• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga SKRIPSI"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS

(DTPs)

PADA PASIEN LANJUT USIA YANG

MENDAPAT PELAYANAN RESEP

(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)

VIVIN DIAH AYU PURWORINI

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

DEPARTEMEN FARMASI KOMUNITAS

SURABAYA

2013

(2)

SKRIPSI

IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS

(DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG

MENDAPAT PELAYANAN RESEP

(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)

VIVIN DIAH AYU PURWORINI

(050911007)

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

DEPARTEMEN FARMASI KOMUNITAS

SURABAYA

2013

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul:

IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG MENDAPAT PELAYANAN RESEP

(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu

Digital Library Perpustakaan Universitas Airlangga untuk kepentingan

akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi skripsi/karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 21 Agustus 2013

Vivin Diah Ayu Purworini NIM: 050911007

(4)

LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Vivin Diah Ayu Puworini NIM : 050911007

Fakultas : Farmasi

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa hasil tugas akhir yang saya tulis dengan judul:

IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG MENDAPAT PELAYANAN RESEP

(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)

adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Apabila dikemudian hari diketahui bahwa skripsi ini merupakan hasil plagiarisme, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan kelulusan atau pencabutan gelar yang saya peroleh.

Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Surabaya, 21 Agustus 2013

Vivin Diah Ayu Purworini NIM: 050911007

(5)

Lembar Pengesahan

IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG MENDAPAT PELAYANAN RESEP

(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)

SKRIPSI

Dibuat untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Farmasi Pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

2013

Oleh:

VIVIN DIAH AYU PURWORINI NIM : 050911007

Skripsi ini telah disetujui Tanggal 21 Agustus 2013 oleh: Pembimbing Utama Pembimbing Serta

Yunita Nita, S.Si., M Pharm., Apt Yuni Priyandani, S.Si., Apt., Sp.FRS.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniayang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG MENDAPAT PELAYANAN RESEP (Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)” ini dengan baik.

Skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Umi Athiyah, Apt., M.S. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga atas fasilitas, sarana dan prasarana yang diberikan selama penyelesaian pendidikan sarjana.

2. Ibu Yunita Nita, S.Si., MPharm., Apt. selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing, mengarahkan serta memberi masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Yuni Priyandani, S.Si., Apt., Sp.FRS dan Ibu Ana Yuda, S.Si., Apt. selaku dosen pembimbing serta I dan II selaku pembimbing serta kedua yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran baik dalam penyelesaian skripsi ini

4. Ibu Ekarina Ratna Himawati, M.Kes., Apt dan Ibu Dra. Wahyu Utami Apt., M.Si, MM. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritikan dan saran sehingga membangun sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Ibu Dra.Tutiek Purwanti, M.,Si, Apt., selaku dosen wali yang telah memberi masukan dan nasehat kepada penulis selama masa studi penulis di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

(7)

6. Para dosen Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang telah mendidik dan membimbing serta membantu penulis dalam penyelesaian studi di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 7. Bapak dan Ibu Dosen serta staf Departemen Farmasi Komunitas

yang telah membantu saya dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Keluarga tercinta terutama Ayah dan Ibu yang telah memberikan perhatian, kasih sayang, pengorbanan luar biasa, dorongan semangat dan doa selama penyelesaian skripsi ini dan masa studi saya. 9. Teman-teman skripsi satu Project Grant: Carissa, Risadyla,

Christina Ayu, Yuchyil dan Dewi atas kekompakan dan kerja samanya selama penulisan skripsi. Semoga sukses untuk semua. 10. Teman-teman kelas A angkatan 2009 Fakultas Farmasi Universitas

Airlangga atas kerja sama, dukungan dan semangat, semoga sukses untuk semua.

11. Teman-teman angkatan 2009 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga atas kekompakannya.

12. Apoteker Pendamping (Mbak Devi, Mbak Vuri dan Mbak Ishma) dan karyawan-karyawan yang ada di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya atas segala bantuan dan kerjasama dalam penelitian ini sehingga dapat terselesaikan skripsi ini.

13. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terimakasih atas bantuannya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Surabaya, Agustus 2013 Penulis

(8)

RINGKASAN

IDENTIFIKASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN LANJUT USIA YANG MENDAPAT PELAYANAN RESEP

(Studi Di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya) VIVIN DIAH AYU PURWORINI

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lanjut usia adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Pada lanjut usia terjadi perubahan fisiologis, perubahan farmakokinetika, dan perubahan farmakodinamika. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian lebih khususnya dalam hal perawatan kesehatan. Banyaknya gangguan kesehatan pada lanjut usia mengakibatkan penggunaan dan kebutuhan terkait obat meningkat. Apabila kebutuhan terkait obat atau drug related need (DRN) tersebut tidak terpenuhi maka dapat menimbulkan masalah terkait terapi obat atau drug therapy problems (DTPs). Selain itu peningkatan penggunaan obat atau polifarmasi mendorong kejadian DTPs semakin meningkat pula pada lanjut usia. Oleh karena itu dibutuhkan peran Apoteker dalam mengidentifikasi DTPs potensial dan/ atau aktual, menyelesaikan DTPs aktual, dan mencegah DTPs potensial. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya kejadian DTPs pada pasien lanjut usia yang mendapat pelayanan resep di Apotek Farmasi Airlangga,

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik non

probability sampling yaitu sampling jenuh atau sensus. Sampel yang

digunakan adalah seluruh pasien lanjut usia yang menebus obat dengan resep di Apotek Farmasi Airlangga pada bulan Februari 2013 yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu berusia ≥ 60 tahun, pasien lanjut usia dan/atau keluarga pasien yang menebus obat dengan resep, dapat berkomunikasi baik dan bersedia menjadi responden. Dari 65 pasien lanjut usia yang menebus obat dengan resep yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 59 lanjut usia, dimana ada 2 responden diantaranya datang dua kali sehingga total resep responden sebanyak 61 resep.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah interview dengan menggunakan instrumen berupa lembar persetujuan (informed

consent), daftar pedoman interview, Patient Medication Record (PMR),

DRP registration form V5.01 (PCNE Classification) yang dimodifikasi (van Mil, 2005), dan peneliti sebagai interviewer. Variabel penelitian ini meliputi

(9)

tujuh kategori DTP menurut Cipolle,Strand and Morley (2004) yaitu terapi obat yang tidak diperlukan, kebutuhan akan terapi obat tambahan, obat tidak efektif, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, Adverse Drug Reaction (ADR), dan ketidakpatuhan.

Berdasarkan hasil penelitian, dari 7 kategori DTPs menurut Cipolle, Strand and Morley (2004) kejadian DTPs yang teridentifikasi adalah ketidakpatuhan (59,68%), ADRs (32,26%), dan kebutuhan akan terapi obat tambahan (8,06%). Kategori DTPs ketidakpatuhan disebabkan pasien memilih untuk tidak minum obat (24), pasien tidak memahami petunjuk pemakaian obat dengan benar (13), lupa minum obat (7) dan produk obat tidak tersedia untuk pasien karena kosong pabrik atau sedang habis di apotek (4). Pada kategori ADRs disebabkan oleh adanya interaksi obat (36) dan obat dikontraindikasikan pada pasien karena faktor risiko (3). Dari 36 potensi interaksi obat lima diantaranya karena interaksi obat dengan makanan (pisang). Sedangkan obat yang dikontraindikasikan dengan pasien adalah fenilpropanolamin dan kofein pada pasien hipertensi dan kodein pada pasien asma. Adanya kondisi baru yang membutuhkan terapi obat tambahan (5) merupakan penyebab dari kategori kebutuhan akan terapi obat tambahan. Kondisi baru tersebut terjadi pada pasien yang mengaku kolesterol tinggi, batuk dan sesak.

Dari hasil penelitian mengenai identifikasi DTPs pada pasien lanjut usia yang mendapat pelayanan resep di Apotek Farmasi Airlangga pada bulan Februari 2013 menunjukan tingginya kejadian DTPs kategori ketidakpatuhan pada lanjut usia yang dapat mempengaruhi tidak tercapainya

outcome terapi yang diharapkan. Oleh karena itu peran apoteker dalam

pelayanan dan monitoring penggunaan obat pada lanjut usia perlu ditingkatkan untuk mencegah dan mengatasi DTPs sehingga tingkat pengetahuan dan kepatuhan lanjut usia meningkat serta outcome terapi tercapai.

