• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN ASET DAERAH MENJADI HAK PRIBADI DI KECAMATAN SAMBUTAN KOTA SAMARINDA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN ASET DAERAH MENJADI HAK PRIBADI DI KECAMATAN SAMBUTAN KOTA SAMARINDA."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 7 (2014)

http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2014

TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN ASET DAERAH MENJADI HAK

PRIBADI DI KECAMATAN SAMBUTAN KOTA SAMARINDA.

Ristomoyo Arbi1

(ariztoo@yahoo.com)

(nama penulis)2

(email) Abstrak

Pengadaan tanah yang selama ini dilakukan terutama dikawasan perkotaan dalam rangka rencana tata ruang dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa program pemerintah yang ditempuh melalui pembebasan tanah seperti pencabutan hak atas tanah, jual beli, tukar menukar, atau cara lainnya ataupun dengan dalih untuk kepentingan umum selalu saja menimbulkan konflik dan menimbulkan perlawanan dari pemilik tanah. Aturan hukum pengadaan tanah adalah Undang-undang Nomor 21 tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Instrument hukumnya adalah nasionalisasi, perampasan, pengambilan,

pencabutan hak, jual beli, tukar menukar. Hasil dari rencana tata ruang dengan menggunakan model pengadaan tanah selalu menimbulkan masalah serta ketidakadilan dan mengakibatkan; pertama, menculnya calo-calo tanah; kedua, pemilik tanah tergusur dan dirugikan karena harus dipindah; ketiga, pemilik tanah yang semula dibelakang menjadi di pinggir jalan dan dapat keuntungan tanpa berkeringat karena harga tanah meningkat signifikan; keempat, sisa tanah di pinggir jalan tidak teratur bentuknya; kelima, pembebasan tanah membebani anggaran pemerintah

Sesuai dengan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana Proses Peralihan Aset daerah menjadi Hak Pribadi ( Studi Di Pelita VIII Perumahan Korpri Kecamatan Sambutan Kota Samarinda) dan untuk mengetahui dan menganalisa tinjauan hukum terhadap Peralihan Aset daerah menjadi Hak Pribadi ( Studi Di Pelita VIII Perumahan Korpri Kecamatan Sambutan Kota Samarinda).

Kata Kunci : Peralihan aset daerah, Hak pribadi

1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

(2)

Pendahuluan

Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak manusia dalam kelangsungan kehidupan sehari-hari. Tanah sangat erat hubungannya dengan manusia, karena anah mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia dalam rangka menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Manusia berlomba-lomba untuk menguasai dan memiliki bidang tanah yang diinginkan, oleh karena itu tidak mengherankan kalau setiap manusia yang ingin memiliki dan

menguasainya menimbulkan masalah-masalah tanah, seperti dalam

pendayagunaan tanah. Manusia dalam mendayagunakan tanah tidak seimbang dengan keadaan tanah, hal ini dapat memicu terjadinya perselisihan antara sesama manusia seperti perebutan hak, timbulnya masalah kerusakan-kerusakan tanah dan gangguan terhadap kelestariannya. Dalam rangka mengatur dan menertibkan masalah pertanahan telah dikeluarkan berbagai peraturan hukum pertanahan yang merupakan pelaksanaan dari UUPA sebagai Hukum Tanah Nasional.

Secara umum Undang-Undang Pokok Agraria membedakan tanah menjadi:

1. Tanah Hak

Tanah hak adalah tanah yang telah dibebani sesuatu hak diatasnya, tanah hak juga dikuasai oleh Negara tetapi penggunaannya tidak langsung sebab ada hak pihak tertentu diatasnya.

(3)

2. Tanah Negara

Tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai Negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain diatas tanah itu, tanah itu disebut juga tanah Negara bebas.

Kewenangan Negara yang berkaitan dengan tanah diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) : bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.3 Tanah

adalah bagian dari bumi, oleh sebab itu tanah dikuasai oleh Negara artinya Negara mengatur. Negaralah yang mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengaturan hak atas tanah telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaga Negara 1960 Nomor 104). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria :

Ayat (1), atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Ayat (2), hak menguasai Negara dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk ;

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;

3

(4)

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Ayat (3), wewenang yang besumber pada hak menguasai Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mendapatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraaan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Ayat (4) hak menguasai Negara tersebut di atas pelaksanaanya dapat dikuasai kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.4

Kemudian Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria menentukan bahwa atas dasar hak menguasai sebagai Negara sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum (subyek hak). Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh Negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur agar dapat digunakan bagi kelangsungan

hidup setiap orang secara bersama-sama.5 Pengadaan tanah seluas 30 hektare

yang terletak di Pelita VIII Di Kecamatan Sambutan Kota Samarinda yaitu mengenai Perumahan Korps Pegawai Republik Indonesia yang mana proyek tersebut dari Pemerintah Kota Samarinda yang dilaksanakan oleh pihak PT.

