• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Skizofrenia

2.1.1 Definisi

Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah (Rudyanto, 2007).

Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiological yang serius dan menetap, ditandai dengan kognitif dan persepsi serta afek yang tidak wajar (Laraia, 2009).

Penyakit ini bersifat kronik dan melalui 3 fase, yaitu fase prodromal, fase aktif, dan fase residual. Fase prodromal dimulai dengan perubahan perasaan dan mood, fase aktif biasanya disebut dengan psikosis yaitu munculnya gejala halusinasi, delusi, dan ilusi (Sadock & Sadock, 2010) Skizofrenia bisa menyerang siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, ras, maupun tingkat sosial ekonomi (Maramis,2005).

Skizofrenia dikarakteristikan dengan psikosis, halusinasi,delusi, disorganisasi pembicaraan dan perilaku, afek datar, penurunan kognitif, ketidakmampuan bekerja atau kegiatan dan hubungan sosial yang memburuk (Bustillo,2008)

2.1.2 Epidemiologi

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Universitas Sumatera Utara Pada laki-

(2)

laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).

Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama ketergantungan nikotin.

Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin.

Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10%

dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008).

Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).

2.1.3 Etiologi

Menurut Maramis (2009) teori mengenai skizofrenia yang saat ini banyak dianut adalah sebagai berikut :

2.1.3.1 Genetik

(3)

Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga 10 penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9- 1,8 %; bagi saudara kandung 7-15%;bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7-16%;bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40-68%;bagi kembar dua telur (heterozigot) 2- 15%;bagi kembar satu telur(monozigot) 61-86%.

2.1.3.2 Neurokimia

Hipotesis dopamin Skizofrenia disebabkan oleh neuroaktifitas pada jaras dopamin mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan bahwa amfetamin yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin dapat menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat psikotik(terutama obat tipe tipikal/klasik) bekerja dengan cara memblok reseptor dopamin terutama reseptor D2. Keterlibatan neurotransmitter lainnya seperti serotonin, noradrenalin, GABA, glutamat dan neuropeptid lain masih terus diteliti oleh para ahli.

Hipotesis perkembangan saraf Studi autopsi dan pencitraan otak memperlihatkan abnormalitas struktur dan morfologi otak penderita skizofrenia antara lain berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil 6% daripada otak normal dan ukuran anterior-posterior yang 4% lebih pendek;pembesaran ventrikel otak non spesifik;gangguan 11 metabolisme di daerah frontal dan temporal; dan kelainan susunan seluler pada struktur saraf di beberapa

(4)

daerah kortex dan subkortex tanpa adanya gliosis yang menandakan kelainan tersebut terjadi pada saat perkembangan. Studi neuropsikologis mengungkapkan defisit di bidang atensi, pemilihan konseptual, fungsi eksekutif dan memori pada penderita skizofrenia. Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis perkembangan saraf yang menyatakan bahwa perubahan patologis gangguan ini terjadi pada tahap awal kehidupan, mungkin sekali akibat pengaruh genetik dan dimodifikasi oleh faktor maturasi dan lingkungan.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi 3 yaitu gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif ( Maramis, 2005 & Sinaga,2007) yaitu :

2.1.4.1 Gejala positif

Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespons pesan atau rangsangan yang datang.

Klien skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala yang biasanya timbul yaitu klien merasakan ada suara dari dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan 12 menyejukan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri. Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya penderita

(5)

skizofrenia, lampu traffic di jalan raya yang berwarna merah, kuning, hijau, dianggap sebagai suatu isyaratdari luar angkasa. Beberapa penderita skizofrenia berubah menjadi paranoid, mereka selalu merasa sedang di amatamati, diikuti atau hendak diserang. Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana klien skizofrenia tidak mampu mengatur pikirannya. Kebanyakan klien tidak mampu memahami hubungan antara kenyataan dan logika. Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan ketidakmampuan mengendalikan emosi dan perasaan. Hasilnya, kadang penderita skizofrenia tertawa atau berbicara sendiri dengan keras tanpa mempedulikan sekelilingnya. Semua itu membuat penderita skizofrenia tidak bisa memahami siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti apa itu manusia, juga tidak bisa mengerti kapan dia lahir, dimana dia berada dan sebagainya.