(10)

ABSTRACT

IDENTIFICATION OF DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) ON GERIATRIC PATIENTS WITH PRESCRIPTION

(Study At Farmasi Airlangga Pharmacy Surabaya) VIVIN DIAH AYU PURWORINI

Physiological changes that occur in the aging process make the geriatric more susceptible to disease therefore the use of medication in geriatric increased. Drug related needs that do not be resolved can lead to Drug Therapy Problem (DTPs). The aim of this study was to investigate DTPs in geriatric patients at Farmasi Airlangga Pharmacy in Surabaya, Indonesia.

The study was a cross sectional study with non-probability sampling technique. Data was obtained by interviewing patients (≥ 60 years old) and/or their families. DTPs of geriatric patients who filled a prescription at Farmasi Airlangga Pharmacy in February 2013 were identified by the researcher. A DTP registration form and patient medication record (PMR) were used to document the data.

Results showed that a total of 59 geriatric patients presented and 61 prescription at the Pharmacy during February 2013. There were 44 (72,13%) geriatric patients found to have DTPs both actually and potentially. A number of 18 (29,51%) geriatric patients experienced more than 1 DTPs categories. The DTPs categories found in geriatic patients were 5 (8,06%) needs additional drug therapy, 20 (32,26%) adverse drug reaction (ADR), and 37 (59,68%) non-compliance. The cause of adverse drug reaction was drug-drug/drug-food interaction (39) and drug contraindicated due to risk factors (3). Furthermore, the cause of non-compliance was mostly patient prefers not to take the medication.

In conclusion, DTPs in elderly patient that happened in February 2013 at Farmasi Airlangga pharmacy were quite high. Pharmacists need to increase drug therapy monitoring. Pharmacists have a responsibility to resolve actual DTPs and to prevent potential DTPs.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... ... iv

KATA PENGANTAR ... ... v

RINGKASAN ……. ... ... vii

ABSTRAK……….. ... ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tinjauan tentang Pharmaceutical care ... 6

2.2 Tinjauan tentang Drug Therapy Problems (DTPs) ... 8

2.2.1 Definisi DTPs ... 8

2.2.2 Kategori DTPs ... 8

2.3 Tinjauan tentang Lanjut Usia ... 14

2.3.1 Definisi Lanjut Usia ... 14

2.3.2 Perubahan Kondisi pada Lanjut Usia ... 14

(12)

2.3.4 Perubahan Farmakodinamika ... 18

2.3.5 Masalah Terkait Obat pada Lanjut Usia ... 18

2.3.6 Tinjauan Obat yang Biasa Digunakan untuk Pasien Lanjut Usia ... 20

2.4 Tinjauan tentang Resep ... 21

2.4.1 Definisi Resep ... 21

2.4.2 Isi Resep ... 22

2.5 Tinjauan tentang Patient Medication Record (PMR) ... 22

2.5.1 Tinjauan Mengenai Dokumentasi... 22

2.5.2 Tinjauan Mengenai PMR ... 23

2.6 Tinjauan tentang Penelitian Survei ... 25

2.7 Tinjauan tentang Apotek ... 28

2.7.1 Definisi Apotek ... 28

2.7.2 Fungsi Apotek ... 28

2.7.3 Pelayanan Farmasi di Apotek ... 28

2.7.4 Tinjauan tentang Apotek Farmasi Airlangga ... 29

2.8 Penelitian Terdahulu ... 30

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL ... 32

BAB IV METODE PENELITIAN ... 34

4.1 Jenis Penelitian ... 34

4.1.1 Tujuan Penelitian... 34

4.1.2 Waktu Pengumpulan Data ... 34

4.2 Sumber Data Penelitian ... 34

4.3 Lokasi penelitian dan Waktu Penelitian ... 35

4.4 Populasi ... 35

4.5 Sampel ... 35

4.5.1 Teknik Pengambilan Sampel ... 35

(13)

4.5.3 Jumlah Sampel ... 36

4.6 Metode Pengumpulan Data ... 36

4.7 Variabel Penelitian ... 37

4.8 Instrumen Penelitian ... 43

4.9 Definisi Operasional ... 43

4.10 Uji Validitas Instrumen ... 45

4.11 Analisis Data ... 47

BAB V HASIL PENELITIAN……….……. 48

5.1 Gambaran Umum Penelitian ... 48

5.2 Uji Validitas………. ... 48

5.3 Gambaran Umum Responden………. ... 50

5.3.1 Jenis Kelamin………….. ... 50

5.3.2 Usia………... 50

5.3.3 Riwayat Gangguan Kesehatan ... 50

5.3.4 Sumber Dana Pembelian Obat ... 52

5.4 Obat dalam Resep……….. ... 52

5.5 Identifikasi Drug Therapy Problems ... 53

5.5.1 Penyebab Kebutuhan akan Terapi Obat Tambahan……… ... 55

5.5.2 Penyebab ADRs ……….… 55

5.5.3 Penyebab Ketidakpatuhan ... 58

BAB VI PEMBAHASAN……….……... 60

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN……… 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel IV.1 Variabel penelitian ………. 37

Tabel V.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden………... 50

Tabel V.2 Distribusi Usia Responden ………... . 50

Tabel V.3 Distribusi Riwayat Gangguan Kesehatan…….…………. ... 51

Tabel V.4 Distribusi Jumlah Riwayat Gangguan Kesehatan………….... .. 51

Tabel V.5 Sumber Dana Pembelian Obat ………. 52

Tabel V.6 Distribusi Jumlah Obat Dalam Resep……… 52

Tabel V.7 Obat yang Sering Diresepkan ... 53

Tabel V.8 Jumlah Drug Therapy Problems ... 54

Tabel V.9 Distribusi Kategori Drug Therapy Problems ... 54

Tabel V.10 Distribusi Penyebab Kebutuhan akan Terapi Obat Tambahan….………... 55

Tabel V.11 Distribusi Penyebab ADRs………..………... 56

Tabel V.12 Obat-obat yang menimbulkan interaksi.………... 56

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Lembar Informasi Penelitian ... 79

Lampiran 2 Persetujuan Menjadi Responden Penelitian ... 81

Lampiran 3 Daftar Pedoman Interview... 82

Lampiran 4 Catatan Penggunaan Obat Pasien ... 85

Lampiran 5 DTP Registration Form V5.01 (PCNE Classification) yang dimodifikasi ... 88

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pharmaceutical care adalah pelayanan kefarmasian yang

berorientasi pada pasien dimana apoteker bertanggung jawab atas kebutuhan pasien terkait obat, mengoptimalkan semua terapi obat pasien, meningkatkan outcome pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup tiap pasien (Cipolle, Strand & Morley, 2004). Outcome yang dimaksud adalah mengobati pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit, mencegah suatu penyakit atau gejala (Hepler & Strand, 1990). Keberhasilan outcome yang diuraikan tersebut tergantung dari setiap tenaga kesehatan mengkontribusikan keahliannya untuk menyelesaikan masalah pasien yang relevan dengan praktek keahliannya (Strand et al.,1990). Guna mencapai

outcome pasien yang diharapkan apoteker berperan penting menjamin

terapi obat teruatama melakukan identifikasi drug therapy problems (DTPs) yang bersifat potensial dan aktual, penyelesaian DTPs yang bersifat aktual serta pencegahan DTPs yang bersifat potensial (Cipolle, Strand & Morley, 2004; Hepler & Strand, 1990).

Definisi DTPs adalah kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami oleh pasien karena terapi obat dan mengganggu dalam mencapai tujuan terapi yang diinginkan. Masalah ini diidentifikasi selama proses

assessment, sehingga dapat diselesaikan melalui perubahan tindakan yang

diberikan pada tiap individu yang berbeda dalam regimen terapi obat. DTPs terbagi dalam tujuh kategori yaitu terapi obat yang tidak diperlukan, kebutuhan akan terapi obat tambahan, obat yang tidak efektif, dosis terlalu

(18)

rendah, reaksi obat yang tidak diinginkan, dosis terlalu tinggi dan ketidakpatuhan (Cipolle, Strand & Morley, 2004).

Pengertian yang hampir sama dengan DTPs juga dijelaskan oleh Hepler, yang disebut dengan Drug Related Problems (DRPs), yaitu suatu peristiwa atau keadaan yang terkait dengan terapi obat secara aktual atau potensial yang dapat mengakibatkan tidak tercapainya outcome yang optimal dari suatu pengobatan. Kategori DRPs menurut Hepler and Strand (1990) ada delapan yang meliputi terapi obat yang indikasinya tidak ada, obat tidak sesuai indikasi, terapi obat yang salah, dosis obat kurang, ADR, interaksi obat, dosis obat berlebihan dan kegagalan menerima obat (Hepler and Strand, 1990).