4

(5)

Davindo Jaya Mandiri. Dalam hal ini PT. Davindo Jaya Mandiri adalah pihak yang melaksanakan pembangunan mulai dari pelepasan tanah sampai bangunan perumahan tersebut selesai. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dimana sebidang tanah yang tadinya adalah aset Daerah dapat dialihkan kepada pihak atau badan hukum swasta sesuai dengan tugas pokok dan fungsi peruntukannya, Sehingga dengan ini penulis mengajukan skripsi dengan judul Tinjauan Hukum Terhadap Peralihan Aset Daerah menjadi Hak Pribadi (Studi Di Pelita VIII Perumahan Korpri Kecamatan Sambutan Kota Samarinda).

Pembahasan

1. Proses Peralihan Aset Daerah Menjadi Milik Pribadi di Pelita VIII Perumahan Korpri Kecamatan Sambutan Kota Samarinda.

Tanah Negara/Daerah adalah tanah yang belum dipunyai sesuatu hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria. Tanah tersebut langsung dikuasai oleh Negara, artinya tidak ada pihak lain yang menguasai di atas tanah itu. Tanah Negara dapat berasal dari:

a. Tanah Negara yang belum ada haknya, masih murni;

b. Tanah Negara yang sudah pernah ada haknya, namun karena jangka waktu habis, maka kembali menjadi tanah Negara;

c. Tanah yang ada haknya namun dilepaskan atau dibebankan untuk kepentingan umum dengan diberi ganti rugi;

d. Tanah dengan ketentuan Pasal 21 ayat 3 Undang-undang Pokok Agraria, yaitu orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat;

(6)

e. Tanah dengan ketentuan Pasal 26 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, yaitu memindahkan hak milik baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain kepada orang

asing atau warga Negara Indonesia yang mempunyai

kewarganegaraan asing.

Tanah yang diperuntukkan bagi pembangunan suatu proyek Pemerintah dapat menggunakan tanah yang berstatus sebagai tanah Negara dan tanah hak. Cara perolehan tanah untuk suatu bangunan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Apabila status tanahnya adalah tanah Negara/Daerah, maka perolehan hak nya melalui suatu permohonan dan pemberian hak atas tanah oleh pemerintah;

b. Apabila status tanah adalah tanah hak milik, maka dilihat apakah pihak yang memerlukan tanah memenuhi syarat atau tidak sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan;

c. Apabila asas kesepakatan tidak tercapai atau apabila tidak ada kesediaan dari pemilik tanah sedangkan proyeknya adalah kepentingan umum, maka perolehan haknya dapat dilakukan melalui proses pencabutan hak yaitu proses pengambilan tanah secara paksa, dengan dasar hukum Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah.

Dengan memperhatikan hal di atas maka untuk memperoleh tanah harus diperhatikan ketentuan sebagai berikut:

1) Apa yang menjadi status tanah yang bersangkutan; 2) Status pihak yang memerlukan tanah;

3) Ada atau tidaknya kesediaan pemegang hak untuk melepaskan atau menjual tanahnya.

(7)

Tata cara perolehan tanah oleh swasta berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 1994, menyatakan bahwa:

a. Perolehan tanah oleh perusahaan hanya boleh dilaksanakan di areal yang telah ditetapkan di dalam ijin lokasi;

b. Perolehan tanah dilaksanakan secara langsung antara perusahaan dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah atas dasar kesepakatan;

c. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perolehan hak atas tanah.

Tata cara memperoleh tanah Negara/Daerah, yaitu dengan cara melakukan permohonan hak atas tanah baru kepada instansi yang bersangkutan (Badan Pertanahan Nasional) sesuai dengan kewenangannya. Syarat pengajuan hak untuk tanah Negara/Daerah yaitu:

a. Identitas pemohon atau status badan hukum; b. Identitas tanah yang dimohon;

c. Surat lain yang diminta (bukti wajib pajak PBB).

