• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Keterampilan Sosial

II. A.1. Definisi Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain (Hargie, Saunders, & Dickson dalam Gimpel & Merrell, 1998). Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Libet dan Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995) mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan. Kelly (dalam Gimpel & Merrel, 1998) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Keterampilan sosial, baik secara langsung maupun tidak membantu remaja untuk dapat menyesuaikan diri

(2)

dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya (Matson, dalam Gimpel & Merrell, 1998).

Mu’tadin (2006) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (social skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilan- keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan.

II.A.2. Arti Penting Keterampilan sosial

Johnson dan Johnson (1999) mengemukakan 6 hasil penting dari memiliki keterampilan sosial, yaitu :

(3)

1. Perkembangan Kepribadian dan Identitas

Hasil pertama adalah perkembangan kepribadian dan identitas karena kebanyakan dari identitas masyarakat dibentuk dari hubungannya dengan orang lain. Sebagai hasil dari berinteraksi dengan orang lain, individu mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.

Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat mengubah hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk mengembangkan pandanagn yang tidak akurat dan tidak tepat tentang dirinya.

2. Mengembangkan Kemampuan Kerja, Produktivitas, dan Kesuksesan Karir

Keterampilan sosial juga cenderung mengembangkan kemampuan kerja, produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan umum yang dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Keterampilan yang paling penting, karena dapat digunakan untuk bayaran kerja yang lebih tinggi, mengajak orang lain untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi situasi yang kompleks, dan menolong mengatasi permasalahan orang lain yang berhubungan dengan dunia kerja.

3. Meningkatkan Kualitas Hidup

Meningkatkan kualitas hidup adalah hasil positif lainnya dari keterampilan social karena setiap individu membutuhkan hubungan yang baik, dekat, dan intim dengan individu lainnya.

(4)

4. Meningkatkan Kesehatan Fisik

Hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi berhubungan dengan hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat dari sakit.

5. Meningkatkan Kesehatan Psikologis

Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh hubungan positif dan dukungan dari orang lain.

Ketidakmampuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi, frustasi, dan kesepian. Telah dibuktikan bahwa kewmampuan membangun hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri.

6. Kemampuan Mengatasi Stress

Hasil lain yang tidak kalah pentingnya dari memiliki keterampilan sosial adalah kemampuan mengatasi stress. Hubungan yang saling mendukung telah menunjukkan berkurangnya jumlah penderita stress dan mengurangi kecemasan. Hubungan yang baik dapat membantu individu dalam mengatasi stress dengan memberikan perhatian, informasi, dan feedback.

II.A.3. Ciri-ciri Keterampilan Sosial

Gresham & Reschly (dalam Gimpel dan Merrell, 1998) mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, antara lain:

(5)

1. Perilaku Interpersonal

Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut keterampilan yang digunakan selama melakukan interaksi sosial yang disebut dengan keterampilan menjalin persahabatan.

2. Perilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri

Perilaku ini merupakan ciri dari seorang yang dapat mengatur dirinya sendiri dalam situasi sosial, seperti: keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan sebagainya.

3. Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis

Perilaku ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi belajar di sekolah, seperti: mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di sekolah.

4. Penerimaan Teman Sebaya

Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan sosial yang rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena mereka tidak dapat bergaul dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang dimaksud adalah: memberi dan menerima informasi, dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain, dan sebagainya.

5. Keterampilan Berkomunikasi

Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang baik, berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap lawan bicara, dan menjadi pendengar yang responsif.

(6)

Adapun ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial, menurut Eisler dkk (L’Abate & Milan, 1985) adalah: orang yang berani berbicara, memberi pertimbangan yang mendalam, memberikan respon yang lebih cepat, memberikan jawaban secara lengkap, mengutarakan bukti-bukti yang dapat meyakinkan orang lain, tidak mudah menyerah, menuntut hubungan timbal balik, serta lebih terbuka dalam mengekspresikan dirinya. Sementara Philips (dalam L’Abate & Milan, 1985) menyatakan ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial meliputi: proaktif, prososial, saling memberi dan menerima secara seimbang.

II.A.4. Dimensi Keterampilan Sosial

Caldarella dan Merrell (dalam Gimpel & Merrell, 1998) mengemukakan 5 (lima) dimensi paling umum yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu :

1. Hubungan dengan teman sebaya (Peer relation), ditunjukkan melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau menasehati orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, dan bermain bersama orang lain.

