• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ukuran Kelaparan Pengertian Kelaparan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ukuran Kelaparan Pengertian Kelaparan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Ukuran Kelaparan Pengertian Kelaparan

Kelaparan dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi hasil dari kurangnya konsumsi pangan, yang disebabkan oleh ketidakmampuan mendapatkan pangan yang cukup (Lenhart dan Read 1989). Konsep kelaparan berdasarkan FAO (2003) adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan energi (secara rata-rata sepanjang tahun) untuk hidup sehat, produktif dan mempertahankan berat badan sehat. Kelaparan juga didefinisikan sebagai kekurangan pangan yang mengakibatkan kekurangan gizi (Mason 2003), atau perasaan tak tenang/gelisah disebabkan kurangnya akses terhadap pangan (Kennedy 2003).

Berdasarkan hasil rumusan lokakarya instrumen kelaparan (Hardinsyah 2002), kelaparan merupakan ketidakmampuan seseorang memenuhi pangan minimal untuk hidup sehat, cerdas dan produktif, serta mempertahankan berat badan sehat karena masalah daya beli atau ketersediaan pangan. Secara operasional kelaparan adalah apabila seseorang dalam dua bulan terakhir terjadi penurunan frekuensi dan atau porsi makan, disertai penurunan berat badan karena masalah daya beli dan/atau ketersediaan pangan.

Definisi/pengertian kelaparan yang diusulkan untuk dipakai di Indonesia adalah “kelaparan merupakan kondisi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam jangka waktu tertentu karena ketersediaan pangan dan ekonomi” dalam hal ini orang berpuasa, diet, menderita penyakit tidak termasuk dalam batasan ini.

Definisi yang hampir sama juga dihasilkan dari kesepakatan Pertemuan 27 November 2002 (BBKP DEPTAN) yaitu kelaparan merupakan ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan pangan minimal untuk hidup sehat, cerdas dan produktif, selama dua bulan berturut-turut karena masalah daya beli dan/atau ketersediaan pangan serta nilai-nilai masyarakat. Secara operasional kelaparan merupakan ketidakmampuan seseorang memenuhi 70 persen kebutuhan energi yang disertai penurunan berat badan karena masalah daya beli dan/atau ketersediaan pangan (Tanziha 2005). Dalam hal ini kelaparan yang dimaksud

(2)

adalah kelaparan kronis, dimana seorang individu dikatakan kelaparan apabila dalam dua bulan berturut-turut konsumsi energinya kurang dari 70 persen kebutuhan. Dua bulan dipakai sebagai ukuran waktu kelaparan, karena diasumsikan apabila seorang dewasa tingkat konsumsi energinya < 70 persen dalam jangka waktu dua bulan, maka individu tersebut akan mengalami penurunan berat badan sebesar tiga sampai dengan lima kilogram, yang dapat dirasakan langsung oleh individu tersebut. Apabila individu ditanyakan apakah terjadi penurunan berat badan karena kurang makan, maka responden dapat menjawab dengan benar, walaupun hanya dengan ukuran persepsi berdasarkan terasa baju atau celana yang semakin longgar (Hardinsyah 2002).

Menurut Carlson, Andrews dan Bickel (1999) dalam Tanziha (2005), dalam keadaan kekurangan pangan atau pada suatu situasi dimana seseorang tidak bisa memperoleh cukup pangan, maka kelaparan bisa terjadi, sekalipun kekurangan pangan tersebut tidak dalam jangka panjang tetapi cukup menjadikan permasalahan kesehatan dan penurunan berat badan. Dalam hal ini seseorang dapat dikatakan kelaparan meskipun tidak menunjukkan gejala klinis dari kelaparan itu sendiri. Apabila memandang kelaparan dari pandangan sosial, kelaparan sudah terjadi pada saat : (1) seorang anak yang tidur dalam keadaan lapar karena orang tuanya tidak mampu menyediakan pangan; (2) orang tua khususnya ibu tidak makan agar anggota keluarga lainnya bisa makan; (3) seorang tunawisma yang tergantung pada pemberian derma atau terpaksa meminta-minta untuk mendapatkan makanan; atau (4) orang yang tidak makan dengan baik supaya dapat menabung untuk membayar sewa dan lainnya. Orang tersebut mengalami kekurangan pangan yang secara klinis mungkin tidak menunjukkan malnutrition atau kurang gizi/buruk, tetapi mereka dalam keadaan kelaparan sehingga disebut juga kelaparan tak kentara atau hidden hunger. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekirman (2002), bahwa kelaparan dapat terjadi meskipun secara klinis tidak terlihat berstatus gizi kurang.

Ukuran Kelaparan

Kelaparan merupakan suatu konsep, sehingga dalam pengukuran kelaparan langkah awal adalah menentukan dimensi dari kelaparan itu sendiri.

(3)

Semakin banyak dimensi yang diukur, maka akan semakin mendekati ukuran dari kelaparan itu sendiri. Mason (2003) mengemukakan bahwa ada 4 dimensi pengukuran kelaparan yaitu: 1) Dimensi kesehatan: dengan melihat fisik dari malnutrition yang ditunjukkan oleh wasting (BB/TB yang rendah), underweight (BB/U yang rendah), dan stunting (TB/U yang rendah), 2) Dimensi penderitaan (suffering): tidak nyaman dan stres karena kurang pangan, kekhawatiran anak tidak tercukupi pangannya, 3) Dimensi prilaku (behaviour) yang dilihat dari mekanisme coping dalam jangka pendek, dan 4) Dimensi ekonomi: penurunan produktifitas karena kurangnya energi yang tersedia untuk bekerja.

Pengukuran dapat diartikan sebagai pemberian nilai terhadap aspek, obyek atau kejadian melalui aturan yang telah ditentukan (Singarimbun dan Effendi 1985). Pengukuran penting karena dapat menghubungkan konsep-konsep penelitian yang abstrak dengan realitas. Kelaparan merupakan suatu konsep yang tidak dapat diukur secara langsung. Oleh karena itu, perlu suatu ukuran yang dapat mengkonkritkan kelaparan sehingga dapat diukur secara langsung. Tujuan dari pengukuran adalah untuk kategorisasi atau klasifikasi.

Menurut Singarimbun dan Effendi (1985), proses pengukuran merupakan rangkaian dari empat aktifitas pokok yaitu: 1) penentuan dimensi variabel penelitian, 2) perumusan ukuran untuk masing-masing dimensi, 3) penentuan tingkat ukuran yang akan digunakan dalam pengukuran, dan 4) menguji tingkat validitas dan reliabilitas dari alat ukur.

Berdasarkan hasil dari International Scientific symposium of Measurement and Assessment of food Devrivation and Undernutrition, yang diadakan pada bulan Juni 2002 di Roma, ada 5 metoda yang lazim digunakan untuk mengukur kelaparan yaitu : 1) metoda FAO, mengukur kurang pangan dengan memadukan informasi dari neraca bahan makanan (NBM) dengan survei pendapatan dan pengeluaran rumahtangga; 2) mengukur kerawanan pangan melalui survey pendapatan dan pengeluaran rumahtangga; 3) pengukuran kecukupan energi melalui survey asupan pangan individu (dietary intake); 4) mengukur efek fisik pada pertumbuhan/status gizi balita (antropometri), dan; 5) mengukur persepsi kelaparan dan responden perubahan perilaku (metode kualitatif). Masing-masing metode mempunyai perbedaan dalam penerapan dan keuntungan komparatif

(4)

dalam penggunaannya apakah untuk advokasi, analisis kebijakan dan keputusan, serta penelitian. Kesesuaian kelima metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 (Jahari 2002).

Tabel 1 Beberapa ukuran kelaparan dan kesesuaian penggunaannya.

