• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMASI KONSENTRASI LARUTAN HORMON TIROKSIN YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN NILA SALINE ( Oreochormis Niloticus )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "OPTIMASI KONSENTRASI LARUTAN HORMON TIROKSIN YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN NILA SALINE ( Oreochormis Niloticus )"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI KONSENTRASI LARUTAN HORMON TIROKSIN YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

BENIH IKAN NILA SALINE ( Oreochormis Niloticus )

SKRIPSI

ARIFIN

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2014

(2)

OPTIMASI KONSENTRASI LARUTAN HORMON TIROKSIN YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

BENIH IKAN NILA SALINE ( Oreochormis Niloticus )

SKRIPSI

A R I F I N 105940045810

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada program studi

budidaya perairan

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2014

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Optimasi Konsentrasi Larutan Hormon Tiroksin Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila Saline (Oreochormis Niloticus )

Nama : Arifin

Nim : 105940045810

Program Studi : Budidaya Perairan

Fakultas : Pertanian

Universitas : Universitas Muhammadiyah Makassar

Makassar, Oktober 2014

Telah Diperiksa dan disetujui Komisi Pembimbing

Dosen Pembimbing I , Dosen Pembimbing II,

Ir. Darmawati, S.Pi, M.Si Rahmi, S.Pi, M.Si

NIDN : 0912066901 NIDN : 0926036803

Diketahui

Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan BDP

Ir. H. M. Saleh Molla, MM Murni, S.Pi.,M.Si

NBM : 675040 NIDN : 0903037304

(4)

HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PENGUJI

Judul : Optimasi Konsentrasi Larutan Hormon Tiroksin Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila Saline (Oreochormis Niloticus )

Nama : Arifin

Nim : 105940045810

Program Studi : Budidaya Perairan

Fakultas : Pertanian

SUSUNAN KOMISI PENGUJI

NAMA TANDA TANGAN

1. Ir. Darmawati, S.Pi, M.Si ( )

Ketua Sidang

2. Rahmi, S.Pi, M.Si ( )

Sekertaris

3. Abdul Malik, S.Pi, M.Si ( )

Anggota

4. Asni Anwar, S.Pi, M.Si ( )

Anggota

(5)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang memberi pernyataan dibawah ini :

Nama : Arifin

Nim : 1059 400 458 10

Program studi : Budidaya perairan

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “OPTIMASI KONSENTRASI LARUTAN HORMON TIROKSIN YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN NILA SALINE ( Oreochormis Niloticus), ini merupakan hasil karya atau tulisan saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan orang lain.Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil karya orang lain, maka saya siap menerima sanksi dari perbuatan saya.

Makassar, oktober 2014

Penulis

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berkah, rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penilitian yang dilaksanakan di Balai Budidaya air Payau (BBAP) Takalar Semoga kita selalu tetap dalam lindungan dan pertolongannya.

Semoga dengan tersusunnya laporan ini bisa memberikan dampak yang positif bagi pembaca.

Penulis menyadari dari proses penelitian hingga pembuatan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Sygeng Raharjo, A.Pi selaku kepala Balai Budidaya Air Payau (BBAP)Takalar

2. Bapak Ir. H. Moh. Saleh Mollah, MM. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Makassar berserta stafnya

3. Ibu Murni, S.Pi, M.Si. Ketua program Studi Budidaya perairan Universitas Muhammadiyah Makassar

4. Ibu Ir. Darmawati, S.Pi, M.Si. Sebagai pembimbing utama penulis dengan keikhlasan serta kesabarannya membimbing penulis

5. Ibu Rahmi, S.Pi, M.Si, sebagai pembimbing kedua dan juga atas

keikhlasannya dan melungkan waktunya untuk membimbing penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini

(7)

6. Dosen Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Makassar

7. Terkhusus untuk orang tua dan keluarga yang telah membimbing dan memberi motivasi untuk penyelesaian skripsi ini

8. Serta teman-teman seperjuangan yang selalu memberi semangat kepada penulis

Penulis menyadari bahwa Penilitian ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi maupun tulisannya. Untuk itu kritik dan saran penulis harapkan bisa menjadi tambahan ilmu yang dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki.

Akhir kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberi manfata bagi pembaca dan dikalangan masyarakat luas, Amiin...

Makassar, Oktober 2014

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI HALLAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR I. PNDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan dan kegunaan 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Nila Saline 3

2.2 Hormon Tiroksin 7

2.2.1 Metabolisme 9

2.2.2 Tiroid Dan Mekanisme Kerjanya 11 2.2.3 Peranan Hormon Tiroid dalam Metabolisme 12 2.3 Hasil Penelitian Penggunan Tiroksin 13 2.4 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan 16

2.5 Kualitas Air 17

(9)

2.5.1 Suhu 17

2.5.2 Salinitas 18

2.5.3 Oksigen Terlarut 19

2.5.4 pH (Derajat Keasaman) 20

2.5.5 Amoniak 21

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 23

3.2 Alat dan Bahan 23

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Persiapan Sarana dan Prasarana 23 3.3.2 Pembuatan dan Perendaman Larutan Tiroksin 23

3.3.3 Pemeliharaan Larva 24

3.4 Rancangan Percobaan 24

3.5 Peubah yang diamati 25

3.6 Analisis Statistik 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pertumbuhan Panjang Mutlak 28

4.2 Pertumbuhan Berat Mutlak 30

4.3 Laju Pertumbuhan Ikan Nila 32

4.4 Sintasan ( SR ) 33

4.5 Kualitas Air 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN

(10)

5.1 Kesimpulan 39

5.2 Saran 39

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Data pertumbuhan panjang mutlak benih nila selama penelitian 27

2. Data pertumbuhan berat mutlak benih nila salin selama penelitian 31

3. Data hasil penelitian laju pertumbuhan harian (SGR) benih nila salin 32

4. Sintasan benih nila salin pada semua perlakuan selama penelitian 34

5. Kisaran parameter kualitas air pada semua perlakuan selama penelitian 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Morfologi ikan mujair 4

2. Organ genital ikan nila jantan 6

3. Histogram pertumbuhan panjang mutlak benih ikan nila salin 28

4. Grafik pertumbuhan berat mutlak benih ikan nila salin 31

5. Grafik pertumbuhan berat harian (SGR) benih nila salin 33

6. Grafik tingkat sintasan (SR) benih nila salin 35

(13)

ABSTRAK

ARIFIN.105940045810. Optimasi konsentrasi Larutan Hormon Tiroksin Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila Saline (Oreochromis Niloticus ). ( Dibimbing Oleh DARMAWATI dan RAHMI ).

Ikan nila saline merupakan salah satu unggulan dalam pengembangan budidaya air payau di masa mendatang, selain memiliki tingkat toleransi yang luas (eurihaline), ikan juga memiliki cita rasa yang lebih gurih apabila dibandingkan dengan yang dipelihara pada kolam air tawar. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan kelangsungan hidup benih ikan nila adalah merangsang tingkat metabolisme dan pertumbuhan ikan dengan hormon tiroksin (T4). Tujuan penelitian ini adalah menentukan konsentrasi larutan hormon toroksin yang optimal dalam meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan nila saline.

Penelitian ini dilakukan pada Agustus – September 2014, di BPBAP Takalar.

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 (tiga) perlakuan perendaman benih pada larutan T4 dan 1 (satu) kontrol, dengan 3 (tiga) ulangan. Dimana perlakuan A ( tanpa perendaman T4 atau kontrol ), Perlakuan B (0,01 ppm), Perlakuan C (0,1 ppm), dan perlakuan D (1,00 ppm). Berdasarkan analisis data hasil penelitian nampak bahwa perendaman hormon tiroksin dari semua perlakuan yang dicobakan berpengaruh tidak nyata terhadap pertunbuhan panjang mutlak, pertumbuhan berat mutlak dan laju pertumbuhan harian benih ikan nila saline. Namun perendaman hormon tiroksin 0,01 ppm (perlakuan C) memberikan pengaruh yang terbaik terhadap sintasan benih ikan nila saline yaitu 76,7 %.

Berdasarkan hasil uji BNT terhadap sintasan benih ikan dila salin menunukkan bahwa perlakuan C (dosis 0,10 ppm)berbeda dengan perlakuan A (yang tanpa perendaman T4 atau kontrol) : dan perlakuan B (dosis 0,01 ppm) : 34,4%, namun tidak berbeda dengan perlakuan D (1 ppm) 35,6%. Semakin tinggi dosis tiroksin, tingkat sintasan semakin menurun seperti halnya pada perlakuan D. Konsentrasi tiroksin yang tinggi pada darah menyebabkan kecepatan pembentukan dan kerusakan sel hampir sama, sehingga penambahan sel relatif tidak ada. Selain itu, kerja hormon tiroksin diduga lebih anabolik kepada dosis optimum, sebaliknya akan lebih bersifat katabolik jika melebihi konsentrasi optimum. Selanjutnya mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan dan sintasan, hal ini juga diduga karena energi digunakan untuk kebutuhan lain selainpertumbuhan somatik. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu perendaman hormon tiroksin tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pertumbuhan benih namun berpengaruh nyata terhadap sintasan benih ikan nila salin. Saran yang dapat disampaikan untuk mendapatkan pertumbuhan panjang dan berat mutlak yang lebih besar, maka sebaiknya pada pemeliharaan minggu kedua perlu dilakukan grading. Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk masyarakat perikanan bahwa dengan aplikasi hormon tiroksin dapat meningkatkan kualitas benih ikan nila, dan mengatasi permasalahan rendahnya mutu benih pada unit pembenihan.

