• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN PERKERETAAPIAN DI KARESIDENAN BANYUMAS PADA TAHUN 1895-1817 - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERKEMBANGAN PERKERETAAPIAN DI KARESIDENAN BANYUMAS PADA TAHUN 1895-1817 - repository perpustakaan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

LATAR BELAKANG PEMBUKAAN JALUR KERETA API DI KARESIDENAN BANYUMAS PADA TAHUN 1895-1917

A. Kondisi Geografis dan Demografis Karesidenan Banyumas Tahun 1895- 1917

1. Kondisi Geografis

Banyumas ditinjau dari sudut geografis lebih menunjukkan sebagai wilayah pedalaman yang terisolasi oleh pegunungan yang membentang, baik di sepanjang bagian utara maupun selatan. Daerah yang terletak di Jawa Tengah bagian barat ini, diapit oleh dua jalur pegunungan, yaitu Pegunungan Serayu Selatan di sebelah selatan dan Pegunungan Serayu Utara di bagian utara. Pegunungan Serayu Utara merupakan sambungan dari Pegunungan Dieng di sebelah timur laut yang membujur ke arah barat. Gunung Slamet yang merupakan puncaknya, dengan ketinggian mencapai kurang lebih 3.428 meter. Masih terdapat pula Gunung Pojok Telu dan Gunung Perahu, dengan ketinggian tidak kurang dari 2.565 meter (Sukardi, 2014: 11).

Dari lereng gunung dan bukit mengalir sungai yang membawa batu-batu muntahan gunung berapi ke lembah-lembah yang luas di tepi sungai besar seperti Sungai Serayu. Sungai Serayu yang berasal dari kompleks Pegunungan Dieng- Sindoro-Sumbing, yang mengalir berkelok-kelok ke arah barat daya sebelum akhirnya bermuara di Samudera Hindia di sebelah selatan Pulau Jawa. Sungai

(2)

Serayu mengalir melewati Banyumas. Lembah yang dilewati oleh Sungai Serayu terdiri dari tanah pasir dan batu kerikil halus yang mengandung kesuburan yang tinggi untuk pertanian, dengan suatu kapasitas kandungan air yang tinggi pula.

Sungai Serayu membawa bahan-bahan vulkanis yang subur ke daerah-daerah dataran rendah, yang mengendap di sepanjang pantai selatan (Koentjaraningrat, 1984: 4-23).

Dari kondisi tersebut, dapat dikatakan Banyumas merupakan daerah yang bisa disebut sebagai daerah pedalaman. Daerah dengan kondisi geografis yang terlihat sulit untuk dijangkau, tetapi daerah pedalaman tersebut merupakan wilayah pedalaman yang subur. Pertanian sangat berkembang di daerah ini dengan aliran Sungai Serayu yang menopang kehidupan pertanian di Banyumas. Wilayah Banyumas bukan merupakan wilayah yang strategis, tetapi lebih menunjukkan sebagai wilayah pedalaman yang terisolasi sehingga menyulitkan untuk dijangkau.

2. Kondisi Demografis

Banyumas diperintah sebagai wilayah barat (mancanegara kilen) Surakarta sampai 1831 waktu Karesidenan Banyumas dibentuk. Pada tahun 1773 Yogya diberi wilayah Remo (Karanganyar) demi melegakan perasaan Sultan Mangkubumi yang keberatan bahwa Yogya menguasai sedikit saja daerah di ujung barat wilayah Mataram lama. Banyumas yang masuk dalam wilayah barat Mataram lama berubah status menjadi wilayah barat (mancanegara kilen) Surakarta. Perubahan status Banyumas yang pada dasarnya merupakan akal-akalan administratif tidak mengubah gaya pemerintahannya. Ujung-ujungnya Banyumas tetap diperintah

(3)

sebagai daerah wilayah barat mengingat jaraknya yang jauh dari ibu kota dan susunan pemerintahan (Carey, 2019a: 22-23).

Pembentukan Karesidenan Banyumas terintegrasi ke dalam wilayah kekuasaan kolonial Belanda yang merupakan salah satu akibat dari timbulnya Perang Jawa (Margana, 2010: 21). Perang Jawa tersebut berakhir pada tahun 1829.

Berakhirnya Perang Jawa membawa dampak bagi Banyumas yang sebelumnya berada di bawah Kasunanan Surakarta menjadi di bawah kekuasaan Belanda.