Metode Kesesuaian untuk Analisis Dimensi Kelaparan yang diukur

1. FAO/DES Hanya merefleksikan perubahan Dietary Energy Supply (DES); metode ini untuk level negara/tahun

Dimensi konsumsi

2. Survey pendapatan/ pengeluaran RT

Memiliki kesesuaian yang potensial terutama bila ada survei berulang dalam skala besar yang serupa (comparable)

Dimensi konsumsi

3. Survey konsumsi pangan individu

Survey berulang yang serupa dalam skala besar, sangat jarang, sangat mahal

Dimensi konsumsi

4. Antropometri Sesuai dan digunakan secara luas untuk menilai”trends” tetapi tidak hanya mengukur ketahanan pangan

Dimensi konsumsi

5. Metode kualitatif Mungkin sangat sesuai untuk keperluan dalam negeri, tetapi

perbandingan antar negara sulit dilakukan

Dimensi perilaku

Sumber : Jahari (2002).

Metode FAO adalah menghitung suplay energi perkapita yang dapat digunakan untuk konsumsi (Dietary Energy Supply per capita/DES) yang diturunkan dari NBM dan kemudian dihubungkan dengan konsumsi pangan penduduk yang dilihat dari survei pendapatan atau pengeluaran rumahtangga.

Metode survey pendapatan dan pengeluaran rumahtangga dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah penderita kelaparan. Melalui survei ini kita dapat menghitung rataan konsumsi energi, karena dalam survei pengeluaran responden ditanya mengenai pengeluaran untuk pangan dalam waktu tertentu seperti

(5)

seminggu yang lalu. Dengan demikian kita dapat menghitung proporsi rumahtangga yang konsumsi energinya dibawah level minimum.

Metode yang ketiga adalah survei pengukuran konsumsi pangan aktual pada tingkat individu, biasanya dilakukan melalui recall 24 jam yang lalu. Kemudian dihitung tingkat konsumsinya dengan membandingkan kandungan energi dari konsumsi aktual dengan kecukupan energi yang dianjurkan. Survei ini jarang dilakukan karena biayanya mahal dan membutuhkan sumberdaya manusia yang terlatih. Alternatif lain dalam pengukuran kerawanan pangan dan kelaparan adalah melalui pengukuran status gizi kurang (Underweight, wasting atau stunted), melalui antropometri. Dari data tersebut dapat diestimasi proporsi penduduk yang kurang pangan. Metode ke lima adalah metode pengukuran kerawanan pangan dan kelaparan secara kualitatif. Pengukuran ini merupakan penilaian diri akan kondisi kelaparan yang dialaminya.

Kelima metode tersebut saling mengisi, karena masing-masing metode mempunyai kelemahan yaitu : (1) Perhitungan ketersediaan untuk umbi-umbian pada NBM biasanya tidak seakurat perhitungan untuk padi-padian; (2) Pengukuran survei pengeluaran, kadang-kadang mengabaikan perhitungan makan diluar rumah; (3) Tingkat kegiatan individu untuk menghitung kebutuhan energi pada umumnya tidak diketahui;(4) Pengukuran umur pada masyarakat, kadang tidak tepat.

Kelaparan berhubungan erat dengan ketahanan pangan yang mengarah pada “akses semua individu, setiap saat untuk mendapatkan pangan/gizi yang cukup, aman agar dapat hidup aktif dan sehat”. Definisi kelaparan itu sendiri menurut FAO (2003) adalah ”ketidakmampuan memenuhi kebutuhan energi (secara rataan sepanjang tahun) untuk hidup sehat, produktif dan mempertahankan berat badan sehat” sehingga beberapa kunci pengukuran dari konsep ini sama. Pengukuran kelaparan dapat dilakukan baik melalui pengukuran kualitatif maupun kuantitatif.

1. Pengukuran Kuantitatif (Quantitatif Measurement)

Metode dan ukuran untuk menilai kelaparan pada tingkat keluarga maupun individu, melalui 4 jenis keadaan, yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut adalah: 1) ketidakcukupan energi keluarga,

(6)

2) tingkat ketidakcukupan energi, 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity), dan 4) persen pengeluaran untuk makanan (% food expenditure) (Smith 2003).

Ketidakcukupan energi keluarga diukur dengan membandingkan ketersediaan energi di keluarga dengan kecukupan energi yang seharusnya untuk setiap anggota di keluarga tersebut yang didasarkan pada komposisi umur dan jenis kelamin. Tingkat ketidakcukupan energi menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan dengan defisit jumlah kalori pada suatu keluarga dibawah energi yang dianjurkan. Keragaman makanan menunjukkan kemampuan menyediakan makanan bagi keluarga. Persen pengeluaran untuk makanan menunjukkan keluarga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk makanan dari pendapatan sebesar 70 persen atau lebih, sedangkan pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30 persen pendapatan (den Hartog, van Staveren dan Broower 1995; Berhman 1995).

Ada 4 jenis kondisi yang hampir sama untuk menilai kelaparan baik pada tingkat keluarga maupun individu yaitu : 1) Ketersediaan pangan (dietary energy supply), 2) Konsumsi energi, 3) Status gizi secara antropometri, dan 4) Persen pengeluaran untuk makanan (% food expenditure) (FAO 2002).

2. Pengukuran Kualitatif (Qualitative Measurement)

Pada kenyataannya pengukuran kualitatif ini yang sudah dilaksanakan di Amerika dari mulai tahun 1995, sangat bermanfaat bagi kepentingan advokasi, analisis kebijakan dan penelitian. Pengukuran kualitatif kelaparan pada hakekatnya mengukur persepsi kelaparan dari individu atau keluarga yang mengalami kelaparan. Pengukuran kualitatif ini bertujuan untuk mengembangkan pengukuran standar bagi pengukuran kelaparan yang lebih sederhana. Meskipun pengukuran ini dilakukan secara kualitatif, tetapi tidak subyektif, karena pengukuran ini dikorelasikan dengan pengukuran kelaparan lainnya yang bersifat kuantitatif (Mason 2003).

Di Amerika Serikat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan diadopsi dengan modifikasi dari kuesioner US National Qualitative Measure of Food Security and Hunger Module (Fronggilo 1999; Kennedy 2003). Kuesioner ini terdiri dari 18 pertanyaan disusun berdasarkan kemampuan keluarga dalam memenuhi

(7)

kebutuhan pangan anggotanya secara keseluruhan yang dialami selama satu tahun terakhir. Adapun ke 18 pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Saya khawatir apakah makanan saya akan habis sebelum saya punya uang untuk membeli lagi?

2. Makanan yang saya beli tidak cukup dan saya tidak punya uang untuk membelinya lagi?

3. Saya tidak mampu untuk makan-makanan yang seimbang?

4. Saya bergantung pada beberapa jenis makanan yang murah untuk anak-anak saya karena saya tidak punya uang untuk membeli makanan?

5. Saya tidak dapat memberikan makanan seimbang untuk anak-anak saya karena saya tidak dapat membelinya?

6. Anak-anak saya tidak memperoleh makanan yang cukup karena saya tidak mampu membelinya?

7. Dalam 12 bulan terakhir dari bulan ini apakah anda pernah mengurangi makanan karena tidak ada cukup uang untuk membelinya?

8. Berapa sering hal tersebut terjadi : hampir setiap bulan, hanya beberapa bulan tetapi tidaksetiap bulan, atau hanya 1 sampai 2 bulan?

9. Dalam 12 bulan terakhir apakah anda pernah makan lebih sedikit dari yang seharusnya anda makan karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?

10. Dalam 12 bulan terakhir apakah anda pernah merasa lapar tetapi tidak makan karena tidak mampu membeli cukup makanan?

11. Dalam 12 bulan terakhir apa berat badan anda turun karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?

Jika semua pertanyaan berikut tidak mau dijawab maka wawancara diberhentikan (SELESAI)

12. Dalam 12 bulan terakhir, apakah anda pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?

13. (Jika ya), berapa sering hal ini terjadi: hampir setiap bulan, beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan, atau hanya 1 sampai 2 bulan?