Pada bulan Januari 1996 sampai Desember 2002 ditemukan lebih dari 26.238 kasus DTPs yang diidentifikasi dan diselesaikan pada 5136 pasien dengan rincian tidak perlu terapi obat 6%, perlunya penambahan terapi obat 28%, obat tidak efektif 8%, dosis terlalu rendah 20%, Adverse

Drug Reactions (ADRs) 14%, dosis terlalu tinggi 5% dan ketidakpatuhan (noncompliance) 19% (Cipolle, Strand & Morley, 2004). Para ahli setuju

beberapa obat yang sama sering memberikan efek yang berbeda pada pasien lanjut usia dan dewasa muda karena perubahan terkait usia pada tubuh manusia menyebabkan perbedaan jalan respon tubuh dengan obat (Beers, 2001). Hasil penelitian di Brasil menyebutkan dari 97 sampel pasien lanjut usia yang menderita diabetes dan atau hipertensi ditemukan 284 kasus

DRPs, sedikitnya 92,3% pasien tersebut mengalami satu kategori DRPs.

Kategori DRPs yang paling banyak terjadi adalah ketidakpatuhan (55,63%) dan ADR (23,59%) (Neto et al., 2011)

Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Pemerintah RI, 1998). Pada usia tersebut terjadi perubahan fisiologis akibat proses penuaan yang bersifat universal berupa kemunduran dari

(19)

fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif, perubahan secara bertahap, akumulatif dan intrinsik (Departemen kesehatan, 2006). Perubahan tersebut menyebabkan pada pasien lanjut usia sering menderita penyakit yang beragam dan diterapi dengan obat dalam macam yang banyak. Hasil penelitian menyebutkan 78% lanjut usia menderita tidak kurang dari 4 macam penyakit, 38% menderita lebih dari 6 macam penyakit, dan 13% menderita lebih dari 8 macam penyakit (Rahmawati et al., 2009). Hasil penelitian di Australia dalam sehari 87% pasien lanjut usia wanita dan 83% pasien lanjut usia pria menggunakan paling sedikit satu obat dengan resep, dan 44% pasien lanjut usia wanita dan 35% pasien lanjut usia pria menerima satu obat tanpa resep (Elliot, 2006). Selain itu hasil penelitian di Belanda menyebutkan prevalensi sering lupa pada usia 40-50 tahun sebanyak 40,7% dan usia 70-85 tahun sebanyak 51,6% (Commissaris, Ponds, and Jolles, 1998)

Prevalensi penggunaan banyak obat yang tinggi dikombinasi dengan perubahan terkait proses penuaan pada farmakokinetik dan farmakodinamik membuat pasien lanjut usia mudah mengalami masalah terkait terapi obat (Vinks et al., 2006). Kombinasi tersebut menyebabkan pasien lanjut usia berisiko tinggi mengalami ADR. Suatu penelitian menyebutkan bahwa pada pasien lanjut usia mengalami ADR hampir enam kali lebih besar daripada pasien pada umumnya (Perry & Webster, 2001).

Masalah lain yang berkaitan dengan penggunaan obat pada pasien lanjut usia karena minimnya informasi dan pelatihan yang diberikan oleh kalangan praktisi kesehatan mengenai kebutuhan pasien lanjut usia terkait obat tertentu (Perry & Webster, 2001). Hasil penelitian Rahmawati (2008) menyebutkan terdapat 48 kasus pemilihan obat yang tidak tepat pada pasien lanjut usia diantaranya 31% obat dikontraindikasikan pemakaiannya untuk pasien dan 25% obat yang diterima pasien bukan merupakan obat

(20)

yang paling tepat (Rahmawati et al., 2008). Hasil penelitian di Taiwan pada 193 pasien lanjut usia didapatkan tiga kategori DRPs yang sering terjadi pada pasien lanjut usia yakni 35% obat tidak dapat diminum atau ditelan oleh responden terutama pada pasien DM rawat jalan, 12 % obat yang diterima berpotensi timbul interaksi antar obat dan 11% pemberian duplikasi obat yang tidak tepat (Chan et al., 2012).

Dari data-data tersebut DTPs yang paling sering terjadi pada lanjut usia adalah kategori ADR dan ketidakpatuhan. Oleh karena itu peran apoteker diperlukan dalam mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi

DTPs pada pasien lanjut usia agar tujuan terapi yang diinginkan tercapai.

Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dan mengidentifikasi jenis dan jumlah persentase kejadian

DTPs yang terjadi pada pasien lanjut usia di Apotek Farmasi Airlangga.

Apotek Farmasi Airlangga dipilih karena masih sedikit penelitian mengenai

DTPs pada pasien lanjut usia di apotek. Selain itu salah satu visi Apotek

Farmasi Airlangga adalah mengembangkan pharmaceutical care dimana fungsi apoteker adalah mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan

DTPs.

1.2 Rumusan Masalah

DTPs apa yang terjadi pada pasien lanjut usia yang mendapat obat

atas resep dokter di Apotek Farmasi Airlangga? 1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengidentifikasi adanya DTPs pada pasien lanjut usia yang mendapat obat atas resep dokter di Apotek Farmasi Airlangga.

(21)

1.4 Manfaat

(1) Bagi peneliti untuk menambah wawasan peneliti tentang DTPs pada pasien lanjut usia.

(2) Bagi Apoteker dapat digunakan sebagai sumber infomasi untuk meningkatkan peran Apoteker dalam pelayanan kefarmasian. (3) Bagi masyarakat penelitian ini bermanfaat untuk tercapainya

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pharmaceutical care

Pharmaceutical care adalah tanggung jawab pemberian terapi obat untuk mencapai outcome tertentu yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien (Hepler & Strand, 1990). Menurut KepMenkes pelayanan kefarmasian merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Departemen Kesehatan RI, 2004). Menurut Cipolle pharmaceutical care adalah pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien dimana apoteker bertanggung jawab atas kebutuhan pasien terkait obat dan bertanggung jawab mengoptimalkan semua terapi obat pasien, tanpa melihat dari mana obat berasal (resep, nonresep, alternatif, atau obat tradisional), meningkatkan

outcome pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup tiap

pasien (Cipolle, Strand & Morley, 2004). Outcome yang dimaksud adalah mengobati pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit, dan mencegah suatu penyakit atau gejala (Hepler & Strand, 1990). Keberhasilan tercapainya outcome tersebut tergantung banyak faktor, termasuk pengetahuan (obat dan penyakit), adanya informasi dari pasien, kemampuan komunikasi apoteker, dan yang paling penting apoteker diterima oleh anggota lain dari health-care team (Hughes, 2001).

Apoteker menggunakan proses pharmacotherapy workup untuk mengambil suatu keputusan, untuk membuat taksiran drug related needs pasien, identifikasi DTPs, mengembangkan sebuah rencana care, dan mengadakan follow up evaluasi untuk menjamin semua terapi obat efektif

(23)

dan aman. Guna mengidentifikasi, mengatasi, dan mencegah masalah terapi obat, apoteker harus memahami bagaimana pasien mengalami DTPs (Cipolle, Strand & Morley, 2004).

Fungsi utama apoteker dalam model pharmaceutical care sebagai berikut (Hughes,2001):

1. Mengumpulkan data pasien. Mengumpulkan data-data spesifik pasien yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah terkait obat sehingga apoteker tepat dalam mengambil keputusan terapi dan managemen pasien.

2. Identifikasi masalah. Data yang dikumpulkan dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang terkait dengan obat, seperti pemilihan obat untuk terapi, rute pemakaian, toksisitas hingga kegagalan outcome terapi.

3. Mengembangkan rencana terapi dan outcome yang ingin dicapai. Terapi obat tercapai bila memberikan respon klinis positif meliputi sembuh dari penyakit, mengeliminasi atau gejala penyakit berkurang, menghentikan atau memperlambat proses penyakit dan mencegah muncul penyakit atau gejala.

4. Evaluasi pilihan terapi.

Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan antara lain: khasiat, keamanan, ketersediaan, biaya dan kesesuaian dan kemudahan. 5. Regimen terapi individu.

