• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAAN PASAR KERJA PERTANIAN-NONPERTANIAN DAN MIGRASI DESA-KOTA: TELAAH PERIODE KRISIS EKONOMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAAN PASAR KERJA PERTANIAN-NONPERTANIAN DAN MIGRASI DESA-KOTA: TELAAH PERIODE KRISIS EKONOMI"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

Keragaan Pasar Kerja Pertanian-nonpertanian dan Migrasi Desa-kota: Telaah Periode Krisis Ekonomi [Dessy Adriani]

SOCA ❖ 6666 666666666 ISSN: 4-777

KERAGAAN PASAR KERJA PERTANIAN-NONPERTANIAN

DAN MIGRASI DESA-KOTA: TELAAH PERIODE KRISIS EKONOMI

DESSy ADRIANI

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertaniann Universitas Sriwijaya

AbSTRAcT

The objectives of this research are: 1) to analyze factors effecting labor market performance; 2) to analyze fac-tors effecting migration in Indonesia. The research used pooling data and be analyzed using simultaneous equation with 2 SLS technique. The result showed that labor force is influenced by productive-age population in both urban and rural area. In rural area, rural-urban migration also influenced labor force. Demand for labor is influenced by Gross Domestic Product, Labor Intensive Program in urban area, and Infrastructure Development Program for Developing Village in rural area. Labor productivity is influenced by sectoral real wage, calorie consumption and Social Safety Net Program for health sector. Sectoral real wage is influenced by Sectoral Minimum Wage and rate of inflation. The result also showed that sectoral real wage is not the important factor on labor market in Indonesia economic crisis.

Keywords: Rural, Urban, Labor Market, Migration

PENDAHULUAN

Krisis ekonomi membawa implikasi yang sangat luas bagi perekonomian Indonesia. Hal ini karena secara makro krisis tersebut mempengaruhi permintaan dan penawaran agregat. Ditinjau dari sisi permintaan agregat, krisis ekonomi telah menyebabkan aktifitas ekonomi menurun, terutama di wilayah perkotaan. Krisis eko-nomi juga telah menyebabkan gangguan pada sistem produksi, distribusi dan konsumsi di seluruh wilayah.

Dari sisi penawaran agregat, dampak krisis dapat dikaji dengan melihat keragaan pasar kerja. Krisis ekonomi mengakibatkan penurunan kesempatan kerja. Pada jumlah angkatan kerja yang terus meningkat, adanya krisis ekonomi akan mendorong meningkatnya jumlah pengangguran yang lebih besar. Peningkatan pengangguran ini tentu akan menambah berat beban, baik pemerintah maupun masyarakat. Hal ini karena secara moral pemerintah berkewajiban untuk menentu-kan solusinya. Bagi masyarakat hal itu dapat menjadi beban bila dengan naiknya jumlah pengangguran akan mengakibatkan peningkatan derajat keresahan sosial.

Sejalan dengan hal tersebut, Laporan Misi Strategi Ketenagakerjaan (1999) menyarankan disusunnya suatu strategi terpadu bagi proses pemulihan dan rekonstruksi perekonomian dengan tenaga kerja sebagai ujung tombaknya. Sehubungan dengan hal tersebut, satu hal yang perlu disadari bahwa penyusunan kebijakan dan strategi tersebut harus didasarkan pada keragaan pasar kerja agar kebijakan dan strategi yang disusun diharapkan dapat memperbaiki kondisi pasar kerja pada khususnya dan kondisi perekonomian pada umumnya. Dengan demikian dipandang perlu untuk menganalisis bagaimana keragaan pasar kerja dan migrasi pada peri-ode krisis ekonomi di Indonesia. Tujuan penelitian ini

adalah untuk:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keragaan pasar kerja pada periode krisis ekonomi di Indonesia

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi mi-grasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia

METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pooling data seluruh Provinsi di Indonesia kecuali DKI

Jakarta dan Timor Timur tahun 1997-1998. Data yang digunakan dalam penelitian sebagian besar diperoleh dari hasil Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKER-NAS) Badan Pusat Statistik.

Spesifikasi Model

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia.

1. Angkatan Kerja

LUt= a0+a1WIt+a2(Mt-Mt-1)+a3AU1t+a4AU2t +a5DJt+a6LUt-1+Ut1...(1) LRt= b0+b1(WAt-WAt-1)+b2(Mt-Mt-1)+b3AR1t+b4AR2t +b5DJt+b6LRt-1+Ut2 ....(2) Hipotesis (parameter dugaan yang diharapkan): a1,b1,a2,a4,b4, a5,b5>0; b2,a3,b3<0 dan 0<a6,b6<1.

2. Kesempatan kerja

DUIt=co+c1WIt+c2IIt+c3GDPIt+c4DJt+c5PKPt+c6ME St+c7DUIt-1+ut3...(3)

(2)



DUAt= do+d1WAt+d2IAt+d3GDPAt+d4DJt+d5PKPt+d

6TRAKt+ut4...(4

DUSt= eo+e1(WSt-WSt-1)+e2ISt+e3GDPSt+e4DJt+e5PK P+ut5...(5)

DRIt= fo+f1WIt+f2IIt+f3GDPIt+f4DJt+f5P3DTt+f6MES t+f7DUIt-1+ut6...(6) DRAt= go+g1WAt+g2IAt+g3GDPAt+g4DJt+g5P3DTt+g 6TRAKt+ut7...(7 DRSt= ho+h1WSt+h2ISt+h3GDPSt+h4DJt+h5P3DTt+h 6DRSt-1+ut8 ...(8) DIt = DUIt + DRIt ...(9) DAt = DUAt + DRAt ...(10) DSt = DUSt + DRSt...(11)

Parameter dugaan yang diharapkan: c1,d1,e1,f1,g1,h1,c6,d6,f6,g6<0;c2,d2,e2,f2,g2,h2,c3,d3,e3,f3,g3, h3,c4,d4,e4,f4,g4,h4 c5,d5,e5,f5,g5,h5,>0 ; 0<c7,f7, h6<1. 3. Upah Sektoral Riel WIt=i0+i1MIt+i2(LUt/DIt)+i3INFt+i4DJt+i5WIt-1+ut9 ...(12)

WAt = j0+j1MAt+j2(LRt/DAt)+j3INFt+j4DJt+j5WA t-1+ut10 ...(13)

WSt = k0+k1MSt+k2DSt+k3INFt+k4DJt+ k5WSt-1 +ut11...(14)

Parameter dugaan yang diharapkan: i1,j1,k1,k2,i4,j4,k4>0; i2,j2, i3,j3,k3<0; 0<i5,j5,k5<1. 4. Produktifitas Pekerja PTIt = l0+l1WIt+l2KKt+l3VHIt+l4JPSBKt+l5PTIt-1 +ut12 ...(15)

PTAt= m0+m1WAt+m2KKt+m3VHIt+m4JPSBKt+m5P TAt-1+ut13 ...(16)

PTSt= n0+n1WSt+n2KKt+n3VHIt+n4JPSBKt+ n5PTSt-1+ut14 ...(17)

Parameter dugaan yang diharapkan : l1,m1,n1,l2,m2,n2, l3,m3,n3, l4,m4,n4>0; 0<l5,m5,n5<1. 5. Migrasi Desa-Kota Mt = o0+o1WIt/WIt-1+o2WAt+o3AR1t+o4AR2t+ o5RUUt+o6RURt+o7DJt+o8Mt-1+ut15 ...(18)

Parameter dugaan yang diharapkan: o1,o4,o6>0; o2,o3,o5<0; 0<o8<1. 6. Added-Worker AWUt=p0+p1WIt+p2SJUt+p3GUt+p4AWUt-1+ut16 ...(19)

AWRt=q0+q1WAt+q2SJRt+q3GRt+q4AWRt-1+ut17 ...(20)

Parameter dugaan yang diharapkan: p1,p2,p3,q1,q2,q3>0; 0<p1, q1<1. 7. Discourage-worker DWUt=r0+r1WIt+r2UUt+r3IIt+r4DWUt-1+ut18 ...(21)

DWRt=s0+s1WAt+s2URt+s3IAt+s4DWRt-1+ut19 ....(22)

Parameter dugaan yang diharapkan: r2,s2>0; r1,s1,r3,s3< 0; 0<r4, s4<1. 8. Pendapatan Nasional GDPIt = t0 + t1 PTIt + t2 DIt + ut20 ...(23)

GDPAt = v0 + v1 PTAt + v2 DAt + ut21...(24)

GDPSt = w0 + w1 PTSt + w2 DSt + ut22...(25)

Parameter dugaan yang diharapkan: t1,t2,v1,v2,w1,w2 >0. 9. Pengangguran UUt = x0 + x1AWUt + x2LUt + x3DUIt + ut23...(26)

URt = y0 + y1AWRt + y2LRt + y3DUAt + ut2...(27) Parameter dugaan yang diharapkan: x1,x2,y1,y2 >0; x3,y3<0.

Diagram keterkaitan masing-masing peubah di dalam model Keragaan Pasar Kerja dan Migrasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia dapat disimak pada Lam-piran 1.

Identifikasi Model dan Metode Pendugaan

Hasil identifikasi model berdasarkan order condition menunjukkan bahwa semua persamaan adalah

over-indentified. Pendugaan model dilakukan dengan two

Stage Least Square (2 SLS). Pengolahan data dilakukan dengan program komputer SAS.

