• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETIDAKSANTUNAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA BUDDHIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETIDAKSANTUNAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA BUDDHIS"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KETIDAKSANTUNAN BAHASA DALAM RANAH KELUARGA BUDDHIS

Lery Prasetyo

STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri leryprasetyo@rocketmail.com

Abstrak

Ketidaksantunan berbahasa merupakan penggunaan bahasa yang tidak baik dan seringkali menyinggung perasaan orang lain. Namun keadaan yang ada masih banyak orang, khususnya umat Buddha menggunakan bahasa yang kurang santun, bertolakbelakang dengan ajaran Buddha. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa bentuk ketidaksantunan bahasa yang terdapat dalam ranah keluarga Buddhis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk ketidaksantunan bahasa yang ditemukan terbagi ke dalam lima kategori yaitu kategori melanggar norma, mengancam muka sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka, dan menimbulkan konflik. Kategori melanggar norma mempunyai subkategori mengelak, kesal dan mengancam. Kategori mengancam muka sepihak terbagi kedalam subkategori meremehkan, menyindir, menyarankan, bertanya, kesal dan berjanji. Kategori melecehkan muka terdapat subkategori melarang, menyuruh, menuntut, menyindir, menyarankan dan menegur. Lalu kategori menghilangkan muka mempunyai subkategori kecewa dan memperolok.

Terakhir kategori menimbulkan konflik terbagi dalam subkategori menyuruh, menyarankan, kesal, bertanya dan meremehkan.

Kata kunci: Ketidaksantuan, Buddhis, Keluarga, Tuturan, Pragmatik

Abstract

Language impoliteness is the use of language that offends others. However, it is still used by many people, including the Buddhists. It is opposite to the Buddha‘s teaching. This study aims to analyze the forms of impolite language in Buddhist family. The result of this study shows that the forms of

impolite language are divided into five categories: norms violation, face threatening, face insinuating, face eliminating and conflict causing

Keywords: Impoliteness, Buddhist, Family, Speech, Pragmatics

Pendahuluan

Ketidaksantunan Bahasa bukanlah bentuk pertentangan dari kesantunan berbahasa. Kedua fenomena ini berbeda dan tidak bisa disejajarkan.

Jika kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang baik agar tidak menyinggungperasaanoranglain,ketidaksantunan berbahasa merupakan penggunaan bahasa yang tidak baik dan seringkali menyinggung perasaan orang lain. Ketidaksantunan berbahasa merupakan fenomena baru dalam kajian pragmatik.

Pemahaman Culpeper (Bousfield, 2008) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah, ‗Impoliteness, as I would define it, involves communicative

behavior intending to cause the ―face loss” of a target or perceived by the target to be so.‘ Dia memberikan penekanan pada fakta ‗face loss‘

atau ‗kehilangan muka‘. Manusia berkomunikasi dengan menggunakan alat yang disebut bahasa.

Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang digabungkan menurut aturan tertentu akan menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu. Bahasa yang digunakan hendaknya mudah dipahami oleh lawan bicara supaya penyampaian informasinya tersampaikan dengan baik.

(2)

Ilmu yang mengkaji dan menjelaskan tentang bahasa disebut linguistik. Kajian tentang bahasa tidak hanya meliputi satu aspek saja. Pada dasarnya linguistik mempunyai dua bidang besar, yaitu mikrolinguistik dan makrolinguistik. Mikrolinguistik mempelajari bahasa dari struktur dalam bahasa tersebut, sedangkan makrolinguistik mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa.

Ilmu linguistik tersebut menjadi dasar bagi ilmu-ilmu yang lain, seperti kesusastraan, filologi, pengajaran bahasa, penterjemahan, kajian pragmatik dan sebagainya.

Pragmatik merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Tipe studi ini perlu melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, dimana, kapan, dan dalam keadaan apa.

Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual (Yule, 2006:3).

Keluarga adalah tempat manusia memperoleh bahasa pertamanya. Kualitas bahasa yang diproduksi oleh seorang penutur dapat menggambarkan bagaimana identitas keluarganya.

Kualitas bahasa yang halus maupun kasar, santun ataupun tidak santun, hal itu dapat terlihat dengan jelas ketika berkomunikasi dengan orang lain di luar lingkungan keluarga intinya. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kekasaran atau kehalusan bahasa yang digunakan juga dipengaruhi oleh lingkungan di luar keluarga inti.

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

Dalam keadaan yang demikian menyebabkan keluarga menjadi wadah pertama terjadinya komunikasi.

Keluarga Buddhis adalah sebuah keluarga

inti yang beranggotakan ayah, ibu dan anak yang beragama Buddha. Umat Buddha seharusnya mengikuti setiap ajaran Sang Guru Agung Buddha Gautama, termasuk dalam hal bertutur kata dan berbicara. Pada Subhasita Sutta, Nipata Sutta terdapat syair 451 berbunyi:

Tam eva vacam bhaseyya, yay attiinam na tapayepare ca na vihimseyya, sa ve vaca subhasita (Andersen dan Smith, 1913:79).

―Marilah kita menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan kita. Marilah kita menggunakan kata-kata yang tidak saling menyakiti.Itulah kata-kata yang sungguh- sungguh bermanfaat‖

Kutipan tersebut jelas sekali bahwa umat Buddha harus mempunyai sikap tutur dan bahasa yang santun tidak menyakiti orang lain. Namun keadaan yang ada masih banyak umat Buddha menggunakan bahasa yang kurang santun yang dapat menyinggung perasaan mitra tutur.

Fakta diatas mendorong peneliti untuk meneliti tentang bentuk ketidaksantunan bahasa yang dilakukan oleh keluarga Buddhis.

Landasan Teori

Pragmatik

Zamzani (2007: 18-23) berpendapat kajian pragmatik selalu terarah pada permasalahan bahasa dalam suatu masyarakat. Pragmatik dipandang sebagai pengungkap pemakai bahasa yang dikaitkan dengan konteks pemakai yang tepat sehingga komunikatif. Penutur harus mampu mengolah setiap ujaran atau tuturan yang disampaikan agar tercapai komunikasi yang berhasil dan makna yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Pemilihan bahasa yang tidak tepat dapat menimbulkan rasa canggung pada lawan bicara. Menurut Purwo (1990: 23-

26) pragmatik sebagai subdisiplin linguistik yang mempelajari penerapan dan penguasaan bahasa dalam komunikasi.

Menurut Tarigan (2009: 31), pragmatik sebagai telaah mengenai makna yang dihubungkan dengan aneka situasi ujar. Hal ini diperkuat oleh pendapat Leech (1993: 8) yang berpendapat bahwa pragmatik sebagai studi tentang makna

(3)

dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Aspek- aspek situasi ujar sendiri menurut Leech (1993: 19-21) mencakup beberapa aspek, yaitu: (1) penutur (yang menyapa atau penyapa) dan lawan tutur (yang disapa atau pesapa), (2) konteks tuturan, sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama- sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai aktifitas atau kegiatan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Penggunaan bahasa pada hakikatnya sebagai proses menyampaikan pesan atau gagasan kepada pendengar yang mengandung makna. Sedangkan Menurut Verhaar (2006: 14) pragmatik merupakan cabang linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda- tanda bahasa pada hal-hal ―ekstralinguistik‖ yang dibicarakan. Secara garis besar, pragmatik sebagai subdsiplin linguistik yang menguraikan tiga konsep (makna, konteks, dan komunikasi).

