SKRIPSI
SIMULASI MODEL DINAMIK PADA SISTEM DETEKSI DINI UNTUK MANAJEMEN KRISIS PANGAN
Oleh :
INDRA FEBRIAN BUNTUAN F14060283
2010
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
SIMULASI MODEL DINAMIK PADA SISTEM DETEKSI DINI UNTUK MANAJEMEN KRISIS PANGAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
INDRA FEBRIAN BUNTUAN F 14060283
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Simulasi Model Dinamik Pada Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Pangan
Nama : Indra Febrian Buntuan
NIM : F14060283
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Akademik
Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc NIP. 19591118 198503 1 004
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknik Pertanian
Dr. Ir. Desrial, M.Eng NIP. 19661201 199103 1 004
i Indra Febrian Buntuan. F14060283. Simulasi Model Dinamik Pada Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Pangan. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc
RINGKASAN
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Dalam sistem isyarat dini (early warning system) yang telah dikembangkan oleh Seminar et al (2010) pemodelan dinamik untuk rasio konsumsi normatif yang merupakan salah satu indikator kerawanan pangan berfungsi sebagai penyuplai data pada bagian jaringan syaraf tiruan, dimana Jaringan syaraf tiruan ini merupakan metode untuk sintesa model sistem deteksi dini. Pada sistem yang telah dikembangkan, model dinamik yang dibangun hanya menggunakan komoditas padi, sedangkan pada penelitian ini dilakukan penambahan pada peubah komoditas yang digunakan yaitu jagung.
Pemilihan jagung sebagai peubah karena konsumsi masyarakat Indonesia terhadap pangan tidak hanya beras, Jagung memiliki potensi besar sebagai alternatif makanan pokok setelah beras. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan sumberdaya terutama lahan irigasi yang menjadi permasalahan pada produksi beras, relatif tidak terjadi pada jagung. Jagung dapat ditanam setelah masa penanaman padi yaitu pada musim kemarau sehingga produksi makanan pokok tetap berlangsung. Selain itu bila dilihat dari kandungan nutrisinya, jagung juga merupakan sumber karbohidrat yang baik. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan penambahan komponen komoditas pangan yaitu jagung pada model simulasi dinamik (rasio konsumsi normatif) yang mempengaruhi kerawanan pangan untuk mendukung sistem isyarat dini ( early warning system) yang telah dikembangkan oleh Seminar et al (2010) dan melakukan uji coba sistem dinamik untuk mendukung sistem isyarat dini kerawanan pangan dengan data real yang ada di lapangan pada beberapa lokasi (kabupaten) pada beberapa kurun waktu tertentu.
Metoda yang digunakan dalam analisis ini adalah simulasi model dinamik dengan melihat parameter-parameter yang mempengaruhi krisis pangan yang kemudian disimulasikan dengan model dinamik.
Keluaran simulasi rasio konsumsi normatif telah dihasilkan untuk berbagai wilayah kabupaten di provinsi Jawa Timur dan Yogyakarta. Dari hasil simulasi menunjukan bahwa wilayah kabupaten yang disimulasikan termasuk wilayah aman pangan. Hal ini terbukti dengan nilai rasio konsumsi normatif rata-rata pada wilayah tersebut masih kurang dari 1. Selain itu hasil simulasi menunjukan bahwa rata-rata rasio konsumsi normatif lebih kecil dibandingkan dengan hasil dari FSVA dengan persentase error sebesar 11.9%.
Uji coba yang dilakukan dengan data riil yang ada di lapangan pada beberapa lokasi (kabupaten) pada beberapa kurun waktu tertentu yang di inputkan ke dalam jaringan syaraf tiruan menunjukan sensitivitas rasio konsumsi normatif meningkat hal ini terbukti dengan naiknya peringkat pengaruh parameter rasio konsumsi normatif dari urutan ke 8 menjadi urutan ke 2 setelah puso sebagai parameter kerawanan pangan.
ii RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Indra Febrian Buntuan, dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 3 Februari 1988, penulis merupakan anak pertama dari ibu Dedeh Susanti dan Dedi Buntuan.
Jenjang pendidikan formal penulis yaitu pada tahun 1994 hingga 2000 penulis menyelesaikan jenjang sekolah dasar di SDN Puncak 1. Kemudian pada Tahun 2000 hingga 2003 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Pacet. Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah atas di SMUN 1 Megamendung dan pada 2004 berpindah sekolah ke SMAN 1 Sukaresmi Kabupaten Cianjur hingga lulus pada tahun 2006. Setelah lulus dari SMU, tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor dan diterima sebagai mahasiswa melalui jalur Undangan Seleksi Masul IPB (USMI) dan pada tahun 2007 diterima di departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan. Penulis pernah menjadi staff fund raising Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi pertanian pada tahun 2007-2008 dan juga pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) sebagai kepala biro sipil dan lingkungan pada tahun 2008-2009. Pada tahun 2009 penulis melakukan praktek lapang di PTPN VIII Perkebunan Teh Gunung Mas Bogor, dengan Judul ”Mempelajari Aspek Keteknikan Pertanian Pada Proses Pengolahan Teh di PTPN VIII Perkebunan Teh Gunung Mas Bogor”. Pada tahun 2010 penulis aktif sebagai asisten praktikum untuk mata kuliah ilmu ukur tanah dan gambar teknik di departemen Teknik Pertanian dan pada tahun yang sama penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Simulasi Model Dinamik Pada Sistem Deteksi Dini Untuk Manajemen Krisis Pangan”.
iii KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas ridho dan Karunia-Nya atas segala petunjuk, kekuatan dan kejernihan pikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis haturkan shalawat dan salam kepada nabi Muhammad SAW yang dengan segala kerendahan hati dan kesucian iman, serta kebersihan budi, akhlak dan perilakunya, telah menjadi panutan bagi seluruh umat muslim di dunia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka ini tidak akan berjalan lancar. Pada proses pembuatan skripsi banyak sekali bantuan, dorongan, dan bimbingan yang sangat berharga, yang diberikan kepada Penulis, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Mamah tercinta atas doa dan dukungannya yang tiada henti kepada penulis. 2. Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc selaku pembimbing yang tak
henti-hentinya membimbing dan mengarahkan penulis.
3. Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr dan Ir. Susilo Sarwono selaku dosen penguji yang telah memberi saran dan masukan yang sangat berharga kepada penulis. 4. Ir. Mohamad Solahudin, M.Si dan Dr. Ir. Yayuk Farida Belawati, MS yang
telah banyak membantu dan memberi masukan selama proses penelitian. 5. Departemen Pertanian RI dan BPS yang telah membantu penulis dalam
memperoleh data untuk penelitian.
6. Pak haji dan Mimih yang selalu memberi motivasi kepada penulis
7. Teman-teman seperjuangan : Rizky Mulya Sampurno, Riva Nurul Fath, Abdul Manan, terima kasih atas bantuannya serta kepada segenap teman-teman TEP 43 sebagai tempat berbagi dan saling mengingatkan.
