• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pepali Adipati Wirasaba dan Relevansi Pada Masyarakat di eks-karesidenan Banyumas.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pepali Adipati Wirasaba dan Relevansi Pada Masyarakat di eks-karesidenan Banyumas."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

SIMBOL DAN MAKNA PEPALI ADIPATI WIRASABA DAN

RELEVANSINYA PADA MASYARAKAT DI

EKS-KARESIDENAN BANYUMAS

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar sarjana

Oleh

Nama

: Ganjar Triadi

NIM : 2102405651

Program : Pendidikan Bahasa Jawa

Jurusan : Bahasa dan Sastra Jawa

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang Panitia Ujian

Skripsi.

Semarang, Juni 2009

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Sukadaryanto, M. Hum Drs. Widodo

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang panitia Ujian Skripsi Fakultas

Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

Hari : Rabu

Tanggal : 25 Juni 2009

Panitia Ujian Skripsi

Ketua Sekretaris

Dra Malarsih, M.Sn Drs. Agus Yuwono, M.Si., M.Pd

NIP 131764021 NIP 132049997

Penguji I

Yusro Edy Nugroho, S.S, M.Hum

NIP 132084945

Penguji II Penguji III

Drs. Widodo Drs. Sukadaryanto,M.Hum

(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya

sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.

Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau

dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang,

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Kamulyaning urip iku dumunung ana tentreming ati

‘kemuliaan hidup itu berada pada ketentraman hati’

(Butir-Butir Budaya Jawa)

PERSEMBAHAN

1. Untuk Bapak dan Ibu yang senantiasa

menyayangiku dan memberikan

dukungan moril maupun materiil

2. Untuk teman-teman PBSJ angkatan 2005

(6)

vi

PRAKATA

Alhamdulilahirrobbilalamin, segala puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu

Wataala atas segala limpahan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul Pepali Adipati

Wirasaba dan Relevansinya pada Masyarakat di eks-karesidenan Banyumas.

Peneliti menyadari sepenuhnya dalam menyusun skripsi ini dapat terwujud

berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu peneliti mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Drs. Sukadaryanto, M.Hum. sebagai pembimbing I, serta Drs. Widodo

sebagai pembimbing II yang telah memberikan arahan dan petunjuk

dengan sabar dan teliti sehingga terwujudnya skripsi ini.

2. Ketua jurusan bahasa dan sastra Jawa yang telah memberikan kesempatan

kepada peneliti untuk menyusun skripsi.

3. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang telah

memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menyusun skripsi.

4. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan

kepada peneliti dalam menyusun skripsi.

5. Bapak dan ibu dosen, yang telah memberikan bekal ilmu kepada peneliti

sehingga peneliti dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa dengan doa dan keikhlasan

memberikan bantuan baik materiil maupun moril pada peneliti sehingga

dapat terselesaikannya skripsi ini.

(7)

vii

8. Mamah Rita tercinta yang selalu perhatian dan kasih sayangnya yang tak

terhingga selama aku hidup di Unnes.

9. Teman-temanku Joker Kost yang tidak pernah bosan menemani dari awal

hingga kini.

10.Sahabatku Gendut Imut dan Mas Win yang memberikan bantuan moril

dan materiil dan juga tidak pernah bosan menemaniku menyelasaikan

skripsi ini.

11.Kawan-kawan Jurusan bahasa dan sastra Jawa angkatan “2005” yang

selalu ada dalam segalanya, saya ucapkan terima kasih.

12.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Peneliti menyadari tanpa bantuan dari pihak-pihak tersebut skripsi ini tidak

akan terwujud, semoga amal baik yang diberikannya semoga mendapat ganti di

kemudian hari.

Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi pembaca dan pemerhati

sastra guna perkembangan keilmuan sastra di masa yang akan datang.

Penulis

(8)

viii

ABSTRAK

Triadi, Ganjar. 2009. Pepali Adipati Wirasaba dan Relevansi Pada Masyarakat di eks-karesidenan Banyumas. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Pembimbing I: Drs. Sukadaryanto, M.Hum, Pembimbing II: Drs. Widodo.

Kata kunci: foklor lisan, pepali, wirasaba, simbol, makna, relevansi

Pepali Adipati Wirasaba merupakan sebuah pepali yang melatarbelakangi lahirnya pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas yang meliputi kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara. Pepali yang ada di eks-karesidenan dimungkinkan memiliki simbol dan makna yang tersembunyi, sehingga perlu diketahui simbol dan makna apa saja yang terkandung dalam pepali yang ada di karesidenan Banyumas. Pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas hidup, dipercaya, dan dilaksanakan secara turun temurun pada masyarakat di empat kabupaten di eks-karesidenan Banyumas.

Dengan melihat latar belakang yang dikemukakan, rumusan masalah pada penelitian ini adalah simbol dan makna apa saja yang terdapat pada pepali yang ada di karesidenan Banyumas, dan relevansinya pada masyarakat di eks-karesedenan Banyumas yang meliputi kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui simbol dan makna apa saja yang terdapat dalam pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas, dan bagaimanakah relevansi pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas pada masyarakat di kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara, apakah pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas masih dilaksanakan oleh masyarakat atau tidak.

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian simbol dan makna dan relevansi pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas adalah pendekatan folklor dalam bentuk lisan dengan menggunakan metode deskriptif analitik.

(9)

ix

penghormatan terhadap sang maha pencipta. Simbol dan makna yang terkandung dalam pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas perlu diungkap agar tidak terjadi kesalah pahaman terhadap tujuan sebenarnya dari pepali tersebut, selain itu diketahui pula relevansi pepali di masyarakat. Pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas masih relevan di masyarakat, hal ini dikarenakan masyarakat masih mempercayai pepali tersebut. Masyarakat tidak berani melanggar dikarenakan takut mendapat akibat dari pelanggaran terhadap pepali.

(10)

x SARI

Triadi, Ganjar. 2009. Pepali Adipati Wirasaba dan Relevansi Pada Masyarakat di eks-karesidenan Banyumas. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Pembimbing I: Drs. Sukadaryanto, M.Hum, Pembimbing II: Drs. Widodo.

Wose tembung: foklor lisan, pepali, wirasaba, simbol, makna, relevansi

Pepali Adipati Wirasaba kuwi salah siji pepali sing njalari laire pepali sing ana ing eks-karesidenan Banyumas sing ngliputi kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, lan Banjarnegara. Pepali ana ing eks-karesidenan Banyumas nduweni simbol lan makna sing kasimpen, mula kudu dimangerteni apa wae simbol lan makna saka pepali sing ana ing eks-karesidenan Banyumas. Pepali sing ana ing eks-karesidenan Banyumas isih urip, dipercaya lan laksanakake kanthi turun temurun.

Saka latar belakang wis bisa diwedharake, rumusan masalah saka panaliten iki yaiku simbol lan makna pepali sing ana ing eks-karesidenan Banyumas, lan relevansine ing bebrayan mligine ing eks-karesidenan Banyumas.

Ancas saka panaliten iki yaiku kanggo nudhuhake simbol lan makna uga piye relevansine pepali sing ana ing eks-karesidenan Banyumas, lan pepali kuwi isih digunakake ing bebrayan apa ora.

Pendekatan sing digunakake ing panaliten simbol lan makna, lan relevansi pepali sing ana ing karesidenan Banyumas yaiku pendekatan folkror kanthi nggunakake metode deskriptif analitik.

(11)

xi

Pepali sing ana ing eks-karesidenan Banyumas nduweni simbol lan makna sing kasimpen lan perlu diwedharake supaya ora ana pangerten sing luput ngenani karep pepali kang bener. Relevansi pepali ing bebrayan eks –karesidenan Banyumas wis kadungkap, yaiku pepali apa wae sing ana gandheng cenenge karo Adipati Wirasaba isih dipercaya lan dilaksanakake nganti saprene.