Dari beberapa teori di atas, teori pragmatik yang dikemukakan oleh Leech lebih tepat dirujuk bagi penelitian ini karena penggunaan bahasa dalam berkomunikasi harus memperhatikan konteks.

Konsep lain tentang pragmatik oleh Huang (2007:2), yakni ―Pragmatics is the study of linguistic acts and the contexts in which they are performed.‖ Artinya bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku linguistik dan konteksnya dimana mereka digunakan. Definisi lain mengenai pragmatik yaitu, ―pragmatics is the systematic study of meaning by virtue of, dependent on, the use of language. The central topics of inquiry of pragmatics include implicature, presupposition, speech acts, and deixis.‖ Dari konsep-konsep diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pragmatik adalah sebuah ilmu bahasa yang membahas secara sistematis mengenai maksud.

Bidang telaah utama dalam kajian pragmatik meliputi implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan deiksis.

Bidang Telaah Pragmatik

Deiksis

Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa

Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti

‗penunjukan‘ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‗penunjukan‘

disebut ungkapan deiksis (Yule, 2006:13). Yule (2006) membagi deiksis menjadi tiga, yaitu deiksis persona untuk menunjuk orang, deiksis spasial untuk menunjuk tempat, dan deiksis temporal untuk menunjuk waktu. Menurut Kridalaksana (2008:45) deiksis adalah fungsi yang merujuk pada sesuatu hal di luar bahasa kata tunjuk pronominal, ketaktifan, yang mempunyai fungsi deiksis. Bentuk bahasa yang referennya berubah atau berganti bergantung pada siapa yang menjadi pembicara, waktu dan tempat.

Yule (2006:26) juga menambahkan mengenai penafsiran deiksis yang tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu mengungkapan jarak hubungan. Diberikannya ukuran kecil dan rentangan yang sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan-ungkapan deiksis selalu menyampaikan lebih banyak hal daripada yang diucapkan. Nadar (2009:54–55) mengungkapkan hal serupa mengenai deiksis, yaitu seorang penutur yang berbicara dengan lawan tuturnya seringkali menggunakan kata-kata yang menunjuk baik pada orang, waktu, maupun tempat. Kata-kata yang lazim disebut dengan deiksis tersebut berfungsi menunjuk sesuatu, sehingga keberhasilan suatu interaksi antara penutur dan lawan tutur sedikit banyak akan tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh seorang penutur.

Deiksis adalah kajian pragmatik yang terdapat pada kata, frase atau ungkapan yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi dan merujuk pada sesuatu di luar bahasa.

Penafsirannya tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu mengungkapkan jarak hubungan. Dengan kata lain, deiksis adalah cara menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri.

Praanggapan

Ada suatu anggapan bahwa ketika seorang penutur menyampaikan informasi

(4)

tertentu mengganggap bahwa pendengar telah mengetahuinya. Karena informasi tertentu itu dianggap sudah diketahui, maka informasi yang demikian biasanya tidak dinyatakan dan akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi tidak dikatakan. Praanggapan merupakan suatu fenomena pragmatik mengenai beberapa aspek makna yang tidak tampak.

Menurut Mulyana (2005: 14) praanggapan yaitu anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar atau pembaca. Praanggapan membantu pembicara menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dengan konteks untuk mengungkapkan pesan yang disampaikan kepada lawan bicaranya. Itulah sebabnya sumber praanggapan adalah pembicara.

Selain itu, pembicara yang memiliki hubungan keakraban dengan pembicara akan lebih mudah mengungkapkan praanggapannya. Fungsi praanggapan sendiri membantu mengurangi hambatan respons orang terhadap penafsiran suatu ujaran atau tuturan (Rani, 2006: 168).

Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Rahardi (2005:42) bahwa sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapkan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempresuposisikan tidak dapat dikatakan.

Berdasarkan teori dan konsep di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa praanggapan merupakan suatu maksud dari suatu tuturan dari penutur yang sudah tertangkap secara tersirat oleh mitra tutur sebelum diungkapkan, sehinngga kebenarannya masih belum dapat dipastikan.

Tindak Tutur

Tindak tutur berfungsi sebagai sarana penindak.

Tentunya dalam tuturan seseorang mengandung suatu maksud atau makna, karena seseorang tidak semata- mata bertutur atau asal bicara (Mulyana, 2005: 80). Tindak tutur dalam pragmatik dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi. Tindak lokusi sebagai tindak tutur yang semata-mata menyatakan sesuatu atau

tuturan kalimat dengan referensi dan arti tertentu.

Tindak ilokusi merupakan sebagai perbuatan menyampaikan maksud seperti menyampaikan informasi, janji, menawarkan melalui pengucapan kalimat. Tindak perlokusi sebagai efek yang ditimbulkan oleh tindak ilokusi pada pendengar sesuai dengan konteks situasinya. Akibat ujaran itu sendiri dapat berupa: melecehkan, menarik perhatian, pujian, meyakinkan, dan sebagainya (Zamzani, 2007: 40).

Terdapat 5 jenis fungsi dari tindak tutur, yaitu deklarasi, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif (Yule, 2006:92–94). Pertama; deklarasi adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan, contohnya adalah tuturan yang digunakan pemuka agama ketika mensyahkan suatu pernikahan. Tuturannya seperti ―sekarang kalian berdua sah menjadi suami isti‖. Kedua;

representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian, contoh : Bumi itu datar. Ketiga; ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan, contoh:

Sungguh, saya minta maaf. Keempat; direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi;

perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif, contoh: Buatkan saya kopi pahit!, Jangan Sentuh itu! dan sebagainya. Kelima;

komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengaitkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang.

Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar, contoh: Saya akan kembali.

Implikatur

(5)

Nadar (2009:60) menjelaskan bahwa implikatur

―implicature‖ berasal dari kata kerja to imply, sedangkan kata bendanya adalah ―implication‖.

Kata kerja ini berasal dari bahasa latin ―plicare‖

yang berarti ―to fold‖ (melipat), sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan tersebutlah haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, lawan tutur harus selalu selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya.

Implikatur menurut Mulyana (2005:

11) diartikan sebagai sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan. Sesuatu yang menjadi bahan pembicaraan atau topik pembicaraan mengandung implikatur. Implikatur sebagai salah satu bagian dari kajian pragmatik.

Implikatur merupakan segala sesuatu yang tersembunyi di balik pengguna bahasa secara aktual, benar, dan sesungguhnya. Implikatur sendiri merupakan masalah makna tuturan yang tidak akan terlepas dari konteks, baik konteks situasi yang berkaitan dengan peserta komunikasi, latar waktu tempat, saluran komunikasi, tujuan, maupun berkaitan dengan konteks kebudayaan terkait dengan aturan atau norma sosial dengan masyarakat.

