TRANSPARENCY, Jurnal Hukum Ekonomi, Juni 2013 Volume II Nomor 1 GUGATAN CLASS ACTION SEBAGAI IMPLIKASI DARI PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Esra Stephani1 Ningrum Natasya Sirait2
Windha3
ABSTRACT
Enforcement developments Law No. 5 of 1999 which interesting now is the birth of KPPU decision contains consumers loss, so that implicates consumer protection, look at the class action lawsuits in some regions in Indonesia, example KPPU Decision No. 07/KPPU-L/2007 and KPPU Decision No. 03/KPPU-L/2008. The issues to be examined in this research is about rule of class action lawsuit in the laws and regulations in Indonesia, the enforcement of Law No. 5 of 1999 and the decisions of KPPU which may have implications for class action lawsuits.
Writing method used to compile this paper is the normative legal research or library research, by collecting material from books, magazines, papers, internet, legislation and other scholarly writings which closely related with the intent and purpose of the preparation of this paper.
The results of this paper it can be concluded that, the KPPU decision could have implications for class action if there is an element consumer loss listed in the consideration and decision of KPPU as the initial evidence of consumer loss. Suggestions for this research is that we need to make a law about the class action as enforcement implications Law No. 5 of 1999.
Kata Kunci : Implikasi, Putusan KPPU, gugatan class action
2 ESRA,
GUGATAN CLASS ACTION SEBAGAI IMPLIKASI DARI PENEGAKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
I. PENDAHULUAN
Terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan perbuatan monopoli dapat memberikan pengaruh buruk pada kepentingan umum dan masyarakat. Hal ini dapat berakibat pada pasar dan keinginan untuk bersaing. Demikian juga terhadap masyarakat akibatnya masyarakat dapat kehilangan kesempatan untuk membeli produk dengan harga bersaing dan terbatasnya akses pilihan untuk mendapatkan barang dengan kualitas terbaik, pasokan yang terbatas, serta pilihan yang kurang bervariasi.4
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 memberikan kewenangan kepada KPPU sebagai suatu lembaga yang independen untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang.5 Salah satu putusan KPPU sebagai penegakan UU No. 5 Tahun 1999 yang menunjukkan adanya implikasi putusan KPPU terhadap perlindungan konsumen adalah Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007, yaitu adanya struktur kepemilikan silang kelompok usaha Temasek.6
Class action diartikan sebagai gugatan
yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class
representative) untuk dan atas nama kelompok
tanpa mendapatkan surat kuasa dari yang diwakilinya namun dengan mendefinisikan identifikasi anggota kelompok secara spesifik.7
4 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Di
Indonesia (selanjutnya disebut Ningrum Natasya Sirait I)
(Medan : Pustaka Bangsa, 2011), hlm. 5-6.
5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 30.
6 Andi Fahmi Lubis, et.al., Hukum Persaingan
Usaha Antara Teks & Konteks (Indonesia : Deutsche
Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Oktober 2009), hlm. 347.
7 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata
tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan, Pengadilan (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm.
876.
Prinsipnya gugatan class action merupakan suatu cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta-fakta atau dasar hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidakefisienan bagi para pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan kepada pihak pengadilan sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah penelitian ini adalah tentang pengaturan gugatan class action dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, penegakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan putusan-putusan KPPU seperti apa yang dapat berimplikasi terhadap gugatan class action.
II. METODE PENELITIAN
A. Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif.
B. Sumber Data
Data penelitian yang dipergunakan adalah data sekunder yang terdiri dari: Pertama, bahan hukum
TRANSPARENCY, Jurnal Hukum Ekonomi Juni 2013 3
primer antara lain Undang-Undang dan Perjanjian Internasional yang berkaitan dengan gugatan class action; Kedua, bahan hukum sekunder adalah bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti; Ketiga, bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan penulis untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah melalui studi pustaka (library research) yang berupa pengambilan data yang berasal dari bahan literatur atau tulisan ilmiah berkaitan dengan gugatan class action.