Banyumas memang sudah diincar Belanda untuk dijadikan karesidenan sebelum Perang Jawa. Perjanjian tertanggal 22 Juni 1830 menyatakan bahwa Kabupaten Banyumas, baik Kasepuhan dan Kanoman, yang dahulunya merupakan wilayah Kasunanan Surakarta diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Selanjutnya, Gubernur Jenderal Johannes Graaf van den Bosch membuat surat keputusan (berupa pembentukan karesidenan, afdeling, dan kabupaten di Karesiden Banyumas) tertanggal 18 Desember 1830 yang menyatakan bahwa Kabupaten Banyumas dijadikan Karesidenan Banyumas (Priyadi, 2018: 118).

Dalam surat keputusan tersebut, hanya disebut empat kabupaten, yaitu Banyumas, Ajibarang, Dayeuhluhur, dan Purbalingga. Sementara, Banjarnegara tidak disebutkan. Namun, berdasarkan Resolutie van den 22 Agustus 1831, No. 1, telah diangkat lima orang pejabat bupati di Karesidenan Banyumas, yakni (1) Ngabehi Cakranegara dari Purwokerto diangkat menjadi bupati Banyumas, (2) Raden Tumenggung Mertadiredja, Wedana Bupati Kanoman Banyumas diangkat menjadi bupati Ajibarang, (3) Ngabehi Dipayuda dari Ngayah diangkat menjadi bupati Banjarnegara, (4) Tumenggung Prawiranegara tetap di Dayeuhluhur, dan (5)

(4)

Tumenggung Dipakusuma tetap di Purbalingga. Karesidenan Banyumas dibentuk bersama-sama dengan Karesidenan Bagelen (Priyadi, 2018: 117-118).

Laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa tebilang sangat tinggi terutama Banyumas. Tercatat pertumbuhan jumlah penduduk di Karesidenan Banyumas pada tahun 1895 berjumlah 1.251.963 jiwa. kemudian pada tahun 1900 tecatat berjumlah 1.368.298 jiwa. Pada tahun 1905 berjumlah 1.486.129 jiwa. Pada tahun 1917 berjumlah 1.627.690 jiwa. Penduduk yang tinggal di Karesidenan Banyumas tidak hanya didiami oleh orang Banyumas, tetapi juga orang luar Banyumas seperti Eropa dan Cina (Koentjaraningrat, 1984: 6-7).

Pada tahun 1907 jumlah penduduk Karesidenan Banyumas tercatat 1.508.602 jiwa yang tersebar di lima kabupaten. Kabupaten Banyumas berpenduduk yang berjumlah 313.596 jiwa yang meliputi 307 Eropa, 311.543 Pribumi, dan 1.746 Cina. Purwokerto dengan jumlah penduduk sebesar 269.404 jiwa yang meliputi 173 Eropa, 267.791 Pribumi, 1.982 Cina, 9 Arab, dan 47 lain- lain. Kabupaten Purbalingga dengan penduduk 135 Cina, 322.923 Pribumi, dan 989 Arab. Kabupaten Banjarnegara dengan jumlah 217.123 jiwa dengan 89 Eropa, 215.692 Pribumi, dan 1.342 Cina. Kabupaten Cilacap dengan jumlah 1.508.602 jiwa yang meliputi 389 Cina, 1.499.681 Pribumi, 7.718 Cina, 61 Arab, dan 47 lain- lain. Kabupaten Banyumas menempati peringkat kedua jumlah penduduk terbanyak di Karesidenan Banyumas. Kabupaten Cilacap menjadi kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak di Karesidenan Banyumas (Margana, 2010: 24).

Karesidenan Banyumas mempunyai karakter yang menjadi ciri khas dari masyarakat. Karakter merupakan identitas dari suatu masyarakat yang lazim

(5)

berkaitan dengan semacam kepribadian. Karakter, identitas, dan kepribadian selalu ditemukan pada masyarakat tertentu sebagai warisan masa lampau dari leluhurnya, termasuk Banyumas yaitu cablaka atau blakasuta. Cablaka atau blakasuta adalah karakter universal masyarakat Banyumas (Priyadi, 2013: 1-2).