2.1.4.2 Gejala negative

Klien skizofrenia kehilangan motivasi dan apatis yaitu kehilangan minat dalam hidup yang membuat klien menjadi orang pemalas. Karena klien hanya memiliki minat sedikit, mereka tidak bisa melakukan hal-hal lain selain tidur dan makan.

Perasaan yang tumpul membuat emosinya menjadi datar. Klien skizofrenia tidak memiliki ekspresi yang baik dari raut muka maupun gerakan tangannya, seakan-akan dia tidak memiliki emosi apapun. Mereka mungkin bisa menerima perhatian dari orang lain tapi tidak bisa mengekspresikan

(6)

perasaan mereka. Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan berharap, selalu menjadi bagian dari hidup klien skizofrenia. Mereka tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang, tidak bisa membina hubungan relasi dengan orang lain. Depresi yang berkelanjutan akan membuat klien menarik diri dari lingkungannya dan merasa aman bila sendirian. Dalam beberapa kasus skizofrenia sering menyerang pada usia antara 15- 30 tahun dan kebanyakan menyerang saat usia 40 tahun ke atas.

2.1.4.3 Gejala kognitif

Yaitu permasalahan yang berhubungan dengan perhatian, tipe-tipe ingatan tertentu dan fungsi yang memungkinkan kita untuk merencanakan mengorganisasikan sesuatu.

2.1.5 Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005).

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia

(7)

dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003).

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).

2.1.6 Tipe-tipe Skizofrenia

Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yaitu:

DSM-III (American Psychiatric Assosiation, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Davison, 2006) :

2.1.6.1 Tipe Paranoid

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi

(8)

waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.

2.1.6.2 Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)

Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan.

Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

2.1.6.3 Tipe Katatonik

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility).

Aktivitas motor yang Universitas Sumatera Utara berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).

2.1.6.4 Tipe Undifferentiated

Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola simptom- simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi,

(9)

referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.

2.1.6.5 Tipe Residual

Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinankeyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran- pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan terapi psikososial.

2.1.7.1 Terapi Biologis

Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejalagejala skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap,

(10)

sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan (Durand, 2007).

Terapi Elektrokonvulsif uga dikenal sebagai terapi electroshock pada penatalaksanaan terapi biologis.

Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia. Menurut Fink dan Sackeim (1996)

Antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi Universitas Sumatera Utara sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu.

Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007).

(11)

Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935, dalam Davison, et al., 1994)

Memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar.

Akan tetapi, pada tahun 1950- an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

2.1.7.2 Terapi Psikososial

Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang dialami di usia dini.

Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007).

Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi

(12)

arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi. Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapanungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali. Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan- perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama- sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan caracara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994;

Rathus, et al., 1991)

2.2 Konsep Dukungan Keluarga 2.2.1 Definisi

Anggota keluarga sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya karena hal ini akan membuat individu tersebut merasa dihargai dan anggota keluarga siap memberikan dukungan untuk menyediakan bantuan dan

(13)

tujuan hidup yang ingin dicapai individu (Friedman, 1988 (dalam Saputra, 2010) ).

Individu yang mendapat dukungan emosional dan fungsional terbukti lebih sehat daripada individu yang tidak mendapat dukungan (Buchanan, 1995 (dalam Videbeck, 2008).

Saronson, 1991 (dalam Masbow, 2009), menerangkan bahwa dukungan sosial dapat dianggap sebagai sesuatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya. Dari keadaan tersebut individu akan mengetahui bahwa orang lain memperhatikan, menghargai, dan mencintainya. Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri, atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga).

2.2.2 Fungsi Keluarga

Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan yaitu :

2.2.2.1 Fungsi biologis

Fungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara, dan membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga (Mubarak, dkk 2011).

2.2.2.2 Fungsi psikologis

Memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga, memberikan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas pada keluarga (Mubarak, dkk 2011).

(14)

2.2.2.3 Fungsi sosialisasi

Membina sosialisasi pada anak, membentuk norma norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya (Mubarak, dkk 2011)

2.2.2.4 Fungsi sosialisasi

Fungsi yang mengembagkan proses interaksi dalam keluarga yang dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi (Setiawati, 2008).

