• Tidak ada hasil yang ditemukan

POPULASI KUSKUS YANG SEMAKIN PUNAH DI INDONESIA TIMUR. Oleh: : Praditya Teguh Priambodo : B1J TUGAS TERSTRUKTUR EKOLOGI HEWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POPULASI KUSKUS YANG SEMAKIN PUNAH DI INDONESIA TIMUR. Oleh: : Praditya Teguh Priambodo : B1J TUGAS TERSTRUKTUR EKOLOGI HEWAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

POPULASI KUSKUS YANG SEMAKIN PUNAH DI INDONESIA TIMUR

Oleh:

Nama : Praditya Teguh Priambodo NIM : B1J013061

TUGAS TERSTRUKTUR EKOLOGI HEWAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO

(2)

I. PENDAHULUAN

Kuskus dari famili Phalangeridae merupakan marsupial Australian yang penyebarannya cukup luas dimulai dari bagian Timur Indonesia, Australia, Papua New Guinea sampai beberapa kepulauan di bagian Timur Papua New Guinea (Petocz, 1994). Satwa ini secara adat tergolong dilidungi oleh masyarakat karena memiliki fungsi tertentu (Liswanti, 2006). Jumlah jenis kuskus di New Guinea (Irian Jaya di Indonesia dan Papua New Guinea) dan pulau-pulau sekitarnya sebanyak 11 jenis yang terdiri dari dua marga (genus) yaitu marga Spilocuscus (kuskus bertotol) dan marga Phalanger (kuskus tidak bertotol). Kuskus juga merupakan marsupialia nokturnal (hewan berkantong yang aktif pada malam hari). Hewan ini biasanya hidup di daerah hutan primer maupun sekunder (Sinery, 2006).

Perburuan hewan-hewan liar dari alam selalu saja dilakukan oleh manusia karena mereka tidak mempertimbangkan pentingnya aspek dan tidak dapat memisahkan dengan lingkungan sosial. Menurut Dahruddin et al. (2005) dalam Pattiselanno (2008) di Biak, tumbuhan yang digunakan atau dimanfaatkan oleh kuskus untuk beraktivitas, mayoritas berupa pohon kanopi dan beberapa diantaranya pohon biasa yang tidak memiliki kanopi. Penggundulan hutan dan perburuan illegal sangat berdampak besar pada populasi kuskus khususnya di wilayah Papua. Hutan yang merupakan rumah atau sarang dari kuskus ditebang secara illegal dan tidak teratur semakin memperparah keadaan.

Kuskus coklat biasa/kuskus timor (P. orientalis) dikenal oleh penduduk lokal dalam bahasa Meyah dengan sebutan mesim (betina) dan mosup (jantan). Kuskus bertotol biasa (S. maculatus) dikenal dengan sebutan mesvir yang meliputi mesvir oja (Betina) dan mesvir ona (Jantan). Kuskus coklat biasa (P. orientalis) merupakan jenis kuskus berukuran sedang dengan warna rambut dan ukuran tubuh jenis ini menjadi karakter morfologi pembeda spesies ini. Panjang dan berat tubuh jantan masing-masing berkisar antara 397 sampai 480 mm dan 2.300 sampai 2.500 gr, sedangkan panjang dan berat tubuh betina berkisar antara 374 sampai 400 mm dan 2.000-2.200 g. Dibandingkan dengan hasil karakterisasi Flannery (1994) terhadap 4 jantan dewasa P. orientalis asal daratan New Guinea, Dimomonmau (2000) asal pulau Moor, Warmetan (2004) asal pulau Yapen dan Jendewoa (2005) asal pulau Biak tampak bahwa rerata ukuran tubuh P. orientalis dari yang terbesar berturut-turut yaitu P. orientalis asal Taman Wisata Gunung Meja, selanjutnya dari daratan New Guinea, pulau Moor, pulau Biak dan pulau Yapen. Berat tubuh berturut-turut dari daratan New Guinea selanjutnya Taman Wisata Gunung

(3)