Karakter masyarakat Banyumas dapat disistematisasikan dalam empat lapis lingkaran yang saling berkaitan dan terintegrasi. Lingkaran pertama merupakan lingkaran terdalam yang berisi karakter masyarakat Banyumas yang paling hakiki.

Dengan maksud bahwa karakter pada lingkaran pertama adalah karakter inti yang tidak mudah berubah dan menjadi ciri khas manusia Banyumas sehingga orang selalu menyebut manusia Banyumas itu cablaka, atau manusia Banyumas itu thokmelong, atau manusia Banyumas itu blakasuta (Priyadi, 2013: 5).

Lingkaran kedua berisi karakter khusus yang menyangkut legenda-legenda yang hidup di Banyumas. Legenda yang sangat mencolok dalam masyarakat Banyumas adalah legenda Kamandaka dari teks Babad Pasir. Legenda tersebut memberikan pengaruh kepada masyarakat Banyumas di seluruh wilayah Karesidenan Banyumas (Priyadi, 2013: 5).

Lingkaran ketiga berisi karakter khusus yang terkait dengan sejarah Banyumas. Karakter yang dicerminkan oleh sejarah Banyumas melekat pada tokoh- tokoh Banyumas masa lampau. Lingkaran keempat berisi karakter umum yang dijumpai pada masyarakat Banyumas pada umunya pada kehidupan sehari-hari (Priyadi, 2013: 6).

Cablaka adalah karakter yang dicetuskan secara spontan oleh orang-orang Banyumas terhadap fenomena yang tampak di depan mata, tanpa ditutup-tutupi.

(6)

Karakter ini sering diartikan sebagai karakter yang mengedapankan keterusterangan masyarakat Banyumas. Masyarakat Banyumas lebih senang berbicara apa adanya dan tidak menyembunyikan sesuatu. Akibatnya, orang lain merasakan bahwa orang Banyumas yang dilihat dari sudut pandang luar seperti tidak memiliki etika, lugas, atau bahkan kurang ajar. Anggapan itu wajar karena karakter cablaka yang menjadi gaya masyarakat Banyumas memang menimbulkan rasa yang kadang-kadang membuat orang lain tersinggung, termasuk sesame orang Banyumas sendiri. Namun, bagi sesama masyarakat Banyumas sendiri hal itu tidak menjadi sebuah masalah. Oleh karena itu, Cablaka dianggap sebagai perilaku keterusterangan, jiwa yang terbuka, akrab, atau ekspresi kebebasan untuk menyatakan sesuatu tanpa ada hal yang ditutup-tutupi (Priyadi, 2013: 7-16).

Gaya hidup bupati di mancanegara kilen atau di wilayah kekuasaan kolonial Belanda mewarisi budaya patron yang berpusat di keraton-keraton Jawa. Kesetiaan di kalangan elit Banyumas terhadap para raja Jawa lebih besar daripada kalangan orang-orang Banyumas yang tinggal di pedesaan. Keegaliteran manusia Banyumas melahirkan prinsip kerukunan yang dijunjung tinggi dengan filosofis yang tinggi, sehingga melahirkan prinsip aman dan tentram. Sikap egaliter itu akan menjauhkan setiap individu dari sikap feodalistik yang menempatkan kedudukan, pangkat, dan harta sebagai kiblat dalam hubungan sosial. Orang-orang Banyumas memang terlalu bebas dalam kehidupan berbudayanya sebagai orang-orang yang tinggal di daerah pinggiran. Hal itu memiliki arti bahwa orang Banyumas terbuka dalam berinteraksi dengan masyarakat luar primordialnya. Kontak budaya Jawa dan

(7)

Sunda di Banyumas telah menempatkan sifat dan sikap terbuka dalam pergaulan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banyumas (Priyadi 2013: 16-19).

B. Ekonomi Banyumas Masa Kolonial

Ketika Kabupaten Banyumas menjadi bagian daerah kekuasaan kolonial dengan status sebagai karesidenan pada tahun 1831, dengan membubarkan kasepuhan dan kanoman di Banyumas dengan memiliki tujuan untuk mengeksploitasi ekonomi melalui sistem tanam paksa. Eksploitasi ini dilakukan setelah Perang Diponegoro atau Perang Jawa berlangsung. Pada masa Perang Jawa yang berlangsung pada tahun 1825-1830. Di sebelah timur kota, pasukan Banyumas berkubu di Lemah Putih (Siti Pethak) Sokawera. Di desa Kedung Uter, dibangun benteng dari tanah sehingga terkenal dengan Benteng Lemah. Tampaknya, baik Wedana Bupati Kasepuhan dan Wedana Bupati Kanoman bersikap melindungi para prajurit Diponegoro. Daerah Banyumas yang aman bagi Pangeran Diponegoro sejalan dengan dukungan rakyat dan penguasa Banyumas terhadap Perang Jawa (Priyadi, 2018: 52).