(12)
(13)

xiii

3.4Sumber Data………33

3.4Teknik Analisis Data ... 35

BAB IV SIMBOL DAN MAKNA DAN RELEVANSI PEPALI DI EKS-KARESIDENAN BANYUMAS ... 37

4.1Simbol dan Makna Pepali di eks-karesidenan Banyumas ... 37

4.2Relevansi Pepali Di Masyarakat Eks-karesidenan Banyumas……….63

4.2.1 Kabupaten Purbalingga ... 63

4.2.1.7 Relevansi Pepali Pada Masyarakat Kabupaten Purbalingga....67

4.2.2 Kabupaten Banyumas ... 68

4.2.1.7 Relevansi Pepali Pada Masyarakat Kabupaten Purbalingga....72

(14)

xiv

4.2.1.6 Keadaan Sosial Budaya...77

4.2.1.7 Relevansi Pepali Pada Masyarakat Kabupaten Purbalingga....78

4.2.4 Kabupaten Banjarnegara ... 79

4.2.1.1 kondisi Geografis ... 80

4.2.1.2 Batas Wilayah ... 80

4.2.1.3 Pembagian Administratif ... 81

4.2.1.4 Tingkat Pendidikan ... 81

4.2.1.5 Mata Pencaharian ... 82

4.2.1.6 Keadaan Sosial Budaya...82

4.2.1.7 Relevansi Pepali Pada Masyarakat Kabupaten Purbalingga....83

BAB V PENUTUP ... 86

5.1Kesimpulan ... 86

5.2Saran ... 86

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah provinsi

di zaman Hindia Belanda dan kemudian di zaman Indonesia merdeka hingga

tahun 1950-an. Sebuah karesidenan terdiri dari beberapa kabupaten. Tidak semua

provinsi di Indonesia mempunyai karesidenan, yang ada hanya di pulau Jawa,

Kalimantan, Bali, Lombok, dan Sulawesi. Sebuah Karesidenan di kepalai oleh

seorang Residen. Kata karesidenan sendiri berasal dari bahasa belanda yaitu

residentie begitu pula dengan Residen yaitu resident. Pada krisis di akhir tahun

1950-an di Indonesia karesidenan dihapuskan dan kekuasaan dipegang penuh oleh

kabupaten yang dikuasai oleh seorang Bupati.

Eks-karesidenan Banyumas merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah

bagian barat yang meliputi empat kabupaten yaitu kabupaten Purbalingga,

kabupaten Banyumas, kabupaten Cilacap, dan kabupaten Banjarnegara. Keempat

kabupaten tersebut memiliki keterikatan baik secara historis maupaun budaya,

karena terbentuknya empat kabupaten dalam eks-karesidenan tersebut

dilatarbelakangi oleh kejadian tragis yaitu meninggalnya seorang tokoh Adipati

Warga Utama I dari kadipaten Wirasaba. Kematian Adipati Warga Utama I

(16)

bagi masyarakat eks-karesidenan Banyumas yang dikenal dengan pepali

‘pantangan’ Adipati Wirasaba.

Sepeninggal Adipati Warga Utama I kadipaten Wirasaba dipimpin oleh Jaka

Kaiman sesuai mandat dari Sultan Hadiwijaya Raja dari Kraton Pajang dengan

gelar Warga Utama II. Jaka Kaiman adalah menantu dari Adipati Warga Utama I.

Untuk menghindari perpecahan dalam keluarga besar Adiapati Warga Utama I,

Jaka Kaiman membagi wilayah kadipaten Wirasaba dengan para putra kandung

Adipati Warga Utama I menjadi empat wilayah sehingga Jaka Kaiman mendapat

julukan Adipati Mrapat. Wilayah yang dibagi adalah:

1. Daerah Wirasaba, utara sungai Serayu-pegunungan Perahu (Sokaraja

lor-Wirasaba-Kali Merawu) diserahkan kepada adik ipar tertua, Ngabehi

Warga Wijaya, yang kemudian dibangun menjadi kabupaten

Purbalingga.

2. Daerah Merden, pesisir laut (Kali Citanduy-Pegunungan

Kendheng-pesisir laut kidul) diserahkan kepada adik iparnya yang kedua, Ngabehi

Wirakusuma, yang kemudian dibangun menjadi kabupaten Cilacap.

3. Wilayah Banjar Pertambakan (Kali Merawu-dataran tinggi Dieng,

Pegunungan Kendheng) di serahkan kepada adik iparnya yang paling

muda, Ngabehi Wirayuda, yang kemudian dibangun menjadi kabupaten

Banjarnegara.

4. Sedangkan Adipati Warga Utama II mendapatkan wilayah Kejawar

(17)

Bodo) yang kemudian dibangun menjadi kabupaten Banyumas

(Herusatoto 2008:63).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Adipati Warga Utama

I merupakan tokoh penting terhadap lahirnya eks-karesidenan Banyumas.

Kabupaten yang ada dalam eks-karesidenan Banyumas memiliki keterikatan yang

kuat baik secara historis maupaun secara budaya. Kebudayaan yang ada di

eks-karesidenan Banyumas banyak kasamaan terutama pada pepali yang hidup dan

dipercaya pada masyarakat eks-karesidenan Banyumas, akan tetapi seiring

perkembangan jaman dan kemajuan pola pikir manusia terjadi perbedaan pada

setiap kabupaten dalam pelaksanaan pepali yang ada di eks-karesidenan

Banyumas. Hal ini disebabkan karena perbedaan kultur masyarakat dan letak

geografis pada masing-masing kabupaten.

Pepali Adipati Wirasaba merupakan sebuah pepali yang melatarbelakangi

lahirnya pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas. Pepali bermula dari

kematian seorang tokoh Adipati Wirasaba yaitu Warga Utama I. Adipati Wirasaba

meninggal karena dibunuh oleh gandek ‘prajurit’ utusan Sultan Hadiwijaya raja

dari Kraton Pajang. Hal ini terjadi karena fitnah dari seorang Ki Demang

Toyareka, yang juga bernama Raden Bagus Sujarwo yang tidak lain adalah adik

kandung dari Adipati Warga Utama I.

Fitnah Ki Demang Toyareka merupakan balas dendam atas pengingkaran

Adipati Wirasaba terhadap rembug tua-nya ‘perjanjian orang tua’. Adipati

(18)

dewasa, antara Raden Rara Sukartiyah dengan putra Ki Demang Toyareka, namun

perjodohan mereka elik ‘tidak baik’ sehingga diceraikan secara sepihak oleh

Adipati Wirasaba dengan hukum Islam. Tidak lama kemudian Sultan Pajang

meminta kepada seluruh bawahannya mengirimkan seorang putri untuk dijadikan

pelara-lara ‘selir’ dan Adipati Wirasaba mengirimkan putri bungsunya.

Begitu mendengar bahwa Raden Rara Sukartiyah dibawa ke pajang untuk

dijadikan pelara-lara Ki Demang Toyareka membuat fitnah dan melapor kepada

Sultan bahwa Raden Rara Sukartiyah adalah randa kabla karena tidak tahu arti

dari randa kabla Sultan sangat marah dan mengutus dua orang gandek untuk

menghukum mati Adipati Wirasaba yang sedang dalam perjalanan pulang setelah

mengirimkan glondong pangarem-arem ‘tanda kesetiaan dan hormatnya demi

kepuasaan sang Raja’, randa kabla merupakan bahasa dialek Banyumasan yang

artinya status janda yang belum dinikahkan atau masih suci. Gandek utusan Sultan

Pajang dapat menyusul Adipati Wirasaba pada saat sedang istirahat di rumah Ki

Ageng bener sahabatnya, tanpa basa basi kedua gandek tersebut langsung

menghujamkan tombak ke dada sang Adipati. Sebelum meninggal Adpati

Wirasaba memberikan wewaler (pepali/pantangan) kepada keturunannya yaitu

masyarakat kadipaten Wirasaba. Pepali tersebut antara lain; (1) aja met mantu

utawane mbojo karo wong Toyareka ‘tidak boleh mengambil menantu atau

menikah dengan orang Toyareka’; (2) aja lungan dina setu paing ‘jangan pergi

pada hari sabtu pahing’; (3) aja managn pindhang banyak ‘jangan makan daging

(19)

kelabu’; (5) aja manggon umah bale bapang ‘jangan membangun rumah bale

bapang’.

Pepali Adipati Wirasaba berbentuk adilogoka ‘logika perlambang’ dan

sanepan ‘pesan tersamar’ yang makna tekstualnya harus di artikan ke dalam

bahasa sehari-hari untuk komunikasi, sehingga dapat dipahami secara jelas oleh

masyarakat eks-karesidenan Banyumas.

