• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN DPR DALAM HAL PENGANGKATAN DUTA BESAR SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN DPR DALAM HAL PENGANGKATAN DUTA BESAR SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Hary Restu Himawan Nim: 109048000006

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Hary Restu Himawan NIM 109048000006. PERAN DPR DALAM HAL PENGANGKATAN DUTA BESAR SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2014 M. x + 84 halaman + halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Peran DPR Dalam Hal Pengangkatan Duta Besar Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Deskriptif Analitis/Yuridis

Normatif dengan menggunakan sistem studi pustaka, serta menggunakan bahan-bahan

lainnya seperti makalah, jurnal, Disertasi, Thesis dan Skripsi terdahulu.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan kewenangan yang cukup besar kepada DPR untuk mengawasi jalannya Pemerintahan. Dengan di Amandemennya Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan Pertimbangan terhadap proses pengangkatan duta besar. Hal ini dilakukan agar proses pengangkatan duta besar tidak lagi mengabaikan aspek kualitas dan kepentingan diplomasi, mengingat pada masa lalu pengangkatan duta besar dilakukan secara tertutup oleh Presiden. Secara yuridis sifat pertimbangan DPR terhadap proses pengangkatan duta besar tidaklah mengikat, namun Presiden sangat dianjurkan untuk memperhatikan pertimbangan yang diberikan oleh DPR mengenai Proses Pengangkatan duta besar.

(6)

v

Pembimbing I : Dedy Nursamsi, SH, M.Hum NIP. 196111011993031002 Pembimbing II : Drs. Subarkah, SH, M.H

NIP.

(7)

vi Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirobbil’alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat serta nikmatnya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “ PERAN DPR DALAM

HAL PENGANGKATAN DUTA BESAR SEBELUM DAN SESUDAH

AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TAHUN 1945 ” ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses penulisan ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Arip Purkon, SH.I,

MA. Selaku Kepala dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.

(8)

vii

dengan sabar telah memberikan arahan dan masukan. Untuk waktu serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Subarkah, SH, M.H. Selaku dosen Pembimbing 2 yang dengan ikhlas memberikan ide, gagasan dan masukan serta arahan terhadap proses penyusunan skripsi ini.

5. Ayahanda Ind rat n o dan Ibunda Saptanti Juli Astuti yang penulis sayangi dan hormati, terima kasih yang tak terhinga atas kasih sayang, doa, bimbingan, nasihat, s e r t a materi yang telah diberikan. Skripsi ini penulis persembahkan untuk Ayah dan Ibu.

6. Kepada kedua adik tercinta, Andy Prabowo Priambodo dan Intan Tri Wulandari yang selama ini memberikan dukungan serta semangat, juga untuk kasih sayang kalian kepada penulis.

7. Keluarga besar Hoemam dan kepada saudara-saudara yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan motivasi, semangat, dan nasihat kepada p e n u l i s . Terimakasih atas doanya semoga Allah selalu melindungi kalian.

8. Kepada wanita yang selalu mendampingi penulis, Tri Kusuma Astuti, S.S disaat senang maupun susah, yang telah memberikan suntikan semangat, terima kasih atas semua waktu, kasih sayang, dan perhatian yang telah engkau berikan.

(9)

viii

9. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum khususnya angkatan 2009, terima kasih sudah membantu, memotivasi, dan selalu menghibur . May Allah bless us! 10. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amien).

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb.

Jakarta, Januari 2015

(10)

ix

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK...iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI………....ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu... 7

E. Metode Penelitian... 8

F. Analisis Data ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN A. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Sebelum Perubahan UUD NRI Tahun 1945 ... 16

1. Fungsi Legislasi ... 17

2. Fungsi Anggaran ... 19

3. Fungsi Pengawasan ... 19

B. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Sesudah Perubahan UUD NRI Tahun 1945……… ... 20

1. Fungsi legislasi ……….. .. 22

2. Fungsi anggaran ... 23

3. Fungsi pengawasan ... 23

(11)

x

A. Pengertian Perwakilan Dilomatik ... 33

B. Perwakilan Diplomatik Dalam Konvensi Wina Tahun 1961 ... 34

1. Berlakunya € Hubungan€ Diplomatik ... 35

2. Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik ... 38

3. Kekebalan dan Keistimewaan Perwakilan Diplomatik ... 44

4. Berakhirnya Fungsi Perwakilan Diplomatik ... 48

C. Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia ... 49

1. Perwakilan Diplomatik Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri ... 49

2. Perwakilan Diplomatik Menurut Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2003 Tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri ... 51

D. Pengangkatan Duta Besar Sebelum Perubahan UUD NRI Tahun 1945 ... 54

E. Kedudukan Perwakilan Diplomatik Dalam Struktur Pemerintahan RI ... 58

BAB 1V ANALISIS PERAN DPR DALAM PENGANGKATAN DUTA BESAR SESUDAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 A. Menguatnya Kekuasaan DPR Dalam Fungsi Pengawasan ... 66

B. Pengangkatan Duta Besar Setelah Perubahan UUD NRI Tahun 1945 ... 69

C. Mekanisme Pertimbangan DPR Dalam Pengangkatan Duta Besar ... 72

D. Implikasi Hukum Pertimbangan DPR Dalam Pengangkatan Duta Besar Oleh Presiden ... 76

1. Aspek Politik ... 77 2. Aspek Historis ... 77 3. Aspek Hukum ... 78 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 84 B. SARAN ... 86

(12)
(13)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suasana perpolitikan nasional setelah tumbangnya rezim orde baru disambut oleh semua kalangan sebagai masa kebebasan dalam berekspresi, keadaan ini semakin bertambah seiring dengan dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang di anggap turut melindungi kekuasaan otoriter tersebut selama 32 tahun dan kerap melahirkan kekuasaan tanpa batas.

Nuansa kehidupan demokratis semakin terasa ketika para elit politik kembali melakukan peran dan fungsinya masing-masing, sentralisasi kekuasaan yang menumpuk pada lembaga eksekutif di masa lalu berubah menjadi pemerataan kekuasaan dengan saling kontrol antar lembaga negara. Hal ini pula yang memulihkan kembali peran lembaga perwakilan, lembaga yang merupakan simbol dari keluhuran demokrasi di mana didalamnya terdapat orang-orang pilihan yang dijadikan wakil rakyat yang memiliki integritas, tanggung jawab, etika serta kehormatan yang kemudian dapat diharapkan menjadi perangkat penyeimbang dan pengontrol terhadap kekuasaan eksekutif sebagai penggerak roda pemerintahan.

