• Tidak ada hasil yang ditemukan

b. Aturan Mu amallah ma a Khalqi disingkat Mu amallah saja, yang mengatur aspek Habluminnas.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "b. Aturan Mu amallah ma a Khalqi disingkat Mu amallah saja, yang mengatur aspek Habluminnas."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh : Pandji Kiansantang

 

Sebagai Syari’at  Allah yang terakhir Islam adalah Ajaran Agama yang Universal dan tersempurna dengan meliputi segala aspek kehidupan muslim baik dalam hubungannya

dengan Allah ( Habluminallah) maupun dengan Makhluk Allah (Habluminanna

s ). Jadi

menurut aturan-aturan yang mengikat bagi muslim, Syari’at Islam memiliki dua jenis aturan yaitu :

a.      Aturan U’bidiyyah yang mengatur aspek Habluminallah

b.      Aturan Mu’amallah ma’a Khalqi disingkat Mu’amallah saja, yang mengatur aspek Habluminnas.

Dalam Mu’amalah itulah ditetapkan batasan-batasan muslim, batasan hidup dalam masyarakat di dunia ini atau disebut sebagai  Hukum[1]. Maka menurut Lazimnya aturan Mu’amallah ini disebut Hukum Islam. Dari segi arti hukum ini disebut juga Jarimah (Larangan Illahi).

Hukum Islam inipun masih terdiri dari : Hukum Keluarga, Hukum Dagang, Hukum Pengadilan, dan Hukum Tatanegara, yang dapat dikelompokkan menjadi :

1.      Hukum Perdata (Al Qanunul Khash)

(2)

2.      Hukum Pidana (Al Qanunul ‘am)

 

1.1 PENGADILAN AGAMA DI INDONESIA

 

Dalam melaksanakan Hukum Islam (Mu’amallah diperlukan suatu pengadilan yang diatur menurut Agama Islam). Untuk membedakannya dengan pengadilan Sekuler (Keduniaan) Pengadilan ini dinamakan Pengadilan Agama.

Di negara-negara Islam tak ada Pengadilan Sekuler, yang ada hanya pengadilan yang

menjalankan hukum-hukum Illahi. Disinilah hakikat perbedaan antara negara Islam dan negara non Islam.

Firman Allah : “Hendaklah engkau menghukum antara mereka menurut peraturan yang diturunkan oleh Allah “ .(Qs. Al-Maidah ayat 49)

Pangkat tertinggi dalam pengadilan Agama adalah Hakim (Qadhi). Tak sembarang orang

menjadi Qadhi. Dalam dunia Islam Qadhi adalah orang terpandang yang diangkat dari kalangan Ulama maupun kaum Cendekiawan. Pangkat ini menjadi kebanggaan karena siapa yang

menjadi Qadhi, berarti ia menggantikan Tugas Rasulullah (semasa hidupnya Nabi menjadi Qadhi). Membawahi Qadhi adalah Mufti yang berwenang memberi Fatwa-fatwa Agama termasuk masalah pengadilan.

Demikian pula di Nusantara semasa Kerajaan-kerajaan Islam dilaksanakanlah pengadilan Agama berdasarkan Hukum-hukum dari Mazhab Syafi’i. Umumnya di Nusantara antara badan pemberi Fatwa dipimpin Mufti  (Departemen Keagamaan) dan badan pengadilan yang dipimpin Qadhi (Departemen Kehakiman) nyatanya membaur. Misalnya di Jawa dan Sumatera, Mufti

(3)

juga merangkap sebagai Qadhi dengan sebutan “Penghulu“. Di Mataram dan

Kerajaan-kerajaan lainnya jabatan itu dipegang oleh Penghulu Ageng ditingkat Pusat dan oleh

Penghulu ( Wa’ib) ditingkat Daerah.

Di Palembang pada tingkat pusat Pemegang jabatan itu dinamakan Pangeran Nata Agama. Sedangkan di Aceh disebut Qadhi Malikul Adil. Dalam pelaksanaannya diterapkan atau tak hukum Islam baik pidana atau perdata itu tergantung besarnya pengaruh Agama Islam dalam Kerajaan masing-masing. Di kerajaan-kerajaan Pesisir seperti Demak dan Aceh hal ini

dilakukan namun kiranya tak sekeras di Timur Tengah.