D. Analisis Data
Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis normatif kualitatif yang menjelaskan pembahasan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku seperti perundang-undangan. Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan deskriptif kualitatif yakni menggambarkan secara menyeluruh pokok permasalahan dan menganalisis data tersebut menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gugatan Class Action dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia
Unsur-unsur penting dari class action adalah menyangkut jumlah penggugat, adanya
dan hukum di antara yang mewakili (representative party) dengan jumlah anggota korban, tuntutan kelompok dan adanya kelayakan (adequacy) termasuk kesungguhan dari mereka yang mewakilinya.8 Syarat formil yang merupakan
condition sine qua non dalam pengajuan gugatan class action, yaitu apabila memenuhi persyaratan
Pasal 2 dan 3 Perma No. 1 Tahun 2002.
Melihat beberapa pendapat di atas, maka keuntungan atau manfaat yang diperoleh jika menggunakan prosedur class action, antara lain:
1.
Proses berperkara lebih ekonomis dan lebih efisien (judicial economy)2.
Mencegah pengulangan (repetition) pada proses perkara yang sama dan mencegah kemungkinan putusan yang berbeda satu dengan yang lainnya3.
Akses terhadap keadilan (access to justice)4.
Perubahan sikap pelaku pelanggaran (behavior modification)5.
Kemungkinan dading (perdamaian)9Meskipun ada banyak manfaat yang diperoleh dalam mengajukan gugatan secara
class action, namun tidak berarti tidak memiliki
kelemahan. Beberapa kelemahan dari prosedur
class action adalah sebagai berikut :10
1. Kesulitan dalam mengelola
2. Dapat menyebabkan ketidakadilan
3. Dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat
8 N. H.T Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan
Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk (Jakarta, Panta
Rei, 2005), hlm. 239.
9 SP. Wibowo, “Quo Vadis Gugatan Class Action”,
4 ESRA,
GUGATAN CLASS ACTION SEBAGAI IMPLIKASI DARI PENEGAKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
4. Publikasi gugatan class action dapat menyudutkan pihak tergugat.
Ketentuan hukum acara dalam class
action di Indonesia diatur secara khusus dalam
Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Namun, sepanjang tidak diatur dalam Perma berlaku juga ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku (HIR/RBg). Prosedur dalam class action dilakukan melalui tahapan-tahapan, yaitu :11
1. Permohonan pengajuan gugatan secara class
action.
2. Proses sertifikasi (judicial certification atau
prepliminary certification test).
3. Pemberitahuan
4. Pemeriksaan dan pembuktian dalam class
action.
5. Pelaksanaan putusan
Pengaturan class action telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bawah ini, meskipun tidak memberikan petunjuk prosedur pelaksanaannya,12 yaitu Pasal 46 ayat (1) huruf b UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 39 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 71 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 90 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 36 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Pasal 91 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup(pengganti UU No. 23 Tahun 1997). Berbagai peraturan perundang-undangan di atas menggunakan prosedur atau tata cara gugatan
11
Emerson Yuntho, Class Action Sebuah
Pengantar (Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM), 2005), hlm. 5.
12 Susanti Adi Nugroho, Class Action &
Perbandingannya Dengan Negara Lain (Jakarta : Kencana,
2010), hlm. 37.
