• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Isi. Menjadi Modern Tanpa Kehilangan Identitas: Problematika Pelestarian Cagar Budaya di Wilayah Sulawesi Tenggara Asyhadi Mufsi Batubara 4-16

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Daftar Isi. Menjadi Modern Tanpa Kehilangan Identitas: Problematika Pelestarian Cagar Budaya di Wilayah Sulawesi Tenggara Asyhadi Mufsi Batubara 4-16"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Pelindung :

Prof. Kacung Marijan, Ph.D.

Direktur Jenderal Kebudayaan Pengarah :

Dr. Harry Widianto

Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman

Penanggung Jawab :

Drs. Marsis Sutopo, M.Si

Kepala Balai Konservasi Borobudur Pemimpin Redaksi :

Yudi Suhartono, MA

Redaksi :

Iskandar Mulia Siregar, S.Si Nahar Cahyandaru, S.Si

Hari Setyawan, S.S Jati Kurniawan, S.S

Mitra Bestari :

Prof. Dr. Endang Tri Wahyuni, M.Si Prof. Dr. Inajati Adrisijanti

Dr. Anggraeni, M.A Ir. Suprapto Siswosukarto, Ph.D

Tata Letak :

Bambang Kasatriyanto, S.I.Kom

Alamat Redaksi :

Balai Konservasi Borobudur Jl. Badrawati Borobudur Magelang 56553 Jawa Tengah Telp. (0293) 788225, 788175 Fax. (0293) 788367 email : balai@konservasiborobudur.org konservasiborobudur@yahoo.com website : www.konservasiborobudur.org

Daftar Isi

Menjadi Modern Tanpa Kehilangan Identitas:

Problematika Pelestarian Cagar Budaya di Wilayah

Sulawesi Tenggara

Asyhadi Mufsi Batubara

Pelestarian Kawasan Konservasi di Kota Semarang

Eko Punto Hendro

Perizinan dalam Pelestarian Cagar Budaya

Fr. Dian Ekarini

Monitoring dan Evaluasi Hasil Pemugaran Gapura

Royal Palace Angkor Thom Kamboja (Tahap I)

Nahar Cahyandaru, dkk.

Penggunaan Bahan Alami pada Bahan Restorasi

Lukisan Gua Prasejarah Maros Pangkep

(Sulawesi Selatan)

Yudi Suhartono

Studi Diagnostik Konservasi Tempat Tidur

Etnik Madura Koleksi Museum Kayu Wanagama I

Yustinus Suranto

Efektivitas Buah Maja ($HJOH0DUPHORV (L.) Corr.)

sebagai Bahan Pembersih Logam Besi

Ira Fatmawati

Redaksi menerima tulisan berupa artikel, saduran, terjemahan, maupun segala macam bentuk tulisan yang ada kaitannya dengan arkeologi, kon-servasi dan pelestarian sumber daya arkeologi. Terjemahan atau saduran harap menyebutkan sumber referensi yang jelas.

Foto sampul depan: Lawang Sewu Kini dan Dulu Dok. BPCB Jawa Tengah

ISSN : 1978-8584

4 - 16

17 - 28

29 - 48

49 - 61

62 - 71

72 - 80

81 - 87

(4)

infrastruktur yang secara sadar atau tidak telah banyak mengorbankan Cagar Budaya”. Kalimat di atas merupakan kutipan dari artikel yang ditulis oleh Asyhadi Mufsi Batubara yang dimuat dalam Jurnal ini, dengan judul “Menjadi Modern Tanpa Kehilangan Identitas: Problematika Pelestarian Cagar Budaya di Wilayah Sulawesi Tenggara”. Permasalahan pelestarian cagar budaya saat ini memang sangat luas. Tantangan bagi pelestari akan semakin berat terlebih di era modern yang terus membangun ini.

Jurnal konservasi Borobudur yang secara konsisten terbit untuk menyajikan berbagai hasil kajian tentang pelestarian cagar budaya. Tujuh judul artikel akan disajikan dalam edisi ini, dari berbagai sub-bidang kajian dan berbagai sudut pandang yang berbeda. Tantangan pelestarian cagar budaya di tengah modernisasi juga dikemukakan oleh Eko Punto Hendro, dengan artikel berjudul “Pelestarian Kawasan Konservasi di Kota Semarang”. Artikel ini mengemukakan beberapa kawasan di Semarang yang strategis untuk dijadikan kawasan konservasi, yaitu Kota Lama, daerah Pecinan, Pasar Johar, dan Kampung Sekayu. Konservasi kawasan diperlukan agar tidak kehilangan identitas kesejarahaan dan kebudayaannya, serta dapat dikembangkan sebagai destinasi pariwisata.

Upaya pelestarian tidak hanya berupa kegiatan teknis semata, namun harus didukung dengan pengelolaan yang tepat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 juga telah mengatur secara cukup rinci, salah satunya adalah pentingnya aspek perijinan dalam pelestarian cagar budaya. Hal ini diulas dalam artikel “Perizinan Dalam Pelestarian Cagar Budaya” yang ditulis oleh Fr. Dian Ekarini. Aspek perijinan ini penting karena setiap orang yang melakukan kegaitan pelestaian tanpa izin dari pemerintah sesuai dengan kewenangannya dapat dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Perizinan ini sebenarnya tidak untuk menyulitkan pemilik cagar budaya namun semata-mata untuk melindungi cagar budaya agar tidak rusak ataupun salah dalam penanganannya.

Sebagai bagian penting dari jurnal ini juga akan disajikan artikel yang mempublikasikan salah satu kiprah Indonesia dalam upaya pelestarian di tingkat Internasional. Salah satu prestasi Indonesia adalah keberhasilannya melakukan pemugaran terhadap beberapa struktur di kawasan bersejarah Angkor, Kamboja. Nahar Cahyandaru, dkk melaporkan hasil studinya dengan judul “Monitoring Dan Evaluasi Hasil Pemugaran Gapura Royal Palace Angkor Thom Kamboja (Tahap I)”. Kajian ini diharapkan menjadi awal untuk dibukanya kembali kemungkinan kiprah pelestari Indonesia di Kamboja di masa mendatang.

Dari aspek konservasi material, penggunaan bahan alam justru semakin berkembang di era modern ini karena terbukti memiliki keunggulan. Berkaitan dengan ini Yudi Suhartono menulis artikel yang berjudul “Penggunaan Bahan Alami Pada Bahan Restorasi Lukisan Gua Prasejarah Maros Pangkep (Sulawesi Selatan)”. Peneliti terdahulu yang menggunakan bahan hematit dengan campuran bahan kimia untuk restorasi lukisan gua kurang efektif dan warna lukisan agak berbeda dengan aslinya. Penulis mengajukan campuran hematit dengan beberapa bahan alam untuk diuji efektivitasnya, dengan sebelumnya melakukan serangkaian analisis laboratorium terhadap bahan lukisan dinding gua.

Tindakan konservasi merupakan serangkaian kegiatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, prosedur diagnostik merupakan tahapan yang penting untuk dilalui. Yustinus Suranto menulis artikel dengan judul “Studi Diagnostik Konservasi Tempat Tidur Etnik Madura Koleksi Museum Kayu Wanagama I”. Studi diagnostik konservasi kayu tersebut terdiri atas lima tahapan, yaitu (1) deskripsi kondisi koleksi pada saat sebelum dilakukan NRQVHUYDVL   GHVNULSVL NROHNVL GDODP NRQGLVL  LGHDO   LGHQWLÀNDVL MHQLV EDKDQ   LGHQWLÀNDVL SHQ\HEDE NHUXVDNDQ bahan dan (5) perumusan pelaksanaan konservasi koleksi. Hasil studi diagnostik ini selanjutnya dapat menjadi dasar pelaksanaan tindakan konservasi.

Konservasi material Cagar Budaya dengan bahan tradisional banyak dikembangkan untuk berbagai jenis material. Salah satunya adalah pembersihan logam besi yang ditulis oleh Ira Fatmawati. Artikel yang berjudul “Efektivitas Buah Maja (Aegle marmelos. L) sebagai Bahan Pembersih Logam Besi” ini dilakukan di Jawa Timur menggunakan buah yang identik dengan nama Kerajaan Majapahit, yaitu Buah Maja. Artikel ini didasarkan pada percobaan laboratorium yang menunjukkan bahwa buah maja tua efektif sebagai bahan pembersih besi.

(5)

PEDOMAN BAGI PENULIS

1. Naskah yang diajukan oleh penulis merupakan karya ilmiah orisinal, yang belum pernah

diterbitkan, merupakan hasil penelitian, tinjauan/pemikiran dan komunikasi pendek tentang

konservasi cagar budaya .

2. Judul harus harus singkat, jelas dan mencerminkan isi naskah. . Nama penulis ditulis lengkap

tanpa gelar, di bawahnya diikuti nama lembaga tempat bekerja, alamat lembaga, dan e-mail.

3. Abstrak merupakan ringkasan utuh dan lengkap yang menggambarkan esensi isi tulisan, tidak lebih

dari 350 kata. Disajikan dalam bahsa Indonesia dan bahasa Inggris. Isi abstrak meliputi tujuan,

metode, dan hasil akhir.

4. Kata Kunci harus ada, mencerminkan satu konsep yang dikandung dalam tulisan antara 3--5 kata

(dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk), ditampilkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa

Inggris.

 3HQ\DMLDQLQVWUXPHQSHQGXNXQJEHUXSDJDPEDUIRWRJUDÀNEDJDQWDEHOGDQVHEDJDLQ\DKDUXV

bersifat informatif dan komplementer terhadap isi tulisan. Penyajiannya dengan dilengkapi

keterangan (termasuk sumber/rujukan) di bawah instrumen pendukung.

6. Naskah berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diketik 1.5 spasi, jenis huruf arial 11, jumlah halaman

minimal 10 halaman dan maximal 20 halaman yang diketik pada kertas A4,.

7. Sistematika Penulisan meliputi:

Rangkuman hasil penelitian

Makalah / artikel

- Judul

- Judul

-

Abstrak

-

Abstrak

- Latar belakang

- Latar Belakang

-

Metode

-

Pembahasan

-

Pembahasan

-

Penutup

- Penutup

- Daftar Pustaka

- Daftar pustaka

8. Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut : nama

pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku/nama

dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah/nomor halaman.

