• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014) Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014) Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat."

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Page 1

januari 2014, sepintas tampaknya membawa berkah bagi keberadaan Desa Adat di Bali. Betapa

tidak, karena dalam undang-undang sendiri dengan jelas disebutkan kata-kata atau istilah Desa

Adat. Kalau tidak dicermati secara mendalam dan dikaji secara kritis, maka secara tidak sadar

kita (masyarakat Bali) berbangga karena untuk pertama kali Desa Adat diatur secara nasional

dalam suatu undang-undang. Tidaklah salah kalau hal tersebut dilihat secara politis terutama

kepentingan politis seseorang/sekelompok orang yang tentunya telah berhasil memperjuangkan

Desa Adat sampai dicantumkan istilahnya dalam sebuah undang-undang. Tidaklah salah juga

apabila kebanggaan ini dilihat dari kepentingan terhadap bantuan yang akan dialokasikan

cukup besar terhadap desa. Kalau benar hal tersebut membawa berkah bagi Desa Adat dan

masyarakat Bali berbangga dengan hal tersebut tentunya masyarakat Bali tidak kebingungan

sehingga harus mengadakan seminar dan pertemuan berkali-kali di berbagai tempat untuk

mendapat jawaban tentang bagaimana sebenarnya nasib Desa Adat dengan keluarnya

Undang-Undang Desa tersebut. Dengan adanya perdebatan-perdebatan dalam berkali-kali pertemuan

selama ini menandakan bahwa kehadiran Undang Undang Desa tersebut membawa masalah

bagi Desa Adat. Mengapa? Untuk menjawabnya, perlu dilakukan kajian secara kritis

Pembahasan

Selama ini di Bali dikenal adanya 2 jenis desa, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat

(2)

Page 2 disebut dengan berbagai istilah antara lain “desa” (dalam bahasa Bali) Istilah desa adat sendiri

baru muncul kemudian setelah pemerintah Belanda dalam pemerintahannya mengintrodusir

(memperkenalkan) istilah “desa” yang coraknya berbeda dengan masyarakat hukum asli tersebut.

Supaya tidak kabur antara keduanya, khusus untuk di Bali desa produk pemerintah Belanda itu

disebut “desa dinas” yang mengurusi administrasi, sedangkan desa yang telah ada sebelumnya

sebagai masyarakat hukum di Bali disebut “desa adat” (yang kemudian diubah lagi dengan

istilah “desa pakraman”. Diketahui kedua jenis desa tersebut selama ini tetap eksis di Bali dan

hidup berdampingan secara harmonis saling isi mengisi dan bantu membantu.

Dengan keluarnya Undang-undang No.6 tahun 2014, kendatipun istilah desa adat

diangkat dalam undang-undang tersebut, akan tetapi karena pembuat undang-undang tidak

konsisten dalam penggunaan istilah, dan adanya perumusan yang tidak jelas dalam beberapa

pasalnya, menyebabkan timbulnya penafsiran yang berbeda-beda sehingga menjadi bahan

perdebatan. Salah satu pasal yang paling krusial adalah pasal 6 yang menyebutkan sbb:

(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat

(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disesuaikan

dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat

Ayat 1 yang menyebutkan Desa dan Desa Adat menunjukkan bahwa undang-undang ini

mengakui kedua model desa, baik desa (di Bali Desa Dinas) maupun Desa Adat. Rumusan ayat

2 ternyata tidak konsisten, karena dalam ayat 2 menggunakan kata Desa atau Desa Adat, yang

berarti salah satu dari kedua desa tersebut. Rumusan ayat 2 inilah yang rupanya dipakai dalam

penjelasan sehingga dalam penjelasan pasal 6 mengacu pada keharusan memilih di antara salah

satu desa tersebut, apakah itu desa (desa dinas) ataukah desa adat. Penjelasan inilah yang

menimbulkan kebingungan dan kegusaran pada masyarakat Bali. Dengan memilih salah satu dari

kedua desa, maka berarti akan meniadakan desa yang lainnya. Tentu saja hal ini menjadi masalah

untuk Bali, karena di Bali nyatanya memang ada kedua desa tersebut. Bukankah hal ini

(3)

Page 3 Bagaimana memecahkan masalah itu?