2. Manajemen diri (Self-management), merefleksikan remaja yang memiliki emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol emosinya, mengikuti peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat menerima kritikan dengan baik.

3. Kemampuan akademis (Academic), ditunjukkan melalui pemenuhan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual, menjalankan arahan guru dengan baik.

(7)

4. Kepatuhan (Compliance), menunjukkan remaja yang dapat mengikuti peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan membagikan sesuatu.

5. Perilaku assertive (Assertion), didominasi oleh kemampuan- kemampuan yang membuat seorang remaja dapat menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi yang diharapkan.

Tabel 1

Dimensi Umum Keterampilan Sosial

Dimensi Pola Perilaku

Hubungan dengan teman sebaya (peer relation)

Interaksi sosial, prososial, empati, partisipasi sosial, sociability-leadership, kemampuan sosial pada teman sebaya.

Manajemen diri (Self-management) Kontrol diri, kompetensi sosial, tanggung jawab sosial, peraturan, toleransi terhadap frustasi.

Kemampuan akademis (academic) Penyesuain sekolah, kepedulian pada peraturan sekolah, orientasi tugas, tanggung jawab akademis, kepatuhan di kelas, murid yang baik.

Kepatuhan (Compliance) Kerjasama secara sosial, kompetensi, cooperation-compliance

Perilaku Asertif (Assertion) Keterampilan sosial asertif, social initiation, social activator, gutsy

(8)

II.A.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial

Hasil studi Davis dan Forsythe (Mu’tadin, 2006), terdapat 8 aspek yang mempengaruhi keterampilan sosial dalam kehidupan remaja, yaitu :

1. Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis (broken home) di mana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka anak akan sulit mengembangkan ketrampilan sosialnya.

Hal yang paling penting diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya.

Dengan adanya komunikasi timbal balik antara anak dan orang tua maka segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, dsb. hanya akan memunculkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional, sehingga dapat menyebabkan hubungan sosial antara satu sama lain menjadi rusak.

2. Lingkungan

Sejak dini anak-anak harus sudah diperkenalkan dengan lingkungan.

Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah, pekarangan) dan lingkungan sosial (tetangga). Lingkungan juga meliputi lingkungan keluarga (keluarga primer dan sekunder), lingkungan sekolah

(9)

dan lingkungan masyarakat luas. Dengan pengenalan lingkungan maka sejak dini anak sudah mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial yang luas, tidak hanya terdiri dari orang tua, saudara, atau kakek dan nenek saja.

2. Kepribadian

Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu menggambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Di sinilah pentingnya orang tua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau penampilan.

3. Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri

Untuk membantu tumbuhnya kemampuan penyesuaian diri, maka sejak awal anak diajarkan untuk lebih memahami dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) agar ia mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat bereaksi secara wajar dan normatif. Agar anak dan remaja mudah menyesuaikanan diri dengan kelompok, maka tugas orang tua / pendidik adalah membekali diri anak dengan membiasakannya untuk menerima dirinya, menerima orang lain, tahu dan mau mengakui kesalahannya, dsb.

Dengan cara ini, remaja tidak akan terkejut menerima kritik atau umpan balik dari orang lain / kelompok, mudah membaur dalam kelompok dan

(10)

memiliki solidaritas yang tinggi sehingga mudah diterima oleh orang lain / kelompok.

Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial dipengaruhi berbagai faktor, antara lain faktor keluarga, lingkungan, serta kemamapuan dalam penyesuaian diri.

II.B. Homeschooling

II.B.1. Sejarah Homeschooling

Setiap kegiatan pendidikan merupakan bagian dari suatu proses yang sangat penting dan diharapkan dapat mengarah ke suatu tujuan. Gambaran kepercayaan masyarakat abad 20 ini terhadap pendidikan berkembang sama luasnya dengan perluasan pendirian sekolah-sekolah umum dan diberlakukannya undang-undang wajib belajar. Asumsi sekolah sebagai hal yang dibutuhkan dalam pendidikan anak didik begitu besar, sehingga meskipun banyak perdebatan mengenai bentuk sekolah dan bahan-bahan yang harus diajarkan, tetap saja sekolah menjadi suatu lembaga yang tidak tergantikan (Griffith, 2006).

