• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN POLA PEMBERIAN MP ASI DENGAN KEJADIAN BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS SUMBERJAYA KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN POLA PEMBERIAN MP ASI DENGAN KEJADIAN BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS SUMBERJAYA KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2016"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume V No. 12 Oktober 2017 36

HUBUNGAN POLA PEMBERIAN MP ASI DENGAN KEJADIAN BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI WILAYAH KERJA UPTD

PUSKESMAS SUMBERJAYA KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2016

Oleh : Ayu Idaningsih

ABSTRAK

Kasus balita BGM erat kaitannya dengan status gizi anak. Gangguan gizi pada bayi dan anak adalah kondisi tidak tercukupinya jumlah zat gizi pada makanan yang dikonsumsi oleh seorang bayi atau anak. Puskesmas dengan jumlah kasus balita BGM di Kabupaten Majalengka tahun 2015 paling tinggi terdapat di UPTD Puskesmas Sumberjaya yaitu sebesar 4,08%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) dengan kejadian Bawah Garis Merah (BGM) di wilayah kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2016.

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan atau desain case control. Sampel pada penelitian ini menggunakan perbandingan 1 : 2 yaitu kasus sebanyak 14 anak BGM dan kontrol sebanyak 28 anak non BGM. Analisis datanya menggunakan analisis univariat dengan distribusi frekuensi dan analisis bivariat dengan uji chi square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang dari setengah (33,3%) anak mengalami BGM, kurang dari setengah (38,1%) anak dengan pola pemberian MP-ASI tidak tepat dan ada hubungan yang bermakna antara pola pemberian MP ASI dengan kejadian Bawah Garis Merah (BGM) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2016 (

value = 0,013 dan OR = 5,4).

Upaya untuk mencegah dan menekan angka kejadian Bawah Garis Merah (BGM) yaitu dengan meningkatkan penyuluhan petugas kesehatan kepada ibu tentang MP ASI, membangun kerja sama antara petugas kesehatan dan kader untuk menyelenggarakan kegiatan posyandu dengan rutin serta melaksanakan kegiatan kunjungan ke rumah ibu untuk memberikan informasi dan motivasi dalam pemberian MP ASI kepada anaknya dengan tepat.

Kata Kunci : MP ASI, BGM, Balita

(2)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume V No. 12 Oktober 2017 37

Latar Belakang

Kesehatan anak mempunyai peran penting dalam pembangunan kesehatan suatu bangsa, karena anak sebagai generasi penerus bangsa di masa depan.

Pembangunan kesehatan pada anak mencerminkan pembangunan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa untuk tercapainya derajat kesehatan yang optimal.

Beberapa indikator untuk menentukan derajat kesehatan anak, antara lain adalah angka kematian, angka kesakitan, status gizi dan angka harapan hidup waktu lahir. Status gizi menjadi salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal (Badan Pembangunan Nasional, 2015).

Masalah gizi pada anak terutama balita perlu ditangani dengan baik karena berpotensi terhadap tingginya angka kematian. Menurut World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi. Anak yang mengalami kekurangan gizi memiliki resiko meninggal 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal.

WHO memperkirakan 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan kurang gizi. Sementara menurut The United Nations Children's Fund (UNICEF) pada tahun 2012, diperkirakan 165 juta anak usia dibawah lima tahun diseluruh dunia mengalami stunted (Litbangkes, 2014).

Studi-studi di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa

penyebab utama terjadinya gizi kurang dan hambatan pertumbuhan pada anak- anak usia balita berkaitan dengan rendahnya pemberian Air Susu Ibu (ASI).

Pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita sebagian besar dipengaruhi oleh jumlah ASI yang diperoleh, termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut.

Prevalensi di beberapa negara berkembang sebesar 10.2% anak usia balita mengalami kekurangan gizi (Alade, 2013).

Salah satu tujuan dari pembangunan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDG’s) tahun 2015 dalam masalah kesehatan anak adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi di bawah 15%.