Memperhatikan ketentuan pasal 6 dan penjelasannya ternyata tidak bersesuaian satu

dengan yang lain. Kalau demikian halnya, maka penjelasan dapat diabaikan karena penjelasan

tidak bersifat mengikat sebagai aturan hukum. Kalau penjelasan dapat diabaikan karena tidak

sesuai dengan makna pasalnya, maka bukankah masyarakat Bali bebas dari persoalan harus

memilih salah satu dari dua jenis desa yang ada? Mengapa demikian? Jawabannya adalah bahwa

Penjelasan pasal 6 menyebutkan sbb:

“Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi

kelembagaan antara desa dan Desa Adat dalam satu wilayah maka dalam satu wilayah hanya

terdapat Desa atau Desa Adat”

Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam satu wilayah harus

dipilih salah satu jenis desa sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

Kalau penjelasan pasal 6 tersebut dicermati secara saksama dan dikaitkan dengan

keberadaan dua jenis desa di Bali, maka masyarakat Bali sebenarnya tidak perlu bingung karena

kedua jenis desa yang ada tidak ada tumpang tindih kewenangan, maupun duplikasi

kelembagaan karena kewenangan kedua jenis desa di Bali sudah jelas berbeda. Lagi pula fakta

memperlihatkan bahwa selama ini kedua jenis desa tidak mengalami konflik wilayah, kendatipun

ada kalanya tumpang tindih wilayah namun karena kewenangan masing-masing jelas berbeda

maka justru keduanya dapat saling melengkapi satu dengan yang lain. Jadi kata “mencegah”

pada penjelasan pasal 6 tersebut tidak tepat ditujukan kepada desa di Bali.

Kalimat berikutnya dalam penjelasan pasal 6 justru ditujukan kepada masyarakat yang

sudah terjadi tumpang tindih. Kalimat ini lebih-lebih lagi tidak tepat ditujukan kepada

masyarakat Bali. Lalu mengapa masyarakat Bali harus memilih?

Apa konsekuensinya kalau harus memilih? Masing-masing pilihan harus dianalisis

konsekuensinya.

(4)

Page 4 Seperti diketahui desa adat sebagai masyarakat hukum adat selama ini diakui

mempunyai otonomi asli dalam mengatur rumahtangganya sendiri, ia mempunyai susunan asli

yang berbeda-beda di satu tempat dengan di tempat lain, mempunyai sistem pemerintahan

sendiri, membuat hukumnya sendiri (awig-awig/hukum adat) walaupun juga tunduk pada

hukum nasional, mempunyai kekayaan sendiri, mempunyai sistem peradilan, dan khusus untuk

desa adat di Bali ada kreteraia yang spesifik yaitu “adanya Kahyangan Tiga” yang tidak ada pada

masyarakat hukum adat lainnya di Indonesia. Artinya, dengan adanya unsur Kahyangan Tiga itu

desa adat di Bali bercorak ke Hinduan. Kalau desa adat akan diatur secara nasional, perlu

disadari bahwa “kehinduan” itu akan menjadi “minoritas”. Sebagai minoritas, masyarakat Bali

perlu waspada karena cepat atau lambat umumnya “yang minoritas” akan tergusur. Kalau desa

adat diatur secara nasional, keanekaragaman akan hilang karena prinsip pengaturan secara

nasional adalah penyeragaman (univikasi), artinya masyarakat adat harus senantiasa tunduk

pada segala peraturan tingkat nasional. Di samping itu, kalau harus memilih salah satu, dalam

hal ini desa adat ataupun desa dinas, itu artinya akan meniadakan desa yang lainnya. Hal ini

akan menimbulkan ketidakpuasan yang berpotensi untuk menimbulkan konflik dan pada

akhirnya akan menimbulkan perepecahan pada masyarakat Bali. Hal ini penting diwaspadai.

Pengaturan Desa Adat secara khusus dalam Bab XIII undang-undang ini tidak juga

kelurahan beralih menjadi kekayaan Desa Adat, dan kalau desa adat beralih menjadi desa

ataupun kelurahan, maka kekayaan desa adat akan beralih menjadi kekayaan Desa

ataupun kekayaan kelurahan.

Ketentuan pasal 100 tersebut di atas menimbulkan pertanyaan besar, apakah begitu mudahnya

mengalihkan status desa adat menjadi Desa dan Kelurahan dan sebaliknya, dari Desa dan

(5)

Page 5 Adat menjadi kekayaan Desa dan Kelurahan? Bagaimana dengan “Kahyangan Tiga” sebagai

corak kehinduan Desa Adat? Apakah pembuat undang-undang dan putra Bali yang merasa

berjasa dalam menyukseskan lahirnya undang-undang Desa ini sudah memikirkan hal tersebut

secara cerdas? Tentu masih banyak ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang ini yang perlu

dipertanyakan karena melemahkan kedudukan Desa Adat.

Bagaimana kalau memilih desa dinas?.

