• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Imunomodulator Kelenjar Saliva Anopheles Sundaicus Sebagai Target Potensial Dalam Pembuatan Transmission Blocking Vaccine (TBV) Melawan Malaria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor Imunomodulator Kelenjar Saliva Anopheles Sundaicus Sebagai Target Potensial Dalam Pembuatan Transmission Blocking Vaccine (TBV) Melawan Malaria"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor Imunomodulator Kelenjar Saliva Anopheles Sundaicus

Sebagai Target Potensial Dalam Pembuatan Transmission

Blocking Vaccine (TBV) Melawan Malaria

Adrial

1

, Zulkarnain Edward

1

, Suci Lestari

2

Adrial_63@yahoo.com

Abstract. Indonesia as the tropical country, was the endemic area of variety of tropical

diseases, such as malaria, leprous, and filariasis with increasing patient numbers in last five years. Vaccination is a effective strategy to manage malaria. A vector arthropod salivary gland has proved to contain immunogenic materials so as to be used as vaccine which block transmission (Transmission –Bloocking Vaccine (TBV)). Vaccine based on vector salivary is a new approach that not only protect human to pathogens, but also able to block transmission. Therefore, the components in anopheline salivary was a important candidate as target of vaccine production of blocker pathogen transmission, such as TBV against malaria. This study was conducted to observe salivary activity of a malaria vector, An. sundaicus in mice model Mus musculus BALB/C which infected by P. berghei. This study was aimed to obtain information about influence administration An. sundaicus salivary to host immune response through cytokine profile IFN-γ and IL-4 yielded with sandwich ELISA measurement and parasitemia degree as consequency from P. berghei infection in model. This information will be very useful in designation TBV production against malaria with explore immunomodulatory factors in An. sundaicus salivary gland. The observation of BALB/C mice with parasitemia vaccinated with An. sundaicus salivary gland post P. berghei infection indicate that the pellet treatment group have paraistemia level which tend lower than supernatant treatment group no vaccinated. The pellet group of An. sundaicus salivary is a component of immunomodulatory protein which able decline parasitemia level from mice peller group lower than other groups. IFN-γ is highest in pellet group and IL-4 is lowest in supernatant group. The immunomodulatory protein able modulate host immune response toward Th1. It can be concluded that An, sundaicus salivary gland have potential as one of target candidate in developing Transmission Blocking Vaccine against malaria.

Key words: vector salivary, An. sundaicus, Transmission Blocking Vaccine (TBV),

immunomodulatory, and malaria.

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara tropis merupakan wilayah endemis beragam penyakit tropis, seperti malaria, kusta dan filariasis atau kaki gajah dengan jumlah penderita yang semakin meningkat dalam lima tahun terakhir. Khususnya malaria menunjukkan beberapa peningkatan kasus terutama di luar Jawa dan Bali.

Malaria merupakan penyakit infeksi parasit yang menempatkan 2,5 milyar manusia berisiko dan menyebabkan lebih dari 300-900 juta kasus klinis dengan 1-3

juta kematian setiap tahunnya. Malaria tersebar di 106 negara dengan tingkat risiko hingga 40%. Penyakit ini terutama menyerang wanita dan anak-anak di Afrika dan Asia Tenggara.

Setiap tahunnya lebih dari 15 juta orang terinfeksi malaria. Lebih dari 90 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah endemik malaria. Dari sekitar 30 juta kasus malaria setiap tahun, hanya sekitar 10% saja yang mendapat pengobatan. Malaria merupakan penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases).

(2)

Permasalahan utama malaria sampai saat ini adalah terjadinya peningkatan resistensi

Plasmodium falciparum dan P. vivax

terhadap obat-obat anti malaria. Masalah ini diperparah dengan keprihatinan bagi lingkungan yang berasal dari penggunaan insektisida seperti DDT terhadap nyamuk vektor malaria, sehingga resistensi vektor nyamuk terhadap insektisida yang menyebabkan terjadinya wabah malaria secara berulang di beberapa daerah endemik dan belum ditemukannya vaksin malaria yang efektif dalam memberikan perlindungan terhadap penduduk.