Pangeran Diponegoro yang didampingi oleh dua orang panakawannya yang bernama Bantengwareng dan Jayasurata itu telah mengembara di hutan-hutan di daerah Bagelen dan Banyumas dari November 1829 hingga Januari 1830. Suatu hal yang penting adalah dijadikannya Banyumas sebagai tujuan kembali bagi Pangeran Diponegoro manakala perundingan di Magelang gagal. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya posisi Banyumas dalam Perang Jawa. Perang Jawa atau Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1829 (Priyadi, 2018: 52-53). Selama perang

(8)

berlangsung, pihak kolonial Belanda menanggung beban hutang tidak kurang dari fl. 30.000.000, dan menanggung beban perang biaya sebesar fl. 2.000.000. Semua biaya yang telah dikeluarkan itu harus diperoleh kembali melalui eksploitasi ekonomi kolonial secara intensif (Sukardi, 2014: 41).

Banyumas yang berstatus sebagai daerah mancanegara kilen Kasunanan Surakarta, dilepas dan secara resmi ditempatkan sebagai wilayah yang berada di bawah kekuasaan kolonial pada tanggal 22 Juni 1831. Pada mulanya ditempatkan di bawah pengawasan Residen Pekalongan. Untuk dapat menguasai daerah Banyumas, maka pihak kolonial Belanda membayar uang reparasi sebanyak fl.

90.000 kepada Kasunanan Surakarta. Apabila jumlah ganti rugi tersebut diperhitungkan secara lebih cermat, maka daerah Karesidenan Banyumas memiliki wilayah luas sekitar 5.500 kilometer persegi dihargai fl. 22 setiap kilometer persegi.

Biaya yang dikeluarkan itu diharapkan segera dapat diperoleh kembali melalui eksploitasi kolonial di daerah itu (Sukardi, 2014: 41).

Untuk menetapkan kekuasaannya di Banyumas, pihak kolonial Belanda secara intensif melakukan pembenahan wilayah yang dipimpin oleh Residen Pekalongan yang pada waktu itu dijabat oleh Hallawijn. Tujuan utama pembenahan wilayah itu adalah untuk menginventarisasi luas wilayah, keadaan tanah, kondisi wilayah, jumlah penduduk, dan kondisi sosial masyarakat pribumi. Dengan cara inilah pihak kolonial akan segera memperoleh gambaran tentang berbagai permasalahan yang harus dihadapi di tempat itu, sehingga dapat mengatasinya dengan kebijakan yang dipandang tepat (Sukardi, 2014: 42).

(9)

Tindakan pertama yang dianggap perlu dilakukan oleh pihak kolonial adalah memeriksa dan mengatur tanah untuk memudahkan penarikan pajak kepada penduduk. Hal ini dianggap perlu oleh pemrintah kolonial karena dengan pemeriksaan dan mengatur tanah dapat memudahkan pemerintah kolonial untuk menarik pajak-pajak kepada penduduk. Penarikan pajak direncanakan akan dimulai pada bulan September 1830, untuk menggantikan penyerahan wajib yang pernah ditarik oleh Kesultanan. Pajak ini ditarik dengan tujuan untuk menggantikan semua dana yang telah dikeluarkan untuk kepentingan daerah itu (Sukardi, 2014: 42).

Demi melancarkan keberhasilan rencana tersebut, pihak kolonial memandang perlu untuk melibatkan berbagai unsur, termasuk para kepala pribumi di daerah Banyumas. Untuk melaksanakan tugas itu, Residen pekalongan menunjuk tiga orang pembantunya, yaitu Daendels, Tak, dan Vitalis yang masing-masing mendapat tugas untuk melakukan pendataan di daerah tertentu di Banyumas. Ketiga orang yang ditunjuk tersebut untuk melaksanakan tugas tersebut dapat digambarkan bahwa tugas tersebut merupakan tugas yang berat. Masing-masing dari mereka melaksanakan tugas pendataan di daerah-daerah yang terpisah. Setiap wilayah yang akan di data juga memiliki desa-desa yang terpencar (Sukardi, 2014: 42).