Adapun prevalensi gizi kurang pada anak balita di Indonesia pada tahun 2010 sebesar 13,9% dan gizi balita Bawah Garis Merah (BGM) sebesar 5,3%.

Meskipun prevalensi gizi kurang di Indonesia tersebut sudah dibawah 15%

namun masalah gizi pada balita perlu ditangani dengan baik karena berpotensi terhadap tingginya angka kematian (Kementrian Kesehatan RI, 2016).

Secara nasional, jumlah kasus balita BGM pada tahun 2015 ditemukan sebanyak 26.518 kasus. Adapun Propinsi yang tertinggi ditemukan di Propinsi Jawa Timur sebanyak 6.019 kasus dan paling rendah ditemukan di Propinsi Sulawesi Utara sebanyak 40 kasus. Sementara Propinsi Jawa Barat berada di posisi tiga teratas dengan jumlah kasus balita BGM

(3)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume V No. 12 Oktober 2017 38

sebanyak 2.895 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2016).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka pada tahun 2015 diketahui jumlah kasus balita BGM sebanyak 897 kasus (1,07%) dari 84.121 balita yang ditimbang, sementara pada tahun 2014 sebanyak 1.029 (1.25%) dari 82.066 balita yang ditimbang.

Meskipun data tersebut yaitu tahun 2014- 2015 kasus balita BGM di Kabupaten Majalengka mengalami penurunan, namun hal ini perlu mendapatkan perhatian karena kasus BGM dapat meningkatkan angka kematian.

Sedangkan Puskesmas di Kabupaten Majalengka tahun 2015 dengan jumlah kasus balita BGM paling tinggi terdapat di UPTD Puskesmas Sumberjaya yaitu sebanyak 132 kasus (4,08%) dari 3.232 balita yang ditimbang (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2016).

Kasus balita BGM erat kaitannya dengan status gizi anak. Gangguan gizi pada bayi dan anak adalah kondisi tidak tercukupinya jumlah zat gizi pada makanan yang dikonsumsi oleh seorang bayi atau anak. Ada beberapa hal yang sering merupakan penyebab terjadinya gangguan gizi, baik secara langsung maupun tidak secara langsung dan bila hal tersebut dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan infeksi pada mereka.

Penyebab langsung yaitu konsumsi makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab tidak langsung yaitu pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, pengetahuan ibu, riwayat pemberian Air Susu Ibu (ASI), riwayat pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI), berat badan

saat lahir dan kelengkapan imunisasi (Alhamda, 2015).

MP ASI merupakan makanan tambahan bagi bayi, makanan pendamping ASI harus menjadi pelengkap dan dapat memenuhi kebutuhan bayi (Roesli, 2012). MP ASI diberikan pada bayi mulai usia 6 bulan untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutrisi lain yang tidak dapat dicukupi ASI, disamping itu organ pencernanan bayi yang mulai sudah siap untuk menerima makanan pendamping ASI (Kristiyanasari, 2011).

Agar pertumbuhan anak selalu terjaga pada jalur yang normal maka setiap ibu perlu menerapkan pola makan yang benar sejak dini dan berjenjang.

Setelah anak berumur 6 bulan, selain tetap diberikan ASI juga harus mulai diberikan MP-ASI.

Tahap selanjutnya yaitu pada usia 1-2 tahun anak sudah dapat diberikan makanan biasa seperti makanan pada orang dewasa. MP-ASI perlu diberikan pada saat yang tepat yaitu pada usia 6 bulan karena pada saat itu pemberian ASI saja tidak dapat mencukupi kebutuhan gizi anak yang makin bertambah akibat pertumbuhan yang terus berlanjut dan aktifitas anak yang makin meningkat (Aliza, 2012).

Hakikat MP-ASI adalah makanan (bukan minuman) karena itu elemen utamanya adalah bahan makanan padat seperti beras, ikan, buah, dan sayuran.

Dalam proses pembuatannya boleh ditambahkan bahan-bahan lain seperti susu, gula dan kaldu untuk meningkatkan citarasanya sehingga membuat anak menyukainya.

