Dalam mencapai sebuah desain taman dan rumah tinggal hemat energi faktor yang sangat berperan adalah aspek site design (0,67) yang berarti bahwa 67 % dari tujuan utama dapat dicapai berkat aspek ini, sisanya berupa aspek building design (0,33) yang berarti 33%, jika digabung maka tujuan utama tersebut diatas dapat tercapai 100%. Pencapaian tersebut diperkuat dengan temuan Prianto (2007) yang menyebutkan bahwa aspek site design seperti aspek iklim eksterior, tanaman dan air berkonstribusi terhadap penghematan energi berupa penekanan konsumsi listrik dalam rumah tinggal. Lebih jauh lagi, site design yang diinterpretasikan sebagai lanskap dinilai merupakan strategi yang potensial dalam mewujudkan konsep desain berkelanjutan (Pranoto 2008). Beberapa komponen-komponen yang mendukung alternatif keputusan tersebut berdasarkan urutan prioritasnya yaitu komponen tanaman (48,3%), komponen air (water features) (24,2%), komponen bangunan (10,9%), komponen tapak (10,7%), dan yang terakhir adalah komponen perkerasan (5,8%). Hal tersebut dapat di interpretasikan, bahwa menurut para pakar komponen tanaman menjadi komponen prioritas utama dalam mencapai sebuah desain taman dan rumah tinggal hemat energi dan mutlak keberadaanya karena bobotnya yang sangat signifikan dibandingkan komponen-komponen yang lain, namun harus tetap dikombinasikan dengan komponen-komponen lanskap lainnya. Bobot-bobot komponen maupun variabel tersaji pada skema Analytical Hierarchy Process (AHP) beserta pembobotannya yang dapat dilihat pada Gambar 7. Selebihnya hasil pembobotan AHP ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Selanjutnya komponen desain taman dan rumah tinggal hemat energi dijabarkan pada subbab berikut dibawah ini.
Komponen Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi Tanaman
Pada gambar 7 terlihat bahwa komponen pembentuk desain hemat energi terdiri dari lima komponen utama yaitu, tanaman, air, bangunan, tapak dan perkerasan. Melalui perhitungan AHP diperoleh komponen prioritas utama untuk desain hemat energi adalah komponen tanaman (0,483). Elemen utama dari taman (lanskap) masuk dalam kategori soft material. Tanaman dalam hal ini
Overall Inconsistency 0,03
adalah tanaman lanskap yang didefinisikan sebagai tanaman yang dibudidayakan untuk penataan lanskap dan mencakup tumbuhan alami jika terdapat pada suatu tapak (site). Para pakar menilai kehadiran tanaman menjadi sangat penting disebabkan kemampuannya secara aktif (alamiah) dalam memperbaiki kondisi lingkungan dari segi ekologis, estetis, sosial-ekonomi dan kesehatan. Pohon dianalogikan sebagai AC alami. Melalui mekanisme evapotranspirasi, sebatang pohon soliter dapat menguapkan 400 liter air per hari. Hal ini setara dengan 5 unit AC ruangan yang berkapasitas 2500 kcal/hr, dan beroperasi selama 20 jam per hari (Federer 1976).
Pohon berpengaruh positif terhadap temperatur udara berdasarkan mekanisme pembayangan (canopy effect), di mana pohon memayungi area atau ruang di bawahnya dari sinar matahari langsung sehingga mengurangi derajat panas dan berpengaruh pada pendinginan udara sekitar berdasarkan mekanisme evapotranspiration, di mana pelepasan air dari permukaan daun mendinginkan permukaan daun dan mempengaruhi temperatur udara di sekitarnya. Pohon berpengaruh negatif terhadap proses pemanasan (naiknya temperatur udara pagi hari) berdasarkan mekanisme ‘selimut’ di mana kanopi pohon menghalangi pertukaran panas dengan daerah sekitarnya sehingga lingkungan di bawahnya tidak cepat menjadi panas. Sebegitu pentingnya tanaman dalam penghematan energi karena potensi yang dimilikinya. Menurut Heisler (1986) kita akan dapat merasakan dan menerima secara rutin efek penghematan energi maksimum hingga 25% pada rumah tinggal konvensional yang ternaungi oleh tanaman.
Komponen tanaman tersebut didukung oleh variabel-variabel yang dijadikan sublevel dalam AHP ini. Variabel tersebut berdasarkan urutan prioritasnya adalah kerapatan tajuk, jumlah tanaman, jarak dari bangunan, tata letak tanaman dan jenis tanaman. Hasil analisis pendapat para pakar menunjukkan hasil sebagai berikut:
a. Kerapatan tajuk (32,6%)
Bentuk tajuk tanaman berbagai macam, namun tajuk yang diklasifikasikan berfungsi sebagai penaung adalah tajuk berbentuk bulat (round), kubah (dome), menyebar (spreading) karena dari pohon dengan tajuk tersebut memiliki lebar atau diameter yang cukup lebar disertai dengan percabangan yang menyebar sehingga terbentuk kanopi pohon yang berfungsi sebagai penaung. Kerapatan tajuk yang dimaksud adalah kerimbunan, rapat, tebal
suatu tajuk pohon yang disebabkan oleh daunnya sehingga tajuk tersebut dapat berfungsi sebagai filter atau penangkal sinar dan radiasi matahari. Kerapatan tajuk pohon dikelompokkan berdasarkan persentase cahaya matahari yang tertahan oleh tajuk tanaman dalam hal ini pohon.
b. Jumlah tanaman (19,5%)
Peran tanaman yang begitu penting, hingga PERMENPU No.5/PRT/M/2008 mewajibkan menghadirkan tanaman ke dalam ruang terbuka pada rumah tinggal, disesuaikan dengan luasan lahan yang rumah yang ada. Menurut peraturan tersebut, pada rumah tinggal dengan luasan kecil yaitu dengan klasifikasi luasan lahan kurang dari 200 m2 diwajibkan ditanam minimal 1 pohon pelindung dan dilengkapi oleh strata tanaman lain yang lebih rendah. Lahan terbuka yang sempit dapat diatasi dengan penggunaan tanaman perdu atau semak, tanaman pemanjat (climbers), tanaman pencekik (stranglers) dan tanaman yang masuk dalam kategori Crassulacean Acid Metabolism (CAM). Tanaman-tanaman tersebut dapat diaplikasikan untuk menghijaukan dinding rumah tinggal (greenwall/vertical greenery). Jumlah tanaman berpotensi menambah luasan tajuk tanaman dalam memfilter radiasi matahari disesuaikan dengan potensi lahan yang ada.
c. Jarak dari bangunan (17,9%)
Penanaman tanaman harus berjarak dalam hal ini dengan bangunan. Jarak tanaman dari bangunan terkait erat dengan kelembaban dan sirkulasi udara yang dapat membantu ameliorasi iklim. Jarak yang terlalu dekat relatif membloking aliran udara menuju bangunan, namun jarak yang terlalu jauh efek peneduhan tanaman akan kurang optimum. Jarak tanaman ini juga disesuaikan dengan peraturan bangunan yaitu garis sempadan bangunan. Besar jarak atau lebar sempadan bangunan di Indonesia adalah setengah dari lebar jalan di depannya. Hal ini berdampak pada rumah dengan luasan area yang terbatas, biasanya berada di lingkungan dengan lebar jalan yang tidak terlalu lebar maksimum antara 6-8 meter yang berarti garis sempadan bangunan yang diijinkan adalah selebar 3 – 4 meter. Jika lebar jalan lebih sempit lagi, maka kondisi tersebut membuat garis sempadan bangunannya akan semakin lebih pendek.
d. Tata letak tanaman (16,5%)
Tata letak tanaman, terkait dengan orientasi bangunan dan ketersediaan RTH Pekarangan. Ruang terbuka yang tersedia dan memungkinkan pada
rumah tinggal dihijaukan menjadi RTH Pekarangan dengan tanaman seperti pada halaman depan rumah dan atau halaman samping, utamanya jika berorientasi Timur-Barat, sebagai penangkal sinar matahari (ameliorasi iklim) sekaligus buffer dan barier polutan serta elemen estetis. Pada halaman belakang yang biasanya menjadi area servis, hijauan tanaman dapat sebagai barier pandangan ke arah area servis, area therapeutic, sekaligus menjalankan fungsi utamanya sebagai penangkal panas (ameliorasi iklim). e. Jenis tanaman (13,5%)
Jenis tanaman yang memiliki kemampuan dalam ameliorasi iklim pada RTH Pekarangan. Tanaman pada dasarnya terbagi atas beberapa kelompok besar, yaitu pohon, semak dan perdu serta herba yang biasanya diaplikasikan sebagai tanaman penutup tanah (ground cover plant) dan rumput. Secara fungsi vegetasi, strata tanaman paling bawah yang akan banyak berfungsi sebagai vegetasi untuk perbaikan kondisi lahan (perintis) dan dapat mengantisipasi erosi, selain fungsi teknis dan estestis dimana vegetasi berupa pohon akan lebih banyak berfungsi sebagai pembentuk dan penaung ruang lanskap. Pohon yang terpilih untuk penghijauan pekarangan rumah dalam kajian ini dibatasi dengan menggunakan pohon sedang berukuran 6 -15 meter. Pohon sedang tersebut di duga tepat untuk lahan yang terbatas dengan asumsi luasan area terbuka pekarangan sekitar 40 %- 70% dari luas lahan,
Air (water features)
Air menjadi komponen prioritas kedua dalam desain taman dan rumah tinggal hemat energi (0,242). Elemen air sering dihadirkan sebagai elemen estetis dan dinilai dapat menciptakan kesan sejuk. Kesan sejuk tersebut diperoleh karena air bertindak sebagai elemen stabilitator suhu (climate control). Air menyerap sinar matahari dan kemudian melalui proses evaporasi kelembaban yang ditimbulkan ditambah tiupan angin membuat suhu menjadi lebih rendah. Salah satu karakteristik fisik air adalah gerakan (motion) (Booth 1983). Gerakan air tersebut diklasifikasikan menjadi yaitu air diam (statis) atau air dinamis. Air yang beriak (dinamis), menimbulkan gelombang pada permukaan air sehingga luas permukaan air tersebut menjadi lebih luas. Luas permukaan elemen air tersebut menurut Fatimah (2004) berpengaruh nyata terhadap penurunan suhu udara disekitarnya, sehingga dalam menghadirkan
elemen air dalam rumah tinggal sebagai kontrol suhu alternatif yang dapat dipilih adalah water features dengan tipe gerakan air yang dinamis.
Fungsi elemen air terhadap lingkungan yang lain yaitu elemen air mengabsorbsi polusi bunyi dan udara disekitarnya. Efek suara yang dihasilkan dari percikan-percikan water feature seperti air mancur, air mengalir atau air terjun menjadi penetralisir polusi bising dari luar ruangan, sehingga menurunkan tingkat kebisingan. Air yang beriak, menghasilkan percikan-percikan air yang didalamnya terkandung partikel ion-ion hidrogen yang merupakan ion negatif. Setiap partikel ion negatif tersebut dapat mengikat debu serta zat kimia yang ada di udara sehingga air mancur tersebut dapat dikatakan memfilter udara. Zat-zat beracun dapat terserap melalui pancaran air yang keluar dari lubang nozel air pada air mancur, air mengalir atau air terjun. Zat-zat tersebut juga dapat berdifusi langsung dalam pergerakan air.
Komponen Air tersebut didukung oleh variabel-variabel yang dijadikan sublevel dalam AHP ini. Penentuan variabel komponen air didefinisikan berdasarkan pemanfaatan visualnya (Visual uses of water) (Booth 1983) dan tidak dimaksudkan untuk menambahkan semua tipe dari wujud waterfeatures tersebut ke dalam RTH Pekarangan. Variabel komponen air tersebut berdasarkan urutan prioritasnya adalah air terjun (falling water), air mancur (jets), air mengalir (flowing water) dan air statis (static water). Hasil analisis pendapat para pakar menunjukkan hasil sebagai berikut:
a. Air terjun (33,2%)
Air terjun (Falling water) yang dimaksud adalah struktur buatan yang dirancang secara arsitektural untuk memanipulasi fluiditas air. Dalam menciptakan air terjun dapat digunakan gaya gravitasi alam sehingga air dapat mengalir terjun dari ketinggian tertentu, sehingga relatif dapat menghemat penggunaan mekanis pompa dan listrik. Alat mekanis seperti pompa dapat digunakan saat diperlukan. Riak, percikan air dan suara yang ditimbulkan sering dijadikan focal point dalam desain taman. Sebagai fungsi terhadap kontrol suhu, riak atau gelombang yang dihasilkan diduga lebih membuat dan memiliki luas permukaan air yang paling luas sehingga sangat berpotensi dalam menurunkan temperatur.
b. Air mancur (28,3%)
Air mancur (Jets) ini juga merupakan salah satu struktur buatan yang dirancang secara arsitektural untuk memanipulasi dan membentuk fluiditas
air ke dalam sebuah alat mekanis seperti pompa untuk menyemprotkan air tersebut dan kemudian jatuh kedalam suatu wadah dengan bentukan tertentu, pada umumnya disebut kolam air mancur (fountains). Diduga, penggunaan alat mekanis pompa untuk air mancur ini relatif membutuhkan energi listrik, sehingga kedudukan variabel komponen air ini tidak berada di urutan teratas. Gerakan air mancur juga menimbulkan riak, percikan air dan suara, sehingga sering juga menjadi focal point dalam desain taman. Sebagai fungsi terhadap kontrol suhu, riak atau gelombang yang dihasilkan diduga membuat dan memiliki luas permukaan air yang lebih luas sehingga berpotensi dalam menurunkan temperatur.
c. Air mengalir (26,0%)
Air mengalir (Flowing water) yang dimaksud adalah sebuah kolam dengan desain atau struktur buatan menggunakan undakan-undakan atau perbedaan ketinggian menggunakan energi gravitasi alam sehingga dicapai sebuah desain air yang mengalir sebagai representasi sungai-sungai kecil. Riak dan percikan air yang ditimbulkan oleh tipe gerakan air ini kurang begitu signifikan, namun tetap dapat digunakan sebagai kontrol suhu. Riak atau gelombang yang dihasilkan diduga membuat dan menambah luas permukaan air sehingga cukup berpotensi dalam menurunkan temperatur. d. Air statis (12,6%)
Air statis (Static water) merupakan salah satu elemen lanskap, tipe visual air statis biasa diwujudkan dengan kolam. Kolam pada umumnya dapat berupa kolam dengan dasar lahan (ponds) sehingga bersifat lebih alamiah atau struktur buatan yang dirancang secara arsitektural yang digunakan untuk menampung atau mewadahi air tanpa dilengkapi oleh alat mekanis sehingga menimbulkan kesan statis (pool). Evaporasi dan bantuan dari tiupan angin dari tipe water features air statis tetap dapat menurunkan suhu lingkungan.
Bangunan
Bangunan, yang selama ini kita lebih berorientasi kepadanya, ternyata tidak memperoleh hasil yang signifikan (0,109). Bangunan diartikan sebagai ruang binaan manusia, salah satunya berupa bangunan rumah tinggal. Bangunan dalam hal ini rumah tinggal tetap penting keberadaannya sebagai kulit ketiga manusia yang melindungi seseorang dari pengaruh lingkungan fisik (iklim) seperti hujan, radiasi matahari, angin, dan lain-lain. Komponen bangunan dalam
konteks kajian ini bangunan merupakan benda mati, tidak dapat atau tidak memiliki kemampuan (alamiah) dalam memperbaiki kondisi lingkungan seperti menurunkan suhu. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bangunan bersifat sebagai kulit atau proteksi yang berfungsi mencegah atau menghambat atau memperlemah pengaruh kondisi lingkungan yang ekstrim menimpa tubuh atau diri manusia. Bangunan merupakan benda introduksi yang dimunculkan kedalam sebuah lingkungan, sehingga komponen bangunanlah yang harus lebih beradaptasi terhadap lingkungan eksteriornya melalui reka bentuk bangunannya tersebut baik dari segi klimatik, lingkungan dan tapak serta terintegrasi dengan elemen lanskap lainnya.
Komponen Bangunan juga didukung oleh variabel-variabel yang dijadikan sublevel dalam AHP ini. Penentuan variabel komponen bangunan didefinisikan secara fenomenologis dan berdasarkan pola pembentukan ruang. Variabel komponen bangunan tersebut berdasarkan urutan prioritasnya adalah bukaan, atap, tritisan, bentuk dan konfigurasi ruang, mekanikal dan elektrikal, dinding dan lantai. Hasil analisis pendapat para pakar menunjukkan hasil sebagai berikut:
a. Bukaan (36,5%)
Suhu panas memang merupakan ciri khas daerah tropis basah, tetapi permasalahan utama yang dihadapi oleh bangunan adalah problem kelembaban yang tinggi (Mangunwijaya 2000), begitu pula untuk kasus kota Bogor. Pergantian udara yang mengalir lancar namun dengan batasan luasan yang tepat membantu menyeimbangkan antara suhu dan kelembaban.
Bukaan yang dimaksud dalam kajian ini adalah lubang dalam area dinding yang berfungsi sebagai jalan masuknya angin (penghawaan atau ventilasi alami) dan untuk mendapatkan penerangan alami dari cahaya matahari. Bukaan pada umumnya diinterpretasikan dan diwujudkan sebagai jendela dan lubang angin (rooster atau bouvenlicht). Desain jendela dipengaruhi faktor-faktor meliputi penempatan, dimensi dan tipe atau model jendela yang dipilih. Ventilasi silang juga akan lebih maksimal apabila penempatan secara vertikal ikut diperhitungkan. Dalam perencanaan dan perancangan bangunan, diusahakan untuk memasukkan cahaya matahari semaksimal mungkin, sedangkan radiasi panas matahari ini diusahakan agar tidak masuk ke dalam ruangan.
Atap yang dimaksud dalam hal ini adalah salah satu elemen pembentuk ruang (selubung bangunan bagian atas atau kepala bangunan). Bidang Atap atau langit-langit (overhead plane) utamanya berfungsi sebagai pelindung sinar matahari dengan prinsip payung atau perisai (prinsip pembayangan). Desain atap terkait dengan bentuk, material pembentuk, sudut kemiringan, warna, bahan insulasi, penggunaan plafon. Atap yang cukup tinggi (volume ruang antara penutup atap dan langit-langit besar) membantu mengurangi pemanasan ruang-ruang yang berada di bawahnya. c. Tritisan (16,7%)
Tritisan atau overhang adalah bagian dari bangunan berupa atap tambahan yang berdiri sendiri atau berupa perpanjangan dari atap utama. Sinonim lain, atap sengkuap, sosoran, kanopi atap. Tritisan dapat menggunakan prinsip pembayangan atau prinsip penyaringan (filter). Tritisan berperan menangkal sinar matahari yang membawa panas tidak masuk kedalam ruang rumah. Tritisan memiliki arti penting sebagai pelengkap atap pada rumah tinggal di Indonesia, karena terdapat data yang menunjukkan perbedaan suhu antara dinding rumah yang tidak ternaungi dan ternaungi tritisan pada siang hari dapat mencapai 6 ºC (pengukuran pada pukul 11.00 WIB) (Anonim 2009). Desain tritisan yang tepat dapat menghalangi pancaran radiasi matahari hingga 100%.
d. Bentuk dan konfigurasi ruang (8,7%)
Bentuk merupakan perwujudan dari hasil konfigurasi tertentu dari permukaan-permukaan dan sisi-sisi bidang vertikal maupun horisontal. Dalam sebuah bentuk tercipta sebuah ruang. Bentuk dan ruang terkait dengan dimensi. Dimensi suatu bentuk adalah panjang, lebar, tinggi. Dimensi-dimensi ini menentukan proporsinya. Bentuk dan konfigurasi ruang yang berkaitan dengan rasio lebar dan panjang bangunan, bangunan yang terlalu tipis tidak baik, begitu pula sebaliknya karena terkait dengan penerimaan bangunan terhadap paparan sinar matahari. Sudah terdapat rasio ideal yang dapat dijadikan acuan dalam membuat bentuk dan konfigurasi ruang rumah tinggal.
e. Mekanikal dan elektrikal (7,7%)
Pada bangunan modern aspek mekanikal dan elektrikal sudah salah satu menjadi kebutuhan utama. Dalam hal prinsip penghematan energi, dapat diterapkan penggunaan daya listrik dengan bijak disesuaikan untuk
kebutuhan yang benar-benar diperlukan melalui menerapkan perlengkapan listrik sesuai aktivitas dalam bangunan.
f. Dinding (7,6%)
Dinding yang dimaksud dalam hal ini adalah salah satu elemen pembentuk ruang atau selubung bangunan bagian tengah atau sering dianalogikan sebagai badan bangunan (vertical space divider). Jenis material dinding berpengaruh terhadap penyerapan panas, sehingga pemilihan material harus dilakukan dengan seksama dikaitkan pertimbangan terhadap penyerapan panas dan konsep hijau. Alternatif lain untuk menghambat penyerapan panas adalah dengan menggunakan ketebalan dinding agar memperlambat rambatan panas.
g. Lantai (4,6%)
Lantai yang dimaksud dalam hal ini adalah salah satu elemen pembentuk ruang atau selubung bangunan bagian bawah atau sering dianalogikan sebagai kaki bangunan (base plane). Lantai berperan sebagai alas kita berpijak dalam melakukan aktivitas. Pada daerah iklim tropis basah konstruksi lantai dapat menjaga kesejukan ruang jika lantai tersebut tidak mengandung kelembaban dari tanah dan warnanya memantukan radiasi panas.
Tapak
Tapak (0,107) merupakan komponen prioritas keempat. Tapak didefinisikan sebagai suatu lahan dalam hal ini tanah sebagai alas untuk mendirikan bangunan. Menurut pakar, komponen tapak tetap memiliki potensi untuk berkontribusi dalam penghematan energi. Tapak menggambarkan lingkungan sekitar, sehingga dalam merancang tapak atau menempatkan bangunan pada tapak (perubahan kondisi yang ada) kita harus menentukan apa yang dipertahankan, diperkuat, ditekankankan, dikurangi, digubah maupun dihilangkan untuk membuat keadaannya menjadi lebih baik. Tapak secara umum terkait dengan keamanan dalam mendirikan bangunan, sehingga faktor daya dukung menjadi penting dan diharapkan tidak banyak memodifikasi kondisi alamiah tapak atau permukaan tanah, kecuali memang sangat diperlukan (Karyono 2010).
Komponen tapak juga didukung oleh variabel-variabel yang dijadikan sublevel dalam AHP ini. Variabel komponen tapak tersebut berdasarkan urutan
prioritasnya adalah intensitas tutupan lahan, sistem utilitas, bebas dari gangguan geo-biologis, orientasi, topografi, dan jenis tanah. Hasil analisis pendapat para pakar menunjukkan hasil sebagai berikut:
a. Intensitas tutupan lahan (32,3%)
Intensitas tutupan lahan adalah ukuran kepadatan bangunan dalam tiga dimensional, dikaitkan dengan luas kapling. Intensitas digunakan sebagai instrumen untuk mengendalikan kepadatan bangunan. Untuk ukuran horisontal, digunakan BCR (Building Coverage Ratio)/KDB (Koefisien Dasar Bangunan). Koefisien Dasar Bangunan ini bertujuan untuk mengatur besaran luasan bangunan yang menutupi permukaan tanah dan agar memungkinkan RTH Pekarangan sebagai ruang penghijauan.
b. Sistem utilitas (21,3%)
Sistem utilitas, terkait perilaku bijak dalam mengelola sumberdaya air, yaitu air bersih maupun air buangan dan membatasi sampah dapat membantu mengurangi kerusakan lingkungan.
c. Bebas dari gangguan geo-biologis (13,9%)
Secara umum, variabel komponen tapak terebas dari gangguan geo-biologis yang terkait dengan keamanan bangunan beserta manusianya dan kenyamanan serta kesehatan penghuni. Terkait dengan keamanan bangunan tapak seharusnya berada di area yang stabil, maksudnya relatif kecil kemungkinan terkena bencana yang dahsyat. Area tapak dipastikan tidak terletak pada kawasan banjir, atau daerah rawan tsunami, tanah longsor. Selain Longsor perlu pula diwaspadai adanya bangunan yang dibangun didaerah patahan. Secara umum kota-kota di Indonesia terletak didaerah yang rawan gempa, sehingga untuk jaminan keamanan, struktur bangunan diperkuat disertai dengan bentukan bangunan yang sederhana sebagai antisipasi agar dapat bertahan menghadapi gempa sampai lebih dari 9 skala richter.
Faktor bahaya biologis datang dari hewan maupun vegetasi. Dari hewan yang terkait dengan keamanan bangunan adalah rayap dari jenis Coptotermes formosanus. Perlu kewaspadaan dan ketelatenan. Waspada untuk mencegah dan terhadap tanda-tanda kehadiran rayap serta telaten dalam upaya untuk membasminya.
Vegetasi sangat berperan dalam upaya penghematan energi. Keberadaan vegetasi dapat menjadi ancaman karena faktor kelalaian manusia.
Perakaran jika tidak disediakan lahan yang cukup akan mengganggu vegetasi tersebut karena mengurangi kekokohannya dan membahayakan manusia karena akan mudah tumbang. Perakaran dapat mengganggu pondasi bangunan. Peletakan vegetasi yang kurang tepat menghalangi sinar dan angin, berpotensi meningkatkan kelembaban ruang karena sirkulasi udara terhalang. Keberadaan vegetasi berpotensi mengundang hama-hama tanaman. Pemeliharaan secara rutin seperti penyiangan, pemangkasan, pemupukan teratur, penyemprotan jika terserang (diusahakan dengan bahan non-kimiawi).
d. Orientasi (13%)
Orientasi bangunan yang menentukan posisi minimal dalam menerima paparan radiasi matahari secara langsung. Perbedaan orientasi bangunan rumah dapat mempengaruhi kondisi termal dalam ruangan.
e. Topografi (10,8%)
Topografi yang juga terkait dengan keamanan bangunan. Derajat kemiringan lereng yang ideal untuk bangunan rumah tinggal tidak melebihi 15%. Kemiringan lahan >15% terbuka terhadap iklim yang keras, bahaya gempa bumi, bahaya tanah longsor, tanah yang tidak stabil. Peletakan bangunan pada topografi yang relatif tidak landai memperbesar resiko akan bahaya, sehingga perlu tindakan dan biaya ekstra dalam melakukan perbaikan kondisi tersebut.
f. Jenis tanah (8,7%)
Tanah merupakan bagian yang mendukung bangunan di atasnya maupun aktifitas manusia dan sebagai media pertumbuhan vegetasi. Tanah menyediakan unsur hara bagi tanaman untuk tumbuh dan berkembangnya. Karena tema penelitian ini ke arah hemat energi melalui konsep hijau, tanah tidak hanya diperuntukkan untuk menopang bangunan di atasnya, tetapi juga sebagai media untuk menumbuhkan tanaman yang baik. Jenis tanah mempunyai karakteristik dan kandungan yang berbeda-beda, diantaranya daya resapnya terhadap air, kepekaan erosi dan daya dukung.
Perkerasan
Perkerasan (non bangunan) (0,058) merupakan elemen penunjang taman dan rumah tinggal. Perkerasan yang bersifat keras berpengaruh terhadap
penyerapan panas dan penyerapan air. Komponen perkerasan yang tepat diyakini dapat membantu dalam usaha penghematan energi.
Komponen Perkerasan (non bangunan) juga didukung oleh variabel-variabel yang dijadikan sublevel dalam AHP ini. Penentuan variabel-variabel komponen perkerasan (non bangunan) didefinisikan secara fenomenologis berdasarkan elemen yang pada umumnya berada pada eksterior unit lanskap rumah tinggal yang bersifat material keras. Variabel komponen perkerasan (non bangunan) tersebut berdasarkan urutan prioritasnya yaitu: perkerasan (pavement) itu sendiri serta pagar dan tembok pembatas (wall dan fence) sebagai bagian dari site structure. Hasil analisis pendapat para pakar menunjukkan hasil sebagai berikut:
a. Perkerasan (51,5%)
Perkerasan merupakan permukaan material yang solid dan diharapkan dapat bertahan lama yang dipasang di atas permukaan tanah pada suatu area untuk mendukung fungsi lalu lintas kendaraan maupun pejalan kaki di atasnya. Jenis perkerasan permeable seperti grassblock sangat disarankan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Prasodyo dan Nurisjah (1998) bahwa Infiltrasi terbesar dijumpai pada bahan penutup tanah grassblock. Dalam kategori beton berperforasi didapatkan interblok 4-6 m kemampuan infiltrasi terbesar, selanjutnya diikuti dengan interblok 16-6, behaton 13-6 dan zurich 12-6. Dari sisi penyerapan panas conblock merupakan jenis perkerasan yang cukup menyerap panas terlebih lagi keramik. Penyerapan panas oleh material perkerasan tersebut dapat mempengaruhi terhadap suhu bangunan, terlebih jika peletakannya relatif berdekatan. Panas tersebut dapat merambat melalui konduksi dan konveksi ke dalam bangunan. Untuk menanggulangi hal tersebut, sebaiknya tidak membiarkan perkerasan tanpa diberikan naungan seperti naungan pohon atau didekatkan dengan elemen air (Fatimah, Arifin, dan Widjaya 1998).
b. Pagar dan tembok pembatas (48,5%)
Tinggi pagar yang baik adalah tidak lebih dari 1.20 meter dan untuk dinding pembatas tidak lebih dari 1.70 meter. Pagar rumah tinggal sebaiknya dibuat renggang atau berongga (kesan transparan) agar sirkulasi udara ke dalam rumah tinggal tetap baik. Pagar dengan konsep hijau sekaligus estetis seharusnya dinilai dapat membantu sebagai penahan atau penghalang terhadap debu, polusi dan radiasi sinar matahari serta mengalirkan bahkan membloking arus angin yang kencang (green fence).
Konsepstualisasi Desain Taman dan Rumah Tinggal Hemat Energi
Tanaman
Tanaman atau secara umum vegetasi merupakan satu aspek penting dalam Arsitektur Lanskap. Tanaman secara fungsional dapat menjaga kestabilan lahan, ekologi lingkungan, penampilan visual dan sebagai komponen dalam upaya penghematan energi. Menilik dari hasil perolehan bobot AHP pada subbab sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa konsep desain taman dan rumah tinggal hemat energi adalah mengoptimumkan fungsi Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTH Pekarangan) utamanya dengan menggunakan tanaman terutama pohon pelindung dengan kriteria yang tepat. Kriteria variabel taman dan rumah tinggal hemat energi untuk komponen tanaman selengkapnya tertuang pada Tabel 10.
Tabel 10. Variabel Hemat Energi untuk Komponen Tanaman (Bobot 0,483)
No Variabel Bobot Kriteria desain untuk skor
1 2 3 1 Kerapatan tajuk 0,326 Kerapatan tajuk rendah <25% Kerapatan tajuk sedang 25%-75% Kerapatan tajuk tinggi 75% 2 Jumlah tanaman 0,195 1 pohon pelindung 2 pohon pelindung 3 pohon pelindung 3 Jarak dari bangunan 0,179 <2 m 3 m 4 m 4 Tata letak tanaman 0,165 Hanya halaman depan atau belakang Hanya halaman depan atau belakang atau Di halaman depan dan belakang Di halaman depan dan halaman belakang dan atau halaman samping
5 Jenis tanaman
0,135 Perdu 1,5-3 m Pohon kecil 3-6 m Pohon sedang 6-15 m
Kerapatan Tajuk. Pohon sebagai salah satu unsur vegetasi yang paling berperan dalam pengendalian lingkungan termalnya atau ameliorasi iklim terutama karena tanaman pohon mempunyai mekanisme payung (canopy effect) terkait dengan bentuk dan kerapatan tajuk. Bentuk tajuk bulat (round), kubah (dome), menyebar (spreading) berfungsi sebagai penaung karena dari pohon
dengan tajuk tersebut memiliki lebar atau diameter yang cukup lebar seperti pada pohon Filicium decipiens dan Ficus benjamina disertai dengan percabangan yang menyebar seperti pada pohon Delonix regia sehingga terbentuk kanopi pohon yang berfungsi sebagai penaung. Kerapatan tajuk yang dimaksud adalah kerimbunan, rapat, tebal suatu tajuk pohon yang disebabkan oleh daunnya sehingga tajuk tersebut dapat berfungsi sebagai filter atau penangkal sinar dan radiasi matahari. Kerapatan tajuk pohon dikelompokkan berdasarkan persentase cahaya matahari yang tertahan oleh tajuk tanaman atau pohon. Pembagian kerapatan tajuk, adalah sebagai berikut:
1. Kerapatan tajuk < 25% = kerapatan tajuk rendah/ringan 2. Kerapatan tajuk 25% - 75% = kerapatan tajuk sedang
3. Kerapatan tajuk > 75% = kerapatan tajuk tinggi/rapat /berat
Daun-daun menghalangi, memantulkan, menyerap dan meneruskan radiasi matahari. Dengan demikian maka mekanisme pohon dalam pengendalian lingkungan termal dapat diintepretasikan sebagai berikut:
1. Pohon berpengaruh positif terhadap temperatur udara berdasarkan mekanisme pembayangan (canopy effect), di mana pohon memayungi area atau ruang di bawahnya dari sinar matahari langsung sehingga mengurangi derajat panas dan berpengaruh pada pendinginan udara sekitar.
2. Pohon dan strata tanaman lain berpengaruh positif terhadap proses pendinginan berdasarkan mekanisme evapotranspiration, di mana pelepasan air dari permukaan daun mendinginkan permukaan daun dan mempengaruhi temperatur udara di sekitarnya.
3. Pohon berpengaruh negatif terhadap proses pemanasan (naiknya temperatur udara pagi hari) berdasarkan mekanisme ‘selimut’ di mana kanopi pohon menghalangi pertukaran panas dengan daerah sekitarnya sehingga lingkungan di bawahnya cepat menjadi panas. Efek dari laju naik temperatur udara tidak terlalu berpengaruh pada temperatur udara rata-rata.
Jumlah Tanaman. Sebatang pohon selama hidupnya diprediksi mampu menyerap 7.500 gram karbon. Karena alasan inilah tumbuhan dikenal sebagai pelaku carbon sinks. Diduga, dalam satu hari sebatang pohon menyerap CO2 antara 20-36 gram per hari. Ilustrasinya, bila di pekarangan rumah kita terdapat 10 buah pohon, maka dalam sebulan pekarangan anda memberikan kontribusi menyerap CO2 sebanyak 5,6 – 10,08 kg atau menyimpan 750 kg karbon selama
tanaman itu tumbuh di sana. Jika diakumulasikan pada lingkungan yang lebih luas, semisal dalam lingkungan rumah tinggal kita terdapat ada 99 Kepala Keluarga yang memiliki jumlah pohon sama dengan di rumah kita, maka jumlah CO2 yang diserap dalam lingkungan tersebut menjadi 0,5 – 1,008 ton atau karbon yang disimpan sebanyak 75 ton selama pohon tersebut tumbuh (Rohman, 2009).
Kasus lain, 1 acre (0,405 ha) luas pertanaman di Amerika dalam setahun menyerap CO2 yang setara dengan CO2 yang diemisikan oleh sebuah mobil yang menempuh jarak 26.000 mile (41.842,944 km) dan 0,405 ha luas lahan berpepohonan di Brooklyn cukup untuk mengkompensasi penggunaan bahan bakar oleh sebuah mobil yang menempuh jarak 7.200 – 8700 mile (11.587,27 – 14.001,29 km) (Rohman, 2009).
Pohon, dalam satu jam, satu lembar daun memproduksi oksigen (O2) sebanyak 5 ml. Dengan mengambil contoh ilustrasi di atas, jika pekarangan rumah kita dan sekitarnya yang ditanami pepohonan tadi dan bila rata-rata jumlah daun per pohon 200 lembar, maka pohon-pohon di tempat tinggal Anda dan sekitarnya akan menyumbang oksigen sebanyak 10 pohon x 100 rumah tinggal x 200 lembar daun x 5 ml O2 yang dihasilkan= 1.000 liter per jam jumlah O2 yang dihasilkan. Angka ini setara dengan jumlah kebutuhan Oksigen untuk pernapasan sebanyak sekitar 18 orang, sementara kebutuhan Oksigen untuk satu orang bernapas adalah 53 liter per jam (Rohman 2009).
Dari penjelasan diatas, maka jelas keberadaan tanaman sangat penting menyangkut banyak aspek terutama penghematan energi. Ruang terbuka yang tersedia dan memungkinkan pada rumah tinggal dihijaukan menjadi RTH Pekarangan. Rumah dengan area terbatas berkonsekuensi membatasi kuantitas hijauan yang ada. Peraturan yang ada yaitu PERMENPU No.5/PRT/M/2008 mewajibkan untuk tetap menghadirkan tanaman ke dalam ruang terbuka pada rumah tinggal, walaupun tetap disesuaikan dengan luasan lahan yang rumah yang ada. Pada peraturan tersebut menyebutkan arahan kuantitas tanaman yang harus ada pada rumah tinggal dengan luasan kecil yaitu kategori pekarangan kecil dengan kriteria luasan lahan kurang dari 200 m2 mewajibkan penghuninya untuk menanam minimal 1 pohon pelindung dan dilengkapi oleh strata tanaman lain yang lebih rendah untuk mendapatkan manfaat yang paling optimal. Masih pada arahan peraturan tersebut, lahan terbuka yang sempit atau terbatas tidak menutup kemungkinan untuk tetap menghijaukan area terbuka
pada rumah tinggal. Cara yang dapat ditempuh seperti menggunakan tanaman dengan strata yang lebih rendah seperti tanaman perdu atau semak. Jenis tanaman lain yang dapat digunakan adalah tanaman pemanjat (climbers), tanaman pencekik (stranglers) dan tanaman yang masuk dalam kategori Crassulacean Acid Metabolism (CAM) dengan ciri-ciri, sebagai berikut:
1. Kutikula yang tebal 2. Sekulen
3. Luas permukaan daun sempit atau kecil
4. Dapat mengurangi ukuran stomata atau frekuensi membuka stomata untuk mengurangi hilangnya kandungan air.
Jarak dari Bangunan. Keberadaan tanaman di ruang terbuka rumah tinggal memang wajib adanya. Namun belum ada regulasi maupun peraturan resmi bagaimana tata lanskap tersebut secara detail. Jarak tanaman terutama pohon harus dipertimbangkan. Pohon dengan kategori pohon sedang di duga tepat untuk lahan yang terbatas dengan asumsi luasan area terbuka pekarangan sekitar 40 %- 70% dari luas lahan, hal ini terkait dengan perakaran pohon. Pohon sedang pada umumnya memiliki tajuk berdiameter maksimum sekitar 5-6 meter. Tajuk pohon merupakan cerminan perakarannya (analogi jam pasir). Berdasar informasi diatas, maka pohon sedang dapat diaplikasikan pada ruang terbuka atau pekarangan rumah tinggal yang sesuai dengan rasio persentasi luas lahan tersebut diatas. Dengan luasan tersebut, diperkirakan tanaman pohon tersebut dapat tumbuh dengan baik karena media tanamnya yang proporsional. Dengan luas area tanam yang masih menyisakan jarak bebas antara tanaman dan bangunan, maka bangunan rumah akan lebih aman dari bahaya perusakan struktur bangunan terutama pondasi bangunan rumah. Media tanam yang cukup dan baik membuat tanaman pohon tersebut kokoh berdiri, sehingga meminimalisir kemungkinan pohon tumbang ke area rumah tinggal yang berakibat fatal pada manusia terlebih penghuni rumah tinggal yang tertimpa tersebut.
Selain masalah keamanan, jarak bebas tanaman pohon dengan bangunan, di peruntukkan dalam proses ameliorasi iklim. Jarak tanaman yang terlalu dekat dengan bangunan dapat menghalangi aliran udara masuk kedalam bangunan, terlebih jika cabang terendahnya sangat rendah sehingga menutupi bidang jendela (bukaan bangunan). Jarak tanaman terlalu jauh juga tidak baik
karena efek penaung atau perlindungan dari panas matahari tidak akan dapat dirasakan manfaatnya. Jarak tanaman ini juga harus disesuaikan dengan peraturan bangunan yaitu garis sempadan bangunan. Garis sempadan bangunan terkait dengan lebar jalan di depan rumah tinggal. Besar jarak atau lebar sempadan bangunan di Indonesia adalah setengah dari lebar jalan di depannya. Hal ini berdampak pada rumah dengan luasan area yang terbatas, biasanya berada di lingkungan dengan lebar jalan yang tidak terlalu lebar maksimum antara 6-8 meter yang berarti garis sempadan bangunan yang diijinkan adalah selebar 3 – 4 meter. Jika lebar jalan lebih sempit lagi, maka kondisi tersebut membuat garis sempadan bangunannya akan semakin lebih pendek.
Strata tanaman lain, misalnya tanaman-tanaman untuk diaplikasikan sebagai vertical greenery pada dinding rumah, harus dipersiapkan konstruksi penopangnya terlebih dahulu seperti modul-modul rangka kawat sebagai jalur rambatan tanaman atau rangka seperti rak-rak sebagai media penempatan pot-pot tanaman. Diusahakan berjarak, agar tanaman tersebut terlebih perakarannya tidak menempel langsung pada dinding rumah karena beresiko melemahkan bahkan merusak konstruksi dinding dan menghindari kelembaban yang berlebihan. Lahan yang terbatas yang berarti terbatasnya tanah sebagai media tumbuh tanaman dapat di atasi dengan menggunakan media tanam pot seperti yang sudah dikenal masyarakat umum. Tanaman yang dapat digunakan memang terbatas, seperti tanaman perdu maupun semak yang perakarannya tidak terlalu dalam dan toleran pada kondisi yang relatif kering.
Tata Letak Tanaman. RTH Pekarangan rumah tinggal dalam kajian ini, memungkinkan RTH Pekarangan depan dan belakang. Kasus khusus jika rumah tinggal tersebut berada di bagian pojok (hoek), sehingga menyisakan RTH Pekarangan samping. Pada umumnya tanaman seperti pada halaman depan rumah digunakan sebagai penangkal panas (ameliorasi iklim) sekaligus buffer dan barier polutan serta elemen estetis, pada halaman belakang yang biasanya menjadi area servis, hijauan tanaman dapat sebagai barier pandangan ke arah area servis, area therapeutic, sekaligus menjalankan fungsi utamanya sebagai penangkal panas (ameliorasi iklim).
Peletakan tanaman pohon khususnya pada kasus daerah tropis terkait dengan orientasi tapak dan bangunannya agar fungsi perlindungannya dapat
berjalan optimal. Menurut Reed (2010) penanaman tanaman di lokasi barat daya untuk daerah tropis di duga akan memberikan manfaat yang optimal. Analisis sederhana dan menurut referensi pada umumnya, orientasi tapak atau bangunan yang menghadap barat adalah orientasi yang paling menimbulkan panas, dari segi iklim karena posisi tapak atau bangunan pada orientasi tersebut terkena sinar dan panas matahari di siang hari karena panas radiasi matahari sudah tercampur dengan suhu yang relatif sudah lebih tinggi. Kondisi tersebut menurunkan tingkat kenyamanan termal penghuni rumah tinggal dan memerlukan energi tambahan untuk menurunkan suhu dalam mencapai temperatur yang nyaman jika tidak ada perlindungan khusus, khususnya perlindungan dari tanaman. Berdasarkan kondisi tersebut analisis mengenai peletakan tanaman jika disesuaikan dengan orientasi terhadap mata angin adalah sebagai berikut:
1. Orientasi Barat
a. Bentuk tajuk pohon berbentuk bulat (round), atau kubah (dome), atau menyebar (spreading).
b. Pohon dengan fungsi penaung.
c. Kerapatan tajuk tinggi (daun lebat, rapat, dan rimbun) sehingga kemampuan dalam memblok atau menghalangi sinar dan panas matahari yang berlebih menjadi optimal. Pohon dengan kerapatan tajuk yang tinggi diperkirakan dapat memfilter sinar dan panas matahari yang berlebih. Sinar dan panas matahari dirasa tidak nyaman dan puncaknya sekitar pukul 14.00 WIB, karena sinar matahari sudah bercampur dengan suhu udara yang sudah tinggi.
d. Ruang kanopi pohon dapat dibuat cukup rendah untuk menghalangi sudut datang matahari sekitar pukul 13.00 WIB -15.00 WIB ± sudut 70º - 40º, agar sinar dan panas matahari yang terik dan tidak diinginkan dapat tersaring, namun aliran udara masih tetap dapat bersirkulasi dengan baik.
e. Toleransi terhadap angin tinggi, sehingga tetap kokoh menahan hempasan angin dan dapat memfilter angin yang terlalu kuat dari arah barat daya (angin muson barat).
2. Orientasi Timur
a. Bentuk tajuk bulat (round), atau kubah (dome), atau menyebar (spreading).
b. Pohon dengan fungsi penaung
c. Kerapatan tajuk sedang-tinggi. Orientasi timur yang berarti sinar dari timur atau sinar matahari terbit menurut beberapa orang adalah sinar yang menyehatkan dan masih disukai karena pada saat tersebut suhu masih cukup rendah sehingga masih dirasakan nyaman. Pohon dengan kerapatan tajuk yang sedang-tinggi diperkirakan dapat memfilter sinar dan panas matahari yang berlebih. Sinar dan panas matahari mulai dirasa tidak nyaman sekitar pukul 10.00 WIB, karena sinar matahari sudah bercampur dengan suhu udara yang mulai meninggi.
d. Ruang kanopi pohon dapat dibuat cukup tinggi untuk menghalangi sudut datang matahari sekitar pukul 10.00 WIB ± sudut 60º, agar sinar dan panas matahari yang tidak diinginkan dapat tersaring, namun aliran udara tetap dapat bersirkulasi dengan baik.
e. Toleransi terhadap angin tinggi, sehingga tetap kokoh menahan hempasan angin dan dapat memfilter angin yang terlalu kuat dari arah timur laut (angin muson timur).
3. Utara
a. Bentuk tajuk bulat (round), atau kubah (dome), atau menyebar (spreading).
b. Pohon dengan fungsi penaung
c. Kerapatan tajuk sedang-tinggi. Orientasi Utara tidak mendapatkan paparan matahari secara langsung, sehingga sinar yang ada merupakan sinar pantulan matahari dan panas yang disebabkan radiasi matahari tidak terlalu tinggi dibandingkan orientasi Timur dan Barat. Tepat pada siang hari panas matahari tetap dirasakan oleh orientasi Utara, sehingga perlindungan tetap diperlukan untuk mengurangi pemanasan matahari tersebut.
d. Ruang kanopi pohon dapat dibuat tinggi untuk menghalangi sudut datang matahari sekitar pukul 11.00 WIB -13.00 WIB ± sudut 70º - 90º, agar sinar dan panas matahari yang tidak berlebih dapat tersaring, aliran udara tetap dapat bersirkulasi dengan baik.
e. Toleransi terhadap angin tinggi, sehingga tetap kokoh menahan hempasan angin dan dapat memfilter angin yang terlalu kuat dari arah timur laut (angin muson timur).
4. Selatan
a. Bentuk tajuk bulat (round), atau kubah (dome), atau menyebar (spreading).
b. Pohon dengan fungsi penaung
c. Kerapatan tajuk sedang-tinggi. Orientasi Selatan tidak mendapatkan paparan matahari secara langsung, sehingga sinar yang ada merupakan sinar pantulan matahari dan panas yang disebabkan radiasi matahari tidak terlalu tinggi dibandingkan orientasi Timur dan Barat. Tepat pada siang hari panas matahari tetap dirasakan oleh orientasi Selatan, sehingga perlindungan tetap diperlukan untuk mengurangi pemanasan matahari tersebut.
d. Ruang kanopi pohon dapat dibuat tinggi untuk menghalangi sudut datang matahari sekitar pukul 11.00 WIB -13.00 WIB ± sudut 70º - 90º, agar sinar dan panas matahari yang tidak berlebih dapat tersaring, aliran udara tetap dapat bersirkulasi dengan baik.
e. Toleransi terhadap angin tinggi, sehingga tetap kokoh menahan hempasan angin dan dapat memfilter angin yang terlalu kuat dari arah barat daya (angin muson barat).
Jenis Tanaman. Tanaman pada dasarnya terbagi atas beberapa kelompok besar, yaitu pohon, semak dan perdu serta herba yang biasanya diaplikasikan sebagai tanaman penutup tanah (ground cover plant) dan rumput. Secara fungsi vegetasi, strata tanaman paling bawah yang akan banyak berfungsi sebagai dasar perbaikan vegetasi dan dapat mengantisipasi erosi, selain fungsi teknis dan estestis; dimana vegetasi berupa pohon akan banyak berfungsi sebagai pembentuk dan penaung ruang lanskap. Pohon yang terpilih untuk penghijauan pekarangan rumah juga dibatasi dengan menggunakan pohon maksimum berkategori pohon sedang dengan kriteria tinggi fisik pohon sekitar 6 - 15 meter.
Perdu dan Semak, merupakan strata tanaman yang lebih rendah dibandingkan dengan pohon. Tanaman perdu dan semak kurang dapat berfungsi sebagai penaung karena tinjau dari fisik tanamannya. Tapi, tanaman semak masih dapat berperan dalam ameliorasi iklim sekitar karena fungsinya sebagai buffer atau barier. Tanaman perdu dapat mencapai tinggi 5 meter,
sehingga sering di sebut atau dikategorikan menjadi pohon kecil. Tanaman semak dapat mencapai ketinggian 3 meter. Perbedaan utama antara perdu dan semak terlihat dari batang utamanya. Tanaman perdu memiliki batang utama sedangkan tanaman semak tidak memiliki batang utama, pada umumnya percabangan banyak atau berumpun dengan banyak anakan.
Sebagaimana diketahui, tumbuhan melakukan fotosintesis untuk membentuk zat makanan atau energi yang dibutuhkan tanaman tersebut. Dalam fotosintesis tersebut tumbuhan menyerap karbondioksida (CO2) dan air yang kemudian di ubah menjadi glukosa dan oksigen dengan bantuan sinar matahari. Kesemua proses ini berlangsung di klorofil. Kemampuan tanaman sebagai penyerap karbondioksida akan berbeda-beda. Banyak faktor yang mempengaruhi daya serap karbondioksida. Diantaranya ditentukan oleh mutu klorofil. Mutu klorofil ditentukan berdasarkan banyak sedikitnya Magnesium yang menjadi inti klorofil. Semakin besar tingkat Magnesium, daun akan berwarna hijau gelap (Alamendah 2010).
Ilustrasi diatas dimaksudkan bahwa pengaruh jenis tanaman terhadap penghematan energi melalui ameliorasi iklim mikro sekaligus memperbaiki kondisi lingkungan terkait dengan kemampuan tanaman, khususnya pohon dalam terhadap penyerapan CO2 melalui proses fotosintesis. Daya serap Karbondioksida sebuah pohon juga ditentukan oleh luas keseluruhan daun, umur daun, dan fase pertumbuhan tanaman. Selain itu, pohon-pohon yang berbunga dan berbuah memiliki kemampuan fotosintesis yang lebih tinggi sehingga mampu dimanfaatkan sebagai penyerap karbondioksida yang lebih baik. Faktor lainnya yang ikut menentukan daya serap karbondioksida adalah suhu, dan sinar matahari, ketersediaan air (Alamendah 2010).
Terdapat 31 daftar tanaman yang mempunyai daya serap karbondioksida (CO2) yang tinggi hasil dari penelitian Dahlan 2008 dalam Alamendah (2010) yang terlampir dalam lampiran 4, yang diharapkan dapat menjadi alternatif pemilihan jenis tanaman yang disesuaikan dengan kriteria variabel tanaman dalam kajian ini. Penjelasan singkat, berdasarkan hasil penelitan tersebut pohon yang memiliki kemampuan tertinggi dalam menyerap CO2 adalah Pohon Trembesi atau Ki Hujan (Samanea saman). Pohon tersebut dapat menyerap CO2 sebesar 28.488,39 kg/tahun. Dari bentuk fisiknya, Trembesi memiliki tajuk menyebar dan tinggi tanaman antara 15-25 m, sehingga masuk dalam kategori pohon besar. Melihat bentuk fisiknya Trembesi diduga tidak dapat digunakan
untuk pekarangan rumah tinggal khususnya dalam Kajian ini. Pada umumnya Trembesi di tanam pada area yang lebih luas seperti pada Hutan Kota.
Untuk jenis Pohon sedang, yang memiliki kemampuan menyerap CO2 yang cukup tinggi adalah Pohon Tanjung (Mimusops elengi) yaitu sebesar 34,29 kg/tahun. Pohon Tanjung memiliki bentuk tajuk bulat dengan tinggi pohon antara 10-12 m. Dari bentuk fisiknya Pohon Tanjung dapat digunakan sebagai pohon penaung dalam RTH Pekarangan.
Untuk jenis Pohon kecil, yang memiliki kemampuan menyerap CO2 yang cukup tinggi adalah Pohon Sirsak (Annona muricata) yaitu sebesar 75,29 kg/tahun. Pohon Sirsak memiliki bentuk tajuk menyebar dengan tinggi pohon >4 m. Menurut kriteria jenis tanaman dari tabel 10, Pohon Sirsak dapat menjadi perwakilan tanaman dari strata pohon kecil yang dapat diaplikasikan di RTH Pekarangan dalam Kajian ini.
Untuk jenis perdu, yang memiliki kemampuan menyerap CO2 yang cukup tinggi adalah Bunga merak (Caesalpinia pulcherrima) yaitu sebesar 30,95 kg/tahun. Bunga merak memiliki bentuk tajuk Irregullar dengan tinggi pohon ± 3 meter. Menurut kriteria jenis tanaman dari Tabel 10, Bunga merak dapat menjadi perwakilan tanaman dari strata perdu yang dapat diaplikasikan di RTH Pekarangan dalam Kajian ini.
Air (water features)
Komponen prioritas kedua adalah komponen air (water features) yang didefinisikan berdasarkan penampakan visualnya. Water features yang ada tidak dimaksudkan untuk menambahkan semua water features tersebut ke RTH Pekarangan. Kriteria variabel taman dan rumah tinggal hemat energi untuk komponen Air selengkapnya tertuang pada Tabel 11.
Tabel 11. Variabel Hemat Energi untuk Komponen Air (Bobot 0,242)*)
No Kriteria desain untuk skor
1 2 3
1 Tidak ada elemen air
Air statis(Static water) atau Air mengalir (Flowing water)
Air terjun (Falling water) atau Air mancur (Jets)
Keterangan: = Variabel komponen air langsung digunakan sebagai kriteria berdasarkan hasil bobot AHP yang diperolehnya.
Air merupakan salah satu elemen lunak (soft material) dalam lanskap taman. Elemen air sering dihadirkan untuk mempermanis taman, baik berupa kolam maupun sekadar tanaman air. Kehadiran gemericik air, bayangan riak-riak kolam, dan ditambah lincah gerak ikan dapat menciptakan kesan sejuk dan tenang ketika kita bersantai di taman. Selain untuk alasan estetis dan efek psikis, kehadiran elemen air dapat membantu menciptakan kenyamanan termal di dalam ruang. Didalam alam bawah sadar, manusia senantiasa ingin dekat dengan air, karena sekitar 70% tubuh kita mengandung air selain sebagai bentuk ekspresi kedekatan dengan alam semesta. Banyak orang memimpikan mempunyai rumah tinggal yang dekat atau memiiliki pandangan (view) kearah sungai, tepi danau, hingga tepi laut. Ketika hunian ideal itu tak mungkin didapat dikota yang padat atau harganya sudah sangat mahal, orang pun berupaya memindahkan atau membawa unsur air kedalam rumah.
Banyak potensi air yang dapat di eksplorasi, mulai dari bunyi, gerak, plastisitas, dan reflektifitas. Potensi-potensi air itu dapat dioptimalkan dalam rancangan water feature dengan memanfaatkan gaya gravitasi dan unsur tekanan. Reka bentuk water feature bisa dikembangkan sesuai kreatifitas. Beberapa dasar elemen komposisi air, diantaranya sebagai bingkai (frame) dari sebuah bentukan komposisi desain, sebagai aliran kanal atau sungai buatan, bentuk alami kolam, danau atau air terjun, air mancur.
Fungsi atau efek penambahan elemen air pada rumah tinggal, khususnya pada pekarangan, adalah uap air yang dihasilkan melalui proses evaporasi sehingga tercapai pendinginan secara alami. Air bertindak sebagai elemen stabilitator suhu dalam ruangan. Selain itu elemen air juga dapat berfungsi sebagai filter dengan mengabsorsi polusi bunyi dan polusi udara yang ada disekitarnya. Efek suara yang dihasilkan dari percikan-percikan water feature air mancur, air mengalir atau air terjun menjadi penetralisir polusi bising dari luar ruangan, sehingga menurunkan tingkat kebisingan.
Air yang beriak, menghasilkan percikan-percikan air yang didalamnya terkandung partikel ion-ion hidrogen yang merupakan ion negatif. Setiap partikel ion negatif tersebut dapat mengikat debu serta zat kimia yang ada di udara sehingga air mancur tersebut dapat dikatakan memfilter udara. Zat-zat beracun dapat terserap melalui pancaran air yang keluar dari lubang nozel air pada air mancur, air mengalir atau air terjun. Zat-zat tersebut juga dapat berdifusi langsung dalam pergerakan air. Agar terlihat unik dan cantik, air mancur bisa
digabungkan dengan kolam atau taman air. Berbagai gas beracun dan polutan yang telah tercampur dalam air bisa dimanfaatkan dan diserap oleh tanaman air. Dalam proses fotosintesis, tumbuhan mengolahnya sebagai bahan nutrisi yang penuh manfaat. Hasil dari proses fotosintesis adalah Oksigen. Berbagai tanaman air berbunga cantik yang bisa dipilih diantaranya yaitu eceng gondok, melati air, water poppy, teratai, lotus dan iris (Silalahi, 2008). Tanaman air tersebut dapat menjadi alternatif usaha dalam ameliorasi iklim, walaupun tidak dapat berperan optimal seperti halnya pohon.
Pada rumah tinggal dengan lahan terbatas begitu pula dengan luas pekarangannya yang juga terbatas, tidak memungkinkan untuk menghadirkan elemen air dengan kuantitas yang besar atau luas. Hal tersebut dapat diatasi dengan membuat water features yang memungkinkan terjadinya riak atau gelombang pada elemen air tersebut. Air yang beriak, menimbulkan luas permukaan air yang lebih luas. Luas permukaan elemen air tersebut menurut Fatimah (2004) berpengaruh nyata terhadap penurunan suhu udara disekitarnya.
Secara umum, posisi peletakan water features dalam RTH Pekarangan rumah tinggal harus sesuai dan dapat dinikmati oleh seluruh penghuni rumah. Untuk tujuan pendinginan ruang peletakan water features juga harus disesuaikan dengan orientasi bangunan (arah mata angin), terkait masalah penyinaran dan arah dan kekuatan angin. Berdasarkan kondisi tersebut analisis konsep mengenai peletakan water features jika disesuaikan dengan orientasi terhadap mata angin guna mendapatkan manfaat yang optimum adalah sebagai berikut:
1. Jika posisi rumah menghadap utara, elemen air (water features) dapat diletakkan di posisi selatan (halaman belakang rumah) karena sebagai penyejuk pada saat siang hari dan pada saat angin musim kemarau (Angin muson timur dari arah timur laut bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober) dapat menghembuskan uap air ke dalam ruangan untuk membantu menurunkan suhu.
2. Jika posisi rumah menghadap ke selatan, elemen air (water features) dapat diletakkan di posisi utara (halaman belakang rumah) karena sebagai penyejuk pada saat siang hari dan pada saat angin musim kemarau (Angin muson timur dari arah timur laut bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober) dapat menghembuskan uap air ke dalam ruangan untuk membantu menurunkan suhu.
3. Jika posisi rumah menghadap ke timur, elemen air (water features) dapat diletakkan di posisi timur (halaman depan rumah) karena sebagai penyejuk pada saat siang hari dan pada saat angin musim kemarau (Angin muson timur dari arah timur laut bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober) dapat menghembuskan uap air ke dalam ruangan untuk membantu menurunkan suhu.
4. Jika posisi rumah menghadap ke barat, elemen air (water features) dapat di letakkan di posisi timur (halaman belakang rumah) agar dapat membantu penyejukan disiang hari dan dibantu juga oleh angin musim kemarau (Angin muson timur dari arah timur laut bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober) dapat menghembuskan uap air ke dalam ruangan untuk membantu menurunkan suhu.
Bangunan
Komponen prioritas ketiga adalah Bangunan. Konsep Bangunan dalam kajian ini menggunakan konsep hijau dengan strategi desain pasif. strategi desain pasif membuat integrasi antara bangunan (interior) dan aspek lanskapnya (eksterior) dalam menciptakan sebuah kenyamanan bangunan yang ramah lingkungan dan hemat energi. Strategi desain pasif digunakan untuk tujuan mengoptimumkan potensi alam seperti cahaya matahari untuk penerangan alami. Menangkap pergerakan udara untuk penghawaan alami dan menangkal dan memperlambat radiasi panas matahari memasuki bangunan rumah tinggal. Kriteria variabel taman dan rumah tinggal hemat energi untuk komponen Bangunan selengkapnya tertuang pada Tabel 12.
Bukaan. Sistem pengkondisian udara sangat tergantung pada jendela-jendela dengan luas bukaan yang tepat dan diasumsikan jendela-jendela terbuka (bukan desain jendela mati) yang akan menjadi media pergantian udara pengap (kelembaban) di dalam bangunan dengan udara yang lebih segar dari luar bangunan sebagai konsep bukaan untuk iklim tropis basah (termasuk kasus kota Bogor) yaitu memaksimalkan aliran udara untuk cooling ventilation tiap jamnya (Reed 2010). Proses pergantian atau pertukaran udara ini sangat tergantung pada beberapa aspek, yang masing-masing dapat dibedakan menjadi: aspek pada bangunan itu sendiri dan aspek di luar bangunan.
Tabel 12. Variabel Hemat Energi untuk Komponen Bangunan (Bobot 0,109)
No Variabel Bobot Kriteria desain untuk skor
1 2 3
1 Bukaan 0.365 Pergantian udara 1ach (5% dari luas lantai) Pergantian udara 5 ach (10% dari luas lantai) Pergantian udara 30 ach (40% dari luas lantai) 2 Atap 0.182 Tidak menggunakan insulasi, tanpa plafon, Warna atap gelap, bukaan atap standar Menggunakan insulasi, tanpa plafon, warna atap terang
atau
Menggunakan insulasi, menggunakan plafon, warna atap gelap Menggunakan insulasi, menggunakan Plafon , Warna atap terang 3 Tritisan (overhang) 0.167 Dimensi tritisan jendela < 60 cm atau <15 cm untuk bouvenlicht Dimensi tritisan jendela 60-90 cm atau 15-30 cm untuk bouvenlicht Dimensi tritisan jendela 90-120 cm atau 30-45 cm untuk bouvenlicht 4 Bentuk dan konfigurasi ruang
0.087 Rasio lebar dan panjang
bangunan < 1:1,7
Rasio lebar dan panjang
bangunan > 1:3
Rasio lebar dan panjang bangunan 1:1,7 s/d 1:3 5 Mekanikal & Elektrikal 0.077 Daya pencahayaan maksimum untuk rumah melebihi 10 watt/m2 Daya pencahayaan maksimum untuk rumah 5-10 watt/m2 Daya pencahayaan maksimum untuk rumah tidak melebihi 0-5 watt/m2 6 Dinding 0.076 Batako Tidak menggunakan ketebalan dinding, Warna gelap atau terang Bata merah Menggunakan ketebalan dinding, Warna gelap atau Bata merah, Tidak menggunakan ketebalan dinding, Warna terang/gelap Bata merah, Menggunakan ketebalan dinding dan atau
greenwall,
Warna terang
Aspek pada bangunan meliputi, penempatan jendela (baik secara vertikal maupun horisontal), dimensi jendela dan tipe (model) jendela yang dipilih. Sedangkan aspek luar bangunan meliputi: arah dan kecepatan angin serta kerapatan dan ketinggian bangunan sekitar. Keefektifan tingkat penghawaan dalam suatu bangunan ditentukan oleh ventilation flow rates (rate ventilasi) yang dihitung sebagai jumlah udara per m3 yang dapat dialirkan ke dalam bangunan atau ruangan setiap jamnya. Hal ini lebih dikenal dengan istilah rate air change per hour (ach). Rate air change per hour tidak memiliki satuan namun sangat tergantung pada volume ruangan/bangunan yang akan dialiri udara. Sebagai contoh bila suatu ruang dengan volume 120 m3 idealnya mendapat ventilasi 20 ach (20 udara setiap jam) maka jumlah udara yang harus dialirkan setiap jam-nya adalah 120 m3 x 20 = 2400 m3. Adapun rate ach ideal bagi suatu ruang tergantung pada tujuan yang hendak dicapai memiliki persyaratan berbeda-beda, yaitu:
1. Untuk tujuan kesehatan rate ventilasinya sebesar0,5-1 ach 2. Untuk mencapai kenyamanan rate ventilasinya sebesar1-5 ach
3. Untuk tujuan pendinginan (cooling ventilation) rate ventilasinya sebesar 5-30 ach.
Khusus untuk bangunan di negara tropis lembab disarankan pemakaian 30 ach sebagai standar (Moore 1993 dalam Mediastika 2002). Studi yang sama menunjukkan bahwa luas jendela yang diperlukan untuk mengalirkan 30 ach tersebut dengan asumsi kecepatan angin 0 m/det mencapai minimal 40% dari luas lantai ruangan.
Cooling ventilation sangat penting artinya bagi bangunan yang berada di negara tropis lembab dengan rata-rata suhu harian tinggi. Selain untuk kesehatan dan kenyamanan penghuni, cooling ventilation akan menjaga keawetan peralatan yang disimpan di dalam bangunan. Bagi bangunan-bangunan yang didirikan pada lokasi dengan kecepatan angin sangat rendah (mencapai 0 m/s), maka idealnya desain jendela mampu mengalirkan rate ventilasi yang dibutuhkan pada kondisi kecepatan angin minimal ini.
Desain jendela dipengaruhi faktor-faktor meliputi penempatan, dimensi dan tipe atau model jendela yang dipilih. Pada layout bangunan satu lapis sangat dimungkinkan terjadinya ventilasi silang sempurna (sudut 180°) secara horisontal. Ventilasi silang juga akan lebih maksimal apabila penempatan secara vertikal ikut diperhitungkan. Jendela yang berfungsi sebagai inlet (memasukkan
udara) sebaiknya diletakkan pada ketinggian manusia yaitu 60 cm-150 cm (aktivitas duduk maupun berdiri), agar udara dapat mengalir di sekitar manusia tersebut untuk memperoleh rasa nyaman yang diharapkan. Untuk jendela yang berfungsi sebagai outlet (mengeluarkan udara) diletakkan lebih tinggi, agar udara panas dalam ruang dapat dengan mudah dikeluarkan. Ventilasi akan lebih lancar bila didukung dengan kecepatan udara yang memadai. Pada kondisi udara hampir tidak bergerak (kecepatan sangat kecil atau 0 m/det), desain jendela harus mampu mendorong terjadinya pergerakan yang lebih cepat atau memperbesar kecepatan udara. Hal ini dapat ditempuh dengan memilih dimensi satu lapis jendela yang berbeda antara inlet dan outlet dengan memilih tipe jendela yang berbeda kemampuan mengalirkan udara
Kecepatan dan arah angin adalah faktor di luar bangunan yang berperan sangat penting dalam menentukan tingkat ventilasi di dalam bangunan. Kecepatan angin yang cukup dan arah yang langsung menuju pada inlet memungkinkan terjadinya pertukaran udara yang lancar. Keberadaan bangunan atau objek-objek besar lain di sekitar bangunan akan mengurangi laju udara dan membelokkan arah angin. Oleh karenanya pada kondisi dimana bangunan berada di area yang rapat bangunan, perlu diusahakan desain jendela dan detail desain bangunan lainnya yang akan mampu mengembalikan arah dan kecepatan angin. Pada suatu area yang rapat bangunan, angin tidak dapat datang pada arah 90° (frontal tegak lurus jendela), sebab diperlukan jarak tempuh setidaknya 6 kali tinggi penghalang yang dilewatinya bagi angin untuk kembali pada arahnya semula. Kondisi bangunan yang rapat mengakibatkan angin datang membentuk sudut lancip (kurang dari 90°) terhadap jendela.
Atap. Atap merupakan bagian terpenting dari sebuah bangunan. Jika ditinjau dari segi biaya, atap menghabiskan biaya yang cukup besar (pada bangunan kecil biasanya diatas 20% dari keseluruhan biaya bangunan) (Lippsmeier 1994). Berdasarkan bidang dan orientasinya, atap adalah bagian bangunan yang paling banyak terkena radiasi matahari, sehingga atap selayaknya memiliki desain yang spesifik sebagai adaptasi terhadap iklim, khususnya iklim tropis basah dan sebagai elemen pendukung dalam penghematan energi. Spesifikasi tersebut antara lain bentuk atap, sudut kemiringan atap, material penutup atap, keberadaan ventilasi atap, plafon dan adanya insulasi atap.
Pada umumnya bentuk-bentuk atap yang umum di Indonesia adalah atap limasan (atap perisai) dan atap pelana. Sudut atap tersebut memungkinkan gerakan udara disekitarnya. Pada atap limasan, memungkinkan melindungi semua dinding bangunan namun konstruksinya lebih sulit. Pada atap pelana, memungkinkan terjadinya area dinding yang tidak terlindung konstruksi atap sehingga dinding yang tidak terlindungi tersebut dapat terpapar langsung oleh radiasi matahari.
Material atap yang sekarang umum digunakan untuk penutup atap adalah genteng beton , genteng tanah liat dan genteng keramik. Pada penelitian hidayat (2005) mengenai pengaruh perbedaan suhu terkait dengan komponen-komponen pembentuk atap. Terkait dengan material atap, pada penelitian tersebut dihasilkan suhu udara tertinggi sebesar 31.0 °C yang dihasilkan oleh ruang dengan material atap besi, seng dan asbes. Suhu udara terendah sebesar 30.9 °C pada ruang dengan material atap genteng tanah liat dan genteng beton. Perbedaan suhu udara tertinggi dan terendah adalah 0.1 °C. Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan bahan atap kurang berpengaruh terhadap suhu udara pada ruangan.
Warna atap diduga berpengaruh terhadap penurunan suhu ruang. Warna atap yang digunakan dalam percobaan adalah warna terang, warna menengah (agak gelap) dan gelap. Suhu udara tertinggi yang terjadi dalam ruang sebesar 31.3 °C yang dihasilkan oleh permukaan atap warna gelap. Suhu udara yang dihasilkan oleh permukaan atap sedang, sebesar 30.9 °C. Suhu udara terendah dihasilkan oleh permukaan atap warna terang, yaitu 30.5 °C. Perbedaan suhu udara tertinggi dan terendah adalah 0.8 °C. Perbedaan suhu udara tersebut menunjukkan bahwa warna atap mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap penurunan suhu ruang, diduga karena warna terang lebih memantulkan panas, sehingga panas lebih tidak terserap oleh penutup atap.
Komponen plafon biasanya tidak terlepas dari komponen atap. Material plafon yang digunakan dalam penelitian ini adalah papan plaster, triplek, semen fiber dan asbes. Selain itu, juga diteliti pengaruh penggunaan plafon atau tidak sebagai pelengkap pada konstruksi atap rumah tinggal. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa suhu tertinggi sebesar 31.1 °C. yang dihasilkan oleh bahan asbes dan semen fiber. Suhu terendah dihasilkan oleh papan lapis, yaitu 30.9 °C. Perbedaan suhu tertinggi dan terendah antara material plafon kurang signifikan yaitu sebesar 0.2 °C. Namun, pengaruh yang signifikan terjadi jika atap
rumah dilengkapi dengan plafon atau tidak. Suhu ruang tanpa plafon lebih tinggi 0.8 °C. dibandingkan dengan suhu ruang yang menggunakan plafon. Dapat simpulkan bahwa keberadaan dan penggunaan plafon berperan dalam menahan panas ke dalam ruang.
Tingkat ventilasi ruang atap yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0, 10, 15, 20 dan 25 ach. Dari hasil eksperimen ini dapat dilihat bahwa terdapat sedikit penurunan suhu udara ruang jika tingkat pergantian udara atap bertambah. Suhu udara tertinggi dihasilkan oleh atap tanpa ventilasi, sebesar 31.3 °C. Suhu udara terendah dihasilkan oleh ventilasi atap 25 ach sebesar 30.8 °C. Perbedaan suhu udara tertinggi dan terendah adalah 0.5 °C, sehingga disimpulkan bahwa pengaruh pengudaraan atap terhadap suhu ruang tidak terlalu signifikan.
Bahan insulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah papan damar, kaca fiber dan papan gabus yang diletakkan di atas plafon. Untuk melihat pengaruh insulasi, juga dianalisis atap yang tidak menggunakan insulasi. Eksperimen menunjukkan bahwa suhu udara tertinggi sebesar 29.4 °C yang dihasilkan oleh bahan kaca fiber. Suhu udara terendah dihasilkan oleh bahan papan damar sebesar 29.3 °C, sehingga hanya memberikan perbedaan yang sangat tidak signifikan yaitu sebesar 0.1 °C. Apabila dibandingkan antara suhu ruang tanpa insulasi atap dengan suhu ruang yang menggunakan insulasi atap maka terjadi perbedaan yang cukup besar, yaitu 1,6 °C. Dengan demikian maka insulasi memegang peranan penting dalam menahan masuknya panas ke dalam ruangan.
Sudut atap yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20°, 30°, 40°, 50° dan 60°. Sudut kemiringan atap berperan untuk mempercepat aliran air hujan dari atap agar tidak menggenang bahkan merembes kedalam ruangan. Pada daerah yang berangin kuat tidak disarankan menggunakan sudut kemiringan atap yang terlalu landai (< 30º) untuk menghindari bahaya hisap dari angin. Terdapat sedikit penurunan suhu udara apabila sudut atap bertambah dari 20° sehingga 60°. Suhu udara ruang tertinggi sebesar 31 °C yang dihasilkan oleh sudut atap 20°. Suhu udara ruang terendah dihasilkan oleh sudut atap 60° dengan suhu sebesar 30.8 °C. Perbedaan suhu udara tertinggi dan terendah hanya 0.2 °C. Dapat disimpulkan bahwa perubahan sudut atap kurang berpengaruh dalam menurunkan suhu udara ruangan.