HASIL DAN PEMbAHASAN Hasil Pendugaan Model

Hasil pendugaan model dengan metode 2 SLS menunjukkan bahwa model cukup representatif untuk menganalisis keragaan pasar kerja dan migrasi pada pe-riode krisis ekonomi di Indonesia dengan nilai koefisien determinasi (R2) berkisar antara 0.7661 hingga 0.9998.

Peubah-peubah penjelas pada masing-masing persamaan secara bersama-sama cukup nyata menjelaskan keraga-man peubah endogen dengan nilai statistik F berkisar antara 28.819 hingga 40612.672. Selain itu sebagian besar peubah penjelas di dalam persamaan berpengaruh nyata terhadap peubah endogen pada taraf nyata (α) 0.05, 0.10, 0.15, 0.20 dan 0.25. Semua tanda parameter dugaan dalam model sesuai dengan harapan berdasarkan teori maupun logika ekonomi.

1. Angkatan Kerja

Peningkatan angkatan kerja di Indonesia dipengaruhi oleh pertambahan penduduk usia produktif dan jum-lah angkatan kerja tahun sebelumnya baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Upah sektoral riel bukan merupakan faktor utama yang mendorong penduduk untuk masuk ke pasar kerja. Perilaku seperti ini dimun-gkinkan terjadi akibat besarnya jumlah angkatan kerja di kedua wilayah yang tidak didukung dengan kesempatan kerja yang memadai. Hasil dugaan menunjukkan bahwa migrasi desa-kota merupakan peubah yang berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah angkatan kerja pe-desaan. Hal ini merupakan petunjuk bahwa peningkatan migrasi desa-kota secara besar-besaran akan mengarah pada terjadinya kelangkaan angkatan kerja di wilayah pedesaan dan limpahan angkatan kerja di perkotaan.

(3)

Keragaan Pasar Kerja Pertanian-nonpertanian dan Migrasi Desa-kota: Telaah Periode Krisis Ekonomi [Dessy Adriani]

2. Kesempatan Kerja

Pendapatan nasional sektoral, Program Padat Karya di perkotaan dan Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal di pedesaan berpengaruh nyata terhadap peningkatan kesempatan kerja sektoral. Program Padat Karya dan Pembangunan Prasaran Desa Tertinggal lebih berpengaruh terhadap penciptaan kesempatan kerja daripada pendapatan nasional sektoral. Hal ini menunjukkan adanya indikasi pendapatan nasional sektoral, walaupun berpengaruh positif, lebih banyak digunakan untuk kegiatan penciptaan barang kapital daripada untuk penciptaan kesempatan kerja, sedangkan Pogram Padat Karya dan Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal benar-benar ditujukan pada penciptaan kes-empatan kerja. Penggunaan mesin industri dan traktor berperan sebagai faktor produksi substitusi bagi faktor produksi tenaga kerja.

3. Upah Sektoral Riel

Peubah penjelas yang berpengaruh terhadap peruba-han upah sektoral riel adalah kebijakan Upah Minimum Regional Sektoral. Jika dilihat dari nilai elastisitasnya maka peubah penjelas tersebut paling responsif diantara peubah-peubah lainnya. Peubah lain yang juga mem-pengaruhi upah sektoral riel adalah inflasi. Jika inflasi terus meningkat maka upah riel akan menurun. Jika kita menghubungkan upah sektoral riel tersebut dengan daya beli pekerja, maka penurunan upah tersebut akan mengarah pada turunnya daya beli masyarakat. Peubah Dummy wilayah menunjukkan hasil di luar perkiraan. Berdasarkan hasil dugaan terlihat bahwa upah riel lebih tinggi di luar Jawa daripada di Jawa. Jika upah merupakan suatu faktor yang mempengaruhi seseorang bermigrasi, maka perbedaan upah tersebut diperkirakan akan mendorong terjadinya arus perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa.

4. Produktifitas Pekerja

Produktifitas pekerja utamanya dipengaruhi oleh upah sektoral riel, konsumsi kalori, dummy program Jaring Pengaman Sosial bidang Kesehatan, dan peubah lag endogennya. Ditinjau secara sektoral, hasil dugaan menunjukkan bahwa upah riel sektor industri memberi-kan pengaruh terbesar bagi peningkatan produktifitas pekerja sektor tersebut dibandingkan dengan sektor lainnya. Penerapan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan menunjukkan hasil yang positif bagi peningkatan produktifitas pekerja di ketiga sektor.

5. Migrasi Desa-Kota

Hasil dugaan menunjukkan bahwa migrasi desa-kota dipengaruhi secara nyata oleh upah riel relatif sektor industri, jumlah penduduk desa usia produktif, dummy wilayah dan peubah lag endogennya. Upah riel relatif sektor industri lebih mempengaruhi proses migrasi desa-kota daripada upah riel sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa upah industri lebih menjadi per-hatian para migran untuk bermigrasi. Selain itu, faktor usia juga merupakan faktor penting yang mendorong

seseorang untuk bermigrasi. Hasil dugaan menunjukkan bahwa migrasi desa-kota akan meningkat jika penduduk desa usia produktif naik. Ditinjau dari nilai elastisitas-nya maka migrasi desa-kota lebih responsif terhadap perubahan tingkat pengangguran di perkotaan daripada di pedesaan.

Jika kita mengkategorikan faktor upah riel relatif sektor industri dan tingkat pengangguran di perkotaan sebagai faktor penarik (pull-factor) untuk bermigrasi dan faktor upah riel sektor pertanian serta tingkat pengang-guran di pedesaan sebagai faktor pendorong (push-factor) , maka hasil penemuan ini menunjukkan bahwa migrasi desa-kota lebih disebabkan oleh adanya faktor penarik dari perkotaan daripada faktor pendorong yang ada di pedesaan.

6. Added Worker

Peubah upah sektoral riel bukan merupakan faktor yang menentukan seseorang untuk masuk ke pasar kerja. Hasil dugaan menunjukkan bahwa Added worker dipen-garuhi secara nyata oleh peubah jumlah penduduk yang masuk ke pasar kerja dengan alasan membantu ekonomi keluarga dan menambah penghasilan serta putus/tamat sekolah. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada kasus krisis ekonomi, upah bukan merupakan hal penting yang mendorong seseorang untuk masuk ke pasar kerja. Situasi ekonomi yang sulit memaksa seseorang untuk masuk ke pasar kerja dengan upah berapapun, yang setidaknya dapat membantu memperbaiki ekonomi rumah tangga.

7. Discourage Worker

Jika dalam pembahasan mengenai added worker, upah sektoral riel bukan merupakan faktor yang mempenga-ruhi seseorang untuk masuk ke pasar maka pada

discour-age worker upah sektoral riel juga bukan faktor penentu

seseorang untuk keluar dari pasar kerja. Tingginya jumlah pengangguran di kedua daerah merupakan faktor penentu yang penting bagi seseorang untuk keluar dari pasar kerja. Di perkotaan, investasi sektor industri juga berpengaruh nyata terhadap discourage worker namun tidak untuk pedesaan

8. Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional secara sektoral dipengaruhi secara nyata baik oleh produktifitas pekerja sektoral maupun kesempatan kerja sektoral. Hasil perhitungan elastisitas memperlihatkan bahwa pendapatan nasional sektoral cenderung lebih responsif terhadap peruba-han kesempatan kerja sektoral daripada produktifitas pekerja.

9. Pengangguran

Jumlah pengangguran perkotaan dipengaruhi secara nyata hanya oleh jumlah added worker perkotaan, se-mentara jumlah pengangguran pedesaan dipengaruhi tidak hanya oleh added worker pedesaan tetapi juga oleh angkatan kerja pedesaan dan kesempatan kerja pertanian di pedesaan. Ditinjau dari sisi kesempatan kerja, jumlah

(4)

4

pengangguran di perkotaan lebih disebabkan karena penurunan kesempatan kerja sektor industri di wilayah tersebut. Sebaliknya jumlah pengangguran di pedesaan lebih dipengaruhi oleh penurunan jumlah kesempatan kerja sektor pertanian di pedesaan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Peningkatan angkatan kerja di Indonesia lebih dipen-garuhi oleh pertambahan penduduk usia produktif di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Upah bukan merupakan faktor utama yang mendorong penduduk untuk masuk ke pasar kerja. Migrasi desa-kota meru-pakan peubah yang juga berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah angkatan kerja pedesaan. 2. Pendapatan nasional sektoral, Program Padat Karya

di perkotaan dan Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal di wilayah pedesaan berpengaruh terhadap peningkatan kesempatan kerja. Penggunaan mesin industri dan traktor akan mengurangi kesempatan kerja.

3. Upah sektoral riel dipengaruhi secara nyata oleh Upah Minimum Regional Sektoral Riel (UMRS) dan inflasi. Upah sektoral riel, konsumsi kalori dan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan merupakan faktor utama yang menentukan produk-tifitas pekerja.

4. Migrasi desa-kota lebih disebabkan oleh faktor pena-rik (pull-factor) yang ada di perkotaan daripada faktor pendorong (push-factor) yang ada di pedesaan. 5. Peningkatan Added worker dipengaruhi oleh

pertam-bahan penduduk yang mencari kerja dengan alasan membantu ekonomi rumah tangga-menambah pen-ghasilan dan putus/tamat sekolah. Discourage worker dipengaruhi secara nyata oleh pengangguran. Upah sektoral riel bukan merupakan faktor yang penting bagi Added worker dan discourage worker pada periode krisis ekonomi.