 1DVNDKGLVHUDKNDQGDODPEHQWXNÀOHWLSH0LFURVRIW:RUG'RFXPHQW GRF GRF[ 

dan print out-nya ke alamat redaksi :

Dewan Redaksi Jurnal Borobudur

d/a Balai Konservasi Borobudur

Jalan Badrawati, Borobudur, Magelang 56553

dan dikirim melalui e-mail: jurnalborobudur@gmail.com

10. Dewan Redaksi mengatur pelaksanaan penerbitan (menerima, menolak, dan menyesuaikan

naskah tulisan dengan format Jurnal Borobudur).

(6)
(7)

Efektivitas Buah Maja ($HJOH0DUPHORV (L.) Corr.)

sebagai Bahan Pembersih Logam Besi

Ira Fatmawati

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur

Abstrak: Buah Maja (Aegle marmelos (L.) Corr.) identik dengan sebuah kerajaan yang pernah berjaya pada abad XIII

– XV, yaitu Kerajaan Majapahit. Ciri khas yang dimiliki buah Maja adalah dagingnya berwarna putih dan kulitnya berwarna hijau muda. Hingga kini, buah yang berasa manis ini masih banyak dijumpai di daerah Mojokerto, Jawa Timur. Beberapa senyawa kimia yang terkandung di dalam buah Maja, antara lain : marmelosin (C13H12O3), minyak atsiri, pektin, saponin, tanin, dan2-furocoumarins-psoralen. Adanya sifat asam dalam daging buah menjadikan Maja dapat digunakan sebagai pembersih logam besi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji efektivitas antara buah Maja muda dan tua sebagai bahan pembersih logam besi. Metode yang digunakan adalah sampel sabit berbahan besi ditimbun dalam daging buah Maja selama 1 x 24 jam, 2 x 24 jam, 3 x 24 jam, dan 4 x 24 jam. Berdasarkan hasil penelitian pada sampel sabit yang ditimbun selama 4 x 24 jam dalam buah Maja tua menunjukkan bahwa sampel terlihat lebih bersih dibandingkan sampel yang ditimbun dalam buah Maja muda. Ini menunjukkan bahwa buah Maja tua lebih efektif sebagai bahan pembersih untuk logam besi.

Kata kunci : besi, buah Maja, dan sabit

Abstract: Maja fruit (Aegle marmelos (L.) Corr.) is identic to an empire that had triumphed in XIII – XV century,

QDPHO\WKH0DMDSDKLW.LQJGRP7KHFKDUDFWHULVWLFRI 0DMDIUXLWLVZKLWHÁHVKDQGOLJKWJUHHQVNLQ8QWLOQRZWKH sweet taste of this fruit can be found in the area of Mojokerto, East Java Province. Some chemical compounds in Maja fruit is marmelosin (C13H12O3 ), essential oils, pectin, saponins, tannins, and2-furocoumarins-psoralen. The acidic QDWXUHLQÁHVKRI IUXLWPDNHV0DMDFDQEHXVHGDVDFOHDQVLQJIRUIHUURXVPHWDOV7KLVVWXG\ZDVFRQGXFWHGWRWHVW the effectiveness between young and old Maja fruit as a cleansingfor ferrous metals. The method used is sickle VDPSOHVZDVPDGHIURPLURQVWRFNSLOHGLQÁHVKRI 0DMDIRU[KRXUV[KRXUV[KRXUVDQG[ hours. Based on the results of research on sickle samples were stockpiled for 4 x 24 hours in old Maja fruit showed that the samples looks cleaner than the samples stockpiled in young Maja fruit. It shows that the old Maja fruit is more effective as a cleansing for ferrous metals.

Keywords : iron, Maja fruit, and sickle

Pendahuluan Latar Belakang

Museum Majapahit yang berada di bawah naungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Mojokerto Wilayah Kerja Provinsi Jawa Timur memiliki koleksi benda cagar budaya hasil dari hibah, temuan,maupun ekskavasi situs-situs di Jawa Timur. Jenis bahan penyusun dari koleksi-koleksi tersebut beragam mulai dari kayu, logam, keramik, terakota, batu, bata, dan tulang. Di antara koleksi-koleksi tersebut, yang cukup menarik untuk diteliti adalah koleksi berbahan logam yang didominasi oleh unsur besi. Belajar dari kearifan tradisional masyarakat dahulu dalam membersihkan peralatan berbahan logam, maka dalam memelihara cagar budaya perlu juga dikembangkan cara-cara tradisional yang lebih efektif, aman, reversibel, ekonomis, dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengujian

pembersihan logam besi menggunakan buah Maja. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan suatu penelitian adalah melihat ketersediaan bahan, sampel, dan peralatan yang akan digunakan. Daerah Trowulan yang masuk dalam kabupaten Mojokerto identik dengan cerita Kerajaan Majapahit yang pernah berjaya sekitar abad XIII – XV. Kata Majapahit itu sendiri berasal dari dua kata, yaitu : Maja dan pahit yang artinya buah Maja yang rasanya pahit. Dalam nama kerajaan tersebut secara jelas menyebutkan buah Maja yang menunjukkan bahwa buah ini sangat mudah ditemui di daerah tersebut. Dan ternyata hingga saat ini buah Maja banyak dijumpai di daerah Trowulan. Berkaitan dengan sejarah kerajaan Majapahit, ada baiknya jika buah Maja yang menjadi inspirasi sebuah nama kerajaan tersebut juga menjadi inspirasi dalam pelestarian cagar budaya tinggalan dari kerajaan itu. Oleh karena

(8)

itu, keefektivan buah Maja perlu dieksplorasi secara mendalam sehingga tidak hanya sekedar digunakan sebagai sebuah nama. Namun, ada banyak manfaat yang bisa didapat dari buahnya secara nyata. Inilah yang mendasari pemilihan buah Maja untuk digunakan dalam penelitian pembersihan logam besi.

Rumusan Masalah

a. Seberapa efektifkah buah Maja sebagai bahan pembersih besi?

b. Apakah umur buah Maja mempengaruhi

keefektivannya?

c. Apakah lamanya waktu penimbunan mempengaruhi tingkat kebersihan besi?

Tujuan Penelitian

a. Mengetahui keefektivan buah Maja sebagai bahan pembersih besi

b. Menentukan metode pembersihan besi yang paling efektif menggunakan buah Maja

I.4 Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai metode alternatif pembersihan besi yang efektif, HÀVLHQ DPDQ HNRQRPLV UHYHUVLEHO GDQ UDPDK lingkungan

b. Mengurangi penggunaan bahan kimia sintetis yang terkadang menimbulkan dampak negatif terhadap cagar budaya

II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 Maja

Aegle marmelos (L.) Corr.merupakan tanaman yang biasa dikenal sebagai Maja memiliki sebutan beragam di tiap daerah, antara lain : Mojo atau Mojo legi (Jawa), Maos (Madura), Bilak (Melayu), danKabila (Alor, Nusa Tenggara). Tanaman ini

GLNODVLÀNDVLNDQNHGDODP'LYLVLSpermatophyta, Sub Divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Bangsa Rutales, Suku Rutaceae, dan Marga Aegle. Selain di Indonesia, ternyata Maja juga dapat dijumpai di wilayah Asia Tenggara lainnya dan Asia Selatan. Daerah penyebarannya terutama di dataran rendah hingga ketinggian ± 500 m di atas permukaan laut dengan kondisi lahan basah seperti rawa-rawa maupun di lahan kering, dan pada suhu 49 °C saat musim kemarau atau -7 °C saat musim dingin.

Pohon Maja dapat tumbuh sampai 20 m dengan tajuk yang tumbuh menjulang ke atas. Bunganya harum hingga aroma wanginya bisa tercium dari jarak yang cukup jauh. Tanaman ini mulai berbuah pada umur 5 tahun dan produksi maksimal dicapai setelah umur15 tahun. Satu pohon bisa menghasilkan 200 – 400 butir buah. Buah Maja biasanya masak pada musim kemarau bersamaan dengan daun-daunnya yang meluruh. Bentuk buah seperti bola voli memiliki diameter 5 – 12 cm, kulit buah berwarna hijau dan keras, dagingnya putih dan berbau harum serta manis rasanya. Buah ini sering kali dianggap sama dengan Berenuk (Crescentia cujete L.) yang juga memiliki kulit buah berwarna hijau namun dagingnya berasa pahit.

Menurut Hariana (2008), beberapa bahan kimia yang terkandung dalam Maja di antaranya, zat lemak dan minyak terbang yang mengandung linonen. Daging buah Maja mengandung 2-furocoumarins-psoralen dan marmelosin (C13H12O3). Buah, akar, dan daun Maja bersifat antibiotik. Selain itu, akar, daun, dan ranting digunakan untuk mengobati gigitan ular. Akar Maja mengandung psoralen, anthotoxin, o-methylscopoletin, scopoletin, decursinol, haplonine, dan aegelinol. Daun Maja mengandung ơOLPRQHQH, 56%-ơ-Ƥ-phellandzene, sineol, 17% cyrnene, citonellol, citiol, 5% cumin aldehyde, alkaloids, o-(3,3-dimethylallyl)-halfordinol, n-2-ethoxy-2-(4-methoxyphenyl) ethylcinnamide, methoxy-2-[4-3,3-dimethyalloxy) phennyl], ethylcinnamide, dan n-2-methoxy-2-(4-methoxyphenyl)-ethylcinnamamide.

Sedangkan menurut Rismayani (2013), buah Maja selain mengandung marmelosin juga

Foto 1 :

(9)

minyak atsiri, pektin, saponin, dan tanin. Senyawa saponin merupakan glikosida yang memiliki aglikon berupa steroid dan triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal sebagai saraponin. Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat dan apabila dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin. Molekul yang dimiliki oleh senyawa saponin inilah menyebabkan buah Maja berbusa, mempunyai sifat antieksudatif, LQÁDPDWRUL GDQ KDHPROLVLV PHUXVDN VHO GDUDK merah).

