KAPITA SELEKTA
KASUS – KASUS KONTEMPORER
DALAM TIMBANGAN FIQH ISLAM
KAPITA SELEKTA
KASUS – KASUS KONTEMPORER DALAM TIMBANGAN FIQH ISLAM
Prof. HM. Hasballah Thaib, Ph.D
Dr. H.Zamakhsyari Bin Hasballah Thaib, Lc., MA
UNDHAR PRESS 2018
KAPITA SELEKTA
KASUS-KASUS KONTEMPORER DALAM TIMBANGAN FIQH ISLAM
Penulis: Prof. HM. Hasballah Thaib, Ph.D Dr. H. Zamakhsyari Bin Hasballah Thaib, Lc., MA
Copyright© 2018, pada penulis Hak Cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved Penata letak: Vina Annisa, ST Perancang Sampul: UNDHAR art
Diterbitkan oleh:
UNDHAR PRESS
Jl. Kol. Yos Sudarso, No. 224 Medan Telp. (061) 6635682 – 6613783. Faks (061) 6615190
E-mai: [email protected] Contact person: 081362494090
Cetakan pertama: April 2018 ISBN: ___________________
Dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian Atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit atau penulis
KATA PENGANTAR PENULIS
Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mengutus kekasih-Nya Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam untuk mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju alam terang benderang dengan iman, islam dan ihsan. Shalawat beserta salam senantiasa tercurah kepada junjungan alam Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyelamatkan umat manusia dengan risalahnya dari segala bentuk kesesatan dan kehinaan, juga kepada keluarganya, sahabatnya, dan semua yang mengikuti ajarannya hingga hari pembalasan nanti, wa ba’du.
Kebutuhan umat manusia selalu berkembang dan berubah secara cepat, karenanya problematika yang dihadapi juga terus terperbaharui dan bertambah seiring dengan berputarnya roda kehidupan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan kepada para hamba-Nya suatu manhaj yang komperhensif, yang mampu memenuhi dan memberikan solusi terhadap problematika yang muncul, yang terhimpun ajaran pokoknya dalam al- Qur’an dan ketentuan teknisnya dalam sunnah Nabi.
Banyak permasalahan yang baru muncul di masa kini yang tidak pernah dihadapi oleh para generasi sebelumnya. Tidak jarang banyak dari umat Islam yang bertanya kepada para ulama terkait
hukum dan solusi dari beragam problematika yang ada.
Buku “Kapita Selekta Kasus–Kasus Kontemporer Dalam Timbangan Fiqh Islam” ini hadir untuk ikut memberikan sumbangsih menjawab beragam persoalan yang sering ditanyakan itu dengan pemaparan yang berlandaskan ajaran al- Qur’an dan Sunnah Nabi.
Kasus-kasus kontemporer dalam beragam bidang dan aspek kehidupan dibahas dalam buku ini, mulai dari yang terkait dengan ibadah, mu’amalah, keluarga, kedokteran, hingga yang terkait hubungan sosial kemasyarakatan.
Dalam buku ini pula dikaji pengantar yang berkaitan dengan fiqh nawazil, atau fiqh kontemporer, dimana dibahas di dalamnya sumber pembahasan fiqh ini, serta syarat – syarat yang perlu diperhatikan dalam menyikapi kasus-kasus kontemporer.
Semoga buku sederhana yang hadir di tengah pembaca ini mampu menjawab beragam problematika yang muncul dalam hati dan dipikiran, sehingga dapat menuntun ke arah yang lebih baik.