Hambatan pengembangan vaksin malaria adalah karena kompleksnya siklus hidup P.

falciparum sehingga perlu usaha pengembangan multi-stage vaccine, suatu vaksin yang dapat menginduksi respons imun yang protektif terhadap setiap tahapan siklus hidup P. falciparum. Vaksin ini mengandung beberapa subunit vaksin yang masing-masing terdiri dari satu atau beberapa subunit vaksin yang bekerja pada setiap stadium sehingga diharapkan efektivitasnya tinggi. Hambatan lain dalam pengembangan vaksin yang efektif adalah adanya polimorfisme dan protein antigen kandidat vaksin karena bentuk alelle yang berbeda akan memberikan perbedaan kemampuan untuk pengenalan respons imun tubuh.

Pendekatan baru dalam pengembangan vaksin melawan penyakit diperantarai vektor artropoda yaitu dengan memanfaatkan komponen dalam saliva vektor. Saat nyamuk betina Anopheles menggigit manusia untuk menghisap darah, terjadi proses transmisi dengan masuknya sporozoit ke dalam sirkulasi. Pada waktu yang bersamaan senyawa-senyawa aktif yang ada di dalam saliva nyamuk juga masuk ke dalam tubuh hospes. Senyawa-senyawa ini memiliki efek antihemostatik, anti-inflamasi, dan aktivitas imunosupresi yang melancarkan proses menghisap darah.

Hal ini mendasari hipotesis bahwa saliva vektor artropoda mengandung komponen vasomodulator dan imunomodulator. Komponen vasomodulator menyebabkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah, sehingga membantu nyamuk untuk menghisap darah. Komponen imunomodulator dapat membantu meningkatkan terjadinya transmisi agen-agen patogen seperti parasit malaria. Komponen imunomodulator tersebut telah dilaporkan bersifat imunosupresif.

Komponen immunosupresif yang berada di saliva vektor artropoda inilah yang merupakan komponen penting bagi basis dalam pengembangan vaksin melawan patogen yang ditransmisikan (Transmission-Blocking Vaccine (TBV). Jika substansi dalam saliva nyamuk mampu berperan sebagai faktor imunomodulator maka menginduksi respon imunitas inang (vaksinasi aktif) dengan memanfaatkan substansi tersebut akan menjadi basis bagi pengembangan metode untuk mengendalikan atau bahkan menghambat transmisi dan perkembangan parasit yang dibawa oleh nyamuk. Vaksin berbasis saliva vektor ini merupakan pendekatan inovatif baru yang tidak hanya akan melindungi inang (manusia) terhadap patogen yang dibawa vektor, lebih jauh lagi akan mampu memotong transmisinya. Vaksin penghambat transmisi (TBV) akan memberikan keuntungan dalam manghambat penyebaran mutan yang resisten terhadap komponen vaksin pada stadium aseksual atau terhadap obat-obat antimalaria. Sampai saat ini masih belum diidentifikasi senyawa yang menjadi target spesifik untuk menjadi komponen target pembuatan TBV dari nyamuk vektor malaria.

Sampai saat ini belum banyak diteliti zat yang berfungsi sebagai imunomodulator dari kelenjar saliva nyamuk Anopheles

(3)

sama untuk semua spesies Anopheles. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberikan kontribusi yang besar dalam menciptakan vaksin baru antimalaria dan anti penyebaran malaria yang efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kelenjar saliva nyamuk Anopheles sundaicus yang tidak terinfeksi terhadap derajat parasetemia dan respon imun IL-4 dan IFN- γ akibat infeksi Plasmodium berghei pada hewan coba.

METODE PENELITIAN

Koleksi Nyamuk an. Sundaicus dan Preparasi Kelenjar Saliva

An. sundaicus yang digunakan merupakan hasil rearing koleksi larva/jentik dari tempat perindukannya di Desa Sungai Pinang, Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Koleksi larva/jentik nyamuk Anopheles dilakukan sesuai dengan standar WHO. Larva diidentifikasi menggunakan buku acuan Stoker dan Koesoemawinangoen. (1950). Diseksi kelenjar saliva nyamuk betina dilakukan dengan cara WHO dan Bruce-Chwatt. Kelenjar saliva disimpan ke dalam

eppendorf tube yang sudah diisi dengan buffer HEPES Saline. Kelenjar saliva yang

telah diisolasi disimpan dalam suhu -20°C sampai diperlukan. Jumlah kelenjar saliva

An. sundaicus yang digunakan dalam

penelitian ini berjumlah 1500 ekor.