Pepali Adipati Wirasaba hidup, dipercaya, dan dilaksanakan pada empat

kabupaten di eks-karesidenan Banyumas yaitu kabupaten Purbalingga, Banyumas,

Cilacap, dan Banjarnegara yang secara historis tercipta dari tragedi meninggalnya

seorang tokoh Adipati Warga Utama I. Pepali Adipati Wirasaba pernah

mengalami kejayaan pada masa lampau, dimana pepali Adipati Wirasaba tersebut

betul-betul sangat diagung-agungkan oleh masyarakat eks-Karesidenan

Banyumas. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan pola pikir

manusia menjadikan pepali tersebut saat ini mulai ditinggalkan, hanya beberapa

kelompok masyarakat saja yang masih melaksanakan pepali tersebut, itu pun

tidak secara keseluruhan. Selain perkembangan zaman dan kemajuan pola pikir

manusia, letak geografis dan kultur yang berbeda dari keempat kabupaten tersebut

juga membuat adanya perbedaan terhadap pelaksanaan pepali Adipati Wirasaba di

masyarakat ek-karesidenan Banyumas. Sehingga saat ini terdapat perbedaan

(20)

Pepali atau pantangan Adipati Wirasaba merupakan suatu mitos yang

melegenda dalam masyarakat eks-karesidenan Banyumas, yang pada dasarnya

mitos tersebut mengajarkan agar manusuia menjaga keseimbangan dalam

kehidupan serta tercipatanya kedamaian antar sesama. Pepali Adipati Wirasaba

merupakan legitimasi dari seorang Adipati Warga Utama I, dimana sosok Adipati

Warga Utama I sangat dihormati oleh masyarakat eks-karesidenan Banyumas,

sehingga apa yang dikatakannya menjadi panutan dan dilaksanakan secara

turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, inilah yang menjadikan pepali

Adipati Wirasaba menjadi sangat sakral dan sangat dipatuhi sampai saat ini oleh

para keturunannya dalam hal ini masyarakat eks-karesidenan Banyumas.

Pepali Adipati Wirasaba juga dapat dikaitkan dengan kisah masa lampau

dalam bentuk cerita sejarah, yaitu kisah terbunuhnya Adipati Warga Utama I yang

mendasari terbentuknya kota Banyumas. Pepali Adipati Wirasaba tidak dapat

dipastikan kebenarannya, meskipun realitanya masyarakat tetap melaksanakan

dan mempercayainya. Masyarakat meyakini bahwa pepali tersebut merupakan

suatu hal yang harus dipatuhi meskipun mereka tidak mengetahui rahasia atau

makna yang terkandung di dalamnya. Sesungguhnya pepali tersebut tidak dapat

dilaksanakan secara mentah-mentah tanpa mengetahui makna yang terkandung di

dalamnya. Hal ini dapat menjadikan pandangan yang melenceng terhadap kaidah

yang ada di masyarakat khususnya masyarakat di eks-karesidenan Banyumas,

(21)

Pepali Adipati Wirasaba merupakan suatu amanat yang diberikan oleh

Adipati Warga Utama I sebagai leluhur kepada keturunannya agar tidak

melaksanakan hal-hal yang dipantangkan oleh sang Adipati, sehingga masyarakat

Banyumas sebagai keturunan patuh kepada amanat yang diberikan oleh leluhur.

Akan tetapi, dalam kepatuhanya tidak semua masyarakat yang melaksanakan

amanat tersebut mengetahui rahasia dan makna yang terkandung di dalamnya.

Pepali Adipati Wirasaba berbentuk larangan-larangan yang harus

dilaksanakan oleh para keturunan dari Adipati Warga Utama I dalam hal ini

adalah masyarakat eks-Karesidenan Banyumas. Salah satu dari pepali tersebut

adalah larangan untuk tidak pergi pada hari sabtu pahing. Kurangnya pemahaman

terhadap makna yang terkandung dalam pepali Adipati Wirasaba juga

mengakibatkan perbedaan isi pepali di eks-karesidenan Banyumas.

Masing-masing daerah seperti Cilacap, Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara

memiliki versinya sendiri meskipun pada dasarnya memiliki makna yang sama.

Apabila dikaji lebih dalam sesungguhnya kelima pepali Adipati Wirasaba

merupakan satu kesatuan yang utuh. Pemahaman masyarakat yang kurang

terhadap makna yang terkandung di dalamnya, menyebabkan tidak sedikit

masyarakat yang melaksanakan beberapa dari Kelima pepali Adipati Wirasaba

tersebut.

Uraian di atas menegaskan bahwa pepali Adipati Wirasaba disatu sisi dapat

(22)

makna magis yang sakral sehingga menjadi sangat melegenda di masyarakat.

Pepali Adipati Wirasaba juga mendasari lahirnya pepali yang ada di

eks-karesidenan Banyumas. Makna dan relevansi yang terkandung di dalam pepali

Adipati Wirasaba dan pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas sangatlah

penting untuk diketahui dan dipahami oleh masyarakat khususnya di

eks-Karesidenan Banyumas. Hal ini bertujuan untuk menghindari sudut pandang yang

salah sehingga menciptakan sikap yang fanatik terhadapnya. Sikap fanatik

tersebut justru akan menghambat tujuan sebenarnya dari pepali yang ada di

eks-karesidenan Banyumas. Hal ini sangat menarik untuk dikaji terutama bagi

masyarakat eks-karesidenan Banyumas yang meyakini adanya pepali.

1.2 Permasalahan

Permasalahan yang dikaji dan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. simbol dan makna apa saja yang terkandung dalam pepali yang ada di

eks-karesidenan Banyumas?

2. bagaimana relevansi pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas

terhadap masyarakat di kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan

Banjarnegara?

1.3 Tujuan Penelitian

(23)

1. mengetahui simbol dan makna yang terkandung di dalam pepali yang ada

di eks-karesidenan Banyumas.

2. mengetahui bagaimana relevansi pepali yang ada di eks-karesidenan

Banymumas terhadap masyarakat di kabupaten Purbalingga, Banyumas,

Cilacap, dan Banjarnegara.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat yaitu manfaat

teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis hasil dari penelitian ini diharapkan

dapat bermanfaat untuk mengembangkan dan menambah pengetahuan dalam

bidang sastra khususnya cerita rakyat, mitos, legenda, dan tradisi. Sedangkan

secara praktis diharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai

dokumentasi terhadap cerita sejarah yang ada di eks-karesidenan Banyumas

sehingga sejarah dan budaya Banyumasan tetap dapat dikenal oleh generasi yang

(24)

BAB II

LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian tentang simbol dan makna dan relevansi pepali yang ada di

eks-karesidenan Banyumas belum ada yang melakukan. Adapun penelitian yang

pernah dilakukan oleh Sugeng Priyadi dalam bukunya yang berjudul “Banyumas

antara Jawa dan Sunda” dan oleh Budiono Herusatoto dalam bukunya yang

berjudul “Banyumas Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak” adalah penelitian

tentang sejarah dan peristiwa yang terjadi di eks-karesidenan Banyumas.

Perbedaan penelitian simbol dan makna dan relevansi pepali yang ada di

eks-karesidenan Banyumas dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya terletak

pada objeknya. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Sugeng Priyadi dan

Budiono Herusatoto hanya membahas tentang sejarah dan peristiwa yang tejadi di

eks-karesidenan Banyumas yang memuat pepali di dalamnya. Pembahasan

terhadap pepali hanya sebatas cerita saja, sedangkan penelitian tentang simbol dan

makna dan relevansi pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas ini

mengungkap simbol dan makna dan relevansi pepali pada masyarakat di

eks-karesidenan Banyumas.

Metriks dalam penulisan skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas

(25)

“Pantangan Sabtu Pahing di Kabupaten Banyumas” (kajian bentuk, makna, dan

persepsi masyarakat). Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk,

makna, dan persepsi masyarakat terhadap pantangan sabtu pahing di kabupaten

Banyumas. Letak perbedaan penelitian pantangan sabtu pahing dengan penelitian

simbol dan makna dan relevansi pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas

adalah pada objek penelitiannya. Penelitian pantangan sabtu pahing meneliti

tentang bentuk, makna, dan persepsi masyarakat, sedangkan penelitian simbol dan

makna dan relevansi pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas meneliti

tentang simbol dan makna dan relevansi pepali pada masyarakat di

eks-karesidenan Banyumas yang meliputi kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap,

dan Banjarnegara.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diselaraskan bahwa di dalam pepali

terdapat simbol dan makna tersembunyi yang tidak diketahui oleh semua

masyarakat eks-karesidenan Banyumas. Selain itu relevansi pepali pada

masyarakat merupakan penggambaran terhadap perkembangan pepali yang ada di

eks-karesidenan Banyumas, apakah pepali tersebut masih dilaksanakan atau tidak

dan apa alasannya, sehingga penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat di eks-karesidenan Banyumas

yang meliputi kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara.