Penulis sadar betul kesempurnaan skripsi ini masih jauh. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diperlukan demi menunjang kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi seluruh pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juli Penulis
iv DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ... i
RIWAYAT HIDUP ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA... 4
A. Sistem Dinamik ... 4
B. Simulasi ... 8
C. Kajian Ketahanan Pangan ... 8
D. Manajemen Krisis ... 11
E. Penelitian Terdahulu ... 12
III. METODOLOGI ... 14
A. Tempat dan Waktu... 14
B. Alat dan Bahan ... 14
C. Lingkup Penelitian ... 15
D. Kerangka Pendekatan Studi ... 15
E. Metodologi... 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19
A. Rasio Konsumsi Normatif ... 19
B. Analisis Diagram Sebab Akibat ... 20
C. Model Sistem Dinamik ... 21
D. Analisis Model ... 25
E. Analisis Krisis Pangan ... 28
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 31
v B. Saran ... 31 DAFTAR PUSTAKA ... 32 LAMPIRAN ... 34
vi DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Perbandingan besaran susut dan konversi gabah/beras
tahun 1995/1996 dan tahun 2005-2007 menurut
kegiatan pasca panen ... 17 Tabel 2. Perbandingan rasio konsumsi normative hasil simulasi
dan menurut FSVA di Provinsi Jawa Timur ... 24 Tabel 3. Contoh hasil simulasi di Kabupaten Gunung Kidul ... 25 Tabel 4. Contoh hasil simulasi di Kabupaten Sidoarjo ... 27
vii DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Diagram pendekatan metode sistem dinamik ... 5
Gambar 2. Contoh diagram sebab-akibat untuk pembangunan agroindustri ... 6
Gambar 3. Simbol variabel Level ... 7
Gambar 4. Simbol variabel Rate ... 7
Gambar 5. Simbol variabel Auxiliary ... 7
Gambar 6. Simbol variabel constanta ... 7
Gambar 7. Simbol variabel garis penghubung ... 8
Gambar 8. Model dinamik rasio konsumsi normatif yang dikembangkan oleh seminar et al 2009 ... 13
Gambar 9. Kerangka pemikiran studi ... 15
Gambar 10. Grafik laju pertumbuhan penduduk di provinsi Jawa Timur ... 20
Gambar 11. Diagram sebab akibat rasio konsumsi normatif ... 21
Gambar 12. Hasil model dinamik konsumsi normatif setelah ditambah komoditas jagung ... 22
Gambar 13. Grafik perbandingan rasio konsumsi normatif hasil simulasi dengan FSVA ... 23
Gambar 14. Grafik total produksi dan konsumsi di kabupaten Gunung Kidul ... 26
viii DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Hasil Simulasi Provinsi Jawa Timur Dan Yogyakarta ... 35 Lampiran 2. Persamaan Matematik Model Dinamik Rasio
Konsumsi Normatif... 43 Lampiran 3. Tabel Jumlah Penduduk Jawa Timur Dan Laju
Pertambahan Penduduknya ... 44 Lampiran 4. Tabel Luas Panen Padi Dan Produktivitas Jawa
Timur Dan Yogyakarta ... 46 Lampiran 5. Tabel Luas Panen Jagung Dan Produktivitas Jawa
Timur Dan Yogyakarta ... 48 Lampiran 6. Tabel Perhitungan Untuk Validasi Rasio Konsumsi
Normatif ... 50 Lampiran 7. Tabel Perhitungan Untuk Validasi Model Jumlah
Penduduk ... 52 Lampiran 8. Tabel Perhitungan Untuk Validasi Model Jumlah
Produksi Jagung ... 54 Lampiran 9. Tabel Perhitungan Untuk Validasi Model Jumlah
1 I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasarkan kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian.
Kerawanan pangan di suatu daerah perlu dideteksi sedini mungkin untuk mengantisipasi dampaknya seperti terjadinya gizi buruk dan masalah sosial lainnya. Kerawanan pangan antara lain diakibatkan oleh rendahnya produksi pangan dan stok pangan sehingga tidak mencukupi kebutuhan pangan khususnya makanan pokok.
Bila dilihat dari sisi permintaan, pertumbuhan permintaan pangan terutama disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita. Jumlah penduduk cenderung bertambah dengan laju yang tetap, sementara produksi pangan berfluktuasi dengan kecenderungan yang menurun. Hal ini tentu saja berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional dimasa yang akan datang. Oleh karena itu penting adanya suatu sistem deteksi dini manajemen krisis pangan sehingga berdasarkan deteksi dini inilah maka diharapkan dapat dilakukan langkah-langkah antisipatif guna mengawal ketahanan pangan nasional.
Dalam penyediaan pangan nasional sendiri terdapat faktor yang mempengaruhi yaitu faktor-faktor dalam produksi dan faktor-faktor pada permintaan, keterkaitan faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan ini bersifat komplek, dinamis, dan probabilistik. Penggunaan model deteksi dini diharapkan dapat mencegah atau menghindari krisis pangan yang akan terjadi dalam jangka pendek dan menengah.
2 Dengan pendekatan sistem, kita dapat menggunakan model sebagai alat untuk memahami proses dan memprediksi perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Hal yang penting dalam menyikapi perubahan yang terjadi adalah mengetahui faktor penyebab perubahan tersebut, serta menduga proses yang akan terjadi. Selanjutnya keputusan dibuat berdasarkan pendugaan proses tersebut, agar dapat diambil manfaat positif atau meminimumkan dampak negatif. Rasio konsumsi normatif adalah perbandingan tingkat konsumsi dan produksi pangan yang menunjukkan apakah suatu wilayah tertentu mengalami surplus produksi pangan. Rasio konsumsi normatif merupakan bagian dari subsistem kertesediaan pangan dalam konsep ketahanan atau kerawanan pangan setelah akses pangan, pemanfaatan pangan dan kerentanan pangan (Dewan Ketahanan Pangan RI dan Program Pangan Dunia PBB, 2003).
Penggunaan model dinamik sebagai alat untuk memprediksi nilai rasio konsumsi normatif sebagai salah satu variabel yang digunakan pada model besar sistem deteksi dini untuk manajemen krisis pangan, terutama apabila data di lapangan tidak atau belum tersedia. Dalam sistem isyarat dini (early warning system) yang telah dikembangkan oleh Seminar et al (2010) pemodelan dinamik untuk rasio konsumsi normatif yang merupakan salah satu indikator kerawanan pangan berfungsi sebagai penyuplai data pada bagian jaringan syaraf tiruan, dimana Jaringan syaraf tiruan ini merupakan metode untuk sintesa model sistem deteksi dini. Pada sistem yang telah dikembangkan, model dinamik yang dibangun hanya menggunakan komoditas padi, sedangkan pada penelitian ini dilakukan penambahan pada variabel komoditas yang digunakan yaitu jagung. Pemilihan jagung sebagai variabel karena konsumsi masyarakat Indonesia terhadap pangan tidak hanya beras, jagung memiliki potensi besar sebagai alternatif makanan pokok setelah beras. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan sumberdaya terutama lahan irigasi yang menjadi permasalahan pada produksi beras, relatif tidak terjadi pada jagung. Jagung dapat ditanam setelah masa penanaman padi yaitu pada musim kemarau sehingga produksi makanan pokok tetap berlangsung. Bila dilihat dari kandungan nutrisinya, jagung juga merupakan sumber karbohidrat yang baik. Selain itu, harga jagung yang relatif murah
3 menyebabkan mayoritas masyarakat yang mengkonsumsi jagung adalah kelas menengah kebawah.
Penelitian ini memberi masukan dalam subsistem ketersediaan pangan yang diharapkan dapat menjadi referensi dalam manajemen krisis pangan sehingga dapat mendukung sistem isyarat dini terhadap krisis pangan yang telah dikembangkan sebelumnya. Input data pada model dinamik dengan data yang diperbarui lebih memperhalus rasio dan lebih memperlihatkan kondisi saat ini. Selain itu rasio yang dihasilkan juga akan menjadi input pada bagian jaringan syaraf tiruan untuk mengeluarkan hasil diagnosis dan deteksi krisis.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Melakukan penambahan komponen komoditas pangan yaitu jagung pada model simulasi dinamik (rasio konsumsi normatif) yang mempengaruhi kerawanan pangan untuk mendukung sistem isyarat dini ( early warning system) yang telah dikembangkan oleh Seminar et al (2010).
2. Melakukan uji coba sistem dinamik untuk mendukung sistem isyarat dini kerawanan pangan dengan data riil yang ada di lapangan pada beberapa lokasi (kabupaten) pada beberapa kurun waktu tertentu.
4 II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Dinamik
Sistem dinamik didefinisikan sebagai sebuah bidang untuk memahami bagaimana sesuatu berubah menurut waktu (Forester, 1999 dalam Purnomo 2005). Sistem dinamik merupakan metoda yang dapat menggambarkan proses, perilaku, dan kompleksitas dalam sistem (Hartisari, 2007). Metodologi sistem dinamik ini telah dan sedang dikembangkan sejak diperkenalkan pertama kali oleh Jay W. Forester pada tahun 1950-an sebagai suatu metoda pemecahan masalah-masalah kompleks yang timbul karena ketergantungan sebab akibat dari berbagai macam variabel di dalam sistem.
Sistem dinamik dititikberatkan pada penentuan kebijakan dan bagaimana kebijakan tersebut menentukan tingkah laku masalah-masalah yang dapat dimodelkan dengan menggunakan sistem dinamik. Dalam metodologi sistem dinamik yang dimodelkan adalah struktur informasi sistem yang didalamnya terdapat sumber informasi dan jaringan aliran informasi yang saling terhubung .
Model dinamik merupakan suatu metode pendekatan eksperimental yang mendasari kenyataan-kenyataan yang ada dalam suatu sistem untuk mengamati tingkah laku sistem tersebut (Richardson dan Pugh, 1986 dalam skripsi Nuroniah, 2003). Tujuan metodologi sistem dinamik berdasarkan filosofi sebab akibat adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang cara kerja suatu sistem. Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik adalah :
1. Identifikasi dan definisi masalah 2. Konseptualisasi sistem
3. Formulasi model 4. Simulasi model 5. Analisa kebijakan 6. Implementasi kebijakan
Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik ini diawali dan diakhiri dengan pemahaman sistem dan permasalahanya sehingga membentuk suatu lingkaran tertutup. Diagram pendekatan metoda sistem dinamik dapat dilihat pada gambar 1.