PENYIAPAN IMUNISASI

Kelenjar saliva yang telah diisolasi dihomogenisasi dan disentrifus dengan kecepatan 20.000 g pada suhu 4ºC selama 15 menit, sehingga didapatkan pellet (SG-1) dan supernatan (SG-2) yang keduanya dipakai untuk imunisasi.

ADJUVANT

Kelenjar saliva yang telah dipreparasi dicampur dengan gel aluminium hidroksida

(alhydrogel 2%, InvivoGen) dalam jumlah yang sama. Selanjutnya disimpan dalam suhu ruangan selama 2 jam atau semalam dalam suhu 4ºC.

PENYIAPAN HEWAN UJI

Mencit Mus musculus BALB/c umur 6-8 minggu dikembangbiakkan oleh laboratorium. Tiga puluh ekor mencit BALB/c dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama diimunisasi dengan SG-1 (pellet kelenjar saliva), kelompok kedua diimunisasi dengan SG-2 (supernatan kelenjar saliva) dan kelompok ketiga adalah kontrol yang diimunisasi dengan adjuvant

plus tris-saline buffer. Imunisasi dilakukan

sebanyak 3 kali dengan interval 2 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menginjeksikan 100 µl vaksin pada bahu mencit di masing-masing kelompok. Setelah dilakukan imunisasi semua mencit diinfeksi dengan P. berghei. Respon imun diamati 24 jam setelah imunisasi, sedangkan derajat parasitemia diamati 24 jam setelah infeksi.

PENGAMATAN RESPON IMUN

Pengambilan plasma dari hewan uji pada penelitian ini yaitu melalui ekor. Darah diambil dari ekor mencit yang sudah dianestesi sebelum imunisasi dan 24 jam setelah imunisasi keempat. Pengamatan respon imun dilakukan untuk mengamati titer sitokin IL-4 dan IFN-γ dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)

Sandwich.

HITUNGAN DERAJAT PARASITEMIA

Semua mencit pada masing-masing kelompok diinfeksi dengan P. berghei melalui injeksi intraperitoneal 24 jam setelah imunisasi terakhir. Duapuluh empat jam setelah diinfeksi darah mencit diambil untuk dibuat hapusan darah dan diwarnai dengan Giemsa. Derajat parasitemia diukur dengan mengitung jumlah parasit (P.

berghei) per 1000 eritrosit yang dinayatakan dalam persen (%). Pengukuran

(4)

derajat parasitemia dilakukan berturut-turut selama 7 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hitungan Derajat Parasitemia

Penghitungan derajat parasitemia dilakukan 2 kali yaitu dengan ulangan individu dan ulangan populasi. Gambaran parasitemia dari mencit yang sudah terinfeksi oleh P. berghei seperti pada Gambar 1. Pada Gambar 1. terlihat bahwa eritrosit yang telah terinfeksi oleh P.

berghei menunjukkan ukuran eritrosit lebih

besar dari eritrosit yang normal dan didalam eritrosit didapat parasit P. berghei bentuk tropozoit/bentuk cincin.

Hasil pengamatan derajat parasitemia masing-masing kelompok pada uji populasi (Gambar 2) dan uji validasi (Gambar 3) menunjukkan terdapat perbedaan derajat parasitemia antara kelompok kontrol, kelompok perlakuan pellet, dan kelompok perlakuan supernatan. Dapat dilihat bahwa pada hari ke-6 kelompok perlakuan pellet memiliki derajat parasitemia yang cenderung lebih rendah dibandingkan

Gambar 1. Hapusan darah mencit Balb/c setelah diifeksi dengan P. berghei. Tanda panah menunjukkan eritrosit yang terinfeksi parasit.

Gambar 2. Grafik perkembangan derajat parasitemia (%) populasi mencit percobaan

Gambar 3. Grafik perkembangan derajat parasitemia mencit dengan ulangan individu.

dengan kelompok perlakuan supernatan dan kelompok kontrol.