(24)

2.2 Tinjauan Tentang Drug Therapy Problems (DTPs) 2.2.1 Definisi tentang DTPs

Definisi DTPs adalah kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami oleh pasien karena terapi obat dan mengganggu dalam mencapai tujuan terapi yang diinginkan. Masalah ini diidentifikasi selama proses

assessment, sehingga dapat diselesaikan melalui perubahan tindakan yang

diberikan pada tiap individu yang berbeda dalam regimen terapi obat (Cipolle, Strand & Morley, 2004).

Pengertian yang hampir sama dengan DTPs juga dijelaskan oleh Hepler & Strand, yang disebut dengan Drug Related Problems (DRPs), yaitu suatu peristiwa atau keadaan yang terkait dengan terapi obat secara aktual atau potensial yang dapat mengakibatkan tidak tercapainya outcome yang optimal dari suatu pengobatan (Hepler and Strand, 1990). Kejadian

DRPs merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman

pasien dan diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki (Strand et al, 1990).

2.2.2 Kategori DTPs

Menurut (Cipolle, Strand & Morley, 2004) DTPs dikategorikan menjadi 7 yaitu:

1. Terapi obat yang tidak diperlukan (Unnecessary drug therapy). Penyebab :

1) Pasien menggunakan obat yang tidak sesuai dengan indikasi yang dialami saat itu.

2) Penggunaan produk obat lebih dari satu pada kondisi yang seharusnya dapat diterapi dengan satu obat.

3) Pengobatan lebih baik dilakukan dengan terapi tanpa obat.

(25)

4) Pasien menerima terapi obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang seharusnya efek samping tersebut bisa dihindari.

5) Pasien menerima obat untuk terapi masalah yang timbul karena drug abuse, merokok, dan alkohol.

Contoh : pasien menerima tiga produk laxative yang berbeda pada usaha untuk mengatasi konstipasi

2. Kebutuhan akan terapi obat tambahan (Needs additional drug

therapy).

Penyebab :

1) Kondisi pasien yang memerlukan adanya terapi obat yang baru.

2) Terapi obat pencegahan untuk mengurangi resiko timbulnya kondisi baru yang tidak diinginkan pasien. 3) Kondisi media yang memerlukan adanya terapi obat

tambahan untuk mendapatkan efek yang sinergis. Contoh : Pasien yang mengidap pneumonia resiko tinggi dan

karena itu membutuhkan vaksin pneumococcal. 3. Obat tidak efektif (ineffective drug).

Penyebab :

1) Obat yang diberikan bukan yang paling efektif untuk kondisi pasien.

2) Kondisi medis sulit disembuhkan dengan obat yang diberikan.

3) Dosage form tidak tepat.

(26)

Contoh : JT’s hipertrigliseridemia tidak efektif mengobati dengan Colestid (kolestipol) 8 gram dua kali sehari karena obat ini tidak efektif mengurangi tingginya trigliserida. 4. Dosis terlalu rendah (Dosage too low).

Penyebab :

1) Dosis terlalu rendah untuk memberikan respon yang diinginkan

2) Interval pemberian dosis terlalu jarang untuk memberikan respon yang diinginkan.

3) Adanya interaksi obat yang menurunkan jumlah obat aktif.

4) Durasi pemberian obat terlalu pendek untuk mencapai respon yang diinginkan.

Contoh : dosis sehari 10 mg glipizide terlalu rendah untuk mengontrol glukosa darah pasien.

5. Dosis terlalu tinggi (Dosage too high). Penyebab :

1) Dosis terlalu tinggi

2) Interval pemberian obat terlalu pendek 3) Durasi terapi obat yang terlalu panjang

4) Interaksi obat yang menyebabkan reaksi toksik pada produk obat.

5) Dosis obat yang diberikan terlalu cepat.

Contoh : pasien mengalami bradikardi dan derajat kedua bilik jantung hasil dari 0.5 mg dosis sehari digoksin yang digunakan untuk gangguan jantung kongestif. Dosis ini terlalu tinggi untuk pasien lanjut usia dengan penurunan fungsi renal.

(27)

6. ADR (Adverse Drug Reaction). Penyebab :

1) Obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak ada hubungan dengan dosis.

2) Dibutuhkan obat lain yang lebih aman dikarenakan pasien memiliki faktor risiko.

3) Interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan dan tidak tergantung dengan dosis. 4) Regimen dosis diberikan atau diganti terlalu cepat. 5) Produk obat menyebabkan reaksi alergi

6) Produk obat yang dikontraindikasikan karena pasien memiliki faktor risiko.

Contoh : pada pasien timbul ruam pada bagian torso dan lengan disebabkan Cotrimoxazole yang diminum untuk mengobati infeksinya.

7. Ketidakpatuhan (Noncompliance). Penyebab :

1) Pasien tidak memahami petunjuk 2) Pasien memilih tidak meminum obat 3) Pasien lupa minum obat

4) Obat terlalu mahal bagi pasien

5) Pasien tidak dapat menelan/menggunakan obat dengan sendiri dengan tepat.

6) Obat tidak tersedia.

Contoh : pasien tidak dapat mengingat pemakaian tetes mata timolol sehari dua kali untuk glaukomanya.

Menurut pustaka lain DTPs juga sering disebut Drug Related

(28)

dan potensial. DRPs aktual adalah DRPs yang sedang terjadi pada pasien yang harus diatasi secepatnya sedangkan DRPs potensial adalah DRPs yang belum terjadi tetapi ada kemungkinan terjadi. Fungsi kategori DRPs (Strand et al, 1990).

1. Menggambarkan bagaimana terjadinya ADR

2. Menunjukkan peran yang nyata dari farmasis di masa depan 3. Untuk mengembangkan suatu proses yang sistematik sehingga dapat memberi efek yang positif terhadap pasien. 4. Pembagian peran antara farmasis dengan profesi kesehatan

lain dalam prakteknya menjadi jelas.

5. Pharmacy educator seharusnya memiliki keuntungan dengan adanya kategorisasi ini karena pembagian DRPs telah jelas.

Kategori DRPs menurut Hepler and Strand (1990) :

1. Indikasi yang kurang tepat (Untreated indications).

Pasien memiliki masalah pengobatan dimana membutuhkan terapi obat (sebuah indikasi untuk penggunaan obat) tetapi tidak menerima obat yang sesuai dengan indikasi

Contoh : Pasien dengan penyakit vaskular tidak menerima pengobatan untuk anemia yang juga ternyata dideritanya. Pengobatan terfokus pada kondisi primer, sedangkan masalah baru tidak teridentifikasi/tidak terobati.

2. Terapi obat tetapi mendapat obat produk yang salah (Improper

drug selection).

Pasien mempunyai indikasi obat tetapi menerima obat yang salah.

(29)

Contoh : Jika seorang pasien menerima terapi kombinasi padahal dengan terapi tunggal menghasilkan efektifitas yang sama. 3. Dosis obat kurang (Subtherapeutic dosage).

Pasien mempunyai masalah pengobatan yang diterapi dengan dosis obat terlalu sedikit.

Contoh : Terapi antibiotik untuk infeksi dengan kadar yang kurang optimal

4. Dosis obat berlebihan (overdose).

Pasien mempunyai masalah pengobatan yang diterapi dengan dosis obat yang terlalu tinggi.

Contoh : Peningkatan dosis asam nikotinat berhubungan dengan reaksi kulit yang parah. Obat dapat terakumulasi dalam waktu lama dan menghasilkan komplikasi toksik.

5. Adverse Drug Reactions (ADR).

Pasien mempunyai masalah terapi obat yang menghasilkan reaksi samping obat yang tidak diinginkan atau ADR.

Contoh : Eritromisin estolat sebagai antibakteri memiliki efek samping gangguan hati (hepatitis)

6. Interaksi obat (Drug Interaction)

Terapi obat tetapi kemungkinana ada interaksi obat, obat-hasil laboratorium, obat-makanan, obat-obat tradisional.

Contoh :

- Pasien yang mengalami efek samping sebagai hasil dari interaksi fisika/ kimia antara beberapa obat dengan konsumsi makanan.

- Pasien yang melakukan tes laboratorium untuk diagnosis penyakit tertentu juga dapat menyebabkan interaksi dengan obat yang digunakan.

(30)

7. Terapi obat obat yang indikasinya tidak ada (Drug use without

indication).

Pasien menggunakan obat tanpa adanya indikasi yang valid. Contoh : Penggunaan bersama obat antiparkinson dan antipsikosa padahal pasien tidak ada riwayat gejala extrapiramidal.

