• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 9 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 9 Universitas Kristen Petra"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Jenis-Jenis Pajak yang dikenakan pada Industri Tembakau 2.1.1. Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas barang konsumsi. Tarif PPN untuk penjualan barang hasil produksi pada umumnya adalah sebesar 10% dari harga barang tersebut. PPN digolongkan sebagai pajak tidak langsung, maksudnya adalah jenis pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan pada orang lain. Sedangkan sifat dari PPN adalah objektif, maksudnya adalah pajak yang berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Salah satu barang konsumsi yang dikenakan pajak ini adalah hasil produksi tembakau. Besarnya PPN yang ditetapkan untuk industri rokok dan tembakau tidak sama dengan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) pada umumnya.

Pihak-pihak yang mendukung sistem perpajakan tembakau adalah : 1. Penanggung jawab pajak adalah orang yang diharuskan melunasi pajak, 2. Penanggung pajak adalah orang yang memikul beban pajak,

3. Pemikul beban pajak adalah orang yang harus memikul beban pajak. Dari ketiga unsur di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pabrikan, ditunjuk sebagai penanggung jawab pajak, ia harus membeli pita cukai dan membayar PPN.

2. Agen tembakau, merupakan penanggung pajak, setiap kali mengambil tembakau dari perusahaan harus sekaligus membayar cukai dan PPN. 3. Konsumen, merupakan pemikul beban pajak.

(2)

2.1.1.1.Dasar Hukum

PPN atas penyerahan hasil tembakau (rokok) didasari oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 62/KMK.03/2002 tanggal 26 Februari 2002 tentang dasar Perhitungan, Pemungutan, dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau. Sebagai petunjuk pelaksanaan telah ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-103/PJ./2002 tanggal 28 Februari 2002. Ketentuan baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2002. Petunjuk Pelaksanaannya dijabarkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.51/2002 tanggal 28 Februari 2002.

2.1.1.2. Penyerahan Tembakau

Hasil Tembakau adalah hasil tembakau sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau leinnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya ( KMK 62/02). Pengusaha Pabrik hasil tembakau adalah badan hukum atau Orang Pribadi yang mengusahakan hasil pabrik tembakau dan memenuhi ketentuan sebagai Pengusaha Pabrik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (KMK 62/02). Importir hasil tembakau adalah orang pribadi atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan hasil tembakau yang dibuat di luar negeri ke dalam daerah pabean (KMK 62/02).

2.1.1.3.Objek Pajak

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan:

1. Hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh Pengusaha Pabrik hasil tembakau.

2. Hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir hasil tembakau. PPN yang terutang atas penyerahan hasil tembakau dipungut oleh Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau importir hasil tembakau, sepanjang tidak tergolong sebagai Pengusaha Kecil, dan disetor tunai ke bank persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) bersamaan dengan pembayaran cukai

(3)

atas penebusan pita cukai hasil tembakau. Bank persepsi adalah : bank yang ditunjuk pemerintah di mana perusahaan harus membayar pajak terutangnya. Atas impor hasil tembakau yang dibuat di luar negerti yang PPN-nya telah dilunasi pada saat pembayaran cukai, tidak lagi dikenakan PPN atas impor.

2.1.1.4.Tarif Efektif dan Dasar Pengenaan Pajak

Prosentase tarif PPN hasil tembakau ditetapkan melalui Surat Edaran Menteri Keuangan RI tahun 2000 (KMK 406/00) yang kemudian diperbaharui pada tahun 2002 melalui Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 62/KMK.03/2002 mengenai “Dasar Penghitungan Pemungutan, Dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau sebesar tarif efektif 8,4% (pasal 2 ayat 3). Tarif efektif adalah tarif yang ditetapkan untuk menghitung dan memungut Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas penyerahan hasil tembakau. Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas penyerahan hasil tembakau dihitung dengan menerapkan tarif efektif dikalikan dengan Harga Jual Eceran. (KMK 62/02). HJE tertera pada pita cukai atau bandrol pada kemasan. Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung pajak yang terutang adalah:

1. Harga Jual Eceran yaitu harga jual kepada konsumen akhir yang di dalamnya sudah termasuk cukai dan PPN.

2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari Harga Jual Eceran, dalam hal pemberian cuma-cuma.