Bagi negara yang menganut kedaulatan rakyat, keberadaan lembaga perwakilan hadir sebagai suatu keniscayaan. Adalah tidak mungkin membayangkan terwujudnya suatu pemerintah yang menjujung demokrasi tanpa

(14)

kehadiran institusi tersebut. Karena melalui lembaga inilah kepentingan rakyat tertampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan umum yang sesuai dengan aspirasi rakyat.

Untuk itu menurut kelaziman teori-teori ketatanegaraan, lembaga ini berfungsi dalam tiga wilayah, yaitu wilayah legislasi atau pembuat peraturan perundang-undangan, wilayah penyusunan anggaran, serta wilayah pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.1 Dalam UUD 1945 setelah perubahan, pengaturan terhadap lembaga perwakilan di Indonesia ini dapat kita lihat pada Pasal 1 ayat (2) dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).2

Pada Pasal 20A ayat (1), DPR sendiri memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Selanjutnya dalam melaksanakan fungsinya, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 20A ayat (2), DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan usul dan berpendapat sekaligus hak imunitas. kedudukan DPR sendiri sangat kuat, karena presiden tidak dapat membekukan ataupun membubarkan DPR sebagai mana tertera pada Pasal 7C.

Namun demikian keberadaan lembaga perwakilan tersebut belum dapat berfungsi penuh sebagai mana mestinya, karna masih perlu di tindaklanjuti

1

C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia , Jakarta, Bumi Aksara, Cetakan kedelapan, 1995, h. 213

2 Bintan.R.Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1988, h. 115

(15)

dengan kesepakatan undang-undang yang akan menjadi payung hukum lembaga tersebut. Sejalan dengan perubahan struktur sistem kelembagaan negara dengan diamandemennya UUD 1945 serta perubahan dinamika perpolitikan yang terus melangkah maju dengan kemudian menata kearah perpolitikan yang sehat dan demokratis, maka pengamatan terhadap DPR sebagai salah satu lembaga perwakilan dan sebagai lembaga politik sangatlah penting. Kenyataan yang berkembang menunjukan adanya fenomena baru terhadap peran lembaga perwakilan tersebut. Peran DPR seakan di sulap dari yang tak berdaya tatkala berhadapan dengan pemerintah, mengalami perubahan menjadi lembaga yang kuat terutama dalam fungsinya mengawasi lembaga eksekutif.

Secara legal formal peran DPR terlebih dalam fungsi pengawasan mengalami Perubahan besar setelah di lakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan sejak Sidang Umum MPR 1999. Dengan fungsi pengawasan yang dimiliki legislatif misalnya, menjadikan setiap kebijakan pemerintah yang akan di buat maupun akan dilaksanakan harus terlebih dahulu mendapat persetujuannya. Hak prerogatif yang dimiliki presiden semakin sempit, karena di sisi lain DPR menempatkan diri sebagai lembaga penentu kata-putus dalam betuk memberi persetujuan dan beberapa pertimbangan terhadap agenda-agenda pemerintah.3 Dalam pembuatan undang-undang, presiden kini hanya memiliki kekuasaan mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU).

3

(16)

Kekuasaan untuk menetapkan suatu RUU menjadi Undang-Undang ada di tangan DPR. Terkait hal pengangkatan duta, Presiden harus terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan DPR. Dalam Undang-undang No 37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, terdapat beberapa hak prerogatif presiden yang harus melibatkan persetujuan atau pertimbangan dari DPR. Pasal 6 Undang-undang No 37 Tahun 1999 menyatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri pemerintah Republik Indonesia berada ditangan presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Mengenai fungsipengawasan DPR terlihat pula dalam pengangkatan Duta Besar Republik Indonesia (RI).4 Pasal 13 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan, menyebutkan “Dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”. Menurut ketentuan yang baru tersebut menunjukkan bahwa dalam pengangkatan Duta Besar (Dubes) tidak hanya merupakan hak prerogratif Presiden namun juga melibatkan peran DPR untuk memberikan pertimbangan.5

Hal ini bertujuan supaya DPR sebagai lembaga perwakilan dilibatkan dalam proses pengangkatan duta besar. Ini merupakan cerminan daripada fungsi pengawasan DPR kepada Presiden, walaupun dalam hal ini DPR hanya

4

Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 2000, h. 57

5 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung, Fokus Media, 2007, h. 85

(17)

memberikan suatu bentuk pertimbangan, tetapi disini presiden sangat dianjurkan untuk memperhatikannya secara seksama. Tujuan dari pertimbangan yang diberikan DPR ini memiliki fungsi yang cukup penting, supaya duta besar yang terpilih benar-benar mampu untuk membawa kepentingan Indonesia di kancah internasional.

Sebelum diamandemennya Pasal 13 UUD 1945, ketentuan mengenai pengangkatan duta besar merupakan hak prerogatife presiden yang mandiri. Dalam hal ini presiden mengangkat duta besar tanpa perlu memperhatikan petimbangan dari DPR selaku lembaga legislatif. Ini merupakan konsekuensi dari kedudukan presiden sebagai kepala negara.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam berkenaan dengan hal ini, sekaligus juga sebagai pemenuhan tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) dengan mengangkat judul skripsi tentang “ Peran DPR Dalam

Hal Pengangkatan Duta Besar Sebelum Dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan masalah hanya pada ruang lingkup mengenai proses pengangkatan duta besar pada era orde baru dan peran DPR dalam memberikan pertimbangan kepada presiden dalam hal

(18)

pengangkatan duta besar sesudah amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat perumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana peran duta besar dalam hubungan diplomatik ?

b. Bagaimana mekanisme DPR dalam memberikan pertimbangan kepada presiden tentang pengangkatan duta besar ?

c. Apa dampak hukum pertimbangan DPR dalam proses pengangkatan duta besar oleh presiden ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berkenaan dengan pokok permasalahan diatas, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut untuk :

a. Menjelaskan peran dari duta besar dalam hubungan diplomatik.

b. Menganalisis mekanisme DPR dalam memberikan pertimbangan kepada presiden tentang pengangkatan duta besar.

c. Memahami dampak hukum dari pertimbangan DPR dalam proses pengangkatan duta besar oleh presiden.

2. Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat dari segi akademis dan praktis, yaitu :

(19)

Secara akademis: dapat menjadi aspek pendukung dalam ilmu hukum kelembagaan Negara, agar penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi dan peningkatan wawasan akademis para akademisi di bidang hukum, khususnya mengenai peran DPR dalam hal pengangkatan duta besar sebelum dan sesudah amandemen Undang-undang Dasar tahun 1945.