2.2.2.5 Fungsi ekonomi

Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung untuk memenuhi Faktor kebutuhan keluarga dimana yang akan datang (Mubarak, dkk 2011). Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga termasuk sandang, pangan dan papan (Setiawati, 2008).

2.2.2.6 Fungsi pendidikan

Menyekolahkan anak untuk memberikaan pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minatyang dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa sertamendidik anak sesuai dengan tingkat perkembanganya (Mubarak, dkk 2011)

2.2.3 Struktur Keluarga

Struktur keluarga terdiri dari bermacam-macam, diantaranya adalah:

(15)

2.2.3.1Patrilineal

Keluarga sederhana yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah.

2.2.3.2 Matrilineal

Keluarga sederhana yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.

2.2.3.3 Matriloka

Sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri.

2.2.3.4Patriloka

Sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami.

2.2.3.5 Keluarga kawinan

Hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami dan istri.

2.2.4 Jenis Dukungan Keluarga

House (dalam Lestari, 2007), membedakan dukungan sosial atau dukungan keluarga ke dalam empat bentuk, yaitu :

2.2.4.1 Dukungan emosional

mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

2.2.4.2 Dukungan penghargaan

terjadi melalui ungkapan penghargaan positif untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu.

(16)

2.2.4.3 Dukungan instrumental

mencakup bantuan langsung, seperti memberikan bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya.

2.2.4.4 Dukungan informative

mencakup pemberian nasehat, petunjukpetunjuk, saran ataupun umpan balik.

2.2.5 Hal Yang Perlu Dilakukan pada Dukungan Keluarga

Menurut Irmansyah (2009) ada beberapa hal yang perlu dilakukan keluarga dalam menghadapi keluarga yang menderita gangguan jiwa:

2.2.5.1 Memastikan penderita minum obat dengan teratur 2.2.5.2 Memotivasi dan membawa penderita untuk kontrol

ke dokter secara teratur

2.2.5.3 Memberi dukungan, kehangatan dan perhatian pada penderita.

2.2.5.4 Menerima keadaan penderita apa adanya, tidak selalu menyalahkan atau mengucilkan penderita.

2.2.5.5 Melibatkan penderita pada kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan kemampuan penderita.

2.2.5.6 Menyerahkan beberapa tanggung jawab yang sesuai dengan keadaan penderita

2.2.5.7 Sedapat mungkin menghindari terjadinya masalah kehidupan yang terlalu berat bagi penderita yang dapat menimbulkan tekanan (stres) pada penderita.

2.2.6 Hal Yang Perlu Dihindari pada Dukungan Keluarga

Hal sebaliknya bisa terjadi, yaitu keluarga dapat menjadi sumber tekanan dan pencetus kekambuhan.

Karenanya beberapa hal di bawah ini harus dihindari:

(17)

2.2.6.1 Membebani kondisi emosional penderita yang sudah rapuh dengan melontarkan kritikan atau memarahi penderita.

2.2.6.2 Terlalu dominan dan tidak memberi kesempatan penderita untuk berkembang. Banyak keluarga yang merasa penderita sudah tidak mempunyai kemampuan apapun hingga membuat keluarga mengambil alih tugas keseharian penderita, misalnya melarang penderita melakukan hal apapun, memanjakan penderita dan memberikan apapun yang diinginkan, selalu berada bersama penderita sepanjang waktu (dengan maksud untuk mengawasi)

2.2.6.3 Memaksakan penderita untuk melakukan yang sulit dilakukan Mengubah dosis obat, cara pemberian atau menghentikan pengobatan tanpa berkonsultasi dengan dokter

2.2.6.4 Mengucilkan penderita dari kehidupan sosial, misalnya tidak mengikutkan penderita pada acara keluarga, melarang penderita untuk menerima tamu.

2.2.6.5 Menyalahkan penderita, diri sendiri, atau pihak lain sebagai penyebab terjadinya penyakit yang diderita. Ini dapat menimbulkan kemarahan atau menimbulkan beban psikologis pada penderita (Irmansyah, 2009).