8. Kegagalan mendapatkan obat (Failure to receive medications). Pasien yang mempunyai masalah pengobatan yang mengakibatkan tidak menerima obat (misalnya karena alasan

pharmaceutical, fisiologi, sosiologi, atau ekonomi).

Contoh : Terjadi dispensing obat yang salah oleh praktisi kesehatan.

2.3 Tinjauan tentang Lanjut Usia 2.3.1 Definisi Lanjut Usia

Warga lanjut usia yang tercantum dalam Undang-Undang no. 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Pemerintah RI, 1998). Penggolongkan manula menjadi 4 berdasarkan WHO (Nugroho, 2006) yaitu :

a. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, b. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun,

c. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun, d. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. 2.3.2 Perubahan Kondisi pada Lanjut Usia

Respon klinis pengobatan tergantung pada kondisi farmakokinetik dan farmakodinamik. Pada lanjut usia perubahan farmakologis menyebabkan lebih mudah mengalami masalah terkait obat (Midlov, P., Kragh, A., & Eriksson, T. 2009). Faktor terpenting penentu terjadinya masalah terkait obat pada lanjut usia adalah kondisi fisiologis yang semakin

(31)

menurun yang berakibat terjadi peningkatan reaksi obat yang tidak diinginkan dan mengalami kesulitan untuk sembuh dari reaksi yang ditimbulkan obat tersebut. (Koda-Kimble, M.A et al., 2009).

Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien lanjut usia berbeda dari pasien muda. Pada lanjut usia terjadi proses penuaan yang bersifat universal berupa kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif, perubahan secara bertahap, akumulatif dan intrinsik. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada berbagai organ di dalam tubuh seperti sistem GIT, sistem genitorinaria, sistem endokrin, sistem immunologis, sistem serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya (Departemen Kesehatan RI, 2006). Proses kemunduran fungsi fisiologis ini terjadi sedikit demi sedikit tanpa berhenti dan mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap banyak penyakit (Koda-Kimble, M.A et al., 2009).

2.3.3 Perubahan Farmakokinetika

Bioavabilitas obat yang diberikan secara oral tergantung pada banyak faktor, termasuk absorpsi yang melalui mukosa GIT dan liver. Sebagian besar informasi farmakokinetik obat lebih banyak ditujukan pada pasien yang berusia kurang dari 65 tahun, padahal faktanya sebagian besar obat digunakan lanjut usia. Informasi obat penting diketahui karena terdapat perbedaan farmakokinetika pada dewasa muda dan lanjut usia. Guna mencegah akumulasi obat, maka dokter mengurangi dosis atau

meningkatkan interval pendosisan (Midlov, P., Kragh, A., & Eriksson, T.

2009). a. Absorpsi

Sebagian besar obat diberikan secara oral. Absorpsi obat yang diberikan secara oral tergantung fungsi ventrikel, usus, dan aliran darah ke usus (Midlov, P., Kragh, A., & Eriksson, T. 2009). Salah satu perubahan

(32)

terkait usia terjadi pada absorpsi obat pada fisiologi GIT. Perubahan terkait usia pada saluran GIT memberikan efek pada absorpsi obat termasuk penurunan sekresi asam lambung, pengosongan lambung yang lama, perpindahan obat ke usus yang pelan, dan berkurangnya aliran darah di GIT (Hutchison and O’Brien., 2007). Untungnya, sebagian besar obat diabsorpsi secara difusi pasif, dan perubahan fisiologis penuaan tampak memiliki sedikit pengaruh pada bioavalibilitas obat (Dipiro et al., 2011).

Beberapa obat yang diabsorpsi secara transpor aktif, kemungkinan terjadi penurunan bioavailabilitas obat (misalnya, kalsium dalam pengaturan hypochlorhydria). Namun, kenyataannya first-pass effect yang menurun pada hati dan atau metabolisme dinding usus menghasilkan peningkatan bioavailabilitas dan kadar obat pada plasma yang lebih tinggi seperti propranolol dan morfin (Dipiro et al., 2011). Obat yang diberikan selain melalui oral dapat dianjurkan pada pasien lanjut usia. Rata-rata absorpsi obat yang diberikan secara injeksi intramuskular atau subkutan kemungkinan lebih efektif pada lanjut usia karena mengurangi perfusi

jaringan darah (Midlov, P., Kragh, A., & Eriksson, T. 2009).

b. Distribusi obat

Sesuai pertambahan usia maka akan terjadi perubahan komposisi tubuh. Komposisi tubuh manusia sebagian besar dapat digolongkan kepada komposisi cairan tubuh dan lemak tubuh. Pada lanjut usia terjadi peningkatan komposisi lemak tubuh. Persentase lemak pada usia dewasa muda sekitar 8-20% pada laki-laki dan 33% pada perempuan; Pada lanjut usia meningkat menjadi 33% pada laki-laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi distribusi obat dalam plasma. Distribusi obat larut lemak (lipofilik) akan meningkat dan distribusi obat larut air (hidrofilik) akan menurun. Konsentrasi obat hidrofilik di plasma akan meningkat karena jumlah cairan tubuh menurun. Dosis obat hidrofilik

(33)

mungkin harus diturunkan sedangkan interval waktu pemberian obat lipofilik mungkin harus dijarangkan (Departemen Kesehatan RI, 2006). c. Metabolisme

Hepar adalah organ yang paling penting dalam metabolisme sebagian besar obat. Metabolisme obat tergantung pada aliran darah hepatik dan dengan semakin bertambah usia seseorang maka massa hepar semakin berkurang dan aliran darah hepar menurun. Metabolisme obat juga tergantung pada fungsi dan kapasitas enzim yang memetabolisme obat di hati. Enzim yang paling berperan dalam metabolisme adalah sitokrom p450

(Midlov, P., Kragh, A., & Eriksson, T., 2009). Enzim sitokrom p450 adalah salah satu enzim yang berperan pada reaksi fase 1. Reaksi kimia yang terjadi pada proses metabolisme dibagi dua yaitu reaksi fase 1 dan reaksi fase 2. Reaksi fase 1 biasanya terganggu dengan bertambahnya usia sedangkan reaksi fase 2 tidak terganggu dengan bertambahnya usia (Hughes, 2001).

d. Ekskresi

Perubahan yang paling sering terjadi terkait penuaan dapat dilihat pada ekskresi atau eliminasi. Obat diekskresi melalui ginjal atau dimetabolisme pada hati (Beers, 2000-2001). Fungsi ginjal akan mengalami penurunan seiring dengan pertambahan usia. Perubahan fungsi ginjal dievaluasi dengan menggunakan Clearence creatinine (ClCr), perkiraan laju filtrasi glomerulus (GFR) (Koda-Kimble, M.A et al., 2009). Penurunan GFR pada lanjut usia maka diperlukan penyesuaian dosis obat. Pemberian obat pada pasien lanjut usia tanpa memperhitungkan faal ginjal sebagai organ yang mengekskresikan sisa obat akan berdampak pada kemungkinan terjadinya akumulasi obat sehingga menimbulkan efek toksik/ADR (Departemen Kesehatan RI, 2006).

(34)

Banyak obat yang dieliminasi melalui ginjal. Oleh karena itu satu hal yang perlu diperhatikan adalah banyak penyakit yang dapat dialami oleh lanjut usia yang dapat menurunkan fungsi ginjal. Diabetes dan hipertensi adalah dua penyakit umum yang dapat menurunkan fungsi ginjal (Midlov, P., Kragh, A., & Eriksson, T. 2009).

2.3.4 Perubahan Farmakodinamik

Efek farmakodinamik obat tergantung pada konsentrasi obat di reseptor, respon pada reseptor dan mekanisme homeostatis. Perubahan terkait usia pada farmakodinamik mungkin dapat terjadi pada reseptor atau

signal-transduction level. Perubahan farmakodinamik dengan penuaan sulit

dipelajari daripada perubahan farmakokinetika dan sedikit fakta yang menjadi dasar mekanisme perubahan farmakodinamik (Midlov, P., Kragh, A., & Eriksson, T. 2009).

