• Tidak ada hasil yang ditemukan

CIREBON KERATON NO KEKKON SHIKI NO FUKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CIREBON KERATON NO KEKKON SHIKI NO FUKU"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

CIREBON KERATON NO KEKKON

SHIKI NO FUKU

KERTAS KARYA

Dikerjakan

O

L

E

H

SEPRIYESTY

NIM : 04 2203 081

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA

DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN

2007

(2)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Alasan Pemilihan Judul

Banyaknya suku bangsa di Indonesia dapat menggambarkan keanekaragaman budaya. Karena setiap suku bangsa mempunyai budaya dan adat-istiadat masing-masing. Busana pengantin sebagai salah satu unsur kebudayaan, perwujudannya tidak lepas dari rangkaian pesan yang hendak disampaikan lewat lambang-lambang yang dikenal dalam tradisi masyarakatnya. Karena itu, pengerjaannya harus dengan kecermatan agar tidak menyimpang dari ketentuan yang lazim.

Busana pengantin tidak hanya sekedar menarik perhatian orang dalam upacara perkawinan, tetapi juga dapat menciptakan suasana resmi dan hikmat, sehingga perwujudannya tidak hanya mewah dan meriah. Lambang-lambang yang diungkapkan dalam busana pengantin merupakan pencerminan dan corak kebudayaan dalam arti nilai-nilai yang menjadi pola tingkah laku masyarakat yang bersangkutan.

Dengan latar belakang seperti itulah penulis mengangkat “BUSANA ADAT

PENGANTIN KERATON CIREBON ” sebagai judul kertas karya ini.

I.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan kertas karya ini :

1. Untuk mengetahui lebih jauh tentang kebudayaan Cirebon di Jawa Barat khususnya busana pengantin Cirebon.

(3)

2. Untuk mengetahui arti lambang busana adat pengantin Cirebon, khusus bagi pengantin wanita dan pengantin pria.

3. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di program Diploma III pada jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universit as Sumatera Utara.

I.3 Pembatasan Masalah

Dalam penulisan kertas karya ini penulis hanya membatasi pada busana adat pengantin Cirebon yang telah diwarisi secara turun-temurun sampai sekarang oleh masyarakat Cirebon, berikut makna yang terkandung di dalamnya serta fungsinya dalam kehidupan budaya masyarakat.

L.4 Metode Penulisan

Dalam kertas karya ini, penulis menggunakan metode kepustakaan dengan cara mengumpulan data atau informasi serta buku referensi yang ada kaitannya dengan judul kertas karya ini.

(4)

BAB II

GAMBARAN UMUM KERATON CIREBON

2.1 Letak Keraton Cirebon

Kota Cirebon secara administrative termasuk wilayah Daerah Tingkat I Jawa Barat. Kota Cirebon berada dibagian timur Jawa Barat, tepatnya dekat pantai laut Jawa. Kota Cirebon secara geografis terletak pada lintang 108º35’ Bujur Timur dan 90º30’ Lintang Selatan.

Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang disusun oleh pangeran Arya Carbon pada tahun 1720 Masehi,istilah Cirebon asalnya dari kata Caruban kemudian

Carbon dan akhirnya Cirebon. Pada mulanya Cirebon hanya berupa tempat pemukiman

beberapa keluarga dan dikenal dengan nama Tegar Alang-alang sekarang dengan Lemah

Wungkuk. Lama-kelamaan daerah ini didatangi oleh beberapa suku bangsa sehingga

disebutlah Caruban yang artinya Campuran yaitu percampuran suku bangsa. Selanjutnya di Cirebon didirikan sebuah bangunan baru berupa istana yang diberi nama Keraton. Dengan dibangunnya Keraton pada tahun 1452 Masehi ini menandakan bahwa Cirebon sudah mulai berfungsi sebagai pusat pemerintahan lokal.

Keraton Cirebon yang tertua disebut dengan keraton Kasepuhan. Sebuah keraton yang sekaligus juga menyimpan sejarah cikal bakal kemaritiman negara kita. Keraton Kasepuhan terletak di pusat kota tepatnya tiga kilometer dari stasiun kereta api atau sekitar sepuluh menit dengan naik kendaraan umum.

(5)

Keraton Kasepuhan menghadap ke utara dengan alun-alun berbentuk lapangan persegi dan dikelilingi jalan. Keraton ini dahulu biasa digunakan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat yang berhubungan dengan acara kesultanan.