Jika ada berusia dibawah 18 tahun tanyakan pertanyan berikut, jika tidak ada maka wawancara diberhentikan (SELESAI)

(8)

14. Dalam 12 bulan terakhir dari bulan ini , apakah anda pernah mengurangi makanan anak-anak anda karena tidak punya cukup uang untuk membelinya?

15. Dalam 12 Bulan terakhir apakah (nama anak) pernah tidak makan karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?

16. (Jika ya), berapa sering hal tersebut terjadi: hampir setiap bulan, beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan, atau hanya I sampai 2 bulan?

17. Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda pernah merasa lapar tetapi tidak mampu membeli cukup makanan?

18. Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?

Pertanyaan yang diajukan dalam pengukuran kualitatif ini adalah untuk mengukur 4 kondisi atau perilaku di keluarga: 1) kegelisahan mengenai budget untuk pangan dan suplai pangan/ketiadaan pangan, 2) persepsi ketidakcukupan pangan baik kuantitas maupun kualitas, 3) penurunan konsumsi pangan orang dewasa, dan 4) penurunan konsumsi pada anak-anak (Kennedy 2003). Hasil pengukuran kemudian diklasifikasikan kedalam 4 kategori, yaitu: food secure (tahan pangan) terjadi apabila menjawab “tidak” pada semua item pertanyaan kecuali pertanyaan kehawatiran; food insecure hunger not evident (rawan ketahanan pangan tanpa kelaparan) terjadi pada saat keluarga menurunkan kualitas makanan (tidak mampu memberikan makanan seimbang) dan mengganti makanan menjadi jenis makanan yang lebih murah karena daya beli menurun, dan terjadi pengurangan porsi makan pada orang dewasa; food insecure with moderate hunger (rawan ketahanan pangan dengan kelaparan sedang) terjadi pada saat orang dewasa mengalami penurunan porsi makan dan merasakan lapar karena tidak mendapatkan cukup makan; food insecure with severe hunger (rawan ketahanan pangan dengan kelaparan akut) terjadi pada saat ada penurunan porsi makan untuk anak-anak dan anak-anak merasakan lapar karena kekurangan makanan, dan orang dewasa merasakan lapar berat karena seharian tidak makan yang disebabkan oleh ketiadaan makanan.

Pengukuran dengan metode kualitatif yang dikembangkan oleh Eillen Kennedy tersebut, dinilai valid dan reliable untuk menilai kondisi ketahanan

(9)

pangan di USA. Sejak tahun 1995, setiap tahunnya Amerika Serikat melakukan evaluasi terhadap ketahanan pangan keluarga dan kelaparan dengan menggunakan US National Qualitative Measure of Food Security and Hunger module. Data yang diperoleh selama periode 1995 – 1999 menunjukkan bahwa mayoritas keluarga di Amerika Serikat termasuk tahan pangan dengan prevalensi berkisar antara 89.7% sampai dengan 91.3%. Prevalensi keluarga rawan pangan berkisar antara 8.7% sampai dengan 10.4%, dengan sebagian besar keluarga rawan pangan tanpa kelaparan.

Di Venezuela, kelaparan diukur secara kualitatif melalui 12 pertanyaan, sebagai berikut (Lorenzana dan Sanjur 1999) :

1. Rumah tangga kekurangan uang untuk membeli makanan.

2. Membeli sedikit pangan yang sangat dibutuhkan oleh anak karena kurang uang.

3. Mengurangi makanan yang biasa dimakan karena kurang uang.

4. Setiap orang makan lebih sedikit dari yang diinginkan karena kurang uang. 5. Orang dewasa mengurangi porsi makannya karena kurang uang.

6. Orang dewasa mengkonsumsi makanan pokok karena kurang uang. 7. Orang dewasa merasa lapar karena kurang uang.

8. Anak-anak mengurangi makanan yang biasa dikonsumsi karena kurang uang. 9. Orang dewasa pergi tidur dengan perasaan lapar karena kurang uang.

10. Anak-anak mengkonsumsi sedikit makanan pokok karena kurang uang. 11. Anak-anak merasa lapar karena kurang uang.

12. Anak-anak pergi tidur dengan perasaan lapar karena kurang uang.

Pengukuran kelaparan dengan metode kualitatif tersebut diatas, dinilai valid dan reliable untuk menilai kondisi ketahanan pangan di Venezuela.

Di Bangladesh juga mengembangkan ukuran kelaparan kualitatif. Dari 40 pertanyaan yang diujikan di masyarakat hanya 11 pertanyaan yang sensitif dalam mengukur kelaparan dan stress pangan (Web, Coates dan Houser 2002). Kesebelas pertanyaan tersebut adalah :

1. Mengkonsumsi gandum sebagai pengganti beras, meskipun beras lebih disukai.

(10)

2. Melakukan peminjaman pangan untuk melakukan kewajiban sosial (seperti untuk menjamu tamu).

3. Ngutang pangan (biasanya beras atau kacang-kacangan) kewarung untuk konsumsi.

4. Sering merasa cemas memikirkan bagaimana memperoleh pangan untuk konsumsi berikutnya.

5. Sering membeli beras karena gagal panen 6. Keluarga hanya makan sedikit setiap hari.

7. Orang dewasa makan lebih sedikit karena ketersediaan makanan kurang. 8. Pinjam pangan pada tetangga untuk makan.

9. Orang dewasa kadang tidak makan karena makanan yang ada tidak cukup. 10. Ada waktu dimana tidak punya persediaan makanan dan juga tidak punya

uang untuk membeli.

11. Selain orang dewasa, anak-anak juga kadang tidak makan.

Pengukuran kelaparan dengan metode kualitatif tersebut diatas, dinilai valid dan reliable untuk menilai kondisi ketahanan pangan di Bangladesh.

Masithah (2002) melakukan penelitian ketahanan pangan di Bogor dengan menggunakan ukuran kuantitatif dan kualitatif (mengadopsi pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan oleh Eillen Kennedi). Hasilnya menunjukkan bahwa pengukuran ketahanan pangan secara kualitatif mempunyai korelasi yang tinggi dengan pengukuran kuantitatif konsumsi energi. Hasil uji korelasi Spearman antara ketahanan pangan (kuantitaif) dengan persepsi responden terhadap ketahanan pangan rumahtangga (kualitatif) menunjukkan terdapat hubungan yang nyata keduanya (P<0,01). Kondisi ini bermakna bahwa persepsi responden mengenai ketahanan pangan rumahtangganya mewakili keadaan ketahanan pangan rumahtangga yang sebenarnya.

Di Indonesia, melalui lokakarya Perumusan Indikator Kelaparan pada bulan November 2002, telah disepakati 9 butir pertanyaan untuk mengukur kelaparan secara kualitatif, yang terdiri dari 5 pertanyaan untuk menentukan kelaparan pada level keluarga, dan 4 pertanyaan untuk menentukan kelaparan pada level individu. Kesembilan pertanyaan tersebut masih berupa usulan dan belum diuji reliabilitas serta validitas dari ukuran kelaparan kualitatif tersebut

(11)

sehingga apabila kesembilan pertanyaan tersebut hendak dijadikan ukuran kelaparan di Indonesia, maka harus dilakukan uji coba terlebih dahulu. Dalam hal ini Badan Bimas Ketahanan pangan Deptan bekerja sama secara lintas sektor dengan IPB, BPS, Depkes dan BKKBN melakukan uji coba tersebut yang sebelumnya telah dilakukan penyederhanaan pertanyaan, dan valid untuk dijadikan ukuran kelaparan kualitatif yang dapat digunakan untuk monitoring dan evaluasi kelaparan di Indonesia (Hardinsyah et al. 2003).