Adapun tata cara perolehan tanah oleh pihak swasta yaitu dengan cara Ijin lokasi. Ijin lokasi adalah ijin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka pematangan lahan perumahan dan berlaku pula sebagai ijin pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan pematangan lahan tersebut.Ijin lokasi sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan tanah untuk pembangunan. Pengadaan tanah untuk pembangunan harus dilakukan pula dengan memperhatikan keadaan masyarakat pada umumnya, oleh sebab itu

(8)

jika ada suatu kegiatan pemerintah yang membutuhkan suatu tanah atau lokasi maka tanah itu harus dibebaskan dari segala macam hak atas tanah dan dimohonkan kembali hak yang sesuai dengan maksud dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang membutuhkan lahan harus memperoleh ijin terlebih dahulu sebelum pembangunan dilakukan atau disebut dengan ijin lokasi. Apabila semua keterangan yang diperlukan telah lengkap dan tidak ada keberatan dari pihak lain, maka dalam hal keputusan pemberian hak milik kewenangannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia

Pemeriksa Tanah tersebut, kemudian Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota menerbitkan Surat Keputusan pemberian hak milik atas tanah Negara yang dimohon dengan kewajiban tertentu.

Pada Pasal 46 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang menyatakan bahwa, pemindahtanganan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk:

1) Tanah dan/atau bangunan;

2) Selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);

(9)

Dari hal di atas dinyatakan bahwa harus memiliki persetujuan DPRD, sehingga dalam hal ini harus memiliki proses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berikut Bagan Proses dan Tata cara pelaksanaan aset daerah atas Tanah dan/atau Bangunan:

Pemohon (PT. Davindo jaya Mandiri) mengajukan usulan atas Aset Daerah berupa tanah kepada Kepala Daerah disertai alasan pertimbangan serta kelengkapan data

Kepala Daerah (Walikota) membentuk Tim untuk meneliti dan mengkaji usul yang disampaikan oleh PT. Davindo jaya Mandiri sesuai PP Nomor 6 Tahun 2006

Apabila Kepala Daerah menyetujui, selanjutnya Kepala Daerah mengajukan permohonan persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menghapus atau memindahtangankan aset Daerah tersebut yang akan dijadikan sebagai hak milik

Setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala Daerah menetapkan penghapusan terhadap aset tersebut, selanjutnya Kepala Daerah mempersiapkan rancangan

Peraturan Daerah

Setelah ditetapkan, selanjutnya dilakukan penyerahan tanah dengan berita acara serah terima kepada PT. Davindo jaya Mandiri

Pelaksanaan sesuai dengan aturan perundang-undangan

Laporan pemindahtanganan diajukan oleh Kepala Daerah (Walikota) kepada Menteri Dalam Negeri selambat-lambatnya 8 hari setelah ditetapkan keputusan penghapusan

(10)

2. Tinjauan hukum terhadap peralihan aset daerah di Pelita VIII Perumahan Korpri Kecamatan Sambutan Kota Samarinda.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perubahan Keempat menyatakan sebagai berikut:

a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.

b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut telah secara jelas menyatakan cabang-cabang produksi yang penting, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara. Namun, pada masa pemerintahan Presiden Megawati tindakan privatisasi aset Negara banyak dilakukan, baik terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan negara lainnya. Padahal tindakan tersebut tidak selamanya menguntungkan bagi pemerintah maupun Rakyat Indonesia. Bahkan sebaliknya, dengan privatisasi aset Negara oleh pribadi maupun asing ini dapat merugikan Bangsa. Bila deviden yang dulunya dihasilkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagian besar langsung masuk kas Negara, dengan beralihnya kepemilikan aset, secara otomatis Pemerintah hanya akan mendapat pemasukan dari pajak. Padahal nilai nominal yang diperoleh dari pajak masih terlalu kecil, jika dibandingkan dengan pemasukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat masih di bawah kendali pemerintah sendiri.

(11)

Tindakan privatisasi aset Negara ini masih banyak dilakukan hingga saat ini, karena longgarnya aturan di bidang tersebut. Pemilikan swasta atas aset Negara tidak hanya dilakukan terhadap pemasukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan-perusahaan milik pemerintah melalui privatisasi, tetapi juga pemilikan oleh swasta terhadap aset negara oleh pejabat Negara, melalui pengalihan aset Negara menjadi milik pribadi oleh mantan pejabat maupun pihak ketiga. Kendala lain yang dihadapi kementerian dalam pengelolaan aset terkait kepemilikan antara lain masalah sertifikasi kepemilikan dan gugatan hukum atas aset. Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya sebagai dasar hukum yang melindungi aset Negara sekarang ini dinilai sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan yang ada. Undang-Undang tersebut dinilai memberikan kelonggaran terhadap pihak-pihak yang ingin memiliki aset negara, khususnya aset tidak bergerak seperti tanah dan/atau bangunan.

Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 hanya mengatur aset negara dalam arti sempit, yaitu tanah milik negara yang dialihkan kepada pihak ketiga, sehingga tidak menyangkut aset negara dalam bentuk lain. Aset negara dalam pengertian yuridis-normatif adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, seperti hibah/sumbangan, pelaksanaan dari perjanjian/kontrak, ketentuan undang-undang, atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(12)

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang mengatur, pengelolaan aset Negara berada pada penguasaan Menteri Keuangan selaku bendahara umum Negara, sedangkan pimpinan kementerian/lembaga negara merupakan pengguna barang milik Negara, dan pejabat satuan kerja sebagai kuasa pengguna barang milik Negara. Berbeda dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 yang komprehensif mengatur barang milik negara/daerah, dalam Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang berhak atau kuasanya adalah tidak kuatnya sanksi bagi orang yang mengalihkan aset Negara secara tidak sah, sanksinya hanya diancam hukuman Rp. 5.000,- atau pidana penjara maksimal 3 bulan. Masalah tanah dan/atau bangunan milik Negara tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini mengingat pentingnya pengamanan aset negara berupa barang tidak bergerak.

Pengaturan tersebut dibutuhkan, karena ada kecenderungan dewasa ini rumah milik negara yang dikuasai dan/atau dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa dasar hukum dan prosedur yang jelas. Ketiadaan pengaturan mengenai tanah dan/atau bangunan milik negara memudahkan pihak

tertentu yang tidak bertanggung jawab menguasai bahkan

memindahtangankan aset negara menjadi milik pribadi. Obyek tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 adalah meliputi tanah yang ada di seluruh wilayah Republik Indonesia, baik itu merupakan

(13)

tanah negara maupun tanah yang telah dilekati Hak-hak atas tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh badan hukum maupun perorangan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tidak menyebutkan secara spesifik tentang tanah, melainkan menyebut tentang kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri oleh pihak lain yang dapat berupa uang, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah telah dengan jelas menyebutkan di berbagai pasalnya dan membedakan antara Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah dan berupa bukan tanah.

Mengenai pejabat yang berwenang dalam pengelolaan tanah, maka Perpu inipun sejalan dengan apa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang melibatkan Pemerintah Pusat dan Daerah, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menghendaki keterlibatan pemerintah pusat

(Menteri Agraria) maupun pemerintah daerah (dalam hal ini

Bupati/Walikota/Kepala Daerah. Aturan yang melandasi pertimbangan pemindahtanganan barang milik daerah yang tidak bergerak dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pada bagian lampiran poin XII mengenai pemindahtanganan menjelaskan bahwa pelepasan hak atas tanah dan bangunan pemerintah daerah dikenal dengan dua cara, yakni melalui pembayaran ganti rugi atau dengan cara tukar menukar. Pelepasan ini bertujuan :

(14)

1) Untuk meningkatkan tertib administrasi pelaksanaan pelepasan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara ganti rugi atau dengan cara tukar menukar dalam rangka pengamanan barang milik daerah;

2) Mencegah terjadinya kerugian daerah

3) Meningkatkan daya guna dan hasil guna barang milik daerah untuk kepentingan daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Adapun alasan berikut bisa digunakan sebagai alasan pelepasan hak: a) Terkena planologi,

b) Belum dimanfaatkan secara optimal (idle)

c) Menyatukan barang/aset yang lokasinya terpencar untuk

memudahkan koordinasi dan dalam rangka efisiensi;

d) Memenuhi kebutuhan organisasi pemerintah daerah sebagai akibat pengembangan organisasi; dan

e) Pertimbangan khusus dalam rangka pelaksanaan rencana strategis hankam.

