BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kompos
Pengomposan merupakan penguraian bahan organik, seperti sampah, dedaunan, rumput, sisa makanan kotoran ternak dan serbuk gergaji. Proses penguraian menjadi bentuk yang lebih sederhana ini dilakukan secara biologis dengan bantuan mikroorganisme seperti bakteri fungi. Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan menambah kesuburan tanah (Nugroho, 2016).
Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi dari satu bulan hingga beberapa tahun tergantung bahan dasarnya.Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N).Rasio C/N tanah berkisar antara <20. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama denganrasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman (Setyorini, dkk, 2006).
2.2 Manfaat Kompos
Kompos ibarat multivitamin bagi tanah dan tanaman. Sutanto (2002) mengemukakan bahwa dengan pupuk organik sifat fisik, kimia dan biologi tanah menjadi lebih baik. Selain itu kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:
1. Aspek Ekonomi :
a. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah.
b. Mengurangi volume/ukuran limbah.
c. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya.
2. Aspek Lingkungan :
a. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan pelepasan gas metana dari sampah organik yang membusuk akibat bakteri metanogen
di tempat pembuangan sampah.
b. Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan.
3. Aspek bagi tanah/tanaman:
a. Meningkatkan kesuburan tanah.
b. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah.
c. Meningkatkan kapasitas penyerapan air oleh tanah.
d. Meningkatkan aktivitas mikroba tanah.
e. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen).
f. Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman.
2.2.1 Standar Kualitas
Kompos Indonesia telah memiliki standar kualitas kompos, yaitu SNI 19-7030- 2004 dan Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006. Didalam standar ini termuat batas-batas maksimum atau minimun sifat-sifat fisik atau kimiawi kompos. Termasuk didalamnya adalah batas maksimum kandungan logam berat.Untuk mengetahui seluruh kriteria kualitas kompos ini memerlukan analisa laboratorium. Standar ini penting terutama untuk kompos- kompos yang akan dijual ke pasaran. Standar ini menjadi salah satu jaminan bahwa kompos yang dijual benar-benar merupakan kompos yang telah siap diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi tanaman, manusia, maupun lingkungan.
Tabel 2.1 Standar Kualitas Kompos
No Parameter Satuan Minimum Maksimum
1 Kadar Air % 50
2 Temperatur 0C
Suhu air Tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau
tanah
5 Ukuran Partikel Mm 0,55 25
6 Kemampuan Ikat Air
% 58
7 Ph 6,80 7,49
8 Bahan Asing % * 1,5
Unsur Makro
9 Bahan Organik % 27 58
10 Nitrogen % 0,40
11 Karbon % 9,80 32
12 Phospor (P2O5) % 0,1
13 C/N Rasio 10 20
14 Kalium(K20) % 0,20 *
Unsur Mikro
15 Arsen mg/kg * 13
16 Kadmium ( Cd) mg/kg * 3
17 Kobal (Co) mg/kg * 34
18 Kromium (Cr) mg/kg * 210
19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100
20 Merkuri(Hg) mg/kg * 0,8
21 Nikel(Ni) mg/kg * 62
22 Timbal(Pb) mg/kg * 150
23 Selenium(Se) mg/kg * 2
24 Seng (Zn) mg/kg * 500
Unsur Lain
25 Kalsium(Ca) % * 25,5
26 Magnesium(Mg) % * 0,6
27 Besi(Fe) % * 2
28 Alumunium(Al) % * 2,2
29 Mangan(Mn) % * 0,1
Bakteri
30 Fecal Coli MPN/
gr
1000
31 Salmonella sp MPN/
4gr
3 Keterangan : * Nilainya lebih besar sari minimum atau lebih kecil
darimaksimum
Sumber : Standar Kualitas Kompos (SNI19-7030-2004).
2.3 Syarat Bahan Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan- bahan organik yang dapat dipercepat secara artificial olehpopulasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Sedangkan proses pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba yang memanfaatkan bahan organic sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat.Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang,
pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan activator pengomposan (Indriani, 2012).