II.2 Besi

Salah satu unsur kimia yang cukup melimpah di kulit bumi adalah besi yang disimbolkan dengan Fe. Besi yang memiliki nomor atom 26 dan massa atom relatif sebesar 55,845 gram/mol tersebut merupakan logam transisi dalam tabel periodik.Beberapa sifat umum besi antara lain : berbentuk padat, massa jenis (mendekati suhu kamar) : 7,874 gram/cm3 dan massa jenis (cairan pada titik lebur) : 6,98 gram/ cm3, titik lebur : 1538 °C, titik didih : 2862 °C, dan nilai potensial energi untuk Fe2+ sebesar -0,89 Volt.

Meskipun kelimpahannya cukup tinggi, namun besi memiliki kelemahan, yaitu mudah mengalami korosi akibat reaksi oksidasi dengan lingkungan yang faktor utamanya adalah adanya air dan udara di sekitarnya sehingga menimbulkan kerugian karena mengurangi umur pakai dari benda yang terbuat dari bahan tersebut. Mekanisme reaksi terjadinya korosi adalah besi yang letaknya jauh dari permukaan apabila bereaksi dengan udara akan dioksidasi oleh ion Fe2+ dan ion ini larut dalam air. Sebagian oksigen dari udara larut dalam air dan mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ sehingga membentuk karat (Fe2O3.H2O).

Menurut Hamilton (1999) dalam Cahyandaru (2013), korosi besi terjadi karena sifat logamnya yang mudah teroksidasi dan banyaknya senyawa-senyawa terlarut dalam air. Keberadaan

oksigen mempengaruhi proses korosi meskipun dalam kondisi tanpa oksigen pun korosi juga dapat berlangsung. Dalam kondisi air yang mengandung oksigen, mekanisme reaksi kimia yang terjadi adalah :

FeCl2 + 2NaOH Fe(OH)2 + 2NaCl

Senyawa hidroksida yang terbentuk pada larutan yang mengandung oksigen akan mengalami reaksi sekunder dengan terbentuknya endapan korosi di sekitar permukaan logam bagian anoda. Fe2+ + 2OH- Fe(OH)

2

4Fe(OH)2 + O22 H2O + 2Fe2O3.H2O

Reaksi sekunder yang melibatkan ion feri menghasilkan produk lain dari korosi, yaitu : 6Fe(OH)2 + O2 4H2O + 2Fe3O4.H2O (green hydrated magnetite)

Fe3O4.H2O H2O + Fe3O4 (black magnetite)

Produk-produk reaksi korosi dapat bervariasi bergantung pada kondisi lingkungan logam besi tersebut berada. Lapisan-lapisan korosi paling umum yang dapat terjadi pada permukaan besi adalah :

Fe3O4 / 2Fe3O4.H2O atau 2Fe2O3.H2O

Mekanisme reaksi kimia korosi pada kondisi anaerobik atau kondisi tanpa oksigen melibatkan aktivitas bakteri pereduksi sulfat yang umum ditemukan pada perairan bergaram (laut), air tawar, atau tanah berair. Aktivitas pelapukan awal menggunakan oksigen sehingga pada bagian-bagian tertentu terdapat lokasi yang tidak mengandung oksigen. Bakteri yang hidup tanpa oksigen akan menggunakan sulfat sebagai sumber metabolismenya dengan reaksi sebagai berikut : H2SO4 + 8H+ H

2S + 4H2O

+LGURJHQ VXOÀGD DNDQ EHUHDNVL GHQJDQ EHVL PHQJKDVLONDQ NRURVL %HVL VXOÀGD GDQ %HVL hidroksida seperti reaksi kimia di bawah ini : Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015, Hal 81-87

(10)

Fe2+ + H

2S FeS + 2H+ 3Fe2+ + 6OH- 3Fe(OH)

2

4Fe + H2SO4 + 2H2O FeS + 3Fe(OH)2

III. METODE PENELITIAN

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sabit berbahan besi yang merupakan benda bukan cagar budaya. Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan pemilihan sampel, yaitu sabit tersebut telah mengalami korosi hampir di seluruh permukaannya. Selanjutnya sampel dibersihkan dari kotoran yang menempel di permukaan menggunakan sikat. Bahan, alat, dan prosedur penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahan : 1. Buah Maja 2. Air Alat : 1. Nampan plastik 2. Pisau 3. Sikat 4. Sarung tangan Prosedur :

1. Buah Maja dipotong menjadi dua bagian kemudian daging buahnya diambil dengan cara dikerok menggunakan sendok sehingga diperoleh tekstur yang halus. Daging buah yang telah halus diletakkan di dalam nampan bersih.

2. Sampel yang telah didokumentasi selanjutnya diletakkan di atas daging buah Maja sambil ditekan dan diatur sedemikian rupa sehingga seluruh permukaan sampel tertimbun dalam daging buah tersebut. Hal ini bertujuan agar kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam daging buah Maja dapat bereaksi secara maksimal di seluruh permukaan sampel.

3. Sampel ditimbun dalam daging buah Maja selama 1 x 24 jam. Selama penimbunan, nampan berisi sampel dan daging buah Maja ditutup dengan plastik. Setelah waktu penimbunan tercapai, sampel diangkat dan dibilas air mengalir sambil disikat kemudian dikeringkan di udara terbuka.

4. Setelah kering, sampel didokumentasi untuk mengetahui perbedaan hasil di tiap perlakuannya. 5. Sampel yang sama ditimbun lagi dalam daging buah

Maja yang masih fresh mengikuti prosedur pada poin 2

dan dilanjutkan hingga poin 4. Perlakuan ini dilakukan hingga penimbunan mencapai waktu 4 x 24 jam.

IV. ANALISIS HASIL PENELITIAN

Berdasarkan umurnya, buah Maja dapat GLEHGDNDQ VLIDW ÀVLN GDQ NLPLDQ\D %XDK 0DMD PXGD memiliki tempurung yang lunak, daging buah cenderung putih dan agak keras, serta nilai pH-nya 5. Sedangkan buah Maja tua memiliki tempurung yang keras, daging buah berwarna putih kekuningan dan lunak, serta nilai pH-nya 4. Dalam penelitian ini, buah Maja yang dipilih dibedakan umurnya untuk mengetahui perbedaan tingkat keefektivannya sebagai bahan pembersih logam besi.

Buah Maja yang baru dipetik dapat langsung dibelah untuk diambil daging buahnya. Apabila rentang waktu antara pemetikan buah dan pengambilan daging buah terlalu lama, maka daging buah akan berwarna hitam. Oleh karena itu, sebaiknya buah dipetik sehari sebelum daging buah digunakan untuk membersihkan besi. Daging buah yang berserat dan berasa manis itu apabila dihaluskan dengan cara diremas akan menghasilkan buih berwarna putih dan bau harum yang khas dari buah tersebut. Namun, ketika daging buah dibiarkan di udara terbuka selama beberapa saat, maka daging buah yang awalnya berwarna putih akan berubah menjadi hitam dengan bau yang kurang sedap. Terdapat sedikit perbedaan antara daging buah Maja muda dan tua. Pada daging buah Maja muda, setelah dilakukan perlakuan selama 24 jam, daging buahnya tetap harum dan sebagian masih berwarna putih. Sedangkan pada daging buah Maja tua, setelah dilakukan perlakuan selama 24 jam, daging buahnya berbau kurang sedap dan seluruh daging buahnya berwarna hitam.

Setiap perlakuan sampel membutuhkan satu buah Maja yang daging buahnya rata-rata bermassa 1000 – 1200 gram. Buah Maja yang digunakan merupakan buah yang baru dipetik. Selanjutnya, buah tersebut

Foto 2 :

(11)

dibelah menjadi dua bagian dan diambil daging buahnya kemudian dihaluskan dengan cara diremas. Dalam memasukkan sampel sebaiknya nampan diisi daging buah terlebih dahulu kemudian sampel diletakkan di atasnya dan sisa daging buah yang ada diletakkan di atas sampel sehingga seluruh permukaan sampel tertimbun oleh daging buah seperti terlihat pada foto 5 di atas. Hal ini dilakukan agar kandungan senyawa kimia buah Maja dapat bereaksi secara maksimal di kedua sisi permukaan besi yang terkorosi tersebut.

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis buah Maja, yaitu : buah Maja muda yang berumur ± 1 bulan dan buah Maja tua yang berumur ± 2 bulan. Metode yang digunakan adalah sampel ditimbun dalam daging buah Maja dengan variasi waktu penimbunan selama 1 x 24 jam, 2 x 24 jam, 3 x 24 jam, dan 4 x 24 jam. Setiap perlakuan menggunakan jenis buah yang sama, artinya buah Maja muda dan tua tidak dicampur selama proses penimbunan. Selama penimbunan, nampan yang berisi sampel dan daging buah Maja ditutup plastik agar tidak bereaksi dengan udara. Ketika waktu penimbunan tepat 24 jam, sampel diangkat dan dibilas air mengalir sambil disikat kemudian dikeringkan di udara terbuka. Untuk mengetahui perbedaan hasil di tiap perlakuan, maka diperlukan dokumentasi sampel sebelum dan setelah perlakuan. Selanjutnya, sampel yang sama ditimbun kembali dalam buah Maja yang masih fresh dan dibiarkan selama 24 jam. Prosedur dilanjutkan hingga pengeringan sampel. Perlakuan ini dilakukan secara berkelanjutan

hingga mencapai waktu penimbunan selama 4 x 24 jam. Hasil pembersihan sampel besi menggunakan buah Maja dapat dijelaskan sebagai berikut :

Perlakuan I

Pada penelitian ini, sampel yang digunakan berupa sabit berbahan besi yang telah mengalami korosi secara merata di kedua sisi permukaannya. Sampel tersebut ditimbun dalam buah Maja muda yang memiliki nilai pH 5. Berdasarkan data hasil penelitian yang tertera pada tabel di atas, sampel yang telah ditimbun selama 1 x 24 jam tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini ditunjukkan dengan masih terlihatnya korosi berwarna merah kecoklatan di permukaan sampel. Seperti halnya penimbunan sebelumnya, pada penimbunan selama 2 x 24 jam juga tidak menunjukkan perbedaan yang VLJQLÀNDQEDKNDQKDVLOQ\DPDVLKWHWDSVDPD

Setelah ditimbun selama 3 x 24 jam, salah satu permukaan sampel mulai terlihat sedikit warna putih Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015, Hal 81-87

Foto 3 : Persiapan bahan

Foto 4 :

Daging buah Maja yang telah dihaluskan

Foto 5 :

Proses penimbunan sampel

Tabel 1 : Sampel besi yang ditimbun dalam daging buah Maja muda

(12)

keperakan sedangkan sisi lainnya belum menunjukkan perubahan. Perbedaan ini terjadi karena selama proses penimbunan, satu sisi permukaan sampel berada di atas sedangkan sisi lainnya berada di bawah. Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa permukaan sampel yang berada di atas saat proses penimbunan menunjukkan hasil yang lebih bersih dibandingkan sisi lainnya yang berada di bawah. Selanjutnya, sampel yang sama ditimbun kembali dalam buah Maja yang masih fresh selama 4 x 24 jam. Perubahan yang terjadi di kedua sisi permukaan sampel menunjukkan hasil yang tidak VLJQLÀNDQGLEDQGLQJSHQLPEXQDQVHODPD[MDP,QL menunjukkan bahwa senyawa kimia yang terkandung di dalam buah Maja muda bekerja secara lambat dan keefektivannya dipengaruhi oleh posisi sampel selama proses penimbunan.