3. 50% dari harga jual eceran, dalam hal pemakaian sendiri

Adapun yang dimaksud dengan pemberian cuma-cuma dan pemakaian sendiri dalam Pasal 1 angka 5 dan 6 Keputusan Dirjen Pajak dirumuskan sebagai berikut:

1. Pemberian cuma-cuma adalah penyerahan hasil tembakau kepada pihak ketiga secara cuma-cuma.

2. Pemakaian sendiri adalah penyerahan hasil tembakau kepada pengusaha sendiri, pengurus atau karyawan sendiri secara cuma-cuma.

Besarnya tarif PPN tidak tergantung macam-macam jenis hasil produksi tembakau maupun besar kecilnya perusahaan. Jika pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, telah menetapkan tarif sebesar 8,4% maka baik perusahaan

(4)

yang besar, menengah, maupun kecil akan dikenakan tarif sebesar 8,4% tersebut, kecuali pemerintah telah menetapkan tarif yang baru.

PPN ini dikenakan pada saat perusahaan melakukan pembelian dari pengepul atau importir hasil tembakau. PPN atas pembelian tembakau (dari pengepul) maupun bahan baku selain tembakau pungutannya sama seperti Barang Kena Pajak pada umumnya yakni sebesar 10% dan dapat dikreditkan selama pembelian dilakukan pada Pengusaha Kena Pajak. Sedangkan pembelian tembakau pada petani lokal tidak dipungut PPN karena petani lokal bukan termasuk PKP. Pada umumnya perusahaan membeli dari petani langsung, hanya dalam keadaan tertentu saja mereka membeli dari pengepul. Dalam pembelian bahan baku selain tembakau diperlukan faktur pajak yang tujuannya sebagai bukti bahwa perusahaan sudah melunasi pembelian beserta pajaknya.

2.1.1.5.Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai

Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai diperoleh dari tarif sebesar 8,4% dikalikan dengan harga jual eceran satu periode. Di mana tarif sebesar 8,4% diperoleh dari : 10/110*(100%-7,5%) = 8,4%. Angka 10 adalah angka yang diperoleh dari Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%, di mana angka 110 diperoleh dari angka 100 yang merupakan harga jual ditambah dengan 10 yakni PPN 10% tadi. Sedangkan untuk (100%-7,5%), angka 100% merupakan harga pita cukai dan 7,5% merupakan profit atau keuntungan yang harus diberikan pada agen atau pedagang yang mana tembakau tersebut diserahkan.

Misalnya harga jual eceran untuk satu periode sebesar Rp 1.500.000,00 maka perhitungan PPN-nya adalah :8,4%*1.500.000 = 126.000

2.1.1.6.Kompensasi Kelebihan Pembayaran Pajak Masukan pada Masa Pajak Sebelumnya

PPN atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dapat diperhitungkan dengan PPN yang hatus disetor pada saat pembayaran cukai atas penebusan pita cukai pada Masa Pajak berikutnya. Dalam Pasal 3 ayat (4) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-103/PJ/2002 tanggal 28 Februari 2002

(5)

ditetapkan bahwa untuk menetapkan jumlah PPN yang dibayar, Pengusaha Pabrik hasil tembakau dan importir hasil tembakau dapat memperhitungkan:

1. Kelebihan Pajak Masukan yang diperhitungkan dalam SPT Masa PPN dari Masa Pajak sebelum masa dilakukan penebusan pita cukai.

2. Nilai PPN sebanding dengan pita cukai yang dikembalikan.

Dalam rangka memastikan kebenaran Pajak Masukan yang digunakan untuk melunasi PPN yang terutang atas penyerahan hasil tembakau, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib melakukan penelitian:

1. Mencek kebenaran dengan cara mencocokkan dokumen impor seperti PIB (Persetujuan Impor Barang), bukti barang masuk sepertu Bill of Lading atau Airway Bill dan bukti pembayaran seperti L/C atau transfer.

2. Konfirmasi Pajak Masukan.

2.1.1.7.PPN atas pita cukai yang dikembalikan

Dalam hal terdapat pengembalian cukai, maka atas Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar yang besarnya sebanding dengan cukai yang dikembalikan, diperhitungkan dengan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai pada saat pembayaran cukai atas pemesanan (penebusan) pita cukai berikutnya (KMK 60/02).