Dari laporan yang terus dilengkapi dan disempurnakan juga telah memuat tentang luas lahan pertanian. Luas lahan ini meliputi jenis sawah dan tegalan yang dicatat lengkap baik secara perseorangan dan lengkap dengan data-data kepemilikan hewan ternak. Hasil laporan lahan pertanian ini juga bersifat masih sementara, sehingga masih ada daerah atau wilayah yang belum dapat dilaporkan

(10)

luas lahan pertaniannya. Hal ini terjadi karena beberapa hal salah satunya yaitu kesulitan koordinasi dan transportasi (Sukardi, 2014: 43-44)

Pada perkembangan yang selanjutnya, pendataan diarahkan untuk membentuk Banyumas sebagai suatu Karesidenan tersendiri. Hal ini sangat memerlukan data yang lebih memadai mengenai kondisi tanah dan situasi kependudukan terutama yang berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi mereka.

Dengan cara ini maka pemerintah daerah yang baru dibentuk itu mampu melaksanakan tugasnya secara baik (Sukardi, 2014: 45). Pada tanggal 22 Agustus 1831 dalam Resolutie No. 1 diangkat lima orang pejabat bupati yang masing- masing menjabat didaerah kabupaten (Priyadi, 2018: 118), daerah itu adalah Banyumas, Ajibarang, Banjarnegara, Dayeuhluhur, dan Purbalingga.

Sistem kekuasaan ini mendorong pemerintah kolonial untuk melaksanakan eksploitasi ekonomi, yang menyangkut sistem penyerahan wajib dan sistem pengerahan tenaga kerja. Sejak awal masa kolonial di Karesidenan Banyumas, para bupati dan jajaran birokrasi di bawahnya sampai ke tingkat desa dilibatkan dalam pengerahan tenaga kerja yaitu sistem tanam paksa. Dalam sistem pajak, penduduk diharuskan membayar pajak tanah, pajak keluarga, pajak kepala, pajak pemilikan, dan lain-lain.

Dalam pelaksanaannya, yang dijadikan ukuran penentuan pembayaran pajak adalah status sosial dan kemampuan seseorang. Hal ini diukur dari jumlah tenaga pembantu atau rayat, jumlah brayat (huisganoten) yaitu jumlah anggota keluarga (familiesleden) maupun banyaknya orang-orang lain yang dilindungi atau yang hidup dibawah perlindungannya (vreemden). Mengenai pajak tanah adalah

(11)

pajak yang dibebankan kepada kelompok petani sikep atau kelompok petani mapan yang memegang hak atas tanah. Komposisi pajak ini sangat bervariasi tergantung dari luasnya pemilikan tanah yang menjadi haknya itu. Kelompok tuan tanah yang memiliki hak atas tanah yang luas, memiliki tanggung jawab yang berbeda dibannding dengan kelompok petani yang berlahan sempit. Dengan demikian, kelompok numpang yang tidak memiliki hak atas tanah pertanian tidak berkewajiban membayar pajak tanah, tetapi kelompok numpang ini mempunyai kewajiban kepada kelompok petani sikep sehubungan dengan kerjaan yang mereka kerjakan (Sukardi, 2014: 53).

Kebijakan tentang pajak diikuti dengan kebijakan lain yang berkaitan dengan penyerahan wajib dari berbagai hasil perkebunan untuk kepentingan komoditi ekspor. Ada tiga jenis tanaman komoditi yang menjadi andalan selama awal abad XX, yaitu kopi, indigo, dan tebu. Tanaman lain yang diusahakan di daerah ini dalam skala kecil adalah teh, kapas, kayu manis, tembakau, dan lada (Sukardi, 2014: 77).

Selain kebijakan-kebijakan diatas, hal yang dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk memperoleh keuntungan dalam mengeksploitasi ekonomi adalah dengan menerapkan cara baru untuk mendapatkan tanah pertanian. Hal ini dilakukan untuk memperoleh lahan pertanian untuk perkebunan tebu. Pemerintah mendapatkan persetujuan penduduk yang memegang hak atas tanah yang bersangkutan. Mengenai luas tanah yang diperlukan, tidak lebih seperlima dari tanah tanah pertanian yang digarap oleh penduduk desa (Sukardi, 2014: 61).