5 Dalam konteks sistem dinamik terdapat tiga komponen utama, yaitu :
1. Pengambilan keputusan, adalah suatu usaha untuk menyelesaikan masalah dan melakukan sesuatu.
2. Analisis sistem umpan balik, berhubungan dengan penggunaan informasi secara tepat untuk mengambil keputusan tersebut.
3. Simulasi, memberikan representasi kepada para pengambil keputusan terhadap hasil dari keputusan di masa mendatang.
Gambar 1. Diagram pendekatan metode sistem dinamik (Widayani, 1999 dalam Rahayu, 2006)
Dalam penyusunan suatu model dinamik terdapat tiga bentuk alternatif yang dapat digunakan yaitu verbal, visual dan model matematis. Model verbal adalah model sistem yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata. Model visual dinyatakan dalam bentuk diagram dan menunjukkan hubungan sebab akibat banyak variabel secara sederhana dan jelas. Model visual juga dapat direpresentasikan ke dalam bentuk model matematis yang merupakan perhitungan-perhitungan terhadap suatu sistem. Semua bentuk perhitunganya bersifat ekivalen, dimana setiap bentuk berperan sebagai alat bantu yang dapat dimengerti.
Menurut Hartisari (2007), simulasi yang menggunakan model dinamik dapat memberikan penjelasan tentang proses yang terjadi dalam sistem dan prediksi
Implementasi model Pemahaman sistem Analisa Kebijakan Identifikasi masalah Simulasi Formulasi sistem Identifikasi variabel sistem
6 hasil dari berbagai skenario. Berdasarkan hasil simulasi model tersebut diperoleh solusi untuk menunjang pengambilan keputusan sehingga simulasi model dinamik ini dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan pendugaan.
Gambar 2. Contoh diagram sebab-akibat untuk pembangunan agroindustri (Hartrisari, 2006)
Model sistem dinamik dapat dinyatakan dan dipecahkan secara numerik dalam sebuah bahasa pemrograman. Perangkat lunak khusus untuk sistem dinamik telah banyak tersedia seperti Dynamo. Simile, Powersim, Vensim, I-think dan lain-lain .Pemilihan Powersim sebagai software untuk simulasi model adalah karena kemudahan dan ketersediaan pada saat penelitian. Pemodelan dinamik terdiri dari variabel-variabel yang saling berhubungan. Dalam Powersim yaitu perangkat lunak yang digunakan untuk simulasi terdapat variabel-variabel yaitu level, rate, auxiliary dan constanta (Powersim, 1996).
Pada model yang telah dibuat, data kuantitatif dimasukan dengan meng-klik variabel-variabel yang tersedia seperti level, rate, auxiliary dan constanta. Kemudian nilai atau formula matematika di inputkan ke dalam variabel-variabel tersebut untuk mengkalkulasi model. Adapun definisi dari masing-masing jenis variabel tersebut adalah sebagai berikut.
Agroindustri Harga produk Harga bahan baku Pendapatan masyarakat Daya beli Kesadaran konsumen Jumlah bahan baku Kualitas produk PAD + + + + + + + + + + - -
7 a. Level
Level merupakan variabel yang menyatakan akumulasi sejumlah benda, contohnya jumlah produksi padi. Level dipengaruhi oleh variabel rate dan dalam Powersims dinyatakan dengan simbol persegi.
Gambar 3. Simbol variabel level b. Rate
Rate adalah penambahan atau pengurangan pada level per satuan waktu. Dalam Powersim, rate dinyatakan dengan simbol seperti pada gambar 4.
Gambar 4. Simbol variabel rate c. Auxiliary
Auxiliary merupakan variabel tambahan untuk menyederhanakan hubungan informasi antara level dan rate, dengan kata lain variabel ini dihitung dari variabel lain. Simbol variabel ini adalah sebuah lingkaran.
Gambar 5. Simbol variabel auxiliary d. Constanta
Constanta merupakan input bagi persamaan dalam rate baik secara langsung maupun melalui variabel auxiliary. Variabel ini menyatakan nilai parameter dari sistem riil yang nilainya konstan selama simulasi. Simbol dari variabel constanta adalah seperti pada gambar 6.
8 e. Garis penghubung
Garis penghubung menghubungkan antara satu variabel ke variabel lainya atau antara variabel dengan konstanta. Garis penghubung ini disimbolkan dengan panah.
Gambar 7. Simbol garis penghubung
B. Simulasi
Simulasi adalah aktifitas untuk menarik kesimpulan tentang perilaku sistem dengan mempelajari perilaku model dalam beberapa hal yang memiliki kesamaan dengan sistem sebenarnya (Gotfried, 1984 dalam Nuroniah, 2003). Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses yang bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi dilakukan dengan tahapan yaitu penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi.
Keuntungan penggunaan simulasi antara lain dapat memberikan jawaban apabila model analitik yang digunakan tidak memberikan solusi optimal. Model disimulasi lebih realistis terhadap sistem nyata karena memerlukan asumsi yang lebih sedikit (Siagan, 1987 dalam Nuroniah, 2003).
Analisis tingkah laku model dapat dilakukan dengan menggunakan simulasi komputer. Simulasi merupakan penyelesaian persamaan matematis secara bertahap dari suatu sistem untuk mengetahui perubahan yang terjadi, sehingga dapat dipelajari perilaku sistem tersebut. Metode simulasi mempunyai keunggulan yaitu pada kemampuanya memberikan informasi secara cepat.
C. Kajian Ketahanan Pangan
Kedaulatan pangan (Food Sovereignty) adalah hak setiap orang, masyarakat dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumberdaya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, konsumsi) pangan sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing-masing (Hines 2005 dalam Darajati 2008). Bahkan presiden pertama Republik Indonesia
9 Soekarno pernah mengatakan bahwa pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka akan menjadi malapetaka sehingga suatu negara harus dapat menyelesaikan masalah ketahanan pangan agar mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya. Kedaulatan pangan menuntut hak rakyat atas pangan, yang menurut Food and Agriculture Organization (FAO) merupakan hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen dan bisa mendapatkannya secara bebas, baik secara cuma-cuma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tadisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Menjamin pemenuhan hak rakyat untuk menjalani hidup yang bebas dari rasa takut dan bermartabat, baik secara fisik maupun mental, secara individu maupun kolektif.
Namun kenyataannya, kelaparan sebagai indikasi tindasan terhadap hak atas pangan masih berlangsung di mana-mana bahkan bertambah buruk saja. Dalam usaha mengatasi masalah kelaparan dan akses pangan, PBB melalui FAO memperkenalkan istilah ketahanan pangan (Food Security) dengan harapan adanya persediaan pangan setiap saat, semua orang dapat mengaksesnya dengan bebas dengan jumlah, mutu dan jenis nutrisi yang mencukupi serta dapat diterima secara budaya. Konsep tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan mendistribusi pangan utama secara adil kepada rakyatnya.
Konsep ketahanan pangan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan yang mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan
10 kehalalannya. Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari rekomendasi 2000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36.85 juta dan 15.48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5.02 juta dan 5.12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003 dalam Seminar et al, 2010).
Indikator ketahanan pangan menurut FAO mencakup empat aspek yang saling terkait dan akan bermuara pada terciptanya individu yang sehat dan aktif yaitu ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan atau konsumsi. Terdapat keselarasan antara indikator ketahanan pangan antara FAO dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan mengenai indikator-indikator ketahanan pangan. Distribusi diartikan sebagai sistem untuk menyalurkan pangan secara efektif dan efisien sehingga pangan sampai kepada masyarakat, mudah diakses dan terjamin ketersediaanya baik jumlah maupun kualitasnya sepanjang wangku. Karena walaupun distribusi pangan berjalan dengan baik, tetapi apabila mayarakat tidak dapat mengakses pangan tersebut maka masih akan terjadi kerawanan pangan.
Indikator Permasalahan kerawanan pangan yang bersifat kronis dan transien di Indonesia perlu ditangani dengan lebih serius dan terprogram dengan baik. Kata kronis dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai sesuatu yang berlangsung dalam waktu yang lama, oleh karena itu kerawanan pangan yang bersifat kronis memerlukan penanganan jangka panjang, sedangkan kerawanan pangan yang bersifat transien terjadi akibat adanya bencana alam: banjir, gempa bumi, tsunami, kekeringan, letusan gunung berapi dan tanah longsor di daerah yang berpotensi atau rentan terhadap bencana alam, memerlukan penanganan jangka pendek (Seminar et al, 2010).
Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian telah menghasilkan peta kerawanan pangan Indonesia yang dikeluarkan pada tahun 2005 dan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan pada tahun 2009. Food insecurity Atlas (FIA 2005) menggambarkan pemeringkatan situasi pangan pada 265 kabupaten di 30 provinsi. Atlas ini terbukti menjadi sarana penting dalam menentukan target
11 intervensi yang berhubungan dengan masalah ketahanan pangan dan gizi secara geografis pada kabupaten yang rentan. Peluncuran FIA 2005 ternyata masih menyebabkan kesalahpahaman mengenai pemeringkatan kabupaten. Kata kerawanan pangan (Food Insecurity) diindikasikan secara langsung bahwa kabupaten-kabupaten peringkat bawah adalah kabupaten yang memiliki penduduk rawan pangan. Oleh karena itu peta nasional yang kedua diberi nama baru yaitu “Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (Food Security and Vulnerability Atlas / FSVA)”. Perubahan nama FIA menjadi FSVA dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan) dalam semua kondisi bukan hanya pada situasi kerawanan pangan saja. Pertimbangan yang kedua, FSVA juga bermaksud untuk mengetahui berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih baik atau dengan kata lain kerentanan terhadap kerawanan pangan. Pembuatan FSVA tersebut mencakup 346 kabupaten di 32 provinsi di Indonesia.
D. Manajemen Krisis
Manajemen krisis merupakan pengetahuan yang relatif baru baik di Indonesia maupun dunia. Definisi manajemen krisis pun sangat bervariasi sehingga lebih dikenal sebagai prosedural model atau protokol. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bilamana kejadian yang tidak diharapkan terjadi maka manajemen krisis adalah suatu cara pengelolaan yang proaktif dari berbagai kegiatan kelembagaan yang mengarah pada keberlanjutan fungsinya sesegera mungkin setelah adanya gangguan tersebut (Eriyatno et al, 2010). Menurut Seminar et al (2010) Informasi Ketahanan Pangan dan Early Warning Sistem (The Food Security Information and Early Warning Sistem/EWS) dapat dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen untuk mengelola krisis pangan dalam rangka upaya perlindungan/penghindaran dari krisis pangan dan gizi baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Apabila sistem monitoring berdasar informasi (ketersediaan dan keberlangsungan data informasi) dapat berfungsi dengan baik, maka sistem ini mempunyai kontribusi yang sangat bermanfaat dalam mengelola
12 krisis pangan. Manfaat sistem ini dapat dijabarkan secara rinci sebagai berikut (FAO, 2000 dalam Seminar et al, 2010) yaitu sebagai :
Penanda awal/dini saat terdeteksi adanya resiko krisis pangan lokal atau menyeluruh, memberikan informasi jenis atau karakter krisis yang terjadi, kemungkinan dampak yang akan muncul dan lokasi atau luasan area dan masyarakat yang akan terpengaruh oleh adanya krisis pangan.
Penentu tindakan yang akan diambil untuk mengatasi krisis yang terjadi, dimana pemilihan tindakan yang tepat pada waktu yang tepat akan mengurangi dampak negatif terhadap krisis.
Panduan untuk pemberian bantuan darurat kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan, mengidentifikasi kelompok yang paling tinggi terkena dampak dan perubahan-perubahan status pangan dan gizinya.
Pengelolaan cadangan pangan (food security stock) menjadi lebih efisien. Sistem informasi ketahanan pangan dapat memasukkan data-data lainnya yang dibutuhkan untuk pengelolaan ketahanan pangan yang lebih baik. Penentu metode pengadaan pangan yang efisien. Pengetahuan yang baik terhadap pasar pangan (pokok) internasional, nasional ataupun lokal sangat bermanfaat untuk mengorganisasi proses distribusinya dan dapat digunakan sebagai penentu metode yang efisien untuk distribusi bantuan pangan dan membantu pengelolaan dan monitoring distribusinya.
E. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang telah dilakukan antara lain adalah penjadwalan produksi dengan pendekatan metode dinamik oleh Nuroniah (2003). Model dinamik yang dikembangkan adalah dinamika jumlah produksi pada setiap tahapan produksi berdasarkan data series permintaan produksi. Sistem yang dibuat bertujuan untuk menentukan alternatif terbaik dari penjadwalan produksi dengan meminimumkan waktu proses dan kekurangan produk yang berlebih.
Selain itu Koesmaryono et al (2008) melakukan analisis dan prediksi curah hujan untuk pendugaan produksi padi dalam rangka antisipasi kerawanan pangan, dalam penelitian tersebut dilakukan analisis pewilayahan curah hujan dengan metode penggerombolan fuzzy dan penyusunan model prediksi curah hujan
13 dengan teknik analisis jaringan syaraf tiruan. Hasil prediksi model curah hujan tersebut kemudian diterapkan dalam analisis ketersediaan dan kerentanan produksi padi. Hubungan dengan sistem isyarat dini yang telah dikembangkan adalah mampunyai persamaan menyusun sistem peringatan dini untuk antisipasi kerawanan pangan tetapi penelitian ini berbasis prediksi curah hujan sebagai model prediksi dan hasilnya dapat digunakan sebagai acuan dalam sistem peringatan dini kerawanan pangan dan perencanaan ketahanan pangan di tingkat kabupaten hingga nasional.
Gambar 8. Model dinamik rasio konsumsi normatif yang dikembangkan oleh Seminar et al (2010).
Seminar et al (2010) mengembangkan sistem deteksi dini untuk manajemen krisis pangan dengan simulasi model dinamis dan komputasi cerdas. Salah satu subsistem pada sistem deteksi dini untuk manajemen krisis pangan ini adalah rasio konsumsi normatif. Indikator yang digunakan untuk simulasi rasio konsumsi normatif adalah beras dengan data series yang digunakan adalah data tahun 2003-2005. Hubungan dengan penelitian lanjutan ini adalah dilakukan penambahan komoditas jagung pada model dinamik rasio konsumsi normatif dengan menggunakan data simulasi hingga tahun 2008.
14 III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di laboratorium komputer Cyber Merpati IPB mulai dari bulan Februari sampai dengan Juni 2010.
B. Alat dan Bahan
Simulasi yang akan dirancang menggunakan software Powersim versi 2.51 dan untuk pengolahan data menggunakan software Microsoft® Office 2007. Peralatan yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan spesifikasi sebagai berikut :
Prosessor : Pentium IV 2.40 GHz Memori : 510 MB RAM
VGA card : GeForce MX 4000 64 MB Hardisk : 80 GB
Data yang digunakan untuk simulasi adalah data sekunder yang berkaitan dengan indikator ketahanan pangan khususnya rasio konsumsi normatif baik dalam bentuk publikasi tercetak maupun website.
Data yang digunakan mencakup :
Data series jumlah penduduk 2000-2008 (Sumber : BPS).
Data series luas panen padi 1999-2008 (Sumber : Data Dinas Pertanian Jatim, BPS).
Data series luas panen jagung 2003-2008 (Sumber : Data Dinas Pertanian Jatim, BPS).
Data series produktivitas padi 1999-2008 (Sumber : Data Dinas Pertanian Jatim, BPS).
Data series produktivitas jagung 1999-2008 (Sumber : Data Dinas Pertanian Jatim, BPS).
15 C. Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada simulasi salah satu variabel yang mempengaruhi kerawanan pangan yaitu rasio konsumsi normatif di provinsi Jawa Timur yang mencakup 29 kabupaten dan provinsi Yogyakarta yang mencakup 4 kabupaten dari tahun 2005 sampai tahun 2015. Pemilihan lokasi contoh (provinsi Jawa Timur dan Yogyakarta) untuk simulasi didasarkan pada ketersediaan data yang dibutuhkan. Komoditas yang digunakan dalam rasio konsumsi normatif ini dibatasi hanya menggunakan beras dan jagung. Dalam simulasi ini diasumsikan bahwa pangan yang dikonsumsi oleh mayarakat berdasarkan profil konsumsi serelia di indonesia adalah 300 gram serelia/hari/kapita.
D. Kerangka Pendekatan Studi
Kerangka pendekatan studi dari penelitian ini dijelaskan pada gambar 10.