Motivasi/pertimbangan lainnya, yakni :

a) Disesuaikan dengan peruntukan tanahnya berdasarkan rencana umum tata ruang kota/wilyah (RUTRK/W)

b) Membantu instansi pemerintah di luar pemerintah daerah yang bersangkutan yang memerlukan tanah untuk lokasi kantor, perumahan dan unuk keperluan pembangunan lainnya;

c) Tanah dan bangunan pemerintah daerah yang sudah tidak ccocok lagi dengan peruntukan tanahnya, terlalu sempit dan bangunannya sudah tua sehingga tidak efektif lagi untuk kepentingan dinas dapat dilepas kepada pihak ketiga dengan pembayaran ganti rugi atau cara tukar menukar;

(15)

Untuk itu perlu diperhatikan; Dalam hal tukar menukar maka nilai tukar pada prinsipnya harus berimbang dan lebih menguntungkan pemerintah daerah selain itu apapun yang harus dibangun pihak ketiga diatas tanah tersebut harus seijin pemerintah daerah agar sesuai dengan peruntukan tanahnya dan dalam hal pelepasan hak dengan pembayaran ganti rugi, diperlukan surat pernyataan kesediaan pihak ketiga untuk menerima tanah dan/atau bangunan itu dengan pembayaran ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Dalam hal tukar menukar diperlukan surat perjanjian tukar menukar antara Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah, antar Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga yang bersangkutan yang mengatur materi tukar menukar, hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk wilayah Kota Samarinda sendiri kewenangan negara dalam mengelola Hak Menguasai Negaranya sudah didelegasikan kepada Pemerintah Kota Samarinda, pemerintah Kota Samarinda dalam hal ini telah diberi kewenangan untuk mengurus dan mengelola tanah Negara dengan bentuk Hak Pengelolaan.

Pemerintah kota diharapkan dapat melaksanakan tujuan utama dalam memegang hak pengelolaan yaitu agar tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak yang memerlukan. Pihak-pihak yang memerlukan ini adalah para pemohon pelepasan aset yang ingin memberdayagunakan tanah-tanah negara yang pada saat-saat tertentu

(16)

Pemberdayagunaan disini misalnya sebagai tempat tinggal untuk masyarakat prasejahtera yang membutuhkan lahan tempat tinggal sehingga tanah negara tersebut dapat dihuni. Seperti yang kita lihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah bahwa sesungguhnya selama ini permohonan pelepasan aset tanah Negara langsung diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri dalam hal ini bisa didelegasikan kepada kepala daerah setempat atau Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sehingga lebih mempermudah masyarakat yang ingin mendapatkan hak kepemilikan atas tanah yang selama ini dikuasainya.

Kemudian pada Pasal 54 ayat (1 dan 2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengeleloaan Barang Milik Negara/Daerah, menyatakan bahwa :

a. Tukar menukar barang milik Negara/Daerah dilaksanakan dengan pertimbangan :

1) untuk memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan pemerintahan;

2) untuk optimalisasi barang milik Negara /Daerah; dan

3) tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.

b. Tukar menukar barang milik Negara dapat dilakukan dengan pihak: 1) Pemerintah Daerah

2) Badan usaha milik Negara/Daerah atau badan hukum milik Pemerintah lainnya;

(17)

Dengan adanaya ketentuan di atas maka dengan ini penulis menjabarkan bahwa kepemilikan aset daerah juga dapat diperoleh oleh pihak swasta, sehingga dengan adanya hal tersebut menjadi kekuatan hukum bagi PT. Davindo Jaya Mandiri untuk mengelola tanah tersebut. Mengingat alasan tersebut di atas, maka wajar jika PT. Davindo Jaya Mandiri di Kota Samarinda melakukan permohonan pelepasan aset tanah Daerah ini. Dalam hal penjualan dinyatakan dalam Pasal 51 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang MIlik Negara/Daerah, Penjualan barang milik Negara/Daerah dilaksanakan dengan pertimbangan:

a. untuk optimalisasi barang milik Negara yang berlebih atau idle; b. secara ekonommis lebih menguntungkan bagi Negara apabila dijual; c. sebagai pelaksana ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Perolehan hak atas tanah bagi bangunan perumahan Korpri di Kecamatan Sambutan tidak berbeda dengan perolehan hak atas tanah pada umunya. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan diketahui bahwa untuk memperoleh hak atas tanah bagi bangunan perumahan korpri di Kecamatan Sambutan, pihak pemegang dalam hal ini PT. Davindo Jaya Mandiri harus memperoleh ijin lokasi dari walikota Samarinda terlebih dahulu. Selanjutnya melakukan perolehan hak atas tanah dengan cara pembelian lahan atau tanah yang belum dikuasai PT. Davindo Jaya Mandiri dan telah disetujui oleh Pemerintah Kota Samarinda yang dituangkan dalam ijin lokasi. Dalam kaitannya dengan perumahan Korpri pihak pembangun melakukan pendekatan dengan masyarakat dan kemudian agar melakukan pelepasan

(18)

hak atas tanah terhadap yang dikuasainya. Dalam hal penjualan di atas tersebut diatur dalam Pasal 52 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang MIlik Negara/Daerah yang menyatakn bahwa, penjualan barang milik Negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh:

1) pengelola barang untuk barang milik Negara;

2) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur / bupati / walikota untuk barang milik daerah.