perwakilan kelompok (class action) yang sekarang telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
B. Penegakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Persoalan yang sangat krusial dalam bidang hukum di Indonesia adalah masalah penegakan hukum. Selama ini penegakan UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh KPPU sudah cukup baik dan memberi dampak yang signifikan. Hal ini sudah terlihat sejak awal berdirinya komisi ini yang telah mampu dan sanggup menghasilkan putusan perkara persaingan usaha yang terbilang besar. Contohnya saja penjualan saham Indomobil yang mendapat perhatian luar biasa saat itu. Kemudian, mampu membongkar persekongkolan dalam penjualan dua unit tanker pertamina (VLCC) yang banyak menguraikan keuangan negara13
Penegakan sebelum terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menjaga supaya para pelaku usaha tidak terlanjur mengambil langkah-langkah yang melanggar ketentuan persaingan usaha dan dengan demikian „memancing‟ konsekuensi hukum yang bersifat represif. Pendekatan penegakan sebelum terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 ini bisa terwujud dalam berbagai aktivitas yang beberapa diantaranya antara lain :
1. Dibentuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
13 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao,
Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010),
TRANSPARENCY, Jurnal Hukum Ekonomi Juni 2013 5
2. Adanya Peraturan Komisi (Perkom)
3. Adanya sosialisasi dan rekomendasi oleh KPPU
4. Dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU
Penegakan terhadap pelanggaran ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 ini bisa dikatakan untuk menindak pelaku usaha yang melakukan perjanjian dan/atau kegiatan dan/atau penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.14 Pelaku usaha tersebut harus mengikuti proses beracara dalam persaingan usaha. Jika pelaku usaha terbukti melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, terhadap pelaku usaha tersedia pula sanksi-sanksi pidana, sanksi perdata ataupun sanksi administrasi.15 Proses penegakan hukum persaingan usaha dapat dilakukan berkelanjutan di :
1. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) KPPU ditetapkan sebagai pengawas dan implementor UU No. 5 Tahun 1999 pada tingkat pertama yang menerapkan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 apabila pelaku usaha melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tersebut. Pada dasarnya, prosedur penegakan UU No. 5 Tahun 1999 melalui beberapa tahap, yaitu :
a. Tahap pengumpulan indikasi
b. Tahap pemeriksaan pendahuluan
c. Tahap pemeriksaan lanjutan
d. Tahap ekseskusi putusan komisi
14 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
2. Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri disini selain berperan menerima upaya keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha juga dapat menerima permintaan pelaksanaan penetapan eksekusi oleh KPPU, sehingga putusan tersebut bersifat eksekutorial.16 Pengadilan Negeri dalam hal ini hanya memeriksa mengenai penetapan hukumnya saja. Hakim disini tidak mencari kebenaran materiil dan bersifat pasif sehingga selama kebenaran formil terpenuhi, maka sudah cukup bagi hakim untuk menguatkan atau membenarkan putusan KPPU tersebut.17
3. Mahkamah Agung
Upaya hukum pada UU No. 5 Tahun 1999 berbeda dengan perkara perdata pada umumnya, yaitu pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri langsung dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Pengajuan permohonan kasasi ini berpedoman kepada Hukum Acara Perdata karena hal ini tidak diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 maupun Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006. Namun, hanya berpedoman kepada Pasal 8 Peraturan MA No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.18
Banyak hal yang mungkin dapat timbul dari penegakkan UU No. 5 Tahun 1999. Namun, secara garis besar proses penegakkan khususnya di KPPU dapat membuahkan hasil berupa putusan maupun penetapan yang dikeluarkan KPPU yang nantinya akan menjadi
16 Ibid. 17
6 ESRA,
GUGATAN CLASS ACTION SEBAGAI IMPLIKASI DARI PENEGAKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
dasar bagi pelaku usaha dan pengadilan jika ada perkara yang bersangkutan.
C. Gugatan Class Action Sebagai Implikasi Dari Penegakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Penegakan UU No. 5 Tahun 1999 membuka kesempatan terjadinya gugatan class
action terhadap pelaku usaha yang dinyatakan
bersalah dan dihukum oleh KPPU. Class action diartikan sebagai gugatan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class representative) untuk dan atas nama kelompok tanpa mendapatkan surat kuasa dari yang diwakilinya namun dengan mendefinisikan identifikasi anggota kelompok secara spesifik. Anggota kelompok tersebut mempunyai kesamaan fakta yang mengakibatkan adanya kesamaan kepentingan dan penderitaan.19
Gugatan class action dimungkinkan bagi sejumlah konsumen yang memiliki keluhan-keluhan serupa (similiar complaints) pada suatu saat, dari pada menempuh proses/acara yang terpisah satu sama lainnya. Satu atau dua atau lebih konsumen mewakili konsumen-konsumen senasib lainnya menggugat pelaku usaha yang diduga melanggar instrumen hukum perdata (civil
law). Gugatan class action dapat juga menarik
publisitas yang berguna karena arti pentingnya dan keterlibatan sejumlah orang.20
Namun yang menjadi persoalan adalah mengenai aturan penggabungan (konsolidasi)
19 M. Yahya Harahap, Loc.Cit
20 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) : Teori & Praktek Penegakan Hukum (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), hlm. 80-81.