Pada umumnya peningkatan sensitivitas farmakodinamik pada banyak obat terjadi pada pasien lanjut usia. Beberapa obat yang mengalami perubahan secara farmakodinamik yang perlu diwaspadai seiring dengan bertambahnya usia adalah CNS depressants dan warfarin yang dapat meningkatkan sensitivitas; antihipertensi, tricyclic

antidepressants, phenotiazine antipsychotics dan diuretik yang dapat

meningkatkan risiko hipotensi postural; golongan obat antipsikotik yang dapat meningkatkan risiko dyskinesia tardive dan golongan

β-adrenoreceptor blocking agents yang dapat menurunkan sensitivitas

(Hughes, 2001)

2.3.5 Masalah Terkait Obat pada Lanjut Usia

Penggunaan obat yang berlebihan (Overuse of Medications) Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan multiple drug secara bersamaan atau pemberian obat lebih dari yang diindikasikan dengan klinik. Polifarmasi berhubungan dan meningkat pada lanjut

(35)

usia. Hasil survei menyatakan bahwa lanjut usia rata-rata menerima dua sampai sepuluh obat resep dan nonresep tiap hari (DiPiro. 2011). Polifarmasi pada lanjut usia kemungkinan dapat meningkatkan risiko ADR, geriatric syndrome termasuk perusakan kognitif dan delirium, jatuh dan fraktur pinggul, dan pembesaran pada saluran urin; mengurangi aktivitas fisik dan menganalisis pekerjaan sehari-hari yang dikontrol dihubungkan dengan jumlah obat yang diresepkan; dan polifarmasi dapat meningkatkan biaya untuk berobat (Hanlon, Schmader, Ruby, & Weinberger, 2001).  Resep yang tidak tepat (Inappropriate Prescribing)

Peresepan yang tidak tepat didefinisikan sebagai pengobatan diluar batas peresepan yang berlaku pada standar pengobatan. Pada umumnya fenomena ini terjadi pada lanjut usia (DiPiro et al., 2011). Obat pada resep yang tidak tepat juga didefinisikan obat yang seharusnya dihindari oleh pasien lanjut usia karena tidak efektif dan tak ada gunanya berisiko tinggi (Elliot, 2006). Ada tiga pendekatan utama untuk mengukur resep yang tidak tepat yaitu (Hanlon, Schmader, Ruby, & Weinberger, 2001):

1. Obat yang harus dihindari

2. Peninjauan ulang penggunaan obat

3. Peninjauan klinik yang dipakai kriteria eksplisit  Penggunaan obat yang rendah (Underuse)

Masalah yang penting dan meningkat pada lanjut usia adalah

underuse, yang didefinisikan sebagai kesalahan terapi obat yang

diindikasikan untuk pengobatan atau pencegahan suatu penyakit atau keadaan. Penggunaan obat yang rendah mungkin memiliki hubungan penting pada efek negatif pada hasil kesehatan lanjut

(36)

usia, termasuk penurunan fungsi, kematian, dan penggunaan pelayanan kesehatan (DiPiro et al., 2011)

 Ketidakpatuhan pengobatan.

Ketidakpatuhan terkait faktor pasien, kondisi, terapi, dan sistem kesehatan dan sosial. Sekitar 40,7% pasien usia 40-50 tahun dan 51,6% pasien usia 55-65 tahun mudah lupa. Kelupaan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain penurunan fungsi pada proses penuaan, terlalu sibuk, kurang perhatian, konsentrasi yang kurang dan faktor-faktor lain. Hal ini salah satu penyebab pada pasien lanjut usia cenderung tidak patuh. Di samping itu, ketidakpatuhan dapat didefinisikan lebih dari satu hal termasuk tidak menebus resep, menghentikan penggunaan obat sebelum obatnya habis dikonsumsi, atau mendapat informasi obat berlebih atau kurang dari pada yang dicantumkan pada etiket. Lanjut usia mungkin tidak patuh pada regimen obat karena kemungkinan terjadi efek yang tidak diinginkan, ketidakmampuan membaca etiket produk, atau informasi mengenai penggunaan obat yang tidak dipahami. Kadang-kadang, harga juga menjadi alasan yang umum mengapa pasien lanjut usia tidak menebus resep (DiPiro et al,. 2011; Commissaris, Ponds and Jolles, 1998).

2.3.6 Tinjauan Obat yang Biasa Digunakan Pasien Lanjut Usia Pada umumnya pasien lanjut usia menggunakan obat baik dengan resep atau over the counter (OTC), diantaranya cardiovascular agent termasuk antihiperlipidemia dan antikoagulan seperti aspirin, Hydroclorothiazid, atorvastatin, lisinopril, metoprolol, simvastatin, atenolol, amlodipin, furosemide, ezetimibe, valsartan, warfarin, dan clopidogrel (Qato, et al., 2008)

(37)

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dari 62 pasien lanjut usia yang menjadi Anggota Posyandu Lansia Amanah Kecamatan Gubeng Surabaya sebanyak 93 obat yang digunakan berasal dari resep. Obat yang banyak diresepkan untuk pasien lanjut usia antara lain metformin, amlodipin, allupurinol, bisoprolol, captopril, glibenklamid dan nifedipin. Selain itu suplemen makanan yang paling banyak diresepkan adalah vitamin B kompleks (vitamin B1, B6, B12) dan glukosamin (Ningrum, K.P., 2012).

Hasil penelitian di Brasil menunjukkan bahwa obat yang paling banyak digunakan pada pasien lanjut usia adalah antihipertensi, antiaritmia, hipnotik, sedative dan ansiolitik, antiulcer dan antidepresif, nitrat dan antidiabetes oral. Sebagian besar obatnya adalah ACE inhibitor (captopril-54,6%), diuretik tiazid (HCT dan indapamide-39,6%), asam asetisalisilat (29,3%), diazepam (24%), nifedipin (15%), antipsikotik fenotiazin (chlorpromazine dan thioridazine-15%), ranitidin (13%), beta blocker (atenolol dan propranolol-12,4%) dan amitriptyline (12,4%) (de Oliveira et al, 2011; Vinks et al, 2006).

2.4 Tinjauan tentang Resep 2.4.1 Definisi Resep

Resep adalah sebuah permintaan obat yang dikeluarkan oleh dokter, dokter gigi, atau praktisi kesehatan lain yang berlisensi. Resep menandakan suatu obat tertentu dan dosis yang akan diberikan untuk pasien tertentu pada waktu tertentu. Pada umumnya, resep obat juga disebut sebagai resep dokter oleh pasien (Scott, S, 2005).

Pengadaan resep dokter merupakan bagian dari hubungan profesional antara penulis resep, apoteker dan pasien. Ini adalah tanggung jawab apoteker dalam suatu hubungan untuk memenuhi penyediaan kualitas pelayanan kefarmasian mengenai kebutuhan obat pasien (Scott, S, 2005).

(38)

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku (Departemen Kesehatan RI, 2004).

2.4.2 Isi Resep

Bagian komponen dari resep sebagai berikut (Scott, S, 2005) : 1. Informasi mengenai nama dan alamat penulis resep

2. Informasi mengenai pasien seperti nama lengkap dan alamat pasien.

3. Tanggal penulisan resep.

4. Simbol R/ yang berasal dari bahasa Latin recipe yang artinya ambilah atau superscription.

5. Obat yang diresepkan atau inscription.

6. Petunjuk pemberian obat ke apoteker atau subscription.

7. Petunjuk bagi pasien atau signa ( untuk dituliskan dalam etiket). 8. Refill, label khusus dan atau petunjuk lain.

9. Tanda tangan penulis resep

2.5 Tinjauan tentang Patient Medication Record (PMR) 2.5.1 Tinjauan Mengenai Dokumentasi

Pendokumentasian adalah hal yang harus dilakukan dalam setiap kegiatan pelayanan kefarmasian. Pendokumentasian berguna untuk evaluasi kegiatan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan dan tersedianya data/profil pasien (Departemen Kesehatan RI, 2008). Dokumentasi menyajikan catatan perawatan dan riwayat keputusan pengobatan yang dibuat untuk pasien tertentu. Sebagai perubahan peran apoteker dokumentasi akan menjadi barang berharga untuk mengidentifikasi dan mecatat kegiatan apoteker (Hughes, 2001).

(39)

Masalah yang perlu didokumentasikan adalah aktivitas yang berhubungan dengan pharmaceutical care yakni DRP. Apabila ditemukan

DRPs (Drug-Related Problems), maka langkah farmasis : melihat identitas

obat, penyakit alergi yang menyebabkan DRP, analisa jenis DRP, tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi DRP, rekomendasi yang akan diberikan oleh farmasis, outcomes yang diharapkan. Selain itu aktivitas lain yang perlu pendokumentasian adalah konsultasi dengan tenaga kesehatan lain, konseling pada pasien (sediaan farmasi, perbekalan kesehatan, pasien penyakit kronis), penilaian terhadap pemahaman pasien, konsultasi/saran terhadap self-care yang diberikan pada pasien, rujukan dan lain-lain (Hughes, 2001).