(26)

Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore. Menurut Alan

Dundes (dalam Danandjaja 1982:1) folk adalah sekelompok orang yang memiliki

ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari

kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal tersebut antara lain dapat

berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

yang sama, bahasa yang sama, dan agama yang sama. Sedangkan lore adalah

tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun

secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat

pembantu pengingat (Danandjaja 1982:2).

Definisi folklor secara keseluruhan menurut Danandjaja (2002:2), folklor

adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan

turun-temurun diantara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,

baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau

alat pembantu pengingat. Berdasarkan Pengertian di atas dapat diselaraskan

bahwasannya folklor merupakan suatu bagian dari kebudayaan yang

pelestariannya secara turun temurun yang dilakukan oleh suatu komunitas dengan

disertai gerak isyarat dan alat pengingat, yang mencerminkan suatu identitas

kebudayaannya. Folklor merupakan bagian dari kebudayaan yang memiliki

ciri-ciri, bentuk dan fungsi yang menarik.

Menurut Danandjaja (2004:21), folklor dibagi menjadi tiga kelompok besar

yaitu: (1) folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.

(27)

ungkapan tradisional, puisi rakyat, cerita rakyat dan nyanyian rakyat; (2) folklor

sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan

dan bukan lisan. Bentuk folklor yang masuk dalam kelompok ini antara lain

keparcayaan rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara dan lain-lain; dan (3) folklor

bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan meskipun cara

pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok ini dibagi menjadi dua

subkelompok yaitu material dan bukan material. Material yaitu arsitektur rakyat

seperti rumah adat di suatu daerah misal rumah joglo, lumbung padi dan kerajinan

keramik di kabupaten Banjarnegara dan bukan material yaitu bunyi isyarat untuk

komunikasi rakyat misalnya kenthongan sebagai tanda bahasa dan tanda bahaya

pada masyarakat Jawa.

Berdasarkan bentuk-bentuk dari folklor maka dapat diselaraskan yaitu

folklor terbagi menjadi tiga bagian yaitu; folklor lisan merupakan folklor yang

benar-benar murni, folklor sebagian lisan merupakan folklor campuran antara

folklor murni yang disertai dengan alat peraga atau alat pengingat, dan folklor

bukan lisan merupakan folklor yang berbentuk material dan yang berbentuk bukan

material.

Folklor memiliki tiga jenis, menurut Danandjaja (1991:6) pada dasarnya

folklor terbagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) folklor humanistik merupakan jenis

folklor yang membahas mengenai masalah-masalah yang berkenaan dengan

bahasa dan kasusastraan. Para ahli folklor humanistik biasanya terdiri dari sarjana

(28)

humanistik menggolongkan folklor bukan hanya kasusastraan lisan seperti cerita

rakyat sebagai objek penelitian, melainkan juga pola kekuatan manusia seperti tari

dan bahasa isyarat, dan juga seperti arsitektur rakyat, mainan rakyat dan pakaian

rakyat; (2) folklor Antropologi jenis folklor antropologi merupakan jenis folklor

yang membahas dan mempelajari mengenai kebudayaan yang mengkaji masalah

mengenai peribahasa, teka-teki, budaya dan lain-lain. Para ahli folklor antropologi

biasanya terdiri dari para sarjana antropologi yang mengkhususkan diri pada

folklor; (3) folklor Moderen, folklor pada jenis moderen ini membahas dan

mengkaji masalah mengenai ilmu-ilmu interdisipliner. Para ahli moderen menitik

beratkan kedua aspek folklor yang diteliti folknya maupun lornya

Uraian diatas menerangkan bahwa jenis-jenis folklor terbagi menjadi tiga

golongan yaitu humanistik, antropologi, dan moderen. Terlepas dari itu folklor

memiliki fungsi yang sangat komplek.

Folklor memiliki ciri-ciri untuk dapat membedakan dengan kebudayaan

lainnya, ciri-ciri tersebut adalah: (1) penyebaran dan pewarisannya biasanya

dilakukan secara lisan yaitu disebarkan secara turun temurun melalui tutur kata

dari mulut kemulut atau dengan disertai gerak isyarat, dan alat pembantu

pengingat; (2) folklor bersifat tradisional yaitu disebarkan dalam bentuk relatif

tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam

waktu yang cukup lama; (3) folklor ada dalam versi-versi yang berbeda; (4)

folklor bersifat anonim yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi;

(29)

pralogis yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika; (7)

folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu; dan (8) folklor pada

umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatannya kasar dan

terlalu spontan (Danandjaja 2004:4).

Selain memiliki ciri-ciri folklor juga memiliki fungsi. Menurut William R.

Bascom (dalam Danandjaja 2004:19) fungsi folklor adalah: (1) sebagai sistem

proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif; (2) sebagai

pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (3) sebagai alat

pendidikan anak; dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma

masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Berdasarkan pernyataan di

atas maka dapat diselaraskan bahwasannya fungsi folklor adalah sebagai alat

pengesahan, sebagai sistem proyeksi, sebagai pengawas, dan sebagai alat

pendidik. Maka dari itu folklor memuat nilai-nilai pendidikan yang banyak dan

bermanfaat bagi masyarakat dan sekitarnya.

2.3 Pepali

Pepali merupakan salah satu bentuk dari ungkapan tradisional. Menurut

Purwadarminta (Prabowo dalam Mugiarso 2006:24) pepali adalah ajaran yang

sifatnya larangan dari para leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Pepali

merupakan segala sesuatu yang harus dihindari karena diyakini dapat

menimbulkan dampak atau akibat buruk bagi yang melanggarnya. Pepali

dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat Jawa. Saputra (dalam Mugiarso

(30)

larangan atau pantangan untuk melakukan sesuatu bagi yang memperolehnya.

Sedangkan menurut Patmosoekatja (dalam Mugiarso 2006:24) pepali atau

wewaler merupakan salah satu dari gugon tuhon. Gugon tuhon adalah sifat atau

watak yang mudah sekali menurut atau mengikuti ucapan atau cerita yang

dianggap memiliki kharisma atau kelebihan, karena apabila tidak dituruti atau

dilaksanakan akan mendapat bahaya. Pendapat dari Patmosoekatja diperkuat oleh

Murdiyanto (dalam Mugiarso 2006:24) bahwa pepali atau wewaler adalah gugon

tuhon yang berisi larangan yang berehubungan dengan sabda raja, orang yang

dianggap tua atau orang yang pertama kali menempati daerah tersebut apabila

dilanggar akan mendapat bencana. Pepali atau wewaler yang termasuk dalam

gugon tuhon diantaranya adalah:

1. thedak turune Panembahan Senapati, samangsa mengsa yuda, ora kepareng

nitih titihan batilan, yaiku titihan kang wulune ing surine atawabuntute

diketok

’keturunan dari Panembahan Senapati, sewaktu perang tidak boleh menaiki

kuda yang ekornya dipotong’

2. wong Banyumas aja mangan pindhang banyak.

’orang Banyumas jangan makan daging angsa’

3. wong-wong ing kendal ora kena gawe omah gedhong.

’penduduk kendal tidak boleh membuat rumah tembok’

4. wong-wong Kudus kang manggon ing sawetane kali orakena bebesanan karo

(31)

’orang Kudus yang bermukim di sebelah timur sungai tidak boleh besanan

dengan penduduk barat sungai’

Berdasarkan uraian di atas dapat diselaraskan bahwa pepali merupakan

sesuatuu yang harus dihindari. Pepali dapat berupa ucapan ataupun perbuatan.

Pepali dalam bentuk ucapan yaitu larangan mengucapkan kata-kata tertentu.

Pepali semacam ini biasanya terdapat di tempat-tempat yang dianggap penting,

sakral,dan angker. Sedangkan pepali yang berupa perbuatan adalah larangan

untuk melakukan aktivitas tertentu, seperti larangan berpergian pada hari sabtu

pahing di eks-karesidenan Banyumas. Pepali menurut kepercayaan masyarakat

dapat menimbulkan bencana atau dapat berakibat buruk apabila dilanggar.