6. Pendapatan nasional lebih responsif terhadap peru-bahan kesempatan kerja sektoral daripada produkti-fitas.

7. Pengangguran lebih responsif terhadap perubahan

added worker di kedua wilayah daripada

peningka-tan jumlah angkapeningka-tan kerja dan kesempapeningka-tan kerja. Pengangguran di wilayah perkotaan lebih berkaitan dengan penurunan kesempatan kerja sektor indu-stri, sementara pengangguran di pedesaan berkaitan dengan penurunan kesempatan kerja sektor pertanian pada masing-masing wilayah.

Saran

1. Lebih tingginya upah sektoral riel di luar Jawa dan lebih tingginya angkatan kerja pedesaan di luar Jawa mengindikasikan selayaknya kebijakan pembangunan lebih diarahkan ke luar Jawa terutama wilayah pede-saan.

2. Kebijakan peningkatan UMRS, investasi dan peng-hapusan Inpres Sarana Kesehatan sebaiknya diikuti dengan usaha untuk meningkatkan konsumsi

ma-syarakat. Sehubungan dengan hal tersebut pemerin-tah lebih memusatkan perhatian pada program Usaha Perbaikan Pangan dan Gizi masyarakat. Akan lebih baik lagi, jika penghapusan kebijakan Inpres Sarana Kesehatan tidak dilakukan mengingat kebijakan tersebut memiliki pengaruh cukup besar terhadap perbaikan keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia.

3. Sektor jasa, melalui perkembangan sektor infor-malnya, harus mendapat perhatian penuh dari pe-merintah. Pemerintah sebaiknya lebih memberikan pembinaan dan perhatian khusus pada sektor jasa karena sektor ini terbukti mampu menjadi ‘katup pengaman’ pada periode krisis ekonomi.

4. Hasil analisis menunjukkan bahwa migrasi desa-kota berpengaruh nyata terhadap pengurangan angkatan kerja pedesaan. Hal ini akan menyebabkan terja-dinya kelangkaan angkatan kerja di pedesaan. Oleh karenanya, diharapkan pemerintah memberikan perhatian pada usaha yang dapat meredam arus mi-grasi tersebut misalnya dengan ‘rekayasa urbanisasi’. Upaya yang dapat ditempuh adalah meningkatkan fasilitas perkotaan di daerah pedesaan, sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat pedesaan sendiri.

UcAPAN TERIMA KASIH

Ucapan Terima Kasih diberikan kepada yang terhor-mat: 1).Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA., 2). Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira, 3). Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.S., atas dedikasi beliau yang tinggi dalam proses pembimbingan selama penulis menyelesaikan Thesis di Program Pas-casarjana Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR PUSTAKA

Bellante, D dan M. Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Borjas, G.J. 1996. Labor Economics. McGraw-Hill Inc. New

York.

Kautsoyiannis. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics Methods. Second Edition. Harper & Row Publishers Inc. Inggris.

Laporan Misi Strategi Ketenagakerjaan. 1999. Indonesia: Startegi Pemulihan dan Rekonstruksi dengan Tenaga Kerja sebagai Ujung Tombak (Ikhtisar Eksekutif). Organisasi Perburuhan Internasional.

Pindyck , R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometrics Models, and Economics Forcast.3rd. ed. McGraw-Hill Edition. Singapore.

(5)

Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Serta Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia [Ketut Kariyasa]

PERUbAHAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA

SERTA KUALITAS SUMbERDAyA MANUSIA DI INDONESIA

KETUT KARIyASA

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor

AbSTRAcT

The result of Assessment on “Changes of Economic and Employment Structure as well as Quality of Human Resource in Indonesia” showed that in 1995–2001 periods economic (GNP) structure in Indonesia has been changed from S-I-A (Services-Industry-Agriculture) pattern to I-S-A pattern. Meanwhile, during the same period employment structure was remain stable, namely A-S-I pattern. The unbalanced changes between economic and employment structures were predicted to be the factors causing labor productivity and society welfare in agricultural sector were declining. In agricultural sector itself the absorption of labor force was dominated by food crops sub sector. There was a quality improvement in human resource. However, the problem is government capability to create employ-ment was not sufficient to provide job opportunity for improved human resource.

Keywords: Changes, Structure, Economic, Employment, and Human Resource.

PENDAHULUAN Latar belakang

Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penag-gulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari ma-syarakat agraris menjadi mama-syarakat industri. Transfor-masi struktural merupakan prasyarat dari peningkatan dan kesinambungan pertumbuhan dan penanggulangan kemiskinan, sekaligus pendukung bagi keberlanjutan pembangunan itu sendiri.

Pembangunan di Indonesia telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang ditandai terjadinya perubahan struktur perekonomian. Proses perubahan struktur perekonomian ditandai dengan: (1) merosotnya pangsa sektor primer (pertanian), (2) meningkatnya pangsa sektor sekunder (industri), dan (3) pangsa sektor tersier (jasa) kurang lebih konstan, namun kontribusinya akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.

Pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi di Indo-nesia tidak disertai dengan perubahan struktur tena-gakerja yang berimbang (Swasono dan Sulistyaningsih, 1993). Artinya laju pergeseran ekonomi sektoral relatif cepat dibandingkan dengan laju pergeseran tenagak-erja, sehingga Manning (1995) dalam Suhartini (2001) mengatakan bahwa titik balik untuk aktivitas ekonomi (economic turning-point) tercapai lebih dahulu dibanding dengan titik balik penggunaan tenagakerja (labor

turn-ing-point). Sehingga masalah yang sering diperdebatkan

adalah: (1) apakah penurunan panga PDB sebanding dengan penurunan pangsa serapan tenagakerja sektoral, dan (2) industri mana yang berkembang lebih cepat, agroindustri atau industri manukfaktur. Jika transfor-masi kurang seimbang maka dikuatirkan akan terjadi

proses pemiskinan dan eksploitasi sumberdaya manusia pada sektor primer.

Tujuan Pengkajian

Bertolak dari latar belakang dan permasalahan di atas, maka kajian ini bertujuan untuk melihat perubahan struktural yang terjadi dalam perekonomian Indone-sia, khususnya dinamika perubahan struktur ekonomi (pangsa produksi terhadap PDB) dan kesempatan kerja baik antar sektor maupun antar subsektor pada sektor pertanian dan perubahan struktur kualitas sumberdaya manusia di Indonesia.

KERANGKA TEORITIS Perubahan Struktur Sektor Pertanian

Menurut Hayami dan Ruttan (1971), perubahan struktur sektor pertanian yaitu perubahan pola komposisi produksi, urutan produksi dan perubahan sumberdaya yang digunakan. Dalam proses pertumbuhan ekonomi, pangsa sektor pertanian baik dalam PDB maupun dalam kesempatan kerja menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita. Proses pertumbuhan PDB juga disertai pertumbuhan sektor pertanian yang meningkat dengan cepat bersamaan dan bahkan mendahului per-tumbuhan PDB.

Sektor industri mempunyai ketergantungan yang erat dengan sektor pertanian. Perkembangan sektor in-dustri akan disertai dengan penurunan keuntungan jika tidak didukung oleh perkembangan sektor pertanian. Hal ini disebabkan oleh karena sektor industri tidak menghasilkan bahan makanan. Sektor industri tidak dapat berkembang tanpa didukung perkembangan sek-tor pertanian. Dari uraian tersebut mudah dimengerti mengapa revolusi industri dan revolusi pertanian terjadi bersamaan dan mengapa negara dimana sekitar sektor

(6)



pertanian mengalami kemandegan, maka sektor industri pun tidak mengalami perkembangan.

Adanya keserasian antara pertumbuhan sektor per-tanian dengan pertumbuhan ekonomi secara keseluru-han menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian mempunyai keterkaitan dengan kebijakan ekonomi secara keseluruhan.

Mobilitas Tenagakerja Pertanian

Perbedaan antara keadaan negara-negara berkembang pada masa kini dengan keadaan negara maju pada waktu mereka baru mulai mengalami pembangunan bersumber dari masalah penduduk yang dihadapi. Adanya sifat perkembangan penduduk dan masalah pengangguran di negara berkembang, mendorong ahli ekonomi untuk membuat teori mengenai corak pembangunan dan perubahan strukur ekonomi dalam suatu masyarakat dimana: (1) penduduknya sebagian besar masih men-jalankan kegiatan di sektor pertanian yang tradisional, dan (2) sektor tersebut mempunyai kelebihan jumlah tenagakerja sehingga menghadapi masalah pengang-guran terbuka dan tersembunyi yang serius. Analisa yang demikian dipelopori oleh Lewis dan kemudian diperdalam oleh Ranis dan Fei (Sukirno, 1985).

Teori pertumbuhan Fei-Ranis (1964) seperti yang ditulis Suryana (1989) merupakan konsep yang berkai-tan dengan transfer tenagakerja dari sektor perberkai-tanian ke sektor industri. Menurut Suryana (1989), meskipun ada beberapa keterbatasan yang melekat padanya, ada baiknya model ini dikaji ulang.

Dalam model Fei-Ranis, tahapan transfer tenagak-erja dibagi menjadi tiga berdasarkan pada produk fisik marginal (MPP) dan upah yang dianggap konstan dan ditetapkan secara eksogenus. Pada tahap pertama, karena tenagakerja melimpah maka MPP tenagakerja sama dengan atau mendekati nol sehingga surplus tenagakerja yang ditransfer dari sektor pertanian ke sektor industri mempunyai kurva penawaran yang elastis sempurna. Pada tahap ini walaupun ada transfer tenagakerja, total produksi di sektor pertanian tidak menurun, produkti-vitas tenagakerja meningkat dan sektor industri dapat tumbuh karena didukung oleh adanya tambahan tenagakerja yang disediakan sektor pertanian. Dengan demikian, transfer tenagakerja menguntungkan kedua sektor ekonomi. Dalam Gambar 1, MPP tenagakerja nol digambarkan pada ruas OA, tingkat upah sepajanjang garis W (Gambar 1.b), dan penawaran tenagakerja yang elastis sempurna sepanjang S0S1 (Gambar 1.a).