Tapi, seiring perkembangan zaman, timbullah suatu pengecualian- pengecualian. Sebagian anak yang tinggal di daerah yang terpencil dan terlalu jauh dari sekolah formal menyulitkan mereka untuk datang ke sekolah. Kemudian sebagian lainnya merasa tidak tahan berada di sekolah atau datang dari keluarga dengan ide-ide yang tidak tradisional mengenai makna pembelajaran (Griffith, 2006).

Para pembelajar yang tidak konvensional ini kemudian mengambil jalur pendidikan yang berbeda. Hingga pada akhirnya John Holt di akhir tahun 1970-an

(11)

mempelopori terbentuknya sekolah di rumah kepada publik. Pada tahun 1977, Holt mulai mempublikasikan buletin berita sebanyak 4 halaman, yang berjudul

‘Growing Without Schooling’ (Tumbuh Tanpa Sekolah) bagi keluarga-keluarga yang menginginkan ide-ide dan dukungan untuk membantu anak-anak mereka belajar di luar sekolah. Ide-ide Holt mempengaruhi banyak orang tua yang juga memikirkan hal yang serupa, dan dalam waktu singkat banyak yang mendukungnya.

Pada awalnya Holt menggunakan kata “pendidikan tanpa sekolah” untuk menggambarkan tindakan pendidikan anak didik di luar sekolah formal. Namun, hal tersebut segera menjadi sinonim untuk sebutan sekolah di rumah (homeschooling). Selama dua dekade terakhir, arti istilah itu telah berubah dan menyempit, sehingga “pendidikan tanpa sekolah” mengacu pada gaya khusus sekolah di rumah (homeschooling) yang dianjurkan Holt dan pembelajarannya terpusat pada anak. Kemudian sejak tahun 1970-an, pergerakan dari homeschooling telah mendapat dukungan luas dan tumbuh dengan pesat (Griffith, 2006).

Menurut data dari National Household Education Surveys Program (NHES) seperti dikutip dari National Center for Education Statistics, di Amerika Serikat, pada tahun 2003 terdapat sekitar 1,096,000 anak yang homeschooling.

Empat tahun sebelumnya, yaitu tahun 1999, terdapat sekitar 850.000 anak (sekitar 1,7 % dari populasi usia sekolah) yang homeschooling. Hal ini berarti terjadi peningkatan sekitar 0,5 % jumlah anak yang mengikuti program pendidikan homeschooling .

(12)

Di tahun 2003 pula, NHES melakukan survei terhadap para orang tua, mengenai alasan mereka menerapkan homeschooling pada anak-anak mereka.

Sekitar 31 % orang tua menyatakan khawatir terhadap lingkungan sekolah; 30 % mengatakan alasannya adalah memberikan ajaran agama dan moral; dan alasan berikutnya, sekitar 16 % adalah ketidakpuasan terhadap sistem akademis di sekolah.

II.B.2. Sejarah Homeschooling di Indonesia

Negara menjamin adanya pendidikan di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara di sektor pendidikan.

Pendidikan di sekolah merupakan salah satu sub sistem dari keseluruhan sistem pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah. Pemerintah Indonesia pada hakekatnya telah melakukan beberapa kebijakan pendidikan guna mengakomodasi dan melayani kebutuhan pendidikan bagi anak-anak di Indonesia, karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan jenjang pendidikan yang meliputi wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Depdiknas, 2001).

Namun, pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam sistem sekolah formal untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi di

(13)

sekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari menjemukan sampai dengan menyiksa anak, namun perlu dilakukan agar mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya.

Sekolah hanya dianggap sebagai lembaga pemberi ijazah. Di tingkat perguruan tinggi, terungkapnya kasus pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang juga melibatkan beberapa pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk gunung es dari ketidakpercayaan terhadap proses pembelajaran dalam sistem formal (http://www.komunitasdemokrasi.or.id/ comments.php?id=P153_0_9_0_C).

Sejalan dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak, sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini yang lebih menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah (homeschooling) sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sekolah formal.

Walaupun masih belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian dari dinamika proses negosiasi dimensi formal dan non-formal dari pendidikan (http://www.komunitasdemokrasi.or.id/ comments.php?id=P153_0_9_0_C).

Prasetyawati (2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan dari sekolah ke rumah (homeschooling) disebabkan oleh ketidakpuasan orang tua terhadap sistem pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran sehingga tidak bisa mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk, misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah

(14)

menyusup di kalangan pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan pelajaran oleh orang tua.