Menurut Rani (2006: 170) implikatur digunakan untuk memperhitungkan saran atau apa yang dimaksud oleh penutur. Selain itu, implikatur dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara apa yang dimaksud dengan apa yang diucapkan. Ada berbagai pendapat para ahli tentang konsep implikatur salah satunya yang disampaikan oleh Levinson via Rani (2006: 173) yang berpendapat bahwa ada empat faedah konsep implikatur, yaitu (1) implikatur dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik, (2) implikatur memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud pemakai bahasa, (3) implikatur memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama, dan (4) memerikan berbagai fakta secara lahiriah

kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan.

Konsep lain diungkapkan Grice (1975, dalam Rahardi 2005:43) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut.

Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan. Berdasarkan pendapat di atas, konsep mengenai implikatur dapat dirangkum bahwa implikatur merupakan maksud tersembunyi di balik suatu tuturan atau dapat juga disebut dengan makna tersirat dari tuturan yang ada.

Ketidaksantunan Bahasa

Sepintas lalu, kata ketidaksantunan merupakan lawan dari kata kesantunan. Namun, pada dasarnya kata ketidaksantunan bukanlah lawan kata dari kesantunan. Pranowo (2012:68-71) memaparkan gejala penutur yang bertutur secara tidak santun.

Pertama penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar, Misalnya terdapat kata ―payah‖ dan

―penakut‖ yang menunjuk pada seorang pemimpin.

Pemakaian bahasa yang demikian dalam bertutur kata jelas dapat menyinggung perasaan mitra tutur yang menjadi sasaran kritik. Kedua penutur didorong rasa emosi yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah kepada mitra tutur. Ketiga, penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya (hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain). Penutur yang ingin meyakinkan publik bahwa apa yang dilakukannya benar dan yang dilakukan oleh mitra tutur salah, inilah yang membuat tuturan menjadi tidak santun.

Keempat, penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur, penutur terkesan menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur.

Dengan demikian, mitra tutur menjadi tidak berdaya. Misalnya penggunaan kata- kata keras dan kasar, menunjukkan bahwa penutur berbicara dengan nada marah, rasa jengkel, dan memojokkan mitra tutur, inilah yang menggambarkan pemakaian bahasa yang tidak santun. Kelima penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(6)

tutur. Tuturan tidak santun karena isi tuturan tidak didukung dengan bukti yang kuat, tetapi hanya atas dasar kecurigaan.

Rahardi (2012) dalam presentasinya ―Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Fa mily Domain)‖ memperlihatkan beberapa ahli telah mengkaji fenomena ini yang bersumber dari buku yang berjudul Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008). Berikut adalah pemaparan dari beberapa ahli tentang ketidaksantunan berbahasa.

1) Teori Ketidaksantunan Bahasa Locher Miriam A Locher

Locher (Bousfield, & Locher, 2008:3) menjelaskan bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‗… behaviour that is face-aggravating in a particular context‘ Jadi intinya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‗melecehkan‘ muka (face-aggravate).

Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar ‗mengancam‘ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech

(1983).

Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‗melecehkan muka‘, melainkan perilaku yang ‗memain-mainkan muka‘.

Jadi, ketidaksantunan berbahasa dalam pemahaman Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‗aggravate‘ itu. Contoh misalnya seorang yang mengatakan ‗loh rambut kamu lagi karatan?‖

kepada orang lain yag mengecat rambutnya berwarna pirang atau merah.

2) Teori Ketidaksantunan Bahasa Bousfield Dalam pandangan Bousfield (Bousfield

& Locher, 2008:3), ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‗The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face- threatening acts (FTAs) that are, purposefully

perfomed.‘ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi‗kesembronoan‘ (gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan. Sebuah contoh penggunaan teori ini diberikan oleh Riyanti (2014:28) sebagai berikut:

Situasi:

Ketika sedang makan siang, bapak dan ibu bercakap-cakap di meja makan. Ibu mengeluh karena sudah menunggu bapak yang tidak kunjung datang menjemput hingga ibu pulang diantar salah satu guru di sekolahnya. Bapak tidak kunjung datang, padahal sudah tidak ada jam mengajar lagi dan hanya ngobrol dengan guru lainnya di kantor guru. Bapak dan ibu beda sekolah, tempat mengajar.

Bentuk Bahasa:

Ibu : ―Ada rapat di sekolah po, Pak? Kok gak jemput!‖

Bapak : ―Enggak! Nongkrong di kantor.‖

Tuturan di atas tampak bahwa ibu ingin mendapatkan respon langsung dari bapak untuk menjelaskan mengapa tidak menjemput ke sekolah. Hal itu diperlihatkan dengan tuturan Ada rapat di sekolah po, Pak? Kok gak jemput! Tuturan tersebut dibalas dengan komentar bapak yang santai seolah-olah bukan masalah besar bagi ibu.

Hal itu dapat dilihat dari tuturan Nongkrong di kantor. Yang menandakan bahwa tuturan tersebut tidak serius diucapkan oleh bapak. Jika mitra tutur menanggapi dengan serius tuturan tersebut, tidak dipungkiri bahwa akan timbul konflik diantara mereka. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan menurut pandangan Bousfield ini lebih menekankan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan yang berupa tuturan oleh penutur yang memiliki maksud selain untuk melecehkan

(7)

dan menghina mitra tuturnya dengan tanggapan seenaknya sendiri secara sengaja dan dapat memungkinkan adanya konflik diantara mereka.

3) Teori Ketidaksantunan Bahasa Terkourafi Terkourafi (Bousfield & Locher,

2008:3), memandang ketidaksantunan sebagai,

‗impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee‘s face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.‘ Jadi perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Seperti contoh dari Riyanti (2014:31) sebagai berikut:

Situasi:

Di siang yang terik sang adik baru pulang kuliah.

Ia membawa surat undangan pernikahan mantan kekasih kakak perempuannya. Adik tahu bahwa sang kakak baru putus cinta kira-kira dua bulan yang lalu, namun mantannya tersebut sudah menemukan calon pasangan hidup. Sedangkan kakaknya belum punya pacar lagi. Di ruang keluarga ada semua anggota keluarga.

Bentuk Bahasa :

Adik : ―Mbak, ini undangan pernikahan dari Abang. Calon pengantin perempuannya cantik kaya mbak.‖

Mbak : ―Iyalah, kamu pikir, kamu lebih cantik dari aku?

Tuturan tersebut menunjukkan bahwa adik meminta tanggapan dari kakaknya, namun tuturan yang dikeluarkan membuat sang kakak merasa jengkel dan tidak nyaman yaitu dengan tuturan undangan pernikahan dari Abang. Calon pengantin perempuannya cantik banget lho. Dari tuturan tersebut, kakak menanggapinya dengan nada tinggi dan sinis yang mengancam muka secara sepihak terhadap adik. Tanggapan itu membuat mitra tutur merasa terancam muka dan malu dengan tuturan Iyalah. Kamu pikir, kamu lebih cantik dari aku? Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori

ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi lebih menekankan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki tujuan untuk mengancam muka sepihak mitra tuturnya tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.