Pada tahap kedua, pengurangan satu satuan tena-gakerja di sektor pertanian akan menurunkan produksi karena MPP tenagakerja sudah positif (ruas AB) namun besarnya MPP masih lebih kecil dari tingkat upah W. Transfer tenagakerja dari pertanian ke industri pada tahap ini mempunyai biaya imbangan yang positif, se-hingga kurva penawaran tenagakerja di sektor industri mempunyai elastisitas positif sejak titik S1. Transfer akan tetap terjadi, produsen di sektor pertanian akan dengan senang hati melepaskan tenagakerjanya walaupun mengakibatkan produksi menurun karena penurunan

tersebut lebih rendah dari besarnya upah yang tidak jadi dibayarkan. Di pihak lain, karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaannya meningkat (karena tambahan tenagak-erja masuk), harga relatif komoditi pertanian akan meningkat.

Tahap ketiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi, dimana MPP tenagakerja sudah lebih tinggi dari tingkat upah. Produsen pertanian akan mempertahankan tenagakerjanya sehingga masing-mas-ing sektor berusaha efisien. Transfer masih akan terus terjadi jika inovasi teknologi di sektor pertanian dapat menigkatkan MPP tenagakerja. Sementara permintaan tenagakerja terus meningkat dari sektor industri dengan asumsi keuntungan di sektor ini diinvestasikan kembali untuk memperluas usaha. Mekanismenya diringkas pada Gambar 1.

Dalam model FR ini kecepatan transfer tenagakerja dari sektor pertanian ke sektor industri tergantung pada: (a) tingkat pertumbuhan penduduk, (b) perkembangan teknologi di sektor pertanian dan (c) tingkat pertumbu-han stok modal di sektor industri dan surplus yang dica-pai di sektor pertanian. Dengan demikian keseimbangan pertumbuhan di kedua sektor tersebut menjadi prasyarat untuk menghindari stagnasi dalam pertumbuhan eko-nomi nasional. Ini Berarti kedua sektor tersebut harus tumbuh secara seimbang dan transfer serta peneyarapan tenagakerja di sektor industri harus lebih cepat dari pertumbuhan angkatan kerja.

Mobilitas tenagakerja di Idonesia saat ini tidak dapat Gambar 1. Model Fei-Ranis tentang transfer tenagakerja dari

sektor pertanian ke sektor industri. Produk Marginal S2 S0 S1 Produk Fisik F1 F2 F3 Marginal 0 Tenagakerja (1.a) Sektor Industri

Produk Rata-Rata

Produk Fisik Marginal

W Upah (konstan)

O Tenagakerja A B

I II III (1.b) Sektor Pertanian

Gambar 1. Model Fei-Ranis tentang transfer tenagakerja dari sektor pertanian ke sektor industri

(7)

Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Serta Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia [Ketut Kariyasa]

diidentifikasikan hanya dengan salah satu tahapan dari model FR seperti diuraikan di atas. Dapat saja mo-bilitas tenagakerja di suatu daerah dicirikan oleh tahap 1, tetapi di daerah lainnya sudah berada pada tahap 3. Keadaan ini disebabkan besarnya keragaman tahapan perkembangan pembangunan pertanian di Indonesia yang bergantung pada kualitas sumberdaya, identitas campur tangan manusia dan inovasi teknologi. Na-mun demikian, asumsi bahwa MPP tenagakerja sama dengan nol yang mencirikan tahap pertama model FR tidak didukung oleh hasil-hasil penelitian sebelummnya (Suhartini dan Mardianto, 2001). Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa transfer tenagakerja dari sektor pertanian ke sektor industri masih tetap ber-langsung. Transfer tersebut tidak berada pada tahap pertama dalam model FR, karena bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa dengan anggapan teknologi yang diterapkan saat ini relatif tetap, MPP tenagakerja masih positif dan penawaran tenagakerja pertanian di sektor industri tidak elastis sempurna. Bagi yang terjun di sek-tor pertanian, transfer yang terjadi didorong oleh adanya harapan upah (pendapatan) di sektor industri lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian. Keadaan ini lebih cocok diterangkan pada tahapan kedua atau ketiga dari model FR.

HASIL DAN PEMbAHASAN

Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja

Adanya tingkat pertumbuhan ekonomi atau produksi yang tidak merata, dan sisi lain tidak diikuti oleh kemam-puannya dalam penyerapan tenagakerja akan membawa konsekuensi terjadinya perubahan struktur dari ke dua aspek tersebut yang semakin menjauh baik antar sektor maupun antar subsektor pada masing-masing sektor. Pada bahasan berikut berturut-turut akan dilihat pe-rubahan dari struktur tersebut baik antar sektor maupun antar subsektor yang difokuskan pada sektor pertanian, mengingat sektor ini masih menjadi tumpuan sebagian pekerja Indonesia.

Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Antar Sektor

Berdasarkan harga konstan 1993, pada tahun 1995 sektor jasa mampu memberikan kontribusi yang paling besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diband-ingkan sektor lainnya yaitu sebesar 42,08 persen, disusul oleh sektor industri sebesar 41,83 persen dan yang relatif paling kecil adalah sektor pertanian (Tabel 1). Sehingga pada tahun ini pola struktur produksi terhadap PDB dilihat dari aspek kontribusi menurut sektor adalah J – I – P dimana J adalah jasa, I adalah industri, dan P adalah pertanian. Mulai tahun 1996, kontrubusi terhadap PDB terbesar telah beralih dari sektor jasa ke sektor industri, sementara itu sektor pertanian masih tetap berada pada urutan ketiga, sehingga mulai tahun 1996 struktur PDB telah berubah menjadi pola I-J-P.

Pada Tabel 1 tampak juga bahwa selama tahun 1995-2001 rata-rata kontribusi sektor industri, jasa dan

pertanian berturut-turut 43,03 persen; 40,82 persen; dan 16,15 persen. Pada periode yang sama, pangsa sektor pertanian dan industri masing-masing cenderung me-ningkat 0,29 persen dan 0,72 persen, sebaliknya pangsa sektor jasa justru mengalami penurunan sebesar 0,76 persen. Walaupun pangsa sektor pertanian cenderung mengalami peningkatan terutama selama krisis ekonomi, akan tetapi dapat diduga bahwa sektor ini sangat sulit untuk memperbaiki posisinya, mengingat pangsanya yang relatif kecil dibandingkan dua sektor lainnya. Tabel 1. Perkembangan Pangsa masing-masing Sektor Terhadap

PDB Indonesia 1995-2001 Berdasarkan Harga Kon-stan 1993

Tahun Sektor

Pertanian (P) Industri (I) Jasa (J) Pola

1995 16,09 41,83 42,08 J – I – P 1996 15,38 42,86 41,76 I – J – P 1997 14,79 43,18 42,03 I – J – P 1998 16,90 42,75 40,35 I – J – P 1999 17,13 43,25 39,62 I – J – P 2000 16,61 43,66 39,73 I – J – P 2001 16,18 43,66 40,16 I – J – P Rataan 16,15 43,03 40,82 I – J – P r (%/th) - 0,29 0,72 - 0,76 -Sumber: BPS 1997, 2001 (diolah)

Lebih lanjut kalau informasi pada Tabel 1 dikaitkan dengan hasil kajian Simatupang dan Mardianto (1996) dimana pada tahun 1960 pola strtuktur PDB Indonesia adalah P-J-I, maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia telah terjadi perubahan struktur produksi (PDB) yang terlalu cepat dari P-J-I J-I-P I-J-P, sehingga terlihat bahwa kontribusi sektor pertanian secara dramatis di-geser langsung ke urutan terakhir.

Tabel 2. Perkembangan Penyerapan Tenagakerja masing-ma-sing Sektor, Tahun 1995-2001

Tahun Sektor (%)

Pertanian (P) Industri (I) Jasa (J) Pola

1995 47,0 18,1 34,9 P – J – I 1996 52,3 19,8 27,9 P – J – I 1997 50,6 20,0 29,4 P – J – I 1998 52,3 16,1 31,6 P – J – I 1999 50,4 17,2 32,4 P – J – I 2000 48,6 17,4 34,0 P – J – I 2001 43,8 17,5 38,7 P – J – I Rataan 49,3 18,0 32,7 P – J – I r(%/th) -0,95 -0,09 2,35 Sumber: BPS 1997, 2001 (diolah)

Dari aspek kesempatan tenagakerja, selama periode 1995-2001 terlihat bahwa sektor pertanian menampung hampir separuhnya (49,3%) dari total jumlah pekerja Indonesia, disusul oleh sektor jasa sekitar 33 persen, sedangkan sektor industri baru hanya sekitar 18 persen (Tabel 2). Selama periode 1995-2001, yang cukup me-narik bahwa disamping daya tampungnya yang relatif paling rendah, pangsa penyerapan sektor industri

(8)

ter-

hadap tenagakerja juga cenderung menurun sekitar 0,09 persen terutama terjadi pada awal-awal krisis ekonomi. Demikian juga pangsa penyerapan tenagakerja dari sek-tor pertanian cenderung menurun sekitar 0,95 persen, sebaliknya pangsa penyerapan tenagakerja dari sektor jasa justru mengalami peningkatan sebesar 2,35 persen. Informasi ini juga menunjukkan bahwa nampaknya tidak terjadi perubahan pola struktur penyerapan tena-gakerja terutama periode 1995-2001.