Penulis
Prof. HM. Hasballah Thaib, MA
Dr.H. Zamakhsyari Bin Hasballah Thaib, Lc., MA
DAFTAR ISI Kata Pengantar Penulis
Daftar Isi
Bab I: Pengantar Fiqh Kontemporer 1-50
Pengertian Fiqh Kontemporer 1
Urgensi Mempelajari Fiqh
Kontemporer 5
Bentuk – bentuk Fiqh Kontemporer 6
Sumber Fiqh Kontemporer 7
Hukum mempelajari Fiqh Kontemporer 8 Adab Dalam Berbeda Pendapat dalam
masalah Fiqh Kontemporer 9
Metode Berfatwa Dalam Fiqh
Kontemporer 12
Dhawabith (Batasan) Dalam berfatwa
Dalam masalah Fiqh Kontemporer 23 Urgensi Ijtihad Secara Berjama’ah
Dalam Menyelesaikan Beragam Kasus
Fiqh Kontemporer 45
Bab II: Kasus – Kasus Fiqh Kontemporer
Dalam Bidang Ibadah 51-
102 Pemanfaatan Air hasil pengolahan
limbah 53
Shalat Orang yang Kehilangan Dua
Sarana Bersuci 58
Shalat di atas Pesawat dan di luar
angkasa 61
Shalat dan Puasa di Negara yang
Siangnya Terlalu panjang atau Pendek 67 Pembatal Puasa Kontemporer 71 Isu – Isu Seputar Pelaksanaan Haji
Masa kini 78
Bab III: Kasus – Kasus Fiqh Kontemporer
Dalam Bidang Mu’amalah 103- 152
Investasi Dana Zakat 105
Denda atas keterlambatan Membayar
Hutang 118
Kartu Kredit 124
Hak Kekayaan Intelektual 113
Jual Beli Cicil 144
Bab IV: Kasus – Kasus Fiqh Kontemporer Dalam Bidang Keluarga
153- 208
Operasi Plastik 155
Operasi Selaput Dara 163
Aborsi Korban Pemerkosaan 168
Inseminasi Buatan 174
Bank Sperma 185
Bank ASI 194
Operasi Transgender 201
Bab V: Kasus – kasus Fiqh Kontemporer
Dalam Bidang Kedokteran 209- 254
Euthanasia 211
Transplantasi Organ 219
Operasi Bedah Mayat 227
Kloning Manusia 237
Transfusi Darah 246
Bab VI: Kasus – Kasus Fiqh Kontemporer
Dalam Bidang Kemasyarakatan 255- 319 Memboikot Produk Non Muslim 257
Merayakan Hari Ibu 272
Non Muslim Masuk Masjid 280
Berpartisipasi dalam Pemerintahan
Non Islam 289
Partisipasi Politik Wanita 304
Daftar Pustaka 320
Riwayat Hidup Penulis 337
BAB I
PENGANTAR FIQH KONTEMPORER
Pengertian Fiqh Kontemporer
Urgensi Mempelajari Fiqh Kontemporer
Bentuk – bentuk Fiqh Kontemporer
Sumber Fiqh Kontemporer
Hukum mempelajari Fiqh Kontemporer
Adab Dalam Berbeda Pendapat dalam masalah Fiqh Kontemporer
Metode Berfatwa Dalam Fiqh Kontemporer
Dhawabith (Batasan) Dalam berfatwa Dalam masalah Fiqh Kontemporer
BAB I
PENGANTAR FIQH KONTEMPORER
A. PENGERTIAN FIQH KONTEMPORER
Istilah “Fiqh Kontemporer” terdiri dari dua kata “Fiqh” dan “Kontemporer”. Kata “Fiqh” secara literal artinya pemahaman (Ibrahim Mustafa, dkk 1972: 698).
Sedangkan secara istilah, Fiqh artinya ilmu tentang hukum syar’i yang bersifat praktis dengan dalil – dalilnya yang terperinci, yakni teks al-Qur’an dan sunnah, dan dalil lainnya dari ijmak dan ijtihad (Sa’di Abu Jiib, 1988: 289).
Allah berfirman:
اًثيِدَح َنوُهَقْفَ ي َنوُداَكَي َلَ ِمْوَقْلا ِء َلَُؤَه ِلاَمَف
“… Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An-Nisa’: 78)
Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Ammar ibn Yasir ra:
ِهِهْقِف ْنِم ٌةَّنِئَم ِهِتَبْطُخ َرَصِقَو ِلُجَّرلا ِةَلاَص َلْوُط َّنإ
“Sesungguhnya Panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khutbahnya bagian dari pemahamannya.”