K: Kelompok kontrol; P: Kelompok perlakuan pellet; S: Kelompok perlakuan supernatan

Proteksi terhadap infeksi malaria memerlukan respon imun seluler yang dimulai dengan pelepasan interleukin-12 (IL-12) dari antigen presenting cells (APC). Peran utama IL-12 adalah diferensiasi T CD4+ menjadi sel Th1 untuk sekresi IFN- γ. Karena saliva vektor bersifat nonpatogenik dan lebih bersifat imunogenik maka sel Th2 lebih berperan aktif daripada

(5)

sel Th1 sehingga pada paparan pertama kelenjar saliva nyamuk pada inang menyebabkan perubahan respon imun seluler dari Th1 ke Th2 yang lebih menguntungkan vektor. IL-4 merupakan salah satu sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2 dimana IL-4 berperan dalam diferensiasi dan proliferasi sel B untuk memproduksi antibodi seperti IgG, IgA dan IgE. IL-4 bekerja secara antagonis dengan sitokin sel Th2, IFN- γ. Sitokin tersebut menghambat aktifitas sel Th1 dengan mekanisme regulasi silang. Hal tersebut menyebabkan mekanisme induksi respon imun seluler oleh sel Th1 yang terbukti efektif dalam mengeliminasi parasit juga berkurang. Paparan berulang saliva nyamuk menyebabkan perubahan respon imun inang dari Th2 ke arah Th1 yang lebih menguntungkan inang dan memberikan respon protektif. Sel Th1 menghasilkan IFN- γ yang berperan dalam menghambat pertumbuhan parasit di eritrosit melalui nitrit oxide yang dihasilkan dari makrofag yang teraktivasi. IFN-γ dari sel Th1 menghambat aktivitas sel Th 2 sehingga terjadi penurunan kadar IL-4. Adanya sel B memori pada pajanan pertama menyebabkan produksi antibodi meningkat

Penelitian yang dilakukan Donovan et al., pada mencit yang mendapat paparan berulang dengan gigitan nyamuk Anopheles stephensi steril terlebih dahulu, menunjukkan pengukuran derajat parasitemia yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok mencit yang tidak disensitisasi. Dari Gambar 2 dan Gambar 3 dapat dilihat bahwa kelompok perlakuan pellet dan supernatan juga memiliki derajat parasitemia yang cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini disebabkan pada kelompok perlakuan yang diberikan saliva secara berulang telah terbentuk antibodi protein kelenjar saliva. Paparan berulang dari saliva menyebabkan pergeseran respon imun ke arah Th2 yang ditandai dengan peningkatan IFN-γ untuk aktivasi sel-sel makrofag menghasilkan

Nitrit Oxide sebagai senyawa toksik sehingga bisa memaksimalkan proses eliminasi parasit. Pada kelompok kontrol tidak diberikan ekstrak kelenjar saliva An. sundaicus sehingga tidak terdapat kenaikan kadar IFN-γ untuk memberikan efek proteksi. Hal ini menyebabkan parasit berkembang lebih cepat daripada kelompok perlakuan karena sistem imun tubuh memerlukan waktu untuk mengenali antigen tersebut.

Saat proses sentrifugasi dilakukan untuk penyiapan preparasi vaksin, berbagai macam molekul akan terurai berdasarkan besarnya massa dan tingkat kelarutan. Komponen protein tertentu pada ekstrak kelenjar saliva akan membentuk endapan pellet dan sebagian lagi akan terlarut dalam supernatant. Penelitian terdahulu oleh Rajab menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dengan pemberian pellet ekstrak kelenjar saliva An. maculatus memberikan gambaran derajat parasitemia yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan supernatan dan kelompok kontrol. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Soraya menunjukkan hasil bahwa pellet kelenjar saliva An. aconitus memberikan gambaran derajat parasitemia yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan supernatan dan kelompok kontrol. Hal ini memberikan gambaran bahwah keberadaan protein imunomodulator yang diduga bersifat insoluble dan terdapat di bagian pellet kelenjar saliva Anopheles. Protein ini dapat memicu respon imun protektif terhadap inang yang ditunjukkan dengan rendahnya derajat parasitemia.

PENGAMATAN RESPON IMUN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap mencit yang diimunisasi dengan kelenjar saliva An. sundaicus dan setelah dilakukan imunisasi 3 kali serta pasca infeksi dengan P. berghei, maka didapatkan hasil uji ELISA terhadap pengamatan respon imun sebagai berikut.

(6)

Respon imun yang diamati adalah kadar Interferon-gamma (IFN-γ) dan kadar Interleukin-4 (IL-4).

PENGUKURAN KADAR IFN-γ

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap mencit yang telah diimunisasi dengan kelenjar ludah An. sundaicus dan diinfeksi dengan P. berghei, maka didapatkan kadar interferon gamma sebagaimana tertera pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut.