Di pedesaan Jawa, tugas Penghulu dilakukan oleh pegawai Masjid dan ruang Pengadilannya adalah Serambi Masjid itu sendiri. Biasanya yang diurus disini hanya urusan perdata saja. Dari sengketa-sengketa itu para penghulu mendapatkan penghasilan khususnya dalam hukum waris yakni rata-rata 10% dari seluruh warisan itu. Mereka juga mendapat komisi dari urusan Zakat.      

Pada masa penjajahan Belanda Norma-norma Hukum Islam disingkirkan dan diganti oleh Hukum Eropa. Kaum penjajah tak menyukai diselenggarakannya hukum Islam khususnya pidana oleh penguasa-penguasa taklukannya. Setelah bubarnya VOC dan akibat pengaruh para Orientalist pemerintah Belanda mengubah kebijaksanaannya. Terlebih lagi untuk

mendapatkan simpati Muslim Indonesia yang ketika itu sedang gigih-gigihnya menentang Kafir Penjajah, maka dikeluarkan UU pasal 131 ayat 2 tahun 1847 yang menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia tak berlaku Hukum Perdata Eropa, melainkan Hukum Islam dan Hukum Adat.

Lalu dengan keputusan Raja Belanda pada tanggal 19 Januari 1882 yang digariskan dalam Staatsblad No.152-153, dibentuklah Pengadilan Agama (Priesterrad) di Jawa dan Madura yang

(4)

megurusi Nikah,Talaq, Rujuk, Nafkah, Waris dan Waqaf yang berbentuk Majelis dipimpin Penghulu dibantu 3-8 Ulama. Penghulu ini diangkat oleh Residen. Penghulu dan para stafnya itu digaji pemerintah sebagai pengganti penerimaan komisi Zakat dan Waris. Kelak juga dikeluarkan aturan pembentukan pengadilan Agama diluar Jawa dan Madura.

Namun kemudian nama Priesterrad diganti dengan “Pengadilan Peghulu“ dipimpin oleh

Penghulu (Mohammadanse Priesters) yang ditetapkan dalam Staatsblaad No.152 Tahun 1939. disusul dalam Staatsblaad No.116 dan 610 tahun 1937 yang mengganti wewenang pengadilan penghulu hanya menjadi yang mengurusi nikah, Talaq, Rujuk dan Nafkah saja.

Untuk menyempurnakan pelaksanaan Hukum Perdata Islam pada tahun 1938 di Batavia

didirikanlah “Mahkamah Islam Tinggi“ (Mohammadanse Haf) sebagai Pengadilan Naik Banding yang berada dibawah kontrol Departemen Urusan Dalam Negeri (sedangkan Pengadilan

Agama termasuk Departemen Kehakiman). Kebijaksanaan pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan semua pengadilan Warisan Kolonial Belanda. Diadakan kantor Urusan Agama

di tingkat pusat ( Shumuba) yang

mula-mula dipimpin Kolonel Horie, Prof.Hussein Jayadiningrat dan KH.Hasyim Asy’ari. Juga didirikan Jawatan Agama disetiap Presidenan (

Shumuka )

 

Pengadilan Agama ( Sooryo Hooin

) dan Majelis Islam Tinggi ( Kaikyo Kootoo Hooin

). Diawal kemerdekaan Pengadilan Agama belumlah mendapat perhatian khusus, baru pentingnya akan Pengadilan Agama terlihat dalam UU Darurat No.1 tahun 1951 yang menghapus semua pengadilan kecuali Pengadilan Agama.

Peraturan Pemerintah No.45 tahun 1957 membentuk Majelis Syariah sebagai perwujudan Pengadilan Agama dengan wewenang Hukum Perdata, kehadiran Pengadilan Agama di Indonesia diperkokoh lagi dengan dibaginya berjenis-jenis pengadilan tahun 1960, yaitu Pengadilan Umum, Pengadilan Militer dan Pengadilan Agama.

 

1.1  HUBUNGAN HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM ADAT DAN HUKUM NEGARA DI      INDONESIA

(5)

  Perbandingan Hukum Islam Hukum Adat Hukum Negara

Berasal dari wahyu dan Kesimpulan-kesimpulan dari padanya

Berasal pertimbangan akal yang dijadikan adat tradisi.

Berasal dari pertimbangan akal.

Universal dan untuk sepanjang zaman.

Khusus bagi anggota suku dan berubah-ubah.

Khusus bagi warga negara dan berubah-ubah.