2.2 Fungsi dan Makna Keraton

Keraton berasal dari bahasa jawa kuno dengan kata dasar ratu yang berarti raja yang mendapat awalan ke dan akhiran an menunjukkan keterangan tempat, yaitu tempat bersemayam raja.

Keraton merupakan kumpulan bangunan yang sekaligus sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya. Keraton biasanya dijadikan sebagai pusat dari segala kegiatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian pula para pejabat tinggi kerajaan, bangsawan, dan keluarga raja juga bertempat tinggal di sekitar keraton. Karena hampir semua kegiatan terpusat di sekitar keraton, maka tempat kediaman raja berkembang menjadi kota.

Keraton Kasepuhan yang didirikan di atas tanah seluas 25 hektar, sekarang terlihat menyerupai pura kuno ditengah bangunan-bangunan modern yang ada di sekitarnya. Kraton Kasepuhan dibangun pada tahun 1529 oleh Sunan Gunung Jati ( Syarif Hidayatullah ) dengan perpaduan unsur kebudayaan Islam dan Hindu. Masing-masing bangunan keraton mempunyai makna dan fungsi, misalnya bangunan Mande Semar Tinandu yang bertiang dua, yang melambangkan dua kalimat syahadat, digunakan untuk penasehat Sultan. Sedangkan Mande Malang Semirang, di tengahnya terdapat enam tiang berukir, yang melambangkan Rukun Iman. Bangunan ini juga dikelilingi oleh 20 tiang, yang melambangkan 20 sifat Tuhan. Tempat ini dikhususkan untuk sang Raja saat melihat acara di alun-alun. Kemudian Pandawa Lima, yang

(6)

bertiang lima melambangkan Rukun Islam, digunakan sebagai tempat pengawal raja. Dalam bangunan keempat ini, Mande Karesmen, dikhususkan untuk kesenian dan digunakan hanya untuk membunyikan gamelan Sekaten setiap tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijah setelah Sholat Ied. Bangunan kelima disebut sebagai Mande Pengiring, tempat bagi para prajurit pengiring raja sekaligus tempat hakim menyidangkan terdakwa yang dituntut hukuman mati.

Keraton Kasepuhan dilengkapi pula oleh sebuah mushola bernama Langgar Agung yang dibangun pada 1529. Langgar Agung merupakan tempat penyelenggaraan upacara sakral, seperti Upacara Panjang Jimat. Disini pula benda-benda pusaka keraton disucikan.

3.3 Kegiatan di Keraton

Upacara Panjang Jimat merupakan satu di antara upacara adat keagamaan yang diselenggarakan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Menurut sejarahnya, Panjang Jimat adalah salah satu benda pusaka Keraton Cirebon yang merupakan pemberian dari Sanghyang Bango ketika masa pengembangan dari Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana I), dalam mencari agama Nabi (agama Islam). Upacara Panjang Jimat dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabiulawal malam (ba'da isa). Panjang Jimat diturunkan oleh petugas dan ahli agama di lingkungan kerabat Kesultanan Keraton Kasepuhan.

(7)

BAB III

BUSANA ADAT PENGANTIN KERATON CIREBON

Pada tahun 1985, Walikota Kodya Cirebon meresmikan pembakuan busana pengantin Cirebon, yang bersumber pada pengantin Keraton Cirebon. Pengantin Keraton Cirebon itu sendiri terdiri atas dua macam, yaitu pengantin kebesaran yang berasal dari Keraton Kanoman dan pengantin Kepangeranan yang berasal dari Keraton Kasepuhan.

3.1 Busana Pengantin Wanita

Untuk menutupi tubuh pengantin wanita bagian atas, pakaian yang digunakan berupa kemben hijau yang berhiaskan manik-manik warna keemasan. kemudian untuk menutupi tubuh bagian bawah digunakan kain berlancar dan dodot Cirebonan dengan warna dasar violet muda yang diberi motif dengan bentuk besar-besar di setiap pojoknya. Selanjutnya, untuk menutup daerah pangkal leher sampai dada digunakan tratean, yakni kain berbentuk melingkar yang berfungsi menutup dada bagian atas, bahu, dan belikat. Bahan, warna, dan motif pada tratean sama dengan bahan, warna, dan motif pada kemben. Dengan demikian, kemben menutupi badan mulai dari bawah ketiak sampai ke atas pinggul, sedangkan tratean menutupi bagian atasnya, kemudian pada bagian kepala pengantin wanita yang sudah memakai sanggul dikenakan pula mahkota suri yang dilengkapi dengan hiasan permata jarot asem. Kemudian, di pelipis kiri dan kanan digantungi untaian bunga yang setiap ujungnya dibiarkan terjuntai di dada. Benda-benda lain yang dikenakan sebagai perhiasan ialah: giwang yang dikenakan pada telinga kiri dan kanan; kalung tiga susun yang