Berubahnya struktur pangsa masing-masing sektor terhadap PDB yang tidak dibarengi dengan adanya pe-rubahan struktur penyerapan tenagakerja, tentunya akan berdampak terhadap rasio dari dua aspek tersebut, sep-erti disajikan pada Tabel 3. Selama periode 1995-2001 rata-rata rasio penyerapan tenagakerja dengan pangsa terhadap PDB dari sektor pertanian sebesar 3,06 dengan kisaran 2,71 – 3,42, dan untuk sektor industri rata-rata 0,42 dengan kisaran 0,38– 0,46, sementara untuk sektor jasa rata-rata 0,80 dengan kisaran 0,67 – 0,96.

Tabel 3. Rasio Antara Penyerapan Tenagakerja Terhadap Pangsa dengan PDB pada masing-masing Sektor, Tahun 1995-2001

Tahun Sektor

Pertanian (P) Industri (I) Jasa (J) Pola

1995 2,92 0,43 0,83 P – J – I 1996 3,40 0,46 0,67 P – J – I 1997 3,42 0,46 0,70 P – J – I 1998 3,09 0,38 0,78 P – J – I 1999 2,94 0,40 0,82 P – J – I 2000 2,93 0,40 0,86 P – J – I 2001 2,71 0,40 0,96 P – J – I Rataan 3,06 0,42 0,80 P – J – I

Sumber:Tabel 1 dan Tabel 2 (diolah)

Dari besaran rasio-rasio pada masing-masing sektor tersebut lebih lanjut dapat diinterpretasikan apakah telah terjadi peningkatan atau penurunan pangsa produksi yang proporsional dengan kesempatan kerja yang dise-diakannya. Nilai rasio > 1 menunjukkan bahwa jumlah tenagakerja yang harus ditampung oleh suatu sektor lebih besar dari pangsanya terhadap PDB, begitu seba-liknya jika nilai rasio < 1 menunjukkan bahwa jumlah tenagakerja yang baru bisa ditampung oleh suatu sektor lebih kecil dari pangsanya terhadap PDB. Suatu sektor dikatakan mempunyai kemampuan menyerap tenagak-erja sesuai dengan kontribusinya terhadap PDB jika nilai rasio tersebut sama dengan 1.

Dengan konsep di atas terlihat bahwa selama periode 1995-2001 sektor pertanian “dipaksa” menyerap tena-gakerja yaitu tiga kali lipat dari kemampuannya dalam berkontribusi terhadap PDB, sebaliknya sektor industri hanya mampu menyerap tenagakerja sekitar 42 persen dari kontribusi terhadap PDB, sementara itu sektor jasa hanya mampu menyerap tenagakerja baru sekitar 80 persen. Walaupun sektor jasa belum mampu menyerap tenagakerja sesuai yang diharapkan, akan tetapi sektor ini sudah mendekati pada kondisi yang idial khususnya pada tahun 2001, dimana rasionya sudah mendekati

satu (0,96).

Dari infromasi di atas menunjukkan bahwa telah terjadinya perubahan struktur pangsa produksi (PDB) yang tidak diikuti oleh terjadi perubahan struktur pangsa penyerapan tenagakerja secara proporsional dan bahkan cenderung struktur pangsa penyerapan tenagakerja tidak berubah akan menyebabkan terjadi penumpukan tena-gakerja pada satu sektor. Sehingga fenomena ini akan menyebabkan semakin timpangnya produktivitas yang dihasilkan yang lebih lanjut berdampak pada semakin timpangnya juga pendapatan antara pekerja di sektor pertanian dan industri.

Beberapa peneliti yang telah menganalisis pertumbu-han dan perubapertumbu-han struktur ekonomi Indonesia dengan menggunakan data dari Tabel Input-output (I-O) Indo-nesia antara lain Dasril (1993), Erwidodo (1995), Su-listyaningsih (1997) dan Hastuti dan Mardianto (2001). Di tingkat regional, Sastrowiharjo (1989) menganalisa pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi provinsi Jambi, sedangkan Iskandar (1993) melakukannya di Su-matera Barat, serta Hagami H. (2000) melakukan peng-kajian di Provinsi Sumatera Selatan. Dari hasil penelitian tersebut memberikan kesimpulan yang senada dengan kajian ini, bahwa perekonomian Indonesia maupun di masing-masing propinsi kajian telah mengalami transfor-masi struktural, yang dicirikan oleh adanya perubahan struktur PDB, struktur kesempatan kerja dan perubahan komposisi ekspor dan impor barang dan jasa. Temuan serupa juga diperoleh dari hasil kajian yang dilakukan oleh Simatupang dan Mardianto (1996). Dari hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa pola perubahan struktur PDB Indonesia merupakan pola pintas.

Dari hasil kajian ini dan didukung oleh hasil kajian-kajian sebelumnya menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan struktur PDB atau produksi yang tidak seiring dan tidak sepadan dengan perubahan struktur penyerapan tenagakerja. Senjangnya perubahan struktur perekonomian Indonesia khususnya sebagai akibat dari rendahnya daya serap tenagakerja sektor industri (sektor yang paling pesat pertumbuhannya), sangat member-atkan sektor pertanian. Pertama, oleh karena sifatnya yang sangat akomodatif terhadap penyeraan tenagak-erja, sektor pertanian terpaksa menampung tenagakerja melebihi kapasitasnya, sehingga menanggung beban pengangguran yang sangat tinggi. Hal ini didukung oleh adanya data yang menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1990-2000, pengangguran tak kentara praktis tetap sekitar 24-25 persen (Suhartini dan Mardianto, 2001). Tingginya pengangguran tak tentara ini tentu merupakan suatu pemborosan sumberdaya manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa senjang peruba-han struktur perekonomian telah turut menimbulkan inefisiensi perekonomian Indonesia. Kedua, perubahan PDB yang tidak seiring dan sepadan dengan perubahan struktur penyerapan tenagakerja telah menimbulkan kesenjangan pendapatan nasional yang lebar. Dengan lebih spesifik penurunan pangsa PDB sektor pertanian dan penurunan pangsa penyerapan tenagakerja sektor

(9)

Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Serta Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia [Ketut Kariyasa]

pertanian yang tidak seimbang telah menimbulkan tingkat pendapatan per kapita di sektor ini yang jauh lebih rendah dari sektor lainnya. Hal ini dapat dilihat dari indek produktivtas tenagakerja sektor pertanian yang lebih rendah dari sektor lainnya, khususnya jika dibandingkan dengan sektor industri. Pada tahun 2000 indeks produktivitas tenagakerja sektor pertanian sebe-sar 0,4248, sedangkan industri dan jasa berturut-turut 2,2216 dan 1,2485 (Suhartini dan Mardianto, 2001).

Ketiga, tingkat pengangguran yang tinggi dan rendahnya

produktivitas tenagakerja merupakan penyebab utama tingginya proporsi penduduk miskin di sektor pertanian dan di pedesaan pada umumnya.

Perubahan struktur produksi dapat pula diukur dari perubahan pangsa nilai tambah yang erat hubungannya dengan pangsa tenagakerja pada setiap sektor. Dengan meggunakan data hasil penelitian Suhartini dan Mardi-anto, (2001) seperti yang disajikan pada Tabel 4, terlihat secara jelas bahwa telah terjadi perubahan struktur pang-sa nilai tambah dan pangpang-sa penyerapan tenagakerja yang tidak seimbang pada masing-masing sektor. Perubahan pangsa nilai tambah setiap sektor terjadi karena tingkat pertumbuhan yang berbeda sebagai akibat intensitas sumber-sumber pertumbuhan yang berbeda.

Pada sektor pertanian terjadi penurunan pangsa nilai tambah lebih cepat dari pada penurunan pangsa tenagakerja. Sebaliknya di sektor industri, peningkatan pangsa nilai tambah lebih cepat dari peningkatan pangsa tenagakerja. Dengan demikian terjadi ketimpangan antara pangsa nilai tambah dan pangsa tenagakerja di sektor pertanian dibandingkan sektor industri. Di sektor pertanian terdapat pangsa nilai tambah yang relatif lebih kecil dengan pangsa tenagakerja, sedangkan di sektor

Tabel 4. Struktur Nilai Tambah dan Kesempatan Kerja Menurut Sektor 1980 - 2000 (%)

Sektor 1980 1985 1990 1995 2000 NT TK NT TK NT TK NT TK NT TK I. PRIMER 42,4 64,4 47,9 62,0 50,3 59,0 37,9 56,8 33,6 58,7 1. Pertanian 35,1 64,2 29,3 61,2 21,6 58,3 22,9 56,1 19,8 57,5 2. Pertambangan 7.3 0,2 18,6 0,8 25,7 0,7 15,0 0,7 13,8 1,2 II. SEKUNDER 12,1 6,5 11,0 9,3 10,3 9,6 15,6 8,2 16,5 13,3 1. Industri Pengolahan 6,7 4,7 6,0 5,9 6,6 6,8 7,5 6,5 6,6 10,5

2. Industri lain tanpa migas 3,9 1,5 4,3 3,4 3,5 2,8 3,7 1,7 5,3 2,7

3. Industri migas 1,5 0,3 0,7 00,3 02,0 0,04 4,4 0,04 4,6 0,1

III. TERSIER 45,6 29,1 41,1 28,7 39,4 31,4 46,5 35,0 49,9 28,0

TOTAL 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: Suhartini dan Mardianto, (2001)

Keterangan: NT = Nilai Tambah; TK = Tenagakerja

industri pangsa nilai tambah dan pangsa tenagakerja relatif seimbang.