(6)

Tertulis pada Kitab Suci.

Tak tertulis.

Tertulis dalam Kitab Koodifikasi.

Dijiwai penuh Ajaran Agama.

Sedikit mengandung unsur Agama. Biasanya Sekuler.  

Hukum adat dari suku di Indonesia yang berjumlah 200-300 Suku, oleh para ahli digabungkan menjadi 19 daerah lingkungan hukum adat, hukum adat telah ada semenjak terbentuknya suku itu yang masih menganut kepercayaan asli, pengaruhnya amat lekat pada setiap anggota suku sekalipun telah beragama dan berbudaya Budha dan Hindu-India ataupun Islam Arab.

 

Ajaran Islam di Indonesia juga tak dapat merombak secara total hukum adat itu karena pada masyarakat Islam di Timur Tengah sendiri ada kebiasaan untuk memelihara adat tradisi (‘Urf) sepanjang adat itu tak bertentangan dengan hukum Islam. Kebiasaan ini juga dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dengan prinsip adat bersendi Syari’at-syari’at bersendi Kitabullah.

(7)

Dalam hukum hasil gabungan keduanya adalah UU Mataram, Pepakem Cirebon, Adat Mahkota Alam di Aceh dll, bahkan di daerah tertentu ada yang membentuk suatu Sinkretisme di

Lapangan Agama dan Kepercayaan. Biasanya Islam sebagai Agama yang dipeluk suatu suku minimum menggantikan hukum adat dalam perdata disamping menjiwai hukum adat dalam tatakrama pergaulan dan kebudayaan.

Namun dibeberapa daerah untuk beberapa hal adat yang tak sepenuhnya dibenarkan hukum Islam itulah yang dipakai. Contoh yang nyata adalah penggunaan sistem Matrineal di

Minangkabau yang bertentangan dengan ketentuan Islam yakni patrineal. Di abad ke-19 sampai dengan abad ke-20 pemerintah Kolonial Belanda mulai mengadu dombakan antara ajaran Islam dengan adat istiadat beserta segenap pengikutnya.

Di daerah-daerah yang mana golongan Islam dan golongan adat berimbang dan di antara mereka terjadi konflik maka Belanda akan memperuncing pertentangan itu sebelum akhirnya membentuk golongan adat. Dalam hal ini golongan Islam diwakili para ulama, sedangkan golongan adat adalah para Bangsawan, hal inilah terjadi semasa dan sesudah Perang Paderi dan Perang Aceh.

Dimotori oleh “Bapak Polotik terhadap Islam“ Prof. Dr.Snouck Hurgronya dan “Bapak Ilmu Hukum Adat“ Van Vallenhoven ditahun 1930-an, dikemukakan “Theori Receptie“ yang

menyatakan bahwa hukum Islam belumlah bisa disebut hukum dan baru bisa berstatus hukum bila hukum Islam dijadikan hukum adat. Hal ini amat bertentangan dengan kebiasaan sejak zaman dulu yang berprinsip “Adat Bersendi Syari’at“ dan didukung oleh “Theori Reception In

Complexu “ yang

dikemukakan para Orientalist di abad ke-19. Pelaksanaannya adalah pembentukan pengadilan hukum Adat Ordonansi penghapusan poligami dan pengutangan wewenang Pengadilan

Agama, pengaruhnya masih nampak pada Hukum Republik Indonesia dengan adanya pasal 104 ayat 1 UUDS 1950, “Segala putusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dalam perkara hukum yang menyebut aturan UU dan aturan hukum adat yang dijadikan daftar hukum itu”. Pasal ini menegaskan bahwa Hukum Adat sederajat dengan Hukum Adat,sedangkan Hukum Islam berada dibawah kederanya. Namun dengan dikeluarkannya UU darurat 1951 adat, sedangkan pengadilan Agama tetap diakui hidupnya. Beralih dalam hubungan Hukum Islam-Hukum Negara.

Di masa-masa Kolonial Belanda Hukum Negara berupa Kitab-kitab Koodifikasi yakni Burgelick Wetboek (WVK) untuk Hukum Dagang yang ditetapkan 1 Januari’18. Walaupun RI tak

(8)

mempunyai suatu ketentuan yang menyatakan bahwa ajaran Agama dapat dijadikan ukuran untuk berlakunya suatu hukum, namun dalam UUD 1945 dan Pancasila dinyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena itu hukum-hukum dalam RI ada 2 macam :

1. Hukum yang dijiwai ajaran Agama sehingga melanggar hukum itu berarti dosa pula dalam Agama.

2. Hukum yang tak dijiwai Ajaran Agama (Sekuler). Untuk hal yang pertama ini berlaku bagi delik (perbuatan yang melanggar hukum) pidana seperti Pembunuhan, Pencurian, Perzinahan dll.