2.2.7 Cara Mengukur Dukungan Keluarga

Cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan kuesioner dukungan keluarga dan kuesioner emosi keluarga yang di isi oleh

(18)

keluarga yang mengantar atau menunggu di poliklinik.

Setelah itu mendokumentasikan dari hasil rekamedik pasien-pasien yang telah menjadi sampel apakah pasien mengalami kekambuhan ataukah tidak.

Analisa data yang pertama dilakukan adalah menyajikan data distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang diteliti.

Data yang diperoleh berupa frekuensi variabel-variabel yang diteliti, disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

Dengan kriteria hasil Dukungan kurang (skor 0-15), Dukungan cukup (skor 16-30), Dukungan baik (skor 31- 45). Selanjutnya dilakukan analisis data untuk melihat hubungan antara variabel independen (dukungan keluarga) terhadap variabel dependen (kekambuhan pasien skizofrenia) dengan uji Korelasi Spearman Rank. H0 ditolak bila R hitung > r tabel atau sig < 0,05 yang artinya ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kekambuhan pasien skizofrenia.

2.3 Konsep Emosi 2.3.1 Definisi

Emosi berasal dari bahasa Latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Daniel Goleman (2002) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu, sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat

(19)

tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.

Chaplin (2002, dalam Safaria, 2009) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Maramis (2009) dalam bukunya “Ilmu Kedokteran Jiwa”

mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan yang kompleks yang berlangsung tidak lama yang mempunyai komponen pada badan dan pada jiwa individu tersebut.

Emosi menurut Rakhmat (2001) menunjukkan perubahan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keperilakuan dan proses fisiologis. Kesadaran apabila seseorang mengetahui makna situasi yang sedang terjadi.

Jantung berdetak lebih cepat, kulit memberikan respon dengan mengeluarkan keringat dan napas terengah-engah termasuk dalam proses fisiologis dan terakhir apabila orang tersebut melakukan suatu tindakan sebagai suatu akibat yang terjadi.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah pengalaman sadar, kompleks dan meliputi unsur perasaan, yang mengikuti keadaan-keadaan psikologis dan mental yang muncul serta penyesuaian batiniah dan mengekspresikan dirinya dalam tingkah laku yang nampak.

2.3.2 Macam-macam Emosi

Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Lazarus, Descrates, JB Watson dan Daniel Goleman.

Menurut Lazarus (1991, dalam Salamah 2012) emosi-emosi yang terdapat pada seorang individu, yaitu: anger (marah),

(20)

anxiety (cemas), fright (takut), jealously (perasaan bersalah), shame (malu), disgust (jijik), happiness (gembira), pride (bangga), relief (lega), hope (harapan), love (kasih sayang), compassion (kasihan). Sedangkan menurut Descrates (dalam Gunarsa 2003), ada 6 emosi dasar pada setiap individu, terbagi atas : desire (hasrat), hate (benci), sorrow (sedih/duka), wonder (heran atau ingin tahu), love (cinta) dan joy (kegembiraan). sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), rage (kemarahan), Love (cinta).

Selain itu Daniel Goleman (2002, dalam Yuliani, 2013) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu.

Goleman (2002) juga menyatakan bahwa perilaku individu yang muncul sangat banyak diawarnai emosi. Emosi dasar individu mencakup emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif yaitu perasaan-perasaan yang tidak di inginkan dan menjadikan kondisi psikologis yang tidak nyaman

2.3.3 Aspek-aspek Emosi

Emosi dalam keluarga diklasifikasikan berdasarkan dua factor yaitu ‘kritik’ (critical comment/CC) dan ‘keterlibatan emosi yang berlebihan’ (Emotional over involment/EOI).

Faktor yang ketiga yaitu ‘hostilitas’ (Hostility),biasanya diasosiasikan dengan tingginya tingkat critical comment.

Dua faktor emosi lainnya, kehangatan dan komentar positif (positif remarks) yang kurang penting sebagai predictor kekambuhan pasien skizofrenia.