Perlakuan II

Penelitian kedua menggunakan buah Maja tua yang memiliki nilai pH 4, yaitu lebih rendah dibandingkan buah Maja muda. Sampel yang digunakan berupa sabit berbahan besi dengan kriteria yang sama dengan penelitian pertama, yaitu seluruh permukaannya telah mengalami korosi. Sampel yang awalnya mengalami korosi berwarna merah kecoklatan merata di seluruh permukaan sampel, mulai terlihat bersih setelah ditimbun selama 1 x 24 jam. Warna putih keperakan muncul di sebagian besar permukaan sampel meskipun masih ada bintik-bintik korosi berwarna coklat kehitaman. Kedua sisi permukaan sampel menunjukkan hasil yang sama meskipun salah satu permukaan sampel terlihat sedikit lebih bersih dibanding sisi lainnya.

Penimbunan sampel selama 2 x 24 jam menjadikan permukaan sampel bertambah bersih, warna putih keperakan semakin meluas terutama pada bagian pangkal dan tengah. Tingkat kebersihan sampel yang ditandai dengan warna putih keperakan semakin mendominasi hampir seluruh permukaan sampel setelah dilakukan penimbunan selama 3 x 24 jam. Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hasil perlakuan terlihat lebih optimal pada penimbunan selama 4 x 24 jam yang mana kedua sisi permukaan sampel terlihat lebih bersih dibanding perlakuan sebelumnya. Warna putih keperakan mendominasi seluruh permukaan sampel meskipun tidak seluruhnya. Ini menunjukkan bahwa

metode penimbunan ini efektif untuk mengurangi korosi yang terjadi pada logam besi.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada sampel yang ditimbun dalam buah Maja muda dan tua menunjukkan hasil yang berbeda. Sampel yang ditimbun dalam buah Maja muda korosinya berkurang secara lambat dan hampir tidak terlihat perubahannya. Sedangkan sampel yang ditimbun dalam buah Maja tua WHUOLKDWSHUEHGDDQ\DQJVLJQLÀNDQGLVHWLDSSHUODNXDQQ\D dan perubahan ini tidak hanya terjadi pada satu sisi permukaan sampel namun kedua sisi menunjukkan hasil yang sama. Ini menandakan bahwa keefektivan antara buah Maja muda dan tua jelas berbeda. Buah Maja tua lebih efektif sebagai bahan pembersih korosi besi dibandingkan buah Maja muda. Perbedaan keefektivan ini kemungkinan dipengaruhi oleh senyawa kimia yang terdapat di dalam kedua jenis buah Maja tersebut. Secara umum, kandungan senyawa kimia yang terdapat di dalam buah Maja adalah marmelosin, minyak atsiri, pektin, saponin, tanin, dan 2-furocoumarins-psoralen. Meskipun Tabel 2 : Sampel besi yang ditimbun dalam daging buah Maja tua

(13)

kandungan kimianya sama, namun perbedaan umur buah Maja kemungkinan mempengaruhi kuantitas dari beberapa kandungan senyawa kimia tersebut.

V. PENUTUP V.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian pada sampel sabit berbahan besi yang dibersihkan dengan buah Maja untuk menghilangkan korosi yang melekat di permukaannya, maka dapat disimpulan bahwa :

1. Buah Maja tua lebih efektif mengurangi korosi pada kedua sisi permukaan sampel dibandingkan buah Maja yang masih berumur muda.

2. Posisi sampel saat penimbunan mempengaruhi tingkat kebersihannya. Permukaan sampel yang berada di atas cenderung lebih bersih dibandingkan permukaan sampel yang berada di bawah.

3. Lamanya waktu penimbunan juga turut mempengaruhi keefektivan buah Maja. Sampel yang ditimbun dalam buah Maja selama 4 x 24 jam terlihat lebih bersih dibandingkan sampel yang hanya ditimbun selama 1 x 24 jam.

V.2 Saran

Penelitian ini hanya untuk menguji tingkat keefektivan antara buah Maja yang telah berumur tua dan yang masih berumur muda dengan melihat hasil penimbunannya. Perbedaan hasil penimbunan antara kedua jenis buah Maja tersebut tentunya berkaitan dengan senyawa kimia yang ada di dalamnya. Oleh kerena itu, kandungan senyawa kimia serta perbedaan kuantitasnya antara buah Maja tua dan muda perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga diperoleh penjelasan yang lebih ilmiah untuk mendukung hasil penelitian sebelumnya.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015, Hal 81-87

Daftar Pustaka

Anonim. 2013. Buah Maja. http://klinikpengobatanalami. wordpress.com diakses tanggal 27 Oktober 2014. Anonim. Aegle marmelos (L) Corr. http://www.e-bookspdf.

org diakses tanggal 27 Oktober 2014.

Anonim. Mengenal Kandungan Kimia Buah Maja. http:// tipspetani.blogspot.com diakses tanggal 27 Oktober 2014.

Anonim. 2014. Besi. http://www.id.wikipedia.org diakses tanggal 30 Oktober 2014.

Anonim. 2014. Karat. http://www.id.wikipedia.org diakses tanggal 30 Oktober 2014.

Badan POM RI. 2008. Aegle marmelos (L.) Correa. http:// www.e-bookspdf.org diakses tanggal 27 Oktober 2014.

Cahyandaru, Nahar. 2013. Konservasi Cagar Budaya Logam. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Tenaga Teknis Konservasi Tingkah Menengah di Balai Konservasi Borobudur tanggal 21 Agustus – 10 September 2013. Magelang : Balai Konservasi Borobudur.

Hamilton, DL. 1999. Methods of Conserving Archaeological Material from Underwater Sites. Conservation Research Laboratory. Texas : A & M University.

Hariana, Arief. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Depok : Penebar Swadaya.

Kartika, Rini; Sylvia Sjam; dan Untung Surapati. Bioaktivitas Ekstrak Agerathum conyzoidesz, Chromolaeana odorata, Aegle marmelos, dan Gliricidia sepium terhadap Penyakit Busuk Daun (Phytophthora palmivora) pada Tanaman Kakao di Kabupaten Bantaeng. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin Makassar.

Rismayani. 2013. Manfaat Buah Maja sebagai Pestisida Nabati untuk Hama Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella). Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 19 Nomor 3, Desember 2013.

(14)

Jurusan Arkeologi Universitas Jambi email: didi_roten@yahoo.co.id

Abstrak: Modernisasi menjadi hal yang sulit dihindari suatu bangsa yang tergolong sedang berkembang, terlebih

Indonesia yang masyarakatnya sangat terbuka. Semangat modernisasi cenderung diterjemahkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang secara sadar atau tidak telah banyak mengorbankan Cagar Budaya di Indonesia, termasuk di wilayah Sulawesi Tenggara. Ditinjau dari sudut arkeologis, Provinsi Sulawesi Tenggara tergolong sebagai wilayah berkembang dengan budaya material berbentuk cagar budaya dalam jumlah yang banyak dan beragam. Berdasarkan data terakhir pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, tercatat sebanyak ±137 cagar budaya, dimana hanya ±14 cagar budaya yang ber-SK. Cagar budaya yang belum di-SK-kan ini tentu rentan terhadap pengaruh-pengaruh negatif modernisme yang cenderung merusak cagar budaya demi beragam kepentingan. Kondisi ini memunculkan tiga pertanyaan penting mengenai kondisi pelestarian cagar budaya di wilayah Sulawesi Tenggara, yakni mengenai persoalan pelestarian, tantangan dan harapan pelestarian, serta pencarian konsep modernisasi infrastruktur yang sejalan dengan pelestarian cagar budaya di Sulawesi Tenggara. Jawaban atas ketiga pertanyaan yang bersifat mendasar tersebut dapat menjadi cerminan dan bahan pemikiran untuk wilayah lain yang juga mengalami persoalan yang hampir sama.

Kata kunci: pelestarian, cagar budaya, modernisme, identitas

Abstract: Modernization becomes mostly inevitable in a developing country, particularly in Indonesia, whose

people are very open-minded. The spirit of modernization tends to be translated in the form of infrastructure GHYHORSPHQWDQGFRQVFLRXVO\RUQRWLWKDVVDFULÀFHG&XOWXUDO3URSHUW\ &% LQ,QGRQHVLDLQFOXGLQJLQ6RXWKHDVW 6XODZHVL)URPDUFKDHRORJLFDOSRLQWRI YLHZ6RXWKHDVW6XODZHVL3URYLQFHLVFODVVLÀHGDVDGHYHORSLQJDUHDZLWK the cultural heritage material shaped in large and varied in numbers. Based on the latest data from the Preservative Institution of Cultural Property (Balai Pelestarian Cagar Budaya-BPCB) Makassar, at least 137 cultural heritage &% VLWHVDUHUHFRUGHGZKLFKRQO\DWOHDVW&%KDVEHHQGHVLJQDWHGDVRIÀFLDO&%7KHFXOWXUDOKHULWDJHVWKDW DUHVWLOOQRWRIÀFLDODUHFHUWDLQO\VXVFHSWLEOHWRQHJDWLYHLQÁXHQFHVRI PRGHUQLVPZKLFKWHQGVWRGDPDJHWKHP for the sake of diverse interests. This condition raises three important questions about the state of preservation of the cultural heritage in Southeast Sulawesi, namely the issue of conservation, the preservation of challenges and expectations, and the search for the modernization concepts of infrastructure in line with the preservation RI FXOWXUDOKHULWDJHLQ6RXWKHDVW6XODZHVL7KHDQVZHUVDUHWKHIXQGDPHQWDOZKLFKFRXOGEHWKHUHÁHFWLRQDQG inspiration for other regions that also have similar problems.