16 E. Metodologi
Metoda yang digunakan dalam analisis ini adalah simulasi model dinamik dengan melihat parameter-parameter yang mempengaruhi krisis pangan yang kemudian disimulasikan dengan model dinamik. Parameter yang disimulasikan adalah rasio konsumsi normatif. Sistem dinamik yang telah dikembangkan oleh Seminar et al (2010) ditambahkan komponen komoditas yaitu jagung. Studi literatur dilakukan dengan mempelajari dokumen tercetak maupun media elektronik melalui internet serta data pengamatan. Data sekunder seperti data kependudukan, luas lahan, produksi beras dan yang berkaitan dengan parameter krisis pangan yang telah diidentifikasi diperoleh dari Biro Pusat Statistik, Bulog, Deptan dan lembaga lainnya yang terkait baik dalam bentuk publikasi tercetak maupun website.
Setelah parameter yang akan disimulasikan teridentifikasi kemudian akan diketahui variabel-variabel yang mempengaruhi tiap parameter dan dari situ dirancang suatu model dengan diagram sebab akibat dari variabel-variabel tiap parameter krisis pangan. Variabel untuk simulasi dinamik rasio konsumsi normatif yaitu karakteristik kependudukan, total produksi beras, luas panen, perubahan luas panen, produktivitas lahan, total susut, rendemen dan konsumsi normatif.
Karakteristik kependudukan meliputi jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk. Jumlah Penduduk adalah jumlah penduduk di suatu kabupaten dengan pengklasifikasian berdasarkan usia menjadi anak-anak, dewasa dan orang tua. Asumsi yang digunakan dalam simulasi dinamik rasio konsumsi normatif yaitu laju pertumbuhan penduduk adalah tetap. Data yang diperoleh adalah data series dari tahun 2000-2008 sehingga akan didapat laju pertumbuhan dengan menggunakan persamaan 1 yang dikembangkan oleh BPS. Data yang diperoleh adalah data series 5-10 tahun sehingga akan didapat laju pertumbuhan penduduk dengan menggunakan persamaan :
Pt = Po(1+r)t ………...(1)
Dimana : Pt = Jumlah penduduk pada tahun terakhir
Po = Jumlah penduduk pada tahun awal
17 r = laju pertumbuhan penduduk per tahun (%)
Total produksi beras dan jagung terdiri dari variabel luas panen, perubahan luas panen, produktivitas lahan, perubahan produktifitas lahan, total susut dan rendemen.
Luas panen pada awal simulasi diperoleh dari selisih antara luas tanam dan luas puso pada suatu kabupaten. Perubahan luas panen dihitung berdasarkan data series luas panen selama beberapa tahun di suatu kabupaten perubahan luas panen disebabkan adanya konversi lahan dari sawah ke non-sawah atau sebaliknya. Perhitungan laju perubahan luas lahan dari data series menggunakan rata-rata perubahan lahan tiap tahun. Produktivitas lahan diperoleh dari produktivitas lahan pada tahun awal simulasi sedangkan perubahan produktivitas lahan diperhitungkan dari data series produktivitas lahan. Perubahan produktivitas lahan biasanya positif pada daerah yang mengintroduksikan inovasi budidaya, baik tata cara maupun penggunaan varietas yang lebih baik.
Tabel 1. Perbandingan besaran susut dan konversi gabah/beras tahun 1995/1996 dan tahun 2005-2007 menurut kegiatan pasca panen
No Kegiatan Pasca Panen Besaran Susut dan Konversi (%) Perubahan
(%)
1995/1996 2005-2007
1. Pemanenan 9,52 (1) 1,20 (1) -3,2
2. Perontokan 4,78 (1) 0,18 (1) -4,6
3. Pengeringan Konversi GKP dan
GKG 2,13 (1) 86,51 3,27 (2) 86,02 1,14 -0,49
4. Penggilingan Konversi GKP dan
GKG (rendemen) 2,19 (2) 63,2 3,25 (2) 62,74 1,06 -0,46 5. Penyimpanan 1,61 1,39 -0,22 6. Pengangkutan 0,19 1,53 1,34 Total 20,51 10,82 9,69
Keterangan : 1) prosentase terhadap GKP ; 2) prosentase terhadap GKG
Sumber : Website Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian
Penekanan Susut dan Peningkatan Rendemen Gabah/beras, Maret 2009.
Total susut adalah jumlah seluruh kehilangan padi selama kegiatan pasca panen yaitu pada saat pemanenan, perontokan, pengeringan, penggilingan,
18 penyimpanan dan pengangkutan. Pada simulasi ini nilai susut untuk beras yang diambil adalah rata-rata dari tahun 2005-2007 yaitu 0.1082 nilai ini berdasarkan data yang didapatkan melalui website Ditjen Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian seperti pada Tabel 1.
Rendemen adalah jumlah beras yang dihasilkan dari jumlah padi tertentu. Rendemen tergantung pada kualitas beras, kadar air, musim panen, alsin yang digunakan dan konfigurasi mesin. Nilai rendemen padi untuk tiap kabupaten yang disimulasikan diasumsikan berdasarkan data yang diperoleh dari website Ditjen Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian yaitu 62.74 %. Sedangkan untuk jagung, rendemen tidak diperhitungkan karena data yang diperoleh adalah langsung dari data panen jagung yaitu jagung pipilan kering sehingga total produksi jagung dihitung dari luas panen jagung dan produktivitasnya.
Jika total produksi padi dan jagung diketahui maka dilakukan penyetaraan agar kedua komoditas uni dapat dijumlahkan dengan menggunakan penyetaraan berdasarkan nilai kalorinya yaitu 1 kg beras setara 3520 kkal sedangkan untuk 1 kg jagung setara 3620 kkal.
Dengan mengetahui diagram sebab akibat maka dapat dibuat simulasi dengan menggunakan bantuan software Powersim. Kemudian hasil simulasi divalidasi dengan membandingkan hasil simulasi dengan data yang dikeluarkan oleh instansi terkait contohnya data FSVA 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan Departmen Pertanian menggunakan metode Mean Absolute Percent Error (MAPE). Dengan metode tersebut maka akan didapatkan error perbandingan dari data hasil simulasi dengan data aktual.
………(2)
Dimana: adalah nilai sebenarnya adalah nilai hasil simulasi adalah banyak data
Hasil dari simulasi kemudian dianalisis dan merupakan input untuk tahap berikutnya dalam sistem deteksi dini kerawanan pangan yaitu analisis menggunakan komputasi cerdas dengan jaringan syaraf tiruan (Patterson 1996 dan Seminar et al, 2006) untuk sintesa model sistem deteksi dini.
19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Rasio Konsumsi Normatif
Rasio konsumsi normatif adalah perbandingan antara total konsumsi dan produksi yang menunjukkan tingkat ketersediaan pangan di suatu wilayah. Rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi pangan merupakan salah satu indikator ketersediaan pangan yang digunakan dalam analisis kerawanan pangan. Menurut Food Security and Vulnerability Atlas 2009 (FSVA 2009), berdasarkan profil konsumsi Indonesia bahwa konsumsi normatif serelia/hari/kapita adalah 300 gram yang setara dengan 109.5 kg/tahun/kapita. Kemudian dapat dihitung nilai rasio konsumsi normatif di suatu kabupaten dengan membandingkan total konsumsi normatif dengan total produksi pangan di kabupaten tersebut.
Jumlah total konsumsi dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang berubah sesuai perubahan waktu, demikian pula dengan produksi pangan di suatu daerah cenderung berubah sesuai perubahan waktu. Sehingga bentuk model dinamik adalah model yang paling sesuai untuk suatu sistem atau sub-sistem yang variabel-variabelnya berubah sejalan dengan perubahan waktu. Selain itu model dinamik dapat melakukan pendugaan suatu nilai dalam waktu tertentu. Untuk menentukan rasio konsumsi normatif diperlukan data series produksi dan konsumsi yang tersedia. Penggunaan model dinamik sebagai alat untuk menduga nilai rasio konsumsi normatif sebagai salah satu variabel yang digunakan pada model besar studi sistem deteksi dini untuk manajemen krisis pangan, terutama apabila data di lapangan tidak atau belum tersedia.
Gambar 10 menyajikan hasil perhitungan laju penduduk dengan mengunakan data series jumlah penduduk di kabupaten-kabupaten provinsi Jawa Timur. Dinamika penduduk ini dipengaruhi oleh faktor seperti angka kelahiran, kematian dan migrasi. Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka akan bertambah permintaan terhadap pangan dengan demikian maka perlu juga dilakukan peningkatan produksi pangan agar tidak terjadi krisis rawan pangan. Contohnya laju pertumbuhan terbesar di provinsi Jawa Timur yaitu 2.47% per tahun terjadi di kabupaten Pamekasan.