(HR. Muslim, Kitab Jum’ah, Bab Takhfif as-Shalat wa al-Khutbah, hadits no. 2046)
Terkadang, kata fiqh juga digunakan untuk menunjukkan seperangkat hukum – hukum praktis, seperti aturan hukum wudhu’, shalat, jual beli, menikah, menyusui, perang, jihad, dan lain sebagainya (Mustafa al-Khun, 1987: 1, 7-8).
Sedangkan kata kontemporer sering diartikan dengan kekinian dan masa kini. Dan kadangkala digunakan untuk menunjukkan perubahan dan perkembangan baik yang sifatnya tabi’i maupun sosial kemasyarakatan (Ibrahim Mustafa, dkk 1972:
604).
Kata Majemuk “Fiqh kontemporer”
menjadikan kata “kontemporer” sebagai deskripsi dan sifat dari Fiqh. Sehingga istilah Fiqh Kontemporer bisa diartikan dengan kajian Fiqh yang membahas tentang peristiwa dan kasus yang muncul di masa kini dan terus berkembang, yang mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari ibadah, mu’amalah, kedokteran, keluarga, pidana, dan lain sebagainya, sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Istilah Fiqh kontemporer atau Fiqh Mua’shir ini dalam kajian para Fuqaha klasik biasa disebut Fiqh Nawazil.
B. URGENSI MEMPELAJARI FIQH KONTEMPORER
Pentingnya mempelajari Fiqh Kontemporer dapat dilihat dari beberapa poin berikut:
a. Menerangi jalan bagi mereka yang ingin tahu tentang hukum terkait kasus – kasus kontemporer sehingga dapat beribadah kepada Allah dengan penuh kejelasan.
b. Menjelaskan kepada seluruh alam semesta bahwa syariah Islam ini sempurna dan relevan untuk segala zaman dan tempat. Allah berfirman:
ُمُكَل ُتيِضَرَو ِتَِمْعِن ْمُكْيَلَع ُتْمَْتَْأَو ْمُكَنيِد ْمُكَل ُتْلَمْكَأ َمْوَ يْلا اًنيِد َم َلاْسِْلْا
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu…”
c. Membuka pintu memperoleh pahala bagi mereka yang mempelajarinya dan mengerahkan segenap potensi yang dimiliki untuk menyingkap hukum Allah dalam suatu kasus. Jika ia benar maka dapat dua pahala, bahkan jika salah sekalipun, namun ia berijtihad setelah memenuhi segala persyaratannya, maka baginya satu pahala.
d. Membuka ruang bagi para ulama untuk menunaikan amanah yang Allah pikulkan kepada mereka dengan menjelaskan hukum syar’i dan tidak menyembunyikannya.
C. BENTUK – BENTUK FIQH KONTEMPORER Ada banyak bentuk fiqh kontemporer jika dilihat dari beragam pertimbangan yang ada.
Berdasarkan bab – bab fiqh yang ada, fiqh kontemporer dapat dibagi menjadi:
a. Ibadah: Kasus kontemporer dalam bidang Ibadah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bidang muamalah. Seperti:
mensucikan air limbah dengan sarana yang modern, shalat di atas pesawat.
b. Muamalah: Kasus kontemporer di bidang muamalah jumlahnya cukup banyak dan kompleks. Seperti: serti jual beli murabahah bagi yang memerintahkan untuk membeli, bank Islam, dan masalah finasial.
c. Keluarga: Kasus kontemporer di bidang keluarga ini sifatnya sangat berbahaya, karena berdampak terhadap bercampurnya nasab. Seperti: masalah aborsi, obat anti hamil, bayi tabung, dan lain – lain.
d. Pidana, Hudud, dan Makanan: Kasus – kasusnya banyak dan beragam seperti menyambung ulang anggota tubuh yang dipotong dalam hukuman hudud, makanan import, dan hukuman mati dengan setruman listrik.
Berdasarkan jenis kelamin objeknya, Fiqh Kontemporer terbagi menjadi:
a. Kasus – kasus terkait khusus laki – laki, seperti masalah khilafah dan kepemimpinan tertinggi.
b. Kasus – kasus terkait khusus perempuan, seperti alat – alat kontrasepsi, dll.