(12)

Semua tanah adalah milik pemerintah kolonial yang pengelolaannya diserahkan kepada para penguasa lokal. Para penguasa juga bertugas sebagai orang yang mengumpulkan pajak dan mengorganisasikan tenaga kerja paksa. Para petani yang mana sebagai penduduk desa memiliki status sebagai penggarap tanah pertanian di desanya. Berdasarkan pertimbangan ini, maka pemerintah kolonial Belanda juga merasa memiliki hak untuk menguasai tanah-tanah pertanian yang digarap oleh penduduk desa (Sukardi, 2014: 62).

Perjanjian penggunaan tanah untuk keperluan perkebunan tebu itu dilaksanakan oleh wakil dari pihak perkebunan yang dipimpin oleh G.E. Dorrepaal dan J.W. van Barneveld dengan para kepala desa, yang berlangsung secara tertutup.

Pabrik gula pertama yang didirikan di Karesidenan Banyumas adalah Pabrik Gula Kalibagor tahun 1838. Areal perkebunan tebu untuk pabrik ini berada di dua kabupaten, yaitu Purbalingga dan Banyumas (Sukardi, 2014: 62).

Berdasarkan Surat Keputusan tanggal 11 April No. 54 tahun 1857, jangka waktu penggunaan tanah yang semula berlaku untuk tiga tahun dirubah menjadi jangka waktu 20 tahun. Sampai saat itu pihak perkebunan merasakan bahwa masih menjumpai banyak kekurangan yang perlu untuk disempurnakan. Kesulitan yang paling utama dihadapi adalah masalah transportasi (Sukardi, 2014: 64).

Perkembangan baru di bidang agraria tahun 1870 itu besar pengaruhnya terhadap pengelolaan usaha perkebunan. Perubahan-perubahan pengelolaan perusahaan perkebunan oleh negara berpindah tangan ke tangan swasta, tidak terkecuali dengan diberlakukan untuk penggunaan lahan perkebunan tebu.

(13)

Penanaman tebu secara bertahap diserahkan kepada para pengusaha swasta, yang harus dilakukan berdasarkan kontrak (Sukardi, 2014: 67).

Sesuai dengan perkembangan yang terjadi, maka perkebunan tebu di Karesidenan Banyumas secara berangsur-angsur penanganannya diserahkan kepada para pemilik modal swasta. Pedoman pelaksanaannya mengacu kepada Peraturan Residen Banyumas tahun 1873 yang berkaitan dengan sistem kontrak tanah perkebunan tebu. Prosedur kontrak tanah dilakukan secara langsung dengan para petani, tetapi diwakili oleh para kepala desa dengan pihak pemilik modal perkebunan swasta (Sukardi, 2014: 67).

Dengan adanya peraturan baru ini, Banyumas dapat memancing para pengusaha swasta yang berminat menanamkan modalnya, terutama pada perkebunan tebu. Dengan datangnya pengusaha swasta yang menanamkan modalnya, diharapkan dapat mengatasi kekurangan dan kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian, para pengusaha swasta dapat melakukan kontrak tanah dengan para kepala desa yang berlangsung cukup sederhana dan dianggap sah bagi hukum kolonial.

Perubahan yang terjadi itu sangat berpengaruh terhadap perluasan areal perkebunan tebu di Banyumas, tetapi pengaruh itu baru tampak jelas pada sekitar tahun 1890. Pada masa itu, perluasan areal perkebunan tebu mencapai dua kali lipat dari masa-masa sebelumnya. Penggunaan tanah untuk perkebunan tebu di daerah Karesidenan Banyumas oleh para pengusaha swasta pada umumnya dalam bentuk kontrak. Sistem kontrak itu, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam kaitan ini undang-undang terpenting yang mengatur tentang sewa tanah adalah

(14)

grondhuur ordonantie. Pengaturan ini diberlakukan untuk seluruh Jawa dan Madura, kecuali daerah Vorstenlanden.