Hasil penelitian Badan Bimas Ketahanan pangan Deptan bekerja sama secara lintas sektor dengan IPB, BPS, Depkes dan BKKBN (2003) melakukan uji coba penelitian dengan 9 pertanyaan yang diadopsi dari Eillen Kennedy (1995) yang sebelumnya telah dilakukan penyederhanaan pertanyaan. Adapun pertanyaan kualitatif untuk mengukur kelaparan tersebut yaitu:

1. Dalam setahun terakhir, berapa kali sehari biasanya saudara makan?

2. Dalam dua bulan terakhir biasanya berapa kali sehari biasanya saudara makan? 3. Bila frekuensi makan berkurang (jawaban 2 < jawaban 1), mengapa?

Penurunan daya beli 1

Sulit diperoleh atau langka 2 Anggota keluarga bertambah 3 lainnya (sebutkan) ………… 4

4. Bila frekuensi makan berkurang (jawaban 2 < jawaban 1), berapa kali kejadian serupa dialami selama setahun terakhir? … kali

5. Dalam dua bulan terakhir, apakah jumlah/porsi makan saudara semakin sedikit atau berkurang dibanding biasanya?

6. Bila berkurang, mengapa?

Penurunan daya beli 1

Sulit diperoleh atau langka 2 Anggota keluarga bertambah 3 lainnya (sebutkan) ………… 4

7. Bila porsi makan berkurang, berapa kali kejadian yang serupa dialami selama setahun terakhir? … kali

8. Dalam dua bulan terakhir apakah berat badan saudara semakin berkurang? Bila berkurang mengapa?

(12)

Makanan berkurang 1

Sakit 2

Semakin sibuk 3

lainnya (sebutkan)……… 4

9. Bila berat badan berkurang, berapa kali kejadian yang serupa dialami selama setahun terakhir? … kali

Berdasarkan pertanyaan diatas, seorang individu dikatakan lapar apabila terjadi penurunan frekuensi dan atau penurunan porsi disertai penurunan berat badan. Dikatakan rawan pangan apabila hanya terjadi penurunan frekuensi atau porsi makan, serta dikatakan tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan baik frekuensi maupun porsi konsumsi.

Berbagai Indikator Kelaparan

Indikator adalah suatu informasi yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang dapat memberikan indikasi tentang suatu keadaan (yang dalam hal ini adalah keadaan kelaparan). Suatu informasi dapat dijadikan sebagai indikator bila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) sensitif dan spesifik untuk keadaan yang ingin dijelaskan atau dengan kata lain harus memiliki validitas yang tinggi; 2) Sederhana, mudah dikumpulkan oleh siapa saja dengan bekal latihan sederhana; dan 3) mudah dianalisis dan diinterpretasikan (Jahari 2002). Indikator ketersediaan pangan dapat berupa faktor input pertanian, seperti pemilikan lahan/aset, kesuburan lahan, dan praktek pengelolaan lahan. Indikator akses terhadap pangan meliputi akses terhadap kredit, kesempatan kerja, daya beli, harga, pendidikan dan pendapatan juga meliputi strategi keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan (coping strategy).

Pada ketahanan pangan, kelaparan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan dalam dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses yang menggambarkan ketersediaan pangan dan akses keluarga atau individu pada pangan serta konsumsi atau jenis konsumsi, sedangkan pengukuran indikator dampak dapat dilakukan melalui penilaian status gizi (antropometri) sebagai cerminan dari kelaparan itu sendiri (Jahari 2002).

(13)

Project millenium yang lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDG) (http//www.unmilleniumproject.org/html) dalam memantau kelaparan dunia menggunakan indikator proses berhubungan dengan pendapatan dan konsumsi, juga indikator dampak yang berhubungan dengan pendapatan dan kesehatan/gizi yang juga digunakan pada berbagai negara termasuk Indonesia yaitu : 1) proporsi populasi yang mempunyai pendapatan dibawah 1 dolar per hari, 2) rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) merupakan ukuran rataan kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin, 3) prevalensi underweight anak balita, dan 4) proporsi penduduk dengan konsumsi energi dibawah level minimum (<70%).

Menurut Wilson dan Sapanuchart (1993) dalam Dinkes (2004), definisi indikator sebagai suatu ukuran tidak langsung dari suatu kejadian atau kondisi. Demikian pula menurut Green (1992) dalam Dinkes (2004), indikator adalah peubah-peubah yang mengindikasikan atau memberi petunjuk tentang suatu keadaan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur perubahan. Indikator-indikator diatas banyak digunakan dalam memprediksi kelaparan.

Carlson, Andrews and Bickel (1999) dalam Tanziha (2005), mengembangkan indikator kualitatif yang dapat memprediksi kelaparan. Menurutnya apabila dalam suatu keluarga orang tua memikirkan bagaimana makan selanjutnya dan bagaimana makanan itu bisa diperoleh, sudah merupakan indikator adanya kelaparan dikeluarga itu.

Beberapa Hasil Penelitian Kelaparan

Beberapa hasil penelitian kelaparan yang dilakukan di beberapa negara menemukan beberapa perbedaan dan persamaan indikator kelaparan yang digunakan. Hasil penelitian Hoddinott (1999) di USA dengan menggunakan recall konsumsi yaitu selama 14 hari berturut-turut. Pengukuran kelaparan dengan menggunakan konsumsi energi dibawah level minimum (<70%). Hasilnya dapat menentukan keluarga kedalam kelompok keluarga yang kelaparan dan tidak kelaparan. Kelebihan dari penelitian ini adalah 1) Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden; 2) Dapat memberikan gambaran yang dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari. Kelemahan

(14)

penelitian ini ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara.

Hasil penelitian Tanziha (2005) di Jawa Barat pengukuran kelaparan dengan indikator peubah sosial ekonomi (persen pengeluaran untuk pangan pokok/beras) dan konsumsi pangan (frekuensi konsumsi nasi, ayam dan ikan). Hasil penelitian ini menemukan indikator kelaparan yaitu frekuensi konsumsi pangan. Ukuran kelaparan kualitatif valid dan dapat digunakan untuk memprediksi kelaparan. Kelebihan dari penelitian ini adalah 1) Data yang terkumpul dapat menggambarkan kondisi kelaparan dan tidak kelaparan dalam keluarga. Kelemahan penelitian ini : 1) belum dapat mengidentifikasi tingkat keparahan kelaparan yang dialami oleh keluarga. 2) ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara. 3) tidak menimbang berat badan responden selama terjadi kekurangan pangan dalam keluarga.

Hasil penelitian Welch, Mock dan Netrebenko (1998) di Rusia, pengukuran kelaparan dengan menggunakan indikator sosial ekonomi. Hasil penelitian ini menemukan indikator kelaparan yaitu sosial ekonomi. Hasilnya dapat menentukan keluarga kedalam kelompok keluarga yang kelaparan dan tidak kelaparan. Kelebihan dari penelitian ini adalah 1) Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden; 2) Data yang terkumpul dapat menggambarkan kondisi kelaparan dan tidak kelaparan dalam keluarga. 3) biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara; 4) cepat sehingga dapat mencakup banyak responden. Kelemahannya belum dapat mengidentifikasi tingkat keparahan kelaparan yang dialami oleh keluarga.

Hasil penelitian Zerafati, Omidvar, Ghazi, Houshiar, Fallah, dan Mehrabi (2007) di Tehran Iran, pengukuran kelaparan dengan menggunakan indikator karakteristik sosial ekonomi dan frekuensi konsumsi pangan. Hasil penelitian ini menemukan indikator kelaparan yaitu persen pengeluaran pangan. Hasilnya dapat menentukan keluarga kedalam kelompok keluarga yang kelaparan dan tidak kelaparan. Kelebihan dari penelitian ini adalah 1) Data yang terkumpul dapat menggambarkan kondisi kelaparan dan tidak kelaparan dalam keluarga. 2) biaya

(15)

relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara; 4) cepat sehingga dapat mencakup banyak responden. Kelemahannya ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara.