Ibuka (dalam Sukadji, 2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan anak, bahwa anak hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri.

Pendidikan anak pada hakikatnya berasal dari rumah dan yang menjadi guru pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam rumah dapat membuat anak sehat jasmaninya, lebih bermental fleksibel, lebih cerdas, dan lebih sopan. Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa pada homeschooling yang menjadi guru untuk mendidik dan mengajarkan anak adalah orang tua. Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang siapa saja untuk memberikan transfer keahlian pada anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah kesehatan, seorang satpam untuk belajar bela diri, seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman yang mereka miliki, wawasan anak didik menjadi lebih berkembang oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa saja.

Suyanto (2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap kualitas pendidikan formal yang ada, sah-sah saja jika ingin mendidik sendiri anaknya di rumah. Namun, tentu materinya harus sesuai dengan standard yang berlaku. Untuk itulah anak-anak yang mengikuti homeschooling harus menempuh ujian kesetaraan, yang dapat diikuti melalui lembaga yang dikelola oleh pemerintah, seperti di Sanggar Kegiatan Belajar-Unit Pelaksaanaan Teknis Daerah (SKB-UPTD) yang sudah menyebar di seluruh kabupaten di Indonesia, dan di

(15)

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang penyebarannya mencapai tingkat kelurahan. Dengan demikian anak yang homeschooling dapat memperoleh ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah formal, dan dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi pula.

II.B.3. Pengertian Homeschooling

Lines (1995) mendefinisikan homeschooling sebagai suatu situasi pembelajaran yang singkat atau lama, di mana siswa dididik dengan beragam subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain, teman-teman, atau orang yang ahli.

Homeschooling merupakan sebuah situasi pembelajaran di mana pada umumnya anak diajarkan oleh orang tua mereka sendiri dalam lingkungan yang non-tradisional (Wichers, 2001).

Menurut Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana pembelajaran yang menitikberatkan pada pemanfaatan potensi anak didik dengan sedikit supervisi. Anak yang homeschooling diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar secara komprehensif, optimal, dan mengoptimalkan kreativitasnya.

Holt (dalam Griffith, 2006) mengatakan bahwa homeschooling merupakan sebuah pendidikan yang dilakukan ’tanpa sekolah’ dan dilakukan di dalam rumah, serta berdasarkan pada pembelajaran yang terpusat pada anak.

Pada dasarnya homeschooling bersifat unik, karena setiap keluarga mempunyai nilai dan latar belakang berbeda, setiap keluarga akan melahirkan pilihan-pilihan model homeschooling yang unik.

(16)

Sekolah rumah pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:

1. Sekolah Rumah Tunggal

Merupakan format sekolah rumah yang dilaksanakan oleh orang tua dalam satu keluarga yang dalam pelaksanaannya dengan sengaja tidak bergabung dengan keluarga lain yang menerapkan sekolah rumah tunggal lainnya.

Format sekolah rumah tunggal biasanya dipilih oleh keluarga yang ingin memiliki fleksibilitas maksimal dalam penyelenggaraan homeschooling. Mereka bertanggunjawab sepenuhnya atas seluruh proses yang ada dalam homeschooling, mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga penyediaan sarana pendidikan. Dalam format ini, keluarga biasanya menggunakan fasilitas keluarga atau sarana-sarana umum sebagai penunjang kegiatan belajar putra-putrinya.

2. Sekolah Rumah Majemuk

Merupakan format sekolah rumah yang dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga sekolah rumah yang memilih untuk menyelenggarakan satu atau lebih kegiatan bersama-sama. Dalam sekolah rumah majemuk setiap keluarga tetap memiliki fleksibilitas untuk menjalankan kegiatan inti maupun kegiatan lainnya secara mandiri.

Format sekolah rumah ini memberikan kemungkinan pada keluarga untuk saling bertukar pengalaman dan sumber daya yang dimiliki tiap keluarga. Sebuah keluarga dapat melakukan pertukaran keahlian untuk mnegekspos anak-anak pada keahlian lain yang tidak

(17)

dimiliki oleh sebuah keluarga. Selain itu, format sekolah rumah ini juga dapat menambah sosialisasi sebaya (horizontal socialization) dalam kegiatan bersama di antara anak-anak homeschooling.