Di mana dalam pengembalian cukai tersebut akan dikembalikan secara proporsional yang akan diperlakukan sebagai berikut:

1. Bagi pabrikan atau importir hasil tembakau yang masih harus membayar PPN pada saat penebusan pita cukai, dapat memperhitungkan PPN yang telah dibayar sebanding dengan pita cukai yang dikembalikan tersebut dengan PPN yang seharusnya dibayar. PPN yang diperhitungkan sebanding dengan jumlah pengembalian cukai.

2. Bagi pabrikan atau importir hasil tembakau yang tidak lagi melakukan penebusan pita cukai dan karenanya tidak akan melakukan pembayaran PPN, maka PPN yang telah dibayar sebanding dengan pita cukai yang dikembalikan tersebut dapat diminta pengembalian (restitusi) di kantor Pelayanan Pajak tempat pabrikan atau importir terdaftar. Permohonan

(6)

pengembalian ini diproses sesuai dengan tatacara pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang.

2.1.2. Cukai

Cukai merupakan pungutan atas barang-barang tertentu yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang No.11/1995. Barang yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu adalah barang yang pemakaiannya perlu diawasi dan dibatasi. Tidak semua barang kena pajak dikenakan cukai dan besar prosentase tarifnya juga berbeda-beda sesuai dengan jenis barangnya.

Kriteria Barang Kena Cukai (BKC) dan Jenis Barang Kena Cukai, terdiri dari 3 jenis, salah satunya adalah hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya. (Menurut UU No 11/1995 Bab 2 Pasal 4c). Menurut pasal 8 ayat 1a cukai tidak dipungut terhadap tembakau iris yang dibuat dari hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan/ atau pada kemasaannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merk dagang, etiket, atau yang sejenis itu.

Besarnya prosentase tarif tembakau ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dipungut oleh Dirjen Bea dan Cukai. Pengenaaan tarif cukai berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 89/KMK.05/2000. Sifat pemungutan cukai adalah final atau tidak dapat dikreditkan. Pemesanan pita cukai dilakukan pada saat perusahaan akan melakukan proses produksi dimana pada saat itu perusahaan sudah memprediksi jumlah produksi yang akan dihasilkan perusahaan dalam satu periode. Mengenai harga bandrol yang tercantum dalam pita cukai, akan ditentukan oleh pemerintah setelah perusahaan mengajukan perincian-perincian produksi kepada Dirjen Bea dan Cukai. Dengan mengajukan perincian produksi tembakau, harga bandrolnya akan bisa ditetapkan (Misalnya 1 kemasan tembakau

(7)

yang beratnya 40 gram harga bandrol yang tertera adalah Rp. 7500,00). Perusahaan bisa memesan pita cukai melebihi jumlah target produksi dalam batasan tertentu. Dalam batasan tertentu maksudnya adalah perusahaan bisa pesan pita cukai terlebih dahulu tanpa melakukan pembayaran, hal inilah yang dinamakan fasilitas kredit yang diberikan oleh Bea Cukai. Jumlah fasilitas kredit ini disesuaikan dengan status besar-kecilnya perusahaan. Kelebihan pita cukai itu boleh dipakai untuk proses produksi berikutnya selama prosentase tarif cukai yang diberlakukan masih sama. Jadi jika tarif cukai mengalami perubahan maka perusahaan harus menggunakan tarif yang baru.

Tarif cukai ditentukan berdasarkan batasan produksi pabrik yang pada akhirnya akan menentukan golongan pengusaha pabrik tembakau., sesuai dengan batasan produksi pabrik sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Keputusan Menteri Keuangan No. 449/KMK.04/2002 Tentang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau.

Tabel 2.1 memperlihatkan tarif cukai dan batasan harga jual eceran (HJE) hasil tembakau dalam negeri menurut Keputusan Menteri Keuangan tahun 2002.