Berdasarkan Gambar 4 dan 5 dapat dijelaskan bahwa dari ketiga perlakuan imunisasi dengan kelompok pellet dan kelompok supernatan dari kelenjar ludah An. sundaicus, memperlihatkan terjadinya peningkatan kadar interferon gamma (IFN-γ) dari hari pertama sebelum imunisasi sampai hari 7 pasca imunisasi pertama. Kemudian kadarnya menurun sedikit setelah hari ke 7 imunisasi ke II dan hari ke 7 imunisasi ke III dan peningkatan kadar IFN- γ terjadi kembali pasca diinfeksi hari I dengan P. berghei.

Gambar 4. Pengamatan kadar interferon-gamma (IFN-γ) terhadap mencit yang diimunisasi dengan kelenjar ludah An. sundaicus dan diinfeksi P. berghei pada kelompok individu mencit percobaan.

Keterangan : 1. Sebelum vaksinasi, 2. Vaksinasi 1, 3. Vaksinasi ke 2, 4. Vaksinasi ke 3, 5. Dua puluh empat jam pasca infeksi P. berghei, dan 6. Enam hari pasca infeksi P. berghei

Gambar 5. Pengamatan kadar interferon-gamma (IFN-γ) terhadap mencit yang diimunisasi dengan kelenjar saliva An. sundaicus dan diinfeksi P. berghei pada kelompok populasi mencit percobaan.

(7)

Gambar 6. Kadar IL-4 terhadap mencit yang diimunisasi yang diinfeksi P. berghei pada kelompok individu mencit percobaan.

Gambar 7. Kadar IL-4 terhadap mencit yang diimunisasi yang diinfeksi P. berghei pada kelompok populasi mencit percobaan.

Berdasarkan Gambar 6 dan Gambar 7 kadar IL-4 pada mencit yang dimunisasi yang diinfeksi dengan P. berghei, terlihat bahwa kadar IL-4 pada kelompok kontrol mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada pasca infeksi dengan P.

berghei. Sedangkan pada kelompok perlakuan dengan pellet dan supernatan kelenjer saliva An. sundaicus yang diinfeksi dengan P. berghei, kadar IL-4 mengalami penurunan sampai pada pasca infeksi. Hal ini juga bertolak belakang dengan kadar

IFN-γ yang mengalami

peningkatan/kenaikan dan sejalan dengan penurunan kadar/derajat parasitemia P.

berghei.

Kelenjar saliva An. sundaicus

mempunyai efek imunomodulator terhadap sistim imun. Aktifitas imunomodulator dari kelenjar saliva An. sundaicus terlihat dengan adanya peningkatan kadar IFN-γ pada mencit yang diimunisasi dengan pellet dan supernatan dan berbanding terbalik

(8)

dengan kadar IL-4 serta kepadatan parasitemia P. berghei pasca infeksi.

Antigen plasmodium mampu menginduksi aktivasi sel T dengan berbagai macam cara yang ditunjukkan dengan adanya proliferasi sel T, baik secara in vivo maupun in vitro, induksi ekspresi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, produksi limfokin, dan stimulasi fungsi sel helper untuk menghasilkan antibodi.

Pertumbuhan bentuk eritrositik dari P.

berghei dapat dihambat oleh IFN-γ.

Diketahui bahwa terdapat perbedaan kadar IFN-γ yang beredar antara infeksi P. yoelii yang letal dan yang no-letal. Pemberian rekombinan IFN-γpada mencit yang diinfeksi dengan P. berghei dapat mempanjang masa hidup, demikian pula pada mencit yang diinfeksi dengan P.

chabaudi adami. (16,17) Pada penelitian ini kadar IFN-γ pada kelompok perlakuan dengan pellet dan supernatan kelenjar saliva

An. sundaicus lebih tinggi dari pada

kelompok kontrol pada hari 7 pasca imunisasi I dan 1 hari setelah diinfeksi dengan P. berghei. Proteksi terhadap stadium eritrositer P. berghei sangat tergantung pada IFN-γ, dimana sitokin ini meningkatkan aktifitas fagositosis makrofag terhadap sel darah merah yang terinfeksi dan kadar IFN-γ juga meningkat karena diaktivasinya dengan pemberian imunomodulator dari kelenjar saliva An.

sundaicus. Pemberian imunomodulator dari

imunisasi kelenjar saliva pada mencit kelompok perlakuan ternyata memberikan efek meningkatnya kadar IFN-γ serum.