Secara Praktis: memberikan informasi bagi para akademisi dan masyarakat luas mengenai peran DPR dalam memberikan pertimbangan kepada presiden dalam hal pengangkatan duta besar sebelum dan sesudah amandemen Undang-undang Dasar Tahun 1945.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian

yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian lainnya yang pernah membahas seputar kewenangan DPR sebagai lembaga perwakilan pasca amandemen undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945, yaitu:

1. “Hubungan Antara Dewan Perwakilan Rakyat Dengan Presiden Pasca Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Skripsi ini ditulis oleh Hadi Utomo dari Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Malang. Dalam skripsi ini penulis memaparkan mengenai hubungan koordinasi antara DPR dengan Presiden pasca amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mulai dari Bidang Perancangan Undang-Undang, Penyusunan anggaran pendapatan dan belanja

(20)

Negara, dan memberikan rekomendasi kepada presiden dalam mengangkat pejabat tinggi Negara.

2. “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.” Buku ini ditulis oleh Abdy Yuhana S.H, M.H, buku ini

dterbitkan pada tahun 2010. Dalam buku ini penulis membahas tentang sistem perwakilan yang dianut di republik Indonesia dari perspektif ilmu hukum ketatanegaraan. Dimana dibahas lebih lanjut mengenai tugas dan kedudukan lembaga perwakilan di Indonesia pasca perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

E. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan.6 Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder.7 Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui

6

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, h. 23

7 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998, h. 10

(21)

penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

2. Sumber Data

Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah berupa bahan hukum, yang terdiri dari :

Bahan hukum primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar hukum peran DPR dalam memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan duta besar republik Indonesia, yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri;

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003 Tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia Di Luar Negeri;

e. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib;

(22)

f. Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri dan Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 01/A/OT/I/2006/01 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri;

g. Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor SK.06/A/OT/VI/2004/01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia di Luar Negeri.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan

penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain adalah tulisan berupa pendapat para pakar Hukum Tata Negara yang terdapat dalam buku-buku, tesis, makalah, jurnal hukum.

Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, majalah, artikel, koran dan lainnya.8

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh

8 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

(23)

peneliti adalah teknik dokumentasi. Pada tahap dokumentasi, penulis mengumpulkan buku-buku, majalah, artikel-artikel dan lain-lain untuk memudahkan penulis dalam mencari teori-teori yang berkaitan dengan judul skripsi.

F. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu setelah data diklasifikasikan sesuai aspek data yang terkumpul lalu diinterpretasikan secara logis.9 dengan melihat data-data yang diperoleh penulis melalui observasi dan dokumentasi setelah itu dianalisis kemudian disusun dalam laporan penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Buku pedoman yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah buku pedoman skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, terbitan tahun 2012.

Untuk Mempermudah pemahaman dan memperoleh gambaran yang jelas mengenai keseluruhan dari penulisan skripsi ini, berikut sistematikanya:

BAB I adalah Pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar belakang masalah kajian skripsi ini, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, dan sistematika penulisan.

9 http://www.google.co.id/tanya/thread?tid=342186c09aff08b4. diakses pada Tanggal 15 desember 2013

(24)

BAB II adalah tinjauan umum tentang DPR sebagai lembaga perwakilan di Indonesia. Pada bab ini penulis memaparkan mengenai kewenangan DPR sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar NRI 1945, baik dalam bidang legislasi, bidang anggaran, dan bidang pengawasan. Penulis juga mencantumkan penerapan prinsip check and balance antara DPR dan Presiden.

BAB III adalah mengenai tugas dan kedudukan duta besar berdasarkan Konvensi Wina dan Keputusan Presiden No 108 Tahun 2003, serta kedudukan seorang duta besar dalam struktur Pemerintahan Republik Indonesia.

BAB IV adalah merupakan bab pembahasan, pada bab ini penulis akan berbicara mengenai mekanisme yang dilakukan oleh DPR dalam memberikan pertimbangan kepada presiden tentang pengangkatan duta besar sesudah amandemen Undang-undang Dasar 1945 serta implikasi hukum dari proses pertimbangan DPR kepada Presiden tentang pengangkatan duta besar.

BAB V bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari penulis.

(25)

13

TINJAUAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN

Dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip kedaulatan rakyat adanya lembaga perwakilan rakyat merupakan suatu keharusan. Gagasan awal terbentuknya badan perwakilan rakyat adalah ketika tidak dimungkinkan nya pengambilan keputusan yang berkaitan dengan persoalan rakyat dalam sebuah negara yang mempunyai jumlah penduduk banyak dan letak geografis negara yang luas, sehingga muncul pemikiran agar diwakilkan kepada sejumlah orang melalui lembaga yang dibentuk lalu disebutlah lembaga tersebut sebagai lembaga perwakilan rakyat.

International Comission of Jurist merumuskan sistem politik yang demokrasi

sebagai suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.10 Lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagi suatu keniscayaan dalam menjalankan system pemerintahan yang demokratis. Lembaga negara ini merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh rakyat.11

10

PSHK, Semua harus terwakili; Studi mengenai reposisi MPR, DPR, dan lembaga

Kepresidenan di Indonesia, Jakarta, PSHK, 2000, h. 339

11 Abdy Yuhana, “Sistem Ketatanegaraan Indonesia : Pasca Perubahan UUD 1945” (Bandung: Fokusmedia, 2013), h. 57

(26)

Secara fungsional, perwakilan (politik) yang berlaku dalam system ketatanegaraan tidaklah terpisah dengan lembaga perwakilan sebagai suatu lembaga yang dibangun dengan fungsi merealisasikan kekuasaan rakyat kedalam bentuk suatu aspek lembaga dan proses pemerintahan.12 Lembaga perwakilan merupakan suatu wadah terhimpunnya aspirasi rakyat, dimana didalamnya terdapat proses interaksi antara wakil rakyat dengan rakyatnya. Dengan perwakilan itulah demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan dilaksanakan.

Lembaga perwakilan rakyat, seperti yang tersebut dalam kepustakaan mempunyai dua padanan terminologi yang berbeda, yaitu parlemen (Parliament) atau legislatif (legislative). Kedua terminologi itu sebetulnya mempunyai pengertian yang sama, yaitu sebagai tempat dimana para wakil rakyat menyampaikan aspirasi rakyat dan kehendak rakyat. Perbedaan nya hanya terletak pada pemakaian terminologinya yang dipadukan dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh sebuah negara.13 Negara yang menganut sistem permerintahan parlementer lembaga perwakilan rakyatnya disebut parlemen sedangkan negara yang sistem pemerintahan presidensiil disebut legislatif.