Tabel 2.1. Tarif Cukai dan Batasan harga Jual Eceran Hasil Tembakau Dalam Negeri

Jenis Hasil

Tembakau

Golongan HJE Minimum

Per Batang /gram

Tarif Cukai A SKM I Rp 400,00 40% II Rp 330,00 36% III Rp 320,00 26% B SPM I Rp 270,00 40% II Rp 210,00 36% III Rp 200,00 26% C SKT I Rp 340,00 22% II Rp 280,00 16% III/a Rp 270,00 8%

(8)

III/b Rp 200,00 4% D KLM,KLB,SPT I Rp 150,00 8% II Rp 125,00 4% E TIS I Rp 30,00 20% II Rp 30,00 16% III/a Rp 30,00 8% III/b Rp20,00 4% F CRT Tanpa golongan Rp 200,00 20% G HPTL Tanpa golongan Rp 200,00 20%

Tabel 2.2. Golongan Pengusaha Pabrik Tembakau

Jenis Hasil

Tembakau

Golongan Batasan Produksi Pabrik

A SKM I Lebih dari 2 milyar batang

II Lebih dari 500 juta batang tapi tidak lebih dari 2 milyar batang III Tidak lebih dari 500 juta batang

B SPM I Lebih dari 2 milyar batang

II Lebih dari 500 juta batang tapi tidak lebih dari 2 milyar batang III Tidak lebih dari 500 juta batang

C SKT I Lebih dari 2 milyar batang

II Lebih dari 500 juta batang tapi tidak lebih dari 2 milyar batang III/a Lebih dari 6 juta batang tapi

tidak lebih dari 500 juta batang III/b Tidak lebih dari 6 juta batang

D KLM,KLB,SPT I Lebih dari 6 juta batang

(9)

E TIS I Lebih dari 2 milyar gram II Lebih dari 500 juta gram tapi

tidak lebih dari 2 milyar gram III/a Lebih dari 50 juta gram tapi

tidak lebih dari 500 juta gram III/b Tidak lebih dari 50 juta gram

F CRT Tanpa golongan Tanpa batasan produksi

G HPTL Tanpa golongan Tanpa batasan produksi

Berikut adalah keterangan dari singkatan-singkatan jenis hasil tembakau:

1. SKM, Sigaret Kretek Mesin adalah sigaret kretek yang pembuatannya dari awal sampai akhir menggunakan mesin atau sebagian besar pembuatannya memakai mesin.

2. SPM, Sigaret putih Mesin adalah sigaret putih yang pembuatannya dari awal sampai akhir menggunakan mesin atau sebagian besar pembuatannya memakai mesin.

3. SKT, Sigaret Kretek Tangan adalah sigaret kretek yang pembuatannya dari awal sampai akhir hanya menggunakan tangan.

4. SPT, Sigaret Putih Tangan adalah sigaret putih yang pembuatannya dari awal sampai akhir hanya menggunakan tangan.

5. KLM, sigaret Kelembak Kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur kelembak dan/atau kemenyan.

6. KLB, Kelobot/ rokok daun adalah rokok yang bahan pelintingnya memakai daun nipah, daun jagung atau sejenisnya.

7. TIS, Tembakau Iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang.

8. CRT, cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung dengan daun tembakau.

(10)

9. HPTL, Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen.

10. HJE, Harga Jual Eceran adalah harga yang tertera pada pita cukai atau bandrol pada kemasan. HJE tidak sama dengan harga jual dari perusahaan ke distributor, HJE lebih besar nilainya daripada harga jual.

(Sumber mengenai keterangan singkatan di ats bersumber dari Undang-Undang pemungutan tarif cukai atas barang kena cukai (BKC) pasal 4 huruf c).

Penyesuaian Golongan Pengusaha Pabrik selain dari Golongan Pengusaha Pabrik Kecil Sekali wajib dilakukan oleh Pengusaha Pabrik pada saat Produksi Pabrik dalam tahun takwim yang sedang berjalan telah melampaui Batasan Produksi yang berlaku bagi Golongan Pengusaha Pabrik yang bersangkutan. (KMK 597/01).

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri dipungut dan disetor oleh Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau Importir hasil tembakau, termasuk sebagai Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bersamaan pada saat pembayaran Cukai atas pemesanan (penebusan) pita cukai dengan cara penyetoran tunai ke bank persepsi dengan Surat Setoran Pajak. Penyetoran pajak dilakukan dengan memakai formulir Surat Setoran Pajak yang bentuknya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut Keputusan Menteri Keuangan No.62 tahun 2002 (Mohammad Rusjdi 2004:31-2). Dalam hal pembayaran Cukai hasil tembakau lebih awal dari saat jatuh tempo baik sebagian maupun seluruhnya, bersamaan pula dilunasi jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang sebanding dengan cukai yang dibayar. 2.1.2.1.Perhitungan Cukai