2.4 Simbol dan Makna

Simbol dan makna merupakan istilah yang memiliki keterkaitan satu sama

lain. Makna merupakan bagian dari sebuah simbol, baik simbol dalam sebuah

tuturan, tradisi, karya sastra maupun simbol dalam sebuah karya seni.

2.4.1 Simbol

Simbol berasal dari bahasa Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri

yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Adapun pengertian lain yaitu

simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar

pemahaman terhadap obyek (Herusatoto 2007:17). Untuk mempertegas

pengertian simbol atau lambang perlu dibedakan antara pengertian-pengertian

(32)

Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang diberitahukan olah si subyek

kepada obyek, artinya subyek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahukan

kepada si obyek yang diberi isyarat agar si obyek mengetahui pada saat itu juga.

Contoh isyarat misalnya bunyi peluit kereta api, gerak bendera morse dan

sebagainya. Tanda adalah suatu hal atau keadaan yang menerangkan atau

memberitahukan obyek kepada si subyek. Tanda selalu menunjuk kepada suatu

hal yang riil ‘nyata’ yaitu benda, kejadian atau tindakan. Contoh tanda misalnya

tanda-tanda lalu lintas, tanda pangkat atau jabatan dan masih banyak yang

lainnya. Simbol atau lambang ialah suatu hal atau keadaan yang memimpin

pemahaman si subyek kepada si obyek. Contoh dari simbol atau lambang antara

lain lambang garuda pancasila, lambang palang merah dan lain sebagainya.

Simbol hanya muncul bila manusia sedang belajar, bila proses belajar

sedang berlangsung (Peursen 2005:143). Sejumlah pengarang membedakan antara

tanda dan simbol atau lambang. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap

dengan apa yang ditandai. Misalnya dimana ada asap di sana ada api. Bila

manusia belajar bukan hanya tanda-tanda yang diikut sertakan. Ia sendiri dapat

menciptakan tanda-tanda, dan tanda-tanda ciptaannya kita namakan

simbol-simbol (Peursen 2005:145).

Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, dan kemampuan berpikir

tersebut akan dapat terpenuhi dalam suatu interaksi sosial, kemudian dalam suatu

interaksi sosial manusia belajar akan arti dari suatu makna dan simbol-simbol

(33)

sesuai dengan kemampuan berpikirnya. Makna dari suatu arti dan simbol-simbol

yang dihasilkan dari kemampuan berpikirnya, akan mempengaruhi seseorang

sedemikian rupa dalam suatu interaksi sosialnya (Poerwanto 2006:40).

Menurut Herusatoto (2008:16), manusia sebagai makhluk budaya

hendaknya harus terus menerus menggali, menggiatkan dan mengembangkan

semua bakat yang ada padanya, bahkan menciptakan kemungkinan-kemungkinan

baru dalam kehidupanya yang berupa atau atau terdiri dari gagasan-gagasan,

simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya perilaku manusia. Oleh karena

itu tidaklah berkelebihan apabila dikatakan bahwa ‘begitu eratnya kebudayaan

manusia dapat pula disebut sebagai makhluk bersimbol’.

Cassirer (dalam Herusatoto 2008:17) menandaskan bahwa manusia itu tidak

pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung tetapi melalui

simbol. Kenyataan adalah selalu lebih dari pada hanya tumpukan fakta-fakta,

tetapi ia mampunyai makna yang bersifat kejiwaan, dimana baginya di dalam

simbol terkandung unsur pembebasan dan perluasan pemandangan.

Peursen (dalam Herusatoto 2008:20) menguraikan tentang pengertian dan

proses terwujudnya simbol-simbol atau lambang dalam kebudayaan manusia,

antara lain sebagai berikut; (1) sejumlah pengarang membedakan antara tanda dan

simbol atau lambang. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa

yang ditandai; (2) terdapat simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad; (3)

(34)

dapat naik menara lalu memandang daerah-daerah yang luas yang dulu tidak kita

kenal lalu kita juga tahu arah mana kita harus berkiblat. Lambang-lambang

merupakan penunjuk jalan di tengah-tengah kesimpang siuran perbuatan

manusiawi. Simbol-simbol merupakan tugu-tugu yang menandai proses belajar

umat manusia, penunjuk jalan ke arah pembaharuan dan penyusunan kembali; (4)

lambang-lambang memperlihatkan sesuatu dari kaidah yang berlaku dalam

perbuatan manuasiawi, pengertian dan ekspresi; (5) lambang-lambang terdapat di

luar badan manusia dan tidak terikat oleh naluri jasmaniah. Simbol akan muncul

bila manusia sedang belajar atau proses belajar sedang berlangsung.

2.4.1.1 Ciri-Ciri Simbol

Ciri-ciri simbol; (1) subyek dituntun memahami obyek (subyek aktif); (2)

memuat lebih banyak arti atau sedikitnya dua arti; (3) subyek dituntun memahami

obyek secara terus-menerus (berlaku secara tetap); (4) berbentuk konkrit dan atau

abstrak; (5) hanya dapat dipahami oleh manusia saja; (6) yang dipakai untuk

simbol tidak mempunyai hubungan khusus dengan yang

dilambangkan/disimbolkan; dan (7) diciptakan oleh manusia untuk manusia

(Herusatoto 2008:51).

Bakker (dalam Herusatoto 2008:39-41) menyatakan bahwa (1) manusia

hanya sadar di dalam bahasa, di dalam angan-angan yang memakai fantasi

konsep-konsep. Tindakan simbolis dan simbol-simbol baru mendapat arti yang

(35)

yang simbolis pula, artinya penuh dengan tanda tanya atau hal-hal yang harus

dijawab dan disingkapkan maksud atau arti yang terkandung dalam simbolnya.

Semakin diuraikan dengan penjelasan, semakin berkurang pula daya simbolisnya;

(3) bahasa simbolis terletak dalam kedudukan tengah-tengah antara bahasa mistis

dan bahasa alegoris, seperti halnya pula berlaku dalam tindakan simbolis; dan (4)

dalam diri manusia terdapat tendensi untuk mempertahankan simbolisme

purba/kuno, sebab menjamin komunikasi vital yang sudah ada dengan aman.

Simbol dan makna dalam pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas

tetap ada, karena setiap warisan dari leluhur selalu memiliki rahasia yang harus

dipelajari dan dipahami oleh para generasi penerus. Seperti halnya dalam pepali

yang ada di eks-karesidenan Banyumas, setiap pepali pasti memiliki simbol dan

dibalik simbol tersebut terdapat makna yang terkandung di dalamnya.

2.4.1.2Simbolisme dalam Sejarah

Sebelum mengungkap simbol dan makna dalam pepali Adipati Wirasaba

maka perlu diketahui maksud atau definisi dari simbol itu sendiri. Dalam Kamus

Logika (Dictionary of Logic) The Liang Gie (dalam Herusatoto 2008:17-18)

menyebutkan bahwa simbol adalah tanda buatan yang bukan berwujud kata-kata

untuk mewakili atau menyingkat sesuatu artian apapun. Tentu saja pengertian/

batasan tentang simbol dari The Liang Gie itu hanya terbatas untuk bidang Logika

saja, karena dalam kebudayaan simbol dapat pula berwujud kata-kata. Herusatoto

(2008:18) menyatakan bahwa simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau

(36)

Penelitian ini salah satu tujuannya adalah mengetahui seperti apa simbol dan

makna dari pepali Adipati Wirasaba, karena dalam pepali Adipati Wirasaba

terdapat banyak simbol, terkait dengan hal tersebut simbol digunakan sebagai

perantara untuk mengetahui keadaan atau hal yang terkandung dalam pepali

Adipati Wirasaba.

Simbol yang berupa benda, keadaan atau hal sendiri sebenarnya bebas

terlepas dari tindakan manusia, tetapi sebaliknya tindakan manusia harus selalu

mempergunakan simbol-simbol sebagai media penghantar dalam komunikasi

antar sesamanya. Komunikasi manusia pertama-tama berupa tindakan. Soryanto

Poespowardoyo (dalam Herusatoto 2008:32). Tanpa simbol komunikasi atau

tindakan manusia menjadi beku. Sebenarnya simbol bebas berdiri sendiri tanpa

tindakan manusia. Terkait dengan hal itu sekali simbol digunakan dalam tindakan

manusia, ia akan menyimpan komunikasi manusia itu dan melestarikannya, dan

pada waktu tertentu menghidupkannya kembali bila perlu.

