• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 30 perempuan penderita xerostomia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 30 perempuan penderita xerostomia"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI PEMBAHASAN

6.1. Subyek Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 30 perempuan penderita xerostomia yang berusia lanjut, karena penderita xerostomia sering ditemukan pada usia lanjut (Sonis dkk, 1995; Nanci, 2003), dengan prevalensi diperkirakan berkisar antara 10% sampai 38% (Matear dan Barbaro, 2005; Matear dkk, 2006). Usia lanjut akan semakin banyak dengan data yang diprediksi pada tahun 2010 akan naik menjadi 9,58 % (Agoes dkk, 2011). Usia lanjut yang dimaksud adalah orang yang telah berumur 60 tahun ke atas, menurut WHO pada tahun 1988 (Tarigan, 2005;Surdayanto dan Irdawati, 2008). Jenis kelamin perempuan dipilih dalam penelitian ini, karena pasien usia lanjut yang datang ke RSGM FKG UNMAS Denpasar, lebih banyak yang perempuan daripada yang laki-laki.

Data umur dan sekresi saliva baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak semua data berdistribusi normal, sehingga digunakan uji nonparametric, yaitu uji Wilcoxon dan Uji Mann-Whitney. Selanjutnya untuk karakteristik subjek, berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata umur kelompok musik tradisional bali adalah 71,67±9,26 tahun, dan rerata umur kelompok musik klasik barat adalah 69,13±8,76 tahun. Dengan uji Mann-Whitney didapatkan bahwa rerata umur pada kedua kelompok tidak berbeda (p > 0,05).

(2)

6.2 Peningkatan Sekresi Saliva Sesudah Mendengarkan Musik

Gejala xerostomia dapat terjadi karena penurunan aliran saliva dan bahkan dapat terjadi pada saat fungsi kelenjar saliva tampak bekerja dengan normal. Laju aliran saliva keseluruhan yang tidak terstimulasi <0,1ml/menit adalah menurun (Greenberg dkk, 2008; Scully, 2008).

Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata sekresi saliva sebelum mendengarkan musik klasik barat adalah 0,087±0,007 ml/menit dan rerata sekresi saliva sesudah mendengarkan musik klasik barat adalah 0,204±0,13 ml/menit. Dengan uji Wilcoxon didapatkan bahwa terjadi peningkatan sekresi saliva secara bermakna pada kelompok musik klasik barat (p < 0,05).

Sedangkan rerata sekresi saliva sebelum mendengarkan musik tradisional bali adalah 0,088±0,008 ml/menit dan rerata sekresi saliva sesudah mendengarkan musik tradisional bali adalah 0,166±0,12 ml/menit. Dengan uji Wilcoxon didapatkan bahwa terjadi peningkatan sekresi saliva secara bermakna pada kelompok musik tradisional bali (p < 0,05).

Selanjutnya analisis komparabilitas antar kelompok perlakuan diuji berdasarkan rerata sekresi saliva kedua kelompok. Analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa rerata sekresi saliva sebelum perlakuan pada kedua kelompok tidak berbeda. Demikian juga sekresi saliva sesudah mendengarkan musik antara kedua kelompok tidak terjadi perbedaan (p > 0,05). Terjadinya peningkatan sekresi saliva setelah mendengarkan musik disebabkan

(3)

karena musik selain memiliki aspek estetika, juga aspek terapetik, yang dapat membantu penyembuhan, menenangkan, dan memperbaiki kondisi fisiologis pasien maupun tenaga medis (Halim, 2003), dan juga bagi orang dewasa yang lebih tua (Sorrell, 2008).

Musik dapat menjadi sebuah alternatif karena memberikan kesenangan dan kegembiraan (Djohan, 2005). Musik memiliki beberapa kelebihan, seperti musik bersifat universal, nyaman, menyenangkan, dan berstruktur (Turana, 2008). Musik dapat digunakan sebagai fasilitas perangsang relaksasi non farmasi yang aman, murah, dan efektif. Musik juga tidak memiliki potensi untuk menyebabkan ketergantungan seperti halnya obat-obatan farmakologis (Prasetyo, 2008). Musik adalah sebuah set informasi, yang berupa impuls, dan mencapai sistem saraf pusat (Olszewska dan Zarow, 2010) dan menurut Bassano (2001), musik merupakan bentuk seni yang tersulit tetapi memiliki pengaruh pada sistem saraf pusat serta sistem saraf perifer (simpatis dan parasimpatis) baik secara langsung maupun tidak langsung.