Untuk menghitung cukai yang disetorkan perusahaan hanya dengan mengalikan prosentase tarif cukai dengan jumlah Harga Eceran. Contoh tarif yang dikenakan pada perusahaan adalah 16% dan total Harga Jual Eceran selama satu

(11)

periode adalah sebesar 1.000.000 maka cukai yang harus dibayar adalah: 16%*1.000.000 = 160.000

2.1.2.2.Kredit Pajak

Pajak Pertambahan Nilai atas impor dan atau perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dapat diperhitungkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor pada saat pembayaran cukai atas penebusan pita cukai pada Masa pajak berikutnya. Pajak Masukan yang digunakan untuk pelunasan PPN atas penyerahan hasil tembakau pada saat penebusan pita cukai dalam suatu Masa Pajak adalah hasil kompensasi atas Pajak Masukan yang telah dikreditkan dalam Masa Pajak sebelumnya. (SE 06/02).

2.1.2.3.Pelaporan

Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan tetap berpedoman kepada Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-12/PJ./1995 (KEP 103/02). Jadi total penyerahan pajak adalah cukai + PPN (PK)

Menurut contoh soal di atas maka penyerahan total jumlah pajak adalah : Total pajak = 126.000 + 160.000

= 286.000

2.1.2.4.Fasilitas Kredit dari Bea Cukai

Dalam melakukan pembelian pita cukai, perusahaan tidak langsung membeli dan membayar pita cukainya. Perusahaan memesan pita cukai terlebih dahulu baru setelah tiga bulan kemudian pita cukainya akan dibayar. Selama itu Dirjen Bea Cukai memberikan fasilitas kredit kepada perusahaan. Besar kecilnya fasilitas kredit ditentukan dengan status besar atau kecilnya perusahaan. Contoh: Selama satu tahun mulai dari Mei 2003 sampai dengan Mei 2004 Bea Cukai memberikan fasilitas kredit kepada perusahaan sebesar Rp 2.999.000.000,00. Perusahaan memesan pita cukai pada bulan Juni sebesar Rp 1.234.000.000,00. Fasilitas kredit yang tersisa dari Bea Cukai sebesar Rp.1.765.000.000,00. Untuk

(12)

bulan Juni perusahaan membayar pembelian pita cukai pada bulan Maret (pemesanan pita cukai 3 bulan), misal sebesar Rp.1.100.000.000 Sementara bulan Juninya akan dibayar pada bulan September. Karena membayar pesanan bulan Maret maka fasilitas kreditnya akan ditambahkan sebesar Rp.1.100.000.000 maka akan menjadi Rp.2.865.000.000.

Jadi pada intinya jika perusahaan memesan maka fasilitas kreditnya akan berkurang sementara jika perusahaan membayar maka fasilitas kreditnya akan bertambah. Bea Cukai hanya memberikan fasilitas kredit satu tahun dalam jumlah yang sama (kecuali jika ada pembaruan ketentuan), jadi untuk pemesanan atau pembayaran pita cukainya hanya dikurang atau ditambah saja.

2.1.2.5.SPT Masa PPN Bagi PKP pada Umumnya 1) Formulir 1195 -SPT Masa PPN Induk.

2) Formulir 1195 A1 -Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM.

3) Formulir 1195 A2 -Daftar Pajak Keluaran dan PPNBM Yang Tidak Dipungut/Ditunda/Ditangguhkan/Dibebaskan /Ditanggung Pemerintah (DTP).

4) Formulir 1195 A3 -Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM kepada Pemungut PPN.

5) Formulir 1195 B1 -Daftar Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan. 6) Formulir 1195 B2 -Daftar Pajak Masukan dan PPnBM Yang

Memperoleh Pembayaran Pendahuluan dari BAPEKSTA Keuangan.

7) Formulir 1195 B3 -Hasil Penghitungan Kembali Pajak Masukan (PM) Yang Telah Dikreditkan/ Tidak Dipungut/ Ditangguhkan/ Dibebaskan.

8) Formulir 1195 B4 -Daftar Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan.