Mediator respon imun lain mungkin juga ikut berperan atau ikut memperantarai terjadinya peningkatan kadar IFN-γ pada kelompok perlakuan dengan pellet dan supernatan yang diinfeksi dengan P.

berghei. Diduga mediator respon imun

tersebut adalah IL-12, sebagaimana diketahui bahwa respon terhadap adanya produk bakteri dan parasit intraseluler, monosit atau makrofag akan memproduksi IL-12, yang berefek biologik terhadap sel T,

yakni menstimulasi diffrensiasi sel T CD4+ ke arah sel Th1, dimana sel Th1 merupakan penghasil utama IFN-γ, sehingga hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan kapasitas pproduksi IFN-γ.

Pengamatan respon imun terhadap produksi IL-4 pada penelitian ini memperlihatkan kadarnya mengalami penurunan pasca imunisasi dengan kelenjar

ludah An. sundaicus dan pasca infeksi

dengan P. berghei. Hal ini sejalan dengan terjadinya peningkatan produksi kadar IFN-γ. Begitu pula dengan kepadatan parasitemia P. berghei pasca imunisasi dengan kelenjar ludah An. sundaicus mengalami penurunan. Berdasarkan penelitian ini terlihat pemberian imunisasi dengan kelenjar saliva An. sundaicus mampu bersifat protektif terhadap pertumbuhan parasit P. berghei.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Donovan, et.al (2007) (13) menunjukkan bahwa respon imun yang muncul lebih mengarah ke Th-1 ditandai dengan peningkatan IFN-γ dan IL-12 . Peningkatan ini sejajar dengan penurunan prasitemia di hepar dan darah. Ini menunjukkan bahwa induksi protein saliva vektor mampu memberikan proteksi kepada inang terhadap infeksi parasit. Dengan demikian saliva nyamuk An. sundaicus dapat dipertimbangkan sebagai potensiator nonspesifik yang dapat dikombinasikan dengan vaksin antimalaria, karena secara efektif dapat menginduksi lingkungan yang mengarah ke Th1 sebagai sarana yang efektif melawan infeksi malaria.

KESIMPULAN

Pengamatan derajat parasitemia mencit galur BALB/c yang divaksinasi dengan kelenjar saliva An. sundaicus pasca infeksi

P. berghei menunjukkan bahwa kelompok

perlakuan pellet memiliki derajat parasitemia yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan

(9)

supernatan dan kelompok kontrol yang tidak divaksinasi.

Kelompok pellet kelenjar saliva An.

sundaicus merupakan komponen protein

imunomodulator yang mampu menurunkan derajat parasitemia mencit kelompok perlakuan pellet lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Kadar sitokin IFN-γ paling tinggi pada kelompok pellet dan kadar IL-4 paling rendah pada kelompok supernatan.

Protein immunomodulator mampu memodulasi respon imun inang kearah Th1

Kelenjar saliva Anopheles sundaicus berpotensi sebagai salah satu kandidat target dalam pengembangan Transmisson

Blocking Vaccine (TBV) melawan malaria.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang protein kelenjar saliva An. sundaicus yang berperan sebagai faktor

immunomodulator pada kelompok pellet dan supernatan untuk menentukan kandidat target spesifik dalam pengembangan TBV malaria.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada HPEQ Project Program Peningkatan Kualitas Pendidikan Dokter (PHKPKPD) Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas biaya yang telah diberikan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

WHO. 2010. World Malaria report 2010. WHO Global Malaria Programme. Sandjaja, B. 2007. Parasitologi Kedokteran

Buku I: Protozoologi Kedokteran, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

Sandjaja, B. 2007. Parasitologi Kedokteran Buku I: Protozoologi Kedokteran, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Ribeiro, J.M., and Francischetti, I.M. 2003.

Role of Arthropod Saliva in Blood feeding: sialome and post-sialome perspective. Ann. Rev. Entomol. 48:73-78.

Kamhawi, S., Belnaid, Y., Modi, G., Rowton, E. Sacks, D. 2000. Protection against cutaneous Leishmaniasis resulting from bites of uninfected sand flies. Science. 290: 1351-1354.