Dalam periode 1870-an, di karesidenan Banyumas diadakan persiapan yang mengarah pada pelaksanaan perkebunan pada pihak swasta. Akan tetapi, modal swasta yang diinvestasikan pada perkebunan tebu dan pabrik di Banyumas sangat terlambat masuk. Hal ini dapat dipahami, karena Banyumas pada saat itu kurang menarik bagi pemilik modal yang berasal dari Eropa. Dengan demikian, maka pengelolaan perkebunan tebu dan pabrik gula tetap ditangani oleh pihak pemerintah (Sukardi, 2014: 91). Kondisi seperti ini berangsur-angsur membaik seiring dengan meningkatnya produksi gula dan mulai masuknya pengusaha-pengusaha swasta.

Perkebunan tebu dan perusahaan pabrik gula swasta satu-persatu mulai berdiri.

Berdirinya perkebunan tebu swasta dan pabrik gula di Karesidenan Banyumas dimulai tahun 1889. Hal ini ditandai dengan didirikannya perusahaan swasta yang bergerak pada sektor perkebunan tebu dan pabrik gula di Klampok, yang dipimpin oleh Administratur J.T de Rujiter de Wildt. Disusul kemudian pada tahun 1891 dengan berdirinya perkebunan tebu dan pabrik gula swasta di Bojong (Purbalingga) dengan dipimpin oleh Administratur H.C.C. Fraissinet. Kemudian diikuti dengan dibukanya perkebunan tebu dan pabrik gula di Kalimanah (Purbalingga) dengan dipimpin oleh Administratur Ch. Conradi. Pembentukan perkebunan tebu dan pabrik gula swasta tersebut juga diikuti oleh Administrasi M.C. Brandes yang mengoperasikan perusahaannya di Purwokerto (Kabupaten Purwokerto) pada tahun 1893. Dengan perkembangan yang terjadi di Karesidenan Banyumas, maka pada tahun 1895 areal perkebunan tebu telah mencapai 2.833 bau

(15)

dengan total produksi gula 249.780 pikul atau 154.267 ton. Pada tahun 1900, luas areal perkebunan tebu telah mencapai peningkatan sampai 3.077 bau, dengan produksi gula yang meningkat drastis mencapai sekitar 401.305 pikul atau 247.851 ton (Sukardi, 2014: 92).

Tanah-tanah perdikan di Pasir Astana disewakan kepada pabrik gula Purwokerto oleh para demang. Demang Pasir Wetan menyewakan tanah 10,50 bau pada 1894/1895, tanah 0,25 bau pada 1895/1896, tanah 8,50 bau pada 1896/1897, dan tanah 4 bau pada 1897/1898. Tanah jabatan demang Pasir Wetan hanya 27 bau dan menempati posisi ketiga di bawah Pasir Kidul (40 bau) dan Pasir Kulon (32 bau) serta di atas Pasir Lor (26 bau) (Priyadi, 2019: 68).

Tanah di perdikan adalah tanah bebas pajak. Artinya, hasil yang diperoleh dari tanah tersebut tidak diwajibkan membayar pajak pada raja atau pemerintah.

Hasil tanah tersebut masuk masuk kas perdikan atau diterimakan pada demang.

Demang diberi kewajiban untuk memelihara makam-makam suci para penyebar agama Islam di Perdikan Pasir Astana. Sementara itu, penduduk di perdikan atau kademangan tidak mempunyai hak milik, tetapi memiliki hak untuk memakai saja.

Apabila demang memerlukan tanah tersebut, penduduk dipersilakan untuk pindah (Priyadi, 2019: 68).

Dari peningkatan tersebut dan juga berdirinya perusahaan-perusahaan swasta menandakan bahwa keadaan ekonomi semakin membaik serta memberikan keuntungan yang diperoleh oleh pemerintah kolonial. Dari peningkatan dan perkembangan tersebut, juga diiringi oleh peningkatan transportasi yang tadinya menjadi permasalahan utama yang semakin membaik. Pembangunan dan

(16)

pengadaan transportasi dilakukan untuk menunjang keberlangsungan ekonomi di Karesidenan Banyumas.

C. Faktor yang Mempengaruhi Pembukaan Kereta Api di Karesidenan Banyumas

Karesidenan Banyumas yang berada pada wilayah yang terisolasi oleh pegunungan-pegunungan membuat wilayah Banyumas menjadi daerah yang sulit dijangkau. Wilayah Banyumas yang subur menjadikan pemerintah kolonial Belanda menginginkan Banyumas. Setelah Banyumas dicaplok dan menjadi bagian dari pemerintah kolonial Belanda, eksploitasi dilakukan. Banyak cara eksploitasi dengan tanam paksa, penyerahan hak wajib atau pajak, dll.