(21)

2.3.4 Faktor yang mempengaruhi emosi keluarga

Emosi setiap individu dipengaruhi oleh berbagai faktor dan harus mengatur kondisi emosinya. Faktor-faktor tersebut antara lain (Widiyastuti, 2014):

2.3.4.1 Faktor lingkungan

Lingkungan tempat individu berada termasuk lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat yang akan mempengaruhi perkembangan emosi

2.3.4.2 Faktor pengalaman

Pengalaman yang diperoleh individu selama hidup akan mempengaruhi perkembangan emosinya,. Pengalaman selama hidup dalam berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan akan menjadi refrensi bagi individu dalam menampilkan emosinya

2.3.4.3 Pola asuh orang tua

Pola asuh ada yang otoriter, memanjakan, acuh tak acuh, dan ada juga yang penuh kasih sayang.

Bentuk pola asuh itu akan mempengaruhi pola emosi yang di kembangan individu

2.3.4.4 Pengalaman traumatik

Kejadian masa lalu akan memberikan kesan traumatis akan mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Akibat rasa takut dan juga sikap terlalu waspada yang berlebihan akan mempengaruhi kondisi emosionalnya

2.3.4.5 Jenis kelamin

Keadaan hormonal dan kondisi fisiologis pada laki-laki dan perempuan menyebabkan perbedaan karakteristik emosi antara keduanya. Wanita

(22)

harus mengontrol perilaku agresif dan asertifnya. Hal ini menyebabkan timbulnya kecemasankecemasan dalam dirinya. Sehingga secara otomatis perbedaan emosional antara pria dan wanita berbeda

2.3.4.6 Usia

Kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang.

Semakin bertambah usia, kadar hormonal seseorang menurun sehingga menggakibatkan penurunan pengaruh emosionall seseorang

2.3.4.7 Perubahan jasmani

Perubahan jasmani adalah perubahan hormon- hormon yang mulai berfungsi sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing

2.3.4.8 Perubahan pandangan luar

Perubahan pandangan luar dapat menimbulkan konflik dalam emosi seseorang.

2.3.4.9 Religiusitas

Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005, dalam Anggreiny. 2014)

2.3.5 Cara Mengukur Emosi Keluarga

Cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan kuesioner dukungan keluarga dan kuesioner emosi keluarga yang di isi oleh

(23)

keluarga yang mengantar atau menunggu di poliklinik.

Setelah itu mendokumentasikan dari hasil rekamedik pasien-pasien yang telah menjadi sampel apakah pasien mengalami kekambuhan ataukah tidak.

Analisa data yang pertama dilakukan adalah menyajikan data distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang diteliti.

Data yang diperoleh berupa frekuensi variabel-variabel yang diteliti, disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

Dengan kriteria hasil Eksptesi Emosi Rendah (skor <23), Emosi Tinggi (skor >23). Selanjutnya dilakukan analisis data untuk melihat hubungan antara variabel independen (emosi keluarga) terhadap variabel dependen (kekambuhan pasien skizofrenia) dengan uji Korelasi Spearman Rank. H0 ditolak bila R hitung > r tabel atau sig < 0,05 yang artinya ada hubungan antara emosi keluarga dengan kekambuhan pasien skizofrenia.

2.4 Konsep kekambuhan 2.4.1 Definisi

Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit, lamanya dan perjalanan penyakit. Penderita yang kambuh biasanya seblum keluar RS mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan sedikit memliki keterampilan social. (porkony dkk, dalam akbar, 2008.)

Kekambuhan adalah munculnya kembali gejala dan tanda gangguan meskipun pasien tetap menjalani pengobatan, akibat adanya factor-faktor lain seperti sakit fisik, stressor psikososial, atau penggunaan obat secara bersamaan yang dapat mengurangi efek dari obat tersebut.

Penderita gangguan jiwa diperkirakan akan kambuh 50%

(24)

pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah keluar dari Rumah Sakit (Irene, 2017)

Hardianto (2009), melaporkan bahwa di Indonesia 49% penderita skizofrenia mengalami rawat ulang setelah di pulangkan selama 1 tahun. Melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30-40% penderita mengalami kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat 40-50% penderita mengalami kekambuhan dan 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65-75% penderita mengalami kekambuhan.