2.3.1 Tahapan Proses Pengomposan
Proses dekomposisi bahan organik dapat dibagi menjadi 3. Pada tahap awal atau dekomposisi intensif berlangsung, dihasilkan suhu yang cukup tinggi dalam waktu yang relatif pendek dan bahan organik yang mudah terdekomposisi akan diubah menjadi senyawa lain. Pada tahap pematangan utama dan paska pematangan, bahan yang sukar terdekomposisi akan terurai dan membentuk ikatan kompleks lempung-humus. Produk yang dihasilkan adalah kompos matang yang mempunyai ciri antara lain :
1. Tidak berbau 2. Remah
3. Berwarna kehitaman
4. Mengandung hara yang tersedia bagitanaman 5. Kemampuan mengikat air tinggi
Tabel 2.2 Tahapan Pengomposan
No Tahapan Pematangan
Bahan Produk Kategori
Pematangan
1
Tahap dekomposisi dan sanitasi
Pra-matang /dekomposisi intensif
Kompos
segar II
2 Tahap konversi Pematangan utama
Kompos
segar III
3 Tahap sintetik Pasca pematangan Kompos
matang IV dan V Sumber :Sutanto, (2002)
2.3.2 Syarat-Syarat Pembuatan Kompos
Ukuran bahan mentah sampai pada batas tertentu, semakin kecil ukuran potongan bahan mentahnya, semakin cepat pula waktu pembusukannya.
Penghalusan bahan akan meningkatkan luas permukaan spesifik bahan kompos sehingga memudahkan mikroba dekomposer untuk menyerang dan menghancurkan bahan-bahan tersebut. Meskipun demikian, kalau penghalusan bahan terlalu kecil, timbunan akan menjadi padat sehingga udara sedikit.
Ukuran bahan sekitar 5-10 cm sesuai untuk pengomposan ditinjau dari aspek sirkulasi udara yang mungkin terjadi pemotongan/mencacah daun-daunan, ranting-ranting dan material organis lainnya secara manual dengan tangan atau mesin. Untuk pembuatan kompos skala industri, tersedia mesin penggilingan bertenaga listrik yang dirancang khusus untuk memotong atau mencacah bahan organis limbah pertanian menjadi potong-potongan yang cukup kecil hingga bisa melapuk dengan cepat (Setyorini, dkk, 2012).
a. Suhu dan Ketinggian Timbunan Kompos
Penjagaan panas sangat penting dalam pembuatan kompos agar proses dekomposisi berjalan merata dan sempurna. Hal yang menentukan tingginya suhu adalah nisbah volume timbunan terhadap permukaan. Makin tinggi volume timbunan dibanding permukaan, makin besar isolasi panas dan makin mudah timbunan menjadi panas. Timbunan yang terlalu dangkal akan kehilangan panas dengan cepat, karena bahan tidak cukup untuk menahan panas dan menghindari pelepasannya. Dalam keadaan suhu kurang optimum, bakteri-bakteri yang menyukai panas (yang bekerja di dalam timbunan itu) tidak akan berkembang secara wajar. Akibatnya pembuatan kompos akan berlangsung lebih lama. Sebaliknya timbunan yang terlampau tinggi dapat mengakibatkan bahan memadat karena berat bahan kompos itu sendiri. Hal tersebut akan mengakibatkan suhu terlalu tinggi dan udara di dasar timbunan berkurang. Panas yang terlalu banyak juga akan mengakibatkan terbunuhnya mikroba yang diinginkan. Sedang kekurangan udara mengakibatkan tumbuhnya bakteri anaerobik yang baunya tidak enak. Tinggi timbunan yang memenuhi syarat adalah sekitar 1,25-2 m. Pada waktu proses pembusukan
berlangsung, pada timbunan material yang tingginya 1,5 m akan menurun sampai kira-kira setinggi 1 atau 1,25 (Setyorini, dkk,2012).