20 Gambar 10. Grafik laju pertumbuhan penduduk di berbagai kabupaten di provinsi
Jawa Timur
Sumber : BPS dengan data series dari tahun 2000-2008 (diolah) B. Analisis Diagram Sebab Akibat
Diagram sebab akibat menggambarkan hubungan antar elemen yang terlibat dalam sistem yang dikaji. Diagram ini terdiri dari variabel-variabel yang masing-masing dihubungkan dengan tanda panah yang menghubungkan antar variabel tersebut. Hubungan digambarkan dengan tanda positif (+) atau negatif (-). Gambar 11 memperlihatkan keterkaitan dari tiap elemen yang mempengaruhi rasio konsumsi normatif.
Peningkatan laju pertumbuhan penduduk akan meningkatkan jumlah penduduk tiap tahunnya, sehingga menyebabkan tingkat konsumsi pun bertambah. Sama halnya dengan peningkatan laju pertumbuhan luas panen yang akan menyebabkan peningkatan luas panen yang selanjutnya berdampak pada peningkatan jumlah produksi. Untuk beras, persentasi rendemen yang tinggi akan meningkatkan total produksi beras. Jika produksi beras dan jagung meningkat maka total produksi pangan pun meningkat sehingga rasio konsumsi normatif terhadap pangan pun dapat dihitung. Hubungan tersebut merupakan hubungan sebab akibat yang positif. Jika total produksi lebih besar dari konsumsi maka rasio konsumsi normatif yang dihasilkan akan semakin kecil dan sebaliknya jika
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 la ju p e rt u m b u h an ( % ) kabupaten
Laju Pertumbuhan Penduduk di Provinsi
Jawa Timur
21 konsumsi lebih besar dari total produksi maka nilai rasio konsumsi normatif akan semakin besar.
Gambar 11. Diagram sebab akibat rasio konsumsi normatif C. Model Sistem Dinamik
Model sistem dinamik dibangun berdasarkan diagram sebab akibat yang menggambarkan hubungan antara total produksi pangan dan jumlah konsumsi normatif di suatu kabupaten. Berdasarkan kedua variabel tersebut selanjutnya ditentukan nilai rasio konsumsi normatif terhadap produksi bersih per kapita. Dengan menggunakan bantuan software Powersim kemudian dibuat model dinamiknya seperti pada gambar 12.
Pada penelitian sebelumnya yang dikembangkan oleh Seminar et al (2010) data yang digunakan sebagai input pada model dinamik rasio konsumsi normatif adalah data series dari tahun 2003-2005, sedangkan pada penelitian ini data yang digunakan adalah data series dari tahun 2000-2008. Contohnya untuk jumlah penduduk, dengan menggunakan rumus yang dikembangkan BPS maka laju dari pertumbuhan penduduk dengan data series tahun 2000-2008 dapat dihitung. Selain itu pada penelitian sebelumnya komoditas yang digunakan adalah beras, sedangkan pada penelitian ini ditambahkan jagung sebagai bahan makanan pokok
22 yang dikonsumsi mayarakat, dengan penambahan ini maka deteksi terhadap kerawanan pangan pada subsistem ketersediaan pangan akan lebih terlihat.
Gambar12 . Hasil model dinamik rasio konsumsi normatif setelah ditambah komoditas jagung
Gambar 12 menampilkan model dinamik yang dirancang pada penelitian ini. Model yang dirancang pada penelitian sebelumnya dibatasi oleh garis putus-putus berwarna hijau. Warna merah pada gambar menunjukkan variabel jagung yang ditambahkan pada penelitian ini dengan data yang digunakan adalah data tahun 2003 sampai 2008. Sedangkan warna hijau menunjukkan bahwa variabel tersebut nilainya diganti dengan data terkini. Dari gambar tersebut terlihat bahwa total produksi yang dibandingkan adalah total produksi beras dan jagung yang masing-masing bergantung pada luas panen dan produktivitasnya. Selain itu dilakukan penyetaraan antara beras dan jagung berdasarkan nilai kalorinya yaitu 1 kg jagung setara dengan 1.028 kg beras. Maka model yang dirancang menggunakan nilai kesetaraan tersebut. Untuk komoditas beras total produksinya ditentukan oleh luas panen padi, produktivitas susut serta rendemen yang dihasilkan. Sedangkan
23 untuk total produksi jagung tidak memperhitungkan rendemen karena data yang diperoleh adalah langsung dari data luas panen jagung.
Total konsumsi merupakan fungsi dari konsumsi normatif per kapita dan jumlah penduduk yang dinamis. Jika total produksi dan total konsumsi sudah diketahui maka akan didapatkan rasio konsumsi normatif. Persamaan matematis yang digunakan pada model ini dapat dilihat di lampiran 2.
Uji coba model dilakukan dengan menggunakan data terkini yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari tahun 2000 – 2008 dengan contoh wilayah di provinsi Jawa Timur mencakup 29 kabupaten dan Yogyakarta sebanyak 4 kabupaten hasil dari simulasi dari semua wilayah contoh ditampilkan pada lampiran 1. Hasil simulasi akan lebih halus ketika data yang digunakan lebih baru, tetapi kendala dilapangan untuk data terbaru 2009-2010 belum tersedia. Hasil simulasi menunjukkan dari 33 kabupaten yang menjadi contoh untuk simulasi model dinamik ada provinsi yang menghasilkan rasio lebih dari 1 yang artinya persedian pangan di kabupaten tersebut defisit yaitu kabupaten Sidoarjo. Dan juga ada yang menghasilkan rasio kurang dari 1 yang artinya kabupaten tersebut mempunyai cukup stok pangan khususnya beras dan jagung.
Tabel 2 menunjukkan perbandingan rasio konsumsi normatif hasil simulasi dengan hasil dari penelitian FSVA. Dalam simulasi ini komoditas yang digunakan dibatasi hanya beras dan jagung saja mengingat kedua makanan pokok ini merupakan komoditas yang memang dikonsumsi oleh semua tingkat masyarakat.
Gambar 13. Grafik perbandingan rasio konsumsi normatif hasil simulasi dengan FSVA 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 ra si o kon su m si n or m at
if
Rasio konsumsi normatif
Rasio Konsumsi Normatif Hasil Simulasi
24 Untuk membandingkan dengan rasio hasil perhitungan FSVA maka dilakukan penyetaraan untuk komoditas pembanding yaitu beras dan jagung sehingga data yang dibandingkan setara. Dengan menggunakan metode MAPE didapatkan rata-rata error sebesar 11.9%.
Tabel 2. Perbandingan rasio konsumsi normatif hasil simulasi dan menurut FSVA di Provinsi Jawa Timur
No Wilayah/
Tahun rasio konsumsi normatif hasil simulasi
rasio normatif FSVA Jawa Timur 2005 2006 2007 2008 2009 rata-rata 2005-2007 2005-2007 1 Pacitan 0.36 0.35 0.33 0.31 0.29 0.35 0.41 2 Ponorogo 0.28 0.29 0.29 0.29 0.29 0.28 0.31 3 Trenggalek 0.65 0.64 0.34 0.26 0.17 0.54 0.65 4 Tulungagung 0.46 0.45 0.44 0.43 0.42 0.45 0.49 5 Blitar 0.34 0.33 0.31 0.30 0.29 0.33 0.40 6 Kediri 0.33 0.33 0.34 0.34 0.35 0.33 0.36 7 Malang 0.59 0.60 0.60 0.60 0.61 0.60 0.65 8 Lumajang 0.35 0.36 0.37 0.38 0.39 0.36 0.37 9 Jember 0.38 0.39 0.39 0.40 0.40 0.38 0.38 10 Banyuwangi 0.32 0.31 0.30 0.29 0.29 0.31 0.40 11 Bondowoso 0.27 0.27 0.26 0.26 0.25 0.27 0.29 12 Situbondo 0.24 0.24 0.23 0.23 0.23 0.24 0.27 13 Probolinggo 0.32 0.33 0.34 0.35 0.35 0.33 0.36 14 Pasuruan 0.48 0.48 0.49 0.49 0.49 0.48 0.44 15 Sidoarjo 2.17 2.18 2.18 2.18 2.18 2.18 2.01 16 Mojokerto 0.26 0.27 0.28 0.28 0.29 0.27 0.51 17 Jombang 0.42 0.41 0.40 0.40 0.39 0.41 0.45 18 Nganjuk 0.29 0.29 0.29 0.29 0.28 0.29 0.31 19 Madiun 0.33 0.33 0.33 0.33 0.32 0.33 0.32 20 Magetan 0.38 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 21 Ngawi 0.26 0.26 0.26 0.26 0.26 0.26 0.25 22 Bojonegoro 0.31 0.30 0.29 0.29 0.28 0.30 0.32 23 Tuban 0.24 0.23 0.23 0.23 0.24 0.23 0.23 24 Lamongan 0.21 0.21 0.21 0.20 0.20 0.21 0.22 25 Gresik 0.51 0.51 0.52 0.52 0.52 0.51 0.51 26 Bangkalan 0.33 0.33 0.33 0.33 0.33 0.33 0.46 27 Sampang 0.37 0.36 0.35 0.34 0.34 0.36 0.49 28 Pamekasan 0.64 0.63 0.63 0.62 0.61 0.63 0.80 29 Sumenep 0.25 0.25 0.26 0.26 0.26 0.25 0.37
25 Tabel 2 memperlihatkan perbandingan rasio konsumsi normatif hasil simulasi yang diberi warna biru dan menurut FSVA yang diberi warna merah untuk provinsi Jawa Timur. Hasil simulasi menyatakan rata-rata rasio konsumsi normatif lebih kecil dibandingkan dengan hasil menurut FSVA, perbedaan ini bisa terjadi karena perbedaan data series yang digunakan dalam perhitungan. Pada simulasi ini digunakan data mulai tahun 2000 hingga 2008 sedangkan FSVA menggunakan data 2005 hingga 2007.