Gangguan jiwa berat merupakan gangguan jiwa kronis yaitu gangguan jiwa yang sering mengalami kekambuhan, jadi tidak heran jika ada pasien sembuh lalu kambuh lagi, hal ini bias terjadi karna pengobatan dan control yang tidak teratur, oleh karna itu dukungan dan pengawasan keluarga sangat penting karna merupakan awal dan akhir dari segalanya, keluarga juga dapat melakukan prognosa, kalau dukungan keluarga pada pasien baik kesembuhan pasien akan cepat, perawatan di Rumah Sakit sebenarnya cukup dengan 10-20 hari saja, yang terpenting adalah pengobatan di rumah dan berobat jalan, disini peran keluarga sangat penting untuk kesembuhan seorang pasien yang menjalani gangguan jiwa (Muhtar et al., 2003)

Periode kekambuhan adalah lamanya waktu tertentu atau masa dimana pasien muncul lagi gejala yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan, permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam kehidupan,

(25)

seperti hal yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan.

Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses pengobatan pasien dengan skifronia. Atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya.

Selain itu rawat inap Rumah Sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostic dan stabilisasi pemberian medikasi (Durand, 2007)

2.4.2 Gejala kekambuhan skizofrenia

Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh pasien dan keluarganya (yoseph, 2000) yaitu :

2.4.2.1 Menjadi ragu-ragu dan takut (nervous) 2.4.2.2 Tidak ada nafsu makan

2.4.2.3 Sukar konsentrasi 2.4.2.4 Sulit tidur

2.4.2.5 Depresi

2.4.2.6 Tidak ada minat 2.4.2.7 Menarik diri

2.4.3 Faktor-faktor kekambuhan

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita gangguan jiwa dalam Keliat (1996), meliputi:

2.4.3.1 Pasien

Secara umum bahwa pasien yang minum obat secara tidak teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Hasil penelitian menunjukkan 25%

sampai 50% pasien skizofrenia yang pulang dari rumah sakit jiwa tidak memakan obat secara teratur.

Pasien kronis, khususnya skizofrenia sukar mengikuti aturan minum obat karena adanya

(26)

gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil keputusan. Di rumah sakit perawat bertanggung jawab dalam pemberian atau pemantauan pemberian obat sedangkan di rumah tugas perawat digantikan oleh keluarga.

2.4.3.2 Dokter

Minum obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun pemakaian obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping yang mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol. Pemberian obat oleh dokter diharapkan sesuai dengan dosis terapeutik sehingga dapat mencegah kekambuhan.

2.4.3.3 Penanggung Jawab Pasien (Case Manager)

Setelah pasien pulang ke rumah, maka penanggung jawab kasus mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu dengan pasien, sehingga dapat mengidentifikasi gejala dini pasien dan segera mengambil tindakan.

2.4.3.4 Keluarga

Emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan menyebabkan kekambuhan yang tinggi pada pasien.

Hal lain adalah pasien mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan di rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan perawatan di rumah agar adaptasi klien berjalan dengan baik.

Kualitas dan efektifitas perilaku keluarga akan membantu proses pemulihan kesehatan pasien sehingga status kesehatan pasien meningkat.

(27)

2.4.3.5 Dukungan lingkungan sekitar.

Dukungan lingkungan sekitar tempat tinggal klien yang tidak mendukung dapat juga meningkatkan frekuensi kekambuhan, misalnya masyarakat menganggap klien sebagai individu yang tidak berguna, mengucilkan klien, mengejek klien dan seterusnya.

2.4.4 Cara Mengukur Kekambuhan Pasien Skizofrenia

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan data rekam medik pasien, analisa data yang pertama dilakukan adalah menyajikan data distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang diteliti.

Data yang diperoleh berupa frekuensi variabel-variabel yang diteliti, disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

Dengan kriteria hasil Kambuh (kambuh <5 tahun), Tidak Kambuh (kambuh >5 tahun).

2.4.5 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia

Dukungan keluarga merupakan suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya.

Anggota keluarga sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya karena hal ini akan membuat individu tersebut merasa dihargai dan anggota keluarga siap memberikan dukungan untuk menyediakan bantuan dan tujuan hidup yang ingin dicapai individu (Friedman, 1998). House (dalam Lestari, 2007), membedakan dukungan sosial atau dukungan keluarga ke dalam empat bentuk, yaitu : dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informative.