Meja, pulau Yapen, pulau Moor, dan pulau Biak. Sedangkan rerata ukuran tubuh betina P. orientalis yang terbesar berturut-turut P. orientalis dari daratan New Guinea, selanjutnya dari Taman Wisata Gunung Meja, pulau Yapen, dan asal pulau Biak dengan berat tubuh berturut-turut P. orientalis dari pulau Yapen, selanjutnya daratan New Guinea, Taman Wisata Gunung Meja, dan pulau Biak. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan ukuran organ dan berat tubuh jantan dan betina P. orientalis pada masing-masing wilayah sebagai akibat variasi geografi, habitat, ketersediaan pakan dan proses evolusi yang dipengaruhi faktor genetik dalam waktu yang panjang serta perubahan lingkungan. P.orientalis jantan dan betina memiliki rambut yang sama dan didominasi warna coklat dari kepala (anterior) ke arah belakang (posterior) sampai ujung ekor berambut dan ke arah samping menuju ventral. Ventral berwarna coklat terang (putih kotor) dari bawah kepala sampai pangkal ekor dan berwarna agak coklat disertai strip tengah dorsal berwarna coklat kehitaman dari pangkal. Kantung bayi pada ventral betina berwarna coklat muda (Sinery, 2006).

(4)

II. METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan di Nabire dalam mendata sifat kualitatif dan kuantitatif kuskus di Pulau Moor Kabupaten Nabire, Papua, dibagi dalam dua tahap yaitu tahap I adalah penelitian lapangan dengan kegiatan koleksi kuskus yang terdapat di pulau Moor, dimulai dari 30 November sampai dengan 9 Desember 2002.. Tahap II adalah penelitian lanjutan di laboratorium yang meliputi pengamatan sifat-sifat fisiologis pencernaan dan organ reproduksi. Tahap kedua ini dilaksanakan di Laboratorium Anatomi dan Fisiologi Reproduksi Ternak mulai minggu II hingga minggu III Desember 2002.

Penelitian tahap I merupakan pengamatan lapang yang dilakukan dengan cara mengkoleksi kuskus dari habitatnya dengan bantuan penduduk lokal. Untuk kepentingan pengamatan (identifikasi) jenis makanan yang dikonsumsi maka dilakukan pembedahan pascamati pada system pencernaan. Kuskus yang diperoleh kemudian diamati karakter kualitatifnya dengan cara mengamati warna tubuh kuskus pada bagian ventral dan dorsal, warna telinga bagian dalam dan luar; pengamatan karakter kuantitatif dilakukan dengan cara menimbang untuk bobot badan dan bobot karkas, mengukur panjang badan, ekor dan karakter lain yang dianggap penting pada kuskus. Dari kegiatan ini diperoleh 13 ekor kuskus dari 2 (dua) spesies yaitu 7 ekor spesies Phalanger orientalis dan 6 ekor spesies Spilocuscus maculatus. Dari sejumlah tersebut 5 ekor yang terdiri dari 3 ekor (2 jantan dan 1 betina) Phalanger orientalis dan 2 ekor (jantan dan betina) Spilocuscus maculatus telah dilakukan pembedahan pascamati di lapang untuk pengamatan sifat kualitatif dan kuantitatif

Penelitian Tahap II merupakan pengamatan di laboratorium sebagai bentuk tindak lanjut setelah penelitian lapangan. Kegiatan yang dilkaukan kali ini meliputi; lanjutan pengamatan sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif kuskus (anatomi), seperti yang sudah dilakukan di lapang. Setelah itu, Pengamatan organ-organ visceral (fisiologis). Pengamatan organ-organ visceral dilakukan dengan cara melakukan pembedahan kuskus jantan dan betina. Mula-mula kuskus dibius dengan ethil ether yang telah dibasahi pada kapas, lalu ditutup pada hidung sampai kuskus pingsan setelah itu disembelih pada bagian vena jugularis. Setelah itu kuskus diangkat dan diletakkan di atas bak pembedahan. Pembedahan dilakukan pada bagian medio ventral yaitu mulai dari bagian anus sampai ke rongga mulut. Setelah itu dilakukan pengamatan terhadap anatomi dan fisiologi organ-organ tubuh bagian visceral. Pengamatan selanjutnya dilakukan dengan cara melepaskan bagian-bagian organ tubuh sesuai kelompoknya masing-masing seperti:

(5)

organ-organ yang tergolong dalam sistem pencernaan, dan sistem reproduksi. Selanjutnya dilakukan pengukuran berat, panjang atau volume dari masingmasing organ tersebut.