Kata kunci : hormon tiroksin, metabolisme, nila saline.

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan nila saline merupakan salah satu unggulan dalam pengembangan budidaya air payau di masa mendatang, selain memiliki tingkat toleransi salinitas yang luas (eurihaline), ikan ini juga memiliki cita rasa yang lebih gurih apabila dibandingkan dengan yang dipelihara pada kolam air tawar. Tingkat permintaan ekspor dalam bentuk fillet dan kebutuhan domestik yang tinggi, sehingga menjadikan komoditas alternatif untuk dibudidayakan di tambak payau. Seiring perkembangan budidaya ikan nila yang pesat, permasalahan yang dihadapi para petambak yaitu tingkat kualitas benih yang rendah, sehingga tingkat kelangsungan hidup yang rendah dan hasil produksi tidak maksimal.

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan kelangsungan hidup benih

ikan nila adalah merangsang tingkat metabolisme dan pertumbuhan ikan. Hormon

tiroksin (T4) merupakan salah satu dari jenis hormon tiroid yang memainkan peranan

penting dalam metabolisme dan metamorfosis ikan. Tiroksin merupakan hormon yang

terionisasi di luar sel folikel tiroid atau pada bagian luar membran apikal. Pada folikel,

tiroksin berikatan dengan prohormon tiroglobulin. Menurut Djojosoebagio (1996)

hormon tiroksin dapat merangsang laju oksidasi dalam sel terhadap bahan makanan,

meningkatkan laju konsumsi oksigen, meningkatkan pertumbuhan, dan mempercepat

proses metamorfosis. Diharapkan penggunaan hormon tiroksin ini dapat meningkatkan

pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan nila saline. Hormon tiroksin dikenal

(15)

dapat merangsang laju oksidasi dalam sel terhadap bahan makanan, meningkatkan laju konsumsi oksigen dan laju pertumbuhan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, pada penelitian ini dilakukan ujicoba penggunaan hormon tiroksin untuk meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan nila saline. Dengan aplikasi hormon secara optimal, diharapkan dapat menjadi solusi bagi permasalahan diatas, sehingga pada akhirnya hasil produksi budidaya juga dapat meningkat.

1.2. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah menentukan konsentrasi larutan hormon tiroksin yang optimal dalam meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan nila saline.

Manfaat yang dapat diambil dari kegiatan penelitian ini, sebagai bahan referensi

bagi masyarakat perikanan bahwa dengan aplikasi hormon tiroksin dapat

meningkatkan kualitas benih ikan nila, dan mengatasi permasalahan rendahnya mutu

benih pada unit pembenihan.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Nila Saline

Nila saline yang digunakan pada kegiatan penelitian ini merupakan hasil dari perkawinan silang antara ikan nila GIFT dan ikan mujair air payau, sehingga dihasilkan benih ikan yang memiliki toleransi yang luas terhadap kadar garam (Eurihaline) (Hasbullah dkk., 2013). Kisaran optimal bagi perkembangan dan pertumbuhan nila saline yaitu 0 – 30 ppt. Tilapia atau ikan nila merupakan jenis ikan endemis yang tersebar di Afrika, Jordania dan Israel, dimana lebih dari 70 spesies yang telah teridentifikasi. Namun sebagian kecil saja dari jenis ikan nila yang bernilai ekonomis (Lim and Webster, 2006).

Gambar 1. Morfologi ikan mujair (kiri) dan ikan nila (jantan) Klasifikasi Ilmiah

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Osteichtyes

Ordo : Perciformes

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Nama binomial : Oreochromis niloticus Linnaeus, 1758

(17)

Karakter yang sering dipilih untuk memperbaiki mutu genetik ikan adalah tingkat kecepatan tumbuh, tingkat toleransi terhadap lingkungan dan tingkat kelangsungan hidup (SR). Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki mutu genetik yaitu selective breeding dan crossbreeding (Bartley dkk., 2001). Penggunaan kedua cara tersebut sangat bergantung terhadap beberapa keadaan, yakni : biaya, waktu dan ketersediaan sarana dan prasarana. Program selective breeding sering digunakan untuk menghasilkan populasi induk penjenis (Great Grand Parent Stock).

Crossbreeding atau istilah lain dari hibridisasi, digunakan untuk menemukan kombinasi strain induk yang dapat digunakan untuk menghasilkan ikan hibrida yang lebih unggul dibandingkan dengan kedua induknya.

Hibridisasi pada ikan nila telah dilakukan secara luas di berbagai negara. Efek heterosis dari teknik hibridisasi sering dimanfaatkan untuk memperoleh turunan yang memiliki sifat unggul pada beberapa karakteristik penting seperti pertumbuhan, derajat kelangsungan hidup, konversi pakan, kualitas daging, daya tahan terhadap penyakit, kemampuan reproduksi dan yang lebih penting lagi terhadap viabilitas.

Ikan hibrid interspesifik telah diproduksi untuk menunjang program budidaya

dan stocking, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan,

mentransfer sifat diantara spesies yang diinginkan, menggabungkan sifat yang

diinginkan dari dua spesies dalam satu kelompok ikan, mengurangi reproduksi yang

tidak diinginkan melalui produksi ikan steril atau anakan monosex, mengambil

keuntungan dari seksual dimorfisme, meningkatkan hasil panen, meningkatkan

toleransi terhadap lingkungan, dan meningkatkan ketahanan ikan secara keseluruhan

dalam kondisi budidaya (Bartley dkk., 2001).

(18)

Hibrida merupakan kegiatan yang menonjol dari beberapa negara untuk taksa tertentu, misalnya : hibrid ikan kakap di Amerika Serikat, hibrid ikan lele di Thailand, hibrid characids di Venezuela, dan hibrid nila di Israel. Meskipun hibridisasi telah digunakan secara luas, ada kesan secara umum bahwa hibridisasi interspesifik bukan merupakan sarana yang sangat berguna untuk budidaya. Kami percaya kesan ini berasal dari laporan yang tidak akurat dari beberapa hibrida yang berguna, pengujian strain terbatas yang digunakan untuk hibrida, dan dari penelitian awal pada ikan salmon yang tidak menimbulkan keuntungan komersial dari hibrida. Percobaan dengan ikan hibrid yang sedang berlangsung, terutama di sistem budidaya laut dimana ikan steril lebih disukai, hal ini untuk mencegah kekhawatiran bahwa ikan hibrid dapat melarikan diri ke laut dan lingkungan pesisir (Bartley dkk., 2001).

Hasil pengujian terhadap performa pembesaran ikan nila hasil hibridisasi antara ikan nila salin (strain lokal Galesong) dan beberapa strain ikan nila unggul (GIFT dan SULTANA), maka diperoleh data bahwa pembesaran ikan nila salin hibrida hasil persilangan GIFT dan Jabir (Hibrida GJ) menghasilkan laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup (SR) tertinggi. Pengujian yang dilakukan selama 4 (empat) bulan pemeliharaan, mengunakan benih hibrida dengan panjang awal rata-rata 5-7 cm dan berat rata-rata 5 g/ekor diperoleh panjang akhir rata-rata 17,45 cm dan berat akhir rata- rata 111,6 g/ekor. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (SR) terbaik sebesar 85,5%, sementara itu tingkat FCR terendah yaitu 0,60 dibandingkan nila hibrida lainnya (Hasbullah dkk., 2013).

Nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, dimana ikan ini merupakan hasil

introduksi dari benua Afrika, tepatnya Afrika bagian timur pada tahun 1969. Saat ini

(19)

ikan nila menjadi peliharaan yang populer untuk kolam-kolam air tawar di Indonesia, disamping itu ikan nila juga menjadi hama pada setiap sungai dan danau di Indonesia.

Nama ilmiahnya adalah Oreochromis niloticus, dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Nile Tilapia.

Ikan nila yang masih kecil performa alat kelamin belum tampak perbedaan.

Setelah berat badannya mencapai 50 gram, dapat diketahui perbedaan antara jantan dan betina. Perbedaan antara ikan jantan dan betina dapat dilihat pada lubang genitalnya dan juga ciri-ciri kelamin sekundernya. Pada ikan jantan, di samping lubang anus terdapat lubang genital yang berupa tonjolan kecil meruncing sebagai saluran pengeluaran kencing dan sperma. Tubuh ikan jantan juga berwarna lebih gelap, dengan tulang rahang melebar ke belakang yang memberi kesan kokoh, sedangkan yang betina biasanya pada bagian perutnya besar.

Gambar 2. Organ genital ikan nila jantan (kiri) dan betina (kanan)

Telur ikan nila berbentuk bulat berwarna kekuningan dengan diameter sekitar

2,8 mm. Sekali memijah, ikan nila betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 300 -

1.500 butir, tergantung pada ukuran tubuhnya. Ikan nila mempunyai kebiasaan yang

(20)

di dalam rongga mulutnya. Perilaku ini disebut mouth breeder atau mengerami telur dalam mulut.