perkara class action yang diajukan kepada pihak yang sama di pengadilan yang berbeda di berbagai daerah, seperti pada dua perkara diatas. Apabila tiap-tiap pengadilan mengadili sendiri-sendiri, yang dikhawatirkan adalah putusan yang dihasilkan bertentangan satu dengan yang lain, sedangkan para penggugat berpegang pada fakta yang pada prinsipnya adalah sama. Masalah konsolidasi sudah dikenal dalam Hukum Acara Perdata yang biasanya disebut dengan kumulasi. Meskipun HIR dan RBG tidak mengatur tentang kumulasi, peradilan Indonesia sudah lama menerapkannya. Kumulasi berarti penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan yang pada dasarnya gugatan gugatan tersebut berdiri sendiri. Namun demikian, kumulasi yang dikenal dalam hukum acara perdata ini adalah dalam model gugatan konvensional bukan gugatan class
action. Perma No 1 Tahun 2002 belum mengatur
tentang konsolidasi perkara class action.
Dapatkah dalam gugatan class action perkara Temasek dan Astro tersebut dikumulasikan dengan menggunakan ketentuan dalam hukum acara perdata? Menurut penulis, hukum acara perdata dapat diterapkan. Hal ini mengacu pada asas sederhana, cepat dan biaya ringan yang dianut dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan dibolehkannya kumulasi terhadap gugatan class action maka pengadilan akan mampu menyelesaikan beberapa perkara sekaligus melalui satu proses. Dengan demikian, proses beracara menjadi lebih cepat, prosedurnya lebih sederhana dengan demikian biayanya menjadi lebih terjangkau. Selain itu yang tidak kalah penting adalah dengan dikumulasikannya gugatan class action, maka akan mencegah terjadinya putusan yang saling bertentangan antara pengadilan yang satu dengan yang lain.
TRANSPARENCY, Jurnal Hukum Ekonomi Juni 2013 7
Berdasarkan uraian singkat diatas, masalah class action tersebut bukan dalam lingkup penegakan UU No. 5 Tahun 1999, tetapi merupakan implikasi dari penegakan UU tersebut terhadap pelaku usaha. Penegakan UU No.5 Tahun 1999 membuka kesempatan terjadinya gugatan class action terhadap pelaku usaha yang dinyatakan bersalah oleh KPPU. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kejelasan dan ketegasan pengaturan, khususnya mengenai penggabungan gugatan class action yang diajukan kepada pihak yang sama di pengadilan yang berbeda. Diakuinya class action, tentunya akan memudahkan bagi korban persaingan usaha yang tidak sehat dan monopoli oleh pelaku usaha yang bersifat massal untuk mengajukan gugatan guna memperoleh kerugian.
KPPU diberi wewenang untuk melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan perlindungan konsumen. Pasal 36 huruf j UU No. 5 Tahun 1999, misalnya, memberikan wewenang kepada KPPU untuk “memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak... masyarakat.” Berdasarkan Pasal 38 (2), masyarakat konsumen juga diberi hak untuk melaporkan pelanggaran hukum persaingan yang telah merugikan mereka. Di samping itu, menurut Pasal 47 ayat (1) dan (2) huruf c, KPPU juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif yang salah satunya adalah perintah kepada pelaku usaha yang melanggar untuk menghentikan kegiatan yang terbukti melanggar hukum persaingan usaha dan atau “merugikan masyarakat”. Kata “masyarakat” di sini tentunya termasuk di dalamnya adalah konsumen.