Perkembangan sejarah kebudayaan Jawa sampai sekarang masih dilacak

terus, dan diteliti mendalam dengan ditemukannya berbagai benda-benda atas

lokasi-lokasi baru peninggalan zaman purba. Pelacakan dan penelitian diperlukan

guna lebih melengkapi lagi data sejarah kebudayaan Jawa yang telah ada.

Berdasarkan buku-buku sejarah kebudayaan baik yang disusun oleh para ahlu

sejarah Barat mapun ahli sejarah Indonesia dapat dibuktukan bahwa sejarah

simbolisme dalam kebudayaan Jawa telah dimulai dari zaman prasejarah

(37)

Herusatoto (2008:191) menyatakan bahwa segala macam bentuk simbolisme

itu merupakan sebuah alat perantara atau media untuk menuliskan segala macam

bentuk pesan atau pengertian atau pengetahuan kepada masyarakat. Hal tersebut

dapat dipertanggungjawabkan dengan penjelasan sebagai berikut: (1) segala

bentuk simbolisme yang ada adalah bertujuan atau mengandung maksud untuk

dapat dilihat atau untuk dapat didengar dan diingat atau dicamkan dalam sanubari,

dan akhirnya untuk dapat dipahami dan dihayati segala makna yang terkandung

atau tersirat di dalam simbol-simbol tersebut; (2) tidak semua simbol dapat

dituliskan dalam bentuk surat atau dalam bentuk buku-buku, hal ini dapat

dimengerti karena media tulis menulis pada zaman simbolisme itu dibuat belum

ada atau belum berkembang. Bahkan, dapat dikatakan, bila pun sudah ada baru

terdapat atau berada pada lingkungan kecil yang sangat terbatas yaitu dikalangan

pendeta atau kalangan keraton saja. Masyarakat umum atau rakyat masih awam

dan belum mengenalnya, karena jangkauan pengetahuan baca dan tulis amat

terbatas, dengan berbagai faktor yang ada dalam masyarakat. Padahal jangkauan

yang akan diberi tahu atau makna dan arti yang tersirat dalam simbol yang dibuat

adalah seluas-luasnya dan semudah-mudahnya; (3) makasud untuk mengadakan

komunikasi seluas-luasnya, termasuk juga komunikasi religius, maka jalan yang

dapat ditempuh adalah melalui sarana atau media, antara lain; (1) bahasa lisan; (2)

tindakan-tindakan; (3) benda-benda; (4) dengan hal-hal seperti misalnya suasana

yang syahdu atau riang gembira, suasana yang remang-remang, dan semua

(38)

2.4.2 Makna

Kata makna sebagai istilah mengacu pada pengertian yang sangat luas.

selain itu, makna juga disejajarkan dengan istilah arti, isi, gagasan, konsep,

pernyataan, pesan, dan informasi. Pengertian dari makna sendiri sangatlah

beragam.

Menurut Abdul Chaer (1995:29) mengartikan makna adalah arti atau unsur

dari sebuah kata atau lebih tepat sebagai gejala-gejala dalam ujaran. Hal senada

juga diungkapkan Mansoer Pateda (2001:79) bahwa istilah makna merupakan

kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada

tuturan kata maupun kalimat. Bloomfied (dalam Wahab, 1995:40) mengemukakan

bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam

batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Kamus Besar

Bahasa Indonesia juga menyebutkan bahwa makna adalah arti atau pengertian

yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.

Pendapat lain diungkapkan Aminudin (1988:53) makna sebagai hubungan

antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai

bahasa. Menurut Aminudin makna memiliki tiga unsur pokok yaitu: (1) makna

adalah hasil dari hubungan dengan dunia luar; (2) hubungan ditentukan karena

adanya kesepakatan antar pemakai bahasa; dan (3) hubungan yang terjadi dapat

digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling mengerti.

Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi empat

(39)

persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; (3) hubungan dalam arti

kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua

hal yang ditunjukkannya, dan (4) cara menggunakan lambang-lambang bahasa

(Kridalaksana 2001: 132).

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diselaraskan bahwa makna

adalah sebuah arti atau maksud yang terdapat dalam sebuah ujaran ataupun dalam

sebuah teks. Batasan tentang pengertian makna memang sangat sulit ditentukan

karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang

berbeda dalam memaknai sebuah ujaran ataupun kata. Pepali yang ada di

eks-karesidenan Banyumas merupakan sebuah simbol dan di balik simbol tersebut

tersimpan makna. Karena pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas

merupakan adilogika ‘logika perlambang’ dan sanepan ‘pesan tersamar’. Maka

simbol yang ada dalam pepali haruslah dipahami dan diteliti sehingga dapat

diketahui makna yang terkandung di dalamnya.

2.5 Mitos

Mitos merupakan kepercayaan yang berkembang di masyarakat dan

berguna bagi kehidupan manusia. Menurut Peursen (1988:34), mitos adalah

sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada sekelompok

(40)

tari-tarian atau wayang. Inti cerita itu ialah lambang-lambang yang mencetuskan

pengalaman manusia purba, lambang-lambang kebaikan dan kejahatan, hidup dan

kematian, dosa dan penyucian, perkawinan dan kesuburan, firdaus, dan akhirat.

Mitos menurut Harsojo (dalam Subekti 2008:3), adalah sistem kepercayaan

dari suatu kelompok manusia, yang berdiri atas sebuah landasan yang

menjelaskan cerita-cerita yang suci yang berhubungan dengan masa lalu. Mitos

yang dalam arti asli sebagai kiasan dari zaman purba merupakan cerita yang asal

usulnya sudah dilupakan, namun ternyata pada zaman sekarang mitos dianggap

sebagai suatu cerita yang dianggap benar. Mitos berfungsi untuk, memberikan

dukungan dan memberikan landasan dari kepercayaan tradisional dan tingkah

laku.

J.van Baal (dalam dalam Subekti 2008:3), mengatakan bahwa mitos

dikatakan sebagai cerita di dalam kerangka sistem religi yang di masa lalu atau

masa kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan. Melalui

mitologi dapat diperoleh suatu kerangka acuan yang memungkinkan manusia

memberi tempat kepada berbagai ragam kesan dan pengalaman yang diperoleh

semasa hidup. Berkat kerangka acuan yang disediakan mitos, manusia dapat

berorientasi dalam kehidupan ini. Ia tahu dari mana ia datang dan kemana ia akan

pergi.

Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan

(41)

banyak hidup dalam masyarakat. Ia mungkin hidup dalam ‘gunjing’ (= gossip).

Kemudian mungkin ia dibuktikan dengan tindakan nyata (Junus 1981:74).

Pendapat lain diungkapkan oleh Kirk (1970:2) mitos adalah suatu cerita yang

bersifat gaib dan menceritakan sesuatu yang baik dan buruk yang sulit dipahami

dan memiliki nilai sastra.

Mitos mengatasi makna cerita dalam arti modern, isinya lebih padat dari

pada semacam rangkaian peristiwa-peristiwa yang menggetarkan atau menghibur

saja. Mitos tidak hanya terbatas pada semacam reportase mengenai

peristiwa-peristwa yang dulu terjadi, sebuah kisah mengenai dewa-dewa dan dunia gaib.

Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia, dan merupakan semacam

pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos itu manusia dapat turut serta

mengambil bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi

daya-daya alam. Turut ambil bagian dinamakan partisipasi (Peursen 1988:38).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diselaraskan bahwa mitos merupakan

suatu cerita yang dipercaya dan dijadikan pedoman hidup atau hukum tak tertulis

yang mengatur perilaku masyarakat.

Mitos tidak bisa dipisahkan dari larangan atau pantangan yang hidup di

dalamnya. Menurut Endaswara (dalam Subekti 2008:1), pada dasarnya mitos

mewarnai kehidupan orang Jawa. Endraswara mengemukakan bahwa kehidupan

orang Jawa banyak dipengaruhi mitos, hal ini tampaknya berkaitan dengan paham

(42)

kepercayaan. Banyak ragam mitos orang Jawa, misalnya mitos larangan, mitos

tentang dewa-dewa, mitos ajisaka, mitos semar dan lainnya.