Setiap PKP wajib menyampaikan SPT Masa PPN formulir 1195 dengan lampiran sekurang-kurangnya formulir pada angka 1) sampai dengan angka 6) dan angka 8), sedangkan bagi PKP yang

(13)

merupakan Pabrikan dan menyerahkan BKP yang Tergolong Mewah serta Eksportir BKP Yang Tergolong Mewah diwajibkan menambahkan satu lampiran lagi, yaitu:

9) Formulir 1195 BM -SPT Masa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Khusus Lampiran 1195 B3, hanya dilampirkan dalam SPT Masa PPN 1195 pada salah satu dari tiga Masa Pajak setelah Akhir Tahun Buku. Dalam hal Tahun Bukunya sama dengan tahun takwim, lampiran ini boleh dilampirkan pada SPT Masa PPN Januari atau Februari atau Maret pada awal tahun buku berikutnya.

2.1.2.6 Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri (SSCP)

Formulir SSCP ini bentuknya lebih sederhana daripada bentuk formulir SPT Masa PPN. Lembar 1-b merupakan lembar yang digunakan untuk menyetor pajak dan melaporkannya. Pada bagian A hanya berisi mengenai data diri PKP, yang terdiri dari NPWP, Nama, serta Alamat Perusahaan. Pada bagian B-nya, ditulis dari dokumen mana cukai perusahaan itu didapatkan, pada bagian C, isinya merupakan penerimaan cukai Negara yang berisi berbagai macam-macam jenis cukai yang dikenakan baik terhadap Hasil Tembakau, Etil Alkohol, ataupun minuman yang mengandung Etil Alkohol. Perusahaan ini akan mengisi pada bagian cukai yang dikenakan pada Cukai Hasil Tembakau.dan kemudian mengisi jumlah setoran cukai dan pajaknya pada bagian D.

2.2. Proposisi

Perusahaan melakukan pembelian bahan baku untuk produksi tembakau irisan ini dari petani. Karena petani bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak maka penyerahan tembakau kepada perusahaan tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Sedangkan untuk pembelian bahan baku lainnya seperti gula, bumbu-bumbu, kardus, lem dan sebagainya perusahaan membeli dari PKP, sehingga atas pembelian tersebut Pajak Masukannya bisa dikreditkan.

(14)

Dalam industri tembakau ini ada dua jenis pajak dan atau pungutan yang bisa dikenakan karena melakukan pembelian pita cukai, yaitu Pajak Pertambahan Nilai dan pungutan Cukai.

2.2.1 Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Industri Tembakau • Perhitungan PPN dalam Industri Tembakau

Untuk Pajak Pertambahan Nilai tarif yang ditetapkan untuk industri ini adalah sebesar 8,4% dari Harga Jual Eceran. Jumlah dari Pajak Pertambahan Nilai yang sebesar 8,4% tersebut merupakan Pajak Keluaran. Dalam hal ini, meskipun perusahaan melakukan pembelian pita cukai dari Dirjen Bea Cukai, dari pembelian tersebut tidak digolongkan sebagai Pajak Masukan melainkan sebagai Pajak Keluaran dengan alasan bahwa yang dilihat adalah penyerahan tembakau oleh petani kepada perusahaan, memang petani tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, namun bisa dikatakan bahwa perusahaan mewakili petani untuk membayar dalam bentuk pita cukai. Oleh karena itu pada waktu perusahaan melakukan penjualan tembakau kepada agen tidak dipungut PPN lagi.

Contoh yang diberikan untuk memperjelas penjelasan di atas adalah petani jual tembakau kepada perusahaan dengan harga Rp 12 milyar, memang petani tidak terutang PPN namun untuk membayar pita cukai yang menjadi dasar bagi perusahaan untuk membayar PPN-nya adalah penyerahan tembakau oleh petani sebesar Rp 12 milyar tersebut (a).

Contoh perhitungannya:

Pabrikan Tembakau “A” dalam Masa Pajak April 2002 melakukan kegiatan sebagai berikut:

a) Tanggal 22 April 2002 menebus pita cukai pada Dirjen Bea dan Cukai dengan nilai penyerahan (total HJE) sebesar 12 milyar, sehingga nilai PPN terutang sebesar 8,4% * Rp 12 milyar = Rp1.008.000.000,00

b) Kelebihan PPN Masa Pajak Maret 2002 berdasarkan SPT Masa PPN Maret 2002 yang telah dilaporkan pada tanggal 20 April 2002 sebesar Rp 100 juta. c) Setoran tunai pada saat penebusan pita cukai sebesar Rp 908 juta dengan

(15)

d) Membeli bahan-bahan baku/pembantu produksi dalam negeri dengan membayar Pajak Masukannya sebesar Rp 450 juta selama Masa Pajak April 2002.

e) Melakukan impor mesin produksi dari luar negeri dengan membayar PPN impor sebesar Rp 150 juta.

f) Menjual hasil produksi tembakau sebesar Rp 9.500.000.000,00 selama Masa Pajak April 2002.