3. Sekolah Rumah Komunitas

Merupakan gabungan beberapa sekolah rumah majemuk yang menyusun dan menentukan silabus serta bahan ajar bagi anak-anak sekolah rumah. Berbeda dengan sekolah rumah tunggal / majemuk, Komunitas Sekolah Rumah menyelenggarakan proses belajar mengajar dalam keluarga dengan komitmen orang tua dan komunitas dengan perbandingan tertentu, misalnya: 50 : 50.

Menurut panduan yang diterbitkan Depdiknas, pertimbangan pelaksanaan Komunitas Sekolah Rumah adalah untuk membuat struktur yang lebih lengkap dalam penyelenggaraan aktivitas pendidikan akademis untuk pembangunan akhlak mulia, pengembangan intelegensi, keterampilan hidup dalam pembelajaran, penilaian, dan kriteria keberhasilan dalam standard mutu tertentu tanpa menghilangkan jati diri dan identitas diri yang dibangun dalam keluarga dan lingkungannya.

II.B.4. Legalitas Homeschooling di Indonesia

Ada 3 (tiga) jalur pendidikan yang dikenal dalam sistem pendidikan di Indonesia (http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=

view&id=314&Itemid=80), yaitu:

1. formal, yaitu: SD, SMP, SMU, dan universitas.

(18)

2. non formal, yaitu: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan sejenis.

3. informal, yaitu: pendidikan oleh keluarga dan lingkungan secara mandiri, salah satunya adalah homeschooling.

Dalam sistem pendidikan di Indonesia, homeschooling merupakan jalur pendidikan informal. Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU 20 / 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 27 ayat (1), yaitu:

"Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri"

Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan informal, kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan non formal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No. 20 / 23, pasal 27 ayat (2).

Ketika banyak pihak yang melaksanakan homeschooling bergabung dan menyusun atau menentukan silabus serta bahan ajar bagi peserta didiknya, maka itu merupakan suatu kelompok belajar atau disebut Komunitas Belajar.

Komunitas Belajar merupakan satuan pendidikan jalur non formal. Acuan dalam UU mengenai Komunitas Belajar ada pada UU 20 / 2003 pasal 26 ayat (4):

"Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis."

Peserta didik dari Komunitas Belajar yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan pada jalur pendidikan non formal.

Hal tersebut sejalan dengan UU 20 / 2003 pasal 26 ayat (6):

(19)

"Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan."

Agar kegiatan homeschooling bisa memperoleh penilaian dan penghargaan melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan Komunitas Belajar sebagai berikut:

1. Mendaftarkan kesiapan orang tua / keluarga untuk menyelenggarakan pembelajaran di rumah / lingkungan kepada Komunitas Belajar.

2. Berhimpun dalam suatu komunitas.

3. Mendaftarkan komunitas belajar pada bidang yang menangani pendidikan kesetaraan pada Dinas Pendidikan kabupaten / kota setempat.

4. Mengadministrasikan peserta didik sesuai dengan program paket belajar yang diikutinya.

5. Menyusun program belajar dan strategi penyelenggaraan secara menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan program paket belajar yang diselenggarakannya.

6. Mengembangkan perangkat pendukung pembelajaran.

7. Melakukan penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik secara berkala per semester.

8. Mengikutsertakan peserta didik yang sudah memenuhi persyaratan dalam Ujian Nasional.

Sejalan dengan hal di atas, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk:

(20)

1. Melakukan pendataan Komunitas Belajar dan sekolah rumah yang menjadi anggotanya.

2. Melakukan pembinaan terhadap Komunitas Belajar.

3. Memfasilitasi terselenggaranya ujian nasional bagi peserta didik sekolah rumah yang terdaftar pada Komunitas Belajar.

II.B.5. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Homeschooling

Alifa (2006) mengatakan bahwa keberhasilan homeschooling dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini (http://www.tabloid-nakita.com/artikel2.php3

?edisi=07359&rubrik=topas), yaitu:

1. Kedisiplinan dan Komitmen

Pengajar dan anak didik yang diajar harus menerapkan sikap yang disiplin. Belajar di rumah tentu memiliki keleluasaan waktu. Namun, orang tua bersama anak harus membuat kesepakatan bersama perihal waktu belajar. Taati waktu yang telah dipilih dan tidak melanggarnya.

Terlewat satu hari berarti telah melewatkan beberapa materi yang harus dipelajari.