Meskipun MP-ASI adalah makanan, bentuknya tidak selalu padat

(4)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume V No. 12 Oktober 2017 39

tetapi disesuaikan dengan kemampuan anak dalam mencerna makanan tersebut.

Untuk anak usia 6-9 bulan dapat menggunakan MP-ASI yang bentuknya lunak seperti bubur sedangkan untuk anak yang lebih tua dapat diberikan dalam bentuk yang lebih padat misalnya nasi tim atau biskuit. Semakin usia anak bertambah sejalan dengan semakin berkembangnya sistem pencernaannya maka bentuk makanan yang diberikan juga berangsur-angsur meningkat seperti makanan untuk orang dewasa (Huliana, 2013).

Menurut United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) dalam Supariasa (2012), Bawah Garis Merah (BGM) dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait.

Secara langsung dipengaruhi oleh tiga hal yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai dan anak mungkin menderita penyakit infeksi.

Menurut Alhamda (2015), penyebab terjadinya gangguan gizi secara umum yaitu karena faktor langsung maupun faktor tidak langsung. Faktor langsung yaitu konsumsi makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita

anak. Faktor tidak langsung yaitu pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, pengetahuan ibu, riwayat pemberian Air Susu Ibu (ASI), riwayat pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI), berat badan saat lahir dan kelengkapan imunisasi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochyati (2014) di Kelurahan Kartasura Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo menunjukkan bahwa terdapat hubungan pola pemberian MP ASI dengan balita kurang gizi kronis.

Hasil penelitan yang dilakukan oleh Hakim (2014) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian MP ASI dengan pada gizi pada anak balita. Hasil penelitian Kartika dan Alharini (2012) di Kelurahan Pannampu Makassar menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian makanan dengan kejadian BGM pada balita.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai “Hubungan Pola Pemberian MP ASI dengan kejadian Balita Bawah Garis Merah (BGM) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2016.”

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan atau desain case control.

Sampel pada penelitian ini menggunakan perbandingan 1 : 2 yaitu kasus sebanyak

14 anak BGM dan kontrol sebanyak 28 anak non BGM. Analisis datanya menggunakan analisis univariat dengan distribusi frekuensi dan analisis bivariat dengan uji chi square.

(5)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume V No. 12 Oktober 2017 40

Hasil Penelitian

1. Analisis Univariat

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kejadian BGM di Wilayah Kerja

UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2016

No Kejadian BGM Frekuensi (f)

Persentase (%)

1 BGM 14 33.3

2 Non BGM 28 66.7

Jumlah 42 100

Berdasarkan tabel 4.1, diketahui bahwa anak yang mengalami BGM sebanyak 14 orang (33,3%) dan yang non BGM sebanyak 28 orang (66,7%). Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari setengah

(33,3%) anak mengalami BGM di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2017.

Tabel 4.2

Distribusi Frekuensi Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2016

No

Pola Pemberian Makanan Pendamping

ASI (MP-ASI)

Frekuensi (f)

Persentase (%)

1 Tidak tepat 16 38.1

2 Tepat 26 61.9

Jumlah 42 100

Berdasarkan tabel 4.2, diketahui bahwa anak yang pemberian MP-ASI dengan pola tidak tepat sebanyak 16 orang (38,1%) dan yang pemberian MP-ASI dengan pola tepat sebanyak 26 orang (61,9%). Hal ini menunjukkan bahwa

kurang dari setengah (38,1%) anak Ddengan pola pemberian MP-ASI tidak tepat di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka

Tahun 2017.