(8)

seolah-olah tertempel pada tratean untuk menghiasi leher dan dada; kelat bahu berbentuk naga (kelat bahu naga) yang dikenakan pada lengan bagian atas dekat bahu; gelang kono yang dipakai dikedua pergelangan tangan; cincin yang dikenakan pada jari manis di kedua tangan; dan pending emas atau yang terbuat dari logam lain yang disepuh warna keemasan yang dipakai di pinggang. Yang terakhir dari bagian busana pengantin wanita Cirebon ialah selop yang digunakan sebagai alas kaki. Selop itu berwarna hijau dan berhiaskan manik-manik. Warna dan motif pada selop tidak berbeda dari warna dan motif pada kemben dan tratean.

Busana pengantin wanita Cirebon yang telah diuraikan di atas memiliki simbol, makna, dan fungsi sebagai berikut:

a . Warna

Warna yang dipakai pada busana dan tata rias pengantin wanita keraton Cirebon didominasi oleh warna hijau dan kuning. Warna kuning terdapat pada bagian tubuh berikut benda yang digunakan pengantin wanita yaitu bedak sebagai pemoles wajah, sulaman-sulaman sebagai penghias busana, dan pada perhiasan yang berupa giwang, kalung, gelang, kelat bahu, dan cincin. Adapun warna hijau terdapat pada kemben, tratean, dan selop. Tentu saja penggunaan kedua warna tersebut memiliki arti tersendiri, dan mencerminkan nilai budaya Islam.

Warna hijau merupakan manifestasi dari kata Rahman, yaitu salah satu sifat Allah yang berarti Maha Pengasih. Begitu pula dengan warna kuning yang merupakan manifestasi dari kata Rahim, yaitu sifat Allah yang memiliki arti Maha Penyayang. Dengan demikian, warna hijau dan kuning adalah manifestasi dari bacaan Bismillah yang senantiasa diucapkan umat Islam bila akan memulai sesuatu perbuatan atau pekerjaan

(9)

yang baik. Fungsinya untuk mengingatkan kepada pengantin agar di dalam memasuki gerbang perkawinan haruslah dimulai dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Artinya, pernikahannya itu semata-mata demi Allah, jadi, dalam kerangka ibadah kepada Allah dan hanya untuk mengharapkan keridoan Allah.

b . Mahkota Suri

Mahkota suri yang dipakai oleh mempelai wanita memiliki simbol bahwa mempelai wanita itu diindentifikasikan sebagai ratu. Maknanya adalah adanya harapan agar pengantin wanita dapat memiliki keluhuran budi di dalam kehidupannya. Dalam kehidupan keseharian mahkota tidak pernah dipakai kecuali oleh seorang ratu (pada masa lalu), akan tetapi pada hari perkawinan justru dipakai.

c . Tratean

Tratean sebagai busana pengantin mencerminkan simbol kesucian hati. Tratean itu sendiri berasal dari teratai sejenis tumbuhan air yang berbunga indah. Walaupun tumbuhnya di dalam lumpur, tetapi pada saat berbunga, di bunganya tidak ada lumpur sedikit pun, begitu bersihnya sehingga menawan setiap orang yang melihatnya. Adapun fungsinya jelas untuk memperindah penampilan pengantin wanita.

d . Kelat Bahu Naga

Kelat bahu naga selain berfungsi estetis juga memiliki fungsi simbolis. Kelat bahu naga ini bukanlah perhiasan yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Kelat bahu naga disimbolkan sebagai "kesiapan fisik dan mental".

e . Gelang Kono

Gelang kono juga bukanlah perhiasan yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Adapun simbol yang melekat pada gelang kono ialah "kebulatan" yang mengandung

(10)

makna bahwa pengantin wanita telah siap memasuki gerbang perkawinan dengan penuh kebulatan hati.

f . Cincin

Cincin yang dipakai di jari manis pada kedua tangan berfungi sebagai perhiasan yang memperindah bentuk jari si mempelai wanita.

g . Selop

Selop yang dipakai mempelai wanita memiliki fungsi praktis dan estetis. Praktis karena mudah dikenakan dan tetap nyaman walaupun dipakai seharian sedangkan fungsi estetisnya ialah memperindah bentuk kaki.