 

Namun sanksi dalam hukum pidana RI adalah jauh lebih ringan dari Hukum Pidana Islam, karena RI menganut Hukum Eropa yang menitikberatkan pada Hak-hak Asasi Manusia, sedangkan Hukum Islam menitikberatkan pada kebaikan (Kemaslahatan) rakyat banyak. Terlebih lagi kini, sedangkan digalakkan PeModernisasian Hukum Pidana dan Hukum Eropa padahal nyata sekali ketimbang antara “Law In Book“ di Negara Hukum ini.

Hal ini menimbulkan ekses-ekses timbulnya Residivis dan Hukum Mati llegal ditengah

hangatnya usaha menjunjung Hak Asasi Manusia. Demikian pula dalam Hukum Islam Perdata pernah terjadi bentrokan antara Hukum Islam dan Hukum Negara.

Untuk mengadakan suatu hukuman golongan bagi Umat Islam pada tahun 1967 dikeluarkan RUU pernikahan Umat Islam dan RUU Pokok Perkawinan, tahun 1968 ditolak golongan lain yang menginginkan Unifikasi (Pernyatuan Hukum). Sebaliknya golongan Islam menolak unifikasi dalam RUU perkawinan 1973 yang cukup adil bagi kaum wanita namun dianggap bertentangan dengan hukum Islam, akhirnya sengketa ini dipecahkan pemerintah dengan mengeluarkan UU No. 1 1974 dimana prinsip Univikasi dalam hal-hal yang umum dan pemisahan hal-hal yang khusus menyangkut hukum Islam.

Sedangkan dalam proses pengadilan terlihat pengaruh Ajaran Agama khususnya Agama Islam dengan adanya UU No.19 tahun 1964 pasal 2 ayat 1 yang menyempurnakan Ikrar “Pengadilan dilaksanakan atas nama keadilan“ menjadi “Pengadilan dilaksanakan demi keadilan

(9)

menggunakan tatacara penafsiran, penggalian nilai-nilai hukum yang ber-Ketuhanan YME dan tak dibenarkan dengan cara Pemahaman Sekuler. Juga dalam hubungan Agama dengan Hukum Negara terdapat Penpres No.1 1965 tentang Penyalahgunaan ataupun Penodaan Agama dan GBHN yang mengemukakan azas perikehidupan dalam keseimbangan yaitu keseimbangan kepentingan dunia akhirat, Material-Spirituil dll.

[1] Definisi Hukum : ketentuan mengikat  yang menentukan tingkah laku manusia dalam

kehidupan    bermasyarakat dan memiliki sanksi

tertentu.

 

Referensi

Dokumen terkait

Pada sambutannya ia berharap bahwa dengan terbitnya tafsir al-Huda ini akan berguna bagi masyarakat dalam membina kehidupan beragama dan bermasyarakat serta dapat mendorong

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan: 1) kualitas proses pembelajaran dan 2) keterampilan menulis karangan eksposisi pada siswa kelas VII A SMP Negeri 2

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Pada saluran tataniaga satu tingkat, petani menjual hasil produksi kelapa sawitnya melalui lembaga pemasaran pedagang pengumpul TBS kelapa sawit untuk harga

Untuk mengatasi permasalahan pada data spatial maka metode statistik yang akan digunakan adalah Geographically Weighted Regression (GWR), yaitu model yang

Disampaikan kepada seluruh jemaat bahwa dalam rangka Hari Pekabaran Injil dan Hari Perjamuan Kudus se-Dunia maka pada Hari Minggu 1 Oktober 2017 akan digunakan Tata Ibadah dari

Sedangkan batuan pada kedalaman 235-250 m adalah batu pasir terubah dengan intensitas ubahan kuat (SM/TM=50%), termasuk tipe ubahan Phyllic atau sebagai zona transisi dari

Kolom dalam Keadaan Tulangan Tarik Menentukan Bila regangan terjadi pada tulangan baja tarik yang telah mencapai regangan leleh sy s = sy, sedangkan pada balok desak regangan