Setelah tahun 1870 dengan ditandai dengan Undang-Undang Agraria 1870, memberikan pengaruh dan dampak pada pengelolaan perkebunan di Karesidenan Banyumas, terutama perkebunan tebu. Pengelolaan berpindah tangan dari tangan pemerintah kolonial ke tangan swasta. Banyak perusahaan swasta masuk ke Karesidenan Banyumas mengelola perkebunan tebu dan mendirikan pabrik-pabrik gula di Karesidenan Banyumas.

Banyaknya perusahaan swasta yang mendirikan perusahaan-perusahaan di Karesidenan Banyumas dan mengelola perkebunan membawa dampak bagi perekonomian Banyumas. Infrastruktur pendukung dibangun dan Banyumas dapat merasakan kemajuan teknologi. Kemajuan tersebut antara lain adalah kereta api atau trem jalur Maos hingga Wonosobo yang dibangun oleh perusahaan swasta

(17)

Serajoedal Stroomtram Maatschappij (SDS) yang dimulai tahun 1895.

Pembangunan kereta api atau trem ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu 1. Keinginan pengusaha swasta terutama perkebunanan tebu dan pabrik gula

terkait sistem transportasi massal.

Sistem transportasi untuk pengangkutan barang-barang dan hasil dari perkebunan menjadi permalasahan utama pada waktu itu. Pengangkutan hasil perkebunan serta pengangkutan barang-barang dari dalam dan luar daerah sudah tidak dapat dipenuhi lagi dengan menggunakan jalur darat ataupun jalur sungai.

Sarana kereta api menjadi sebuah tuntutan yang harus direalisasikan untuk memperlancar kegiatan ekonomi di Karesidenan Banyumas, karena sarana kereta api menjadi sarana yang sangat dibutuhkan.

Karena bagi perkebunan tebu dan pabrik gula, keberadaan trem atau kereta api menjadi sangat penting karena dapat menembus pedalaman di Karesidenan Banyumas untuk pengangkutan hasil dari pekebunan dan pabrik gula.

Pembangunan kereta api atau trem juga tidak lepas dari keberadaan pabrik gula dan perkebunan tebu. Dengan dibangunnya jalur kereta api membuat pengangkutan barang-barang dan hasil perkebunan menjadi lancar serta para pengusaha dapat tetap beroperasi dan berkembang.

2. Keinginan pemerintah untuk menyelesaikan masalah transportasi

Adanya permaslahan pengangkutan barang dan hasil perkebunan di Karesidenan Banyumas, membuat pemerintah harus mencari cara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Sebelum konsesi dimenangkan oleh SDS, pemerintah tertarik untuk menanamkan modal untuk dibukanya jalur kereta api di

(18)

Karesidenan Banyumas. Kereta api dianggap menjadi jalan terbaik untuk menyelsaikan masalah tersebut.

Lahan yang akan digunakan pun disiapkan oleh pemerintah dengan harapan bahwa lahan yang akan dijadikan jalur kereta atau trem tersebut dapat digunakan untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan dari pengusaha saja. Pemerintah juga berpandangan jika dengan dibukanya jalur trem di Karesidenan Banyumas dapat memudahkan urusan pemerintah, hal itu dapat diketahui dengan adanya permintaan pemerintah kepada pihak SDS untuk membangun jalur menuju Kota Banyumas karena di kota ini terdapat kantor residen. Permintaan itu tidak dituruti oleh SDS dengan alasan akan memakan biaya yang besar dan tidak adanya keuntungan bila membuka ke Kota Banyumas.

Walaupun begitu, pemerintah dapat menggunakan trem sewaktu-waktu untuk kepentingan pemerintah.

Referensi

Dokumen terkait

ยุทธศาสตรการคาชายแดนไทย – กัมพูชา: กรณีศึกษา จังหวัดสระแกว THAI - CAMBODIAN BORDER TRADING STRATEGY: SAKEAO PROVINCE CASE STUDY อนพัทย หนองคู Anaphat Nongkhoo1 1อาจารยประจํา