Umumnya fungsi lembaga perwakilan ataupun lembaga legislatif diberbagai negara berbeda-beda, meskipun dalam garis besarnya sama saja, yaitu:14

12

Dahlan Thaib, “DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” (Yogyakarta: Liberty,2000), h.2

13 I Gde Pantja Astawa, “Identifikasi Masalah Atas Hasil Perubahan UUD 1945 Yang

Dilakukan Oleh MPR dan Komisi Konstitusi”, Seminar Fakultas Hukum UNPAD bekerjasama

dengan PERSAHI, 2004, h. 105

14 Bintan R. Saragih, “Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia”, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1988), h. 56

(27)

1. Menentukan Undang-undang;

2. Di beberapa negaranya seperti Inggris misalnya, juga berwenang untuk mewujudkan perubahan terhadap konstitusi;

3. Menempatkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dengan hak interpelasi, mosi, hak angket, dan sebagainya;

4. Menetapkan anggaran (keuangan) negara dengan menentukan cara-cara memperoleh dan menggunakan dana serta melakukan pengawasan terhadap anggaran tersebut (melalui Badan Pemeriksa Keuangan);

5. Di beberapa negara juga memberikan rekomendasi (mengusulkan) bagi jabatan-jabatan penting negara, seperti anggota Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan sebagainya;

6. Menentukan hubungan dengan negara-negara lain, termasuk juga menentukan perang dan damai.

Secara teoritis, hak istimewa Presiden atau disebut dengan hak Prerogatif Presiden adalah hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden yang bersifat mandiri dan mutlak, dalam arti tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga lain.15 Dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi.

Kekuasaan presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan

15 PSHK, Semua harus terwakili; Studi mengenai reposisi MPR, DPR, dan lembaga

(28)

administratif, simbolis, dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Di Indonesia, kekuasaan presiden sebagai kepala negara diatur dalam UUD tahun 1945 pasal 10. Kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD tahun 1945. Kekuasaan sebagai kepala pemerintahan sama dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif.

Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan, dan pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap besar dan mendapat pengawasan dari badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam UUD tahun 1945 fungsi pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh DPR.

A. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Sebelum Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Menurut Undang-undang Dasar 1945 sebelum perubahan, peran dan fungsi DPR hanya terbatas pada hak mengajukan rancangan Undang-undang. Peran DPR

(29)

selama 32 tahun tidak lebih sebagai alat legitimasi dan sebagai corong eksekutif khususnya dalam setiap rancangan Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Pengalaman DPR selama orde baru menunjukkan bahwa eksekutif begitu dominan terhadap legislatif, sehingga DPR mandul dan tidak berdaya.

Berdasarkan Undang-undang dasar 1945, lembaga DPR memiliki tiga fungsi utama yakni, fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.16 Pelaksanaan ketiga fungsi ini mengalami proses pasang surut sesuai dengan sistem dan situasi politik secara nasional. Pada masa Presiden Soekarno misalnya konstituante dibubarkan karena dinilai tidak mampu menyusun Undang-undang Dasar. Sedangkan pada era pemerintahan Presiden Soeharto, DPR berada dibawah dominasi eksekutif sehingga ketiga fungsinya tidak dapat berjalan secara efektif.

Berikut ini diuraikan dinamika peran dan fungsi DPR sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945 :

1. Fungsi Legislasi

Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, rumusan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dan penjelasannya tentang kekuasaan untuk membentuk Undang-undang, telah menimbulkan persoalan mengenai siapakah sebenarnya yang memegang kekuasaan menyusun dan menetapkan Undang-undang. Ketentuan pasal tersebut bukan saja membingungkan tetapi mengandung anomali. Presiden adalah pemegang dan pelaksana kekuasaan

16 Sri Soemantri, “Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945”, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), h. 27

(30)

eksekutif. Dalam sistem ketatanegaraan demokratis umumnya kekuasaan menetapkan Undang-undang berada pada badan perwakilan rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif.17

Selama periode orde baru, fungsi legislasi dipegang oleh Presiden sementara DPR hanya memberikan persetujuan. Dalam hal ini A. Hamid S. Attamimi berpendapat, apabila ditafsirkan secara harfiah, ketentuan pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk

undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, Presidenlah

yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan DPR memberi (atau tidak memberi) persetujuan terhadap pelaksanaan kekuasaan yang berada pada presiden tersebut.18

Dengan menggunakan teori kekuasaan R. Kranenburg, A. Hamid S. Attamimi menambahkan, “memegang kekuasaan” dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 haruslah diartikan “memegang kewenangan”, karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini kekuasaan membentuk undang-undang (wetgevendemacht), memang mengandung kewenangan membentuk undang-undang.19 Karena argumentasi itu, dengan

17 T.A. Legowo, M. Djadijono, Dkk , “Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan

Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 81.

18

A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan”, (Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta, 1990), h. 146.

19

Ibid. h. 151

(31)

menggunakan makna semantik, A. Hamid S. Attamimi menafsirkan “bersama-sama” dalam melaksanakan legislative power, Presiden melaksanakan kekuasaan pembentukannya dan DPR melaksanakan

(pemberian) persetujuan dengan berbarengan, serentak, bersama-sama.20 Dengan demikian menjadi jelas, tambah Attamimi, kewenangan pembentukan undang-undang tetap pada Presiden, dan kewenangan memberikan persetujuan tetap pada DPR. Agar undang-undang dapat terbnetuk, kedua kewenangan tersebut dilaksanakan secara berbarengan.21

2. Fungsi Anggaran

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, fungsi anggaran dari DPR tidak berjalan sebagaimana mestinya, sama seperti fungsi-fungsi DPR yang lainnya. Anggaran Negara yang dikehendaki pemerintah tidak mendapat reaksi apapun dari DPR. Mereka hanya memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Singkatnya fungsi anggaran DPR hanya sekedar formalitas.22

3. Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan DPR selama orde baru dapat dilihat melalui tiga memorandum. Ketiga memorandum itu mencakup tentang masalah Taman

20 Ibid. h. 153 21 Ibid. 22

T.A. Legowo, M. Djadijono, Dkk , “Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan

(32)

Mini Indonesia Indah dan hari depan generasi muda Indonesia, Penetapan harga gula hasil panenan pada tahun 1972 dan rencana ekspor gula pada tahun 1974, serta memorandum tentang masalah beras.23

Sempat muncul hak interpelasi DPR tentang penerapan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) oleh pemerintah dan hak angket mengenai kasus korupsi di pertamina. Meskipun hak angket ini ditolak oleh Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi ABRI. Hanya sebatas itu lah potret fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap pemerintahan ORBA. Mengenai proses pengangkatan duta besar sebelum amandemen sama sekali tidak melibatkan peran DPR selaku lembaga legislatif. Pada masa itu pengangkatan duta besar merupakan hak prerogatif presiden yang mandiri. Sebagaimana yang termaktub pada pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri “Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Selaku Kepala Negara”.

B. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Setelah Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif tidaklah dinyatakan secara tegas, hanya di sebutkan bahwa DPR memegang Kekuasaan membentuk Undang-undang (Pasal 20 Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara

23 Opini@Net, Kumpulan Aspirasi Masyarakat, yang disampaikan melalui www.mpr.go.id, diakses pada tanggal 18 Agustus 20014.

(33)

Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Pertama),24 kemudian dalam pasal 20A Ayat (1) muncul ketentuan mengenai fungsi-fungsi anggaran dan control disamping fungsi legislasi. Sehubungan dengan hal ini Bagir Manan berpendapat bahwa ketentuan Pasal 20A Ayat (1) ini bukan saja overlapping tetapi juga menimbulkan kerancuan, dalam hal penyebutan legislasi tidak konsisten dengan kekuasaan membentuk Undang-undang.25 Pengertian (begrib) legislasi lebih luas dari pengertian Undang-undang, kekuasaan membentuk Undang-undang adalah satu-satunya fungsi DPR.

Perkembangan setelah Perubahan Undang-undang Tahun 1945, DPR sebagai lembaga legislatif, tetapi bisa juga disebut sebagai penasehat Presiden. Dewan Perwakilan Rakyat dapat dikatakan sebagai penasehat Presiden, oleh karena Presiden dapat meminta pertimbangan DPR dalam hal-hal tertentu, seperti berikut:

a. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 Ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada penggunaan istilah “memperhatikan pertimbangan”.

b. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 3 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada penggunaan istilah “memperhatikan pertimbangan”.

24

Indonesia, “UUD 1945 Perubahan Pertama”, Pasal 20 ayat 1

25 Bagir Manan, “ DPD, DPR, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru” (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), h. 33

(34)

c. Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada penggunaan istilah “memperhatikan pertimbangan”.

1. Fungsi Legislasi

Salah satu pilar pemerintah yang demokratis adalah menjunjung tinggi supremasi hukum. Supremasi hukum dapat terwujud apabila didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses legislasi. Oleh karena itu, fungsi legislasi DPR dalam proses demokrasi sangatlah penting.

Menurut ketentuan konstitusi, rancangan Undang-undang (RUU) yang akan dibahas di DPR dapat berasal dari pemerintah dan dapat pula berasal dari DPR sebagai RUU usul inisiatif. Untuk masa yang akan datang jumlah RUU yang berasal dari inisiatif DPR diharapkan semakin banyak. Hal ini merupakan bagian penting dari komitmen reformasi hukum nasional dan pemberian peran yang lebih besar kepada DPR secara konstitusional dalam pembuatan Undang-undang.

Peningkatan peran tersebut merupakan hasil dari perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945. Dalam naskah Undang-Undang-undang Tahun 1945 sebelum perubahan hak membuat Undang-undang berada pada tangan Presiden, “ Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang ” ( Pasal 5 ayat 1). Setelah perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945 hak itu

(35)

bergeser dari Presiden kepada DPR dan rumusan tersebut dituangkan dalam Pasal 20 ayat (1) yang menyebutkan “DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”.

2. Fungsi Anggaran

Untuk menjalankan fungsi pokok Dewan Perwakilan Rakyat di bidang Anggaran diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Dasar Tahun 1945 setelah perubahan. Ditegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditetapkan tiap tahun dengan Undang-undang. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat dalam penyusunan APBN sangatlah kuat, karena apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan oleh pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.26

3. Fungsi Pengawasan

Tidaklah berlebihan, apabila rakyat Indonesia di semua tingkatan memprediksikan potret DPR di era saat ini mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945 telah menggeser paradigm executive heavy menjadi legislative heavy.

Pada era orde baru yang lalu, praktek ketatanegaraan lebih didominasi oleh peran eksekutif atau pemerintah. Terlebih dominasi eksekutif pada waktu itu mendapatkan legitimasi secara konstitusional, hal ini terlihat pada pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan.27 Pada pasal 4

26

Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, ( Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 96

27 Y. Hartono, Artikel, SI: Dari Supermasi Eksekutif ke Supermasi Legislatif ?, www. google. com

(36)

ayat (1) naskah asli Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Kemudian pasal 5 ayat (1) Presiden membentuk Undang-undang bersama DPR, Presiden juga dapat menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang ( Pasal 5 ayat 2 ). Menurut Pasal 10 Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Pasal 11 Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, dengan persetujuan DPR. Pasal 12 menyebutkan bahwa Presiden dapat menyatakan keadaan bahaya menurut syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

Dominasi kekuasaan eksekutif semakin bertambah ketika dengan kekuasaannya melakukan monopoli penafsiran pada Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan. Penafsiran ini menimbulkan Implikasi yang sangat luas karena Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas.28 Dengan diadakannya Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kini peran itu mulai bergeser dan berubah. Meskipun Presiden masih memegang kekuasaan pemerintah, tetapi dengan adanya pergeseran ini, Presiden tidak lagi mempunyai kekuasaan dibidang legislasi, sebab kekuasaan tersebut sekarang berada pada tangan DPR. Pasal 20 ayat (1) menyebutkan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Sedangkan Presiden hanya memiliki hak mengajukan rancangan

(37)

Undang-Undang saja.

Dalam konteks pengawasan, Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah memberikan kewenangan yang cukup besar kepada DPR untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Pelaksanaan fungsi pengawasan DPR dilakukan melalui mekanisme penggunaan beberapa hak yang sebelumnya tidak digunakan, seperti hak interpelasi dan hak angket. Melalui hak interpelasi, Presiden diminta untuk memberikan keterangan atau klarifikasi atas kebijakan yang telah diambilnya. Sedangkan melalui hak angket, DPR melakukan penyelidikan terhadap penyimpangan penggunaan anggaran negara yang digunakan oleh Presiden.