Metode penelitian yang digunakan oleh Sinery (2006) dalam mendata jenis kuskus yang ada di Taman Wisata Gunung Meja Kabupaten Manokwari, terdiri atas beberapa tahapan kegiatan, yaitu: survei pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui keadaan lokasi penelitian. Penentuan stasiun pengamatan secara proposif berdasarkan kepadatan populasi, dengan batas plot pengamatan berdasarkan batas taman wisata sehingga dibuat 4 stasiun pengamatan masing-masing pada arah timur, barat, utara dan selatan. Pengambilan obyek; dilakukan dengan bantuan masyarakat pada siang hari dan malam hari, dan dilakukan di kawasan hutan juga di luar kawasan hutan (masyarakat).

Pengukuran ukuran tubuh menggunakan mistar (meteran) dinyatakan dalam millimeter (mm), berat tubuh menggunakan timbangan dinyatakan dalam gram (g), suhu dan kelembaban udara menggunakan termohigrometer (pukul 19.00, 24.00 dan

05.00 WIT) sedangkan gambar obyek diambil menggunakan kamera. Hasil deskripsi morfologi kuskus dicatat pada tally sheet, selanjutnya dilakukan identifikasi jenis berdasarkan kunci identifikasi kuskus New Guinea dan kunci identifikasi kuskus Irian Jaya. Deskripsi habitat ditemukannya obyek, meliputi ketinggian tempat, jenis pakan, suhu dan kelembaban lingkungan. Pemanfatan kuskus oleh masyarakat di sekitar kawasan, meliputi dikonsumsi, dijual, dibuat karya kerajinan dan dipelihara. Variabel yang diamati terdiri dari variabel utama yaitu karakter morfologi kuskus dan variabel pendukung yaitu jenis pakan kuskus, habitat kuskus, waktu aktif kuskus dan etnozoologi kuskus (pemanfaatan kuskus oleh penduduk lokal). Data yang dikumpulkan terdiri atas: deskripsi karakter morfologi kuskus, jenis pakan (pengamatan dan wawancara), habitat kuskus, waktu aktif kuskus, pemanfaatan kuskus oleh penduduk lokal (konsumsi, jual (hidup/mati), karya kerajinan dan pelihara. Data hasil penelitian ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

Sedangkan Pattiselanno (2006), melakukan penelitiannya dalam dua tahap. Tahap pertama: berupa wawancara pada masyarakat yang berprofesi sebagai pemburu, sedangkan tahap kedua berupa peninjauan langsung ke lokasi perburuan sekaligus menghimpun data kuantitatif dan kualitatif kuskus hasil buruan. Melode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melode deskriptif dengan teknik studi kasus. Kasus yang

(6)

dipelajari adalah perburuan kuskus oleh masyarakat di pesisir Napan Yaur, L au Ratewi, Nabire.

Responden ditentukan secara sengaja dengan menentukan 50% dari total 55 kepala keIuarga (KK) yang tinggal di desa Arui atau sebanyak 28 mKK. Selanjutnya dari 28 KK tersebut dilakukan (1) identifikasi jumlah KK yang melakukan perburuan dan memanfaatkan kuskus; diperoleh 20 KK, (2) identifikasi KK yang tidak melakukan perburuan tetapi memanfaatkan kuskus; diperoleh 5 KK, (3) identifikasi KK yang tidak melakukan perburuan dan juga tidak memanfaatkan kuskus; diperoleh 2 KK.