Dari uraian di atas tampak bahwa transformasi struktural memang telah terjadi di Indonesia, dimana sektor primer secara berangsur mulai tergeser oleh sektor industri pengolahan dan manufaktur, perdagangan, jasa keuangan serta angkutan dan komunikasi. Proses in-dustrialisasi telah berlangsung di Indonesia, terlihat dari semakin besarnya pangsa PDB dari sektor industri.

Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja di Sektor Pertanian

Selain melihat perubahan struktur pangsa produksi (PDB dan penyerapan tenagakerja secara umum (antar sektor) seperti disebutkan sebelumnya, yang tidak kalah menarik untuk dikaji adalah perubahan struktur kedua aspek tersebut menurut subsektor pada suatu sektor. Pada tulisan ini fokus kajian hanya dilakukan pada sektor pertanian, mengingat sektor ini di satu sisi masih diharapkan sebagai “leading sektor” dan di sisi lain masih tetap menjadi tumpuan terakhir bagi pekerja Indonesia baik bagi unskill labor maupun skill labor (seperti ketika banyak terjadi PHK).

Pada sektor pertanian dalam periode 1995-2001, sub-sektor tanaman pangan merupakan kontributor terbesar terhadap PDB yaitu rata-rata 8,42 persen; disusul subsek-tor perkebunan 2,65 persen; subseksubsek-tor peternakan 1,75 persen; subsektor perikanan 1,71 persen; dan terakhir adalah subsektor kehutanan 1,60 persen (Tabel 5).

Pada Tabel 5 tampak juga bahwa selama periode 1995-2001 pada sektor pertanian walaupun subsektor tanaman pangan dan perkebunan tetap sebagai kon-tributor terbesar pertama dan kedua, akan tetapi secara Tabel 5. Pangsa Sektor Pertanian Menurut Subsektor Terhadap PDB 1995-2001 (Harga Konstan 1993)

SUBSEKTOR 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Rataan

Tan. Pangan (a) 8,56 8,12 7,62 8,86 8,97 8,58 8,25 8,42

Perkebunan (b) 2,58 2,49 2,48 2,79 2,82 2,72 2,70 2,65

Peternakan (c) 1,75 1,72 1,71 1,71 1,80 1,76 1,78 1,75

Kehutanan (d) 1,64 1,54 1,46 1,75 1,66 1,59 1,56 1,60

Perikanan (e) 1,56 1,51 1,51 1,79 1,88 1,87 1,88 1,71

PERTANIAN 16,09 15,38 14,79 16,90 17,13 16,52 16,18 16,14

Pola abcde abcde abced abedc abecd abecd abecd abced

(10)

0

umum telah terjadi perubahan struktur produksi (PDB) khususnya pada peringkat ke tiga sampai ke lima, seperti terlihat pada baris terakhir.

Pada sektor pertanian pangsa penyerapan tenagakerja terkonsentrasi pada subsektor tanaman pangan, dimana selama periode 1995-2001 subsektor ini menampung tenagakerja hampir sekitar 41,14 persen dari total pe-kerja Indonesia, walaupun pangsanya semakin menurun yaitu 42,98 persen pada tahun 1995 dan menjadi 33,11 persen pada tahun 2001 (Tabel 6). Jumlah pekerja berikutnya banyak terserap pada subsektor perkebunan, disusul oleh subsektor peternakan dan perikanan, dan terakhir adalah subsektor kehutanan.

Dilihat dari struktur pangsa penyerapan tenagakerja, selama periode 1995-2001 telah terjadi perubahan struk-tur pangsa penyerapan tenagakerja pada sektor pertanian yaitu pada tahun 1995-1999 polanya adalah a-b-c-e-d (tanaman pangan-perkebunan-peternakan-perikanan-kehutanan), dan mulai tahun 2000 berubah dengan pola adalah a-b-c-d-e (tanaman pangan-perkebunan-peternakan-kehutanan-perikanan).

Dari perbandingan Tabel 6 dan Tabel 5 (rasio pe-nyerapan tenagakerja dan pangsa produksi (PDB) seperti disajikan pada Tabel 7, terlihat bahwa pada subsektor tanaman pangan jumlah orang yang bekerja rata-rata 4,89 kali lipat dari kemampuan produksi yang dihasilkan. Demikian juga pada subsektor perkebunan dan peternakan mulai tahun 1997 telah menampung tenagakerja lebih tinggi dari kapasitasnya, sedangkan pada subsektor perikanan baru sekitar 74 persen, bahkan pada subsektor kehutanan hanya 37 persen.

Dari data pada Tabel 7 juga dapat diinterpretasikan bahwa selama ini beban tenagakerja yang ditanggung oleh sektor pertanian tidak terdistribusi secara merata pada masing-masing subsektor. Dengan kata lain, beban kelebihan tenagakerja yang selama ini terjadi pada sektor pertanian hanya ditanggung oleh tiga subsektor, terutama

Tabel 6. Pangsa Penyerapan Tenagakerja Sektor Pertanian Menurut Subsektor, Tahun 1995-2001

SUBSEKTOR 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Rataan

Tan. Pangan (a) 42,98 47,30 42,85 42,91 39,80 36,91 33,11 41,14

Perkebunan (b) 2,23 2,47 3,76 5,27 5,01 5,40 4,93 4,02

Peternakan (c) 0,57 1,15 1,89 2,12 3,45 3,92 3,61 2,26

Kehutanan (d) 0,22 0,38 0,79 0,55 0,80 0,85 0,76 0,60

Perikanan (e) 0,99 1,00 1,30 1,45 1,34 1,52 1,39 1,27

PERTANIAN 47,00 52,30 50,60 52,30 50,40 48,60 43,80 49,29

Pola abced abced abced abced abced Abcde abcde abcde

Sumber: BPS 1997, 2001 (diolah)

Tabel 7. Rasio Pangsa Penyerapan Tenagakerja Terhadap Pangsa PDB pada Sektor Pertanian Menurut Sbsektor Tahun 1995-2001

SUBSEKTOR 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Rataan

Tan. Pangan (a) 5,02 5,83 5,62 4,84 4,44 4,30 4,01 4,89

Perkebunan (b) 0,86 0,99 1,52 1,89 1,78 1,99 1,83 1,52

Peternakan (c) 0,33 0,67 1,11 1,24 1,91 2,23 2,03 1,29

Kehutanan (d) 0,14 0,25 0,54 0,31 0,48 0,53 0,49 0,37

Perikanan (e) 0,64 0,66 0,86 0,81 0,71 0,81 0,74 0,74

PERTANIAN 2,92 3,40 3,42 3,09 2,94 2,94 2,71 3,05

Pola abecd abced abced abced acbed acbed acbed abced

Sumber: Tabel 5 dan Tabel 6 (diolah)

subsektor tanaman pangan. Lebih lanjut kondisi ini menjukkan bahwa pada sektor pertanian sendiri juga telah terjadi ketimpangan perubahan struktur pangsa produksi dan penyerapan tenagakerja, sehingga men-gakibatkan terjadi proses pemiskinan khususnya pada subsektor tanaman pangan. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus akan menyebabkan terjadinya kesenjan-gan pendapatan pekerja yang semakin melebar antar subsektor di sektor pertanian.

Perubahan Struktur Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia

Secara umum peningkatan kualitas sumberdaya manusia dapat dicapai melalui pendidikan maupun ber-dasarkan pengalaman. Akan tetapi peningkatkan sum-berdaya manusia melalui pengalaman dibutuhkan waktu yang relatif lama dibandingkan melalui pendidikan. Sehingga salah satu indikator yang lebih representatif untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia adalah melalui tingkat pendidikan yang pernah dicapai.

Berpedoman dengan indikator tersebut, terlihat bahwa pada periode 1961-1980, dapat dikatakan bahwa kondisi sumberdaya manusia Indonesia masih sangat rendah, hal itu terbukti lebih dari 50 persen penduduk Indonesia dengan tingkat pendidikan tidak tamat sekolah dasar ke bawah, bahkan selama periode tersebut sekitar 31,9 – 68,1 persen tidak pernah sekolah (Tabel 8). Penduduk yang berpendidikan setingkat sekolah dasar baru sekitar 11,8 – 22,1 persen dan berpendidikan menengah sekitar 3,1-12,4 persen, bahkan berpendidikan lanjutan ke atas baru 0,3-0,6 persen.

Mulai tahun 1990, sumberdaya manusia Indonesia didominasi oleh kualitas setara sekolah dasar, dimana pada tahun tersebut proporsi penduduk Indonesia yang berpendidikan sekolah dasar sekitar 30,1 persen dan pada tahun 2001 menjadi 34,9 persen. Peningkatan jum-lah pendudukan yang berpendidikan setingkat menengah

(11)

Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja Serta Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia [Ketut Kariyasa]

dan lanjutan juga mulai mengalami peningkatan yang cukup berarti. Bahkan pada tahun 2001, komposisi pen-duduk yang berpendidikan setingkat pendidikan menen-gah sudah mulai mendominasi yaitu sebesar 38,2 persen dengan peningkatan sekitar 4,5 persen per tahun selama periode 1990-2001.