Keywords: Conservation, Cultural Heritage, Modernism, Identity.

A. Pendahuluan

Dunia internasional kerap melihat Indonesia sebagai negara kaya budaya dengan tinggalan material yang luar biasa melimpah. Terbukti dari banyaknya ahli dari berbagai negara dengan beragam latar belakang keilmuan menjadikannya sebagai pusat kajian penelitian. Kondisi ini bukanlah barang baru, namun telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Ratusan hasil kajian para peniliti asing tentang budaya dan material culture Indonesia telah dimuat dalam jurnal-jurnal internasional. Keberadaannya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, dari yang bersifat benda, bangunan, struktur, situs hingga dalam bentuk kawasan. Kekayaan berwujud cagar budaya

ini hidup dan mati di tengah-tengah masyarakat yang peduli atau pun sebaliknya. Masyarakat yang memiliki kepedulian memandang cagar budaya sebagai pusaka dan identitas. Sebagian yang lain melihatnya sebatas benda dan bangunan kusam dari masa lalu. Sadar atau tidak, nasib cagar budaya bangsa ini turut ditentukan oleh kedua sudut pandang yang saling berhimpitan di antara lajunya arus modernisasi dan kuatnya pengaruh faktor ekonomi.

Modernisasi menjadi hal yang paling tidak bisa dihindari oleh suatu bangsa yang tergolong sedang berkembang, terlebih seperti Indonesia yang masyarakatnya sangat terbuka pada hal-hal baru. Pengertian modernisasi itu sendiri cukup luas, misalnya Julian Thomas (2004) dalam “Archaeology and

(15)

Modernity” menganggap bahwa modernitas merupakan gambaran peradaban suatu bangsa pada kurun waktu tertentu, terutama dalam cara pandang atau mindset masyarakatnya, serta bagaimana sistem kehidupan sosialnya. Modernisasi secara teori sosial, lebih dimaknai sebagai proses perubahan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern dengan beberapa ciri yaitu; a). berkembangnya pemikiran rasional, didukung kemampuan dalam bidang teknologi dan pengetahuan umum yang memungkinkannya ada inovasi dan kemajuan ilmu pengetahuan, b). munculnya perdagangan dari kemajuan teknologi, dan pembangunan kota-kota, c). keutamaan individu di atas komunitas, kebebasan individual, tanggung jawab individual serta hak dan kewajibannya, d). peralihan dari masyarakat yang berdasar pada kelompok kekerabatan dan komunitas lokal ke masyarakat yang mendasarkan hubungannya pada keterikatan individual dan kelompok fungsional yang diatur dalam sistem politik, birokrasi, dan kewarganegaraan, e). pengadopsian model-model kultural, sistem pemikiran yang mendunia, f). meningkatnya keterkaitan dengan masyarakat di seluruh dunia baik dalam hal ideologi, pemahaman, solidaritas, sekaligus semakin jelasnya posisi seseorang di dunia (Pelras, 2005: 40).

Semangat modernisasi cenderung diterjemahkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur, dan hal semacam ini telah banyak menimpa kota-kota di Indonesia yang semakin dipenuhi bangunan modern beragam rupa. Pembangunan mall, hotel, serta fasilitas pendukung modernitas lainnya semakin marak bermunculan tanpa dilandasi dengan pertimbangan yang baik. Segala hal yang berbau ‘lama’ dianggap kurang mencerminkan semangat dalam mewujudkan masyarakat modern. Bentuk lama dianggap tidak mewakili era baru dengan segala hal yang baru di dalamnya. Kusno (2009), mengartikan kata ‘pembangunan’ secara luas menyerupai teori modernisasi yang mencoba memberi identitas baru kepada generasi baru dalam bentuk pengembangan infrastruktur. Sadar atau tidak, pembentukan identitas baru untuk generasi baru melalui bangunan-bangunan modern ini telah banyak mengorbankan bangunan cagar budaya di Indonesia. Sebut saja misalnya penghancuran eks-Kodim Salatiga dan eks-Bioskop Hebedi Pangkal Pinang pada tahun 2010 diganti menjadi pusat perbelanjaan modern (kompas. com. online: 5 Mei 2015). Kasus serupa terus terjadi di

berbagai kota, termasuk Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pelestari cagar budaya (CB) juga tidak bisa luput dari persoalan modernisasi yang kurang pro-cagar budaya. Tercatat beberapa kasus penghancuran Bangunkan Cagar Budaya (BCB) telah terjadi di Yogyakarta, misalnya kasus bangunan Mardi Wuto sebagai bagian dari Rumah Sakit Mata Dr. Yap, Pasangrahan Ambarukmo, maupun kasus terbaru yang menimpa SMA 17 Yogyakarta.

Proses moderninasi yang kurang pro-cagar budaya ini tidak hanya terjadi di bagian Indonesia Barat saja, namun juga pada kota-kota di wilayah Indonesia Timur, termasuk wilayah Sulawesi Tenggara. Provinsi 6XODZHVL 7HQJJDUD GHQJDQ EHQWXN JHRJUDÀV \DQJ terbagi antara daratan utama dan kepulauan memiliki keanekaragaman etnis dan hasil budaya material dalam jumlah yang banyak dan beragam. Daratan utamanya terbagi dalam beberapa kabupaten/kota yakni; Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kolaka, Kolaka Utara, Bombana, dan Kota Kendari. Adapun wilayah kepulauan secara garis besar dibagi dalam gugus kepulauan Wakatobi (Wanci, Kaledupa, Tomia, Binongko), Buton, Wawonii, dan Muna. Wilayah Sulawesi Tenggara yang begitu luas dihuni beberapa kelompok etnis; Muna, Tolaki, Wolio, Ciacia, Wanci, dan juga etnis pedatang seperti Bugis, Makasar, Jawa dan Bali. Pernyataan ini kemudian diperkuat oleh data hasil penelitian yang dilakukan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makasar selaku instansi yang membidangi pelestarian di wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat. Beradasarkan data terahir yang dihimpun pihak BPCB Makasar, tercatat sebanyak 137 Cagar Budaya (terdiri dari cagar budaya berbentuk benda, bangunan, struktur, situs, maupun kawasan) yang tersebar diseluruh wilayah Sulawesi Tenggara. Cagar Budaya ini menempati beragam lokasi (di kota, desa, hutan, maupun ladang warga), dengan NRQGLVL ÀVLN \DQJ EHUDJDP MXJD WHUDZDW WLGDN WHUDZDW rusak, maupun rata dengan tanah (Laporan Penelitian BPCP Makasar, 2013). Dari jumlah keseluruhan cagar budaya yang ada di Sulawesi Tenggara (137 CB), baru ±14 CB yang telah ditetapkan dengan surat keputusan (SK) sebagai cagar budaya. Kondisi ini tentu cukup mengkhawatirkan keamanan dan kelestarian CB yang belum di-SK-kan sebagai warisan budaya, apalagi mengingat tengah maraknya moderninasi infrastruktur di wilayah Sulawesi Tenggara. Di sisi lain, BPCP Makasar Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015, Hal 4-16

(16)

selaku instansi yang bertanggung jawab akan kelestarian CB, dihadapkan pada beberapa kendala, seperti kendala JHRJUDÀV NXDQWLWDV 6'0 GDQ NXUDQJQ\D NRODERUDVL serta komunikasi dengan dinas terkait yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara. Beberapa hal mendasar ini kemudian memunculkan tiga pertanyaan penting mengenai kondisi pelestarian CB di wilayah Sulawesi Tenggara, yakni;

1. Apa saja yang menjadi persoalan pelestarian CB di Sulawesi Tenggara,

2. Apa yang menjadi tantangan dan harapan pelestarian CB di Sulawesi Tenggara,

3. Bagaimana seharusnya konsep modernisasi infrastruktur yang sejalan dengan pelestarian CB di Sulawesi Tenggara.

Jawaban atas ketiga pertanyaan yang bersifat mendasar tersebut, selanjutnya akan diuraikan satu persatu dalam tulisan ini.

B. Persoalan Pelestarian Cagar Budaya di wilayah

Sulawesi Tenggara

Pelestarian CB di Indonesia telah diupayakan dengan berbagai cara, baik dalam bentuk tindakan langsung (konservasi) maupun melalui jalur hukum (regulasi). Keduanya bersifat saling terkait dan mendukung satu sama lain. Pelestarian dalam bentuk konservasi diupayakan melalui tindakan langsung yang bersifat teknis dan metodologis, sedangkan melalui regulasi lebih pada penetapan peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan pemberian sanksi bagi yang melanggar. Sejarah telah mencatat bawah kedua upaya ini telah dimulai jauh sebelum bangsa ini merdeka. Tepat di tahun 1862 pemerintah kolonial mendirikan Koninklijke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen, yakni VHEXDK OHPEDJD GLELGDQJ HWQRJUDÀ VHQL GDQ EHQGD antik, sekaligus berperan sebagai museum yang dibentuk untuk kepentingan penelitian dan pelestarian cagar budaya wilayah jajahan (Supardi, 2004, Tanudirjo, 2003). Pihak kolonial juga mengeluarkan Monumenten Ordonnantie (MO) No.19 Tahun 1913 sebagai landasan hukum pelestarian cagar budaya. Pada perkembangannya, MO 1931 digantikan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Dominasi peran negara dalam upaya pelestarian

warisan budaya pada UU No. 5 Tahun 1992, menjadi salah satu alasan untuk kembali menyempurnakan undang-undang CB yang kemudian melahirkan UU No. 11 Tahun 2010 (Tanudirjo, 2003). Ruang lingkup CB dalam undang-undang baru juga tidak terbatas hanya pada benda buatan manusia, bergerak, atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, akan tetapi semakin luas sehingga semakin melindungi warisan budaya di Indonesia yang begitu beragam. Hal ini jelas terlihat pada Pasal 1, UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, menjelaskan bahwa yang dimaksud Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Konsep dinamis yang dihadirkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dianggap cukup ideal dalam upaya pelestarian warisan budaya, namun di sisi lain konsep ini juga menghadirkan banyak hal baru yang cukup sulit untuk dipahami oleh masyarakat luas (Rahardjo, 2013). Beberapa hal baru yang cukup mencolok seperti misalnya sistem zonasi, model pemanfaatan yang melibatkan masyarakat, serta kewajiban pembentukan tim ahli cagar budaya dalam menentukan nilai penting dan usulan penetapan CB kepada pemerintah daerah. Persoalan lain yang cukup menimbulkan banyak permasalahan pelestarian khususnya di daerah adalah terkait belum diterbitkanya Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No. 11 Tahun 2010 sebagai pedoman teknis dalam pelaksanaan pelestarian. Kasus terakhir terjadi di Kabupaten Lumajang – Provinsi Jawa Timur, dimana Peraturan Daerah (Perda) Cagar Budaya yang telah disahkan belum dapat berfungsi karena Peraturan Bupati (Perbup) selaku pedoman teknis belum dapat dikeluarkan dengan alasan menunggu keluarnya PP Undang-Undang CB No. 11 Tahun2010 (pedomannusantara.com. online: 5 Mei 2015).