4) Teori Ketidaksantunan Bahasa dalam pandangan Culpeper

Pemahaman Culpeper (Bousfield & Locher, 2008:3) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah,

‗Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to cause the

―face loss‖ of a target or perceived by the target to be so.‘ Dia memberikan penekanan pada fakta

‗face loss‘ atau ‗kehilangan muka‘— kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‗kelangan rai‘ (kehilangan muka). Jadi, ketidaksantunan (impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‗merasa‘ kehilangan muka. Seperti contoh yang disediakan Riyanti (2004:29) berikut:

Situasi:

Ketika ada arisan ibu-ibu di rumah, ibu yang menegur anak gadisnya yang sudah semester 11 namun belum lulus kuliah S1. Anak tersebut baru pulang dari kampus.

Bentuk Bahasa:

Ibu : ―Dari mana saja, Mbak?‖

Anak : ―Dari kampuslah, Bu.‖

Ibu : ―Kamu ini sudah semester 11 tapi kok gak lulus-lulus sih.‖

Tuturan di atas tampak bahwa penutur mempermalukan mitra tutur dihadapan banyak orang ketika acara arisan. Hal ini nampak dalam tuturan sudah semester 11 tapi kok gak lulus-lulus sih. yang menandakan bahwa tuturandisampaikan secara tidak santun karena mempermalukan anak gadisnya sendiri dihadapan banyak orang.

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam

(8)

pandangan Culpeper ini lebih menekankan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mempermalukan mitra tutur.

5) Teori Ketidaksantunan Bahasa Locher dan Watts

Locher and Watts berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Mereka juga menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini,

‗…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite versions of behavior.‘ (Bousfield & Locher, 2008:5). Berikut adalah contoh teori ini yang disajikan oleh contoh dari Riyanti (2014:32) Situasi:

Pagi hari di teras rumah berkumpullah bapak, ibu, dan anak-anaknya. Sang bapak menyuruh anaknya mengambilkan kunci motor karena bapak akan pergi. Pada prinsipnya, sang anak tahu jika memberikan sesuatu kepada orang lain menggunakan tangan kanan. Ketika menyerahkan kunci motor, sang anak menggunakan tangan kirinya.

Bentuk bahasa :

Anak : ―Ini kuncinya, Pak.‖ (memberikan kunci dengan tangan kiri)

Bapak : ―Kamu sekolah dimana? Kalau memberikan sesuatu kepada orang lain itu menggunakan tangan kanan, tidak sopan dengan tangan kiri.‖

Anak : ―Hehehe buru-buru, Pak, saya lupa.‖

Tuturan disampaikan oleh anak dengan nada santai, namun membuat bapaknya jengkel karena anak memberikan kunci motor dengan tangan kirinya. Dari percakapan tersebut terlihat bahwa si anak tidak mengindahkan norma kesopanan yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain itu menggunakan tangan kanan. Sang anak tidak memperhatikan norma

kesopanan yang diajarkan oleh bapaknya yaitu dengan tuturan Hehehe buru-buru, Pak, saya lupa . Tuturan tersebut merupakan tuturan tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar norma kesopanan. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts ini lebih menekankan pada bentuk ketidaksantunan penutur yang secara normatif dianggap negatif, karena melanggar norma kesopanan yang berlalu dalam masyarakat.

Ketidaksantunan Bahasa Dalam Agama Buddha

Pada dasarnya ketidaksantunan dalam berbicara dan berbahasa menurut ajaran Buddha tidak dianjurkan. Sebaliknya penggunaan kata-kata yang baik dalam setiap berucap dan berinteraksi.

Banyak sutta dan sumber lain yang menyatakan demikian, salah satunya adalah Subhasita Sutta ayat 452 yang berbunyi ―Marilah kita berucap yang menyenangkan, yang kata-katanya membuat orang-orang gembira. Karena memilih tidak berucap jahat, marilah kita berucap yang menyenangkan untuk orang lain.‖ (Andersen dan Smith, 1913:79).

Selain itu dalam salah ajaran Buddha yang utama untuk dapat melepaskan dari penderitaan yang disebut Jalan Utama Berunsur Delapan (Ariyo aṭṭhaṅgiko maggo) dalam kelompok Sila ada ajaran tentang Ucapan Benar (sammä-väcä).

Ajaran tersebut menjelaskan mengenai usaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã), memfitnah (pisunãvãcã), berucap kasar / caci- maki (pharusavãcã), dan percakapan yang tidak bermanfaat / pergunjingan (samphappalãpã) (Penterjemah Kitab Suci Sutta Pitaka, 1993).

Ajaran ini secara tidak langsung menyarankan umat Buddha dan keluarga Buddhis untuk menghindarkan diri pada ucapan atau tuturan yang tidak benar. Ucapan tidak benar dapat merugikan diri sendiri, dan bahkan dapat menyakiti orang lain. Seperti yang tercantum dalam Subhasita Sutta, Nipata Sutta terdapat syair 451 yang berbunyi:

Tam eva vacam bhaseyya, yay attiinam na tapayepare ca na vihimseyya, sa ve Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(9)

vaca subhasita (Andersen dan Smith, 1913:79).

―Marilah kita menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan kita. Marilah kita menggunakan kata-kata yang tidak saling menyakiti. Itulah kata-kata yang sungguh- sungguh bermanfaat‖

Kalimat-kalimat tersebut menegaskan bahwa Umat Buddha dan keluarga Buddhis seharusnya tidak lagi menggunakan ketidaksantunan bahasa.

Metode Penelitian

Penelitian ketidaksantunan bahasa dalam ranah keluarga Buddhis ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif, menurut

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong,2010:3) mempunyai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata lisan, tulisan serta gambar dan bukan angka- angka dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Sumber data penelitian ini diambil dari Keluarga Buddhis dan umat Buddha di Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar sebagai sumber lisan yang berupa tuturan- tuturan langsung.

Penelitian ini menggunakan metode simak, dan metode cakap dalam pengumpulan datanya. Sedangkan Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bentuk ketidaksantunan bahasa yang ditemukan dalam penelitian terdiri dari lima kategori yang masing-masing kategori terdapat subkategori lagi.

Bentuk-bentuk ketidaksantunan secara linguistik dapat ditemukan dalam cuplikan tuturan yang merupakan hasil transkripsi dari tuturan lisan. Lalu bentuk ketidaksantunan secara pragmatik berkaitan dengan penyampaian penutur saat tuturan tidak santun diproduksi secara lisan.

a. Ketidaksantunan Kategori Melanggar Norma

Ketidaksantunan dalam kategori ini berkaitan dengan tuturan-tuturan tidak santun dalam berbahasa yang berupa pelanggaran

terhadap norma atau aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat ataupun keluarga. Kategori melanggar norma ini terdiri dari tiga subkategori yaitu mengelak, kesal, dan mengancam. Berikut adalah uraian dari bentuk-bentuk ketidaksantunan dalam kategori ini.

1) Subkategori Mengelak

(1) Ibu : ―maeng mesti tuku es yo?‖

Anak : ―nggak Buk!‖

Konteks : Tuturan terjadi sore hari di rumah.

Sang anak sebagai penutur ditegur oleh ibunya, dalam hal ini sebagai mitra tutur, karena melanggar larangan atau kesepakatan untuk tidak membeli atau meminum es sehingga batuknya kambuh. Si Anak mengelak dan membohongi ibunya.