(28)

Faktor-faktor tersebutlah yang memiliki peranan dalam kekambuhan pasien skizofrenia karena dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi.

Sesuai dengan teori yang di kemukakan Taylor, 1995 (dalam Ambari, 2010) Seseorang dengan dukungan yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak memiliki dukungan.

Menurut Tarjum, 2004 (dalam Saputra, 2010), hal utama yang dibutuhkan oleh pasien gangguan jiwa adalah perhatian, pengertian, dukungan atau perasaan cinta dan kasih sayang dari keluarga atau orang-orang terdekat sehingga proses penyembuhan penderita gangguan jiwa berjalan dengan baik. Berdasarkan hal tersebut perlunya dukungan keluarga yang baik untuk mencegah kekambuhan bagi pasien skizofrenia selama perawatan di rumah.

2.4.6 Hubungan Emosi Keluarga dengan Kekambuhan pasien Skizofrenia

Emosi merupakan persepsi dalam bentuk verbal dan nonverbal, yang mana akan menentukan efektivitas dalam komunikasi hubungan interpersonal. Sikap yang negative merefleksikan emosi yang tinggi dan dapat menjadi stressor yang meningkatkan kerentanan individu terhadap gangguan psikologis maupun kekambuhan (Wick-Nelson, 2006).

Emosi dikategorikan menjadi dua yaitu: emosi negative dan emosi positif.

Emosi negative atau emosi yang tinggi menunjukan sikap penuh kritikan dan kebencian. Hal ini muncul apabila orang tua atauanggota keluarga lainnya menganggap bahwa

(29)

gangguan yangdi alami harus dikendalikan sendiri oleh individu penderita gangguan. Orangtua beranggapan bahwa akan dapat berubah jika di kritik. Emosi yang tinggi sering kali menyebabkan kekambuhan karena kritik verbal agresif yang muncul (wisman, nuechleirlein, dalam Mc Donagh, 2003). Berdasarkan hal tersebut perlunya peranan keluarga dalam hal mengendalikan emosi dalam merawat pasien skizofrenia agartidak mengalami kekambuhan.

(30)

2.5 kerangka konsep

Keterangan =

: Variabel yang diteliti

: Variabel tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan dukungan dan Emosi Keluarga dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia

Gangguan Jiwa

Depresi

Kecemasan

Gangguan Mental Organik

Gangguan Kepribadian

Gangguan Psikosomatik

Skizofrenia Retardasi Mental Faktor-faktor yang

mempengaruhi kekambuhan skizofrenia, yaitu:

Lingkungan Dokter

Caregiver

Caregiver

Keluarga

Dukungan

Emosi Pasien

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan dukungan dan Emosi Keluarga  dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia

Referensi

Dokumen terkait

The result of logistic regression corresponds to a great extent to that of cluster analysis showing that the probability or decision of keeping or not keeping sheep seems to

Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang hendaknya lebih memperhatikan rasa keadilan masyarakat dengan memberikan hukuman yang

sedang tidak banyak tugas, Y akan tidur selama delapan jam atau lebih. Setelah ditelusuri lebih lanjut, awal dari Y kurang tidur adalah

In the Control Room Steven addressed Venussa, Dassuk and the others: ‘I think we should split up. Some of us should land on Refusis to help the Doctor and Dodo, while the rest of

Dewasa ini dakwah melalui media cetak sudah banyak dipergunakan oleh organisasi-organisasi Islam terutama melalui buletin jum’at seperti halnya organisasi Hizbuttahrir yang ada

Dapat pula dikatakan, bahwa teori dalam kebenaran ini dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif.2445 Kedua , teori konsistensi atau koherensi,

Salah satu kajian mengenai Customer Relationship Management (CRM) adalah upaya perusahaan untuk mengembangkan kultur usaha yang berorientasi pada

pada kelompok anak dengan ibu tidak bekerja yang berumur 4 tahun sebagian besar memiliki perkembangan motorik halus normal yaitu sebanyak 12 anak (50%) dan pada anak