Digunakannya musik klasik barat, karena ada beberapa kelebihan yang terdapat dalam musik klasik barat ini sebagai media terapi. Musik klasik barat memiliki frekuensi nada dominan sedang sampai tinggi dan artikulasi yang jelas. Konsentrasi pikiran manusia lebih mudah terfokus pada musik instrumen yang memiliki frekuensi sedang (750-3000 Hz) hingga tinggi (3000-8000 Hz) terlebih lagi apabila memiliki artikulasi musik yang jelas (Campbell, 2002). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitiannya Hasegawa dkk, (2004), yang menyatakan bahwa musik klasik dapat meningkatkan sekresi saliva pada

(4)

partisipan dengan usia rata-rata 25 tahun, yang sebelumnya diberikan stressor. Jumlah sekresi saliva cenderung meningkat melalui sistem saraf parasimpatis. Dinyatakan bahwa corticotrophin releasing hormone (CRH) mengaktifkan sistem sympathetic-adrenal medullary. Dengan memberikan musik maka akan menghambat pelepasan CRH oleh hipotalamus, sehingga sistem saraf simpatis menjadi inaktif. Oleh karena itu, maka disimpulkan bahwa peningkatan jumlah sekresi saliva karena sistem saraf simpatis inaktif. Peningkatan dalam jumlah dan laju aliran saliva juga berhubungan dengan problem atau masalah dalam kesehatan rongga mulut serta stres psikologis (Gomes dkk, 2010).

Mekanisme kerja musik dalam meningkatkan sekresi saliva berkaitan dengan fungsi-fungsi fisiologis tubuh terutama berkaitan dengan sistem pendengaran, sistem saraf pusat, dan sistem saraf tepi.

Musik sebagai gelombang suara diterima dan dikumpulkan oleh daun telinga masuk ke dalam meatus akustikus eksternus hingga membrana timpani. Telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi gerakan-gerakan berosilasi membrana basilaris yang membengkokkan pergerakan maju mundur rambut-rambut di sel reseptor. Perubahan bentuk mekanis rambut-rambut-rambut-rambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan (secara bergantian) saluran di sel reseptor, yang menimbulkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dapat dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara (Sherwood, 2001).

(5)

Setelah melalui sistem pendengaran, impuls-impuls saraf dihantarkan melalui nervus VIII (vestibulocochlearis) menuju otak. Impuls ini masuk melalui serabut saraf dari ganglion spiralis Corti menuju ke nukleus koklearis dorsalis dan ventralis yang terletak pada bagian atas medula. Pada titik ini semua serabut sinaps, dan neuron tingkat dua berjalan terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior. Setelah melalui nukleus olivarius superior, penjalaran impuls pendengaran berlanjut ke atas melalui lemnikus lateralis, kemudian berlanjut ke kolikulus inferior, tempat semua atau hampir semua serabut ini berakhir. Dari sini, jaras berjalan ke nukleus genikulatum medial, tempat semua serabut bersinaps. Akhirnya, jaras berlanjut melalui radiasio auditorius ke korteks auditorik, yang terutama terletak pada girus superior lobus temporalis (Guyton dan Hall, 2008).

Dari korteks auditoris yang terdapat pada korteks serebri, jaras berlanjut ke hipotalamus. Hipotalamus merupakan daerah otak yang berfungsi sebagai pusat koordinasi sistem saraf otonom utama, yang kemudian mempengaruhi kelenjar eksokrin, salah satunya adalah kelenjar saliva (Sherwood, 2001).

Musik yang dibentuk melalui tempo yang lambat, irama berulang, dan kontur lembut akan memberikan suasana tenang dan santai (Hasegawa dkk, 2004). Saraf yang mendominasi pada keadaan tenang dan santai adalah sistem saraf parasimpatis yang mempersarafi kelenjar saliva (Kustanti dan Widodo, 2008). Rangsangan parasimpatis, yang berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah besar dan kaya enzim. Sekresi ini disertai oleh vasodilatasi hebat pada kelenjar, yang disebabkan oleh

(6)

pelepasan lokal VIP. Polipeptida ini adalah kotransmiter asetilkolin pada sebagian neuron postganglionik parasimpatis (Martini, 2006; Ganong, 2010).