Pada tahap pemeliharaan larva benih ikan nila merupakan kondisi ekstrem yang sangat sulit, dimana tingkat mortalitas larva tinggi, terutama pada minggu kedua dan ketiga sejak penetasan telur. Secara fisiologi, penyebab mortalitas terbesar di alam yaitu starvasi, dimana ketidakmampuan secara fisik untuk mencari makanan setelah ketersediaan endogenous telah habis. Periode pencampuran nutrisi makanan pada pemeliharaan larva ikan nila Oreochromis niloticus dianggap sebagai periode paling kritis selama fase awal kehidupan larva, sejak beberapa hari terhambatnya ketersediaan makanan yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva (Khalil dkk., 2011).

Menurut SNI 6141:2009 istilah pendederan pertama (PI) pemeliharaan benih dari tingkat larva sampai ukuran maksimal 5 cm, dimana ukuran penebaran minimum yaitu larva dengan padat penebaran pada wadah bak 300-500 ekor/m

2

, wadah hapa 75- 100 ekor/m

2

dan wadah kolam 100 ekor/m

2

. Sedangkan periode pemeliharaan 30 hari dan frekuensi pemberian pakan 5 kali sehari (ransun harian 20-30%) dengan panjang total pemanenan 3-5 cm dan tingkat kelangsungan hidup minimum 60%.

2.2. Hormon Tiroksin

Hormon tiroksin dihasilkan dari kelenjar tiroid dan dikenal memiliki peranan

penting dalam perkembangan awal. Sebagaimana dikemukakan, kelenjar tiroid

menghasilkan tiga jenis hormon yaitu triiodotironin (T3), tetraiodotironin (Tiroksin,

T4) dan sedikit kalsitonin. Hormon ini diangkut oleh protein pengangkut, seperti :

TBG (thyroxine binding globulin), TBPA (thyroxine binding prealbumin), T3U (T3

(21)

resin uptake) dan TBI (thyroxine binding Index). Peningkatan protein pengangkut TBG menyebabkan peningkatan hormon T4 dan penurunan protein pengangkut T3U (Turner and Bagnara, 1976).

Hormon tiroksin ini banyak terdapat pada telur dan larva yang baru menetas.

Hormon tiroksin ini juga dapat ditransfer dari induk ke gonad dan akumulasi pada oosit selama proses pematangan oosit ke larva. Peranan penting lainnya adalah sebagai media absorpsi penyerapan kuning telur, pembentukan sirip dan rangka, metamorphosis, transformasi dari larva ke juvenile dan pertumbuhan. Hormon ini juga mampu meningkatkan konversi dan efisiensi pakan, absorpsi nutrient, mempengaruhi gelembung renang serta sistem pencernaan sehingga meningkatkan kemampuan dalam menyerap pakan dan meningkatkan pertumbuhan.

Fungsi dari hormon-hormon tiroid antara lain adalah: (a). Mengatur laju

metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya meningkatkan metabolisme karena

peningkatan konsumsi oksigen dan produksi panas. (b). Kedua hormon ini tidak

berbeda dalam fungsi namun berbeda dalam intensitas dan cepatnya reaksi. T3 lebih

cepat dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya lebih singkat dibanding dengan T4. T3

lebih sedikit jumlahnya dalam darah. T4 dapat dirubah menjadi T3 setelah dilepaskan

dari folikel kelenjar. (c). Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus

khususnya pertumbuhan saraf dan tulang (d). Mempertahankan sekresi GH dan

gonadotropin (e). Merangsang pembentukan sel darah merah. (f). Mempengaruhi

kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi tubuh terhadap kebutuhan oksigen

akibat metabolisme.

(22)

Hormon T3 dan T4 dihasilkan oleh folikel sedangkan kalsitonin dihasilkan oleh parafolikuler. Bahan dasar pembentukan hormon-hormon ini adalah yodium yang diperoleh dari makanan dan minuman. Yodium yang dikomsumsi akan diubah menjadi ion yodium (yodida) yang masuk secara aktif ke dalam sel kelenjar dan dibutuhkan ATP sebagai sumber energi. Proses ini disebut pompa iodida, yang dapat dihambat oleh ATP-ase, ion klorat dan ion sianat.

Sel folikel membentuk molekul glikoprotein yang disebut Tiroglobulin yang kemudian mengalami penguraian menjadi mono iodotironin (MIT) dan Diiodotironin (DIT). Selanjutnya terjadi reaksi penggabungan antara MIT dan DIT yang akan membentuk Triiodotironin atau T3 dan DIT dengan DIT akan membentuk tetra iodotironin atau tiroksin (T4). Proses penggabungan ini dirangsang oleh TSH namun dapat dihambat oleh tiourea, tiourasil, sulfonamid, dan metil kaptoimidazol. Hormon T3 dan T4 berikatan dengan protein plasma dalam bentuk PBI (protein binding Iodine) (Djojosoebagyio, 1990).

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas hormon tiroksin adalah dosis dan cara pemberian hormon, lama pencahayaan, kualitas makanan, waktu pemberian makanan, stres, spesies, dan ukuran ikan.

2.2.1 Metabolisme

Pengertian metabolisme merupakan rangkaian reaksi kimia yang diawali oleh

substrat awal dan diakhiri dengan produk akhir, yang terjadi dalam sel. Dalam reaksi

tersebut meliputi reaksi penyusunan energi (anabolisme) dan reaksi penggunaan energi

(katabolisme). Dalam reaksi biokimia terjadi perubahan energi dari satu bentuk ke

bentuk yang lain, misalnya energi kimia dalam bentuk senyawa Adenosin Trifosfat

(23)

(ATP) diubah menjadi energi gerak untuk melakukan suatu aktivitas. Proses metabolisme yang terjadi di dalam sel makhluk hidup melibatkan sebagian besar enzim (katalisator) baik berlangsung secara sintesis (anabolisme) dan respirasi (katabolisme).

Enzim merupakan biokatalisator atau katalis organik yang dihasilkan oleh sel.

Katalis adalah zat kimia yang mempercepat reaksi, tetapi zat tersebut tidak ikut bereaksi. Enzim mempunyai dua fungsi pokok sebagai berikut. 1. Mempercepat atau memperlambat reaksi kimia. 2. Mengatur sejumlah reaksi yang berbeda-beda dalam waktu yang sama. Enzim disintesis dalam bentuk calon enzim yang tidak aktif, kemudian diaktifkan dalam lingkungan pada kondisi yang tepat. Misalnya, tripsinogen yang disintesis dalam pankreas, diaktifkan dengan memecah salah satu peptidanya untuk membentuk enzim tripsin yang aktif. Bentuk enzim yang tidak aktif ini disebut zimogen. Enzim tersusun atas dua bagian. Apabila enzim dipisahkan satu sama lainnya menyebabkan enzim tidak aktif. Namun keduanya dapat digabungkan menjadi satu, yang disebut holoenzim. Kedua bagian enzim tersebut yaitu apoenzim dan koenzim. Enzim hanya bersifat mengubah kecepatan reaksi, artinya enzim tidak mengubah produk akhir yang dibentuk atau mempengaruhi keseimbangan reaksi, hanya meningkatkan laju suatu reaksi.

Salah satu senyawa berenergi dalam tubuh adalah ATP (AdhenosinTriphosphat).

ATP merupakan ikatan molekul fosfat dengan senyawa adenosin. Adenosin terdiri atas adenin dan ribosa. Ikatan ATP bersifat labil, mudah melepaskan gugus fosfatnya.

Terlepasnya satu gugus fosfat mengakibatkan ATP menjadi ADP (Adenosin diFosfat).

Hidrolisis ATP menjadi ADP, diikuti dengan pembebasan energi sebanyak 7,3

(24)

kilokalori/mol. Energi bebas hasil pemecahan ATP digunakan untuk berbagai reaksi endergonik di dalam sel, seperti biosintetis molekul, transpor aktif pada membran dan aktivitas mekanik seperti kontraksi otot yang bersifat endorgonik sehingga membutuhkan energi dari reaksi katabolik seperti proses glikolisis.

Katabolisme adalah serangkaian proses kimia yang terjadi dalam tingkat seluler yang bertujuan mengubah materi organik yang kompleks menjadi materi anorganik yang lebih sederhana untuk menghasilkan energi. Respirasi aerob merupakan proses respirasi yang menggunakan oksigen dan menggunakan karbondioksida . Sebagai hasil oksidasi mitokondria terbentuk ATP. Suatu proses katabolisme yang memecah substrat seperti karbohidrat di dalam sel disebut respirasi sel. Energi yang dibebaskan dari reaksi katabolisme karbohidrat akan disimpan dalam bentuk molekul fosfat berenergi tinggi yang disebut ATP (adenosin triphosphat). Energi kimia yang dibebaskan, kemudian dimanfaatkan sel tubuh untuk melangsungkan berbagai jenis kerja biologi di dalam sel. Oleh karena itu, reaksi katabolisme disebut juga reaksi disimilasi.