Fungsi pengawasan DPR juga dilakukan melalui keterlibatan DPR dalam proses pemilihan pejabat-pejabat publik yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal pengangkatan duta, penempatan duta negara sahabat, pemberian amnesti, abolisi, Presiden harus mendengarkan pertimbangan dari DPR. Selanjutnya tugas DPR dalam fungsi pengawasan lainnya adalah menindak lanjuti hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Tugas ini merupakan suatu bentuk sikap pro-aktif DPR untuk mendorong penyelesaian kasus-kasus penyalahgunaan keuangan negara.

Pada akhirnya peningkatan peran DPR dalam bidang pengawasan bagian dari upaya untuk menerapkan mekanisme checks and balance demi terciptanya pemerintahan yang demokratis. Hal ini mengharuskan DPR untuk bekerja secara optimal demi melaksanakan fungsi-fungsi konstitusionalnya,

(38)

dengan menggunakan hak-hak nya secara maksimal.

4. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Setelah Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945 telah memberikan kedudukan yang cukup kuat kepada Dewan Perwakilan Rakyat, hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 7C Undang-undang Dasar tahun 1945 setelah perubahan yang menyebutkan “Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Hal ini sesuai dengan prinsip presidensial sebagai sistem pemerintahan Indonesia yang dipertahakan dan lebih disempurnakan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan. Presiden dan DPR dipilih langsung oleh rakyat, sehingga keduanya memiliki legitimasi yang sama dan kuat serta masing-masing tidak bisa saling menjatuhkan.

Selain ditentukan dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, ketentuan fungsi dan wewenang DPR juga diatur dalam Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib dalam Pasal 4 ayat (1), disebutkan bahwa DPR memiliki fungsi :29

a. Legislasi; b. Anggaran; dan c. Pengawasan.

Ketiga fungsi diatas dijalankan dalam rangka representasi rakyat dan juga

(39)

untuk mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.30

Kemudian untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), DPR memiliki beberapa hak yaitu :

a. Meminta keterangan kepada Presiden b. Mengadakan Penyelidikan

c. Mengadakan perubahan terhadap rancangan Undang-undang d. Mengajukan pernyataan pendapat

e. Mengajukan rancangan Undang-undang

f. Mengajukan seseorang untuk jabatan tertentu jika ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan

g. Menentukan anggaran DPR h. Memanggil seseorang

Selain dari peraturan DPR No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, yang lebih lanjut mengatur tugas dan wewenang DPR, serta hak-hak yang dimiliki oleh DPR, hal serupa juga terdapat dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2014 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang dapat dilihat dalam pasal 71 yakni sebagai berikut :31

Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai Tugas dan wewenang :

a. Membentuk Undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;

30 Ibid, Pasal 4 ayat (2)

(40)

b. Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti Undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi Undang-undang;

c. Meneriman rancangan Undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;

d. Membahas rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;

e. Membahas rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;

f. Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan Undang-undang tentang APBN dan rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

g. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan Undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;

(41)

h. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang dan APBN;

i. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan Undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

j. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang;

k. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesty dan abolisi;

l. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara sahabat;

m. Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;

n. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;

o. Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;

(42)

Yudisial untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden;

q. Memilih 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden;

r. Memberikan persetujuan atas pemindahtanganan asset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;

s. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan

Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam Undang-undang.

C. Prinsip Check and Balance Antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat

Kamus hukum mendefinisikan prinsip check and balance sebagai sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling mengawasi diantara cabang kekuasaan baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Menurut Hamdan Zoelva, pengertian sistem check and balance yaitu sistem yang saling mengimbangi antara lembaga-lembaga kekuasaan negara. Sistem ini memberikan pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang terendah, semuanya sama diatur dalam fungsinya masing-masing.32

Setelah amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pemerintah Indonesia

32 http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/04/28/sitem-perawakilan-rakyat-di-indonesia/ diakses pada tanggal 15 April 2014.

(43)

menganut prinsip check and balance. Prinsip check and balance relatif masih baru diadopsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, utamanya setelah amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga dalam praktiknya masih sering timbul “konflik kewenangan” antar lembaga negara ataupun dengan komisi negara yang ada.

Mekanisme check and balance merupakan tuntutan reformasi. Salah satu tujuan utama mekanisme ini adalah untuk menghindari pemusatan kekuasaan pada suatu lembaga saja. Mekanisme ini cocok diterapkan di Indonesia, karena di Indonesia memiliki tiga cabang kekuasaan yakni, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mekanisme check and balance antara Presiden dan DPR terdapat dalam berbagai bidang, yaitu bidang legislasi, bidang anggaran, dan bidang pengawasan. Dalam bidang pengawasan yakni terhadap jalannya pemerintahan, pemberian persetujuan dan keputusan terhadap agenda kenegaraan, pemberian pertimbangan pada agenda kenegaraan, serta dalam pengisian dan pemilihan beberapa jabatan strategis kenegaraan oleh DPR terhadap Presiden.

Mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap kekuasaan dan kewenangan antara Presiden dan DPR dalam bidang legislasi dan anggaran diatur dalam beberapa pasal pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagai berikut : a. Pasal 5 ayat (1) “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang

kepada Dewan Perwakilan Rakyat”

b. Pasal 22 ayat (1) “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang” c. Pasal 23 ayat (2) “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan

(44)

belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”

Selanjutnya, mekanisme check and balance antara Presiden dan DPR dalam bidang pengawasan, diatur dalam beberapa pasal pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni :

a. Pasal 7A “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”

b. Pasal 11 ayat (1) “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain” c. Pasal 13 ayat (2) “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan

Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”

Dengan demikian terlihat jelas bagaimana mekanisme check and balance atau mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap kekuasaan dan kewenangan yang erat antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam sistem pemertintahan di Indonesia ini.

(45)

33

TUGAS DAN KEDUDUKAN PERWAKILAN DIPLOMATIK

A. Pengertian Perwakilan Diplomatik

Pengertian perwakilan diplomatic menurut bahasa berasal dari kata “Diplomartic Mission” yang dikenal secara luas di dalam hubungan antar negara.33 Undang-undang nomor 1 tahun 1982 tentang pengesahan Konvensi Wina 1961 dan Konvensi Wina 1963 menerjemahkan kata diplomatic mission dan

diplomatic relations menjadi perwakilan diplomatic dan hubungan diplomatik.

Perwakilan diplomatic pada umumnya diartikan sebagai Kedutaan atau Kedutaan Besar suatu Negara di Negara lain yang berfungsi mewakili kepentingan negara pengirimnya dan kepentingan hubungan negaranya dengan negara tempatnya diakreditasikan.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri menyatakan bahwa Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia adalah salah satu dari jenis atau bentuk perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.34 Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia terdiri dari Kedutaan Besar Republik Indonesia dan Perurusan

33

G.R.Berridge, Alan James; editorial consultant, Sir Brian Barder, A Dictionary of Diplomacy. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data Berrideg, Geoff, New York, 2001, h.68.

