian

terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun penggarap tanah, atau ahli warisnya.

- Ketiga, pelaksanaan musyawarah tidak dilakukan sesuai dengan alur dan

patut.

- Keempat, dalam ketentuan hukum yang berlaku sekarang, para warga yang

terkena pembebasan dapat diberikan ganti rugi dalam bentuk uang atau tanah pengganti dan permukiman kembali, atau gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti rugi tersebut.

(16)

- Kelima, setiap perselisihan yang terjadi dalam penentuan bentuk dan

besarnya ganti rugi, penyelesaiannya yang paling utama harus dilakukan melalui ADR (Alternative Dispute Resolution).

Berdasarkan paparan yang dikemukakan di atas, dapat ditawarkan formulasi kebijakan hukum masa depan yang menyangkut pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Pertama, mengedepankan landasan filosofis bangsa sebagai paradigma nasional untuk diejawantahkan secara konkret di lapangan, dalam upaya meningkatkan dan sekaligus mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, pembentukan peraturan hukum dimaksud harus mengedepankan aspirasi masyarakat daerah (lokal) dan untuk selanjutnya ditetapkan melalui lembaga yang berwenang dalam bentuk UU. Dalam UU pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat yang dicita-citakan untuk masa depan, harus diadopsi asas kesepakatan, asas kemanfaatan, asas kepastian, asas keadilan, asas komunikasi hukum, asas musyawarah, asas keterbukaan, asas keikutsertaan, asas kesetaraan, dan asas minimalisasi dampak dan kelangsungan kesejahteraan ekonomi.

Komunikasi hukum dan pengetahuan hukum adalah faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi perilaku hukum masyarakat. Warga masyarakat yang terkena dampak pencabutan atau pembebasan tanah akan mematuhi atau tidak mematuhi aturan, menggunakan aturan atau menghindari aturan tanpa mengetahui aturan yang sebenarnya. Dengan kata lain aturan harus dikomunikasikan kepada warga masyarakat, dan masyarakat harus memperoleh pengetahuan tentang isi aturan itu. Semua aturan yang bersifat teknis, administratif secara rinci harus disampaikan kepada warga masyarakat, agar tidak terjadi kekeliruan yang menimbulkan konflik.

Referensi

Dokumen terkait

Upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah resistensi tersebut ialah dengan menghentikan penggunaan insektisida yang sudah tidak efektif untuk sementara waktu (1–2 tahun)

Di dalam kondisi seperti ini masyara- kat satu sama lain tidak ada batas di antara mereka, kepala desa ikut bergabung dan tidak membatasi diri dengan warga yang lain,

Juga Zenha dkk (2009) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa ada hubungan antara kadar antibodi PGL-1 dengan jumlah bakteri (BI) pada kusta tipe MB, yang cenderung mengalami

Pertama, terhadap proses-proses penyelesaian yang terdapat dalam penegakan hukum bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana narkotika secara umum sama halnya

Dari uraian di atas maka pencapaian keefektifan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dalam materi trigonometri berdasarkan ketuntasan secara klasikal, kemampuan

b. peran serta masyarakat, Pemerintah Daerah dan swasta.. KEBIJAKAN PROGRAM TINDAKAN KELUARAN PENYELESAI TARGET AN SASARAN PENANGGUN G JAWAB POSISI b. Menyusun

melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Pencegahan, Kesiapsiagaan dan Kedaruratan sesuai dengan bidang tugasnyak.

Masalah dalam penelitian sebelumnya yaitu tidak ada nya kata terjemahan dari hasil translasi menggunakan MRD Cambridge Dictionary dikarenakan bentuk kata dari noun