2. Analisis Bivariat

Tabel 4.3 Hubungan antara Pola Pemberian MP ASI dengan Kejadian Bawah Garis

Merah (BGM) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2016

(6)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume V No. 12 Oktober 2017 41

Pola Pemberian

MP ASI

Kejadian Bawah Garis Merah (BGM)

Jumlah  value BGM

(Kasus)

Non BGM (Kontrol)

n % n % F %

0,013

Tidak tepat 9 64,3 7 25,0 16 38,1

Tepat 5 35,7 21 75,0 26 61,9

Jumlah 14 100 28 100 42 100

OR 95% CI = 5,4 (1,348-21,639)

Berdasarkan tabel 4.3, diketahui bahwa dari anak yang mengalami BGM dan pola pemberian MP ASI tidak tepat sebanyak 9 orang (64,3%), sedangkan dari anak yang tidak mengalami BGM dan pola pemberian MP ASI tidak tepat sebanyak 5 orang (25,0%). Hal ini menunjukkan bahwa proporsi anak yang mengalami BGM dan pola pemberian MP ASI tidak tepat berisiko lebih tinggi dibanding proporsi anak yang tidak mengalami BGM dan pola pemberian MP ASI tidak tepat.

Berdasarkan hasil uji statistik, diperoleh nilai

value = 0,013 (< 0,05) dan OR = 5,4 (95% CI : 1,348-21,639) yang berarti ada hubungan antara pola pemberian MP ASI dengan kejadian Bawah Garis Merah (BGM) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2016.

Berdasarkan nilai OR yaitu 5,4 berarti anak yang pola pemberian MP ASI tidak tepat mempunyai peluang 5,4 kali lebih besar akan mengalami BGM dibandingkan dengan anak yang pola pemberian MP ASI tepat.

.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola pemberian MP ASI dengan kejadian Bawah Garis Merah (BGM) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2016 dengan

value = 0,013 dan OR = 5,4 yang artinya anak yang pola pemberian MP ASI tidak tepat mempunyai peluang 5,4 kali lebih besar akan mengalami BGM dibandingkan dengan anak yang pola pemberian MP ASI tepat.

Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Nurmiyati

(2015) menunjukkan bahwa ada hubungan antara Pola MP ASI dengan status gizi anak di wilayah kerja Puskesmas Arjawinangun. Juga sejalan dengan hasil penelitan yang dilakukan oleh Hakim (2014) menunjukkan bahwa anak ada hubungan antara pemberian MP ASI dengan status gizi anak di Desa Ban Kecamatan Kubu Tahun 2014.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori bahwa masalah gizi pada bayi dan anak disebabkan kebiasaan pemberian ASI dan MP-ASI yang tidak tepat (segi kuantitas dan kualitas). Selain itu, para ibu kurang menyadari bahwa

(7)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume V No. 12 Oktober 2017 42

sejak bayi berusia 6 bulan sudah memerlukan MP-ASI dalam jumlah dan mutu yang baik. Pada usia 6 bulan, selain ASI bayi mulai bisa diberi makanan pendamping ASI, karena pada usia itu bayi sudah mempunyai refleks mengunyah dengan pencernaan yang lebih kuat. Dalam pemberian makanan bayi perlu diperhatikan makanan pendamping yang sesuai dengan usianya, seperti jenis makanan yang dapat dikunyah atau masih dilumat. Kebiasaan pemberian makanan bayi yang tidak tepat, terlalu dini atau terlambat, makanan yang diberikan tidak cukup dan frekuensi yang kurang dapat menyebabkan anak mengalami gangguan gizi (Beck, 2011).

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan teori bahwa balita BGM dapat dipengaruhi oleh pemberian MP-ASI.

Pemberian MP-ASI yang tidak sesuai dengan umur dan kebutuhan anak dapat menimbulkan dampak pada kesehatan dan status gizi bayi atau mengakibatkan balita BGM. Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Kekurangan gizi pada bayi akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa (Santoso, 2011).

Masalah gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita masih menjadi masalah gizi utama yang perlu mendapat perhatian. Masalah gizi secara langsung disebabkan oleh asupan yang kurang dan tingginya penyakit infeksi. Hal ini berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, gangguan akses makanan, perawatan ibu yang tidak adekuat serta kurangnya pengetahuan ibu tentang cara pemberian

makanan yang baik untuk anak usia penyapihan (Beck, 2011).

Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, yang sering diistilahkan sebagai periode emas, sehingga pada masa ini gizi menjadi sesuatu yang berperan sangat penting. Tahapan periode emas dimulai sejak di dalam kandungan ketika kehamilan memasuki trimester ke-3 hingga usia 2 tahun. Pada usia 6 bulan, perkembangan otak anak mencapai 50%

melonjak hingga 80% saat berumur 2 tahun. Pada umur 5 tahun perkembangan otak mencapai 90% dan ketika umur 10 tahun mencapai 100%. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Tumbuh kembang optimal dapat dicapai dengan melakukan beberapa hal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan 4 hal penting yang harus dilakukan yaitu; memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Didah, 2011).

Penelitian ini terbukti bahwa pola pemberian MP ASI berhubungan dengan kejadian Bawah Garis Merah (BGM), maka dari itu untuk mencegah dan menekan angka kejadian Bawah Garis Merah (BGM) dapat dilakukan dengan meningkatkan pola pemberian MP ASI

(8)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume V No. 12 Oktober 2017 43

yang tepat. Upaya-upaya yang dapat dilakukan diantaranya meningkatkan penyuluhan kepada ibu tentang MP ASI, bekerja sama dengan kader untuk menyelenggarakan kegiatan posyandu

dengan rutin dan dilakukan kunjungan ke rumah ibu untuk memberikan informasi dan motivasi dalam pemberian MP ASI kepada anaknya dengan tepat.

Kesimpulan

1. Kurang dari setengah (33,3%) anak mengalami BGM di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2017.

2. Kurang dari setengah (38,1%) anak dengan pola pemberian MP-ASI tidak tepat di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2017.

3. Ada hubungan yang bermakna antara pola pemberian MP ASI dengan kejadian Bawah Garis Merah (BGM) di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2016 (

value = 0,013 dan OR

= 5,4).

Saran

1. UPTD Puskesmas Sumberjaya

Upaya untuk mencegah dan menekan angka kejadian Bawah Garis Merah (BGM) yaitu dengan meningkatkan penyuluhan petugas kesehatan kepada ibu tentang MP ASI, membangun kerja sama antara petugas kesehatan dan kader untuk menyelenggarakan kegiatan posyandu dengan rutin serta melaksanakan kegiatan kunjungan ke rumah ibu untuk memberikan informasi dan motivasi dalam pemberian MP ASI kepada anaknya dengan tepat.

2. STIKes YPIB Majalengka

Hasil penelitian agar dijadikan tambahan karya ilmiah di perpustakaan STIKes YPIB Majalengka sehingga menambah referensi untuk mahasiswa yang ingin mengetahui hubungan antara pola

pemberian MP ASI dengan kejadian Bawah Garis Merah (BGM).

3. Bagi Ibu Balita

Bagi ibu yang mempunyai anak di bawah 5 tahun dianjurkan untuk membawa anaknya ditimbang ke posyandu setiap bulan dan berusaha agar anaknya diberi makanan yang bergizi dan sesuai dengan perkembangan usianya.

4. Peneliti Lain

Peneliti lain disarankan agar mengkaji variabel lainnya yang tidak diteliti dalam penelitian ini dan juga dapat mengembangkan penelitian ini dengan desain yang berbeda.

(9)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume V No. 12 Oktober 2017 44

Daftar Pustaka

Alade, Olayinka, dkk. 2013. Exclusive Breastfeeding And Related Antecedent Factors Among Lactating Mothers In A Rural Community In Southwest Nigeria. Academic Journals.

Vol, 5 November 2013.

Alhamda, S. 2015. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM).

Jakarta: Rineka Cipta

Aliza, S. 2012. Buku Serba Tahu : Perawatan Balita Anda. Jakarta:

Rineka Cipta.

Alfi’ah, I. 2015. Hubungan Antara Berat Badan Lahir Dan Usia Pemberian Mp-Asi Dengan Kejadian Bawah Garis Merah Pada Balita Di Desa Dukuhmulyo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati. Jurnal Program Studi Gizi STIKes Ngudi Waluyo.

Almatsier. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Arikunto, S. 2012. Prosedur Penelitian:

Suatu Pengantar Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Arisman. 2011. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi.

Jakarta: Buku. Kedokteran EGC.

Badan Pembangunan Nasional. 2015.