Kasus yang terjadi di Lumajang hanyalah kepingan kecil dari persoalan besar pelestarian CB di Indonesia. Persoalan ini juga tidak mengenal kota besar ataupun kecil. Kota besar sekelas Semarang ternyata juga terlilit persoalan pelestarian Kawasan Kota Lama

(17)

Semarang (KKLS), mulai dari masalah visi misi KKLS, meluapnya air laut (rob), hingga rumitnya masalah sosial yang terjadi disekitar KKLS (Kriswandhono, 2013). Wilayah lain yang juga mengalami persoalan pelestarian adalah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sulawesi Tenggara). Wilayah Sulawesi Tenggara mulai dikenal potensi CB sejak era tahun 70-an, yakni dengan ditemukannya rock art/lukisan dinding goa pada goa-goa karst di Pulau Muna. Warisan budaya dari masa lalu yang melimpah di wilayah Sulawesi Tenggara tidak terbatas pada tinggalan masa prasejarah saja, namun terdapat beragam potensi lainnya mulai dari benteng tradisional, mesjid kuno, kawasan kota lama, bangkai kapal karam, serta tinggalan fasilitas pertahanan militer Jepang. Banyak di antara CB ini dalam kondisi rusak, terancam rusak maupun telah rata dengan tanah.

Secara umum, persoalan pelestarian dan rusaknya CB di Sulawesi Tenggara muncul dari tiga sumber utama yakni; 1) pemerintah/instansi terkait, 2) masyarakat, dan 3) lingkungan. Persoalan yang bersumber dari pemerintah lebih dikarenakan kurangnya kontrol/perhatian instansi terkait dibidang pelestarian (BPCB Makassar, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi dan Kab/Kota) dalam merespon kasus kerusakan/penghancuran CB yang terjadi di Sulawesi Tenggara. Adapun sumber persoalan yang muncul dari masyarakat lebih kepada kurangnya pemahaman/edukasi mengenai warisan budaya, atau tidak/belum mendapatkan penyuluhan terkait CB. Sedangkan sumber kerusakan akibat alam/ lingkungan bersifat kodrati/tidak dapat dihindari, namun bisa diperlambat dan dikurangi melalui jalan konservasi. Ketiga sumber kerusakan CB tersebut pada akhirnya memunculkan beberapa persoalan pelestarian cagar budaya di wilayah Sulawesi Tenggara yang apabila dikelompokkan berdasarkan penyebab kerusakannya adalah; 1) penghancuran, 2) vandalisme, 3) salah persepsI dalam tindakan konservasi, serta 4) penelantaran CB. Pembahasan keempat penyebab kerusakan CB di Sulawesi Tenggara selanjutnya dipaparkan pada uraian berikut. 1. Penghancuran CB

Kasus penghancuran bangunan cagar budaya (BCB) di wilayah Sulawesi Tenggara lebih cenderung terjadi di perkotaan, baik bangunan tunggal maupun yang tergabung dalam satu kawasan. Kecenderungan ini muncul dikarenakan sifat-sifat dari Kota Kendari

itu sendiri; padat penduduk dengan beragam latarbelakang, serta sangat tertarik dengan budaya baru atau modernisme. Kota Kendari beberapa tahun belakangan ini terlihat sibuk dengan gaya hidup baru dan modernisme. Kecenderungan ini ditandai pada maraknya pembangunan infrastruktur pendukung modernisasi seperti mall, hotel, ruko, café, maupun fasilitas lainnya. Bangunan lama yang dianggap tidak modern dan ketinggalan zaman digantikan dengan bangunan baru. Sulit untuk memungkiri bahwa apa yang terjadi di Kendari juga hampir terjadi diseluruh kota-kota lain di Indonesia. Daud Aris Tanudirjo selaku pakar pelestarian CB di Indonesia melihat bahwa, masyarakat kota dengan ciri kehidupan materialis dan konsumtif, sumberdaya yang memiliki nilai sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dengan mudah dapat dikorbankan untuk kepentingan komersial semata. Karena itulah sumberdaya budaya sangat rawan menghadapi kehancuran, dengan mengatasnamakan dinamika perkembangan kota (Tanudirjo, 2006).

Tepat pada 7 Februari 2015, terjadi penghancuran Kota Lama Kendari hingga rata dengan tanah dengan alasan pembangunan jembatan Bahteramas yang menghubungkan Kecamatan Kendari dengan Kecamatan Abeli. Kedua kecamatan ini dipisahkan oleh teluk Kendari (teluk Vosmaer), walaupun demikian keduanya tetap terhubung melalui jalan by pass dua arah yang terbentang sepanjang pesisir teluk Kendari. Jarak tempuhnya juga relatif singkat, yakni ±20 menit dengan tingkat kemacetan mendekati zero. Alasan penghancuran kawasan kota lama ini jelas berdalih peningkatan PAD dan ekonomi masyarakat melalui akses penghubung yang baik. Mega proyek jembatan Bahteramas senilai 540 Milyar, apabila dilihat dari tiga landasan sederhana; 1) jumlah penduduk Kota Kendari ±315 ribu jiwa dengan tingkat kemacetan lalu lintas yang rendah, 2) telah tersedianya jalur darat penghubung dua kecamatan, 3) tersedianya lokasi lain di sekitar kota lama yang bisa dijadikan lokasi pembangunan jembatan, tentu tidak perlu menghancurkan kawasan bersejarah Kota Lama Kendari seluas ±1,5 ha dengan ±81 bangunan kolonial di dalamnya. Disebut kota lama, karena memang kawasan inilah yang menjadi cikal bakal kota Kendari dengan segala fasilitasnya (loji, pelabuhan, gudang VOC, pecinan, bioskop pertama Kendari, sekolah cina, dll) yang berdasarkan arsip sejarah mulai dibangun Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015, Hal 4-16

(18)

menjadi kota pelabuhan dagang dan pangkalan militer oleh Vosmaer pada tahun 1832 (Rabani, 2010: 60).

Penghancuran kawasan kota lama ini cukup mengejutkan masyarakat Kota Kendari khususnya komunitas yang peduli dengan sejarah dan cagar budaya. Beberapa komunitas pelestari telah berupaya melakukan tindakan negoisasi dengan pihak pemerintah, namun tidak membuahkan hasil. Musibah ini terjadi bukan karena tidak ada kelompok masyarakat yang peduli dan mencoba mengadvokasi, namun lebih dikarenakan tidak adanya kajian akademis yang memadai serta rekomendasi dari Tim Ahli CB yang mampu menguatkan pernyataan bahwa kawasan ini adalah kawasan bersejarah dan bangunan cagar budaya yang harus ditetapkan/di-SK-kan pemerintah daerah sebagai kawasan CB. Langkah ini sejalan dengan amanat UU No. 11 Tahun 2010, BAB IV pasal 28, 29, dan 30 mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mendaftarkan, menetapkan serta memeringkat artefak/bangunan/kawasan yang diduga/ berpotensi sebagai CB sesuai rekomendasi Tim Ahli CB. Akibat dari kelalaian ini, kini Kota Lama tinggal nama, dan sebentar lagi akan digantikan tiang-tiang pancang jembatan raksasa. Apa sebaiknya wilayah ini juga harus berganti nama? Tidak lagi kita sebut kota lama, tapi kota jembatan baru.

2. Vandalisme pada CB

“Andi, Iwan, Anto pernah kesini” tulisan semacam ini, atau dalam bentuk lain tentu pernah kita lihat pada candi, benteng, baterai, pillbox Jepang maupun Bangunan Cagar Budaya (BCB) lainnya. Para ahli psikologi beranggapan bahwa tindakan ini adalah

bentuk dari pernyataan eksistensi diri pelaku pencoretan (vandalism) kepada orang lain. Di wilayah Kota Kendari terdapat beberapa pillbox (tempat perlindungan dan menembak berukuran kecil yang dibangun pasukan Jepang) dan baterai (bangunan pertahanan berukuran kecil yang berdiri sendiri dengan dilengkapi meriam/ senjata) yang mengalami vandalism. Pillbox dan baterai ini tersebar di wilayah Lepo-Lepo, Jl Ahmad Yani, dan Jl. Made Sabara, Kelurahan Mata, dan Ambepua. Jumlah pasti pillbox dan baterai di wilayah Kota Kendari belum dapat diketahui, namun diperkirakan lebih dari 100 yang tersebar di beberapa lokasi. Pada beberapa dindingnya banyak terdapat coretan-coretan baik dari spidol, pilox, maupun cat dengan beragam kalimat.

Kecenderungan terjadinya vandalisme pada beberapa pillbox dan baterai di wilayah Kota Kendari kemungkinan besar dipicu karena kurangnya pengawasan, perhatian, pengamanan terhadap CB. Sejauh ini, pillbox dan baterai belum didaftarkan/ditetapkan sebagai CB. Kemungkinan tindakan vandalism akan terus terjadi dan semakin mengotori CB. Langkah kongkrit pelestarian perlu segera dilakukan dengan mendata, mendaftarkan, mengkaji, merekomendasikan melalui Tim Ahli CB dan menetapkannya melalui SK sebagai CB oleh pemerintah Kota Kendari.