Adapun simbol dan makna yang tercantum pada selop ialah terletak pada warnanya yang hijau dan bersulam benang emas.

h . Kemben

Pengantin wanita keraton Cirebon menggunakan kemben sebagai busana bagian atas. Pemakaian itu mengandung fungsi praktis, estetis, sekaligus religius. Fungsi praktisnya terlihat pada kerapihan yang melekat pada pengantin wanita sedangkan fungsi estetisnya telihat pada penampilan pengantin wanita yang tampak semakin cantik. Adapun fungsi religiusnya terletak pada warna kemben, yaitu warna hijau.

i . Dodot

Dodot merupakan busana pengantin bagian bawah yang berupa kain batik berlancar Cirebonan. Motifnya harus motif Cirebonan selain untuk mempercantik penampilan pengantin wanita juga untuk menunjukkan dari keluarga keraton.

(11)

j . Bokor Tengkureb

Bentuk bokor tengkureb mempunyai fungsi estetis yang serasi dengan mahkota suri. Adapun bunga melati yang digunakan untuk menutupi sanggul berfungsi memperindah dan memperharum juga sebagai lambang kesucian.

3.2 Busana Pengantin Pria

Pada bagian kepala pengantin pria dikenakan mahkota Prabu Kresna atau

Dwarawati. Mahkota Prabu Kresna itu terbuat dari bahan beludru berwarna hijau berlapis

emas dan bermata berlian. Adapun bentuknya bundar dan menyempit ke atas dengan tinggi kira-kira 25 sentimeter. Di sekeliling mahkota terdapat motif sebagai hiasan yang berupa lengkung-lengkung setengah lingkaran yang terbuat dari emas.

Pada tubuh bagian atas, sebagai penutup badan, pengantin pria mengenakan baju oblong bertangan pendek berwarna putih atau gading. Kemudian untuk menutup bagian atas dada, bahu, dan belikat dipakai tratean. Tratean ini baik bahan, motif, dan bentuknya sama persis dengan tratean yang dipakai oleh mempelai wanita.

Selanjutnya, pada bagian bawah tubuh, pengantin pria memakai celana dari beludru berwarna hijau dengan ukuran panjang sedikit di bawah lutut. Pada bagian ujung celana terdapat hiasan berupa sulaman benang emas. Kemudian selain memakai celana, pengantin pria juga memakai kain dodot batik Cirebonan di pinggangnya. Lalu di atas dodot batik itu dililitkan satu helai stagen cinde dan diperkuat dengan kamus epek timang yang terbuat dari beludru.

(12)

Setelah itu, pengantin pria pun memakai selendang dan satu boro kewer yang menghias kedua pahanya di bagian depan agak menyamping. Di belakang pinggang terselip sebuah keris dengan pegangannya mencuat ke sebelah kanan. Adapun asesoris yang dipakai oleh pengantin pria berupa: kalung naga dan kalung ulur yang bahannya terbuat dari emas; kelat bahu naga yang dipakai di kedua lengan bagian atas dekat bahu (kelat bahu naga ini sama dengan kelat bahu naga yang dipakai oleh mempelai wanita); gelang kono yang oleh mempelai wanita dipakai pada pergelangan tangan, oleh pengantin pria dipakai di pergelangan kaki; dan ombyok yang terbuat dari bunga mawar merah untuk menghias keris yang terdapat di belakang pinggang.

Sebagaimana busana yang dipakai oleh mempelai wanita, busana pengantin pria pun memiliki simbol, makna, dan fungsi. Adapun simbol, makna, dan fungsi itu ialah:

a. Mahkota Prabu Kresna

Sebagaimana mahkota suri, mahkota Prabu Kresna juga bukanlah perhiasan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi hanya dipergunakan pada hari pernikahan. Hal yang demikian itu berarti bahwa pada mahkota Prabu Kresna dikenakan simbol, makna, dan fungsi tertentu. Simbol yang melekat pada mahkota Prabu Kresna tentu saja berkaitan dengan mahkota sebagai perhiasan kepala raja, artinya mempelai pria yang mengenakan mahkota Prabu Kresna diibaratkan sebagai seorang raja.