Bentuk Linguistik : ―nggak Buk!‖

Bentuk Pragmatik : Tuturan

disampaikan dengan cara ketus. Penutur mengelak atas ucapan atau tuduhan dari mitra tutur. Penutur berbicara kepada orang yang lebih tua. Penutur telah melanggar perintah atau kesepakatan yang telah dibuat bersama mitra tutur.

2) Subkategori Kesal

(2) Bapak : ―Ojo muleh bengi!‖

Anak : ―kapan yoan muleh

bengi?!‖

Konteks : Tuturan terjadi di rumah saat sore hari ketika Si anak sebagai penutur berpamitan akan pergi. Bapak dalam hal ini adalah mitra tutur mengatakan kepada anaknya untuk pulang terlalu malam. Kemudian anak menjawab dengan sebuah pertanyaan yang bernada ketus karena merasa selama ini tidak pernah pulang terlalu larut.

Bentuk Linguistik : ―kapan yoan muleh bengi?!‖

Bentuk Pragmatik : Tuturan

disampaikan kepada orang yang lebih tua dengan nada ketus dan kesal. Penutur

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(10)

tidak menghormati mitra tutur dengan tuturannya yang tidak sopan kemudian pergi begitu saja tanpa merasa bersalah.

3) Subkategori Mengancam

(3) Suami : ―lek gak gelem ngumbah yowes, sesok

ra gae sragam!‖

Istri : (pergi mencuci)

Konteks : tuturan dilakukan saat istirahat kerja, makan siang di rumah. Suami dalam hal ini sebagai penutur melihat tumpukan baju kotor yang belum dicuci. Penutur menyuruh mitra tutur dalam hal ini adalah istri untuk mencuci. Padahal sudah menjadi kesepakatan untuk cuci baju adalah tugas dari penutur.

Bentuk Linguistik : ―lek gak gelem ngumbah yowes, sesok ra gae sragam!‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

diutarakan dengan nada agak keras karena penutur tau adalah tugasnya namun saat itu dia sedng tiding memungkinkan untuk melakukannya sehingga tidak mau mengalah. Penutur mengingkari kesepakatan yang ada. Malah justru menyuruh mitra tutur.

b. Ketidaksantunan Kategori Mengancam Muka Sepihak

Ketidaksantunan dalam kategori mengancam muka sepihak berkaitan dengan tuturan-tuturan tidak santun yang dilakukan dengan tidak sengaja atau tidak sadar telah menyinggung perasaan mitra tutur. Terdapat enam subkategori dalam ketidaksantunan kategori mengancam muka sepihak yaitu meremehkan, menyindir, menyarankan, bertanya, kesal, dan berjanji. Berikut adalah uraian dari bentuk-bentuk ketidaksantunan dalam kategori ini.

1) Subkategori Meremehkan

(4) Adik : ―aku arep daftar sekolah penerbangan nyang Jogja melu cah-cah‖

Kakak : ―opo yo katut

awakmu?‖

Adik : ―kan urung dijajal‖

Konteks: tuturan terjadi di ruang keluarga pada malam hari. Sang Adik sebagai mitra tutur ingin mengikuti proses seleksi pada sekolah penerbangan di kota Jogja seperti teman- temannya. Penutur menanyakan tentang kemampuan adiknya dalam bidang akademik apakah mampu melewati tes yang akan dilakukan disana.

Bentuk Linguistik : ―opo yo katut awakmu?‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

disampaikan dengan santai oleh penutur. Penutur tidak menyadari bahwa tuturannya menyinggung mitra tutur. Ia merasa diremehkan oleh penutur yang meragukan kemampuannya untuk lolos dalam proses tes masuk sekolah penerbangan.

2) Subkategori Menyindir

(5) Bapak : ―Tulisanmu kok apikmen to, koyo tek

e cah SD!‖

Anak : ―Beneee.‖

Konteks : tuturan terjadi di kamar anak laki-laki yang dalam hal ini adalah mitra tutur oleh sang Bapak atau penutur. Anak tersebut sedang menulis dan penutur melihat tulisan anaknya yang sudah SMA tapi tidak rapi. Oleh karena itu menyindirnya seperti tulisan anak SD.

Bentuk Linguistik : ―tulisanmu kok apikmen to, koyo tek e cah SD!‖

Bentuk Pragmatik : tuturan diucapkan dengan santai, namun sebenarnya sedikit menyinggung perasaan mitra tutur yang memang tidak bisa menulis dengan rapi.

(6) Kakak : ―wiihh awakmu kok tambah ginuk-ginuk

banget to Dhek‖

Adik : ―Mbooh…‖ (pergi

meninggalkan kakaknya)

Konteks : tuturan terjadi di teras depan rumah pada sore hari, penutur adalah kakak laki-laki dari mitra tutur yang berbadan

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(11)

relatif tidak segemuk sang adik perempuan.

Bentuk Linguistik : ―wiihh awakmu kok tambah ginuk-ginuk banget to Dhek‖

Bentuk Pragmatik : tuturan dilakukan dengan cara bicara yang biasa dan datar.

Penutur mengomentari bentuk badan mitra tutur yang semakin gemuk. Namun tanpa disadari komentar itu menyinggung perasaan mitra tutur, sebagaimana diketahui umumnya perempuan sering sensitif jika bentuk tubuh dikomentari secara negatif, termasuk komentar yang menyatakan kegemukan.

3) Subkategori Menyarankan (7) Suami : ―lek nguweki panganan uwong ki

mbok sing anyar‖.

Istri : ―iki lho sek apik, rung mambu‖

Konteks : Tuturan dilakukan oleh suami sebagai penutur dan istri sebagai mitra tutur saat pagi hari di dapur. Penutur mengingatkan kepada mitra tutur jika memberi makan kepada orang lain sebaiknya yang masih baru dan bagus.

Namun, mitra tutur merasa tersinggung karena menganggap makanan yang akan diberikan masih bagus, belum basi walaupun tidak baru.

Bentuk Linguistik : ―lek nguweki panganan uwong ki mbok sing anyar‖.

Bentuk Pragmatik : tuturan

diutarakan dengan santai dan wajah datar.

Penutur sama sekali tidak memperhatikan perasaan mitra tutur yang telah

menyinggungnya. Penutur tidak menghargai inisiatif baik dari mitra tutur yang akan berbuat baik memberi makanan kepada tetangga.

4) Subkategori Bertanya

(8) Bapak : ―kuliahmu kapan mari?‖

Anak : ―bar iki!‖

Konteks: tuturan terjadi di ruang keluarga antara Bapak dalam hal ini adalah penutur dan anak mitra tutur. Tuturan tersebut dilakukan di depan anggota keluarga yang lain. Mitra tutur adalah mahasiswa semester akhir.

Bentuk Linguistik : ―kuliahmu

kapan mari?‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

disampaikan di depan keluarga dengan tidak memperhatikan perasaan hati mitra tutur yang merupakan mahasiswa semester akhir. Pada umummya mahasiswa pada semester akhir lebih sensitif jika diberi bertanyaan tentang kelulusannya.

5) Subkategori Kesal

(9) Ibu : ―lek diomongi ki mbok sing manut, mumet aku‖

Anak : ―ho oh buk‖

Konteks: tuturan dilakukan di rumah, ibu yang merupakan penutur memberitahu dan menasehati anaknya yang merupakan mitra tutur. Mitra tutur adalah anak yang dikenal bandel. Penutur saat menyampaikan tuturannya tidak melihat ke arah mitra tutur.

Bentuk Linguistik : ―lek diomongi ki mbok sing manut, mumet aku‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

disampaikan dengan agak ketus tanpa memperhatikan mitra tutur dan tanpa rasa bersalah. Penutur dalam hal ini tidak menghargai mitra tutur karena sama sekali tidak melihat ke arahnya.

6) Subkategori Berjanji

(10) Ibu : ―Di, Entasono memeane..!‖

Anak : ―sek, ko sek…‖

Konteks: anak adalah penutur sedang berada di ruang keluar memainkan gadgetnya. Kemudian ibu sebagai mitra tutur menminta anaknya untuk mengambil jemuran. Penutur seperti tidak mengindahkan permintaan dari mitra

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(12)

tutur, sengaja menunda untuk mengikuti permintaannya dan terus memainkan gadgetnya.

Bentuk Linguistik : ―sek, ko sek…‖

Bentuk Pragmatik : Tuturan

dilakukan dengan asal saja dan datar. Penutur sama sekali tidak memperhatikan permintaan dari mitra tutur padahal penutur tidak dalam keadaan sibuk karena pekerjaan penting. Penutur berbicara kepada orang yang lebih tua.

c. Ketidaksantunan Kategori Melecehkan Muka

Ketidaksantunan dalam kategori melecehkan muka merupakan tuturan yang dilakukan dengan sengaja oleh penutur untuk menyinggung perasaan mitra tutur. Kategori ini terbagi kedalam enam subkategori dalam yaitu melarang, menyuruh, menuntut, menyindir, menyarankan dan menegur.

Berikut adalah uraian dari bentuk-bentuk ketidaksantunan dalam kategori ini.

1) Subkategori Melarang

(11) Bapak : ―ojo kakean dolan karo cah-cah kae, mabukan‖.

Anak : ―iyo pak..‖

Konteks : tuturan terjadi dirumah saat anak sebagai mitra tutur meminta izin kepada bapaknya, dalam hal ini adalah penutur, untuk pergi keluar rumah.

Penutur mengingatkan dan melarang mitra tutr untuk tidak terlalu banyak bergaul dengan para pemuda yang sering berkumpul di dekat rumah karena dianggap akan membawa pengaruh buruk kepada mitra tutur.

Bentuk Linguistik : ―ojo kakean dolan karo cah-cah kae, mabukan‖.

Bentuk Pragmatik : tuturan

dilakukan dengan tegas, penutur dengan sengaja menyinggung mitra tutur. Mengharap mitra tutur mematuhi larangan yang telah diujarkan sebelumnya demi kebaikan anak kandungnya.

2) Subkategori Menyuruh

(12) Ibu : ―yualah, klambimu sak pirang-pirang, lek urung kangge ki mbok ra usah ngeceh-ngeceh duit tho Le‖.

Anak : ―gak popo lho Buk‖

Konteks : tuturan terjadi di dalam rumah, saat Sang Ibu, dalam hal ini adalah penutur, mengetahui anaknya, mitra tutur, membeli pakaian baru lagi. Padahal pakaian dari mitra tutur masih banyak yang bagus dan jarang dipakai.

Bentuk Linguistik : ―yualah, klambimu sak pirang-pirang, lek urung kangge ki mbok ra usah ngeceh-ngeceh tho Le‖.

Bentuk Pragmatik : tuturan dilakukan dengan cara ketus dan agak berteriak. Penutur dengan sengaja menyinggung mitra tutur yang sering menghabiskan uang saku untuk membeli pakaian baru.

3) Subkategori Menuntut

(13) Bapak : ―Sesok ae yo tukune sepatu, jek repot‖.

Anak : ―moh, saiki‖

Konteks : tuturan dilakukan di ruang keluarga.

Penutur dalam hal ini adalah anak, meminta Bapak yang merupakan mitra tutur untuk membelikan sepatu. Mitra tutur belum akan membelikan karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Mitra tutur akan membelikan setelah selesai dengan pekerjaannya. Namun, penutur memaksa untuk membelikan sepatu saat itu juga.

Bentuk Linguistik : ―moh, saiki‖.

Bentuk Pragmatik : tuturan

disampaikan dengan agak keras dan bernada memaksa. Penutur dengan sengaja menyinggung mitra tutur. Penutur berbicara dengan bapak kandungnya yang tentu lebih tua darinya.

4) Subkategori Menyindir

(14) Kakak : ―sukur, wes diomongi Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(13)

ojo pethakilan, kepleset tho…‖.

Adik : (menunduk, tersenyum malu dan pergi) Konteks : tuturan terjadi di ruang tamu oleh kakak yang merupakan penutur kepada adik yang merupakan mitra tutur. Mitra tutur jatuh terpeleset saat bermain-main diteras yang masih agak basah karena baru dipel. Sebelumnya penutur sudah memperingatkan untuk tidak bermain-main diteras dulu namun tidak diindahkan oleh mitra tutur.

Bentuk Linguistik : ―sukur, wes diomongi ojo pethakilan, kepleset tho…‖.

Bentuk Pragmatik : tuturan

dilakukan dengan berteriak kencang. Penutur sengaja menyinggung mitra tutur. Penutur merasa kesal kepada adiknya yang tidak patuh pada peringatannya sebelumnya.

5) Subkategori Menyarankan

(15) Bapak : ―anak Pak Parji kae lo pinter tas lulus langsung kerjo‖

Anak : ―yo kono angkat dadi

anak ae Pak‖

Konteks : tuturan terjadi di teras saat berbincang- bincang santai. Bapak sebagai mitra tutur membanding-bandingkan penutur dengan anak tetangga. Penutur merasa tidak nyaman dengan hal tersebut.

Bentuk Linguistik : ―yo kono

angkat dadi anak ae Pak‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

disampaikan dengan ketus dan kesal. Penutur menyinggung dengan sengaja mitra tutur karena tidak mau dibanding-bandingkan.

(16) Suami : ―wes ojo dowo-dowo, lek khotbah nyang vihara ae…‖

Istri : ―lek diomongi mesti

ngono‖

Konteks : tuturan terjadi di ruang keluarga malam hari, saat mitra tutur yaitu istri mengomel karena suami melakukan

sedikit kesalahan dengan menumpahkan minuman di atas meja padahal lantai baru dibersihkan.

Penutur mengucapkan tuturan tersebut untuk menghentikan omelan istri.

Bentuk Linguistik : ―wes ojo dowo, lek khotbah nyang vihara ae…‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

disampaikan dengan cara ketus. Penutur sengaja menyinggung mitra tutur agar berhenti bicara.

6) Subkategori Menegur

(17) Anak : ―Watuk-watuk ngono jek panggah ngrokok…‖

Bapak : ―bene…‖

Konteks : tuturan terjadi di ruang keluarga malam hari. Anak, dalam hal ini sebagai penutur menegur bapaknya atau mitra tutur yang terus merokok sambil batuk-batuk. Penutur berupaya mengingatkan mitra tutur untuk berhenti merokok terlebih sedang sakit batuk.