3. Salah persepsi dalam konservasi CB

‘Salah persepsi’ mungkin kata yang tepat untuk mewakili ketidakpahaman, rendahnya pengetahuan, salah metode, dan terjadinya pelanggaran prinsip dan etika konservasi yang mengakibatkan kerusakan baik sebagian maupun keseluruhan pada CB. Kasus seperti ini telah

Foto 2.Baterai Mata di Kelurahan Mata-Kota Kendari. Foto 1. Penghancuran Kendari Teater di Kawasan Kota Lama

(19)

kemungkinan dalam beberapa tahun kedepan bangunan ini juga akan diratakan dan digantikan bangunan baru. Contoh kasus lainnya dapat ditemui di Pulau Wawonii, dan Pulau Muna yang banyak memiliki benteng tradisonal (±15 benteng) yang terlantar hingga rimbun tertutup alang-alang dan semak belukar. Penanggulan penyelamatan serta penelitian perlu segera dilakukan demi kelestarian CB tersebut.

5. Kurang Perawatan

Terdapat ±6 goa prasejarah yang menyimpan potensi berupa rock art di wilayah Pulau Muna yang pada tahun 2003 telah di-SK-kan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika dengan nomor SK: KM.8/ PW.007/MKP-03, tanggal 4 Maret 2003. Kondisi terkini situs terlihat kurang perawatan, lemah pengawasan, dan rawan vandalisme serta bentuk pengerusakan lainnya. 7LQJNDW NHOHPEDEDQ \DQJ WLQJJL DNWLÀWDV PDV\DUDNDW dan pengunjung yang tidak terkontrol, serta belum pernah dilakukannya tindakan konservasi pada rock art, berakibat semakin memudarnya rock art pada beberapa goa. Pelestarian situs tidak selesai hanya dengan menempatkan Jupel (juru pelihara) di situs, namun perlu tindakan pengawasan rutin, konservasi, penelitian lanjut, serta edukasi kepada publik mengenai keberadaan dan sifat situs yang rentan terhadap kerusakan.

C. Tantangan dan Harapan Pelestarian Cagar

Budaya di Sulawesi Tenggara

Provinsi Sulawesi Tenggara ditinjau dari letak JHRJUDÀVQ\D WHSDW EHUDGD GL MDOXU SLQWX PDVXN PHQXMX kawasan Indonesia Timur. Posisi strategis ini juga disadari banyak terjadi, termasuk di wilayah Provinsi Sulawesi

Tenggara. Adapun contoh kasusnya dapat dilihat pada makam Raja Sao-Sao di Kota Kendari, dan makam Raja Lakidende di Unahaa Kabupaten Konawe. Kedua makam raja yang memiliki nilai penting kesejarahan, identitas, maupun arkeologis ini telah mengalami perubahan bentuk \DQJ VDQJDW VLJQLÀNDQ \DQJ GLODNXNDQ ROHK SHPHULQWDK setempat dengan dalih pelestarian. Masalah tidak akan muncul apabila konservasi dilakukan oleh pihak yang kompeten, sesuai metode, prinsip dan etika konservasi CB, namun justru sebaliknya hingga mengubah bentuk asli makam secara permanen. Kurangnya koordinasi antara stakeholder bidang terkait serta belum terdaftar dan ditetapkannya kedua makam ini pada registrasi nasional sebagai CB menjadi pemicu terjadinya salah persepsi dalam konservasi kedua CB yang cukup penting bagi masyarakat Sulawesi Tenggara.

4. CB yang ditelantarkan

Di sekitar kawasan kota lama Kendari akan banyak kita jumpai bangunan dari masa kolonial dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan, misalnya, bekas gudang pelabuhan, sekolah Cina, dan rumah jabatan SHUWDPD *XEHUQXU 6XODZHVL 7HQJJDUD 7DPSLODQ ÀVLN bangunan ini dalam kondisi kotor dan tidak terurus. Bangunan-bangunan ini dalam kondisi tidak digunakan, atau tidak dihuni. Sehingga semakin mempercepat kerusakan pada bangunan dan terlihat kusam. Secara kontekstual, bangunan-bangunan ini erat kaitannya dengan keberadaan kota lama Kendari sebagai cikal bakal lahirnya kota modern Kendari seperti saat ini. Apabila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, maka tidak menutup

Foto 3. Makam Raja Lakidende,di Unahaa Kabupaten Konawe. Foto 4.Gudang pelabuhan. Dok: Balar Makassar, 2012

(20)

sepenuhnya oleh Vosmaer, sehingga meminta kepada pemerintah pusat Hindia-Belanda di Batavia untuk menjadikan Teluk Kendari sebagai pelabuhan dagang dan pangkalan militer. Dimasa pendudukan Jepang, wilayah ini juga dianggap memiliki banyak aset penting sehingga militer Jepang banyak membangun lubang pertahanan, pillbox, lapangan terbang, baterai, dan fasilitas militer lainnya di wilayah Sulawesi Tenggara. Latarbelakang historis ini menjadikan wilayah Sulawesi Tenggara kaya akan tinggalan kolonial Belanda-Jepang dalam beragam bentuk artefak. Beranjak ke masa yang lebih jauh ke belakang, wilayah Sulawesi Tenggara oleh beberapa ahli prasejarah dianggap sebagai jembatan persebaran ras dan budaya Austronesia menuju kawasan Indonesia Timur. Temuan di lapangan memperlihatkan adanya kemiripan-kemiripan pada seni lukis batu cadas atau rock art, teknik dan motif hias gerabah, pola-pola penguburan, serta pengolahan bahan makanan berbahan sagu. Sebaran goa prasejarah dapat kita temui mulai dari wilayah Konawe hingga Konawe Utara, Kolaka hingga ke Bombana, Pulau Muna hingga Pulau Wawonii. Berdasarkan carbon dating atau uji karbon untuk menentukan usia penghunian yang pernah dilakukan pihak Balai Arkeologi Makassar, diperkirakan goa-goa ini mulai dihuni pada kurun waktu 17.000 hingga 8000 BP (LPA Balar Makassar, 2012). Sebagian besar dari ratusan situs, artefak, maupun bangunan cagar budaya yang terdapat di wilayah Sulawesi Tenggara telah mengalami kerusakan, bahkan banyak diantaranya mengalami kepunahan. Beberapa persoalan yang pada bab sebelumnya penulis paparkan hanyalah contoh kecil dari gambaran umum permasalahan pelestarian di wilayah Sulawesi Tenggara, namun fakta di lapangan ada ratusan CB yang terancam rusak dan punah. Kondisi ini tercipta oleh beberapa faktor yang bersumber dari pemerintah, masyarakat, akademisi, atau dengan kata lain tercipta dari kita. Tentu ini menjadi tantangan besar untuk kita pecahkan dan tuntaskan bersama-sama demi terciptanya kelestarian warisan budaya bangsa di wilayah Sulawesi Tenggara. Berpijak pada pola-pola penyebab kerusakan CB dan kondisi sosial dan politik di Sulawesi Tenggara, maka dapat dirumuskan beberapa tantangan yang perlu dituntaskan bersama, yakni;

1. Undang-undang CB/Perda CB/PP/Perwal

Pasal 96 UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, memberikan kewenangan yang cukup besar

kepeda pemerintah daerah untuk mengelola CB yang dimilikinya. Menindaklanjuti amanat UU CB tersebut, maka pada tahun 2013 Pemerintah Kota Kendari mengeluarkan Perda Cagar Budaya No. 21 Tahun 2013 tentang Cagar Budaya Kota Kendari. Beragam aturan mengenai pelestarian CB tertuang dalam pasal-pasalnya dan cukup mengayomi, melindungi, dan melestarikan CB di Kota Kendari. Beberapa pasal diantaranya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota (Perwal) sebagai pedoman teknis lapangan. Dua tahun berselang setelah UU No.21 Tahun 2013 disahkan, Perwal yang mengatur pedoman pelaksanaan teknis belum dikeluarkan. Kondisi ini penulis ibaratkan seperti macan ompong yang tidak bisa berbuat apa-apa, sebatas hanya jadi pajangan dan bahan diskusi. Dilain sisi, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara hingga saat ini belum mengeluarkan Perda CB setingkat provinsi yang seyogyanya menjadi payung dan contoh bagi pemerintah daerah Kab/Kota di Sulawesi Tenggara. Persoalan ini bersifat sangat prioritas, juga mendesak sehingga tidak ada kata lain selain harus segara kita tuntaskan bersama.

2. Tim Ahli CB

UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pada pasal 31 menginstruksikan untuk membentuk Tim Ahli CB guna melakukan pengkajian terhadap objek yang diduga CB untuk selanjutnya direkomendasikan kepada pemerintah daerah dan ditetapkan melalui SK sebagai CB. Perda CB Kota Kendari BAB IV Pasal 4, ayat (2) untuk melaksanakan tugasnya, pemerintah daerah berwenang; membentuk Tim Ahli CB.Selanjutnya pada BAB V Pasal 5, lebih dipertegas lagi mengenai pembentukan Tim Ahli CB. Peran penting tim ahli dalam pelestarian CB terletak pada keahlian dan pengetahuannya dalam bidang CB sehingga dapat membedakan yang mana CB atau bukan, dan mampu melihat nilai-nilai penting yang terkandung dalam CB, apakah bersifat nasional, skala provinsi, atau hanya kabupaten/kota. Walaupun dalam Perda No. 21 Tahun 2013 telah diinstruksikan membentuk Tim Ahli, namun hingga saat ini tim itu belum ada, sehingga banyak CB yang belum terlindungi dengan SK Cagar Budaya. Dari hasil survei CB yang dilakukan penulis di wilayah

(21)

minimnya SDM, minimnya anggaran edukasi mengenai CB, tidak terdistribusikannya buku UU No. 11 Tahun 2010 pada masyarakat di daerah, maupun belum muncul itikad baik dan keseriusan dari stakeholder terkait.