2.2.2 Tiroid dan Mekanisme Kerjanya

Hormon tiroksin mempunyai reseptor didalam inti sel (hipofisa, hati, jantung

dan ginjal). Di dalam sel, tiroksin (T4) mengalami deiodinasi dan ditransformasi

menjadi T3. Transformasi T3 berlangsung di dalam membran plasma dan retikulum

endoplasma. Setelah transformasi berlangsung maka T3 migrasi ke sel inti dan

melakukan interaksi dengan reseptor yang terdapat di inti. Efek dari T3 disamping

untuk pertumbuhan, metamorfosis juga mampu bekerja sama dengan hormon lain,

seperti hormon gonadotropin. T3 juga bekerja sama dengan kortisol untuk merangsang

(25)

pembentukan hormon melalui mRNA yang terdapat dalam hipofisa. Hormon tiroksin dapat dengan mudah masuk ke dalam sel target melewati dinding sel (membran plasma) dengan cara transport aktif. Hormon tiroid (T3 dan T4) yang masuk kedalam tubuh dibawa ke sel target oleh protein plasma (Djojosoebagyio, 1990).

2.2.3 Peranan Hormon Tiroid dalam Metabolisme

Hormon tiroid (T3 dan T4) pada organisme terlibat dalam regulasi atau pengaturan homeostatis dan metabolism energi, protein dan lemak. Pengaruh tiroid terhadap sintesis protein melalui aktivitas RNA. Adanya interaksi hormon tiroid dan reseptor pada inti maka aktivitas enzim polymerase akan meningkat dan pembentukan RNA-pun akan meningkat (Djojosoebagyio, 1990).

Selain protein, hormon tiroid juga dilaporkan dapat mengubah pola metabolisme

karbohidrat melalui peningkatan aktivitas enzim amilase sehingga kecernaan dan

absorpsi karbohidrat menjadi tinggi akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa

serum. Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Tytler dan Calow, bahwa terjadi

peningkatan aktivitas glikogen dan beberapa enzim metabolisme karbohidrat seperti

glukosa 6-fosfat dehidrogenase, isositrat dehidrogenase, glukosa 6-fosfat dan 1,6-

difosfatase. Selain itu, penelitian yang dilakukan pada ikan sidat menunjukkan bahwa

pemberian tiroid juga dapat meningkatkan enzim aldolase (enzim yang terlibat dalam

glikolisis). Dengan adanya peningkatan metabolisme glukosa maka karbohidrat

berperan sebagai sparing action pada penggunaan energi. Jalur katabolisme glukosa

ini sangat penting untuk biosintesis asam lemak, karena meningkatnya glikolisis akan

menurunkan lemak sebagai sumber energi.

(26)

Aristizabal (2007) mengatakan pada ikan terdapat dua jenis bentuk penyimpanan energi yaitu untuk pertumbuhan dan reproduksi, dimana proses reproduksi merupakan bentuk penyimpanan energi yang dapat diukur berdasarkan energi yang terdapat pada gonad (ovari) dan testes.

Fungsi lain dari hormon tiroid adalah sintesis vitamin A yang berasal dari caroten di dalam hati. Kontraksi otot, metabolisme air dan mineral, di samping peranannya sebagai pelindung kulit juga berperan aktif di dalam pengaturan temperatur tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa T3 lebih efektif dari T4, ini terjadi diduga tingkat afinitas reseptor lebih tinggi T3. Penggunaan T3 juga telah dibuktikan dapat meningkatkan pertumbuhan ikan gurami dan ikan lele. Fungsi T4/T3 telah dibuktikan pada beberapa ikan air tawar bahwa T4 dan T3 dapat memacu pertumbuhan, perkembangan dan penyerapan telur pada masa larva (Reddy and Lam, 1992).

2.3 Hasil Penelitian Penggunaan Tiroksin

Nacario (1993) menyatakan bahwa penggunaan hormon tiroksin T4 0,5 ppm dapat mempercepat penyerapan kuning telur larva ikan Sarotherodon niloticus L. yang diamati sejak telur menetas, peningkatan secara signifikan terhadap panjang dan berat anakan nila pada perlakuan T4 0,1 ppm dan 0,5 ppm setelah minggu ke-empat pemeliharaan. Sedangkan perlakuan T4 0,1 ppm meningkatkan sirip pectoral secara signifikan, dan pada perlakuan 0,3 ppm dan 0,5 ppm menyebabkan ketidak normalan sirip pectoral seperti lordosis dan scoliosis.

Kandungan hormone T4 dan T3 secara signifikan terdapat pada telur yang

terbuahi, selanjutnya terus mengalami penurunan selama perkembangan embrionik.

(27)

Penurunan T4 dan T3 terus berlanjut setelah 7 hari penetasan ketika sebagian besar kuning telur terjadi absobsi. Pada periode selanjutnya merupakan awal peningkatan hormon T4, dimana kelenjar thyroid larva mulai terbentuk dan memproduksi T4, pada priode ini juga bersamaan dengan periode pertumbuhan yang cepat pada larva ikan (Reddy, Brown, Leatherland and Lam. 1992). Perlakuan perendaman hormon tiroksin (T4) 0,05 ppm dapat memacu penyerapan kuning telur dan pertumbuhan larva ikan nila (Oreochromis mossambicus) (Reddy and Lam, 1992). Menurut Sakdiah dkk.

(2003), tingkat kelangsungan hidup larva ikan gurami diperoleh pada perendaman 0,1 ppm selama 8 jam.

Perlakuan injeksi ( 1-10 µg.T4 / g.BW ) terhadap induk nila betina (Oreochromis niloticus) secara signifikan berpengaruh terhadap perkembangan organ pencernaan dan kelenjar pada larva. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh efek langsung dari exogenous tiroksin yang ditransfer dari peredaran maternal ke oocytes (sel telur) dan larva, yang mempengaruhi perkembangan larva. Hormon tiroksin berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan larva O.

niloticus, semenjak terjadi peningkatan panjang dan berat larva selama periode penelitian.

Hasil penelitian Zairin, dkk (2005) mengemukakan bahwa pemberian hormon

tiroksin melalui makanan dengan dosis dan lama pemberian yang berbeda berpengaruh

terhadap pertumbuhan ikan. Pemberian hormon tiroksin dengan dosis 20 mg/kg pakan

selama dua pekan menghasilkan pertumbuhan terbaik, akan tetapi tidak berpengaruh

terhadap tingkat kelangsungan hidup (SR) ikan plati koral (Xiphophorus maculatus).

(28)

Ikan yang diberi hormon tiroksin dengan dosis yang besar memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Pemberian makanan yang mengandung hormon tiroksin kepada ikan dengan jangka waktu yang paling lama memberikan pertumbuhan yang paling baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi kerja hormon adalah lama waktu pemberiannya (Nacario, 1983). Perlakuan dosis 20 mg/kg pakan mengakibatkan bobot akhir tubuh ikan lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya terutama pada lama waktu pemberian dua pekan. Pada perlakuan tersebut, bobot akhir tubuh ikan tercatat sebesar 244,5 mg, sedangkan bobot akhir terkecil tercatat pada perlakuan 0,2 mg/kg dengan waktu pemberian dua pekan yaitu sebesar 182,1 mg.

Begitu pula dengan pertumbuhan panjang, nilai tertinggi (P<0,05) dicapai oleh perlakuan 20 mg/kg yaitu sebesar 21,3 mm. Laju pertumbuhan bobot dan panjang ikan yang diberi pakan mengandung hormon tiroksin 20 mg/kg pakan dengan lama waktu pemberian tiga pekan lebih rendah daripada yang 2 minggu perlakuan. Pertumbuhan panjang ikan perlakuan 20 mg/kg dengan lama waktu pemberian 3 minggu cenderung mengalami penurunan mulai dari pekan kelima. Hal ini diduga karena terjadi kelebihan konsentrasi tiroksin dalam tubuh yang menyebabkan abnormalitas pada metabolisme tubuh (Djojosoebagio, 1996).

Hormon tiroksin dapat meningkatkan aktivitas protease dan lipase pada saluran

pencernaan sehingga dapat meningkatkan metabolisme protein dan lemak dalam

tubuh. Protease merupakan enzim yang menghidrolisis protein menjadi asam-asam

amino dan peptida sederhana, sedangkan lipase merupakan enzim yang menghidrolisis

lemak menjadi gliserol dan asam lemak yang kemudian akan diabsobrsi melalui

dinding usus. Dengan demikian, pemberian hormon tiroksin dengan dosis 20 mg/kg

(29)

diduga mengaktivasi enzim-enzim pencernaan ikan plati koral dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhannya.

Demikian juga hasil percobaan yang dilakukan oleh Mulyati, dkk (2002), bahwa perbedaan umur (1, 5, dan 10 hari setelah menetas) larva ikan gurami yang direndam dalam hormon tiroksin 0,1 ppm selama 24 jam, setelah 56 hari pemeliharaan tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup ikan gurami. Pemberian tiroksin yang tidak efektif pada percobaan ini dikarenakan penggunaan rentang umur dan dosis yang kurang tepat. Umur larva yang digunakan dalam percobaan ini terlalu dekat, sehingga pemberian tiroksin yang dilakukan direspon sama oleh ikan. Keadaan ini menyebabkan semua parameter yang diamati selama percobaan tidak menunjukkan perbedaan.