D. Analisis Model
Analisis model dilakukan pada daerah yang mempunyai nilai rasio cukup kritis dari semua daerah yang disimulasikan. Contoh kasus pada kabupaten Gunung Kidul dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 sebesar 681554 jiwa meningkat dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan penduduk 0.309 %. Perubahan dua variabel tersebut seiring perubahan waktu akan berpengaruh terhadap nilai rasio konsumsi normatif terhadap produksi bersih per kapita.
Tabel 3. Contoh hasil simulasi di Kabupaten Gunung Kidul.
Tahun Penduduk Total Konsumsi (Ton) Total Produksi Beras (Ton) Total Produksi Jagung (Ton) Selisih Produksi dan Konsumsi (Ton) Total Produksi (Ton) Rasio 2005 681554 74630.16 98860.98 178318.92 207615.62 282245.78 0.264 2006 683657 74860.48 106269.63 195968.93 232945.37 307805.85 0.243 2007 685767 75091.50 114233.47 215365.93 260626.25 335717.75 0.224 2008 687883 75323.24 122794.13 236682.85 290877.68 366200.92 0.206 2009 690006 75555.70 131996.32 260109.72 323939.82 399495.52 0.189 2010 692135 75788.87 141888.13 285855.38 360075.53 435864.40 0.174 2011 694271 76022.76 152521.22 314149.35 399572.50 475595.26 0.160 2012 696414 76257.37 163951.16 345243.85 442745.70 519003.07 0.147 2013 698563 76492.71 176237.66 379416.08 489393.90 566432.61 0.135 2014 700719 76728.78 189444.91 416970.69 541532.58 618216.36 0.124 2015 702881 76965.57 203641.91 458242.45 597937.04 674902.61 0.114
Dari hasil simulasi pada tabel 3 dapat terlihat bahwa rasio konsumsi normatif pangan (beras dan jagung) untuk tahun 2010 adalah 0.174 yang artinya rasio ini masih kurang dari 1 sehingga menunjukkan daerah ini masih surplus untuk
26 produksi pangan. Produksi beras dan jagung dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Peningkatan terjadi karena permintaan terhadap dua komoditas ini meningkat baik untuk konsumsi pokok maupun untuk yang lainnya yaitu hasil pengolahan kedua komoditas tersebut. Gambar 14 memperlihatkan grafik hubungan antara produksi dan total konsumsi di kabupaten Gunung Kidul. Terlihat dari gambar 14 bahwa produksi jagung lebih besar dari pada beras hal ini dapat terjadi karena harga jagung yang cukup tinggi dan permintaan terhadap jagung meningkat sehingga para petani lebih banyak menanam jagung. Dari gambar 14 juga dapat terlihat bahwa total konsumsi lebih sedikit sehingga ketersediaan pangan di kabupaten Gunung Kidul tetap terpenuhi.
Gambar 14. Grafik total produksi dan konsumsi di kabupaten Gunung Kidul
Dengan persediaan yang cukup dan ditunjang dengan teknologi penanganan pasca panen yang baik maka persediaan pangan ini akan menjadi stok untuk tahun-tahun berikutnya dan bahkan jika stok telah mencukupi kebutuhan lokal maka persediaan pangan di kabupaten Gunung Kidul surplus atau aman pangan tetapi karena indikator kerawanan pangan bukan hanya rasio konsumsi normatif atau hanya ketersediaan saja maka data ini selanjutnya diolah menggunakan jaringan saraf tiruan sehingga akan terlihat dengan sistem yang dibuat itu daerah ini terdeteksi rawan pangan atau tidak.
0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 ton tahun
Grafik Total Produksi dan Konsumsi di
Kabupaten Gunung Kidul
Total Konsumsi produksi jagung produksi beras
27 Pada kasus di kabupaten Sidoarjo hasil simulasi menunjukkan rasio konsumsi normatif dari tahun awal simulasi yaitu 2005 sampai 2015 menunjukkan angka lebih dari 2. Ini menunjukkan persediaan pangan kabupaten Sidoarjo tidak mencukupi karena tingkat konsumsinya dua kali lipat dari produksinya. laju pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan produksi yang memadai secara lokal, walaupun dapat dilihat dari tabel 4 hasil simulasi bahwa dari tahun ke tahun ada kecenderungan total produksi meningkat tetapi selisih antara produski dan konsumsi pun meningkat.
Tabel 4. Contoh hasil simulasi di Kabupaten Sidoarjo.
Tahun Penduduk Total Konsumsi (Ton) Total Produksi Beras (Ton) Total Produksi Jagung (Ton) Selisih Produksi dan Konsumsi (Ton) Total Produksi (Ton) Rasio 2005 1715439 187840.57 86292.03 151.00 -101393.25 86447.32 2.17 2006 1747638 191366.34 87721.02 205.50 -103433.98 87932.36 2.18 2007 1780441 194958.28 89173.68 279.66 -105497.00 89461.29 2.18 2008 1813860 198617.65 90650.40 380.59 -107575.85 91041.80 2.18 2009 1847906 202345.70 92151.57 517.94 -109661.48 92689.23 2.18 2010 1882591 206143.73 93677.60 704.87 -111741.24 94402.49 2.18 2011 1917927 210013.05 95288.90 959.25 -113797.64 96215.41 2.18 2012 1953927 213955.00 96805.89 1305.45 -115806.57 98148.43 2.18 2013 1990602 217970.93 98409.00 1776.59 -117734.88 100236.06 2.17 2014 2027966 222062.25 100038.65 2417.76 -119537.15 102525.09 2.17 2015 2066031 226230.35 101695.29 3290.32 -121151.26 105079.09 2.15
Setelah didapatkan rasio konsumsi normatif yang merupakan salah satu indikator kerawanan pangan maka hasil ini dapat di integrasikan dengan sistem jaringan saraf tiruan dalam model besar deteksi dini unuk manajemen krisis pangan sehingga dapat ditentukan apakah suatu daerah itu terdeteksi rawan pangan atau tidak. Dengan deteksi ini diharapkan pemerintah dapat mengambil keputusan dengan bijaksana seperti pengelolaan cadangan pangan menjadi lebih efisien.
Hasil simulasi model kemudian divalidasi, validasi untuk jumlah penduduk menghasilkan rata-rata error sebesar 2.12 % sedangkan validasi untuk total produksi beras menghasilkan rata-rata error sebesar 4.97 % dan validasi untuk
28 produksi jagung menghasilkan rata-rata error sebesar 15%. Tabel hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 7, 8 dan 9.
E. Analisis Krisis Pangan
Dari hasil simulasi model dinamik pada beberapa wilayah di provinsi Jawa Timur dan Yogyakarta didapatkan bahwa sebagian besar wilayah di kedua provinsi tersebut mempunyai rasio kurang dari satu yang artinya bahwa persediaan pangan kedua provinsi ini tercukupi. Tetapi ada contoh kasus di kabupaten Sidoarjo yang rasionya melebihi satu yang artinya bahwa persediaan beras dan jagung di kabupaten ini belum mencukupi kebutuhan konsumsinya. Hal tersebut salah satunya dapat disebabkan bencana yang menimpa kabupaten Sidoarjo yaitu lumpur panas yang hingga saat ini belum terselesaikan.