Contoh kasus kurang teredukasinya masyarakat di daerah dapat dilihat pada masyarakat Kecamatan Wiwirano Kabupaten Konawe Utara yang penulis kunjungi pada Februari 2015. Kecamatan Wiwirano dengan potensi goa-goa karst Wawontoahu (berjumlah ±90 goa) yang pernah dimanfaatkan masyarakat pra-sejarah, banyak menjarah tempayan, guci naga, keramik Vietnam dan Cina, gelang perunggu yang kemudian dijual kepada kolektor. Lemahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat Wiwirano mengenai CB berikut sanksinya menjadi faktor utama rusaknya situs pra-sejarah di kawasan goa karst Wawontoahu. Sekali lagi kita diingatkan betapa pentingnya edukasi CB pada masyarakat dan kita juga ditegur bahwa kegiatan-kegiatan arkeologi publik di Indonesia belum berjalan dengan baik. 5. Upaya-upaya riset dan konservasi CB.

Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara tergolong kaya akan CB, baik dari masa prasejarah, Islam, maupun kolonial. Penelitian terakhir yang dilakukan penulis di wilayah Lanud Wolter Mongonsidi Kecamatan Ranometo seluas 1500 ha, mengungkap kawasan pertahanan Jepang dengan fasilitas militer ±70 temuan (pillbox, baterai, bunker, dan fasilitas pendukung militer lainnya). Kawasan militer Jepang ini sebelumnya telah dikunjungi Balar Makassar di tahun 2012 dengan hasil ±25 temuan (pillbox, baterai, bunker dan fasilitas lain). Sejauh pengamatan penulis, masih banyak fasilitas militer Jepang lainnya yang tersembunyi dibalik lebatnya hutan Ranemeeto. Kurangnya penelitian di wilayah Sulawesi Tenggara karena tidak didukung oleh SDM yang memadai serta minimnya perhatian pemerintah daerah pada kajian-kajian arkeologi, dan hal ini juga berlaku pada ranah konservasi. Leang Kabori, Wabose, Metanduno, dan Toko, adalah goa prasejarah yang cukup terkenal diwilayah Sulawesi Tenggara dengan lukisan-lukisan EHUZDUQDFRNODW\DQJEDQ\DNPHQDPSLONDQDNWLÀWDV sehari-hari leluhur masyarakat Sulawesi Tenggara dimasa lalu. Kurangnya penjagaan, kelembaban Sulawesi Tenggara, terdapat ±200 CB yang memiliki

nilai penting skala provinsi, namun satu pun belum ada yang terdaftar dan di-SK-kan. Kondisi CB tanpa SK ini apabila tidak segera ditindaklanjuti akan berdampak pada pengrusakan, penghancuran, pencurian, dan kepunahan karena tidak terawat. 3. Perencanaan Rencana Tata Ruang Wilayah yang

pro-pelestarian CB

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Pedoman Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW Nasional), penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang ini wajib dilakukan seluruh daerah provinsi dan kabupaten kota di Indonesia sesuai pedomannya, yakni Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009. Isi dari Pedoman RTRWP (tingkat provinsi) juga mengatur mengenai kawasan strategis meliputi kawasan budaya yang mengandung CB. Kasus dibeberapa daerah termasuk wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, RTRWP hingga hari ini masih dalam proses penyusunan. Harapannya para pembuat RTRWP Sulawesi Tenggara dalam perencanaan kawasan budaya dengan tinggalan CB telah mengkonsultasikannya kepada pihak yang kompeten mengenai kawasan CB terkait perlindungan, pengembangan dan pemanfaatannya. Apabila belum, diharapkan mengkonsultasikannya kembali sehingga RTRWP dan RTRW/K/K di seluruh daerah Sulawesi Tenggara benar-benar pro-pelestarian CB yang mampu melindungi, melestarikan, memanfaatkan, dan mengembangkan CB sesuai amanat UU No. 11 Tahun 2010.

4. Edukasi masyarakat di daerah mengenai CB

Pengalaman penulis dalam penelitian arkeologi kebeberapa wilayah kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara menyimpulkan, bahwa rata-rata masyarakat di daerah tidak mengetahui dan memahami apa itu CB, UU No. 11 Tahun 2010, nilai penting CB, sanksi pelanggaran terhadap CB, maupun upaya pelestarian dan pemanfaatan yang bisa dilakukan terhadap CB di wilayahnya. Banyak faktor penyebab kurang teredukasinya masyarakat di daerah mengenai CB di sekitarnya, misalnya; sulitnya akses transportasi,

(22)

manfaat pada CB, yakni dicintai dan lestari hingga seribu tahun lagi.

Dibalik segala persoalan dan tantangan pelestarian di Wilayah Sulawesi Tenggara, masih ada titik terang pemberi harapan yang akan membawa CB di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara menuju kata lestari dan memberi manfaat bagi masyarakatnya. Bagi sebagian kalangan mungkin menganggapnya bukan bagian dari jawaban atas persoalan pelestarian di Sulawesi Tenggara, namun bagi penulis beberapa poin ini merupakan titik terang menuju kebangkitan pelestarian di wilayah Sulawesi Tenggara. Poin-poin pembawa harapan ini ada yang berbentuk institusi, SDM, regulasi, dan kegiatan, yakni sebagai berikut.

1. Jurusan Arkeologi Universitas Halu Oleo

Berdasarkan SK pendirian Program Studi yang dikeluarkan Dirjen Pendidikan Tinggi No. 677/E. E2/DT/2013, secara resmi di tahun 2013 Program Studi Arkeologi Universitas Halu Oleo menerima mahasiswa baru angkatan pertamanya. Minimnya tenaga pengajar berlatar belakang pendidikan arkeologi tidak menggoyahkan niat baik dan langkah kemajuan ini. Diperkuat dengan tiga dosen pengajar arkeologi, serta dibantu beberapa dosen dari bidang keilmuan lain. Prodi yang baru berumur dua tahun itu kini telah berubah jadi jurusan dan telah berakreditasi B dari Ban PT. Apresiasi masyarakat Sulawesi Tenggara sangat baik untuk jurusan baru ini, terbukti dari penerimaan pertama di tahun ajaran 2013/2014 telah terjaring sebanyak 45 mahasiswa, dan ditahun ajaran 2014/2015 sebanyak 98 mahasiswa. Diperkirakan untuk tahun ajaran baru 2015/2016 peminat mencapai 60 pendaftar. Selama proses pendidikan yang telah berlangsung dua tahun, mahasiswa Arkeologi Universitas Halu Oleo telah melakukan beberapa kegiatan penelitian; kajian prasejarah di goa-goa Wiwirano, kajian arkeologi Islam di Pulau Buton, kajian strategi militer Jepang di Ranomeeto, serta kajian konservasi keramik, logam dan kayu di Museum Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurusan Arkeologi juga aktif berpartisipasi dalam kegiatan arkeologi berskala nasional; Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI) III di Trowulan, PIAMI di Makasar, serta kajian konservasi batu Candi Borobudur. Tidak hanya itu, Jurusan udara, serta tidak adanya upaya konservasi terhadap

lulisan-lukisan pada dinding goa ini, mengakibatkan terjadinya kerusakan yang cukup mengkhawatirkan. Sejak diteliti pertama kali oleh E.A Kosasih ditahun 70-an, hingga saat ini belum pernah dilakukan konservasi lukisan-lukisan yang terdapat pada Leang (goa) Kabori, Wabose, Metanduno, Toko, dan beberapa leang lainnya yang telah ditetapkan dsebagai CB dengan SK No: KM.8/PW.007/MKP-03, tanggal 4 Maret 2003. Masih banyak contoh kasus lain yang tidak bisa penulis paparkan dalam tulisan singkat ini, namun pada intinya upaya riset dan konservasi CB di wilayah Sulawesi Tenggara mendesak untuk segera ditindaklanjuti.

6. Pemanfatan CB untuk kesejahteraan masyarakat Dari ratusan jumlah CB di Sulawesi Tenggara, sejauh ini dampak langsung pemanfaatan CB yang dirasakan masyarakat baru terjadi di Benteng Wolio Kesultanan Buton di Kota Bau-bau. Pemerintah daerah Kota Bau-Bau mengelola Benteng Wolio sebagai kawasan wisata yang menghadirkan paket budaya yang cukup menarik dan dikemas kreatif. Pemanfaatan benteng ini telah menarik wisatawan domestik maupun asing untuk berkunjung dan tinggal beberapa saat di rumah-rumah tradisonal masyarakat Buton yang terletak di dalam benteng. Kios-kios souvenir pun bermunculan, demikian juga dengan warung-warung makanan khas Buton bisa kita temukan di dalam kawasan benteng seluas ±26 ha. Tantangannya adalah terdapat ratusan benteng lain yang tersebar di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, puluhan benteng di Pulau Muna, Wawonii, Buton Utara, Wakatobi, maupun di Kendari daratan. Tidak mengherankan apabila wilayah ini diberi julukan negeri seribu benteng. Benteng-benteng ini akan sangat menarik apabila dikemas dalam konsep open air museum seperti yang telah diterapkan di beberapa wilayah di Eropa dan India. Khusus untuk goa-goa prasejarah dan peninggalan-peninggalan kesultanan Buton dan Kerajaan Konawe bisa dikemas dalam konsep eco museum dan wisata sejarah. Masyakarat tentu akan menikmati manfaat langsung dari pemanfaatan CB ini, baik segi ekonomi, wawasan, maupun tumbuhnya rasa bangga akan budaya dan identitasnya. Hal ini juga akan membawa

Gambar

Foto 3 : Persiapan bahan
Tabel 2 : Sampel besi yang ditimbun dalam daging buah Maja  tua
Foto  1.  Penghancuran  Kendari  Teater  di  Kawasan  Kota  Lama  Kendari.(Dok: Nur Ihsan D)
Foto 3. Makam Raja Lakidende,di Unahaa Kabupaten Konawe. Foto 4.Gudang pelabuhan. Dok: Balar Makassar, 2012Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015, Hal 4-16
+7

Referensi

Dokumen terkait

(2) Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masyarakat adat di Kabupaten Malinau memiliki kewenangan untuk melakukan

(2) Untuk melindungi hak setiap orang, badan hukum atau perkumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Kota wajib melakukan penertiban penggunaan