b. Nisbah C/N
Mikroba perombak bahan organik memerlukan karbon dan nitrogen dari bahan asal. Karbon dibutuhkan oleh mikroba sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Bahan dasar kompos yang menpunyai rasio C/N 20:1 hingga 35:1 sesuai untuk dikomposkan. Mikroorganisme memerlukan 30 bagian C terhadap satu bagian N, sehingga rasio C/N 30 merupakan nilai yang diperlukan untuk proses pengomposan yang efisien. Terlalu besar rasio C/N (>40) atau terlalu kecil (<20) akan mengganggu kegiatan biologis proses dekomposisi. Bahan berkadar C/N tinggi bisa menyebabkan timbunan membusuk perlahan-lahan karena mikroba utama yang aktif pada suhu rendah adalah jamur. Hal ini berarti bahwa pembuatan kompos dari bahan-bahan keras seperti kulit biji-bijian yang keras dan berkayu, tanaman menjalar atau pangkasan-pangkasan pohon (semua dengan kadar C/N tinggi) harus dicampur dengan bahan-bahan berair seperti pangkasan daun dan sampah-sampah lunak. Bila tidak ada bahan hijauan yang mengandung nitrogen, dapat diganti dengan berbagai pupuk organik (Setyorini, dkk,2012).
c. Kelembaban
Timbunan kompos harus selalu lembab, dengan kandungan lengas 50-60%
agar mikroba tetap beraktivitas. Kelebihan air akan mengakibatkan volume udara jadi berkurang, sebaliknya bila terlalu kering proses dekomposisi akan berhenti. Semakin basah timbunan tersebut, harus semakin sering diaduk atau dibalik untuk menjaga dan mencegah pembiakan bakteri anaerobik. Pada kondisi anaerob, penguraian bahan akan menimbulkan bau busuk. Sampah- sampah yang berasal dari hijauan, biasanya tidak membutuhkan air sama sekali pada waktu awal, tetapi untuk bahan dari cabang atau ranting kering dan rumput-rumputan memerlukan penambahan air yang cukup (Setyorini, dkk, 2012).
d. Sikulasi Udara (Aerasi)
Aktivitas mikroba aerob memerlukan oksigen selama proses perombakan berlangsung (terutama bakteri dan fungi). Ukuran partikel dan struktur bahan dasar kompos mempengaruhi sistem aerasi. Makin kasar struktur maka makin besar volume pori udara dalam campuran bahan yang didekomposisi.
Pembalikan timbunan bahan kompos selama proses dekomposisi berlangsung sangat dibutuhkan dan berguna mengatur pasokan oksigen bagi aktivitas mikroba (Setyorini, dkk,2012).
e. Nilai pH
Bahan organik dengan nila pH 3-11 dapat dikomposkan. pH optimum berkisar antara 5,5-8,0. Bakteri lebih menyukai pH netral, sedangkan fungi aktif pada pH agak asam.Pada pH yang tinggi, terjadi kehilangan nitrogen akibat volatilisasi. Pada awal proses pengomposan, pada umumnya pH agak masam karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Namun selanjutnya pH akan bergerak menuju netral. Variasi pH yang ekstrim selama pengomposan menujukkan adanya masalah dalam proses dekomposisi (Setyorini,dkk,2012).
2.3.3 Kompos Mucuna bracteata
Pupuk hijau jenis leguminosa yang dapat digunakan adalah LCC Mucuna bracteata mempunyai kandungan hara (utamanya nitrogen) yang relatif tinggi dibanding jenis tanaman lainnya.Mucuna bracteata sebagai bahan organik mengandung nitrogen (N) 3,71%, fosfor (P) 0,38 %, kalium (K) 2,92%, kalsium (Ca) 2,02%, magnesium (Mg) 0,36%, Corganik 31,4% dan C/N 8,46%
(Simamora dan Salundik, 2006).