Menurut Astutik (2002), dosis optimum hormon tiroksin yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan gurami adalah sebesar 0,01 ppm. Matty (1985) menyatakan bahwa pada dosis yang tinggi hormon tiroksin bersifat katabolik. Pada keadaan ini individu akan mengkatabolisme protein yang ada dalam tubuhnya, sehingga terjadi keseimbangan nitrogen yang negatif (Djojosoebagio 1996).

Dengan demikian peningkatan jumlah protein dalam tubuh sebagai bahan pembentuk jaringan akibat pemberian tiroksin tidak terjadi, sehingga pembentukan jaringan dan pertumbuhan pada kelompok ikan yang diberi perlakuan tidak berbeda dengan yang terjadi pada kelompok ikan kontrol (Mulyati dkk., 2002).

2.4 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan

Tingkat produktifitas pendederan benih ikan nila dapat diukur dengan parameter

pertumbuhan panjang dan berat benih hasil pendederan, serta tingkat kelangsungan

(30)

hidup (sintasan) benih hasil pendederan. Pengukuran sintasan produksi dilakukan dengan menghitung benih ikan yang hidup pada saat panen dibagi dengan jumlah benih yang ditebar dan dinyatakan dalam persen (%) (SNI 6141:2009).

Sedangkan pengukuran panjang total dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung mulut sampai dengan ujung sirip ekor menggunakan jangka sorong atau penggaris yang dinyatakan dalam sentimeter atau millimeter. Pengukuran bobot tubuh dilakukan menimbang ikan dengan menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi yang dinyatakan dalam gram atau miligram (SNI 6141:2009).

2.5 Kualitas Air 2.5.1 Suhu

Pada larva ikan, permasalahan muncul ketika terjadi perbedaan fluktuasi suhu sekitar 1.5 – 3

0

C. Apabila ikan yang sedang makan dan dipindahkan ke air dengan suhu yang lebih dingin dari 8

0

C atau lebih, maka proses pencernaan (digestive processes) akan melambat dan berhenti. Pakan yang tidak dicerna (undigested) atau sebagian tercena dalam sistem pencernaan akan memproduksi gas yang dapat menyebabkan ikan mengambang (bloated), kehilangan kesetimbangan, dan akhirnya mati. Apabila ikan diberi pakan dengan kandungan nitrogen yang tinggi (pakan alami atau pelet berprotein tinggi), masalah perpindahan pada air yang lebih dingin dianggap dapat meningkatkan tingkat nitrogen amonia dalam serum darah karena penurunan laju reduksi metabolis difusi amonia dari insang. Hal ini mengakibatkan auto intoksinasi amonia dan mati (Svobodova dkk., 1993).

Ikan dan krustase merupakan organisme poikilothermik atau berdarah dingin,

yang berarti bahwa suhu tubuhnya cenderung sama dengan suhu air disekelilingnya

(31)

0.5

0

C diatas atau dibawah, dimana suhu yang mereka senangi (Svobodova dkk., 1993). Perubahan suhu air dapat berlangsung harian maupun musiman, sehingga perubahan suhu tubuh pada ikan maupun krustase juga sering mengalami perubahan.

Kecepatan proses biokimia tergantung pada suhu. Dalam suhu normal yang terjadi pada perairan alami, laju proses biokimia spesies tertentu sangat berhubungan dengan hukum Van Hoff, dimana peningkatan suhu 10

O

C dapat meningkatkan kecepatan reaksi hingga dua kali (Moncrief and Jones, 1977 dalam Boyd, 1990).

Perlu dimengerti bahwa spesies tropis tidak akan tumbuh baik pada suhu 26 – 28

0

C, bahkan dapat mati, sebaliknya pada spesies sub-tropis juga dapat tumbuh baik pada suhu 10 – 15

0

C. Terkadang ikan dipindahkan dengan cepat pada suhu yang berbeda. Apabila perbedaan suhu melebihi 3 – 4

0

C dapat menyebabkan perubahan yang tiba-tiba pada metabolisme yang dapat menyebabkan stress suhu dan dapat mengakibatkan kematian. Oleh sebab itu perubahan suhu secara bertahap perlu dilakukan untuk proses pemindahan ikan. Perubahan suhu tidak lebih dari 0,2

0

C / menit biasanya dapat ditolerir sehingga memberikan perubahan suhu yang tidak melebihi beberapa derajat. Ikan dan krustase yang akan dipindah ke bak atau tambak biasanya ditempatkan pada kantong plastik yang diisi air, selanjutnya kantong-kantong ini dapat diapungkan di tambak hingga suhu air pada dalam kantong seimbang atau sama dengan suhu di tambak, kemudian hewan dapat dipindahkan dari kantong dengan selamat (Boyd, 1990).

2.5.2 Salinitas

Pengukuran salinitas air secara rutin dilakukan ketika akan dilakukan

penambahan atau pergantian air pada bak pemeliharaan. Kondisi salinitas di alam

(32)

sangat tergantung pada kondisi daerah dan musim. Untuk menghindari tingkat stres pada organisme, penambahan atau pergantian air sebaiknya tidak merubah tingkat salinitas harian lebih dari 5 ppt (DPI&F, 2006).

2.5.3 Oksigen Terlarut

Oksigen berperan penting dalam berbagai reaksi kimia dan biologi, dan telah menjadi bahan atau penelitian yang luas dalam lingkungan perairan. Oksigen secara terus menerus dikonsumsi oleh respirasi hewan dan tumbuhan. Oksigen diproduksi oleh proses photosintesis tumbuhan ketika tersedia cahaya dan nutrient yang cukup.

Air yang dingin mengandung kurang dari 5 % dari oksigen yang terkandung di udara dalam volume yang sama. Konsentrasi oksigen di air cepat menurun seiring dengan peningkatan temperatur. Kandungan oksigen di air sangat kecil karena sifat kelarutan oksigen di air sangat rendah. Selain respirasi, deplesi oksigen terlarut di air juga disebabkan oleh dekomposisi bahan organik dari sumber alam atau buangan rumah tangga dan industri (Goldman and Horne,1983).

Ikan memperoleh oksigen yang diperlukan untuk proses metabolismenya dari gas terlarut dalam air. Kelarutan oksigen di air rendah dan tergantung pada suhu, konsentrasi oksigen berturut-turut pada suhu 5, 15 dan 25

0

C adalah 12.8, 10.0 dan 8.4 mg/l. Jumlah ini di air merupakan kesetimbangan dengan udara yang dikenal sebagai nilai jenuh. Nilai kejenuhan okigen per se sekitar 5 kali nilai kejenuhan di udara.

Karena rendahnya konsentrasi oksigen terlarut didalam air, maka ikan harus

mempunyai mekanisme respirasi yang ekstensif dan efisien.

(33)

2.5.4 pH (Derajat Keasaman)

Kisaran pH optimal untuk ikan yaitu 6.5 – 8.5. Nilai pH basa diatas 9.2 dan pH asam dibawah 4.8 dapat merusak dan membunuh ikan salmon, dan pH diatas 10 dan dibawah 5.0 dengan cepat berakibat fatal terhadap ikan mas. Ikan salmon dibandingkan ikan mas cenderung lebih mudah terganggu pada pH tinggi dan lebih tahan pada pH rendah (Svobodova dkk., 1993).

Jaringan insang merupakan organ target utama tekanan asam. Ketika ikan terekspose pada pH rendah, jumlah lendir pada permukaan insang akan meningkat.

Dampat dari banyaknya lendir berakibat pada pertukaran ion dan gas respirasi yang melewati insang. Bagaimanapun kegagalan dalam kesetimbangan asam basa hasil tekanan respirasi dan penurunan konsentrasi sodium klorida darah dapat menyebabkan gangguan osmosis, merupakan gejala fisiologi utama dari tekanan asam. Pada pH rendah konsentrasi ion aluminium meningkat di air dan bersifat toksik, sehingga menambah dampak pH (Boyd, 1990).

Insang ikan juga sensitif pada kondisi larutan alkali atau basa (pH tinggi). Sel lendir pada pangkal filamen insang menjadi hipertropik dan epitel insang terpisah dari sel pilaster. Kerusakan lensa dan kornea juga dapat terjadi. Juga kerusakan insang akibat masalah repirasi dan kesetimbangan asam basa.

Pertahanan melawan pengaruh pH air yang rendah atau tinggi, ikan dapat

memproduksi lendir yang meningkat pada kulit dan pada bagian dalam penutup

insang. Nilai pH yang ekstrem (tinggi atau rendah) dapat menyebabkan kerusakan

jaringan, terutama di insang dan pada bagian bawah tubuh. Jumlah lendir yang

berlebihan sering mengandung darah, yang dapat dilhat pada daerah kulit dan insang.