Penelitian tahap pertama dilakukan dengan mewawancarai 20 orang responden yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada tahap ini dilakukan wawancara secara terstruktur, berdasarkan kuisioner yang telah disiapkan. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat klarifikasi terhadap data sekunder dilakukan dengan mewawancarai sejumlah informan kunci (tokoh adat, kelompok pemburu, lokoh masyarakat). Pada penelitian tahap kedua dilakukan survei langsung ke lokasi perburuan untuk uji silang terhadap hasil wawancara sebagai klarifikasi terhadap lokasi, alai buru, melode berburu dan habitat kuskus. Kuskus hasil buruan yang diperoleh pemburu responden kemudian diamati karakter kualitatifnya dengan cara mengamati warna tubuh kuskus pada bagian ventral dan dorsal, warna lelinga bagian dalam dan luar. Dan analisis data yang dilakukan dijelaskan secara deskriptif.

(7)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penangkaran satwa tidak semudah pembudidayaan hewan ternak, karena berbagai perubahan akan dialami satwa tersebut selama dalam penangkaran, meskipun kondisi penangkaran dibuat seperti habitat asli. Hal ini menyebabkan tingkat keberhasilan usaha penangkaran ini tidak optimal bahkan cenderung gagal. Kondisi ini terjadi karena tidak optimalnya pengawasan dan kurangnya informasi mengenai berbagai aspek tentang satwa, salah satunya aspek biologis. Aspek biologis yang dimaksud adalah sifat kualitatif dan kuantitatif, tingkah laku makan dan kawin serta anatomi dan fisiologi satwa (Supriyantono et al., 2006).

Sifat kualitatif menentukan klasifikasi individu ke dalam suatu kelompok tertentu, sedangkan sifat kuantitatif banyak dipengaruhi oleh lingkungan, selain genetik (Suryo, 1989). Anatomi dan fisiologi, khususnya sistem pencernaan dan reproduksi, sangat menentukan karakteristik pakan dan tingkah laku makan serta tingkah laku kawin. Selanjutnya, sifat-sifat tersebut akan mendukung produktivitas hewan. Untuk menunjang upaya mempertahankan dan melestarikan kuskus baik pada habitat asli maupun penangkaran, perlu dilakukan studi sifat kualitatif dan kuantitatif, tingkah laku serta anatomi dan fisiologi kuskus seperti yang dilakukan di Pulau Moor Kabupaten Nabire, Papua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat kualitatif dan kuantitatif, tingkah laku serta anatomi kuskus. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa informasi mengenai aspek biologi kuskus sehingga dapat menunjang usaha pelestarian satwa kuskus, khususnya di Pulau Moor Kabupaten Nabire. Semua hasil pengamatan pada penelitian ini dianalisis secara statistik deskriptif (Supriyantono et al., 2006).

(8)

Berikut, merupakan hasil penemuan jenis-jenis satwa liar yang terdapat di Pulau Moor Kabupaten Nabire :

No. Jenis Fauna Jumlah

1 Megapodius freycinet (maleo kecil) Sedikit 2 Larus novaehollandiae (burung dara laut) Sedikit 3 Egretta garzetta (bangau putih) Sedikit

4 Sus scrofa (babi hutan) Banyak

5 Phalanger permextio (kuskus hutanperbukitan) Banyak 6 Phalanger orientalis (kuskus kelabu) Banyak 7 Spilocuscus maculatus (kuskus bertotol) Banyak

8 Acrobates pygmeus (peluncur) Sedikit

9 Petaurus breviceps (tupai/bajing) Sedikit 10 Lasis papuanus (ular phyton Papua) Sedikit 11 Candioa aspera (ular boa tanah) Sedikit

12 Pteropus electo (kelelawar) Sedang

Hasil identifikasi dan wawancara dengan masyarakat disekitar kawasan Taman Wisata Gunung Meja, Manokwari menunjukkan bahwa terdapat 26 (dua puluh enam) jenis vegetasi sebagai pakan kuskus yang meliputi jenis vegetasi hutan dan tanaman pertanian serta perkebunan. Mandowen (2004) mengemukakan bahwa di Taman Wisata Gunung Meja, Manokwari terdapat lebih dari 20 jenis tumbuhan sebagai pakan kuskus yang sebagian besar dari ordo Moraceae. Tingginya potensi jenis vegetasi yang terdapat pada kawasan ini memberi peluang dalam produksi bahan pakan kuskus. Perbandingan jenis pakan yang dikonsumsi kedua jenis kuskus ini menunjukkan bahwa keduanya mengkonsumsi jenis-jenis tumbuhan yang sama namun berdasarkan daerah jelajah, P. orientalis sering dijumpai selain di hutan juga di areal perkebunan atau pertanian, karena adanya sifat soliter terhadap populasi besar. Jenis pakan yang dikonsumsi meliputi