Pengaturan desa (dalam arti desa dinas) secara nasional sudah banyak diterapkan dalam

berbagai undang-undang secara berturut-turut dalam :

1) UU No.22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

2) UU No 1 Tahun 1957; tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

3) UU No 18 Tahun 1965: tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

4) UU No 19 Tahun 1965; tentang Desa Praja

5) UU No 5 Tahun 1974; tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

6) UU No 5 Tahun 1979; tentang Pemerintahan Desa

7) UU No 22Tahun 1999; tentang Pemerintahan Daerah

8) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Dengan diaturnya Desa Dinas secara nasional yang berarti Desa Dinas masuk ke dala

struktur Pemerintahan Pusat selama ini tidaklah menimbulkan masalah bagi keberadaan desa

adat khususnya di Bali. Akan tetapi kalau undang-undang yang baru ini (UU No 6 Tahun 2014)

harus memilih salah satu (misalnya Desa Dinas) itu jelas akan meniadakan Desa Adat dan inipun

berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan bagi Bali masyarakat Bali sendiri. Kalau

demikian halnya, itu tentunya menyimpang dari jiwa pasal 18 B UUD 1945, karena pasal 18 B

UUD 1945 justru dengan sangat jelas dan tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat

(termasuk Desa Adat di Bali)

(6)

Page 6 Ketentuan pasal 18 B UUD 1945 yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat

tetap dijadikan landasan yang kuat bagi keberadaan masyarakat hukum adat di wilayah tanah air.

Yang diperlukan lebih lanjut adalah konsistensi pengakuan itu dalam perundang-undangan

berikutnya sampai ketingkatan yang paling bawah. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat

memang sudah dicantumkan dalam beberapa undang-undang, antara lain Undang-Undang

tentang Kehutanan, Undang-Undang tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Lingkungan,

akan tetapi yang perlu ditegaskan bahwa pengakuan itu bukanlah sekedar basa-basi politik

melainkan perlu komitmen bersama untuk mewujud-nyatakan pengakuan itu dalam bentuk sikap

dan tindakan konkret oleh semua pihak.

Simpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Tidaklah bijaksana kalau masyarakat (Bali) diharuskan untuk memilih salah satu dari

kedua desa (Desa Adat dan Desa Dinas) yang ada selama ini karena hal tersebut akan

berpotensi konflik.

2. Yang perlu dilakukan adalah memperjuangkan supaya Masyarakat Hukum Adat (di

Indonesia) (Desa Adat di Bali) tetap diakui dalam berbagai perundang-undangan

berdasarkan ketentuan Pasal 18 B UUD 1945, kalau perlu melanjutkan perjuangan untuk

mendapat otonomi khusus.

3. Sekali lagi yang diperlukan bagi masyarakat Hukum Adat adalah PENGAKUAN secara

nasional bukan Pengaturan secara nasional. Pengakuan yang dimaksud bukanlah

sekedar BASA-BASI tetapi diwujud-nyatakan dalam sikap dan perilaku konkret.

4. Tentang bagaimana Masyarakat Hukum Adat itu harus diatur biarlah disesuaikan dengan

kekhususan daerah masing-masing dalam bentuk Perda. Dengan demikian, corak

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ukuran komite manajemen risiko, ukuran dewan komisaris, tingkat profitabilitas, dan tingkat likuiditas

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pendapatan keluarga terhadap pembiayaan pendidikan anak seputar danau Sentarum Kabupaten Kapuas Hulu yang terletak di Desa

Antithrombotic management of atrial fibrillation patients presenting with acute coronary syndrome and/or undergoing coronary stenting: executive summary-a Consensus Document

Seiring dengan namanya, maka aktiviti yang dijalankan menerusi kelab ini adalah berlandaskan kepada kelima-lima prinsip Rukun Negara yang bermatlamat agar ianya dihayati dan

Berbuat baik kepada kedua orangtua ialah dengan cara mengasihi, memelihara, dan menjaga mereka dengan sepenuh hati serta memenuhi semua keinginan mereka selama tidak

Data kuantitatif adalah data yang berbentuk bilangan, atau data kualitatif yang diangkakan. Data kuantitatif dapat disebut sebagai data berupa angka dalam arti

Catatan: Anda tidak diharuskan membaca materi-materi yang disarankan yang tidak tersedia dalam bahasa Anda. Pelajaran Judul Bacaan

 Dalam evaluasi berbasis tinjauan hasil-hasil dilaporkan dalam literatur yang digunakan untuk mendukung atau menolak bagian-bagian desain..  Namun, perlu perhatian untuk