Penelitian kelaparan juga dilakukan oleh Leyna, Mmbaga, Mnyika, dan Klepp (2005) di perdesaan Kilimanjaro, Tanzania. Disain penelitian cross sectional survei. Pengambilan sampel secara random. Sampel terdiri dari 530 responden. Respondennya adalah ibu usia 15-44 tahun yang mempunyai anak balita. Indikator pengukuran kelaparan yang digunakan adalah sosial demografi. Hasil penelitian menemukan indikator kelaparan sosial demografi. Indikator yang diperoleh dapat mengidentifikasi kelaparan pada tingkat dewasa dan anak-anak. Kelebihan dari penelitian ini adalah 1) pengumpulan data dilapang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Dengan demikian data tersebut dapat segera dianalisis untuk membuat strategi perbaikan ketahanan pangan berikutnya. 2) Data yang terkumpul dapat menggambarkan kondisi kelaparan dan tidak kelaparan dalam keluarga. Kelemahan penelitian ini tidak menimbang berat badan responden selama terjadi kekurangan pangan dalam keluarga.

Konsep Strategi Food Coping

Teori yang mendasari strategi food coping adalah teori perilaku. Dalam kehidupan sosial banyak tradisi yang menggambarkan kegotong royongan misalnya adanya lumbung paceklik, pinjam meminjam yang didasarkan rasa saling percaya serta para tetangga dan saudara bersama-sama memberikan bantuan, baik berupa tenaga maupun bahan makanan (Herutomo 1991 dalam Lukman 2002).

Budaya akan memberikan petunjuk kepada seseorang tentang perilaku yang bisa terima oleh suatu masyarakat. Budaya melengkapi orang dengan identitas dan pengertian akan perilaku yang diterima di dalam masyarakat. Beberapa sikap dan perilaku yang penting dipengaruhi oleh budaya adalah komunikasi, pakaian, makanan dan kebiasaan makan, waktu, hubungan, nilai dan norma, kepercayaan dan lain-lain (Sumarwan 2003).

(16)

Menurut Ancok (1987) dalam Lukman (2002) perilaku adalah niat yang sudah direalisasikan dalam bentuk tingkah laku yang tampak, sedangkan menurut Bruno (1980) dalam Lukman (2002) mendefinisikan perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh makhluk hidup berbentuk tindakan seperti berbicara, menulis, berlari, makan dan memegang. Serta menurut Yusuf (2002) pengertian perilaku adalah segenap manifestasi hayati individu dalam berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari perilaku yang paling nampak sampai yang tidak tampak, dari yang paling dirasakan sampai yang paling tidak dirasakan.

Ada beberapa faktor yang memotivasi terjadinya perilaku, antara lain : keadaan lingkungan, dorongan pribadi (keinginan, perasaan, emosi, naluri, kebutuhan, hasrat dan minat), dan tujuan yang ingin dicapai. Selain adanya motivasi yang mendorong terjadinya perilaku, ada dua faktor lain yang mendorong terjadinya perilaku yaitu : faktor internal yakni dari dalam individu yang bersangkutan, berdasarkan keturunan dan dorongan kebutuhan kecenderungan yang memotivasi. Yang kedua faktor eksternal yakni pengaruh lingkungan/ dari luar individu. Hal ini mempengaruhi individu sehingga timbul unsur-unsur dan dorongan (motivasi) untuk berbuat sesuatu.

Perilaku merupakan seperangkat perbuatan/tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada dasarnya terdiri dari komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor) atau tindakan. Dalam konteks ini maka setiap perbuatan seseorang dalam merespon sesuatu pastilah terkonseptualisasikan dari ketiga ranah ini. Perbuatan seseorang atau respon seseorang terhadap rangsang yang datang, didasari oleh seberapa jauh pengetahuannya terhadap rangsang tersebut, bagaimana perasaan dan penerimaannya berupa sikap terhadap obyek rangsang tersebut, dan seberapa besar keterampilannya dalam melaksanakan atau melakukan perbuatan yang diharapkan. Perubahan perilaku yang diinginkan atau diharapkan pada proses pendidikan, dapat terjadi melalui perubahan pengetahuan, sikap, keterampilan atau masing-masing berpengaruh langsung pada perubahan perilaku, walaupun kondisi yang terakhir ini dapat terjadi dengan tidak mudah (Sofa 2008).

(17)

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia ada dua yaitu : faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal terdiri dari faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis menekankan pada pengaruh struktur biologis terhadap perilaku manusia. Pengaruh biologis ini dapat berupa instink atau motif biologis. Perilaku yang dipengaruhi instink disebut juga species characteristic behavior misalnya agresivitas, merawat anak dan lain-lain. Sedangkan yang bisa dikelompokkan dalam motif biologis adalah kebutuhan makan, minum dan lain-lainnya. Faktor personal lainnya adalah faktor sosiopsikologis. Menurut pendekatan ini proses sosial seseorang akan membentuk beberapa karakter yang akhirnya mempengaruhi perilakunya. Karakter ini terdiri dari tiga komponen yaitu komponen afektif, kognitf dan komponen konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis. Dalam komponen ini tercakup motif sosiogenesis, sikap dan emosi. Komponen kognitif berkaitan dengan aspek intelektual yaitu apa yang diketahui manusia. Komponen kognitif terdiri dari faktor sosiopsikologis adalah kepercayaan, yaitu suatu keyakinan benar atau salah terhadap sesuatu atas dasar pengalaman intuisi atau sugesti otoritas. Komponen konatif berkaitan dengan aspek kebiasaan dan kemauan bertindak. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang relatif. Faktor-faktor Situsional. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor situasional. Menurut pendekatan ini, perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan/situasi. Faktor-faktor situasional ini berupa : faktor ekologis, misal kondisi alam atau iklim, faktor rancangan dan arsitektural misal penataan ruang, faktor temporal misal keadaan emosi, suasana perilaku misal cara berpakaian dan cara berbicara, teknologi, faktor sosial mencakup sistem peran, struktur sosial dan karakteristik sosial individu, lingkungan psikososial yaitu persepsi seseorang terhadap lingkungannya, stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku (Sofa 2008).

Berdasarkan hal-hal tersebut strategi coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain strategi coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari

(18)

masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.

Secara umum coping adalah sebuah strategi yang dapat membantu seseorang untuk mengurangi stres dan membantu menyelesaikan masalah. Perbedaan budaya mempengaruhi upaya coping seseorang. Perlu dimengerti bahwa strategi coping tidak dapat dinyatakan efektif atau tidak efektif tanpa mempertimbangkan keadaan individu. Strategi coping masing-masing individu sebaiknya dilihat dan diukur dengan konteks sosial, budaya dan situasional (Donnelly 2003).

Dalam mengatasi masalah yang dihadapi, keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi yang memadai, yang salah satunya adalah strategi food coping. Menurut Maxwell et al (1999) strategi food coping dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan seseorang dalam mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan termasuk pada saat menurunnya akses terhadap pangan. Dalam situasi seperti ini seseorang dapat berupaya dengan mengandalkan kemampuan intelektual, kemampuan fisik maupun material. Strategi food coping tersebut biasanya dilakukan untuk mendayagunakan alat tukar (exchange properties) sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam mendapatkan pangan untuk menjamin kelangsungan individu atau anggota keluarga (Maxwell et al. 1999; Anonymous 2003a; Davies 1993 dalam Usfar 2002). Strategi coping pangan yang biasa dilakukan adalah melalui pemanfaatan aset, atau simpanan yang dimiliki.