Berdasarkan kompleksitasnya, Fiqh kontemporer dibagi menjadi:
a. Kasus tersendiri, seperti cuci ginjal dan pengaruhnya terhadap bersuci.
b. Kasus kompleks yang berkaitan dengan banyak aspek, seperti Penggunaan teleskop dan pengaruhnya terhadap penetapan waktu ibadah.
D. SUMBER FIQH KONTEMPORER
Setidaknya ada tiga sumber utama Fiqh Kontemporer ini, yaitu:
a. Semua kitab Fiqh yang membantu kajian Fiqh Nawazil.
b. Buku – buku fatwa, seperti Fatawa an- Nawazil karya Abu Laits as-Samarqandi (w.
373 H), Ouyun al-Masail karya Abu Laits as- Samarqandi, Anfa’ al-Wasail ila tahdid al- Masa’il, karya Ibrahim bin Ali al-Arsusi (w.
785 H), Waqi’at al-Muftiin Karya Abdul Qadir bin Yusuf (w. 1085 H), al-Fatawa al-Khairiyah li naf’i al-Bariyyah karya Khairuddin ar-Ramli bin Ahmad bin Ali (w. 1081 H), ditambah lagi buku – buku ushul fiqh dan kaedah Fiqh, ditambah dengan buku – buku takhrijat.
c. Buku – buku kontemporer terkait Fiqh kontemporer yang banyak dan beragam, diantaranya Majalah Majma’ al-Fiqh al-Islami
dibawah naungan OKI (Organisasi Konfrensi Islam), Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, baik yang diterbitkan ri’asah amah li ifta di Arab Saudi maupun majalah al-Azhar. Ditambah lagi dengan thesis dan disertasi yang ditulis ahli terkait masalah Fiqh Kontemporer.
E. HUKUM MEMPELAJARI FIQH KONTEMPORER
Hukum mempelajari Fiqh kontemporer berkaitan erat dengan ijtihad. Dan berijtihad dalam masalah kontemporer memiliki beberapa kondisi sebagai berikut:
a. Hukumnya fardhu ‘ain dalam dua kondisi:
i. Bagi mujtahid yang menguasai bidang itu dan tidak ada orang lain selainnya sehingga tidak memungkinkan untuk ditanyakan kepada yang lainnya.
ii. Bagi mujtahid yang mengalami kasus kontemporer itu pada dirinya sendiri, karena seorang mujtahid dilarang bertaqlid kepada yang lain.
b. Hukumnya fardhu kifayah dalam dua kondisi:
i. Tidak dikhawatirkan akan terjadi keterlambatan dalam menjelaskan hukum terkait kasus kontemporer tersebut.
ii. Memungkinkan bagi si penanya menanyakan kasus kontemporer itu kepada banyak mujtahid.
c. Hukumnya mandub dan mustahab dalam dua kondisi:
i. Mujtahid berijtihad sendiri terkait kasus yang belum terjadi, termasuk dalam masalah yang diperselisihkan.
ii. Seorang muqallid menanyakan tentang hukum suatu kasus yang belum terjadi kepada mujtahid. Maka masalah ini biasa disebut Fiqh iftiradhi, yakni Fiqh terkait masalah yang belum terjadi namun diprediksi mungkin terjadi.
F. ADAB DALAM BERBEDA PENDAPAT DALAM MASALAH FIQH KONTEMPORER
Dalam mengkaji suatu kasus kontemporer tidak akan lepas dari masalah khilafiyah. Dan membahas masalah khilafiyah menuntut seseorang harus bijak dan beradab dalam perbedaan pendapat.
Selama suatu kasus kontemporer itu tidak memiliki suatu dalil yang qath’i, baik dari sisi dilalah maupun tsubut-nya, maka pasti akan ditemukan beragam pandangan para ulama terkait masalah itu.