2.5.2 Tinjauan Mengenai PMR

Salah satu bentuk dokumentasi untuk aktivitas pelayanan kefarmasian adalah catatan penggunaan obat pada pasien (Patient

Medication Record). Patient Medication Record (PMR) adalah catatan

penggunaan obat setiap pasien yang bersifat rahasia dan hanya boleh ditulis serta disimpan oleh apoteker (Departemen Kesehatan RI, 2008). Latar belakang perlunya PMR karena ada peningkatan jumlah obat yang diresepkan maupun over the counter (OTC) yang dikonsumsi per individu setiap tahunnya, meningkatnya jumlah pasien yang mendapatkan obat meningkatkan peluang terjadinya kesalahan dalam pengobatan dan obat yang diresepkan rawan terjadi interaksi antar obat atau bahan lain seperti makanan sehingga menyebabkan ADR (Rees, JA, 1996).

Prioritas penggunaan PMR dilakukan pada semua pasien terutama (Winfield, 1998)

1. Pasien yang memiliki kriteria umur tertentu yaitu:  penderita tua berumur lebih dari 60 tahun  anak yang berumur kurang dari 12 tahun;

(40)

2. Pasien yang memiliki penyakit tertentu seperti:  asma,

 epilepsi dan  diabetes;

3. Pasien yang menggunakan obat tertentu seperti:  antikoagulan,

 oral kontrasepsi dan  steroid;

4. Pasien yang memiliki kebutuhan tertentu seperti:  sensitif terhadap penisilin,

 terapi obat yang banyak dan  confusion

PMR dibangun untuk membantu apoteker mendeteksi dan mencegah

masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan DRPs. Di dalam

PMR secara normal akan memuat semua obat yang diminum oleh pasien

termasuk obat OTC yang dibeli di apotek atau tempat lain. Berikut data-data yang perlu dicatat dalam PMR (Winfield, 1998):

1. Data pasien : Nama

Alamat dan kode pos

Nomer telepon

Jenis Kelamin

Usia dan tanggal lahir

Pekerjaan

Alergi obat

Riwayat penyakit

2. Identitas dokter : Nama

(41)

Nomer telepon 3. Data obat : Nama obat

Kekuatan Bentuk sediaan Jumlah obat Dosis Tanggal resep Tanggal pelayanan

4. Keterangan tambahan tentang adanya alergi obat pada pasien, resistensi terhadap obat, penyakit kronik yang pernah dialami pasien. Nomor produksi atau nomor lisensi pada obat.

Manfaat lain adanya PMR adalah dapat membantu apoteker untuk melakukan konseling secara tepat pada pasien (Departemen Kesehatan RI, 2008; Rees, JA,1996).

2.6 Tinjauan Tentang Penelitian Survei

Metode pengumpulan data pada penelitian survei menurut Notoatmodjo (2010) ada dua macam yaitu :

1. Penelitian survei dengan wawancara (interview)

Wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, di mana peneliti mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seseorang sasaran penelitian (responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut (face to face). Jadi data tersebut diperoleh langsung dari responden melalui suatu pertemuan atau percakapan.

(42)

2. Penelitian survei dengan angket (kuesioner)

Yang dimaksud dengan angket, adalah suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian mengenai suatu masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum (orang banyak). Angket ini dilakukan dengan mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang berupa formulir-formulir, diajukan secara tertulis kepada sejumlah subjek untuk mendapatkan tanggapan, informasi, jawaban, dan sebagainya.

Dilihat dari bentuknya wawancara dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain (Notoatmodjo, 2010) :

a. Wawancara Tidak Terpimpin (Non Directive or Unguided

Interview)

Sebenarnya semua wawancara itu terpimpin, yakni dipimpin oleh keinginan untuk mengumpulkan informasi atau data, tetapi wawancara tidak terpimpin disini diartikan tidak ada pokok persoalan yang menjadi fokus dalam wawancara tersebut. Sehingga dalam wawancara ini pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan itu tidak sistematis, melompat-lompat dari satu peristiwa atau topik ke peristiwa atau topik lain yang tanpa berkaitan.

b. Wawancara Terpimpin (Structured Interview)

Interview jenis ini dilakukan berdasarkan pedoman-pedoman

berupa kuesioner yang telah disiapkan masak-masak sebelumnya. Sehingga interviewer tinggal membacakan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada interviewee. Pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman (kuesioner) tersebut disusun sedemikian rupa sehingga mencakup variabel-variabel yang berkaian dengan hipotesisnya. Keuntungannya antara lain (1) pengumpulan data

(43)

dan pengolahannya dapat dengan cermat dan teliti, (2) hasilnya dapat disajikan secara kualitatif dan kuantitatif, (3) interviewer dapat dilakukan oleh beberapa orang, karena adanya pertanyaan-pertanyaan yang seragam.

c. Wawancara Bebas Terpimpin

Wawancara jenis ini merupakan kombinasi dari wawancara tidak terpimpin dan wawancara terpimpin. Terdapat unsur kebebasan tetapi ada pengarah pembicaraan secara tegas dan mengarah. Wawancara ini mempunyai ciri fleksibilitas (keluwesan) tetapi arahnya jelas. Oleh karena itu, sering dipergunakan untuk menggali gejala-gejala kehidupan psikis antropologis. Unsur keluwesan tersebut tergantung dari keterampilan pewawancara dalam memanipulasikan kondisi psikologis yang tepat dan menyusun ke dalam pokok-pokok hal (pedoman interview) yang sifatnya masih mentah. Interviewer diberi kebebasan untuk mengolah sendiri pertanyaan sehingga memperoleh jawaban-jawaban yang diharapkan. Dengan berpedoman pada pola ini pewawancara melakukan wawancara dalam suasana atau dengan cara sesantai mungkin, interviewee secara bebas dapat memberikan informasi selengkap mungkinMeskipun terdapat unsur kebebasan, tetapi ada pengaruh pembicaraan secara tegas dan mengarah.

d. Free Talk dan Diskusi

Apabila di dalam suatu wawancara terjadi suatu hubungan yang sangat terbuka antara interviewer dan interviewee, maka di sini sebenarnya kedua belah pihak masing-masing menduduki dwifungsi, yakni masing-masing sebagai “information hunter” dan “information supplier”, dan dalam keadaan demikian ini

(44)

kedua belah pihak denagn hati terbuka bertukar pikiran dan perasaan, dan seobjektif mungkin mereka saling memberikan keterangan-keterangan. Maka dalam situasi demikian ini, berlangsunglah suatu “free talk” atau bericara bebas. Di sini

interviewer sebenarnya bukan hanya bertindak sebagai pencari

data, tetapi juga sebagai suggester, motivator, dan educator sekaligus.

2.7 Tinjauan Tentang Apotek 2.7.1 Definisi Apotek

Apotek adalah tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2004). Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker (Pemerintah RI, 2009).

2.7.2 Fungsi Apotek

Fungsi apotek adalah sebagai tempat pengabdian apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan, dan sebagai sarana farmasi untuk melakukan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat dan sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata. (Departemen Kesehatan RI, 2008).

2.7.3 Pelayanan Farmasi di Apotek

Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud sesuai dengan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,

(45)

pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atau resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Pemerintah RI, 2009).

2.7.4 Tinjauan Tentang Apotek Farmasi Airlangga (FFUA, 2010) Apotek Farmasi Airlangga berlokasi di Jl. Dhramawangsa No. 33 Surabaya. Latar belakang pendirian apotek adalah untuk meningkatkan kemampuan para Apoteker lulusan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga utamanya kemampuan profesionalisme Apoteker. Apotek Farmasi Airlangga merupakan Apotek Pendidikan yang pertama berdiri di Indonesia. Sebagai Apotek Pendidikan, Apotek Farmasi Airlangga mempunyai moto “No Pharmacist No Service” sehingga pada saat apotek buka akan selalu ada apoteker yang bertanggung jawab pada pelayanan kefarmasian yang diberikan.