Laporan Nasional Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Beck. 2011. Ilmu Gizi dan Diet, Hubungannya dengan Penyakit-

penyakit untuk Perawat dan Dokter. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Diah. 2011. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta : Puspa Swara,

Didah,R. 2011. Pemberian Makanan Tambahan. Jakarta : EGC.

Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka.

2016. Profil Kesehatan Kabupaten Majalengka tahun 2015. Majalengka: Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka.

Ernawati. 2012. Mendeteksi Gizi Buruk Pada Balita Detecting Malnutrition In Toddlers.

http://litbang.patikab.go.id/.

Diakses tanggal 15 Desember 2016.

Gerungan, G. P. 2012. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 13-36 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Tuminting Kota Manado. fkm.unsrat.ac.id/, diakses tanggal 18 Desember 2016.

Hakim. 2014. Pemberian Mp-ASI dengan Status Gizi Bayi Usia 6- 24 Bulan Berdasarkan Indeks BB/U di Desa Ban Kecamatan Kubu Tahun 2014. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Harahap, S. M. 2015. Pengaruh Perilaku Ibu Terhadap Kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada Anak Balita di Wilayah Kerja

(10)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume V No. 12 Oktober 2017 45

Puskesmas Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan.

Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Huliana, M. 2013. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara.

Kartika dan Alharini. 2012. Hubungan Pola Pemberian Asi Dan Mp Asi Dengan Kejadian Balita Bgm Pada Anak 6-24 Bulan Di Kelurahan Pannampu Makassar.

Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol. 1, No.2, Februari 2012.

Kementerian Kesehatan RI. 2012. Situasi dan Analisis ASI Eksklusif.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI, 2016. Profil Kesehatan RI tahun 2015.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kristiyanasari, W. 2011. ASI, Menyusui dan Sadari. Yogyakarta: Nuha Medika.

Lastanto. 2015. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Cebongan. Jurnal Penelitian STIKes Kusuma Husada Surakarta.

Litbangkes. 2014. Kajian Sektor Kesehatan. Jakarta: Litbangkes.

Maryunani, A. 2011. Inisiasi Menyusui Dini ASI Eksklusif dan Manajemen Laktasi. Jakarta : CV. Trans Info Media

Melinda. 2012. Kebutuhan Gizi Balita:

Hal Utama dalam Pertumbuhan

Buah Hati.

http://melindahospital.com.

Diakses tanggal 12 Desember 2016.

Muchlis, N. 2012. Hubungan Asupan Energy dan Protein Dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Tamamaung.

repository.unhas.ac.id, diakses tanggal 12 Desember 2016.

Gambar

Tabel  4.1  Distribusi  Frekuensi  Kejadian  BGM  di  Wilayah   Kerja

Referensi

Dokumen terkait

“Sebelum saya memberitahukan keputusan atau sesudahnya, biasanya saya menjelaskan tentang penyakit dari pasien itu sendiri, misalnya untuk kasus pencabutan gigi

[r]

- Terdapat sepupuh alternatif strategi yang didapat melalui matriks SWOT, namun hanya empat strategi yang menurut peneliti paling tepat diterapkan di KS, yaitu

History di browser adalah fasilitas untuk mencatat dan menyimpan data sejarah penelusuran dan penggunaan internet, history ini bisa sangat bermanfaat jika ingin melihat

Pengujian homogenitas dilakukan dengan mengoleskan zat yang akan diuji pada sekeping kaca atau bahan lain yang cocok harus menunjukkan susunan yang homogen dan

Analisis data tentang ketercapaian KKM dilakukan dengan membandingkan persentase jumlah siswa yang mencapai KKM pada skor dasar dan persentase jumlah siswa yang

yaitu proses belajar mengajar yang sering terjadi pada ketiga mata kuliah tersebut lebih. banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh factor dosen sebagai sumber

Berdasarkan nilai RMSEP, fungsi peragam yang relevan untuk pemodelan kalibrasi pengukuran konsentrasi kurkumin pada daerah identifikasi spektra infra merah dengan pendekatan