Perhitungan PPN Masa Pajak April :

1) Pajak Keluaran Masa April 2002 = Rp 1.008.000.000,00 2) Kompensasi PPN Masa Pajak Maret 2002 = Rp 100.000.000,00 3) PPN disetor di muka masa Pajak April 2002 = Rp 908.000.000,00 SSP 4) Pajak Masukan dalam Negeri pada = Rp 450.000.000,00

Masa Pajak April 2002

5) Pajak Masukan Impor pada Masa Pajak April = Rp 150.000.000,00

2002

= Rp 600.000.000,00

6) Diperhitungkan dalam penebusan pita cukai = Rp ……….. pada Masa Pajak April 2002

7) Dikompensasi ke Masa Pajak April 2002 = Rp 600.000.000,00

Penjualan tembakau sebesar Rp 9,5 milyar tidak diperhatikan (tidak dikenakan PPN lagi) karena penyerahan yang dihitung dilakukan berdasarkan nilai PPN atas penebusan pita cukai, yaitu Rp 12 milyar (f). Kelebihan PPN masa pajak bulan lalu bisa dikompensasikan dengan Pajak Keluaran bulan atau periode yang berjalan (b). Jadi Pajak Masukan bulan lalu akan dikompensasikan dengan Pajak Keluaran di periode berjalan (jumlah nomor 4 dan 5) akan menjadi kelebihan PPN Masa Pajak April dan dilaporkan dalam SPT PPN Masa Pajak April 2002 dan dapat diperhitungkan (dikompensasi) dengan PPN yang harus dibayar pada saat penebusan pita cukai Masa Pajak Mei 2002 atau Masa Pajak berikutnya.

(16)

• Penyetoran dalam Industri Tembakau

Dalam melakukan pembayaran (penyetoran) pita cukainya dokumen yang digunakan oleh perusahaan adalah Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri (SSCP). SSCP ini menggantikan penggunaan faktur pajak. Jadi perusahaan tidak menerbitkan faktur pajak dalam penjualannya. Untuk pembayarannya dilakukan tiga bulan berikutnya. Jadi misalnya perusahaan memesan pita cukai tanggal 1 Januari dan 25 Januari 2002 perusahaan harus membayar utang cukainya pada tanggal 1 April dan 25 April 2002. Misal untuk tanggal 1 Januari saja total PPN-nya (8,4%) sebesar Rp 10 juta, maka PPN ini ditulis dalam satu lembar SSCP sebesar Rp.840.000,00. Dan dibayarkan pada tanggal 1 April. Pembayaran atau penyetoran cukai ini dilakukan di bank persepsi.

• Pelaporan dalam Industri Tembakau

Setelah melakukan penyetoran maka yang harus dilakukan perusahaan adalah melaporkan bahwa dia telah membayar utang pajaknya. Pelaporan ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan dokumen-dokumen sebagai berikut : Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), dan SSCP. Pelaporan ini dilakukan paling lambat tanggal 20 setelah periode penyetoran pajak (KEP 103/02). Jadi misalnya pada bulan April tadi perusahaan telah melakukan penyetoran maka perusahaan harus melaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 pada bulan Mei. Jika pada tanggal 20 merupakan hari libur maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

Contoh pengisian SPT Masa PPN Masa Pajak April 2002 sebagai berikut ( lanjutan dari contoh penghitungan PPN).

Kode B.1.3.5. Penyerahan dengan tarif efektif = Rp 12.000.000.000,00 Kode C.1.2. Pajak Keluaran = Rp 1.008.000.000,00 Kode C.4.2. Pajak yang disetor di muka dalam = Rp 908.000.000,00

Masa Pajak yang sama

Kode C.5. Pajak Keluaran yang harus = Rp 100.000.000,00

dipungut sendiri

(17)

Kode D.1.2. Pajak Masukan Dalam Negeri = Rp 450.000.000,00 Kode D.3. Kompensasi Kelebihan PPN = Rp 100.000.000,00

bulan lalu

Kode D.5. Jumlah Pajak yang dapat = Rp 700.000.000,00 diperhitungan

Kode E.2. Pajak yang lebih dibayar = Rp 600.000.000,00 2.2.2 Perlakuan Cukai atas Industri Tembakau

• Perhitungan Cukai dalam Industri Tembakau

Dalam industri tembakau, selain dikenakan PPN, juga dikenakan cukai. Tarif yang dikenakan adalah sebesar 16%. Tarif 16% ini didasarkan pada golongan usaha perusahaan yakni termasuk usaha menengah. Tarif ini juga dikenakan dari Harga Jual Eceran (HJE). Jadi misalnya total Harga Jual Eceran sebesar 10 juta, maka cukai yang dibayarkan sebesar 10juta*16% = Rp 1,6 juta.

• Penyetoran Cukai dalam Industri Tembakau

Untuk penyetoran ini dokumen yang dipakai sama dengan dokumen yang digunakan untuk penyetoran PPN yakni SSCP. Jadi baik PPN terutang 8,4% maupun cukai sebesar 16% pembayarannya dilakukan dengan menggunakan dokumen ini. sementara total cukai (16%) sebesar Rp 10 juta, ditulis pada bagian yang lain. Jika HJE sebesar 10 juta maka cukainya dibayar sebesar Rp 1.600.000,00, namun ditulis pada bagian yang lain pada SSCP. Jadi, jika pada tanggal 1 April perusahaan melakukan pembayaran maka total pajak yang disetor adalah sebesar jumlah PPN dan cukai yang terutang yakni sebesar Rp 2.440.000,00 dan disetorkan juga pada bank persepsi. Sama dengan perlakuan unutk PPN dia tas maka bank persepsi juga mengambil lembar ke-4 sebagai bukti perusahaan telah melakukan pembayaran.

• Pelaporan Cukai dalam Industri Tembakau

Pelaporan ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan dokumen-dokumen sebagai berikut: Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), dan SSCP. Pelaporan ini dilakukan paling

(18)

lambat tanggal 20 setelah periode penyetoran pajak. Jadi misalnya pada bulan April tadi perusahaan telah melakukan penyetoran maka perusahaan harus melaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 pada bulan Mei. Jika pada tanggal 20 merupakan hari libur maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Pada dasarnya untuk penyetoran dan pelaporan cukai pada perusahaan tembakau sama dengan penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam halpelaporan lembar yang ke-3 untuk SSCP dilaporkan pada KPP, lembar yang ke-5 sampai yang ke-7 untuk arsip perusahaan,sedangkan sisanya dilaporkan pada kantor bea dan cukai.

Gambar

Tabel 2.1 memperlihatkan tarif cukai dan batasan harga jual eceran (HJE)  hasil tembakau dalam negeri menurut Keputusan Menteri Keuangan tahun 2002
Tabel 2.2. Golongan Pengusaha Pabrik Tembakau

Referensi

Dokumen terkait

Rincian Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Tidak Langsung Satuan Kerja Perangkat Daerah.. Rekapitulasi Belanja Langsung menurut Program dan

Kroesen, C.A., “Geshiedenis van Asahan” dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde van Bataviasch Genootschap, Deel XXXI, Batavia: Albrecht&co dan Deen

Penakar hujan adalah instrumen yang digunakan untuk mendapatkan dan mengukur jumlah curah hujan pada satuan waktu tertentu.Dalam penelitian ini akan dilakukan rancang bangun

8 ANALISIS RISIKO-IMBAL HASIL SELLING OPTION ON WTI 106 Premi di Semua Strike Menurun Terendah di Tahun 2009 107 Analisis Deskriptif Menunjukkan bahwa Data Memiliki Efek ARCH

Oleh karena itu sadarilah, bahwa orang lain tidak mengetahui apa yang ada dalam pikiran kita sebenarnya, dan kitapun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan orang, kecuali dari

Pada tahap persiapan, langkah yang pertama dilakukan adalah menganalisis materi IPA yang sudah dipelajari di dalam kelas interkulikuler yang sesuai dengan topic yang akan

Bertolak dari konteks penelitian yang peneliti paparkan, maka fokus penelitian ini adalah peningkatan mutu pembelajaran pendidikan agama Islam dalam membentuk

mereka ikut dalam permainan judi online serta hal-hal lain yang mungkin akan. terjadi, dalam proses ini mereka melakukan identifikasi