Visi Apotek Farmasi Airlangga adalah menjadi Apotek yang mandiri, inovatif, terkemuka dan sebagai pelopor pengembangan

pharmaceutical care. Sedangkan Misi Apotek Farmasi Airlangga sebagai

berikut :

1. Mendukung penyelenggaraan pendidikan akademik dan profesi Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang menggunakan metoda dan teknologi pembelajaran modern.

2. Mengembangkan ilmu pengetahuan kefarmasian melalui penelitian di bidang pelayanan kefarmasian yang sesuai dengan kebutuhan dan untuk kepentingan masyarakat.

3. Melaksanakan program pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk komunikasi, kerjasama, pemberian informasi dan pendidikan serta bentuk pelayanan lainnya dalam rangka peningkatan kualitas hidup masyarakat.

(46)

4. Berinteraksi dan bekerjasama ditingkat nasional dan internasional secara efektif dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian, industri, rumah sakit dan pusat pelayanan kesehatan lainnya, lembaga pemerintahan, organisasi profesi serta kelompok masyarakat lain untuk kepentingan kualitas pendidikan, penelitian dan pelayanan.

5. Menghasilkan revenue bagi Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dan bagi kemajuan perkembangan apotek.

2.8 Penelitian Terdahulu

Cara peneliti terdahulu untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan kejadian masalah terkait terapi obat pada pasien lanjut usia antara lain: 1. Catatan resep (Prescription record).

Pada bulan Juni 2002 sampai Februari 2003 di 16 apotek di negara Belanda bagian selatan. Responden dipilih secara random dari resep pasien lanjut usia yang berusia 65 tahun ke atas, menerima enam atau lebih obat yang diresepkan. Pasien yang dirawat dirumah dengan perawat dan yang dirawat di rumah sakit termasuk kriteria eksklusi.

DRP diidentifikasi dan diputuskan sesuai dengan National Prescribing Guidelines seperti the Standards for Dutch general practitioners and therapeutic handbooks. Kategori DRP potensial yang diidentifikasi

dikelompokkan menjadi tiga yaitu terkait pasien yaitu ketidakpatuhan; terkait prescriber seperti obat tidak sesuai indikasi, duplikasi obat, dosis tidak tepat, tidak menggunakan sesuai petunjuk; dan terkait obat seperti kontraindikasi, interaksi antar obat. ADR. Data dianalisis dengan menggunakan Microsoft Access dan SPSS. Hasilnya dari 763 masalah terkait obat yang diamati pada 196 pasien lanjut usia. Dua atau lebih masalah terkait obat yang potensial terjadi pada 90% pasien dan hampir

(47)

sepertiga dari populasi yang diteliti lima atau lebih masalah terkait obat yang terjadi teridentifikasi (Vinks et al., 2006).

2. Wawancara dan dari catatan kartu rekam medis, kartu catatan pemberian obat yang ditulis oleh perawat, serta dokumen lain yang diperlukan. Penelitian bersifat deskriptif, pengambilan data dilakukan secara prospektif pada 100 pasien dengan kriteria pasien berumur lebih dari 60 tahun dan menjalani rawat inap di bangsal Bougenville IRNA I bagian Penyakit Dalam RSUP dr.Sardjito. Data diambil pada 2 periode waktu yaitu bulan Januari – Februari 2006 dan bulan Agustus-Oktober 2006. Pengambilan data pengobatan pasien dilakukan melalui kartu rekam medis, kartu catatan pemberian obat yang ditulis oleh perawat, serta dokumen lain yang diperlukan. Identifikasi DRP terkait dengan pemilihan obat yang tidak tepat dilakukan melalui diskusi dengan klinisi. Analisis data selanjutnya dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa problem pemilihan obat yang tidak tepat terjadi ada 48 kasus (Rahmawati et al., 2008).

3. Kuesioner

Pada bulan januari dan Desember 2007 dilakukan pada 154 pasein lanjut usia di lima institusi long term di Brasil. Sampel yang dipilih lanjut usia yang berusia 60 tahun ke atas. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari metode the Dader, Pharmacotherapeutic

Follow-up. 381 DRP teridentifikasi yaitu kesulitan mendapatkan obat,

ketidakpatuhan, kurang pengetahuan mengenai obat yang diresepkan, adanya interaksi obat dan swamedikasi adalah DRP yang paling sering terjadi. Kemudian data dianalisis menggunakan SPSS (de Oliveira and Novaes, 2011)

(48)

BAB III KERANGKA KONSEP

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Drug Related Need

(DRN) - Indikasi - Efektivitas - Aman - Kepatuhan

Drug Therapy Problems (DTPs):

1. Terapi obat tidak diperlukan.

2. Kebutuhan terapi obat tambahan.

3. Obat tidak efektif. 4. Dosis terlalu rendah 5. Dosis terlalu tinggi

6. Adverse Drug Reaction (ADR)

7. Ketidakpatuhan.

Peran Apoteker dalam

Pharmaceutical care

Identifikasi DTPs Pasien Lanjut usia

- Terjadi perubahan fisiologis -Terjadi perubahan farmakokinetik

dan farmakodinamik - Rentan terhadap penyakit

(49)

Pasien lanjut usia memiliki karakteristik terjadi perubahan fisiologis, perubahan farmakokinetika, perubahan farmakodinamika, dan rentan terhadap penyakit sehingga perlu diperhatikan pada saat penggunaan obat. Akibat dari perubahan-perubahan tersebut pada saat menggunakan obat mengalami hambatan untuk mencapai outcome terapi yang diinginkan. Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus pada pasien lanjut usia mengenai ketepatan dalam memenuhi kebutuhan terkait terapi obat yang biasa disebut Drug Related Need (DRN) yang meliputi indikasi, efektivitas, aman dan kepatuhan. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi secara tepat maka akan muncul masalah terkait obat yang disebut Drug Therapy

Problems (DTPs) yaitu ketidaktepatan indikasi menimbulkan masalah

terapi obat tidak diperlukan dan kebutuhan terapi obat tambahan, ketidakefektivitasan menimbulkan obat tidak efektif dan dosis terlalu rendah, ketidakamanan timbul bila dosis terlalu tinggi dan ADR, serta ketidakpatuhan pasien. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan identifikasi DTPs baik yang potensial dan dan/atau aktual yang terjadi pada pasien lanjut usia. Di sini salah satu peran apoteker dalam Pharmaceutical

care adalah identifikasi DTPs yang dimulai dengan menjalin komunikasi

(50)

BAB IV

METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian

4.1.1 Berdasarkan tujuan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini gambaran yang ingin dilihat adalah kejadian DTPs yang terjadi pada lanjut usia dengan resep di Apotek Farmasi Airlangga.

4.1.2 Berdasarkan waktu pengumpulan data

Berdasarkan waktu pengumpulan data penelitian ini dengan pendekatan cross sectional. Pendekatan cross sectional merupakan suatu penelitian dimana tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian kepada subjek dilakukan observasi hanya sekali saja.

4.2 Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung diperoleh dari obyek, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data dimana data telah tersedia (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini sumber data primer diperoleh dari data hasil wawancara pada pasien lanjut usia yang memenuhi kriteria inklusi dan resep pasien lanjut usia di Apotek Farmasi Airlangga. Sedangkan sumber data sekunder adalah PMR pasien bila ada di apotek.

Gambar

Gambar  Halaman
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Drug Related Need
Tabel IV.1 Variabel Penelitian
Tabel V.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh unit UMKM yang telah bersedia untuk berpartisipasi dalam proses survey dan pengumpulan data sehingga proses penyusunan ini dapat terselesaikan dengan

short-term memory into permanent memory. In order to ensure long- term retention, words or lexical items need to be put into practice.. Teacher plays an important role

Artinya para Pengusaha bengkel sepeda motor di Semarang memiliki jiwa inovasi yang cukup dalam mengembangkan usaha bengkel sepeda motornya, cukup berani mengambil

Anggraini, D.P, 2011, Perbedaan Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Nilai Perusahaan Dalam Laporan Keuangan Perusahaan Low Profile dan High

Media pembelajaran berbasis komik pada materi proses pembekuan darah dikembangkan dengan tujuan untuk menyediakan media pembelajaran berbasis komik yang valid, praktis

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis data yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran konstruktivisme di Madrasah Aliyah Pesantren

teachers to prepare the students to be ready for learning speaking. Teachers should give best strategies to improve their speaking learning. E: 2012) states the

Dari fenomena-fenomena yang telah ditemukan peneliti, peneliti berasumsi bahwa guru dan siswa di kelas B1 TK Pertiwi I Sumampir banyak menggunakan tuturan yang