Adapun mengenai maknanya, sangat jelas berkaitan dengan citra tokoh Prabu Kresna. Dalam dunia perwayangan, Prabu Kresna adalah seorang raja yang adil, cakap, bijaksana, dan sangat tampan. Relevansi dengan penggunaan mahkota Prabu Kresna oleh pengantin pria mengandung makna agar pengantin pria dalam memimpin keluarga itu adilnya, dan bijaksananya seperti Prabu Kresna.

(13)

b. Keris

Keris yang dipakai oleh pengantin pria melambangkan keberanian dalam menghadapi resiko ketika ia diharuskan melindungi istri dan anak-anaknya. Dalam lingkungan masyarakat Cirebon, keris disebut juga curiga yang mengandung arti bahwa seorang suami harus senantiasa waspada di dalam menentukan suatu hal.

c. Robyong

Pada waktu berlangsungnya akad nikah, pengantin laki-laki harus ditutupi mulai dari bagian leher sampai ke bagian bawah perut dengan kain batik kepunyaan mertua wanita. Kain itu biasa disebut robyong. Dalam pemakaian kain robyong itu terkandung makna bahwa sejak saat itu pengantin laki-laki sudah dianggap anak sendiri.

(14)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Kesimpulan

1. Busana adat pengantin keraton Cirebon merupakan rangkaian pesan yang hendak

disampaikan lewat lambing-lambang yang dikenal dalam masyarakat Cirebon.

2. Untuk melaksanakan suatu upacara perkawinan perlu dipersiapkan bahan-bahan

dan alat-alat untuk pengantin seperti : tata busana, tata rias rambut dan perhiasan.

3. Sebagai pengantin yang akan melaksanakan upacara perkawinan perlu persiapan

yang lengkap baik diri maupun materi.

4. Busana pengantin tidak hanya sekedar menarik perhatian orang dalam upacara

perkawinan tetapi dapat menciptakan suasana resmi dan hikmat sehingga terungkap aturan-aturan yang menjadi dasar dari perilaku budaya masyarakat Cirebon.

IV.2 Saran

Perkembangan busana adat pengantin di Indonesia dimasa mendatang hendaknya bersumber pada unsur-unsur tradisi daerah. Dengan demikian, dalam keadaan bagaimanapun perkembangan busana adat dan tata rias pengantin di masa mendatang dengan pemahaman atas nilai-nilai yang terkandung didalamnya tetap merupakan rangkaian yang tidak terputus dengan busana yang berkembang di daerah.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Erwantoro,Heru dkk. Busana Adat pengantin keraton Cirebon simbol,makna,dan

fungsi.www.google.com_Search:Busana Adat pengantin Cirebon.

Adeng, dkk.1998. Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar jalur sutra.Jakarta: CV.Eka Dharma.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(16)
(17)

Gambar

Gambar 1 : Keraton Cirebon
Gambar 2 : Busana Pengantin Keraton Cirebon

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Merauke dengan ini mengumumkan bahwa akan mengadakan Pelelangan sederhana Ulang

The difficulties are due to either the course materials that are considered too difficult, insufficient explanation from the lecturers, the lack of motivation of students, or

sebaiknya perkawinan campuran harus dilakukan sesuai dengan Undang Undang No.1 Tahun 1974 agar jika terjadi suatu permasalahan di dalam perkawinan tersebut, baik masalah orang

Hal ini dapat dijelaskan dari hasil penelitian bahwa dari empat rasio kinerja mengalami perbedaan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah yaitu rasio

Secara parsial menunjukkan bahwa variabel struktur aktiva (X1) dan ukuran perusahaan (X3) berpengaruh positif dan signifikan terhadap struktur modal, sedangkan

7 Batas antara paku yang tercelup cairan dengan yang tidak tercelu (diudara) telah mengalami korosi dan membentuk kerak yang semakin

Judul Skripsi : Pengaruh Konsentrasi Dan Interval Waktu Pemberian Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Atonik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Selada ( Lactuca

Dukungan Kepada Produsen ( Producer Support Estimate, PSE ), yaitu nilai moneter tahunan tentang transfer kotor (gross transfers) dari pembayar pajak (melalui