2. Mengenali Kemampuan Anak

Dengan mengenali kemampuan anak, maka si pengajar atau tutor dapat memberikan materi yang sesuai baginya. Orang tua tidak boleh memaksa anak melebihi kemampuannya karena dapat membuatnya frustrasi.

(21)

3. Menciptakan Suasana Belajar yang Menyenangkan

Kelebihan sistem homeschooling ini adalah dapat memilih lokasi belajar di mana saja, di dalam ruangan, di luar ruangan, dan di sekitar rumah, sehingga suasana belajar menjadi lebih menyenangkan.

4. Memberikan Kesempatan pada Anak untuk Bersosialisasi

Kemampuan bersosialisasi anak tetap dapat dikembangkan dengan cara memberinya kesempatan mengikuti kegiatan ekskul yang melibatkan anak-anak sebayanya. Sesuaikan bidang ekskul dengan minat anak sehingga semangat selalu menyertainya.

5. Memperkaya Kemampuan Pengajaran

Tutor hendaknya selalu menambah pengetahuannya, baik dalam hal teknik mengajar kreatif dan interaktif maupun materi yang disampaikan. Mengakses informasi di internet, televisi, surat kabar, buku, dan forum-forum orangtua homeschooling tentu akan sangat membantu.

II.C Program Reguler

Pengertian Program reguler dalam kamus Bahasa Indonesia adalah teratur, tetap atau biasa (Daryanto, 1997). Berdasarkan pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud kelas reguler adalah kelas yang secara umum diselenggarakan oleh sekolah-sekolah dengan sistem tetap atau biasa yang memberikan kepada siswa suatu metode pengajaran yang biasa dilaksanakan selama ini yang membutuhkan waktu tempuh pendidikan selama enam tahun SD dan tiga tahun di SMP/SMU. Waktu belajar yang digunakan kelas reguler

(22)

maksimal delapan jam, secara umum belajar yang digunakan adalah tujuh sampai dengan delapan jam (Balitbag Depdikbud, 1986)

Menurut Widyastono (2004) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Dalam kelas reguler semua peserta didik atau siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan mereka.

II.D Remaja

Istilah adolescence atau remaja (Hurlock, 1999) berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Pengertian adolescence atau remaja mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.

Masa remaja adalah suatu masa peralihan, periode transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yang mensyaratkan suatu perubahan-perubahan biologis, kognitif dan psikososial individu (Santrock, 2001). Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun enam belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia enam belas atau tujuh belas tahun sampai delapan belas tahun, yaitu usia matang secara hukum. Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Pada umumnya remaja masih belajar di Sekolah Menengah atau Perguruan tinggi (Hurlock, 1999).

Hurlock (1998) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan remaja adalah untuk mencapai kematangan emosional. Perkembangan emosi yang terjadi pada masa remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya serta

(23)

aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sehari-hari. Jadi seberapa jauh remaja dapat mengadakan hubungan dengan orang lain tergantung pada kualitas interpersonal yang diciptakannya.

II.E. Perbedaan Keterampilan Sosial antara siswa Homeschooling dan siswa yang mengikuti Program Reguler

Saat ini di Indonesia program pendidikan homeschooling sudah semakin meluas dan cukup dikenal. Banyak para para pendidik dan tokoh masyarakat menyambut positif kebijakan ini, karena program ini adalah salah satu program pendidikan bagi anak didik yang melibatkan partisipasi orang tua di dalamnya.

Pemerintah juga telah memberikan perhatian pada homeschooling, karena homeschooling sudah ada landasan hukumnya, dan telah diakui oleh Departemen Pendidikan Nasional. Saat ini para peserta homeschooling bisa mendapatkan ijazah juga seperti di sekolah formal.

Dalam homeschooling penekanannya lebih kepada partisipasi dari orang tua dalam merancang pendidikan anak-anaknya. Dalam belajar dan mendidik anak yang menjadi guru pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua. Dewey mengatakan (dalam Lines, 2000) orang tua yang lebih mengenal karakter, minat, dan bakat anak-anaknya, sehingga dapat dirancang suatu pola didik yang paling sesuai dengan karakter, minat, dan bakat mereka tersebut. Dan tentu saja orang tua juga harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi tentang metode belajar dan pembelajaran. Selanjutnya orang tua bisa mengundang siapa saja untuk memberikan transfer keahlian untuk anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah

(24)

kesehatan, seorang satpam untuk belajar beladiri, seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman mereka wawasan anak-anak akan menjadi lebih berkembang, karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa saja (Yulfiansyah, 2006).