Larangan di dalam sebuah mitos pada dasarnya menyimpan suatu tujuan

yaitu terciptanya keselarasan dan keseimbangan terhadap sesama dan alam,

seperti halnya diungkapkan oleh Minsarwati (dalam Subekti 2008:1), mitos tidak

bisa dilepaskan dari larangan atau pantangan yang ada di dalamnya, seperti halnya

di lereng Gunung Merapi. Bahwa mitos-mitos yang terdapat disana, seperti

dilarang menebang pohoh di area gunung merapi, berburu binatang di hutan, tidak

boleh mencari rumput atau kayu bakar dan lain sebagainya. Sesungguhnya di

dalam larangan-larangan tersebut tersimpan kearifan ekologi penduduk terhadap

lingkungan alam gunung merapi, dan selalu berhubungan dengan pelestarian

ekosistem. Kearifan di sini diartikan sebagai tindakan penduduk setempat dalam

melangsungkan kehidupan mereka yang selaras dengan lingkungan, dan

merupakan manifestasi sistem kepercayaan yang mereka anut.

Istilah pantangan dapat diartikan sebagai larangan terhadap suatu hal yang

memiliki konsekuensi atau sanksi terhadap pelanggarnya. Pantangan biasanya

dikaitkan dengan hal gaib atau berbau magi. Adapun tradisi berpantang, yaitu

larangan atau aturan terhadap sekelompok masyarakat tertentu yang telah

dilaksanakan secara turun-temurun (http://elka.umm.ac.id/artikel2.bc. mitos.htm).

Adapaun jenis-jenis larangan atau pantangan juga diperjelas dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia yaitu larangan atau pantangan dapat berbentuk sebuah ucapan

(43)

Larangan atau pantangan dalam sebuah mitos selalu dikaitkan dengan hal

yang bersifat sakral atau gaib. Pelangaran terhadapnya akan menimbulkan celaka

atau hal yang negatif baik pada si pelanggar langsung atau terjadi pada

keturunanya kelak. Celaka yang merupakan konsekuensi dari pelanggaran

terhadap pantangan tersebut biasanya dianggap berasal dari kekuatan gaib.

Pemikiran seperti ini telah melekat pada masyarakat kita. Padahal apabila dikaji

lebih dalam celaka tersebut dapat juga merupakan suatu kebetulan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diselaraskan bahwa mitos tidak dapat

dipisahkan dari larangan-larangan yang hidup di dalamnya. Sedangkan pengertian

dari larangan atau pantangan itu sendiri adalah sesuatu hal yang harus

ditinggalkan atau dihindari yang dapat berupa ucapan ataupun perbuatan.

Pantangan dalam bentuk ucapan yaitu larangan mengeluarkan kalimat atau ucapan

tertentu, hal ini biasanya terjadi di tempat yang dianggap suci, keramat ataupun

tempat yang dianggap angker sedangkan pantangan dalam bentuk perbuatan

seperti larangan melaksanakan kegiatan pada waktu tertentu, seperti dilarang

melaksanakan hajatan pada bulan suro dan masih banyak yang lainya.

2.4.1Fungsi Mitos

Mitos merupakan alat penyampaian ajaran tentang kehidupan. Masyarakat

yang begitu percaya akan kekuatan ajaran mitos akan menyatakan bahwa

kemerdekaan dan moderenisasi sekarang adalah hasil dari ajaran suatu mitos.

Menurut Junus (1981: 93) masyarakat tidak mungkin hidup tanpa mitos. Mitos

(44)

terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos yang dipercaya. Banyak hal yang

sukar dipercayai tetap berlaku, tetapi ternyata berlaku hanya karena masyarakat

begitu mempercayai suatu mitos. Ketakutan masyarakat akan sesuatu lebih

disebabkan karena ketakutan akan suatu mitos, bukan ketakutan akan keadaan

yang sebenarnya.

Berdasasrkan pengertian di atas maka dapat diselaraskan bahwa ada suatu

korelasi langsung antara mitos dengan kenyataan kehidupan masyarakat.

Eliade (dalam Subekti 2008:4) mengatakan bahwa, mitos membantu

manusia mengatasi keraguan dalam hal pekerjaan, mitos berfungsi menjelaskan

model-model, untuk kemudian memberikan makna pada dunia dan kehidupan

manusia. Melalui mitos ide-ide tentang realitas, nilai, dan transendensi turun

perlahan-lahan. Melalui mitos pula dunia dapat diartikan secara sempurna dan

dapat dipahami.

Menurut Kirk (1970:253-254) fungsi mitos ada tiga yaitu: (1) mitos

berfungsi sebagai narasi dasar dan sebuah hiburan. Cerita dalam sebuah mitos

merupakan sebuah hiburan bagi masyarakat yang mempercayainya, hal ini

merupakan sebuah usaha untuk memelihara sebuah mitos agar tetap hidup; (2)

sebagai sebuah operative, literative dan pengetahuan. Mitos memberikan manusia

pegetahuan seperti halnya melalui mitos manusia dapat mengetahui tentang

peperangan dan kemenangan suku mereka pada masa lalu; dan (3) sebagai

spekulasi dan penjelasan. Mitos memberikan penjelasan terhadap hal yang tidak

(45)

Menurut Peursen (1988:37), mitos memiliki fungsi antara lain: (1) mitos

menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan gaib. Mitos tidak bisa lepas dari

larangan. Kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib yang dimitoskan membuat

masyarakat takut melanggar pantangan, karena apabila melanggar pantangan

tersebut akan mendapat celaka yang dipercaya berasal dari kekuatan gaib; (2)

memberikan jaminan bagi masa kini. Mitos dipercaya memberikan jaminan pada

masyarkat, tidak melanggar sesuatu yang dimitoskan dipercaya dapat terhindar

dari celaka; (3) memberikan pengetahuan tentang dunia. Lewat mitos manusia

mengetahui asal mula terjadinya dunia dan cerita sejarah para leluhur.

Berdasarkan uraian di atas dapat diselaraskan bahwa fungsi mitos pada

dasarnya adalah sebagai pranata dalam kehidupan manusia dimana mitos

membantu manusia dalam menjalani kehidupannya. Melalui mitos tersebut

manusia dapat mengetahui adanya kekuatan gaib, mengetahui asal mula dunia dan

(46)

32

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan folklor.

Pepali yang hidup di masyarakat eks-karesidenan Banyumas merupakan folklor

yang bentuknya lisan. Dilihat dari jenis folklor, pepali yang ada di masyarakat

eks-karesidenan Banyumas merupakan jenis folklor antropologi, karena pepali

merupakan sebuah ungkapan tradisional yang dipercaya dan dilaksanakan oleh

masyarakat eks-karesidenan Banyumas.

Pendekatan model folklor itu sendiri merupakan pendekatan yang

mengungkap kebudayaan masyarakat secara terperinci. Data yang diperoleh

melalui pendekatan model folklor mengenai pepali yang ada di eks-karesidenan

Banyumas diporeleh dari informan dan observasi. Pendekatan model folklor

menganalisis simbol dan makna dan relevansi pepali yang ada di eks-karesidenan

Banyumas.

3.2 Sasaran Penelitian

Objek atau sasaran pada penelitian ini adalah pepali Adipati Wirasaba

sebagai dasar dari lahirnya pepali di eks-karesidenan Banyumas khususnya di

kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara dimana di

dalamnya terdapat data tentang simbol dan makna dan relevansi pepali yang ada

(47)

3.3 Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pepali yang ada di

eks-karesidenan Banyumas yaitu kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan

Banjarnegara. Data ini ditentukan berdasarkan wilayah eks-karesidenan

Banyumas yang dulu masih menjadi kekuasaan Adipati Wirasaba. Sehingga

pepali yang ada masih dipertahankan dan dilaksanakan oleh masyarakat di

eks-karesidenan Banyumas.

3.4 Sumber Data

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu :

1. sumber data tertulis yaitu berupa buku yang berjudul antara lain: (1)

Banyumas antara Jawa dan Sunda karya dari Sugeng Priyadi; (2) Banyumas

Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak karya dari Budiono Herusatoto; (3)

Pantangan Sabtu Pahing karya dari Sugeng Priyadi; dan (4) Sejarah

Banyumas karya dari Adi Sarwono, dimana dalam buku-buku tersebut

terdapat data pepali yang bersumber dari riwayat Adipati Wirasaba.