Mucuna bracteata banyak direkomendasikan untuk dipakai dalam memperbaiki kualitias lahan terdegradasi. Sisa-sisa tanaman Mucuna bracteata yang dikembalikan lagi ke tanah sebagai sumber bahan organik.
Bahan organik merupakan kumpulan beragam senyawa-senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi berupa humus amupun anorganik hasil mineralisisasi. Sumber bahan organik berupa daun, ranting dan cabang, batang, buah dan akar (Hanafiah, 2012)
Kompos Mucuna bracteata adalah pupuk organik yang dihasilkan dari pelapukan tanaman legum melalui proses biologis dengan bantuan organisme pengurai. Kemampuan tanaman legum mengikat N udara dengan bantuan bakteri penambat N menyebabkan kadar N dalam tanaman tersebut relatif tinggi. Tanaman legum juga relatif mudah terdekomposisi sehingga penyediaan haranya menjadi lebih cepat. Sumbangan nitrogen yang diberikan kompos beragam tergantung kadar nitrogen tanah, umur tanaman dan jenis legum yang digunakan (Safitri dan Hapsoh, 2016).
Dekomposisi hijauan dan kompos Mucuna bracteata dapat menyumbangkan unsur N (nitrogen), P (fosfor), dan K (kalium), dimana unsur N merupakan salah satu penyusun klorofil yang sangat penting untuk fotosintesis tanaman, unsur P dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhan akar dan pada bagian atas tanaman sedangkan unsur K berperan sebagai aktivator berbagai enzim esensial dalam reaksi fotosintesis dan dapat menjadikan tanah menjadi gembur, menyediakan unsur hara dan meningkatkan daya ikat air (Safitri dan Hapsoh, 2016).
2.4 Efektif Mikroorganisme
Teknologi EM4 adalah teknologi budidaya pertanian untuk meningkatkan kesehatan dan kesuburan tanah dan tanaman, dengan menggunakan mikroorganisme yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. EM4 merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan yang berasal dari alam Indonesia, bermanfaat bagi kesuburan tanah, pertumbuhanan dan produksi tanaman serta ramah lingkungan. EM4 mengandung mikroorganisme fermentasi dan sintetik yang terdiri dari bakteri Asam Laktat (Lactobacillus Sp), Bakteri Fotosentetik (Rhodopseudomonas Sp),Actinomycetes Sp, Streptomyces SP dan Yeast (ragi) dan Jamur pengurai selulose, untuk memfermentasi bahan organik tanah menjadi senyawa organik yang mudah diserap oleh akar tanaman (Imam Mahadi, dkk, 2014).
Menurut Suparman (1994), Effective Microorganism4 (EM4) dapat ditambahkan dalam pengomposan sampah organik karena dapat mempercepat
proses pengomposan. Effective Microorganism4 (EM4) diaplikasikan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi microorganisme di dalam tanah dan tanaman (Maman Suparman, 1994:3). Selain itu, Effective Microorganism4 (EM4) dapat digunakan untuk mempercepat dekomposisi sampah organik juga dapat meningkatkan pertumbuhan serta dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi tanaman (Suparman, 1994).
2.5 Palm Kernel Cake (PKC)
Hasil olahan kelapa sawit adalah minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO). Untuk setiap ton Tandan Buah Segar (TBS) yang diolah tersisa limbah serat 13%, cangkang 7%, dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) 23% serat inti sawit 5%. Inti sawit diolah untuk menghasilkan minyak inti sawit dan dari proses ini dihasilkan limbah Palm Kernel Cake (PKC) sebesar 45-46% (Elizabeth dan Ginting, 2003).