Tabel 8. Jumlah penduduk Indonesia menurut tingkat pendidi-kannya tahun 1961-2001 (%) Tingkat Pendidikan 1961 1971 1980 1990 2001 Tidak Sekolah 68,1 (-3,1)45,2 (-2,9)31,9 (-3,7)18,9 (-4,8)8,0 Tidak Tamat SD 16,7 25,1 (4,6) 33,0 (3,2) (-2,3)24,6 (-3,3)15,0 Tamat SD 11,8 21,6 (7,6) 22,1 (0,2) (3,3)30,1 (1,3)34,9 Pendidikan Menengah

(pertama dan atas) 3,1 (13,5)7,7 12,4 (6,1) (9,1)24,8 (4,5)38,2 Pendidikan Lanjutan

(akademi dan universitas) 0,3 (3,0)0,4 (5,0)0,6 (15,2)1,6 (12,0)3,9

Total 100 100 100 100 100

Sumber: Hill, 1996 (1961-1990) dan BPS, 2001 (2001)

Keterangan: - Angka dalam kurung menunjukkan tingkat pertumbuhan (%/th) pada masing-masing periode yaitu 1961-1971; 1971-1980; 1980-1990; 1990-2001

Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa telah jadi peningkatan sumberdaya manusia di Indonesia, ter-bukti adanya peningkatkan komposisi jumlah penduduk yang berpendidikan setingkat sekolah dasar, setingkat pendidikan menengah dan setingkat pendidikan lanju-tan, sebaliknya disisi lain terjadi penurunan komposisi pendudukan yang berpendidikan tidak tamat sekolah dasar ke bawah. Namun masalahnya adalah apakah penduduk atau sumberdaya manusia yang mengalami perbaikan tingkat pendidikan tersebut akan otomatis bisa terserap oleh sektor yang mereka harapkan, atau dengan kata lain apakah khususnya sektor industri dan jasa mampu untuk menampungnya.

Dilhat dari distribusi tenagakerja menurut tingkat pendidikan yang terserap menurut sektor (Tabel 9) terlihat bahwa selama periode 1976-2001 sumberdaya manusia Indonesia baik yang bekerja pada sektor per-tanian maupun sektor non perper-tanian didominasi oleh sumberdaya manusia dengan kualifikasi tamat sekolah dasar ke bawah. Untuk sektor pertanian, selama periode 1976-1986, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada tenagakerja dengan kualifikasi tamat perguruan tinggi

yang berkerja pada sektor ini karena jumlahnya relatif sangat kecil sekali, akan tetap pada tahun 2001 sudah mulai meningkat dan menjadi sebesar 0,17 persen. Sementara itu, selama periode 1976-2001 jumlah tena-gakerja dengan kualifikasi tamat perguruan tinggi yang berkerja di sektor non pertanian berkisar 1,4 –2,7 persen terutama terserap pada sektor tersier (jasa keuangan dan perdagangan).

Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa dari asepk pendidikan telah terjadi perbaikan kualitas sum-berdaya manusia Indonesia, namun demikian adanya perbaikan kualitas sumberdaya manusia tersebut belum mampu diimbangi adanya peningkatan daya serap atau penciptaan lapangan kerja yang sesuai dengan kualitas dan kualifikasi perbaikan. Hal ini sangat menarik kalau dikaitkan kenapa masih banyaknya sumberdaya manu-sia Indonemanu-sia dengan kualifikasi sarjana yang mengang-gur. Sehingga sebenarnya lambannya pembangunan ekonomi di Indonesia kurang tepat kalau dikatakan penyebab utamanya adalah karena masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia di Indonesia, karena ter-bukti masih banyaknya sumberdaya manusia Indonesia dengan pendidikan menengah atas bahkan sarjana yang menganggur. Bahkan tidak aneh terdengar bahwa suatu pekerjaan pada instansi atau lembaga tertentu yang se-benarnya mampu dikerjakan oleh tenagakerja dengan kualifikasi pendidikan menengah atas dikerjakan oleh seorang sarjana, karena terpaksa harus menerimanya dari pada menganggur. Sebagai konsekuensinya, mereka rela dibayar lebih rendah dari tingkat produktivitasnya (MPL > W). Sebagai seorang manusia tentunya mereka ingin memaksimukan kepuasnya, yang bisa dicapai ketika MPL = W. Sehingga untuk mencapai kondisi tesebut, maka mereka akan mengurangi produktivitasnya melalui pola kerja yang tidak serius. Mungkin kondisi ini (karena ketidak mampuan pemerintah menciptakan lapangan kerja sesuai kualifikasi dan besarnya imbalan yang diharapkan setelah melakukan human investment) diduga sebagai salah satu pemicu maraknya moral hazard di Indonesia.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEbIJAKAN Keseimpulan

(1) Telah terjadi perubahan struktur ekonomi (pangsa

Tabel 9. Distribusi Tenagakerja Menurut Tingkat Pendidikan 1976, 1986, dan 2001 (%)

Tingkat Pendidikan Sektor Pertanian Sektor Non Pertanian

1976 1986 2001 1976 1986 2001

Tidak Pernah Sekolah 34,7 24,2 11,83 22,0 12,5 7,56

Tidak Tamat SD 37,9 36,3 23,92 30,1 23,4 16,91

Tamat SD 25,3 34,0 45,61 28,5 33,1 38,09

Tamat SLTP 1,7 4,3 13,10 9,1 12,3 16,96

Tamat SLTA 0,4 1,2 5,37 8,9 15,9 17,80

Tamat Perguruan Tinggi - - 0,17 1,4 2,8 2,68

Total (%)

Angkatan Kerja (000) 100 (29695) 100 (37645) 100 (39744) 100 (18620) 100 (30694) 100 (90807) Sumber: Suryana, 1989 (1976,1986); BPS 2001 (2001)

(12)



produksi terhadap PDB) di Indonesia selama tahun 1995-2001 yaitu dari pola J-I-P (Jasa-Industri-Perta-nian) ke pola I-J- P. Sementara itu, pada periode yang sama pola struktur pangsa penyerapan tenagakerja relatif stabil (tidak mengalami perubahan) dengan pola P-J-I. Dampak dari adanya perubahan struktur yang tidak seimbang menyebabkan terjadinya penum-pukan tenagakerja di sektor pertanian. Hal ini terlihat dari rasio antara pangsa penyerapan tenagakerja dengan pangsa produksi (PDB) pada sektor pertanian rata-rata 3,06; sebaliknya rasio tersebut pada sektor industri dan jasa berturut-turut 0,42 dan 0,80. Kalau kondisi ini terus dibiarkan maka akan terjadi proses percepatan pemiskinan pada sektor pertanian. (2) Ternyata pada sektor pertanian sendiri juga telah

terjadi perubahan struktur ekonomi antar subsektor yang tidak seimbang dengan perubahan struktur pangsa penyerapan tenaga kerja. Hal ini terbukti dari rasio antara pangsa penyerapan tenagakerja den-gan pangsa produksi pada subsktor tanaman panden-gan hampir sekitar 5, sedangkan pada sektor kehutanan dan perikanan < 1. Artinya, beban penumpukan tenagakerja yang terjadi saat ini pada sektor pertanian tidak terdistibusi dengan merata pada masing-masing subsektor, dimana hampir semuannya ditanggung subsektor tanaman pangan sehingga tidak mengher-ankan jika kondisi keluarga petani tanaman pangan semakin memprihatinkan.

(3) Secara umum telah terjadi perbaikan kualitas sumber-daya manusia di Indonesia, terbukti komposisi pen-duduk dengan pendidikan setara pendidikan menen-gah ke atas semakin besar, sebaliknya komposisi penduduk dengan tingkat pendidikan sekolah dasar ke bawah berkurang. Namun masalahnya adalah perbaikan kualitas sumberdaya manusia tersebut tidak diikuti oleh adanya kemampuan dari pemerin-tah Indonesia untuk menciptakan kesempatan kerja sesuai dengan kualifikasi dari perbaikan kualitas sumberdaya manusia tersebut. Fenomena ini dapat dilihat dari banyaknya pengangguran dengan tingkat pendidikan menengah ke atas dan bahkan dengan tingkat pendidikan sarjana.

Implikasi Kebijakan

(1) Upaya mengatasi terjadinya penumpukan tenagakerja di sektor pertanian yang nota bene pada umumnya berada di daerah pedesaan dapat dilakukan melalui pengembangan industri berbasis pedesaan, dengan harapan di satu sisi mampu menyerap kelebihan tenagakerja tersebut, dan di sisi lain mampu men-datangkan nilai tambah bagi produk pertanian. Se-hingga pada akhirnya proses percepatan pemiskinan di sektor pertanian bisa diperlambat.

(2) Pengembangan teknologi pertanian terutama pada daerah-daerah yang kelebihan tenagakerja seyog-yangya diarahkan pada inovasi teknologi sarat tena-gakerja, sehingga masalah kelebihan tenagakerja pada daerah tersebut dapat dikurangi.

(3) Perlu adanya restrukturisasi industri di Indonesia

yang mengarah kepada kesesuaian dengan kualitas dan kualifikasi tenagakerja yang ada sekarang. Atau sebaliknya, jenis pendidikan yang harus dikembang-kan harus disesuaidikembang-kan dengan kebutuhan pasar tena-gakerja, khususnya pasar tenagakerja pada sektor in-dustri. Sehingga fenomena banyaknya pengangguran dengan tingkat pendidikan sarjana bisa dikurangi. (4) Porsi jumlah dana yang dianggarkan pemerintah

dalam bentuk investasi di sektor pertanian perlu dit-ingkatkan lagi, mengingat transformasi tenagakerja relatif lebih respon terhadap perubahan kesempatan kerja di sektor pertanian dibandingkan perubahan kesempatan kerja disektor industri dan jasa.