(34)

Lendir berwarna jernih dan seperti air (dull coloured). Kisaran pH optimal untuk ikan dari 6.5 – 8.5. Nilai pH basa diatas 9.2 dan pH asam dibawah 4.8 dapat merusak dan membunuh ikan salmon, dan pH diatas 10 dan dibawah 5.0 dengan cepat berakibat fatal terhadap ikan mas. Ikan salmon dibandingkan ikan mas cenderung lebih mudah terganggu pada pH tinggi dan lebih tahan pada pH rendah (Svobodova dkk., 1993).

Nilai pH air juga mempunyai dampak yang signifikan dari aksi toksik beberapa substansi lainnya seperti ; amonia, hidrogen sulfida, cyanida dan logam berat terhadap ikan (Svobodova dkk., 1993).

2.5.5 Amoniak

Sumber utama amonia di air yaitu hasil eksresi langsung dari ikan dan krustase.

Jumlah amonia yang dikeluarkan oleh ikan dapat diperkirakan dari jumlah penggunaan protein dan persentase protein dalam pakan. Sampai saat ini hanya amonia dalam bentuk tidak terionisasi (NH

3

atau amonia) yang dianggap bersifat toksik terhadap organisme aquatik. Namun penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa amonia dan amonium (NH

4+

) kedua-duanya bersiat toksik. Efek fisiologis amonia pada ikan telah dikenal. Ketika konsentrasi amonia di air meningkat, eksresi amonia oleh ikan menurun dan level amonia pada darah dan jaringan yang lain meningkat (Boyd, 1990).

Tingginya konsentrasi amonia di air juga mempengaruhi permeabilitas ikan oleh

air dan mereduksi konsentrasi ion internal. Amonia juga meningkatkan konsumsi

oksigen oleh jaringan, merusak insang dan mereduksi kemampuan darah untuk

membawa (transport) oksigen. Perubahan secara histologi terjadi pada ginjal, spleen,

tiroit dan darah ikan yang terekspose pada konsentrasi amonia sub lethal. Ekspose

(35)

kronis amonia meningkatkan serangan gangguan penyakit dan mereduksi pertumbuhan (Boyd, 1990).

Amonia lebih toksik ketika konsentrasi oksigen rendah. Sebaliknya toksisitas

amonia akan menurun dengan meningkatnya konsentrasi karbondioksida. Konsentrasi

karbon yang tinggi dapat menurunkan pH dan mereduksi total amonia nitrogen yang

toksik (bentuk tak terionsasi). pH ditambak menunjukkan siklus harian karena

aktivitas photosintesis. Total konsentrasi amonia nitrogen kemungkinan tetap stabil,

tetapi konsentrasi amonia mungkin bervariasi dari kecil hingga 1 mg/l atau lebih

akibat perubahan pH. Oleh sebab itu sangat sulit untuk mengaplikasikan data toksisitas

yang diperoleh dari laboratorium pada konsentrasi amonia konstan ke situasi di

tambak. Organisme jarang terbunuh oleh amonia di sistem budidaya tambak, tetapi

tanpa ragu amonia adalah faktor penting yang mengatur kesehatan dan pertumbuhan

organisme aquatik dalam sistem budidaya semi-intensif dan intensif. Maeda (1985)

dalam Boyd (1990) menyatakan maksimum konsentrasi amonia yang aman tidak

diketahui, tetapi dia menyimpulkan bahwa level yang masih dapat ditolerir tidak lebih

dari nilai 0.012 mg/l yang umum diterima oleh pembudidaya ikan.

(36)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus – September 2014, di Laboratorium Basah BPBAP Takalar, sedangkan untuk pengujian kualitas air dilakukan di Laboratorium Uji BPBAP Takalar.

3.2. Alat dan Bahan

Bahan dan alat yang digunakan yaitu : benih nila saline ukuran 1,39 cm (30 ekor/kontainer), wadah plastik dengan volume 30 liter (12 buah), thyrax (hormon tiroksin, T4), pakan crumble, jangka sorong atau mistar, dan timbangan elektrik.

Sarana penunjang penelitian yaitu seser benih, ember sampling, batu aerasi, selang aerasi dan kran aerator. Untuk pengujian kualitas air menggunakan alat refraktometer, thermometer, pH meter, DO meter dan spektrofotometer.

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Persiapan Sarana dan Prasarana

Persiapan penelitian diawali dengan sterilisasi wadah pemeliharaan dengan menggunakan kaporit 100 ppm dan dilanjutkan dengan pengeringan pada sinar matahari selama 3 hari. Sebelum tahap ujicoba, maka dilakukan sterilisasi media air laut (30 - 33 ppt) dengan kaporit 10 ppm dan dilakukan penetralan dengan menggunakan kristal tiosulfat.

3.3.2. Pembuatan dan Perendaman Larutan Tiroksin

Larutan hormon tiroksin dibuat dengan cara melarutkan thyrax (tiroksin, T4)

(37)

pemeliharaan sesuai konsentrasi yang diujicobakan. Percobaan konsentrasi perendaman larva dengan larutan tiroksin : 0.00 ppm, 0.01 ppm, 0.10 ppm dan 1.00 ppm. Masing-masing larva uji (30 ekor/wadah) dimasukkan dalam wadah sesuai konsentrasi larutan tiroksin yang diujicobakan selama 8 jam, setelah itu dimasukkan pada setiap wadah sesuai perlakuan.

3.3.3. Pemeliharaan Larva

Setelah dilakukan perendaman, larva dipelihara dalam wadah kontainer plastik 30 liter yang telah diisi dengan air steril 25 liter. Ujicoba dilakukan selama periode pemeliharaan 3 minggu, dimana manajemen kualitas air dilakukan pergantian air 25 % per-hari. Larva diberi pakan buatan (powder dan crumble) sebanyak tiga kali sehari secara ad libitum.

3.4. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada kegiatan penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 (empat) dan 3 (tiga) ulangan, dimana kondisi lingkungan dianggap homogen. Adapun perlakuan yang digunakan yaitu :

a. Perlakuan A (tanpa perendaman T4 atau kontrol).

b. Perlakuan B (perendaman pada larutan T4 dengan konsentrasi 0.01 ppm).

c. Perlakuan C (perendaman pada larutan T4 dengan konsentrasi 0.1 ppm).

d. Perlakuan D (perendaman larutan T4 dengan konsentrasi 1,00 ppm).

Penempatan setiap wadah penilitian dilakukan secara acak,seperti terlihat pada

gamabar berikut :

(38)

3.5. Peubah Yang Diamati

Peubah yang akan diamati dalam penelitian, yaitu : A. Pertumbuhan Panjang Mutlak

Menurut SNI 6141:2009 pengukuran panjang total dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung mulut sampai dengan ujung sirip ekor menggunakan jangka sorong atau penggaris yang dinyatakan dalam sentimeter atau millimeter.

Pertumbuhan panjang mutlak ditetapkan berdasarkan pada pertambahan panjang ikan uji untuk masing-masing media percobaan. Perhitungan panjang mutlak dengan rumus, yaitu :

L = Lt - Lo Keterangan :

L = Pertumbuhan panjang mutlak ikan uji (cm) Lt = Panjang ikan uji pada akhir penelitian (cm) Lo = Panjang ikan uji pada awal penelitian (cm)

B. Pertumbuhan Berat Mutlak Dan Laju Pertumbuhan Harian (SGR)

Pengukuran bobot tubuh dilakukan menimbang ikan dengan menggunakan

timbangan yang telah dikalibrasi yang dinyatakan dalam gram atau milligram.

(39)

Pertumbuhan berat mutlak ditetapkan berdasarkan pada pertambahan biomassa ikan uji untuk masing-masing media percobaan. Perhitungan berat mutlak dengan rumus, yaitu :

G = Wt - Wo Keterangan :

G = Pertumbuhan berat mutlak ikan uji (g) Wt = Berat ikan uji pada akhir penelitian (g) Wo = Berat ikan uji pada awal penelitian (g)

Pengukuran laju pertumbuhan harian dilakukan setiap satu minggu, dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

SGR = ln Wt – ln Wo

X 100%

ti – to Keterangan :

SGR = Laju pertumbuhan harian ikan uji (% / hari) Wt = Berat tubuh ikan uji pada akhir penelitian (g) Wo = Berat tubuh ikan uji pada awal penelitian (g) ti – to = Lama penelitian (hari)

C. Sintasan

Menurut SNI 6141:2009 pengukuran sintasan produksi dilakukan dengan

menghitung benih ikan yang hidup pada saat panen dibagi dengan jumlah benih yang

ditebar, dinyatakan dalam persen. Perhitungan sintasan dengan rumus sebagai berikut

:

(40)

S = Nt

X 100%

No Keterangan :

S = Tingkat Kelangsungan Hidup Benih (%)

Nt = Jumlah ikan uji yang hidup pada akhir penelitian (ekor) No = Jumlah ikan uji yang hidup pada awal penelitian (ekor)

D. Kualitas Air

Data pendukung yang dikumpulkan selama penelitian yaitu tingkat kualitas air media pemeliharaan dalam kegiatan penelitian, meliputi : DO, pH, Amoniak, Salinitas, dan Suhu.

3.6. Analisis Statistik.

Analisis statistik menggunakan Analisis Variansi (ANOVA) dengan rancangan

dasar RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan 3 perlakuan dan 1 kontrol, dengan 3

ulangan. Apabila diperlukan akan dilanjutkan dengan Uji BNT (Beda Nyata Terkecil).