Diantara adab berbeda pendapat yang perlu dilestarikan dalam kajian Fiqh Kontemporer:
a. Menghormati Pendapat Pihak lain, yakni selama perbedaan pendapat tidak menimbulkan fitnah dan kekacauan. Namun, jika terjadi perbedaan pendapat yang mengarah kepada munculnya fitnah dan kekacauan, maka yang menjadi rujukan adalah pemerintah atau mufti yang membantu
pemerintah, sebagaimana disebut dalam kaedah fiqh:
َفَلاِلخا ُعَفْرَ ي ِمِكاَلحا ُمْكُح
“Putusan pemerintah melenyapkan perbedaan”
b. Tidak dibenarkan mengingkari pendapat yang berbeda secara berlebihan, selama masing – masing pendapat berlandaskan dalil – dalil yang mu’tabar. Karena yang paling mengetahui yang paling benar diantara masalah khilafiah adalah Allah. Maka, kewajiban kita adalah mempersempit ruang perbedaan dan tidak memperluasnya.
c. Tetap menjaga ukhuwwah dan persaudaraan dengan mereka yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah khilafiyah, karena syara’ melarang sikap memutus persaudaraan. Allah berfirman:
اوُقَّرَفَ ت َلََو اًعيَِجَ َِّللَّا ِلْبَِبِ اوُمِصَتْعاَو
“dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, …” (QS Ali Imran: 103)
d. Saling berdialog dalam masalah yang diperselisihkan, karena yang demikian akan menumbuhkan sikap saling bertoleransi dengan pihak yang berbeda pendapat dengan kita. Allah berfirman:
ُنَسْحَأ َيِه ِتَِّلِبِ ْمُْلِْداَجَو
“… dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl: 125)
Tujuan berdialog ini bukan agar masing – masing pihak meninggalkan pandangan masing – masing lalu menerima pendapat pihak lain, akan tetapi mencoba menemukan poin – poin kepsepakatan dimana kedua pandangan bertemu di dalamnya, dan mencoba untuk memperdalam dan memperluas poin kesepakatan ini semampunya. Dalam berdialog kedua pihak harus lepas dari egoisme, fanatisme, karena siapa yang mencari kebenaran ia akan siap meninggalkan ego dan fanatismenya dan tidak perduli apakah kebenaran itu ada di sisinya atau pihak lain, kebenaran selalu lebih berhak untuk diikuti (al-Qardhawi, 2005: 200).
Dalam Fiqh Khilafiyah ada sebuah kaedah yang sangat penting namun sayangnya sering disalah pahami, yakni:
بَحَتْسُم ِفَلاِلخا َنِم ُجْوُرُلخا
“keluar dari perbedaan pendapat itu sangat dianjurkan”
Dalam penerapannya, kaedah di atas tidaklah bersifat mutlak, artinya kaedah ini tidak dapat diterapkan dalam segala kondisi, kecuali memenuhi persyaratan berikut:
a. Perbedaan pendapat itu tidaklah mengantarkan pada jatuhnya seseorang kepada apa yang dilarang oleh syara’, seperti meninggalkan sunnah yang tetap, atau mengerjakan yang makruh, atau meninggalkan pengamalan kaedah – kaedah yang telah ditetapkan.
b. Dalil dan landasan pandangan yang berselisih itu tidaklah lemah dan begitu jelas kelemahannya, sehingga perbedaan pandangan seperti ini tidak pantas ditoleransi.
c. Keluar dari suatu masalah khilafiyah jangan sampai menghantarkan pada munculnya masalah khilafiyah lainnya.
d. Orang yang mengamalkan kaedah ini bukanlah seorang mujtahid, karena bagi seorang mujtahid tidak dibenarkan baginya bersikap hati – hati (ihtiyath) dalam masalah yang ia memiliki kompetensi untuk berijtihad di dalamnya. Bahkan mujtahid itu sangat dituntut untuk berfatwa kepada masyarakat awam menurut dalil dan analisa yang terkuat dan paling rajih menurutnya (al-Qardhawi, 1997: 111).
G. METODE BERFATWA DALAM FIQH KONTEMPORER
Menurut al-Qahtani (1424 H: 265-306), metode – metode dalam menganalisa kasus – kasus kontemporer dapat diringkas menjadi tiga metode, yaitu:
a. