• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIMULASI KEJADIAN HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN MODEL WRF-ARW (STUDI KASUS TANGGAL 5 JANUARI 2013 DI MAROS, SULAWESI SELATAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIMULASI KEJADIAN HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN MODEL WRF-ARW (STUDI KASUS TANGGAL 5 JANUARI 2013 DI MAROS, SULAWESI SELATAN)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

SIMULASI KEJADIAN HUJAN LEBAT

MENGGUNAKAN MODEL WRF-ARW

(STUDI KASUS TANGGAL 5 JANUARI 2013 DI MAROS, SULAWESI SELATAN) HEAVY RAIN EVENT SIMULATION

USING WRF-ARW MODEL

(CASE STUDY JANUARY 5th, 2013 IN MAROS, SOUTH SULAWESI) Noor Jannah Indriyani 1) Drs. R. M. Rahadi Prabowo, M.Sc 2)

1)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

email: noorjannahindriyani@gmail.com 2)

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

email: m.prabowo@gmail.com

ABSTRAK

Pada tanggal 5 Januari 2013 telah terjadi hujan lebat bahkan diikuti dengan banjir di sebagian besar wilayah di Kabupaten Maros yang mengakibatkan ribuan rumah terendam dan ratusan warga diungsikan. Fenomena hujan lebat dapat dikaji dari sisi meteorologis dan non meteorologis. Untuk mengetahui bagaimana kondisi meteorologis pada saat terjadinya hujan lebat pada tanggal 5 Januari 2013 di Maros maka dilakukan simulasi menggunakan model WRF-ARW

(Weather Research and Forecasting-Advanced Research WRF). Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah dengan melakukan percobaan running dengan beberapa kombinasi skema untuk menentukan skema yang paling sesuai. Penentuan skema yang paling sesuai dilakukan dengan cara menghitung korelasi dan RMSE dari hasil keluaran tiap skema dengan data observasi permukaan. Setelah mendapatkan hasil keluaran model WRF-ARW yang paling sesuai, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap hasil keluaran dengan skema yang paling sesuai tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa skema parameterisasi Kain-Fritsch adalah skema parameterisasi yang paling sesuai untuk digunakan dalam simulasi kejadian hujan lebat pada tanggal 5 Januari 2013 di Maros, sedangkan keadaan atmosfer pada saat terjadinya hujan lebat menunjukkan adanya kelembaban relatif per lapisan yang basah, CAPE yang tinggi, serta adanya konvergensi yang sama-sama mendukung untuk terjadinya pertumbuhan awan-awan konvektif yang dapat menyebabkan hujan lebat yang bahkan disertai kilat dan petir.

Kata kunci: hujan lebat, skema parameterisasi, model, WRF-ARW, konvergensi. ABSTRACT

On January 5, 2013 has taken place even heavy rains followed by floods in most areas in Maros regency which resulted in thousands of homes submerged and hundreds of residents were evacuated. The phenomenon of heavy rain can be assessed in terms of meteorological and non-meteorological. To find out how the meteorological conditions at the time of heavy rains on January 5, 2013 in Maros then performed simulations using the model WRF-ARW (Weather Research and Forecasting-Advanced Research WRF). The method used in this research is to conduct experiments running with some combination of schemes to determine the most appropriate scheme. The determination of the most appropriate scheme carried out by calculating the correlation and RMSE of the output of each scheme with surface observation data. After getting the WRF-ARW model outputs the most appropriate next step is to conduct an analysis of the output with the most appropriate scheme. The analysis showed that Kain-Fritsch parameterization scheme is the most appropriate parameterization scheme for use in a heavy rain event simulation on January 5, 2013 in Maros, while the state of the atmosphere in the event of heavy rain showed relative humidity per layer of wet, high CAPE , as well as the convergence equally support for the growth of convective clouds that can cause heavy rain accompanied by lightning and thunder even.

(2)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

I. PENDAHULUAN

Pada tanggal 5 Januari 2013 telah terjadi hujan lebat bahkan diikuti dengan banjir di beberapa wilayah di Kabupaten Maros. Banjir ini mengakibatkan tergenangnya jalan protokol yang merupakan jalan penghubung Maros-Pangkep dan Bone, selain itu air juga merendam halaman kantor bupati setinggi 50 centimeter, kompleks perumahan, pasar tua, permukiman Butta Toa, Perumnas Tumalia, BTN Panritabola, BTN Rejana, dan sepanjang bantaran Sungai Maros. Dalam musibah ini, setidaknya 5892 rumah di enam kelurahan di Kecamatan Turikale terendam banjir. Sedangkan di Kelurahan Boribellaia, Kecamatan Turikale, ada lima lingkungan yang terisolasi dengan 800 kepala keluarga, dengan ketinggian air mencapai 1.5 meter. Sementara itu, semua warga yang kehilangan tempat tinggal sebagian diungsikan ke kantor Bupati Maros, yang dijadikan posko

penanggulangan bencana

(www.tempo.com).

Hujan lebat yang diikuti banjir yang terjadi di Maros pada tanggal 5 Januari 2013 dapat ditinjau dari sisi meteorologis dan non meteorologis. Pada penelitian ini penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana kondisi meteorologis pada waktu sebelum, saat dan setelah kejadian hujan lebat yang diikuti banjir yang terjadi di Maros pada tanggal 5 Januari 2013 menggunakan model WRF-ARW (Weather

Research and Forecasting-Advanced

Research WRF) dimana hasil keluaran dari

model ini yang akan dijadikan bahan untuk mensimulasikan kejadian hujan lebat ini. II. DASAR TEORI

2.1 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Simulasi Analisis dan Forecast Hasil Model WRF-ARW (Studi Kasus Hujan Lebat di Putussibau Tanggal 3-4 April 2013)

Tanggal 3 April 2013 terjadi curah hujan lebat (curah hujan 110 mm dalam satu hari) yang menyebabkan banjir di sebagian besar wilayah Putussibau. Variabilitas kondisi atmosfer pada daerah khatulistiwa yang tinggi mengakibatkan kesulitan dalam simulasi cuaca khususnya di Putussibau. Maka dari pada itu dibutuhkan model cuaca

skala meso yang mampu mendekati kondisi atmosfer sesungguhnya. Salah satu model cuaca yang digunakan untuk melakukan simulasi cuaca di Putussibau adalah model WRF-ARW. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah dengan cara running (menjalankan) model WRF-ARW menggunakan 3 skema parameterisasi kumulus. Dari hasil ketiga skema tersebut dilakukan verifikasi secara temporal maupun spasial untuk mendapatkan skema parameterisasi sesuai dengan data observasinya. Kemudian menganalisis kondisi atmosfer pada saat sebelum kejadian hujan lebat dengan menggunakan skema parameterisasi yang sesuai. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa skema1 parameterisasi cumulus (skema KF) merupakan skema yang lebih baik dibanding skema2 (skema BMJ) atau skema3 (skema GD) baik untuk data FNL maupun GFS. Analisis kondisi atmosfer menunjukkan bahwa pada saat sebelum kejadian hujan lebat yang terjadi di Putussibau terdapat adanya konvergensi dan shearline. Kondisi kelembaban per lapisan yang basah dan nilai CAPE yang cukup tinggi (mencapai 1800 J/kg) turut mendukung proses pembentukan awan–awan konvektif yang berpotensi menimbulkan hujan lebat di Putussibau.

2.1.2 Pengaruh Parameterisasi Kumulus terhadap Simulasi Angin Kencang di Makassar dengan Menggunakan WRF

Dari bulan September 2010 hingga Maret 2011, berbagai media cukup banyak menginggung tentang kejadian angin kencang yang melanda wilayah Sulawesi. Pada 16 Januari 2011 tercatat sekitar 165 rumah di kota Makassar rusak akibat adanya angin kencang. Paper ini membahas tentang simulasi kejadian tersebut menggunakan model Weather Regional Forecast dengan meninjau pengaruh parameterisasi kumulus. Waktu simulasi yang digunakan adalah 15 Januari 2011 00.00 UTC sampai 17 Januari 2011 00.00 UTC. Selanjutnya hasil model diverifikasi dengan menggunakan data observasi. Kemudian hasil model untuk masing-masing kasus akan dinilai secara kuantitatif maupun kualitatif. Variabel yang dibandingkan pada masing-masing kasus meliputi laju dan arah angin, dan kelembaban udara. Selanjutnya dilakukan analisa

(3)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

pengaruh dari ketiga parametersasi kumulus.

Parameterisasi yang digunakan adalah Kain Fritsch, Betts Miller Janjick, dan Grell Devenyi. Penggunaan parameterisasi kumulus yang berbeda akan menghasilkan laju angin yang berbeda pada output model. Terjadinya angin tersebut dipengaruhi oleh proses konveksi. Proses konveksi untuk tiap skema berbeda-beda dan perbedaan tersebut terletak pada asumsi yang ada di dalam setiap skema. Untuk daerah Sulawesi bagian selatan dengan kelembapan tinggi, skema yang baik digunakan adalah skema parameterisasi kumulus BMJ dengan salah satu pemicu konveksi berupa kondisi udara yang lembab. 2.2 LANDASAN TEORI

2.2.1 WRF-ARW (Weather Research and Forecasting-Advanced Research WRF)

WRF adalah salah satu model prediksi cuaca numerik skala meso yang digunakan secara luas dalam prediksi cuaca di seluruh dunia. WRF-ARW (Weather Research and

Forecasting-Advanced Research WRF)

merupakan salah satu pengembangan dari WRF yang dilakukan oleh NCAR (National

Center for Atmospheric Research), NCEP

(National Centers for Environmental Prediction) Colorado-Amerika Serikat dan

NOAA (National Oceanic and Atmospheric

Administration) yang bekerja sama dengan

AFWA (Air Force Weather Agency) serta instansi lainnya. Model WRF-ARW memberikan beberapa kemampuan yang lebih baik dibandingkan model cuaca lainnya serta menawarkan kombinasi bermacam-macam opsi fisis.

WRF-ARW merupakan salah satu model NWP dimana didalamnya terdapat sekumpulan sistem persamaan matematis komputer yang merepresentasikan secara numerik proses pembentukan cuaca di atmosfer Persamaan-persamaan dalam WRF merupakan persamaan kompresibel nonhidrostatik, namun WRF juga menyediakan opsi hidrostatik untuk keperluan penelitian (Skamarock et al., 2005 dalam Mulya, 2014).

2.2.2 Data Input dan Output Model

Data yang diperlukan dalam menjalankan model WRF ada 2 yaitu:

1. Data statik (lower boundary data)

Data statik digunakan sebagai batas bawah model yang terdiri atas: data topografi (ketinggian tempat), data tata guna lahan (land use), data tipe tanah (soil type), data fraksi tanaman (vegetation fraction), data sebaran daratan lautan (land-sea mask). 2. Data dinamik (initial and lateral

boundary condition)

Data dinamik digunakan sebagai inisial dan lateral boundary condition. Data ini biasanya diambil dari output prediksi model global GFS (Global Forecast System), ECMWF (European Center for

Medium-Range Weather Forecast) atau data analisis

global seperti NCEP FNL dan NCEP

Reanalysis.

Format data yang diterima oleh model WRF untuk data input dan output bisa bermacam-macam. Untuk data statik WRF menggunakan format simple binary. Untuk

input berupa data dinamik, WRF bisa

menerima format grib dan netCDF. Sedangkan untuk output, WRF biasanya menggunakan format nonstandard netCDF. Meskipun tidak standar, akan tetapi WRF menyediakan software untuk mengubah format outputnya agar bisa dibuka oleh

graphic tools seperti GrADS atau Vis5D

(Hadi dkk., 2011).

2.2.3 Teknik Downscaling dan Nesting

Downscaling merupakan suatu teknik

untuk menaikkan resolusi model dengan cara menurunkan skala grid pada model global menjadi skala regional pada domain yang diinginkan. Resolusi model global yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1°x1° atau sama dengan 111 km x 111 km. Dengan melakukan downscaling, maka resolusi model akan meningkat sesuai dengan yang kita inginkan, misalnya menjadi 30 km x 30 km. Downscaling tidak hanya memotong data (cropping) dari domain besar ke domain yang lebih kecil, akan tetapi melakukan interpolasi data dari satu grid besar menjadi grid-grid yang lebih kecil dengan nilai yang belum tentu sama dengan nilai grid induknya. 2.2.4 Parameterisasi

Parameterisasi merupakan suatu proses yang diperlukan model untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di dalam grid model. Model NWP tidak bisa menjelaskan proses-proses yang muncul di

(4)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

dalam sebuah kotak grid. Seperti adanya

gaya gesek yang besar saat aliran melewati pohon yang tinggi, turbulen eddy yang muncul di sekitar gedung-gedung atau penghalang lainnya, dan gaya gesek yang jauh lebih kecil di atas area yang terbuka.

Model harus menghitung efek agregat dari permukaan yang mempengaruhi aliran level bawah dengan sebuah single number yang dapat sejalan dengan bentuk gaya gesek di persamaan prediksi angin. Sehingga diperlukan parameterisasi untuk menghitung efek-efek tersebut tanpa secara langsung memprediksinya (Hadi dkk., 2011).

2.2.4.1 Parameterisasi Kumulus

Parameterisasi kumulus merupakan salah satu cara dalam meninjau pembentukan awan dan hujan yang terjadi akibat pemanasan (konveksi) dalam suatu model. Macam-macam skema parameterisasi kumulus menurut Hadi dkk. (2011) adalah sebagai berikut:

1) Skema Kain-Fritsch

Skema Kain-Fritsch didesain untuk ukuran grid 20-25 km. Skema ini memuat proses fisik awan yang sangat lengkap dalam parameterisasi konvektif. Skema ini mengasumsikan nilai CAPE yang besar sehingga memungkinkan pertumbuhan awan hingga lapisan atas. Akan tetapi skema ini juga memperhitungkan efek downdraft dan

updraft yang sangat penting dalam proses

pembentukan awan.

2) Skema Betts-Miller-Janjic

Skema Betts-Miller-Janjic

mengasumsikan kondisi inisial CAPE yang tidak terlalu besar. Terdapat struktur termodinamika quasi-equilibrum dimana lingkungannya berpindah akibat konveksi. Skema ini menyediakan kelembaban yang banyak sehingga curah hujan yang dihasilkan pada awal perhitungan memiliki nilai yang lebih banyak dari pada skema lain. Proses konveksi yang tidak terjadi secara terus menerus menyebabkan total curah hujan yang lebih kecil dari pada skema lain.

3) Skema Grell-Devenyi

Skema Grell-Devenyi merupakan skema yang dimodifikasi sehingga mirip seperti

Kain-Fritsch. Skema ini sangat baik untuk

grid 10-12 km, dengan memperhitungkan efek downdraft akan tetapi tidak memperhitungkan efek entrainment-detrainment.

2.2.6 Kelembaban Udara

Menurut Soepangkat (1994), kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara atau atmosfer. Kelembaban udara adalah salah satu unsur yang berperan penting dalam pembentukan cuaca. Udara yang suhunya yang lebih tinggi mempunyai kemampuan menyimpan uap air lebih banyak dibandingkan udara yang suhu lebih rendah, karena di dalam udara yang suhunya rendah uap air mudah mengembun kembali menjadi air.

2.2.7 Konvergensi dan Konfluensi

Konvergensi merupakan daerah pertemuan angin dimana kecepatan anginnya semakin kecil. Konvergensi dengan wilayah luas di derah tropis disebut Intertropical

Convergence Zone (ITCZ) (Zakir dkk.,

2010). Bila angin streamline menyempit maka disebut konfluensi. Bila diikuti faktor kecepatan angin disebut konvergensi. Konfluensi menyebabkan bertambahnya partikel udara. Udara akan terangkat yang akan mengakibatkan tumbuhnya awan-awan konvektif (Cu dan Cb) dan menghasilkan cuaca buruk. Namun tidak semua atau sepanjang konfluensi bercuaca buruk. Terangkat atau tidaknya udara berkaitan dengan nilai divergensi.

2.2.8 CAPE (Convective Available Potential Energy)

CAPE merupakan area dimana suatu parsel udara lebih panas daripada lingkungannya. Area tersebut menunjukkan jumlah energi yang tersedia untuk parsel udara tersebut bergerak ke atas. CAPE dinyatakan dengan J/Kg. CAPE adalah salah satu indikator yang kuat untuk mengindikasi adanya potensi intensitas konvektif dan dapat digunakan untuk mengukur kelabilan atmosfer. Dalam meteorologi, CAPE disebut sebagai APE (Available Potential Energy) yaitu jumlah energi suatu parsel saat terangkat pada jarak tertentu secara vertikal di atmosfer (Ameka, 2005). Besarnya nilai CAPE dapat ditentukan dengan rumus:

CAPE = ∫ Dimana:

zn = Equilibrium Level

(5)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

g = Kecepatan gravitasi bumi

Tv parsel = Suhu virtual parsel udara Tv env = Suhu virtual lingkungan

Besar CAPE sama dengan luas area positif pada diagram aerogram. Klasifikasi yang digunakan adalah sebagai berikut: a. CAPE < 1000 J/kg maka stabilitas konvektif lemah.

b. 1000 < CAPE < 2500 J/kg maka stabilitas konvektif sedang.

c. CAPE > 2500 J/kg maka stabilitas konvektif kuat, berpeluang tornado. (Zakir dkk., 2010)

III. METODE PENELITIAN 3.1 Data

3.1.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi penelitian: Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan yang terletak pada posisi 4o 45’ LS sampai dengan 5o 07’ LS dan 119o 205’ BT sampai dengan 120o 12’ BT, dengan mengambil sampel lokasi yakni Stasiun Meteorologi Klas I Hasanuddin, Maros yang terletak pada koordinat: 05o 04’ 15.6” LS dan 119o 33’ 7.7” BT b. Waktu penelitian: Tanggal 4 dan 5

Januari 2013 3.1.2 Kelengkapan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data FNL (Final Analysis)

Data FNL merupakan data

reanalysis yang digunakan sebagai

data input model WRF-ARW pada tanggal 4 dan 5 Januari 2013 yang diunduh dari http://rda.ucar.edu/ dengan resolusi spasial 1° x 1° dan resolusi temporal 6 jam.

b. Data Sinop

Data sinop dari Stasiun Meteorologi Klas I Hasanuddin, Maros pada tanggal 5 Januari 2013 yang digunakan sebagai data verifikasi hasil keluaran model WRF-ARW.

3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. WRF-ARW

Weather Research and Forecasting-Advanced Research WRF

(WRF-ARW) merupakan model generasi lanjutan sistem prediksi cuaca numerik skala meso yang didesain untuk melayani prediksi operasional dan kebutuhan penelitian atmosfer. Versi WRF-ARW yang digunakan dalam penelitian adalah WRF V 3.1.1.

b. WRF Domain Wizard

WRF Domain Wizard adalah

program berbasis java dengan tampilan user bergambar buatan sekelompok ilmuan NOAA. WRF Domain Wizard digunakan untuk menentukan domain yang kita inginkan, membuat namelist secara otomatis, dan menjalankan WPS secara otomatis. Sehingga seluruh output dari WRF Domain Wizard ini dapat langsung digunakan untuk run model WRF. WRF Domain Wizard dapat diunduh dan diinstal melalui

http://www.java.com/getjava/.

c. GrADS

Grads adalah aplikasi interaktif yang digunakan untuk memudahkan akses, manipulasi dan visualisasi dari suatu data ilmu kebumian. Aplikasi ini dikembangkan oleh bagian riset

National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan Center for Ocean-Land-Atmosphere Studies

(COLA) dan NSF. Penelitian ini menggunakan GraDS. Selain itu proses penentuan nilai variabel juga dapat dilakukan dengan membuat

script kemudian dijalankan pada

aplikasi ini. 3.3 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen analisis. Eksperimen yang dimaksud adalah melakukan percobaan running dengan beberapa kombinasi skema untuk menentukan skema yang paling sesuai. Skema parameterisasi yang dibandingkan yakni skema parameterisasi kumulus, antara lain skema parameterisasi Kain-Fritsch, Betts-Miller-Janjic dan Grell-Devenyi,

(6)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

sedangkan pengaturan konfigurasi

WRF-ARW yang lain menggunakan konfigurasi default. Penentuan skema yang paling sesuai dilakukan dengan cara menghitung korelasi dan RMSE dari hasil keluaran tiap skema dengan data observasi permukaan. Setelah mendapatkan hasil keluaran model WRF-ARW yang paling sesuai, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap hasil keluaran dengan skema yang paling sesuai tersebut.

Langkah kerja dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap. Tahapan-tahapan tersebut adalah:

1. Mendownload data FNL untuk tanggal 4 dan 5 Januari 2013.

2. Mengumpulkan data pengamatan cuaca permukaan (sinoptik) dari Stasiun Meteorologi Klas I Hasanuddin, Maros dan data satelit TRMM tanggal 5 Januari 2013. 3. Merunning WRF

a. Dalam tahap ini, langkah awal yang dilakukan adalah menentukan domain. Penelitian ini menggunakan 3 domain (30 km, 10 km dan 3 km) dengan titik poin berada di Stasiun Meteorologi Klas I Hasanuddin, Maros.

Gambar 3.1 Domain Penelitian b. Menyelesaikan tahap

pre-processing yakni geogrid, ungrib,

dan metgrid pada

WRF-Processing (WPS).

Setelah tahap pre-processing

tersebut selesai, maka tahap selanjutnya adalah tahap real.exe dan wrf.exe, dimana dalam proses ini persamaan-persamaan fisis mulai digunakan.

c. Tahap terakhir adalah tahap

post-processing dengan menggunakan

ARWpost untuk mengubah data menjadi format .dat dan .ctl, proses analisis dilakukan dengan Nama

Eksperimen Eksperimen 1 Eksperimen 2 Eksperimen 3 Parameterisasi

(7)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

men-display data .ctl pada

software GrADS 2.0.

Pada penelitian ini menggunakan 3 domain, yakni 30 km, 10 km dan 3 km serta akan dilakukan pengujian pada skema parameterisasi kumulus yakni skema Kain-Fritsch,

Betts-Miller-Janjic dan Grell-Devenyi.

5. Menentukan skema yang paling sesuai dengan menggunakan hasil keluaran WRF-ARW yang berkaitan dengan kejadian hujan lebat dengan cara membandingkan data temperature udara, tekanan udara dan hujan dari hasil observasi permukaan dengan data temperature udara, tekanan udara dan hujan dari hasil keluaran model WRF-ARW menggunakan metode statistik sederhana yakni dengan mencari nilai korelasi dan RMSE (Root Mean

Square Error) sehingga diperoleh

skema yang sesuai dalam penelitian ini. Skema yang paling sesuai dipilih apabila antara variabel data observasi dengan data hasil keluaran tiap skema memiliki hubungan korelasi -1≤ r ≤1. Menurut Murray R. Spiegel (2008) dalam Fauziah (2014), persamaan yang digunakan untuk menghitung korelasi adalah:

= ( å ) (å å )

( å – (å ) )( å – (å ) )

Dimana r merupakan korelasi, x dan y merupakan variabel yang dibandingkan dimana x adalah nilai observasi dan y adalah nilai hasil keluaran model serta n menunjukkan banyaknya data.

Sedangkan nilai Root Mean

Square Error (RMSE) dihitung untuk

mendapatkan nilai yang memiliki

error/kesalahan paling kecil bila

dibandingkan dengan hasil observasi. Menurut WMO (2012) dalam Fauziah (2014), RMSE sering digunakan untuk menampilkan akurasi dari prakiraan dan ditulis dengan persamaan berikut:

= å ( )

Dimana N merupakan banyaknya data, F merupakan nilai hasil keluaran model dan O merupakan nilai hasil observasi. Jika RMSE mendekati 0, artinya nilai yang dibandingkan (nilai hasil hasil keluaran model) mendekati dengan nilai yang sebenarnya (hasil observasi). Untuk model yang sempurna mendekati hasil observasi adalah model yang nilai RMSE nya 0.

6. Setelah mendapatkan skema parameterisasi yang paling sesuai, langkah selanjutnya adalah menganalisis kondisi atmosfer pada saat kejadian hujan lebat dengan skema yang paling sesuai tersebut. Parameter yang dianalisis adalah kelembaban per lapisan, angin dan CAPE.

7. Menyimpulkan hasil analisis. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model WRF-ARW

Verifikasi model WRF-ARW dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui performa hasil keluaran model WRF-ARW tiap skema yang dirunning terhadap hasil observasi dari Stamet Hasanuddin, Maros pada tanggal 5 Januari 2013. Verifikasi dilakukan dengan cara membandingkan hasil keluaran model WRF-ARW tiap skema dengan hasil observasi dari Stasiun Meteorologi Klas I Hasanuddin, Maros pada tanggal 5 Januari 2013 baik secara grafik time series, korelasi maupun RMSE, dimana data yang diverifikasi adalah data temperatur dan tekanan udara.

(8)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

4.1.1 Verifikasi dengan Time Series

4.1.1.1 Temperatur Udara

Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Temperatur Udara Hasil Keluaran Model WRF-ARW Tiap Skema terhadap Hasil Observasi Stamet

Hasanuddin, Maros 5 Januari 2013 Gambar 4.1 di atas merupakan grafik perbandingan temperatur udara hasil keluaran model WRF-ARW tiap skema terhadap hasil observasi Stamet Hasanuddin, Maros pada tanggal 5 Januari 2013 jam 00.00 s/d 23.00 UTC. Dari grafik di atas, terlihat bahwa pada grafik hasil observasi, terjadi penurunan temperatur udara dari jam 00.00 s/d 03.00 UTC, kemudian mengalami kenaikan sampai dengan jam 09.00 UTC dan mengalami temperatur udara maksimum pada jam tersebut. Setelah itu, terjadi penurunan suhu sampai dengan jam 20.00 UTC, hingga mengalami temperatur udara minimum pada jam 20.00 UTC, kemudian mengalami kenaikan kembali sampai dengan jam 23.00 UTC. Sedangkan pada grafik hasil keluaran model WRF-ARW, secara umum, ketiganya menunjukkan fluktuasi yang hampir sama dengan hasil observasi, namun terdapat perbedaan pola fluktuasi yakni pada jam 00.00 s/d 03.00 UTC, yakni adanya kenaikan temperatur udara, yang apabila dibandingkan dengan grafik hasil observasi justru mengalami penurunan. Secara subjektif, skema Kain-Fritcsh dan skema Grell

Devenyi memiliki pola variasi yang hampir

sama dengan data observasi sedangkan skema Betts-Miller-Janjic memiliki pola yang tidak beraturan.

4.1.1.2 Tekanan Udara

Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Tekanan Udara Hasil Keluaran Model WRF-ARW Tiap Skema terhadap Hasil Observasi Stamet

Hasanuddin, Maros 5 Januari 2013 Gambar 4.2 di atas merupakan grafik perbandingan tekanan udara hasil keluaran model WRF-ARW tiap skema terhadap hasil observasi Stamet Hasanuddin, Maros pada tanggal 5 Januari 2013 jam 00.00 s/d 23.00 UTC. Dari grafik di atas, terlihat bahwa pada grafik hasil observasi, pada jam 00.00 s/d 02.00 UTC mengalami kenaikan tekanan udara, pada jam 02.00 s/d 03.00 UTC mengalami penurunan tekanan udara, pada jam 03.00 s/d 04.00 UTC mengalami kenaikan tekanan udara, dan pada jam 04.00 s/d 07.00 UTC mengalami penurunan tekanan udara. Setelah itu, pada jam 07.00 s/d 15.00 UTC mengalami kenaikan tekanan udara, hingga mengalami tekanan udara maksimum pada jam 15.00 UTC, kemudian tekanan udara berangsur-angsur menurun hingga pada jam 20.00 UTC mengalami tekanan udara minimum, kemudian berangsur-angsur naik kembali sampai jam 23.00 UTC. Sedangkan pada grafik hasil keluaran model WRF-ARW, secara umum, ketiganya menunjukkan fluktuasi yang hampir sama dengan hasil observasi, namun perbedaan nilai tekanan udara hasil keluaran model WRF-ARW dengan data observasi di atas dapat diketahui bahwa selisih antar ketiga skema dengan data observasinya sangat besar hingga mencapai 9.3 mb. Secara subjektif, ketiga skema memiliki pola variasi yang hampir sama dengan data observasi.

(9)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

4.1.2 Verifikasi dengan Korelasi

Gambar 4.3 Diagram Korelasi Temperatur dan Tekanan Hasil Keluaran Model

WRF-ARW terhadap Hasil Observasi Stamet Hasanuddin, Maros 5 Januari 2013

Gambar 4.3 di atas adalah diagram korelasi temperatur dan tekanan hasil keluaran model WRF-ARW terhadap hasil observasi dari Stamet Hasanuddin, Maros pada tanggal 5 Januari 2013. Dari diagram di atas, terlihat bahwa korelasi untuk parameter suhu untuk tiap skema yakni Kain-Fritsch,

Betts-Miller-Janjic dan Grell-Devenyi

masing-masing adalah 0.72, 0.49, dan 0.56, sehingga dapat diketahui bahwa korelasi terbesar untuk parameter temperatur udara adalah pada skema Kain-Fritsch. Sedangkan korelasi untuk parameter tekanan udara tiap skema yakni Kain-Fritsch,

Betts-Miller-Janjic dan Grell-Devenyi masing-masing

adalah 0.44, 0.42 dan 0.12, sehingga dapat diketahui bahwa korelasi terbesar untuk parameter tekanan udara adalah pada skema

Kain-Fritsch. Hal ini berarti bahwa untuk

data temperatur dan tekanan udara, hasil keluaran model WRF-ARW untuk skema

Kain-Fritsch mempunyai data dengan pola

fluktuasi yang paling mendekati dengan data observasi sebenarnya dari Stamet Hasanuddin, Maros pada tanggal 5 Januari 2013.

4.1.3 Verifikasi dengan RMSE

Gambar 4.4 Diagram RMSE Temperatur dan Tekanan Hasil Keluaran Model WRF-ARW

terhadap Hasil Observasi Stamet Hasanuddin, Maros 5 Januari 2013

Gambar 4.4 di atas adalah diagram RMSE temperatur dan tekanan hasil keluaran model WRF-ARW terhadap hasil observasi dari Stamet Hasanuddin, Maros pada tanggal 5 Januari 2013. Dari diagram di atas, terlihat bahwa RMSE untuk parameter temperatur untuk tiap skema yakni Kain-Fritsch,

Betts-Miller-Janjic dan Grell-Devenyi

masing-masing adalah 2.32, 1.42 dan 1.97, sehingga dapat diketahui bahwa RMSE terkecil untuk parameter temperatur udara adalah pada skema Betts-Miller-Janjic. Sedangkan korelasi untuk parameter tekanan udara tiap skema yakni Kain-Fritsch,

Betts-Miller-Janjic dan Grell-Devenyi masing-masing

adalah 6.85, 6.29 dan 6.52 sehingga dapat diketahui bahwa korelasi terbesar untuk parameter tekanan udara adalah pada skema

Betts-Miller-Janjic.

Dari hasil verifikasi secara time series, korelasi maupun RMSE, secara subyektif, parameterisasi yang paling sesuai untuk digunakan dalam pemodelan WRF-ARW untuk studi kasus hujan lebat di Stamet Hasanuddin Maros adalah parameterisasi

Kain-Fritsch. Oleh karena itu, selanjutnya

dilakukan analisis kondisi atmosfer pada saat kejadian hujan lebat di Maros, Sulawesi Selatan dengan hasil keluaran dari model WRF-ARW dengan parameterisasi

(10)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

4.2 Analisis Kondisi Atmosfer dengan

Skema Parameterisasi Kain-Fritsch

Berdasarkan hasil verifikasi antara data hasil keluaran model WRF-ARW tiap skema yang dirunning terhadap data hasil observasi dari Stamet Hasanuddin, Maros, secara subyektif, hasil keluaran model WRF-ARW dengan skema parameterisasi

Kain-Fritsch merupakan skema yang dianggap

paling sesuai untuk merepresentasikan kondisi atmosfer pada saat kejadian hujan lebat pada tanggal 5 Januari 2013 di Maros, Sulawesi Selatan. Oleh karena itu analisis kondisi atmosfer pada saat kejadian hujan lebat pada tanggal 5 Januari 2013 di Maros, Sulawesi Selatan dilakukan dengan menggunakan hasil keluaran model WRF-ARW dengan skema parameterisasi

Kain-Fritsch untuk parameter kelembaban relatif

per lapisan, CAPE, dan streamline yakni sebagai berikut:

4.2.1 Analisis Kelembaban Udara per Lapisan

Gambar 4.5 Kelembaban Udara per Lapisan Stamet Hasanuddin, Maros

5 Januari 2013

Gambar 4.5 di atas adalah gambar kelembaban udara per lapisan untuk titik Stamet Hasanuddin, Maros pada tanggal 5 Januari 2013. Dari gambar di atas, terlihat bahwa dari tanggal 4 Januari 2013 jam 21.00 s/d tanggal 5 Janauari 2013 jam 03.00 UTC, secara umum, dari lapisan permukaan hingga lapisan 500 mb, kelembaban udara berkisar antara 90 s/d 100%, dengan rincian yakni pada lapisan 850 mb nilai kelembaban udara ≥ 90%, pada lapisan 700 mb nilai kelembaban udara ≥ 90%, pada lapisan 500

mb nilai kelembaban udara ≥ 90%, yang berarti bahwa kelembaban udara dari lapisan permukaan hingga lapisan 500 mb dalam keadaan lembab. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kelembaban per lapisan yang tinggi cukup mendukung dalam proses pembentukan awan-awan konvektif. Seperti penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Seto (2000) yang menyatakan bahwa secara umum nilai kelembaban pada setiap level selama kegiatan yang hampir sama yaitu 80%, 60%, dan 50%, masing-masing untuk level 850 mb, 700 mb, dan 500 mb mendukung dalam proses pertumbuhan awan. Hal ini bersesuaian dengan data sinoptik, yang menyatakan bahwa hujan lebat yang terjadi adalah pada pagi hingga siang hari.

4.2.2 Analisis CAPE

Gambar 4.6 Grafik CAPE secara Temporal Titik Stamet Hasanuddin, Maros 4 Januari 2013 18.00 UTC s/d 6 Januari 2013

00.00 UTC Lapisan 950 mb

`Gambar 4.6 di atas merupakan grafik CAPE secara temporal titik Stamet Hasanuddin, Maros pada tanggal 4 Januari 2013 18.00 UTC s/d 6 Januari 2013 00.00 UTC lapisan 950 mb. Pada grafik di atas, terlihat bahwa pada pada tanggal 4 Januari 2013 jam 23.00 UTC s/d 5 Januari 2013 jam 01.00 UTC, telah terjadi peningkatan nilai CAPE, pada titik pengamatan yakni Stamet Hasanuddin, Maros hingga mencapai nilai 2500 J/kg yang berarti bahwa telah terjadi proses konvektif kuat. Hal ini mengindikasikan bahwa pada jam tersebut telah terjadi pembentukan awan yang intensif, yang kemungkinan dapat

(11)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

mengahasilkan hujan lebat hingga

menimbulkan kilat dan guntur.

Gambar 4.7 CAPE secara Spasial 5 Januari 2013 Jam 00.00 UTC Lapisan 950 mb

Gambar 4.7 di atas merupakan gambar CAPE secara spasial pada tanggal 5 Januari 2013 00.00 UTC Lapisan 950 mb. Pada gambar di atas terlihat bahwa pada jam tersebut, terlihat nilai CAPE yang tinggi pada wilayah Maros, Sulawesi Selatan yakni mencapai nilai 2500 J/kg yang berarti bahwa telah terjadi aktivitas konvektif yang kuat. Hal ini mengindikasikan bahwa pada jam tersebut telah terjadi pembentukan awan yang intensif, yang kemungkinan dapat mengahasilkan hujan lebat hingga menimbulkan kilat dan guntur.

4.2.3 Analisis Streamline

(12)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Gambar 4.8 Streamline Angin 10 meter 4 Januari 2013 Jam 18.00 UTC s/d 5 Januari

(13)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Gambar 4.8 di atas menunjukkan peta

arus angin (streamline) angin 10 meter pada tanggal 4 Januari 2013 Jam 18.00 UTC, 21.00 UTC, dan tanggal 5 Januari 2013 Jam 00.00 UTC, 03.00 UTC, 06.00 UTC, 09.00 UTC, 12.00 UTC, 15.00 UTC, dan 18.00 UTC. Dari peta streamline di atas, untuk wilayah Indonesia arah angin dominan bertiup dari arah barat. Dengan keadaan angin seperti ini, dapat dikatakan bahwa pada waktu terjadi hujan lebat yang diikuti banjir di Maros pada tanggal 5 Januari 2013, wilayah Indonesia sedang terjadi musim hujan, dimana angin dominan adalah angin muson barat, dimana angin bertiup dari daratan Asia menuju Australia yang membawa banyak uap air ke wilayah Indonesia. Dalam kondisi musim hujan seperti ini perlu diwaspadai munculnya kondisi cuaca dengan intensitas hujan yang cenderung lebat.

Dari gambar di atas, pada wilayah Maros, Sulawesi Selatan, terlihat adanya konvergensi, dimana konvergensi ini menunjukkan terjadinya penumpukkan massa udara di atas wilayah Maros, Sulawesi Selatan yang kemungkinan dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas pertumbuhan awan-awan yang dapat menimbulkan hujan lebat.

4.2.3 Analisis Curah Hujan

Gambar 4.9 Grafik Curah Hujan Observasi terhadap Model WRF-ARW Titik Stamet

Hasanuddin, Maros 5 Januari 2013 Gambar 4.9 di atas adalah grafik curah hujan hasil observasi yang dibandingkan dengan hasil model WRF-ARW. Pada gambar di atas terlihat bahwa pengukuran curah hujan untuk titik Stamet Hasanuddin, Maros, pada jam 00.00 UTC, 03.00 UTC,

12.00 UTC, 15.00 UTC, 18.00 UTC, dan 21.00 UTC, curah hujan hasil keluaran model WRF-ARW cenderung overestimated,

sedangkan untuk jam 06.00 UTC dan 09.00 UTC, curah hujan hasil keluaran model WRF-ARW cenderung underestimated jika dibandingkan dengan hasil observasinya. Secara umum, untuk titik pengamatan Stamet Hasanuddin, Maros, hasil keluaran model WRF-ARW untuk parameter total curah hujan bersifat overestimated, yakni terlihat dari grafik untuk curah hujan dari hasil observasi tercatat 81.1 mm sedangkan dari hasil keluaran model tercatat sebesar 125.4 mm.

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan batasan masalah dan hasil analisis yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Hasil keluaran model WRF-ARW pada domain daerah Maros, Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa skema parameterisasi kumulus yaitu skema parameterisasi Kain-Fritsch memiliki nilai verifikasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan skema parameterisasi Betts-Miller-Janjic

dan skema parameterisasi

Grell-Devenyi. Skema parameterisasi Kain-Fritsch memiliki pola fluktuasi yang

hampir sama dengan pola fluktuasi data observasinya untuk parameter temperatur dan tekanan udara. 2. Berdasarkan hasil analisis data hasil

keluaran model WRF-ARW dengan skema parameterisasi kumulus

Kain-Fritsch, kondisi atmosfer

menunjukkan bahwa pada saat terjadinya hujan lebat di wilayah Maros, Sulawesi Selatan, kelembaban relatif dari lapisan bawah hingga lapisan atas terlihat dalam keadaan yang basah yang mengindikasikan bahwa telah terjadi pertumbuhan awan yang cukup intensif, selain itu nilai CAPE pada lapisan 950 mb menunjukkan nilai 2500 J/kg yang berarti bahwa terjadi proses konvektif kuat yang turut mendukung pertumbuhan awan, selain itu apabila dilihat dari

(14)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

wilayah Maros, Sulawesi Selatan

terdapat konvergensi yang turut mendukung pertumbuhan awan di wilayah Maros, Sulawesi Selatan yang dapat menyebabkan hujan lebat di wilayah Maros, Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Januari 2013.

Jadi dapat diketahui bahwa keadaan atmosfer pada saat terjadinya hujan lebat pada tanggal 5 Januari 2013 di wilayah Maros, Sulawesi Selatan menunjukkan adanya kelembaban relatif per lapisan yang basah, CAPE yang tinggi, serta adanya konvergensi yang sama-sama mendukung untuk terjadinya pertumbuhan awan-awan konvektif yang dapat menyebabkan hujan lebat yang bahkan disertai kilat dan petir.

5.2 Saran

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai pengujian kombinasi skema parameterisasi pada model WRF-ARW yang tidak terbatas hanya pada parameterisasi kumulus saja, sehingga kemungkinan akan diperoleh konfigurasi yang paling tepat sehingga akan menghasilkan data yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

BMKG. 2010. KEP.009 Tahun 2010 Tentang

Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim. BMKG Jakarta.

Fauziah, Annisa. 2014. Kajian Cuaca

Ekstrim (Angin Kencang) di Bandara Internasional Lombok Dengan Model WRF Tanggal 15 Maret 2012. STMKG Jakarta.

Hadi, T.W., Junnaedhi, I D. Gd. A., Satrya, L.I., Santriyani, M., Anugrah, M. P., dan Octarina, D.T. 2011. Pelatihan Model WRF

(Weather Research and Forecasting),

Laboratorium Analisis Meteorologi (Weather

and Climate Prediction Laboratory).

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Bandung.

Mulya, Aditya. 2014. Simulasi Analisis dan

Forecast Hasil Model WRF-ARW (Studi Kasus Hujan Lebat di Putussibau Tanggal 3-4 April 2013). STMKG Jakarta.

Soepangkat, 1994. Pengantar Meteorologi. Balai Pendidikan dan Latihan Meteorologi dan Geofisika Jakarta.

Sulung, G., Priyanka, P., Saraswati, N., Nurfiena, S. P., dan Ricardo, R. L. G. 2011.

Pengaruh Parameterisasi Kumulus terhadap Simulasi Angin Kencang di Makassar dengan Menggunakan WRF. ITB Bandung.

Zakir, A., Sulistya, W., Khotimah, M. K. 2010. Perspektif Operasional Cuaca Tropis. BMKG Jakarta. http://rda.ucar.edu/datasets/ds083.2/index.ht ml#sfol-wl/data/ds083.2?g=22013 diakses tanggal 28 Desember 2014. http://signal-geo.blogspot.com/2010_06_01_archive.html

diakses tanggal 15 Januari 2015.

http://.tempo.co/read/news/2013/01/05/05845

2327/Banjir-Bandang-di-Maros-Ratusan-Warga-Diungsikan diakses tanggal 28

Referensi

Dokumen terkait

Jika siswa yang mempunyai secara bersama-sama kekuatan lengan dan koordinasi mata tangan, maka akan dapat melakukan pukulan servis lob dalam permainan bulutangkis

Berdasarkan uraian yang telah di jelaskan pada bab penjelasan dapat di simpulkan bahwa tingkat kematangan (maturity level) pengelolaan proses untuk memastikan keamanan

Pukulan lob merupakan pukulan yang sangat sering dilakukan oleh setiap pemain bulutangkis. Pukulan lob sangat penting untuk mengendalikan permainan rangan atau untuk membenahi

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, Peraturan Menteri

Pada musim hujan, hama dan penyakit yang sering merusak tanaman padi adalah tikus, wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blast, dan

Sebagai verifikasi dari model dinamik yang dikemukakan, maka pada bagian ini diberikan simulasi untuk menyelidiki pengaruh pertumbuhan alga terhadap

Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan yang jelas, atara pertanggungjawaban pidana (seperti contoh) dengan tindakan persekusi, jika dalam tindakan main hakim sendiri, masih

Apabila nilai optimum yield pada daerah penelitian digunakan untuk memenuhi kebutuhan air tanah khususnya untuk keperluan non-domestik yang sebesar 1,8 milyar liter/tahun maka