(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pertumbuhan Panjang Mutlak

Data hasil penelitian pertumbuhan panjang mutlak ikan nila salin selama penelitian pada semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data pertumbuhan panjang mutlak benih nila salin selama penelitian pada semua perlakuan.

Perlakuan Pertumbuhan Panjang Mutlak

(cm) / Ulangan Rataan

I II III

A 0,67 0,65 0,36 0,56

B 0,58 0,54 0,67 0,60

C 0,49 0,61 0,48 0,53

D 0,63 0,47 0,54 0,55

Berdasarkan pada Tabel 1 terlihat bahwa pertumbuhan mutlak benih nila salin tertinggi diperoleh pada perlakuan B (0,01 ppm) sebesar 0,60, diikuti perlakuan D (1,00 ppm) sebesar 0,55 dan yang terendah perlakuan C (0,10 ppm) sebesar 0,53 bahkan perlakuan C dan D lebih rendah dari pada kontrol (tanpa pemberian hormon).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Histogram pertumbuhan panjang mutlak benih ikan nila salin

(42)

Pada Gambar 3, menunujukan bahwa pertumbuhan panjang mutlak untuk setiap perlakuan selama penelitian terjadi perbedaan, dimana pada perlakuan B lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan C dan perlakuan D. Berdasarkan analisis sidik ragam (Anova) pertumbuhan panjang mutlak pada akhir penelitian (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan perendaman hormon tiroksin tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang mutlak ikan nila salin.

Tingginya pertumbuhan panjang mutlak benih ikan nila salin pada perlakuan B dibandingkan dengan perlakuan C dan D, diduga bahwa dosis 0,01 merupakan dosis optimum hormon tiroksin untuk kebutuhan benih ikan nila salin yang dapat meningkatkan pertumbuhan panjang mutlak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh (Astutik, 2002) pada ikan gurami dengan pemberian hormone tiroksin adalah sebesar 0,01 ppm. Selanjutnya dijelaskan Utiah (2006) yang menyatakan bahwa dosis optimum tiroksin dapat meningkatkan pertumbuhan ikan, terutama dengan jalan meningkatkan deposisi protein dan retensi protein dimana Hormon tiroid mempercepat laju penyerapan monosakarida dari saluran pencernaan ikan.

Rendahnya pertumbuhan panjang mutlak pada perlakuan C dan D diduga bahwa

konsentrasi hormon tiroksin yang melebihi dari yang dibutuhkan ikan nila saline,

sehingga dosis tersebut tidak dapat merangsang metabolisme yang bersifat katabolik

(Matty, 1985). Dimana pada keadaan ini individu akan mengkatabolisme protein yang

ada dalam tubuhnya, sehingga keseimbangan nitrogen bersifat negatif (Djojosoebagio

1996). Dengan demikian tidak terjadi peningkatan jumlah protein dalam tubuh,

dimana protein berperan pokok sebagai bahan pembentuk jaringan untuk pertumbuhan

(Mulyati dkk., 2002).

(43)

Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa pertumbuhan panjang mutlak pada perlakuan C dan D lebih rendah dari pada kontrol (tanpa pemberian hormon). Hal ini menunjukkan bahwa dosis tiroksin yang lebih besar dari optimal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan benih nila salin, sedangkan pada kontrol sebagai acuan tanpa perendaman hormon tiroksin bahkan sedikit lebih tinggi. Pada percobaan perendaman larva gurame dalam hormon triiodotironin (T3) dengan dosis 1 ppm selama 24 jam yang dilakukan oleh Herviani, (2002) dengan periode pemeliharaan 8 minggu, menyebabkan penurunan pertumbuhan dan penurunan tingkat kelangsungan hidup yang signifikan apabila dibandingkan dengan perlakuan dosis yang lebih rendah.

Selain itu, larva juga mengalami abnormalitas dan penurunan nafsu makan.

Konsentrasi tiroksin yang tinggi pada darah menyebabkan kecepatan pembentukan dan perusakan sel hampir sama, sehingga penambahan sel relatif tidak ada. Selain itu, kerja hormon tiroksin diduga lebih anabolik pada dosis optimum, sebaliknya akan lebih bersifat katabolik jika melebihi konsentrasi optimum.

Selanjutnya mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan panjang mungkin juga disebabkan karena energi digunakan untuk kebutuhan lain selain pertumbuhan somatik (Zairin dkk., 2005).

4.2. Pertumbuhan Berat Mutlak

Data hasil penelitian pertumbuhan berat mutlak ikan nila salin selama penelitian

pada semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.

(44)

Tabel 2. Data pertumbuhan berat mutlak benih nila salin selama penelitian pada semua perlakuan

Perlakuan Pertumbuhan Berat Mutlak

(g) / Ulangan Rataan

I II III

A 0,129 0,095 0,074 0,099

B 0,127 0,102 0,119 0,116

C 0,081 0,116 0,094 0,097

D 0,123 0,081 0,151 0,118

Berdasarkan data hasil pertumbuhan berat mutlak (Tabel 2) benih ikan nila saline tertinggi diperoleh pada perlakuan D (1,00 ppm), disusul perlakuan B (0,01 ppm), perlakuan A (control) dan terendah pada perlakuan C (0,10 ppm). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik pertumbuhan berat mutlak dibawah ini.

Gambar 4. Grafik pertumbuhan berat mutlak benih ikan nila salin

Berdasarkan hasil uji Analisis Sidik Ragam (Lampiran 2) diperoleh F Hitung <

F Tabel yang berarti perendaman hormon tiroksin tidak berpengaruh nyata terhadap

pertumbuhan berat mutlak benih nila salin. Meskipun nampak pada tabel

(45)

pertumbuhan berat mutlak benih ikan nila salin pada perlakuan D paling tinggi apabila dibandingkan dengan perlakuan A, B dan C. Hal ini diduga karena peran hormon tiroksin dalam merangsang proses metabolisme tubuh ikan (Utiah, 2006).

Tingginya pertumbuhan berat mutlak pada perlakuan D (1,00 ppm) menunjukkan bahwa dosis optimal perendaman tiroksin yang dapat meningkatkan pertumbuhan berat mutlak yaitu 1,00 ppm. Pengaruh ini diduga karena peran hormon tiroksin dalam merangsang metabolisme tubuh ikan. Dimana peningkatan hormon tyroid dalam bentuk aktif sebagai triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4) mempunyai peran penting dalam fisiologis tubuh, terutama pada pertumbuhan, reproduksi, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta berpengaruh pada metabolisme umum. Hormon tiroid berfungsi merangsang pembentukan protein pada jaringan dengan meningkatkan sintesis protein melalui peningkatan sintesis RNA pada tingkat inti. Pengaruh hormon tiroksin terhadap sintesis protein melalui aktivitas mRNA, metabolisme nitrogen bergantung pada dosis yang diberikan (Utiah, 2006)..

4.3 Laju Pertumbuhan ikan Nila

Hasil penelitian laju pertumbuhan ikan nila salin selama penelitian pada semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel. 3. Data hasil penelitian laju pertumbuhan harian (SGR) benih nila salin selama penelitian pada semua perlakuan

Perlakuan Rata-Rata SGR (%)

Minggu I Minggu II Minggu III

A 0,21 0,36 0,47

B 0,18 0,31 0,55

C 0,20 0,47 0,46

(46)

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap pertumbuhan harian benih ikan nila salin selama penelitian menunjukkan bahwa perendaman hormon tiroksin pada benih ikan nila salin tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan benih ikan nila salin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Grafik pertumbuhan berat harian (SGR) benih nila salin

Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa perendaman hormone tiroksin pada benih ikan nila salin dengan dosis yang tinggi tidak berarti memberikan laju pertumbuhan yang tinggi terhadap benih ikan nila salin. Hal ini terlihat dapat dilihat pada perlakuan C (dosis 0,10 ppm), perlakuan B (dosis 0,01 ppm) dan perlakuan D (dosis 1,00 ppm) memperoleh laju pertumbuhan masing-masing sebesar 0,46%, 0,55%, dan 0,57%. Ini berarti semakin tinggi dosis hormone tiroksin yang diberikan, maka tidak memberikan laju pertumbuhan yang tinggi.

4.3. Sintasan (SR)

Sintasan merupakan salah satu gambaran yang dialami organisme sebagai hasil

interaksi yang saling mendukung antara lingkungan dan pakan. Sintasan benih ikan

nila salin pada setiap Perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

(47)

Tabel 4. Sintasan benih nila salin pada semua perlakuan selama penelitian

Perlakuan Sintasan (%) / Ulangan

Rataan

I II III

A 23,3 56,7 26,7 35,6

B 50,0 23,3 30,0 34,4

C 80,0 83,3 66,7 76,7

D 80,0 36,7 50,0 55,6

Berdasarkan data hasil sintasan benih nila saline selama penelitian (Tabel 3),

sintasan tertinggi diperoleh perlakuan C (0,10 ppm) sebesar 77 %, disusul pada

perlakuan D (1,0 ppm) sebesar 56 %, perlakuan A (control) sebesar 35,6 % dan

terendah pada perlakuan B (dosis 0,01 ppm) sebesar 34,4 %. Berdasarkan hasil

analisis sidik ragam terhadap sintasan benih ikan nila salin selama penelitian

menunjukkan bahwa perendaman hormon tiroksin pada benih ikan nila salin

memberikan pengaruh sangat nyata. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan antar

perlakuan dilakukan uji beda nyata terkecil. Hasil uji BNT terhadap sintasan benih

ikan nila salin menunjukkan bahwa perlakuan C (dosis 0,10) berbeda dengan

perlakuan A (kontrol ) dan perlakuan B (dosis 0,01 ppm ). Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada Gambar grafik 6 di bawah ini.