Selanjutnya mengenai perolehan hak milik atas aset daerah dapat dimiliki oleh PT. Davindo Jaya Mandiri dengan memperhatikan ketentuan yang mengatur atas dasar perolehan aset daerah menjadi miliki pribadi.

Penutup Kesimpulan

1. Pasal 46 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang menyatakan bahwa, pemindahtanganan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk:

a. Tanah dan/atau bangunan:

b. Selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dilakukan setelah mendapat persetujuan DPRD.

(19)

Dari hal di atas dinyatakan bahwa proses mendaapaatkan hak milik harus memiliki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sehingga dalam hal ini harus memiliki proses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Perolehan hak atas tanah bagi bangunan perumahan Korpri di Kecamatan

Sambutan tidak berbeda dengan perolehan hak atas tanah pada umunya. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan diketahui bahwa untuk memperoleh hak atas tanah bagi bangunan perumahan korpri di Kecamatan Sambutan, pihak pemegang dalam hal ini PT. Davindo Jaya Mandiri harus memperoleh ijin lokasi dari walikota Samarinda terlebih dahulu. Selanjutnya melakukan perolehan hak atas tanah dengan cara pembelian lahan atau tanah yang belum dikuasai PT. Davindo Jaya Mandiri dan telah disetujui oleh Pemerintah Kota Samarinda yang dituangkan dalam ijin lokasi. Dalam kaitannya dengan perumahan Korpri pihak pembangun melakukan pendekatan dengan masyarakat dan kemudian agar melakukan pelepasan hak atas tanah terhadap yang dikuasainya. Selanjutnya mengenai perolehan hak milik atas aset daerah dapat dimiliki oleh PT. Davindo Jaya Mandiri dengan memperhatikan ketentuan yang mengatur atas dasar perolehan aset daerah menjadi miliki pribadi.

(20)

Saran

1. Aset Daerah yang telah ada seharusnya dikelola lebih baik sehingga menghasilkan keuntungan optimal. Seharusnya Kepala Daerah mulai dari Bupati, Walikota, hingga Gubernur sejak dari awal memahami hakekat manajemen aset Daerah. Pada prinsipnya itu menyatakan bahwa pengelolaan aset membutuhkan minimalisasi biaya kepemilikan, memaksimalkan ketersediaan aset, dan memaksimalkan penggunaan aset.

2. Pemerintah seharusnya dalam hal pelepasan aset Daerah lebih mengikut sertakan panitia pengadaan tanah agar dalam proses pelepasan tersebut terdapat keseimbangan pendapat sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing, sehingga dapat terciptanya harmonisasi antara pemerintah dengan pihak swasta yang ikut dalam proses peralihan aset daerah yang dilakukan di Perumahan Korpri VIII Kecamatan Sambutan Kota Samarinda.

Daftar Pustaka A. Literatur

Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Agraria Pertanahan Indonesia, Jilid 2,

Prestasi Pustaka karya, Jakarta.

B.F.Sihombing, 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah

Indonesia, Cetakan kedua, PT Toko Gunung Agung, Jakarta.

Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Cetakan keduabelas Djambatan, Jakarta.

Dirdjosisworo, Soedjono, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Fajar Intrepratama,

Jakarta.

Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Aditya Citra

Bakti, Bandung.

Nasution, Bahdar Johan, 2008, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Cristine S.T. Kansil, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria, PT. Sinar

(21)

R. Raharjo, 2008, Himpunan Istilah Pertanahan dan Yang Terkait, Penerbit: Djambatan, Jakarta.

Setiawan Yudhi,2009, Instrumen Hukum Campuran Dalam Konsolidasi Tanah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Simorangkir, J.C.T, 2008, kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Sumardjono, Maria, S.W, 2009, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional

Bidang Pertanahan, Departemen Hukum dan Ham, Jakarta. Supriadi, 2008, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.

B. Peraturan perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Tahun 1945

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, pasal 1

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006

C. Sumber Lain

http://massofa.wordpress.com. www.sukirman.com.

Referensi

Dokumen terkait