2. sumber data lisan yaitu berupa hasil wawancara dari berbagai narasumber

yaitu :

1. nama : Drs. Adi Sarwono

alamat : Desa Kalimandi, Purwareja Klampok

umur : 60 tahun

(48)

Adi Sarwono merupakan tokoh budayawan lokal yang mengamati

perkembangan kebudayaan khususnya kebudayaan Banyumasan, sehingga Adi

Sarwono merupakan seorang yang dianggap mengetahui kebudayaan

Banyumasan dalam hal ini adalah pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas.

Hasil wawancara adalah sejarah dari lahirnya beberapa pepali di eks-karesidenan

Banyumas, antara lain; (1) pepali Adipati Wirasaba; (2) pepali Balai Sipanji; (3)

pepali jambatan Kali Sidulah; (4) larangan menanam padi hitam pada masyarakat

desa Katilinggar kecamatan Padamara kabupaten Purbalingga; (5) pepali desa

Bleter: (6) pepali desa Sambeng.

2. nama : Haryono

alamat : Desa Maos, Cilacap

umur : 55 th

Kapasitas : Tokoh Masyarakat

Haryono adalah tokoh masyarakat desa Maos kabupaten Cilacap yang

dianggap mengetahui seluk beluk tentang pepali yang ada di kabupaten Cilacap.

Hasil dari wawancara adalah sejarah dari lahirnya larangan menikah bagi

masyarakat desa Pesugihan dengan masyarakat desa Pesanggrahan kecamatan

Pesugihan kabupaten Cilacap.

3. nama : Mulyana

umur : 65 th

alamat : Desa Mandiraja, Banjarnegara

(49)

Mulyana adalah sesepuh dari masyarakat dukuh Legok kecamatan

Mandiraja kabupaten Banjarnegara yang dianggap mengetahui tentang pepali

yang ada dikabupaten Banjarnegara khususnya pepali yang ada di dukuh Legok.

Hasil dari wawancara adalah sejarah dari lahirnya larangan menanam dan

memanen padi pada hari Jum”at Pon di dukuh Legok desa Mandiraja kecamatan

Mandiraja kabupaten Banjarnegara.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analis data merupakan teknik yang dilakukan untuk mencapai tujuan

yang diinginkan melalui proses pengumpulan data, khususnya data dalam

penelitian folklor lisan. Data-data yang telah terkumpul dari sumber data

kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitik melalui

pendekatan folklor sehingga dapat ditentukan simbol dan makna berdasarkan

peristiwa-peristiwa dalam pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas. Setelah

itu diungkap relevansi pepali pada kehidupan masyarakat di eks-karesidenan

Banyumas, apakah masyarakat eks-karesidenan Banyumas masih melaksanakan

pepali tersebut atau tidak.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis relevansi dan

makna dari pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas adalah sebagai berikut :

1. mencari data di lapangan tentang pepali yang ada di eks-karesidenan

(50)

2. mendeskripsikan data yang telah diperoleh dari buku-buku serta hasil

wawancara sehingga memperoleh hasil berupa data tantang simbol dan

makna dan relevansi pepali pada masyarakat di eks-karesidenan

Banyumas.

3. menentukan simbol dan makna dan relevansi pepali pada masyarakat di

eks-karesidenan Banyumas

4. menyimpulkan hasil analisis data mengenai simbol dan makna dan

relevansi pepali pada masyarakat di eks-karesidenan Banyumas, sehingga

menjadi sebuah karya yang dapat dipertanggung jawabkan.

5. menarik kesimpulan dari hasil penelitian.

Berdasarkan langkah-langkah penelitian di atas diharapakan dapat

menghasilkan data yang runtut dan jelas tentang relevansi dan makna pepali yang

ada di eks-karesidenan Banyumas, Sehingga dapat diketahui simbol dan makna

dari pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas dan relevansinya pada

(51)

37

BAB IV

SIMBOL DAN MAKNA, DAN RELEVANSI PEPALI

DI EKS-KARESIDENAN BANYUMAS

4.2 Simbol dan Makna Pepali di eks-karesidenan Banyumas

Pepali yang ada di eks-karesidenan Banyumas sebagian besar memiliki

kesamaan, terutama jenis dari pepali tersebut. Jenis pepali yang ada di

eks-karesidenan Banyumas kebanyakan adalah pepali yang berkaitan dengan larangan

perkawinan, baik larangan perkawinan terhadap daerah lain ataupun larangan

perkawinan terhadap keturunan dari keluarga tertentu. Beberapa pepali yang ada

di eks-karesidenan Banyumas antara lain:

1. pepali Adipati Wirasaba

Pepali Adipati Wirasaba berisikan lima larangan yang ditujukan kepada

keturunan dari Adipati Warga Utama I, dalam hal ini yaitu masyarakat

eks-karesidenan Banyumas. Isi dari pepali Adipati Wirasaba yaitu: (1) aja

met mantu utawane mbojo karo wong Toyareka ‘tidak boleh mengambil

menantu atau menikah dengan orang Toyareka’; (2) aja lungan dina setu

paing ‘jangan pergi pada hari Sabtu Pahing’; (3) aja mangan pindhang

banyak ‘jangan memakan daging angsa’; (4) aja nunggang jaran dhawuk

(52)

2. aja nandur pari ireng ‘dilarang menanam padi hitam’

Dilarang menanam padi hitam adalah pepali yang ditujukan kepada

masyarakat desa Katilingar kecamatan Padamara kabupaten Purbalingga.

3. aja nggolet iwak nang curug penisihan

‘dilarang mencari ikan di Curug Penisihan’.

Dilarang memancing ikan di Curug Penisihan adalah sebuah pepali yang

hidup pada masyarakat di desa Penisihan kabupaten Banyumas.

4. pendapa Sipanji ora kena nyabrang kali Serayu

‘pendapa Sipanji tidak boleh menyebrangi sungai Serayu’

Pepali Balai Sipanji adalah pepali yang ditujukan untuk Pendapa Sipanji

yang dilarang menyebrangi sungai Serayu. Pendapa Sipanji adalah

pendapa yang berada di kabupaten Banyumas.

5. aja mbojo antarane wong Pesugihan karo wong Pesanggrahan

‘jangan menikah bagi warga desa Pesugihan dengan warga desa

Pesanggrahan’.

Larangan menikah bagi warga desa Pesugihan dengan warga desa

Pesanggrahan merupakan sebuah pepali yang dipercaya dan dilaksanakan

oleh warga di dua desa tersebut yaitu desa Pesugihan dan desa

Pesanggrahan yang berada di kecamatan Pesugihan kabupaten Cilacap.

6. Bupati Banyumas seketurunane aja ana sing ngliwati jembatan kali

Sidulah

‘Bupati Banyumas dan keturunannya tidak boleh menyebrang jembatan

Referensi

Dokumen terkait

dan Jumlah Masjid (M) terhadap kejahatan ekonomi di Eks Karesidenan Surakarta periode tahun 2006- 2013, teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Hasil perhitungan indeks Location Question (LQ berdasarkan PDRB kabupaten Eks- Karesidenan Surakarta tahun 2010-2014 yaitu Kabupaten Boyolali terdapat empat sektor

Untuk mengetahui pengaruh inflasi suatu negara terhadap tingkat pengangguran di Eks-Karesidenan Surakarta dalam rentang tahun 2008.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui keragaman dan jauh dekatnya hubungan kekerabatan talas di wilayah eks-karesidenan Surakarta berdasarkan karakter morfologi, anatomi

Hasil perhitungan indeks Location Question (LQ berdasrakan PDRB kabupaten Eks-Karesidenan Surakarta tahun 2010-2014 yaitu Kabupaten Boyolali terdapat empat sektor

Ekonomi Banyumas Masa Kolonial Ketika Kabupaten Banyumas menjadi bagian daerah kekuasaan kolonial dengan status sebagai karesidenan pada tahun 1831, dengan membubarkan kasepuhan dan

Skripsi berjudul “Simbol Dan Makna Pepali Adipati Wirasaba Dan Relevansinya Pada Masyarakat Di Eks-karesidenan Banyumas” yang ditulis oleh Ganjar Triadi mahasiswa dari Universitas

DAFTAR TABEL 1 Daftar permainan tradisional di eks karesidenan Surakarta 11 2 Tumbuhan dalam permainan tradisional 22 3 Penggunaan tumbuhan dalam permainan tradisional 24 4