(48)

Gambar 6. Grafik tingkat sintasan (SR) benih nila salin

Berdasarkan gambar diatas bahwa perendaman hormone toriksin pada benih ikan nila salin dengan dosis yang tinggi tidak memberikan sintasan yang tinggi terhadap benih ikan nila salin. Hal ini terlihat bahwa perlakuan D (dosis 1,0) ppm, perlakuan B (0,01 ppm) dan perlakuan C (0,10) masing-masing sebesar 55,6%, 34,4%

dan 76,7%. Ini berarti bahwa perendaman hormone tiroksin dengan dosis yang tinggi tidak memberikan sintasan yang tinggi.

Tingginya sintasan yang diperoleh pada perlakuan C (0,10 ppm) menunjukkan bahwa konsentrasi 0,10 ppm (Perlakuan C) merupakan dosis efektif dan optimal untuk mempertahankan tingkat kelangsungan hidup atau sintasan benih ikan nila salin.

Tingginya sintasan pada perlakuan C (0,10 ppm) apabila dibandingkan dengan

perlakuan A (Kontrol), B (0,01 ppm) dan D (1,00 ppm) diduga berhubungan dengan

perbedaan dosis perendaman tiroksin. Khalil dkk.( 2011) menyatakan bahwa performa

benih ikan nila yang berasal dari induk betina yang disuntik dengan tiroksin dapat

memberikan tingkat kelangsungan hidup yang secara signifikan lebih tinggi

dibandingkan kontrol.

(49)

Robbins dan Rall (1983) mengatakan bahwa pemberian hormon dengan kadar yang tinggi dalam waktu yang lama akan menyebabkan penumpukan konsentrasi tiroksin dalam darah. Konsentrasi hormon tiroksin berperan dalam mengontrol produksi insulin. Jika konsentrasi hormon tiroksin meningkat maka pemecahan insulin meningkat sehingga menyebabkan produksi insulin oleh pankreas juga meningkat.

Pada pemberian hormon tiroksin dengan kadar besar dan dalam waktu lama dan terus menerus menyebabkan pankreas harus memproduksi insulin yang terus menerus. Jika tidak terjadi keseimbangan, akan terjadi peningkatan konsentrasi hormon tiroksin dalam darah sehingga meningkatkan deiodinasi yang akan berpengaruh pada peningkatan sekresi hormon triiodotironin. Pada beberapa jaringan, peningkatan deiodinasi ini dapat menyebabkan pengaruh yang berlawanan.

4.5. Kualitas Air

Data parameter kualitas air yang diukur selama penelitian yaitu tingkat kualitas air media pemeliharaan dalam kegiatan penelitian, meliputi : DO, pH, amoniak, salinitas, dan suhu. Kisaran parameter kualitas air pada semua perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kisaran parameter kualitas air pada semua perlakuan selama penelitian

No Perlakuan Parameter Kualitas Air Media Pemeliharan Benih Nila salin

pH Suhu (

o

C) Sal (ppt) DO (ppm) NH3 (ppm)

1 A 7,50 - 8,00 26- 30 27 - 31 5,00 - 5,50 0,004

2 B 7,50 - 8,00 26 - 30 27 - 31 5,00 - 5,50 < 0,006

3 C 7,50 - 8,00 26 - 30 27 - 31 5,00 - 5,50 < 0,006

4 D 7,50 - 8,00 26 - 30 27 - 31 5,00 - 5,50 0,022

(50)

Berdasarkan table 2, hasil pengamatan suhu selama penelitian berkisar dari 26 – 30 oC. Suhu air tersebut masih dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan dan sintasan benih ikan nila salin. menunjukkan bahwa secara keseluruhan parameter kualitas air cukup optimal, hal ini diduga karena didukung oleh manajemen kualitas media air pemeliharaan yang melakukan pergantian air harian hingga 25 – 30%.

Namun kondisi iklim yang ekstrem menyebabkan fluktuasi suhu cukup tinggi, antara suhu malam 26

0

C dan siang hari 30

0

C, dimana pada malam hari sangat dingin dan pada siang hari sangat panas, oleh sebab itu untuk menstabilkan suhu disarankan menggunakan automatic heater (thermostat). Apabila perbedaan suhu melebihi 3 – 4

0

C dapat menyebabkan perubahan tiba-tiba pada metabolisme yang dapat menyebabkan stress suhu dan dapat mengakibatkan kematian (Boyd, 1990).

Penurunan suhu air yang lebih dingin dari 8

0

C atau lebih, maka proses metabolisme akan melambat, bahkan berhenti. Akibatnya pakan yang tidak dicerna atau sebagian tercena dalam sistem pencernaan akan memproduksi gas yang dapat menyebabkan ikan mengambang (bloated), kehilangan kesetimbangan, dan akhirnya mati. Pada perubahan suhu yang ekstrem, apabila ikan diberi pakan dengan kandungan nitrogen (protein) yang tinggi, masalah perubahan air yang lebih dingin dapat meningkatkan nitrogen amonia dalam serum darah karena penurunan laju metabolis difusi amonia dari insang. Hal ini mengakibatkan auto intoksinasi amonia dan mati (Svobodova dkk., 1993).

Salinitas selama penelitian untuk semua perlakuan berkisar antara 27 – 31

o

/

oo

.

Hal ini berarti bahwa nilai salinitas selama penelitian masih mendukung untuk

sintasan benih ikan nila salin, hal ini sesuai dengan (DPI & F, 2006) bahwa untuk

(51)

menghindari tingkat stres pada organisme, penambahan atau pergantian air sebaiknya tidak merubah tingkat salinitas harian lebih dari 5 ppt.

Derajat keasaman (pH) yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 7,5 – 8,0. Derajat keasaman (pH) tersebut dipandang masih layak bagi sintasan benih ikan nila salin. Kisaran pH optimal untuk ikan yaitu 6.5 – 8.5. Nilai pH basa diatas 9.2 dan pH asam dibawah 4.8 dapat merusak dan membunuh ikan salmon, dan pH diatas 10 dan dibawah 5.0 dengan cepat berakibat fatal terhadap ikan mas. Ikan salmon dibandingkan ikan mas cenderung lebih mudah terganggu pada pH tinggi dan lebih tahan pada pH rendah (Svobodova dkk., 1993).

Konsentrasi oksigen selama penelitian pada semua perlakuan berkisar antara 5,0 – 5,50 ppm, ini berarti masih layak untuk budidaya benih ikan nila salin.

Kadar amoniak yang diperoleh selama penelitian pada semua perlakuan berkisar

antara 0,022 – 0,006 ppm. Kisaran amoniak tersebut masih layak untuk budidaya

benih ikan nila salin. Maeda (1985) dalam Boyd (1990) menyatakan maksimum

konsentrasi amonia yang aman tidak diketahui, tetapi dia menyimpulkan bahwa level

yang masih dapat ditolerir tidak lebih dari nilai 0.012 mg/l yang umum diterima oleh

pembudidaya ikan.

Referensi

Dokumen terkait

Fisher’s Eact Test hubungan antara Pengetahuan HIV-AIDS dengan upaya pencegahan diperoleh nilai P Value: 0.005 &gt; 0,001 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang

intraktif dengan pelaku usaha sebagai pihak ketiga. Ketiga, pada BP2T Kota Malang telah menyiapkan fasilitas untuk melakukan komunikasi dengan lembaga-lembaga lain

Kegiatan usaha dilakukan sendiri oleh pemilik usaha dibantu oleh 2 orang pekerja. Seorang pekerja bertugas untuk membeli beras kasar serta menjual produknya ke konsumen sedang

Dengan demikian terbukti bahwa variabel-variabel bebas yang terdiri dari luas lahan, benih, pupuk, modal, tenaga kerja, harga jual, produksi beras hitam

terbentuknya struktur usaha yang jelas. Hipotesis 5: faktor kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap potensi perkembangan klaster batik Lasem. Hipotesis 5 ditunjukkan oleh

Mini cex dikembangkan pertama kali oleh American Board Internal Medicine (ABIM) pada tahun 1972 untuk menilai kompetensi klinik residen sebagai upaya untuk mengatasi

Hubungan antara produktivitas primer dengan intensitas cahaya pada tiap kedalaman, dapat dikatakan pada lapisan permukaan 0 – 50 cm produktivitas primer adalah kecil 124,33 –

Ho = Jenis insentif (X1), dan Lingkungan kerja (X2), serta Kepuasan kerja karyawan (Y) tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap peningkatan Produktivitas