Bentuk Linguistik : ―Watuk-watuk ngono jek panggah ngrokok…‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

disampaikan dengan cara ketus dan sinis. Penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. Penutur sengaja menyinggung mitra tutur yang merokok saat sedang batuk.

d. Ketidaksantunan Kategori Menghilangkan Muka

Ketidaksantunan dalam kategori menghilangkan muka merupakan tuturan yang dilakukan dengan sengaja oleh penutur tidak hanya untuk menyinggung perasaan, namun juga mempermalukan mitra tutur. Kategori tuturan yang tidak santun menghilangkan muka dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua subkategori yaitu kecewa dan memperolok. Berikut adalah uraian dari bentuk-bentuk ketidaksantunan dalam kategori ini.

1) Subkategori Menegur

(18) Bapak : ―lah kok jek bab 3 iki jare skripsine mari bulan iki?‖

Anak : ―tenang pak mari mari‖

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(14)

(menunduk sambil terlihat sibuk dengan penelitiannya)

Konteks : tuturan terjadi di kamar anak, tidak jauh dari tempat itu di ruang keluarga ada ibu dan adik yang mendengarkan perbincangan. Anak adalah mitra tutur. Bapak sebagai penutur mempertanyakan kemajuan skripsi yang dibuat oleh anaknya karena mitra tutur pernah berjanji akan menyelesaikan dalam waktu segera.

Bentuk Linguistik : ―lah kok jek bab 3 iki jare skripsine mari bulan iki?

Bentuk Pragmatik : tuturan dilakukan dengan cara agak keras dan ketus. Penutur sengaja menyinggung perasaan mitra tutur agar cepat menyelesaikan skripsinya sesuai yang telah dijanjikan. Penutur merasa kecewa dan kesal dengan perkembangan skripsi mitra tutur jadi tidak merasa bersalah telah menyampaikan tuturan tersebut kepada mitra tutur.

2) Subkategori Memperolok

(19) Adik: ―byuh enthutmu lo koyo bathang‖

Kakak : ―kembung‖(menunduk dan bergegas pergi)

Konteks : tuturan terjadi di ruang keluarga saat semua anggota keluarga berkumpul untuk menonton TV. Adik adalah penutur dan Kakak adalah mitra tutur. Pada saat semua asyik dengan sedang melihat acara TV. Tiba-tiba mitra tutur kentut dengan sura yang tidak terlalu keras namun sangat bau. Penutur mersa tidak nyaman dan dengan segera mengeluarkan tuturan tersebut.

Bentuk Linguistik : ―byuh enthutmu lo koyo bathang‖

Bentuk Pragmatik : tuturan dilakukan dengan cara ketus dan bernada kesal sambil menutup hidung. Penutur menyampaikan tuturan kepada orang yang lebih tua. Penutur sengaja menyinggung mitra tutur dan membuatnya malu kepada anggota keluarga yang lain.

(20) Ibu : ―duh lek maem ojo kecap, ora sopan‖

Anak : (menunduk dan melanjutkan makan dengan hati-hati)

Konteks : tuturan terjadi di ruang makan saat siang hari. Penutur adalah ibu, sedangkan mitra tutur adalah anak laki-lakinya yang masih SD. Pada saat itu sedang makan bersama dengan kakek, nenek dan anggota keluarga yang lai. Mitra tutur makan dengan mengeluarkan suara saat mengunyah, dalam bahasa Jawa ‗kecap‘. Penutur menegur anaknya tersebut.

Bentuk Linguistik : ―duh lek maem ojo kecap, ora sopan‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

dilakukan dengan cara ketus dan bernada gak tinggi yang harus dipatuhi oleh mitra tutur.

Penutur mengungkapkan tuturannya dengan serta merta dan kesengajaan sehingga membuat malu mitra tutur yang saat itu sedang makan dengan lahap.

e. Ketidaksantunan Kategori Menimbulkan Konflik

Ketidaksantunan dalam kategori menimbulkan konflik merupakan tuturan yang dilakukan dengan sengaja dan sadar oleh penutur kepada mitra tutur yang dapat menimbulkan konflik. Kategori tuturan yang tidak santun menimbulkan konflik dalam penelitian ini dapat ditemukan dalam beberapa cuplikan percakapan yang tersusun dalam lima subkategori yaitu menyuruh, menyarankan, kesal, bertanya dan meremehkan. Berikut adalah uraian dari bentuk-bentuk ketidaksantunan dalam kategori ini.

1) Subkategori Menyuruh

(21) Ibu : ―awakmu ki mbok sing sregep koyo adekmu, sinau!‖

Anak : ―ora usah dibanding-

bandingne‖

Konteks : tuturan terjadi di ruang keluarga pada sore hari. Ibu yang dalam hal ini adalah penutur menyuruh mitra tutur yang

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(15)

dalam hal ini adalah anak sulungya untuk rajin belajar seperti adiknya yang masih kecil. Penutur menilai bahwa mitra tutur sering malas belajar dan hanya menonton TV atau bermain HP.

Tuturan ini membuat mitra tutur tersinggung dan kesal karena telah disbanding-bandingkan dengan adiknya.

Bentuk Linguistik : ―awakmu ki mbok sing sregep koyo adekmu, sinau!‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

dilakukan dengan agak tegas memerintah.

Tuturan sengaja disampaikan penutur kepada mitra tutur tanpa ada perasaan bersalah. Mitra tutur merasa terganggu dengan tuturan tersebut dan meminta untuk tidak dibanding-bandingkan.

2) Subkategori Menyarankan

(22) Kakak : ―wes nguras jeding po urung, ndelok bal-balan ae!‖

Adik : ―delok dewe sek jedinge‖

Konteks : tuturan terjadi di ruang keluarga.

Penutur adalah kakak dan mitra tutur adalah adik. Penutur sedang ada tamu sehingga tidak tahu mitra tutur telah melaksanakan tugasnya untuk menguras bak mandi atau belum, namun penutur melihat mitra tutur sedang menonton acara sepak bola di televisi seketika itu penutur menegur untuk melaksakan tugasnya terlebih dahulu ketimbang asyik nonton. Mitra tutur jengkel karena penutur tidak mengecek dulu tugasnya sudah dilakukan atau belum.

Bentuk Linguistik : ―wes nguras jeding po urung, ndelok bal-balan ae!‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

dilakukan dengan ketus dan keras. Penutur merasa benar dengan menegur mitra tutur yang tidak menjalankan tugasnya. Namun penutur tidak tahu dari kebenaran yang sesungguhnya.

Hal tersebut membuat mitra tutur jengkel.

3) Subkategori Kesal

(23) Anak : ―Buku-bukuku ojo

dirosokne to Buk!‖

Ibu : ―tak kiro lek wes ra kangge, lha membres kog‖

Konteks : tuturan terjadi di halaman rumah.

Penutur adalah anak dan ibu adalah mitra tutur.