(9)

vegetasi hutan, tanaman pertanian atau perkebunan. Bagian yang dikonsumsi kuskus adalah buah (matang), daun muda (pucuk/tunas) dan bunga ((Sinery, 2006).

Habitat P. orientalis dan S. maculatus memiliki lokasi penyebaran yang hampir sama yaitu dari arah timur ke barat dan dari arah utara ke selatan yang terpusat ke arah tengah dan dibatasi jaringan jalan di tengah kawasan dan pemukiman penduduk di desa Ayambori. Kuskus hidup pada jenis vegetasi hutan yang bertajuk lebat seperti Pometia sp., Myristica sp., Ficus sp., Intsia sp., dan jenis liana yang umumnya ditemui pada hutan primer maupun pada hutan sekunder. Lokasi sebaran kuskus di Taman Wisata Gunung Meja disajikan pada Gambar 1. Kuskus merupakan satwa liar yang kurang bergantung pada air, satwa ini tidak memerlukan sumber-sumber air untuk mandi, minum maupun berkembangbiak. Air untuk kuskus diperlukan untuk keseimbangan metabolisme tubuh yang umumnya diperoleh dari hasil metabolisme berbagai jenis pakan yang dikonsumsi (Sinery, 2006).

Kuskus merupakan mamalia nokturnal yang beraktivitas (mencari makan, kawin dan bermain) di malam hari. Secara umum waktu aktif kuskus di Taman Wisata Gunung Meja, Manokwari yaitu waktu kuskus mulai beraktivitas sampai kembali beristirahat/bersembunyi yaitu mulai pukul 20.00 WIT sampai 05.00 WIT. Kuskus cenderung dijumpai pada kondisi setelah turun hujan dan saat terang bulan dengan temperatur udara rata-rata 23 sampai 30ºC dan rata-rata kelembaban udara 85 sampai 88 %. Penduduk biasanya melakukan perburuan kuskus pada kondisi demikian karena saat setelah turun hujan kuskus mulai mencari makan dengan memanfaatkan bagian vegetasi yang baru bertumbuh/tunas dan melakukan aktivitas lainnya dan saat. Selain itu saat terang bulan kuskus memanfaatkan cahaya bulan untuk mencari sumber-sumber pakan, disamping itu membantu dalam menentukan pasangannya (Sinery, 2006).

Menurut Leavesley (2005), Kuskus tergolong kedalam hewan yang memakan daun dajuga serangga atau yang biasa dikenal dengan folivores / insektivora. Makanan dari tumbuhan yang biasa dikonsumsi ooleh kuskus yaitu daun dan buah, dengan sesekali memakan seranggaseperti semut dan serangga pohon lainnya. Kuskus juga merupakan hewan yang banyak sekali ditemukan didaerah beriklim tropis atau subtropis, dan faktanya P. orientalis jarang meninggalkan hutan hujan yang merupakan cirri khas dari daerah yang beriklim tropis. Hewan ini sering kali ditemukan tidur di pohon untai dengan posisi overhang pada siang hari. Posisi overhang merupakan posisi favorit dari kuskus dengan posisi menggelantung di pohon dengan posisi tangan memeluk batang

(10)

pohon tersebut. Kadang-kadang mereka tidur di cabang terbuka, dan sesekali melakukan aktivitas diurnal.