Pada penelitian ini di samping menggunakan musik klasik barat sebagai perangsang untuk meningkatkan sekresi saliva, juga digunakan musik tradisional bali, yaitu gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu, sebagai produk budaya bali yang perlu dilestarikan. Gamelan ini berada pada masa Bali Madia yaitu pada abad ke-16 hingga abad ke-19 Masehi (Sugiartha, 2008), yang hampir sama dengan musik klasik barat yang berada pada tahun 1750-1825 (Hoffer, 1992; Anonim, 2011). Berdasarkan hasil pada kelompok yang mendengarkan musik tradisional bali didapatkan peningkatan sekresi saliva secara bermakna. Lebih lanjut didapatkan, peningkatan sekresi saliva pada kelompok yang mendengarkan musik tradisional bali tidak berbeda dibandingkan dengan peningkatan sekresi saliva pada kelompok yang mendengarkan musik klasik barat. Hal ini mungkin disebabkan karena nada pada musik tradisional bali mempunyai frekuensi sedang dan tinggi yang hampir sama dengan frekuensi pada musik klasik barat. Oleh karena sampel pada penelitian ini adalah mayoritas masyarakat bali yang sudah tidak asing lagi mendengarkan gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu, maka mereka sudah mempunyai persepsi mengenai gamelan ini, sehingga dapat membuat suasana yang menyenangkan, tenang, dan santai, yang akhirnya dapat merangsang saraf parasimpatis yang mempersarafi kelenjar saliva.

Dengan tidak adanya perbedaan pada musik klasik barat dan musik tradisional bali dalam meningkatkan sekresi saliva, maka musik tradisional bali dapat digunakan sebagai pengganti musik klasik barat dalam meningkatkan

(7)

sekresi saliva bagi penderita xerostomia, dan ini membuktikan bahwa musik tradisional bali tidak kalah dengan musik klasik barat.

Sekresi saliva pada penderita xerostomia perlu untuk ditingkatkan, karena saliva memegang peranan penting berkaitan dengan proses biologis yang terjadi di dalam rongga mulut. Saliva memiliki fungsi yang kompleks, meliputi: perlindungan permukaan mulut, baik mukosa maupun elemen gigi-geligi; pengaturan kandungan air; pengeluaran virus-virus dan produk metabolisme organisme sendiri dan dari mikroorganisme; pencernaan makanan dan kesadaran pengecapan; deferensiasi dan pertumbuhan sel-sel kulit, epitel, dan saraf (Amerongen, 1992; Berk dkk, 2005).

Keadaan mulut yang kering dapat berakibat buruk bagi kesehatan. Berbagai masalah akan timbul bagi penderita xerostomia contohnya mukosa mulut yang kering dapat menyebabkan iritasi pada rongga mulut, sukar berbicara, mulut terasa terbakar, gangguan pengecapan, karies gigi meningkat, plak meningkat, halitosis, perubahan jaringan lunak, radang periodonsium, dan persoalan pada protesa (Amerongen, 1992; Ganong, 2010). Keadaan mulut yang kering dapat terlihat berupa kesulitan mengunyah dan menelan, atau kesulitan dalam mempergunakan gigi tiruan. Mukosa yang kering menyebabkan pemakaian gigi tiruan tidak menyenangkan, karena gagal untuk membentuk selapis tipis mukous untuk tempat gigi tiruan melayang pada permukaannya, dan dengan tegangan permukaan yang berkurang untuk retensi gigi tiruan atas dalam menahan tekanan kunyah. Bila daerah pendukung gigi tiruan telah terasa nyeri, trauma dapat berlangsung terus (Gayford dan Haskell, 1990).

(8)

Dengan meningkatnya sekresi saliva pada penderita xerostomia khususnya pada usia lanjut, maka akibat-akibat yang timbul oleh karena mulut kering dapat diminimalisasi, sehingga kualitas hidup seseorang dapat ditingkatkan pula (Bartels, 2005; Matear dan Barbaro, 2005; Farsi, 2007).

Referensi

Dokumen terkait

Retrieve Retrieve information information elements elements Analyze Analyze entire entire files files Prepare Prepare reports reports from from multiple multiple

pula bahwa hubungan antara dosis penyuntikan kelenjar hipofisa ayam broiler dengan prosentase tingkat kematangan telur ikan lele dumbo adalah kuadratik dengan

Sonata merupakan jenis komposisi musik instrumental yang biasanya terdiri dari tiga atau empat movement, namun dapat juga terdiri dari satu sampai lima

Kesimpulan Ibn al-Qayyim (w.751 H) tentang surat al-Mâidah: 44 dan dua ayat setelahnya adalah bahwa semua pelanggaran terhadap hukum Allah bisa menyebabkan pada dua macam

kemudian (follow-up ), kedua subjek ini dapat merasakan efek SEFT meski hanya sedikit.. Dari hasil wawancara masing-masing subjek penelitian dapat disimpulkan bahwa

Sejak Okun menemukan hubungan negatif antara tingkat pengangguran dengan kesenjangan output, penurunan setiap 1 persen tingkat pengangguran untuk setiap kenaikan 3 persen

Hasil penelitian diperoleh nilai koefisien regresi untuk ROE sebesar 0,392 yang artinya ROE berpengaruh positif terhadap perubahan harga saham dengan nilai

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden tentang penyakit HIV/AIDS sesudah diberikan intervensi pendidikan kesehatan menunjukkan nilai