34 Keppres Nomor 18 tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia, Bab II, Jenis Perwakilan, Pasal 2.

(46)

Tetap Republik Indonesia.

Kedutaan Besar Republik Indonesia adalah Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia yang mempunyai tugas pokok mewakili dan memperjuangkan kepentingan Bangsa, Negara, dan Pemerintah Republik Indonesia serta melindungi Warga Negara Indonesia, Badan Hukum Indonesia di Negara Penerima atau Organisasi Internasional, melalui pelaksanaan hubungan diplomatik dengan Negara Penerima atau Organisasi Intenasional, sesuai dengan kebijakan politik dan hubungan luar negeri Pemerintah Republik Indonesia, peraturan perundang-undangan nasional, hukum internasional, dan kebiasaan internasional.35 Pengertian tersebut adalah sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1982 atau pengertian “Diplomatic Mission” dalam Konvensi Wina tahun 1961, sedangkan dalam hubungan antara Indonesia dengan negara lain pengertiannya adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ditempatkan atau diakreditasikan pada suatu negara.

B. Perwakilan Diplomatik dalam Konvensi Wina Tahun 1961

Pedoman dan landasan bagi hubungan diplomatik yang selama ini dianut dan telah digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah Konvensi Wina tahun 1961 yang terdiri dari 53 pasal.36 Konvensi ini meliputi hampir semua

35

Ibid, Pasal 4 36

Soemaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus, edisi Pertama, Cetakan 1, Bandung: Penerbit Alumni, 1995 h. 14.

(47)

aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik memuat ketentuan-ketentuan mengenai perwakilan diplomatik secara garis besar, yaitu :

1. Berlakunya Hubungan Diplomatik

a. Pembukaan dan Perwakilan Diplomatik

Suatu negara yang merdeka dan diakui berdaulat berhak penuh untuk mengirimkan perwakilan diplomatik (the right of legation) atau wakil-wakil konsuler ke negara lain dan berkewajiban pula untuk menerima perwakilan Diplomatik dan konsuler negara lain.37 Pembukaan hubungan diplomatik sebagai tanda ada nya hubungan diplomatik harus dilakukan dengan persetujuan bersama atau kesepakatan sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam pasal 2 Konvensi Wina yang berbunyi:

“the establishment of diplomatic relations between states, and of permanent diplomatic mission take place by mutual consent”

Karenanya, hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik asing di suatu negara. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak untuk meminta negara

37

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era

(48)

lain untuk menerima wakil-wakilnya.38

b. Pengangkatan dan Penerimaan Perwakilan Diplomatik

Setiap negara menentukan sendiri persyaratan dan cara pengangkatan serta penerimaan perwakilan diplomatik dan konvensi tidak menentukan hal itu. Prosedur atau mekanisme pengangkatan dari perwakilan diplomatik diatur baik oleh ketentuan hukum nasional maupun hukum internasional. Negara pengirim harus mengusahakan persetujuan dalam bentuk tertulis atau lisan kepada negara penerima untuk seorang yang dicalonkan untuk menjadi kepala perwakilan diplomatik. Dalam hal negara penerima menolak untuk memberikan persetujuan, negara penerima tidak diwajibkan mengemukakan alasan penolakan tersebut. Ketentuan ini terdapat dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi Wina tahun1961.

Apabila negara penerima menyatakan persetujuannya, maka Duta Besar membawa surat kepercayaan (Letter of Credence) yang telah ditanda tangani oleh kepala negaranya. Surat kepercayaan tersebut juga dapat disertai dokumen-dokumen penting lainnya dan penyerahan surat kepercayaan ini dilakukan dalam suatu upacara kenegaraan resmi. Ketentuan mengenai penerimaan perwakilan diplomatik dan surat kepercayaan ini dimuat dalam pasl 5, pasal 6, dan pasal 7 Konvensi Wina

38 Sir Ernest Satow, A Guide to Diplomatic Practice, Fourth Edition, Longman Green

(49)

tahun 1961.

Praktek tersebut dijalankan karena sifat dan fungsi perwakilan diplomatik yang dibentuk untuk pemeliharaan hubungan yang permanen antara negara pengirim dengan pemerintah, khusunya departemen luar negeri dari negara penerima.

c. Mulai Berlakunya Fungsi Perwakilan Diplomatik

Ketentuan pasal 13 Konvensi Wina mengatur mengenai mulai berlakunya fungsi perwakilan diplomatik yaitu baik pada saat wakil tersebut menyerahkan surat kepercayaannya maupun pada saat ia memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan sebuah salinan asli dari surat tersebut kepada Menteri Luar Negeri nega penerima atau menteri lainnya yang ditunjuk sesuai dengan praktek kebiasaan yang berlaku dinegara penerima yang harus diterapkan secara seragam. Urutan penyerahan surat-surat kepercayaan atau sebuah salinan asli akan ditentukan pada hari dan saat kedatangan kepala misi yang bersangkutan. d. Hubungan dan Pemberitahuan Kepada Negara Penerima

Dalam melaksanakan tugas resmi perwakilan diplomatic mengenai hubungan negara pengirim dan negara penerima, maka harus dilakukan dengan melalui Kementerian Luar Negeri negara penerima atau Kementerian lainnya yang disetujui. Pasal 10 Konvensi Wina menyebutkan bahwa Negara penerima harus diberitahukan mengenai orang-orang tertentu dari misi yaitu :

(50)

1) Anggota-anggota misi atau perwakilan diplomatik yang mengenai pengangkatannya dan keberangkatannya terakhir atau berakhirnya fungsi-fungsi mereka di dalam misi.

2) Orang-orang yang termasuk keluarga dari seorang anggota misi yang mengenai kedatangannya dan keberangkatannya terakhir meliputi juga hal kenyataan bahwa seorang menjadi berakhir sebagai anggota keluarga dari seorang anggota misi.

3) Pelayan pribadi yang bekerja pada anggota misi, mengenai kedatangannya dan keberangkatannya yang terakhir dan juga kenyataan bahwa mereka lepas dari pekerjaan pada orang-orang tersebut.

4) Orang-orang yang berdiam di negara penerima sebagai anggota misi atau pelayan pribadi yang berhak akan hak-hak istimewa dan kekebalan hukum mengenai penugasan dan pemberhentian mereka.

2. Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik

Tugas dan fungsi perwakilan diplomatik disebutkan di dalam pasal 3 ayat (1) Konvensi Wina adalah :39

1) Mewakili negara pengirim di negara penerima;

2) Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh

39 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika

(51)

hukum internasional;

3) Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima;

4) Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah negara pengirim;

5) Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Tugas para pejabat atau agen diplomatik bukan saja terbatas pada pengamatan terhadap masalah-masalah politik, ekonomi, dan keamanan negara akreditasi, mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan negara setempat ikut berusaha menangani masalah-masalah yang bersifat regional maupun internasional.40

Era globalisasi yang dialami dunia dimana banyak dan meningkatnya masalah yang telah melewati tapal batas negara seperti pemberantasan obat-obat terlarang, penanganan masalah-masalah lingkungan hidup dan perlindungan hak-hak asasi, tugas para diplomat tidak lagi terbatas pada masalah-masalah bilateral tetapi dengan negara setempat dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk memecahkan masalah-masalah global yang

40 Ibid.

(52)

menyangkut kepentingan bersama.41

Perwakilan diplomatik membawa sifat organ komunikasi utama antara pemerintahan-pemerintahan negara dan menyebabkan kesulitan dalam membatasi tugas dan fungsi perwakilan diplomatik dengan seksama dan lebih rinci.42 Salah satu fungsi penting perwakilan diplomatik adalah fungsi mewakili negara pengirim. Istilah fungsi ini tidak hanya digunakan dalam pengertian hukum yang terbatas tetapi dimaksudkan sebagai keberadaan suatu negara. fungsi ini tidak hanya fungsi yang paling penting diantara fungsi-fungsi yang ada dalam Konvensi tetapi suatu fungsi-fungsi sentral dari seluruh struktur hukum diplomatik. Fungsi ini hanya dapat dilaksanakan oleh suatu organ negara yang dinamakan kedutaan besar, karena tanpa organ tersebut maka negara tidak dapat dinyatakan ada.43

Fungsi mewakili negara pengirim di negara penerima mempunyai batasan-batasan antara lain yang dikemukakan oleh Gerhard Von Glahn dalam bukunya “Law Among Nations”.44

“Seorang wakil diplomatik itu selain mewakili pemerintah negaranya, ia

41 Ibid.

42 Ludwik Dembinski, The Modern Law of Diplomacy, External Missions of States and

International Organizations, Martinus Nijhoff Publishers, 1988, h. 40.

43 Ibid. 44

Syahmin A.K., Hukum Diplomatik dan Suatu Pengantar, Penerbit CV Armico, Bandung:, 1985, h.56.

(53)

juga tidak hanya bertindak di dalam kesempatan ceremonial saja, tetapi juga melakukan protes atau mengadakan penyelidikan (inquires) atau pertanyaan dengan negara penerima. Ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah negaranya”.

Dan menurut B.Sen di dalam bukunya “A diplomat’s handbook of

International Law and Practice” batasan representative itu ialah sebagai

berikut:45

“Fungsi yang utama dari seorang wakil diplomatik dalam mewakili negara pengirim di negara penerima dan bertindak sebagai saluran penghubung resmi antar pemerintah kedua negara. Bertujuan untuk memelihara hubungan diplomatik antar negara yang menyangkut fasilitas perhubungan kedua negara. Pejabat diplomatik seringkali melaksanakan fungsi mengadakan perundingan dan menyampaikan pandangan-pandangan pemerintahnya di dalam beberapa masalah penting kepada pemerintah negara dimana ia diakreditasikan”.

Pemerintah Republik Indonesia memberikan batasan tentang tugas dan fungsi mewakili negara tersebut yaitu, mewakili negara Republik Indonesia secara keseluruhan di negara penerima seperti dinyatakan dalam Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.

Fungsi melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya

45 Ibid.

(54)

atas fungsi proteksi, Gerhard Von Glahn juga memberikan batasan yaitu: 46

“The diplomat has a duty to look after the interest persons and property of citizens of his own state in the receiving state. He must be ready to assist them, they get into trouble abroad, may have to take charge of their bodies and effects if they happen to die on a trip and in general acts as a trouble shooter for his fellow nationals in he receiving state”.

Fungsi perlindungan selain merupakan tugas perwakilan diplomatik negara pengirim di negara penerima juga negara penerima harus memberikan perlindungan kepada pejabat diplomatik negara pengirim terutama jika mereka in transit di negara tersebut sebagaimana ketentuan yang disebutkan pada pasal 40 Konvensi Wina.

Fungsi ketiga yaitu berunding dengan pemerintah negara penerima atau fungsi negosiasi yang sudah lazim didalam hubungan internasional. Perundingan-perundingan dapat diadakan antara dua negara atau lebih. Fungsi perwakilan diplomatik sebagai utusan dalam perundingan yang mewakili negaranya dengan negara penerima ditentukan dalam pasal 3 ayat (1 C) Konvensi Wina.

Namun sering terjadi perundingan mengenai masalah tertentu dilakukan oleh utusan-utusan khusus terutama jika hal tersebut mengenai masalah tehnis, oleh karena itu fungsi mengadakan perundingan dikatakan Von Glahn:47

46 Ibid. h. 42

Referensi

Dokumen terkait

Upaya Penerapan Media Pembelajaran Audio Visual Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pendidikan Agama Islam Materi Sholat Jenazah di Kelas XI SMK Harapan Mulya Brangsong.

Seberapa jauh citra satelit ALOS/AVNIR-2 dan SPOT-4 dapat digunakan untuk mengidentifikasi perubahan tutupan lahan, perubahan garis pantai, serta perubahan tingkat

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Pada segmen jalan tersebut terdapat Jembatan Timbang Salam. Dengan masih banyaknya fenomena kendaraan yang overload maka Jembatan

keuangan perusahaan yang dapat dinilai dengan cara menganalisis laporan keuangan perusahaan tersebut dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan,

[r]

Dengan demikian, angsuran per bulan yang harus dibayar Atekan kepada KJKS BMT NUSYA yang terdiri dari angsuran pokok hutang dan biaya sewa adalah:. Angsuran Pokok :

Pada masa pasca proklamasi kemerdekaan, keadaan perekonomian Indonesia mengalami kondisi yang cukup terpuruk dengan terjadinya inflasi dan pemerintah tidak sanggup mengontrol mata

Pengelolaan obat merupakan suatu siklus manajemen obat yang meliputi empat tahap yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan, Pengelolaan