Pengenalan ke kompleks budaya, termasuk pertanian dan babi, berpotensi memiliki dampak besar pada perilaku akuisisi makanan. Hal ini akan memiliki tekanan perburuan berkurang pada kuskus, dan kuskus direduksi sementara menjadi peran sekunder dalam makanan manusia. Mengurangi tekanan perburuan akan memberikan kesempatan bagi populasi kuskus untuk memperluas dan meningkatkan ketersediaan individu yang lebih besar/banyak. Keuntungan dalam waktu yang diberikan oleh sektor pertanian, ditambah dengan mengurangi ketergantungan pada kuskus, bisa juga menjadi faktor dalam memberikan ruang lingkup manusia untuk lebih selektif dalam berburu kuskus, yang memungkinkan manusia untuk lebih berkonsentrasi pada mencari yang hewan (kuskus) yang lebih tua dan lebih besar (Leavesley, 2005).

Perburuan yang dilakukan di Indonesia khususnya di Indonesia bagian timur yang merupakan tempat terbanyak ditemukan kuskus, sebagian besar dimanfaatkan untuk dikonsumsi. Namun ada pula yang berburu hewan ini untuk di jual atau dikomersilkan. Harga yang lumayan bagus dipasaran merupakan faktor utam yang menyebabkan mulai banyak manusia yang memanfaatkan kusus untuk dijual. Di Nabire, Papua harga jual seekor kuskus hidup sekitar Rp. 100.000 s.d Rp. 200.000.

MenurutLee dalam Pattiselanno (2008) kegiatan perburuan dapat dibedakan menjadi: 1.) Perburuan aktif, yaitu aktivitas yang banyak menguras energi, membutuhkan tenaga

dan menghabiskan waktu karena pemburu harus mengejar, memburu dan menangkap hewan buruan

(2) Perburuan pasif, hanya membuluhkan waktu dan lenaga unluk meraneang dan menempalkan perangkap alau jeral pada lokasi yang dilelapkan sambil menunggu hewan buruan masuk dalam jeral alau perangkap.

Pattiselanno (2006) mecatat perburuan satwa di Papua dilakukan baik secara aktif maupun pasif. Semua respond en di Desa Arui melakukan aktivitas perburuan aktif karena praktek ini telah dilakukan secara turun temurun dan sampai saat ini tetap terus dilakukan. Perburuan pasil yang menggunakan jeral alau perangkap sangal jarang dilakukan karena membuluhkan waklu di anlaranya unluk meraneang dan menempalkan jeral alau perangkap di lokasi perburuan. Aktivitas perburuan ini umumnya dilakukan jika mereka memerlukan daging untuk dikonsumsi. Jika ingin menangkap kuskus dalam keadaan hidup maka perburuan aktif yang lebih tepat dilakukan (Pattiselanno, 2007).

(11)

Waktu perburuan kuskus berbeda antara satu responden dengan responden lainnya. Sebagai nelayan yang waklu melautnya pad a malam hari, perburuan kuskus dilakukan dari pagi jam 08:00) sampai dengan sore hari hari (18:00). Dalam kondisi dimana mereka lidak melau!, ada yang aktil melakukan perburuan pada malam hari mulai dari jam 19:00 s.d. 24:00. Perburuan malam hari dilakukan dengan alasan aktivitas kuskus yang tinggi di malam hari sehingga memudahkan unluk menemukan dan memburu hewan tersebut. Perburuan di siang hari dilakukan setelah mengetahui dengan pasti pohon tempat kuskus bertengger saat tidur atau beristirahat. Siang hari kuskus berteduh di tajuk pohon yang rimbun dan tinggi untuk berlindung dari predator. Oleh karena ilu perburuan pada siang hari relatif lebih sulit dibanding pada malam hari, tapi jika pohon tempat bertengger kuskus telah dikelahui, maka pohon ditebang dan kuskus ditangkap atau dibunuh (Pattiselanno, 2007).

Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga populasi kuskus di Indonesia yang semakin berkurang diantara dengan konservasi secara insitu dengan menempatkan kuskus di hutan yang menyerupai habitat aslinya. Yang pasti, hutan yang digunakan untuk menempatkan hewan ini merupakan hutan yang termasuk atau sudah terdaftarkan sebagai hutan lindung yang jelas keberadaannya tidak dapat diganggu lagi oleh manusia. Selain itu, konservasi kuskus juga dilakukan secara exsitu dengan melakukan penangkaran kuskus di kebun binatang yang ada di Indonesia dan juga penakaran-penakaran kuskus didekat habitat asalnya. Upaya lain yang dilakukan yaitu dengan mengontrol kegiatan perburuan illegal serta mengatur ketentuan atau kriteria dari umur atau jenis kelamin kuskus yang boleh diburu.