DAFTAR PUSTAKA

BPS.1997; 2001.Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Ja-karta

Dasril, A.S. 1993. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Produksi Sektor Pertanan dalam Industrialisasi di Inonesia, 1971-1990. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Erwidodo. 1995. Transformasi Struktural dan Industrialisasi Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Hayami, Y. dan V.W. Ruttan. 1991. Agricultural Development: An International Perspective. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London.

Iskandar, I. 1993. Transfromasi Perekonomian Sumatera Barat: Suatu Analisis Struktutal (1969-1990). Thesis, Pendidikan Pascasarjana KPK IPB-UNAND, Universitas Andalas, Padang.

Kagami, H. 2000. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja serta Transformasi Tenagakerja dari Sektor Pertanian ke Sektor Non Pertanian di Provinsi Sumatera Selatan. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sastrowiharjo M. 1989. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi Provinsi Jambi: Suatu Studi Simulasi Sistem Eko-nomi Regional. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Simatupang, P. dan Sudi Mardianto. 1997. Pengaruh Kebijaksa-naan Moneter dan Kurs Valuta Asing terhadap Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia. Prosiding Seminar Nasi-onal PERHEPI “Pertanian dan Pedesaan Indonesia dalam Transisi: Refleksi dan Perspektif”

Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan dasar Kebijaksanaan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Suhartini, S. dan S. Mardianto. 2001. Transfromasi Struktur Kesempatan Kerja Sektor Pertanian ke Non Pertanian di Indonesia. Agro-Ekonomika No.2 Oktober 2001. PE-RHEPI, Jakarta.

Sulistyaningsih, E. 1997. Dampak Perubahan Struktur Ekonomi pada Struktur Kebutuhan Kualitas Tenagakerja di Indonesia, 1980-1990; Pendekatan Input-Output. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryana, A. 1989. Perspektif Mobilitas Kerja dan Kesempatan

Kerja Pedesaan dalam E. Pasandaran, et. al. Perkembangan Struktur Produksi, Ketenagakerjaan dan Pendapatan Ru-mah Tangga Pedesaan. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor.

Swasono dan Sulistyaningsih. 1993. Pengembangan Sumberdaya Manusia: Konsepsi Makro untuk Pelaksanaan di Indonesia. Izufa Gempita, Jakarta.

(13)

Restrukturisasi Ketenagakerjaan dalam Proses Modernisasi Berdampak Perubahan Sosial pada Masyarakat Petani [Roosgandha Elizabeth]

1 Kajian terhadap Petani Tebu Rakyat Intensifikasi di Kab.Deli Serdang, Sumatera Utara. 2 d/h Puslitbang Sosek Pertanian (PSE). Bogor.

RESTRUKTURISASI KETENAGAKERJAAN DALAM PROSES MODERNISASI

bERDAMPAK PERUbAHAN SOSIAL PADA MASyARAKAT PETANI

1

ROOSGANDHA ELIzAbETH2

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor

AbSTRAcT

Sugar, one of the commercial plant state commodity for Indonesia; which are the necessary for human being, under any circumstances. But, sugar cane cause the land more tight to get rid of these difficult problems, by con-ducting “Tebu Rakyat Intensifikasi” programs. These purpose of research, to know about the labor concerning income, trend, and the restructurization become of labor transformation, which were depended the social change on social, economics, culture and politics trend of the sugar cane peasant, at Langkat and Deli Sedang districts, North Sumatera. “P.G” Kuala Madu is the cane industry manufactory, which the “TRI” program’s applied. The labor interaction caused the many social change problems. : “Social change is the significant alteration of social structure through time”. “Social structure means a persistent network of social relationships in which interaction gas become routine and repetitive”. (Harper, 1989). Sugar cane farming system, to increasing sugar cane productiv-ity and farmer (peasant) incomes by “TRI” policy program, and aspect of it for competitive influence abilproductiv-ity and sugar selling price in international market and domestic market. The identifying problems of sugar factory such BUMN’s inefficiency ; institution infractions, the weakness or dilated of governance to anticipatory the implication of many other sugar cane problem. Aim, the restructurization on labor of sugar cane farmers need government attended and, the restructurization of sugar factory should be directed to share owning removement to farmers of sugar cane.

Keywords: Labor Restructuring, Modernization Process, Social Change, and Peasant Community

PENDAHULUAN Latar belakang

Pembangunan di pedesaan merupakan sebagian dari proses pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah, sekaligus mengindikasikan perubahan terhadap aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa. Dampak perubahan yang signifikan meliputi perubahan mata pencaharian, dimana terjadi pergeseran orientasi dari sektor pertanian menjadi sektor industri, jasa dan perda-gangan yang berkembang pesat yang terakumulasi dari proses modernisasi dalam perkembangannya. Untuk memulai perkembangan, dalam historis setiap negara terdapat suatu momen optimal yang seharusnya mampu diselaraskan dalam berbagai perspektif baik ekonomi maupun sosial dan politik yang senantiasa dikait dengan sektor pertanian sebagai sumber penghidupan (way of

life dalam perspektif klasik petani) mayoritas penduduk

Indonesia.

Dampak positip maupun negatip pembangunan ekonomi nasional yang telah dilaksanakan selama ini terhadap perubahan struktur ekonomi baik nasional maupun pedesaan, dimana terjadi pergeseran baik sekto-ral, spasial maupun institusional dan proses transformasi ekonomi. Dampak positip terutama pada perkembangan

tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakat pedesaan yang terkait dengan perubahan kesempatan kerja dan ke-sempatan berusaha. Dampak negatip seperti pencemaran lingkungan, meningkatnya kecemburuan sosial, mun-culnya kesenjangan masyarakat desa-kota, khususnya persaingan meraih kesempatan kerja dan pendapatan karena perbedaan produktivitas pertanian dan non per-tanian akibat makin terbatasnya lahan usahatani, tingkat pendidikan dan ketrampilan. Bergesernya nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dialiniasi masyarakat desa merupakan dampak negatip pembangunan dalam aspek sosio-kultural akibat tekanan budaya dari para migran. Dampak negatip ini bukannya tanpa alasan. Kalau mau jujur, kita harus lebih mafhum atas rendahnya kualitas SDM pertanian, kondisi pencukupan gizi serta renda-hnya proteksi dan jaminan panen dan pasca panen yang tentunya akan mempengaruhi motivasi para petani untuk hasrat berprestasi (need for achienement) dalam meningkat-kan kuantitas dan kualitas produk pertaniannya.

Konsekuensinya adalah sektor pertanian menanggung beban penyerapan tenaga kerja yang berat yang men-gakibatkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian pedesaan lebih rendah dibanding sektor non pertanian di perkotaan. Perbedaan produktivitas tersebut merupakan insentif nyata bagi penduduk pedesaan untuk melaku-kan migrasi ke kota (urbanisasi); dimana sebagian besar

Gambar

Gambar 1.  Model Fei-Ranis tentang transfer tenagakerja dari sektor pertanian  ke sektor industri
Tabel 7.  Rasio  Pangsa  Penyerapan  Tenagakerja  Terhadap  Pangsa  PDB  pada  Sektor  Pertanian  Menurut  Sbsektor  Tahun  1995- 1995-2001
Tabel 8. Jumlah penduduk Indonesia menurut tingkat pendidi- pendidi-kannya tahun 1961-2001 (%) Tingkat Pendidikan 1961 1971  1980 1990 2001 Tidak Sekolah 68,1 45,2     (-3,1) 31,9             (-2,9) 18,9            (-3,7) 8,0             (-4,8) Tidak Tamat
Tabel 2:   Perkembangan dan Peran Perkebunan Tebu terhadap Areal, Produksi dan Produktivitas Gula Nasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum Perang Dunia II, cerita dari shoujo manga berkisar pada tema wanita yang menghadapi masalah ataupun bahaya dan akhirnya diselamatkan oleh pria yang

Profesionalisme menjadi taruhan ketika mengahadapi tuntutan-tuntutan peningkatan kwalitas Sumber daya Manusia (SDM) terutama dalam dunia pendidikan, yang salah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang... selaras dengan prinsip HAM yang berlaku universal, juga

kesalahan dalam pemilihan kata Terdapat kesalahan dalam pemilihan kata antara 1-2 Terdapat kesala- han dalam pemilihan kata antara 3-4 Terdapat kesala- han dalam pemilihan kata

Implikasi dari temuan ini adalah bahwa baik kompetensi pedagogik maupun kompetensi profesional guru matematika di SMAN di Kabupaten Bandung Barat secara bersamaan

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2011.. Skripsi ini berjudul “ Pengaruh Latihan Tendangan Dengan Teknik Kura-Kura Kaki penuh Dan Kura-Kura Kaki Bagian Dalam Terhadap Kemampuan

Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Aktivitas Belajar Warga Belajar Kejar Paket C Di Pusat Kegiatan Belajar (PKBM) Cahaya Kurnia Bangsa Kabupaten Lumajang Tahun Pelajaran

Pemberian insentif sangat penting bagi karyawan, karena besar kecilnya insentif merupakan ukuran terhadap prestasi kerja karyawan, maka apabila sistem insentif yang