Tujuan strategi food coping adalah untuk mempertahankan berbagai tujuan keluarga yaitu pemenuhan konsumsi pangan, kesehatan, status dan mata pencaharian. Konsumsi pangan dan kesehatan merupakan tujuan yang lebih disegerakan daripada tujuan lainnya, karena kecukupan pangan sangatlah perlu untuk mendapatkan kesehatan dan pemenuhan zat gizi yang dibutuhkan oleh anggota keluarga.

Menurut Corbett (1998) dalam Anonymous (2003a), bentuk-bentuk strategi food coping yang berbeda didasarkan pada berbagai kondisi dan sering dikategorikan ke dalam empat tingkatan kemiskinan yang berbeda. Strategi yang dilakukan antara lain adalah pertama, adaptasi terhadap perubahan pola makan (misalnya jagung sebagai pengganti beras), pengurangan ukuran makan per hari

(19)

(pendistribusian), pencarian pangan yang dalam keadaan normal jarang dikonsumsi, pencarian pendapatan sebagai buruh, dan peminjaman uang/pangan dari sanak famili. Jika kekurangan pangan berlanjut atau bertambah buruk, keluarga akan melakukan mekanisme kedua, seperti menjual aset-aset yang tidak produktif (perhiasan dan hewan ternak), meminjam kepada selain keluarga, untuk sementara waktu pindah pekerjaan atau mengurangi makan sepanjang hari. Pada bentuk mekanisme ketiga, jika situasi buruk terus berlanjut maka akan menjual tanah, peralatan, binatang dan aset–aset produktif. Selanjutnya tingkatan keempat, berpindah secara permanen dan kemungkinan untuk mencari bantuan pangan.

Food Coping Strategies dalam Anonymous (2003a) dan Davies (1993) dalam Usfar (2002) menyebutkan bahwa frekuensi dan tingkat kerumitan strategi food coping keluarga dapat digunakan untuk menghadapi kondisi kerawanan pangan dalam jangka waktu pendek. Frekuensi dan bentuk-bentuk strategi food coping (yang berhubungan dengan indikator konsumsi, pengeluaran, pembagian makanan dan status gizi) merupakan metode yang digunakan untuk mengidentifikasi kerawanan pangan keluarga atau daerah (Anonymous 2003a). Untuk selanjutnya, strategi food coping menyediakan informasi tentang berbagai upaya yang dilakukan pada saat mempertahankan situasi ketahanan pangan. Informasi dapat berupa kritik/saran untuk penanganan program intervensi bantuan pangan serta berbagai indikator, pentargetan dan pengembangan ketahanan pangan yang lebih bersifat khusus untuk suatu tempat/wilayah (Davies 1993 dalam Usfar 2002; Anonymous 2003b, 2003c).

Bentuk strategi untuk mengatasi masalah pangan berbeda-beda antar keluarga yang satu dengan yang lain tergantung dari faktor demografi, sosial ekonomi dan masalah yang dihadapi keluarga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan, Sukandar, dan Briawan (2002), upaya yang dilakukan oleh keluarga pada agroekosistem lahan kering saat mengalami kesulitan untuk memperoleh kebutuhan pangan sehari-hari yang terutama adalah dengan berhutang, kedua menjual sebagian ternak, dan yang ketiga adalah anggota keluarga lainnya ikut membantu mencari pekerjaan. Sedangkan upaya yang dilakukan keluarga pada masa sulit di wilayah pasang surut dalam memperoleh pangan adalah dengan berhutang, cara kedua adalah kepala keluarga mencari

(20)

pekerjaan lain bahkan sampai keluar dari daerah tempat tinggal, anggota keluarga lain ikut terlibat membantu mencari pekerjaan, dan yang ketiga adalah menjual sebagian ternak dan aset keluarga seperti peralatan elektronik.

Usfar (2002) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk strategi food coping juga dilakukan pada saat terjadi kondisi yang tidak menguntungkan masyarakat, seperti yang dicontohkan selama kondisi kerawanan pangan di Benin dan Mali pada masa kekeringan di Namibia dan konflik perang saudara di Sudan dan Somalia. Selama masa kekeringan dan perang tersebut, tercatat bahwa wild food (jenis pangan yang pada kondisi normal jarang dikonsumsi) mempunyai peranan penting untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sementara migrasi juga merupakan alternatif coping yang dilakukan masyarakat di Benin dan Namibia untuk mengatasi kondisi ketidaktahanan pangan. Kegiatan lain yang juga diupayakan untuk menghasilkan pendapatan adalah penjualan aset dan perubahan konsumsi pangan seperti terjadi di Benin, Mali, Burkino Faso dan Nigeria.

Hasil penelitian Harefa (2001), dalam penelitiannya tentang konsumsi dan ketahanan pangan keluarga di pedesaan Jawa Barat menyimpulkan bahwa cara keluarga mengatasi kekurangan pangan dalam keluarga dengan kategori cukup tahan pangan adalah mendapatkan bantuan dari keluarga atau tetangga. Sementara pada keluarga rawan pangan adalah dengan membeli secara kredit (utang) dan mengurangi frekuensi makan.

Strategi food coping yang dilakukan oleh keluarga di Purworejo, Jawa Barat berdasarkan hasil penelitian Usfar (2002) ada 3 taraf yang dilakukan yaitu : Pada taraf 1, keluarga yang mempunyai anggota keluarga dalam usia produktif, maka akan ikut berpartisipasi bekerja untuk mencari tambahan pendapatan sehingga dapat membeli makanan. Kepala keluarga atau ibu yang masih kuat akan bekerja lebih keras lagi agar pendapatannya bertambah. Upaya yang sering dilakukan oleh keluarga dalam meningkatkan pendapatan adalah dengan mencari pekerjaan sampingan. Perubahan konsumsi, yaitu dengan cara membeli makanan yang lebih murah harganya, mengurangi jenis pangan yang dikonsumsi (misalnya dari 3 menjadi 2 jenis), mengubah prioritas pembelian pangan, membeli makanan yang nilainya lebih rendah (tadinya nasi, menjadi singkong), alasan utama keluarga melakukan food coping ini adalah untuk berhemat agar pendapatannya

(21)

dapat dimanfaatkan sampai mendapat penghasilan berikutnya. Disamping itu, mengurangi porsi makan dan mengumpulkan makanan liar (daun-daunan yang bisa diambil dari pinggiran sawah/kebun) merupakan upaya yang dilakukan apabila kesulitan keuangan berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama.

Upaya selanjutnya yang dilakukan keluarga adalah penyegeraan akses terhadap pangan yaitu menerima bantuan pangan dari pemerintah, menerima makanan dari saudara dan menerima kupon untuk raskin. Berbagai upaya yang dilakukan belum juga dapat memenuhi kebutuhan pangan sehingga upaya yang akan dilakukan oleh keluarga dalam menghadapi kesulitan ekonomi melakukan taraf 2.