(12)

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, didapatkan kesimpulan :

1. Sifat kualitatif menentukan klasifikasi individu ke dalam suatu kelompok tertentu, sedangkan sifat kuantitatif banyak dipengaruhi oleh lingkungan dapat menentukan Optimal atau tidaknya penangkaran satwa karena dalam penangkaran satwa tidak semudah pembudidayaan hewan ternak, karena berbagaiperubahan akan dialami satwa tersebut selama dalam penangkaran.

2. Di Indonesia bagian timur, perburuan terhadap kuskus sudah mulai banyak dilakukan untuk dikonsumsi dagingnya ataupun dikomersilkan atau diperjual belikan dalam kondisi hidup.

3. Pembalakan hutan secara illegal juga dapat mengurangi populasi kuskus, karena ebagian besar kuskus menggunakan pohon-pohon besar sebagai tempat tinggal atau sarang.

4. Upaya-upaya dalam melestarikan populasi kuskus ini sudah mulai dilakukan, dalam bentuk penangkaran ditempat wisata dan juga pemeliharaan kuskus di hutan lindung.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Leavesley, M. G. 2005. Prehistoric Hunting Strategies in New Ireland, Papua New Guinea : The Evidence of Cuscus (Phalanger orientalis) Remains from Buang Merabak Cave. Asian Prespectives. Vol 44 No. 1 pp. 208-218

Sinery, A. S. 2006. Jenis Kuskus di Taman Wisata Gunung Meja Kabupaten Manokwari, Irian Jaya Barat. Biodiversitas. Fakultas Kehutanan IUniversitas Negeri Papua. Vol. 7 No. 2 pp. 175-180

Supriyantono et al. 2006. Sifat Kualitatif Dan Kuantitatif Kuskus di Pulau Moor Kabupaten Nabire Papua. Berk. Penel. Hayati No. 11 pp. 139-145

Pattiselanno. F. 2007. Perburuan Kuskus (Pha~angeridae) oleh Masyarakat Napan di Pulau Ratewi, Nabire, Papua. Biodiversitas. Vol 8 No. 4 pp. 274-278

Pattiselanno. F.., & Koibur, J.F. 2008. Cuscus (Phalangeridae) Hunting by Biak Ethnic Group in Surrounding North Biak Strict Nature Reserve, Papua. HAYATI Journal of Biosciences. Vol 15. No. 3 pp. 130-134

Referensi

Dokumen terkait

Saat penerapan pembelajaran menggunakan model pembelajaran Snowball Throwing melalui pendekatan kontekstual pada kelas eksperimen, adapun langkah pembelajaran yang mengalami

Saat total luasan lahan Indonesia yang menjadi landbank dari 25 grup bisnis yang dikendalikan oleh taipan ini sama dengan 51% dari total area yang ditanami kelapa sawit di

bahwa untuk memberikan keamanan dan kenyamanan pelayanan kepada wisatawan agar dapat menikmati kunjungan wisata dengan aman, halal dan juga dapat memperoleh

Kepemimpinan bisa diartikan sebagai suatu perilaku yang memiliki tujuan tertentu dengan mempengaruhi aktivitas para anggota dan atau grup dalam rangka mencapai

Selain etika berdagang yang dipegang kuat oleh etnik Tionghoa, mereka juga menguasai bahasa Minang bahkan lebih dari 90% dari mereka yang menetap di Sumatera

Dengan pertimbangan hal-hal tersebut maka ITL Trisakti melalui PPMI menetapkan standar kemahasiswaan yang akan menjadi pedoman dan tolok ukur bagi pimpinan

Dengan keberadaan Kecamatan Denpasar Timur sesuai dengan Peraturan Walikota Denpasar Nomor 45 Tahun 2016 Tentang Kedudukan, susunan organisasi, tugas dan fungsi serta tata