Penutur melihat buku-bukunya yang lama, ditaruh di halaman rumah oleh ibunya untuk dijual ke tukang rosokan. Mitra tutur sangat tidak suka dengan ruangan yang berantakan, mitra tutur barus aja membersihkan kamar penutur dan melihat ada buku-buku yang berserakan, buku tersebut dianggap sudah tidak terpakai. Oleh karena itu, mitra tutur akan menjualnya.

Bentuk Linguistik : ―Buku-bukuku ojo dirosokne to Buk!‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

dilakukan dengan cara ketus dan mimik muka kesal. Penutur berbicara kepada orang yang lebih tua.

(24) Anak : ―aku gag doyan pare buk, emoh!‖

Ibu : ―ra usah pilih-pilih opo enek e ae dipangan‖

Konteks : Tuturan dilakukan di tempat makan di rumah. Tuturan terjadi pada pagi hari. Penutur adalah anak, dan mitra tutur adalah ibu. Penutur tidak suka dengan makanan yang dimasak oleh mitra tutur. Hal ini membuat jengkel mitra tutur karena sudah bersusah payah memasak, malah mendapat komentar yang tidak baik. Mitra tutur menganggap penutur tidak bersyukur atas makan yang telah disediakan.

Bentuk Linguistik : ―aku gag doyan pare buk, emoh!‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

dilakukan dengan cara ketus dan sinis. Penutur berbicara kepada orang yang lebih tua, ibunya sendiri. Penutur telah membuat mitra tutur tersinggung atas tuturan yang dilakukan.

4) Subkategori Bertanya

(25) Bapak : ―kae lho konco- Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(16)

koncomu sak angkatan wes do lulus, awakmu kapan?‖.

Anak : ―sing lulus yo podo dadi pengangguran kog‖

Konteks : tuturan dilakukan oleh bapak sebagai penutur dan anak sebagai mitra tutur. Tuturan dilakukan pada sore hari diruang keluarga. Penutur bertanya kepada mitra tutur tentang kelulusan studinya di perguruan tinggi. Hal ini ditanyakan karena melihat mitra tutur yang jarang menyentuh skripsi atau penelitiannya ketika dirumah, sedangkan teman-teman seangkatannya sudah ada yang lulus studi.

Bentuk Linguistik : ―kae lho konco-koncomu sak angkatan wes do lulus, awakmu kapan?‖.

Bentuk Pragmatik : tuturan dilakukan dengan tenang dan santai. Penutur tidak merasa akan menyinggung perasaan mitra tutur. Sebaliknya, mitra tutur justru merasa tersinggung dan menjawab ketus dengan argumentasi bahwa luluspun tidak langsung bekerja dan hanya menjadi pengangguran untuk membenarkan posisinya yang belum selesai mengerjakan skripsi.

5) Subkategori Meremehkan

(26) Anak : ―Watuk-watuk ngono jek panggah ngrokok…‖

Bapak : ―bene…‖

Konteks : tuturan terjadi di ruang keluarga malam hari. Anak, dalam hal ini sebagai mitra tutur menegur bapaknya atau penutur yang terus merokok sambil batuk-batuk. Penutur adalah seorang perokok aktif.

Penutur merasa jengkel karena menganggap anaknya terlalu cerewet, sebaliknya mitra tutur juga jengkel karena bapaknya tidak mau diberi saran demi kesehatannya.

Bentuk Linguistik : ―bene…‖

Bentuk Pragmatik : tuturan

disampaikan dengan cara ketus dan mimik wajah jengkel. Penutur menolak saran untuk berhenti merokok ketika sakit

dan menganggap dirinya baik-baik saja. Mitra tutur ingin memperhatikan dan peduli dengan kesehatan penutur namun disepelekan oleh penutur.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad dan Alek Abdullah. 2013. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Bina Aksara Ary, D, Jakobs, et al. 2014. Introduction to Research in Education. California: Belmont, CA Wadsworth Cengage Learning.

Andersen, Dines dan Helmer Smith. 1913. Sutta- Nipata. Oxford: Oxford University Press

Bousfield, Derek dan Miriam A. Locher. 2008.

Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Teory and Practice. New York:

Mouton de Gruyter.

Bungin, Burhan. 2012. Sosiologi Komunikasi:

Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kaki langit Kencana.

Huang, Yan. 2007. Pragmatics. New York:

Oxford University Press.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik (terjemahan, M.D.D. Oka).

Jakarta: UI-Press.

Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo

Kridalaksana, Harimurti. 2008.

Kelas

Kata dalam Bahasa

Indonesia.

Jakarta:Gramedia

Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa:

Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.

Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo ______. 2007. Metode Penelitian Bahasa:

Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.

Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian

Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana : Teori,

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(17)

Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Muslich, Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara Nadar, F. X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Maryani, Nurlaksana Eko Rusminto, Kahfie Nazaruddin, & Wini Tarmini. 2013. Realisasi Ketidaksantunan Berbahasa Dalam Komunikasi Remaja Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia.

Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, Dan Pembelajarannya) Vol 1, No 8 (2013) halaman 1-12. Publisher: Fkip Unila

Purwo, Bambang Kaswanti. 1990.

Pragmatik dan Pengajaran Bahasa.

Yogyakarta: Kanisius

.

Pranowo. 2012. Berbahasa secara Santun.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma

__________2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:

Erlangga

______________. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta:

Erlangga

______________. 2012. Penelitian Kompetensi:

Ketidaksantunan Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain).Presentasi.

Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.

Rahardi, R. Kunjana., Yuliana Setyaningsih &

Rishe Purnama Dewi. 2014. Kata Fatis Penanda Ketidaksantunan Pragmatik Dalam Ranah Keluarga. Jurnal Adabiyyāt Vol 13, No 2 (2014) halaman 149-175 Publisher: UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Rani, Abdul. dkk. 2006. Analisis Wacana:

Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian.

Malang: Bayumedia Publishing

Riyanti, Catarina Erni. 2014. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah

Keluarga Pendidik di Kotamadya Yogyakarta.

Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Samsuri. 1969. Fonologi: Ichtisar Analisa Bahasa Pengantar Kepada Linguistik. Malang: Lembaga Penerbitan IKIP Malang.

Sudaryanto. 2007. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguitis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa Verhaar, J. W. M. 2006. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar

Pragmatik. Yogyakarta: ANDI

Yogayakarta.

Yule, George. 2006. Pragmatik (terj). Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Zamzani. 2007. Kajian Sosiopragmatik.

Yogyakarta

Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

(18)

Referensi

Dokumen terkait

W ith independent variables of entrepreneurial orientation, hu man capital and social capita l, the research e mploys sample of sma ll and mediu m enterprise fro m Ma laysia

[r]

[r]

PENGGUNAAN BOM CURAH ( CLUSTER BOMB ) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL.. ALAN KUSUMA DINAKARA 080

Penerapan model PBSK pengaruh suhu terhadap laju reaksi dalam pelatihan pada5. guru-guru menunjukkan peningkatan kemampuan eksplanasi pedagogik

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen pada pembelian kopi oven Buriyah di Jember, (2) Untuk

Dengan kata lain, hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel-variabel bebas yang meliputi tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang

penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kolom packing zeolit alam maka kadar bioetanol yang diperoleh lebih besar, hal ini menunjukkan bahwa zeolit alam mampu