Namun, tidak sedikit pula pihak yang pesimis dengan pelaksanaan program homeschooling ini. Pelaksanaan homeschooling kebanyakan dilakukan di rumah dengan melibatkan peran orang tua sebagai guru atau tutor yang didatangkan. Sebagian kekhawatiran mereka adalah homeschooling hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga dari kalangan mampu sehingga memunculkan suatu elitisme baru. Kekhawatiran lainnya adalah pertanyaan mengenai apakah homeschooling menyentuh aspek sosial dan afektif anak didik. Ada anggapan bahwa homeschooler (sebutan bagi anak didik homeschooling), kurang bersosialisasi, tidak realistis terhadap dunia, dan bahkan tidak demokratis (Lines, 2000). Siswa akan kehilangan waktu senggang dan masa bermainnya, serta menghambat dan membatasi siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya, dan dengan demikian hubungan interpersonal pun juga akan semakin merenggang (Griffith, 2006).

Karena itu sebagai mahluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan linkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Keterampilan-keterampilan tersebut biasanya disebut

(25)

sebagai aspek psikososial. Keterampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak- anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat (Mu’tadin, 2002).

Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan (Mu’tadin, 2002). Sejumlah hal yang dapat memudahkan remaja dalam proses sosialisasinya tercakup dalam keterampilan sosial. Keterampilan sosial memudahkan remaja untuk berhubungan dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, selektif terhadap berbagai pengaruh yang ada di lingkungan, bertanggung jawab dan penuh pertimbangan atas semua yang dilakukan, serta mampu menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi secara tepat.

Remaja yang mempunyai keterampilan sosial tidak akan mudah lagi terjebak dalam sikap, perilaku, kebiasaan ataupun hal-hal lain yang justru akan menghambat perkembangannya menuju dewasa. Keterampilan sosial yang tinggi pada masa remaja akan membawa individu untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang semakin baik di masyarakat (Sunarti, 2004). Sedangkan kegagalan remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat

(26)

menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dan sebagainya.

Siswa-siswa yang mengikuti pendidikan homeschooling diperkirakan memiliki keterampilan sosial yang berbeda dibandingkan dengan siswa-siswa reguler yang belajar di sekolah formal. Siswa-siswa yang mengikuti program homeschooling lebih terfokus pada pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan di dalam rumah, sehingga menimbulkan anggapan bahwa mereka lebih sedikit mengadakan sosialisasi dan partisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas sosial lainnya. Hal ini tentu akan berpengaruh pada keterampilan sosial siswa tersebut.

Namun, keterampilan sosial belum tentu sama antara siswa yang satu dengan siswa lainnya. Dengan demikian keterampilan sosial siswa yang homeschooling belum tentu sama dengan keterampilan sosial yang dimiliki oleh siswa di sekolah reguler.

II.F. Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritik yang dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :“Ada perbedaan keterampilan sosial antara siswa homeschooling dengan siswa yang mengikuti program reguler”.

Referensi

Dokumen terkait

Tabulasi Silang antara Identitas dengan Data Penunjang pada Responden yang Tidak Puas dalam Hal Kesempatan Mendapatkan Promosi.

Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Pada Pemilik Online Shop ”.. Terima kasih penulis ucapkan kepada

Penelitian tersebut mengkaji Unsur-unsur Kebudayaan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Hasil penelitian ini adalah unsur kebudayaan Jawa yang

Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam memberikan kepada pemohon perpanjangan HGB yang dimohon- kan perpanjangannya dengan ketentuan dan persya- ratannya, yaitu segala akibat, biaya

perlakuan eksplan akar yang menggunakan bahan sterilan Natrium hipoklorit.. (Naocl) dengan konsentrasi 10 % direndam selama 5 menit

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan beberapa saran yaitu guru dapat menggunakan model pembelajaran LC 5E berbantuan media

Susunan semacam ini memberikan dua bagian yang berlainan di dalam lempung yaitu lapisan bermuatan negatif yang tidak larut dalam air (disebut misel) dan kumpulan kation yang

Waktu pengaliran dapat diperoleh sebagai pendekatan dengan membagi panjang aliran maksimum dari saluran samping dengan kecepatan rata-rata aliran pada saluran tersebut..