Pada taraf 2, penyegeraan akses terhadap pembelian tunai seperti menggadaikan aset untuk membeli kebutuhan pangan, menjual aset produktif (hewan peliharaan, sepeda, tanah), dimana hal tersebut sangat tepat dilakukan untuk pemenuhan konsumsi pangan keluarga. Meminjam uang dari saudara dekat, meminjam uang dari saudara jauh dan membeli pangan dengan berhutang merupakan upaya yang lebih baik dilakukan oleh keluarga daripada meminta-minta. Disamping itu, berhutang ke warung merupakan langkah yang lebih praktis dan mudah yang akan dibayar pada saat mendapat upah mingguan atau bulanan. Upaya selanjutnya yaitu perubahan distribusi makan (prioritas ibu untuk anak-anak), mengurangi frekuensi makan per hari, menjalani hari-hari tanpa makan (puasa). Namun jika pada taraf ini belum berhasil maka selanjutnya keluarga akan melakukan taraf 3. Pada taraf 3, yaitu langkah drastis : melakukan migrasi, memberikan anak pada saudara, keluarga berpisah atau bercerai, merupakan taraf terakhir yang dilakukan oleh keluarga pada saat terjadi kekurangan pangan.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan Mashitah (2002), pada keluarga pedesaan di Bogor yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai buruh. Pada kondisi kesulitan ekonomi responden akan menempuh beberapa cara untuk memperoleh pendapatan diantaranya dengan mencari pinjaman kepada keluarga/orang tua, berhutang ke warung, mencari pekerjaan tambahan, dan menggadaikan/menjual aset yang dimiliki (ternak, perhiasan, dan perabotan keluarga). Hasil penelitian Mardiharini (2002), Strategi food coping yang dilakukan oleh keluarga di Bogor agar dapat mempertahankan atau meningkatkan

(22)

kesejahteraannya selama krisis ekonomi berlangsung yaitu : menambah penghasilan, menjual aset dan meminjam/berhutang.

Menurut hasil penelitian Jayaputra (2001), dalam melakukan upaya food coping mechanism rumahtangga miskin di Nusa Tenggara Barat yaitu merubah kebiasaan makan, mencari pekerjaan tambahan, meminjam dalam bentuk uang dan pangan dan menjual aset yang dimiliki.

Hasil penelitian Prasetyo (2004) Strategi food coping yang dilakukan untuk menanggulangi perubahan kebutuhan yang dihadapi keluarga nelayan di kota Pekalongan Jawa Timur terdiri dari 2 strategi yaitu strategi berhemat dengan cara mengurangi pengeluaran keluarga dan strategi penambahan pendapatan keluarga.

Hasil penelitian Maxwell at al (1999) strategi food coping yang dilakukan oleh keluarga yang kekurangan pangan adalah mencari pekerjaan tambahan, mengubah prioritas pembelian makanan, membeli makanan dengan hutang, perubahan disteribusi makan, mengurangi frekuensi makan/porsi perhari dan melewati hari-hari tanpa makan. Hasil penelitian Tanziha (2006), upaya food coping yang dilakukan rumahtangga miskin di perkotaan dan perdesaan Bogor yaitu membeli makanan yang murah, mengutang di warung dan mengurangi porsi atau frekuensi makan perhari.

Hasil penelitian Hoddinott (1999), strategi food coping yang dilakukan oleh keluarga di USA pada saat kekurangan pangan yaitu mengurangi porsi makan, mengurangi frekuensi makan, tidak makan seharian dan mengurangi makan anak-anak.

Kaitan Karakteristik Keluarga dengan Strategi Food Coping

Keputusan keluarga dalam memilih upaya yang akan ditempuh dalam menghadapi kekurangan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi food coping keluarga dalam menghadapi kekurangan pangan dilihat dari karakteristik sosial ekonomi yaitu jumlah anggota keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga, aset keluarga, pengeluaran keluarga dan dukungan sosial.

Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga yang terlalu besar seringkali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Sanjur (1982) menyatakan bahwa

(23)

besarnya atau banyaknya jumlah anggota keluarga mempengaruhi besarnya belanja keluarga. Kondisi ini menjadi pertimbangan keluarga dalam melakukan strategi coping. Menurut Sumarwan (2003) pendapatan per kapita atau belanja pangan keluarga akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga, maka konsumsi pangan hewani akan berkurang dan makanan pokok diganti dengan yang lebih murah, atau dapat pula berkurang, sehingga asupan energi dan protein tiap anggota keluarga akan berkurang pula (Hartog dan Steveren 1985).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chaudhury (1984) di Bangladesh, menunjukkan bahwa pertambahan jumlah keluarga akan memberikan dampak merugikan terhadap status gizi, sebab akan berhubungan dengan menurunnya alokasi makanan seiring dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga. Suhardjo (1989) juga mengemukakan bahwa meningkatnya jumlah anggota keluarga tanpa diimbangi dengan strategi coping untuk meningkatkan pendapatan, maka pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit, sehingga konsumsi pangan keluarga tersebut tidak cukup untuk mencegah kejadian kurang gizi.

Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis dan lamanya pendidikan formal atau non formal yang dikuti. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan untuk pengembangan diri. Pendidikan sangat berperan penting dalam melakukan strategi food coping yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang. Umumnya tingkat pendidikan akan mempengaruhi sikap dan perilaku. Menurut Sanjur (1982), ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan formal yang diterima seseorang maka semakin tinggi pula status ekonominya. Tingkat pendidikan yang tinggi juga berhubungan dengan pendapatan, sehingga keluarga dengan ibu berpendidikan tinggi biasanya mempunyai lebih banyak uang yang dapat digunakan untuk pembelian pangan. Dalam hal ini peningkatan pendapatan dapat mengatasi masalah bila terjadi kekukarangan dalam keluarga.

(24)

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga

Suhardjo (1989) menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Jenis pekerjaan individu akan berpengaruh terhadap besar pendapatan yang diterimanya. Kemampuan individu untuk melakukan strategi food coping dipengaruhi oleh pekerjaan dan pendapatan yang dimilikinya. Pekerjaan dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku dari masing-masing anggota keluarga yang bekerja. Perbedaan jenis pekejaan, tempat bekerja serta jam kerja dapat mempengaruhi perilaku dari anggota keluarga (Martianto dan Ariani 2004).

Pendapatan merupakan salah satu faktor ekonomi yang mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan membeli beragam pangan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas. Biasanya keluarga yang memiliki pendapatan rendah, alokasi pengeluaran untuk pangannya lebih besar daripada non pangan. Sebaliknya, pendapatan yang tinggi akan menurunkan alokasi pengeluaran untuk pangan dan meningkatkan pengeluaran non pangan (Suhardjo 1989).

Aset Keluarga

Keluarga yang memiliki aset ekonomi akan mudah dalam melakukan coping untuk penyelesaian masalah yang sedang dihadapi. Namun demikian tidak berimplikasi terhadap bagaimana keluarga tersebut dapat menggunakannya. Aset keluarga merupakan salah satu alat tukar yang dapat dipakai untuk mengakses pangan pada saat sebuah keluarga mengalami masa kekurangan pangan. Aset dapat berupa rumah, tanah, perhiasan, alat elektronik, alat dapur, kendaraan maupun ternak. Aset-aset tersebut ada yang dapat dengan mudah diuangkan (liquid assets) dan aset yang memegang peranan untuk mendapatkan penghasilan (productive assets). Liquid assets dapat berupa perhiasan emas, jam tangan, alat-alat elektronik, alat-alat-alat-alat keluarga, maupun hewan ternak sedangkan productive assets dapat berupa tanah, rumah, alat transportasi, maupun alat pertanian seperti cangkul dan traktor (Maxwell dan Frankenberger 1992).

(25)

Pengeluaran Keluarga

Pada hakekatnya kebutuhan dasar manusia dapat dibagi dalam dua golongan besar. Pertama kebutuhan primer yang terdiri dari gizi, perumahan, pelayanan, pengobatan, pendidikan dan sandang. Kebutuhan primer ini sebagai perangkat kebutuhan dasar yang sangat diperlukan sekali agar dapat hidup secara layak. Kedua, kebutuhan sekunder terdiri dari waktu luang, ketenangan hidup dan lingkungan hidup. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut didalam suatu keluarga dilakukan dengan menggunakan sumberdaya keluarga yang ada (Guhardja 1992).