Konversi lahan pertanian menjadi non pertanian merupakan salah satu isu penting dalam kajian ketersediaan pangan. Dalam undang-undang tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dijelaskan bahwa lahan pertanian adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Sehingga dari pengertian tersebut jelas bahwa lahan pertanian mempunyai peran penting dalam ketersediaan pangan. dengan adanya undang-undang konversi lahan ini maka konversi lahan pertanian menjadi non pertanian dapat ditekan jika dilaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab.
Rasio konsumsi normatif terhadap pangan ini memiliki peran yang penting dalam sistem besar deteksi dini terhadap krisis pangan, dimana indikator ketersediaan pangan ini memperlihatkan keadaan pangan disuatu daerah sehingga dari situ dapat diambil kebijakan oleh pemerintah. Selain itu hasil simulasi rasio konsumsi normatif terhadap pangan ini merupakan input untuk metode jaringan syaraf tiruan yang digunakan untuk mendeteksi kondisi atau level krisis suatu kebupaten yang disimulasikan. Hasil dari metode jaringan syaraf tiruan dengan input data yang merupakan hasil simulasi model dinamik menunjukkan bahwa rasio konsumsi normatif merupakan variabel kedua setelah puso yang mempengaruhi krisis rawan pangan. Pertambahan jumlah penduduk yang tidak
29 diikuti dengan meningkatnya produksi pertanian merupakan salah satu mempengaruhi perubahan rasio konsumsi normatif. Menurut Eriyatno (2010), permintaan akan produk pertanian pada umumnya bersifat in-elastik karena terkait dengan makanan pokok (staple food) atau yang menjadi sumber bahan pangan penting. Artinya, kebutuhan akan produk tersebut tidak dapat bereaksi secara cepat terhadap perubahan pasokan maupun harga. Sehingga walaupun produk mengalami penurunan, maka permintaan tidak secara langsung mengalami penurunan.
Pada penelitian sebelumnya yang dikembangkan oleh Seminar et al (2010) faktor dan parameter krisis pangan serta variabel-variabel yang diturunkan dari parameter krisis pangan telah dirumuskan dan dari hasil pengujian dan analisis keluaran komputasi cerdas dengan JST dapat diidentifikasi bobot prioritas semua variabel tersebut terhadap kondisi krisis pangan dengan urutan bobot terbesar hingga terkecil sebagai berikut:
1. Padi puso
2. Penduduk dibawah garis kemiskinan 3. Angka kematian bayi
4. IHSG
5. Berat badan Balita dibawah standar 6. Harga beras
7. Tanpa hutan
8. Rasio konsumsi normatif 9. Curah hujan 30 tahun 10. Perubahan kurs dolar
Rasio konsumsi normatif berada pada urutan ke-8 dalam indikator yang mempengaruhi kerawanan pangan. Penambahan data yang lebih banyak untuk pelatihan dalam jaringan syaraf tiruan meningkatan sensitivitas rasio konsumsi normatif sebagai indikator kerawanan pangan. Dengan penambahan jagung pada model dinamik rasio konsumsi normatif terhadap pangan dan dengan inputan data terbaru maka terbukti bahwa rasio konsumsi normatif mempunyai peranan yang sangat penting sebagai parameter kerawanan pangan. Sampurna (2010) melakukan pengujian sistem deteksi dini untuk kerawanan yang telah
30 dikembangkan oleh Seminar et al (2010) dengan data riil yang lebih lengkap untuk kemudian disintesa dengan jaringan syaraf tiruan yang salah satu inputnya adalah rasio konsumsi normatif yang dihasilkan dari penelitian ini. Dari penelitian tersebut dihasilkan keluaran urutan parameter kerawanan pangan dari prioritas terbesar hingga terkecil sebagai berikut:
1. Padi Puso
2. Konsumsi Normatif 3. Kenaikan Harga Beras 4. IHSG
5. Angka Kematian Bayi
6. Daerah Rawan Longsor dan Banjir 7. Perubahan Kurs Dolar
8. Penduduk Miskin
9. Berat Badan Bayi di Bawah Standar 10. Curah Hujan 30 Tahun
Posisi rasio konsumsi normatif meningkat menjadi urutan kedua yang artinya bahwa sebagai parameter kerawanan pangan, rasio konsumsi normatif sangat berperan dalam menunjukkan ketersedian pangan di suatu daerah.
Untuk menghindari krisis maka perlu adanya deteksi dini supaya sebelum kondisi itu kritis sudah ada penganan dini untuk mencegah hal tersebut terjadi. ketersediaan pangan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi rawan pangan tetapi akses untuk mendapatkan pangan tersebut harus terpenuhi dan juga dilihat tingkat konsumsi atau pemanfaatannya juga sehingga semua bersinergi dan pemanfaatanya akan lebih efektif. Dengan adanya deteksi dini maka diharapkan keadaan rawan pangan dapat dicegah.
31 V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Model dinamik yang dirancang dengan penambahan jagung sebagai komponen dalam rasio konsumsi normatif yang mempengaruhi kerawanan pangan untuk mendukung sistem isyarat dini ( early warning system) telah selesai dibuat. Keluaran simulasi rasio konsumsi normatif telah dihasilkan untuk berbagai wilayah kabupaten di provinsi Jawa Timur dan Yogyakarta. Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa wilayah kabupaten yang disimulasikan termasuk wilayah aman pangan. Hal ini terbukti dengan nilai rasio konsumsi normatif rata-rata pada wilayah tersebut masih kurang dari 1 yang artinya persediaan pangan masih tercukupi. Selain itu hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata rasio konsumsi normatif lebih kecil dibandingkan dengan hasil dari FSVA dengan persentase error sebesar 11.9 %. Hal ini terjadi karena perbedaan data series yang digunakan
pada simulasi yaitu dari tahun 2000 hingga 2008 sedangkan FSVA menggunakan data 2005 hingga 2007.
Uji coba yang dilakukan dengan data riil yang ada di lapangan pada beberapa lokasi (kabupaten) pada beberapa kurun waktu tertentu yang di inputkan ke dalam jaringan syaraf tiruan menunjukkan sensitivitas rasio konsumsi normatif meningkat hal ini terbukti dengan naiknya peringkat pengaruh parameter rasio konsumsi normatif dari urutan ke 8 menjadi urutan ke 2 setelah puso sebagai parameter kerawanan pangan.
B. SARAN
Model simulasi dinamik untuk rasio konsumsi normatif akan lebih memperlihatkan kondisi terkini jika didukung dengan data riil yang ada dilapangan. Ketersediaan, keterbaruan, dan kontinuitas data sangat diperlukan untuk sistem dinamik yang dihasilkan dalam penelitian ini. Peran lembaga terkait seperti BPS dan pemerintah sangat diperlukan dalam penyediaan data dan bila perlu tidak hanya disediakan dalam dokumen tercetak tetapi menggunakan media internet (online) sehingga akan lebih mudah diakses.
32 DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Mewa, et al. 2006. Laporan Akhir Penelitian Analisis Wilayah Rawan Pangan Dan Gizi Kronis Serta Alternative Penanggulanganya. Pusat Analisis Social Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. DEPTAN.
Badan Pusat Statistik (BPS). Jawa Timur Dalam Angka (2000-2008).
Byrknes, Helge and Jennifer Cover.1996. Quick Tour in Powersim.Virginia : Powersim Corporation.
Darajati, Wahyuningsih. 2008. Membangun Kedaulatan Pangan Nasional. Makalah. Fakultas Pertanian Unversitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Departemen Pertanian. 2005. Peta Kerawanan Pangan Indonesia 2005. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009. Dewan Ketahanan Pangan Indonesia. Jakarta
Firdaus, M. Lukman M. B. dan Purdiyanti P. 2008. Swasembada Beras Dari Masa ke Masa: Telaah Efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi Nasional. Penerbit : IPB Press. Bogor
Eriyatno, Hari Wijayanto & Agus Buono. 2010. Indikasi Krisis, Parameter dan Faktor Pengendaliannya untuk Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Manajemen Krisis, ISBN: 978-979-493-246-5 hal. 53-126. Bogor: IPB Press.
Eriyatno dan Lala M. Kolopaking. 2010. Strategi Penanggulangan Krisis Keuangan Global: Mengembangkan Sistem Ekonomi Domestik. Manajemen Krisis, ISBN: 978-979-493-246-5 hal. 1-51. Bogor: IPB Press.
Fateta-Deptan. 2002. Analisa Perancangan Sistem Dinamis untuk Penyediaan Beras Nasional. Laporan Riset Kerjasama Fateta dengan Deptan.
Handoko. 1994. Dasar Penyusunan Dan Aplikasi Model Simulasi Komputer Untuk Pertanian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam: Institut Pertanian Bogor.
Hasan, M. 2006. Meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Pengantar Falsafah Sains Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.