Titus, R.G., J.V. Bishop., J.S. Mejia. 2006. The immunomodulatory factors of arthropod saliva and the potential for these factors to serve as vaccine targets to prevent pathogen transmission. Parasite Immunology. Volume 28, Issue 4, pages 131–141, April 2006).

Lavazec,c., Boudin, C., Lacroix,R., Bonnet, S., Diop, A., Thiberge, S., Boisson, B., Tahar, R., Bourgomin, C. 2007. Carboxypeptidase B of Anopheles gambiaeas Target for a Plasmodium falciparum Transmission-Blocking Vaccine. Infection and Immunity, 75(4) : 1635-1642.

WHO. 1975. Division of Malaria and Other Parasitic Diseases. Manual on Practical Entomological Field Techniques For Malaria Control. WHO, Geneva.

Stoker, W.J., Koesoemawinangoen, R.W. 1950. Buku-Gambar Njamuk-Anopheles dari Indonesia. Penerbit: Kemeterian Kesehatan (bagian Pusat Pemberantasan Malaria) Republik Indonesia. Djakarta, 1950.

Bruce-Chwatt, L.J. 1980. Essential Malariology. William Heinemann Medical Books Ltd, London, pp97-127.

(10)

Fitri, Rosyidah, Sari, dan Endarti. 2009. Effect of N-Acetyl Cysteine administration to the degree of parasitemia and plasma interleukin-12 level of mice infected plasmodium berghei and treated with artemisinin. Med J Indones. Vol.18 (1):5-9.

Baratawidjaja, K.G & Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar Edisi Ke-8. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Press.

Donovan, M.J., Messmore, A.S., Scrafford, D.A., Lacks, D.L., Kamhawi,S., McDowell, M.A. 2007. Uninfected mosquito bites confer protection against infection with Malaria parasite. Infection and Immunity. 75(5) : 2523-2530.

Ngili, Yohanes. 2009. Struktur dan Fungsi Biomolekul. Yogyakarta: Graha Ilmu

Rajab, Z. 2012.‖Derajat Parasitemia Mencit Galur BABL/c yang Divaksinasi Kelenjar Saliva Anopheles maculatus dengan Adjuvan Aluminum Hidroksida‖. Tidak diterbitkan. Skripsi. Jember: Universitas Jember.

Shear HLR, Srinivason T & Nolone Ng. 1989. Role of Interferon gamma in lethal and non-lethal malaria in susceptible and resistant murine host, J Immunol; 142:2038-39.

Clark IA, Hunt NH, Butcher GA & Cowden WB. 1989. Inhibition of murine malaria (Plasmodium chabaudi) in vitro by recombinant Interferon-ˠ or tumor Necrosis factor and its enhancement by butylated hydroxyamide, J Immunol. 139; 3493-9.

Gambar

Gambar  2.  Grafik  perkembangan  derajat  parasitemia  (%)  populasi  mencit percobaan
Gambar 4. Pengamatan kadar interferon-gamma (IFN-γ) terhadap mencit yang diimunisasi dengan  kelenjar  ludah  An
Gambar 6. Kadar IL-4 terhadap mencit yang diimunisasi yang diinfeksi P. berghei pada kelompok  individu mencit percobaan

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai tindak lanjut atas Pemendagri Nomor 24 Tahun 2006, maka Bupati Kendal membuat Perda Kabupaten Kendal Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pembentukan, Susunan

Divisi ini terdiri dari Strategic Planner, Social Media Strategist, Media, serta Monitoring & Report yang memiliki tugas untuk melakukan riset pasar, membuat

a) Perubahan terjadi secara sadar. Seseorang yang belajar menyadari telah terjadi perubahan pada dirinya. b) Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional. Sebagai

Terdapat beberapa jenis bahan dan proses yang digunakan untuk menghasilkan knuckle steering , sebagai contoh, bahan keluli dan untuk proses, tempa dan acuan

[r]

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Sistem adalah sekelompok unsur yang saling berhubungan erat satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu tujuan yang

[r]

UPAYA MEWUJUDKAN PONDOK PESANTREN YANG DIAYOMI OLEH PEMERINTAH DAERAH YANG MEMPUNYAI CITA-CITA UNTUK MENJADIKAN KOTA SERANG YANG MEMILIKI CIRI SEBAGAIMANA