Indonesia merupakan negara terbesar penghasil minyak kelapa sawit (crude palm oil), disusul Malaysia dan Thailand (Ditjenbun, 2017). Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2011 sekitar 8.992.824 ha dengan produksi CPO 23.096.541 ton dan tahun 2015 meningkat menjadi 31.070.015 ton (Ditjenbun, 2017). Produksi CPO dan inti sawit setiap tahunnya meningkat seperti ditampilkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Produksi minyak kelapa sawit, inti sawit (palm kernel) dan PKC dari perkebunan besar di Indonesia tahun 2011-2017
Tahun Minyak kelapa sawit (ton)
Inti sawit (ton) Palm Kernel Cake (ton)
2011 23.096.541 4.619.308 2.078.689
2012 23.096.541 5.203.104 2.341.397
2013 23.096.541 5.556.401 2.500.380
2014 29.278.189 5.855.638 2.635.037
2015 31.070.015 6.214.003 2.796.301
2016 33.229.381 6.645.876 2.990.644
2017 35.359.384 7.071.877 3.182.345
Sementara Estimasi Perhitungan (PKC: 45% dari inti sawit/kernel) Sumber: Ditjenbun (2017).
Salah satu limbah agroindustri yang memiliki bahan organik yang cukup tinggi yaitu Palm Kernel Cake (PKC). PKC cukup berpotensi untuk dijadikan Kompos dengan melihat kandungannya 15,43% protein kasar, 21,7% serat kasar, 7,71% lemak, 0,83%P dan 3,79% abu (Amri, 2007). PKC juga memiliki kandungan senyawa kimia yang terdiri dari unsur karbon sebesar 96,21%, fosfat 0,60%, dan kalium sebesar 0,19%. Kandungan serat kasar pada PKC dihilangkan melalui proses fermentasi.
Fermentasi merupakan pemanfaatan mikroorganisme atau enzim untuk mengubah bahan organik kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana.
Prinsip fermentasi yaitu mengaktifkan pertumbuhan mikroorganisme dalam memanfaatkan bahan sehingga menjadi berbeda. Bahan yang terkandung seperti protein, lemak, dan polisakarida dapat dihidrolisis sehingga bahan pangan yang telah difermentasi memiliki daya cerna yang tinggi (Amri, 2007).
Fermentasi dapat meningkatkan mutu Palm Kernel Cake (PKC) yaitu menurunkan kadar serat kasar dari 17,74% menjadi 5,8% menurunkanlemak
Palm Kernel Cake (PKC) dari 14,09% menjadi 4,37% dan meningkatkan kadar protein dari 13,91% menjadi 15,37% (Pamungkas dan Khsani, 2010).
2.6 Penelitian Terdahulu
Salah satu cara untuk memanfaatkan pelepah daun kelapa sawit sebagai sumber unsur hara tanaman adalah dalam bentuk kompos. Pelepah daun kelapa sawit mengandung lignin yang tinggi maka proses pengomposan pelepah daun kelapa sawit membutuhkan waktu lama. Limbah padat Palm Kernel Cake (PKC) dihasilkan dari proses pengolahan inti sawit untuk menghasilkan minyak inti sawit. PKC yang telah difermentasi memiliki kandungan nutrisi tinggi. Nutrisi tersebut diharapkan dapat menjadi sumber makanan mikroorganisme sehingga dapat berkembangbiak dan bertumbuh dengan cepat pada kompos. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas kompos pelepah kelapa sawit. Pada penelitian ini terdapat lima perlakuan yaitu : P0 Kontrol (2 kg pelepah), P1 2 kg pelepah dan 0,2 kg PKC, P2 2 kg pelepah dan 0,4 kg PKC, P3 2 kg pelepah dan 0,8 kg PKC, P4 2 kg pelepah dan 0,4 kg dedak dengan ulangan 5 kali. Hasil penelitian ini menunjukkan Perlakuan PKC dan dedak padi berpengaruh sangat nyata terhadap kadar C-organik dan kadar N (nitrogen) kompos pelepah kelapa sawit dan berpengaruh tidak nyata terhadap rasio C/N kompos pelepah kelapa sawit. Kadar C-organik, kadar N (Nitrogen) dan rasio C/N pada semua perlakuan telah memenuhi SNI 19-7030-2004 (Saragih, dkk, 2019)