KPPU hanya berwenang untuk
meminta akibat kerugian yang dideritanya akibat adanya persaingan usaha tidak sehat. Kerugian untuk konsumen pada umumnya KPPU tidak berwenang, maka KPPU harus menyerahkan atau merekomendasikan masalah tersebut kepada instansi atau lembaga yang berwenang menangani perlindungan konsumen. Dari sisi ini, dapat disimpulkan bahwa wewenang KPPU yang secara khusus berhubungan dengan perlindungan konsumen adalah tidak memadai.21
IV. PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan Berdasarkan uraian penulis, maka dapat diambil kesimbulan sebagai berikut: 1. Pengaturan terhadap class action di Indonesia
pertama kali diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya pengaturan class action tersebar secara parsial dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun, prosedur dan tata cara gugatan perwakilan kelompok baru diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
2. Penegakan UU No. 5 Tahun 1999, baik melalui penegakan preventif yaitu dengan dibentuknya KPPU, adanya Perkom, adanya sosialisasi dan rekomendasi oleh KPPU dan dengan keluarnya Perma No. 3 Tahun 2005, maupun secara represif yang ditandai dengan dilakukannya proses beracara, baik itu melalui KPPU, atau dilanjutkan di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung yang menghasilkan putusan ataupun penetapan selama ini sudah
8 ESRA,
GUGATAN CLASS ACTION SEBAGAI IMPLIKASI DARI PENEGAKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
berjalan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pelanggaran yang sudah berkurang dan putusan yang dikeluarkan KPPU.
Putusan-putusan KPPU dapat berimplikasi terhadap gugatan class action di pengadilan jika ada unsur consummer loss yang tercantum dalam pertimbangan dan putusan KPPU sebagai bukti awal adanya kerugian konsumen dan gugatan yang dilakukan konsumen untuk menuntut ganti rugi tersebut juga harus memenuhi persyaratan umum untuk dilakukan gugatan class action. Contoh putusan tersebut adalah Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007 (Temasek) dan Putusan KPPU No. 03/KPPU-L/2008 (Astro).
B. Saran
Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu dan kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas, dapat dirumuskan saran-saran sebagai berikut:
1. Meminta lembaga peradilan tidak ragu menerima gugatan class action yang diajukan oleh perwakilan konsumen yang berimplikasi dari putusan KPPU.
2. Majelis Komisi dalam memutus perkara yang terdapat hal penetapan pembayaran ganti rugi dan pedoman perhitungan denda, sebaiknya merekomendasikan hal tersebut kepada lembaga peradilan lain yang lebih kompeten untuk menangani kasus yang berimplikasi terhadap perlindungan konsumen.
1. Perlunya dilakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan mengenai
class action sebagai implikasi penegakan UU
No. 5 Tahun 1999 dan pengaturan mengenai kumulasi gugatan dalam class action, serta dasar besarnya ganti kerugian yang boleh dituntut konsumen.
DAFTAR PUSTAKA Buku
Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999.
Lubis, Andi Fahmi et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks (Indonesia : Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009).
Nugroho, Susanti Adi. Class Action & Perbandingannya Dengan Negara Lain. Jakarta : Kencana, 2010. Shofie, Yusuf. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) : Teori & Praktek Penegakan Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003).
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta : Panta Rei, 2005.
Sirait, Ningrum Natasya. Hukum Persaingan Di Indonesia (Medan : Pustaka Bangsa, 2011).
Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao. Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat di Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia, 2010.
Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk : Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor : Ghalia Indonesia.
TRANSPARENCY, Jurnal Hukum Ekonomi Juni 2013 9
Yuntho, Emerson. Class Action Sebuah Pengantar. Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2005.
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Republik Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU.
Jurnal
Sukarmi, “Putusan KPPU Sebagai Dasar Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) di Pengadilan”, Jurnal Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Edisi 2, November 2009)
Website
SP. Wibowo, “Quo Vadis Gugatan Class Action”,
http://surabayasore.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829622b4793bfbca2a136dc 9c6999d9d1134f (diakses tanggal 7 Januari 2013).