Pola pengeluaran rumahtangga dapat mencerminkan tingkat kehidupan suatu masyarakat. Indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk adalah komposisi pengeluaran untuk makanan dan non makanan. Kesejahteraan dikatakan makin baik apabila persentase pengeluaran untuk makanan semakin kecil dibandingkan dengan total pengeluaran. Dinegara-negara maju, persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran biasanya dibawah 50 persen. Sementara dinegara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pengeluaran untuk pangan masih merupakan bagian terbesar (lebih besar dari 50%). Bagi Indonesia nampaknya masih berada diatas angka tersebut. Menurut Soekirman (1991) umumnya keluarga berpendapatan rendah di Indonesia membelanjakan sekitar 60-80 persen dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan 61.52 persen dari pengeluaran total rumahtangga adalah pengeluaran pangan untuk seluruh penduduk di Indonesia. Umumnya keluarga miskin, sebagian besar pendapatannya dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan perumahan.

Menurut Myers (1991), pengeluaran rumahtangga meliputi pengeluaran untuk pangan, perumahan, transportasi, pendidikan, alat-alat rumahtangga, asuransi, pemeliharaan kesehatan dan dana pensiun. Sementara menurut BPS (2006) menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi rumahtangga dibagi menjadi 2 kelompok pengeluaran yaitu : (1) pengeluaran untuk makanan dan (2) pengeluaran non makanan. Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan non makanan yang dimaksud adalah pengeluaran untuk kebutuhan rumahtangga/anggota rumahtangga saja.

(26)

Pengeluaran makanan adalah nilai pengeluaran untuk konsumsi selama seminggu yang lalu baik berasal dari pembelian, produksi sendiri atau pemberian. Sementara pengeluaran untuk barang bukan makanan adalah barang yang dikonsumsi rumahtangga/anggota rumahtangga selama 12 bulan yang lalu dan sebulan yang lalu, baik berasal dari pembelian, produksi sendiri atau pemberian/pembagian. Mangkuprawira (2002) membagi jenis pengeluaran rumahtangga menjadi dua kelompok besar, yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Secara naruliah setiap individu keluarga lebih dahulu memanfaatkan setiap pengeluarannya untuk pangan, baru kemudian untuk non pangan. Namun demikian, perilaku ini tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, lokasi tempat tinggal dan musim.

Dukungan Sosial

Manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingan terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni keluarga, saudara atau masyarakat dimana orang itu berada. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya. Gottlieb (1985) dalam Tati (2004) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan tindakan alamiah sebagai sumberdaya lingkungan yang secara erat berkaitan dengan interaksi sosial.

Didalam ensiklopedi sosiologi, dukungan sosial diartikan sebagai pemberian dukungan emosional dan informasi atau dukungan materi oleh orang lain atau lingkungan sosial kepada seseorang individu yang mengalami beberapa kesulitan atau masalah. Sarafino (1996) mengartikan dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga mencakup adanya

(27)

interaksi diantara anggota dan saling membantu, sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin seseorang.

Pengukuran Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah salah satu cara untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dan secara langsung dapat mempengaruhi status gizi. Pengukuran konsumsi makanan sangat penting untuk mengetahui kenyataan apa yang dimakan oleh masyarakat dan hal ini dapat berguna untuk mengukur status gizi dan menemukan faktor diet yang dapat menyebabkan malnutrisi. Hasil pengukuran konsumsi makanan juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat kecukupan konsumsi gizi masyarakat, sebagai dasar perencanaan program gizi, pendidikan gizi, dan sebagainya (Supriasa, Bakri dan Fajar 2002).

Menurut Hardinsyah dan Martianto (1989) konsumsi pangan pada tingkat individu atau keluarga dapat diterjemahkan kedalam bentuk energi, protein, lemak, vitamin dan mineral perorang per hari. Rasio energi dan gizi lainnya terhadap kecukupan yang dianjurkan menggambarkan tingkat konsumsi individu atau keluarga agar dapat hidup sehat sekaligus mempertahankan kesehatan. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan yang harus mencukupi kebutuhan untuk melakukan kegiatan, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan serta aktivitas sehari-hari.

Kebutuhan energi dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat, protein dan lemak. Mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan, sebab kekurangan zat gizi tertentu pada satu jenis makanan akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari makanan yang lain. Dengan mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan seseorang.

Konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Harper et al. (1998) terdapat 4 faktor utama yang mempengaruhi konsumsi seseorang atau sekelompok orang, yaitu: produksi pangan untuk keperluan keluarga, pengeluaran uang untuk pangan keluarga, pengetahuan gizi dan tersedianya pangan.

(28)

Penilaian konsumsi dapat dilakukan pada tingkat individu, keluarga maupun masyarakat. Beberapa metode yang dapat digunakan pada survei konsumsi pangan di tingkat keluarga antara lain : metode inventaris (inventory method), metode pendaftaran (food list-recall method), metode frekuensi pangan (food frequency method), food account method dan food record method. Terdapat dua kelompok metode yang dapat digunakan untuk mengukur konsumsi pangan, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Penilaian secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi, sedangkan penilaian secara kualitatif dimaksudkan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut janis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperoleh pangan (Supariasa, Bakri & Fajar 2002).

Pemilihan metode yang akan digunakan dalam suatu penelitian ditentukan oleh pertimbangan dari tujuan penelitian, jumlah responden yang akan diteliti, ketersediaan dana dan tenaga, tingkat pendidikan responden dan pertimbangan logistik pengumpulan data serta presisi dan akurasi dari metode terpilih (Supriasa, Bakri & Fajar 2002). Dalam melakukan penilaian konsumsi pangan atau survei diet, sering terjadi kesalahan atau bias terhadap hasil yang diperoleh. Kecenderungan kesalahan adalah pada perhitungan komposisi zat gizi dengan menggunakan tabel komposisi pangan atau pedoman gizi (Gibson 1993).

Penggunaan metode frekuensi pangan (food frequency) dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode frekuensi pangan dapat juga digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara semi kuantitatif dengan memasukkan ukuran porsi makanan. Hal ini tergantung dari tujuan studi, apakah hanya ingin menggali frekuensi penggunaan pangan saja atau juga sekaligus dengan konsumsi zat gizinya. Dengan metode ini, kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (misalnya : sumber lemak, sumber protein, sumber vitamin A) selama kurun waktu yang spesifik (misalnya : per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus memperkirakan konsumsi zat gizinya. Kuesioner mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Gibson 1993).

Gambar

Tabel 1 Beberapa ukuran kelaparan dan kesesuaian penggunaannya.

Referensi

Dokumen terkait

menyediakan dan menyalurkan dana padanan untuk pembiayaan KUKM-CPPU minimal 20% (dua puluh perseratus) dari kebutuhan dana. melakukan monitoring dan pendampingan kepada

10.filter yang dipakai pada tabung sinar X pada pesawat diagnostik berguna untuk, kecuali :.. a.Mcsinar bergelombang

ISOLASI SENYAWA MARKER DAN UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK KULIT BATANG TUMBUHAN MANGROVE TANCANG (Bruguiera gymnhorriza) dan API-API PUTIH (Avicennia marina) TERHADAP SEL T47D DAN

Penulis berpendapat Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja atau buruh yang diabaikan oleh pihak pengusaha ini merupakan salah satu pelanggaran

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bank Devisa yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan kurun waktu pengamatan antara tahun 2008 sampai

Media cetak memiliki peran yang sama dengan media yang lainnya dimana biaya periklanan pada tahun 2009 sebesar Rp 14.984.339, pada tahun 2010 biaya periklanan media cetak sebesar

Berdasarkan hasil interview yang di dapat dari karyawan bagian produksi, menyatakan bahwa karyawan harus menyelesaikan rokok 3500 batang per hari dan jika menyelesaikan

Adapun merujuk pada permasalahan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Strategi komunikasi pemasaran yang digunakan oleh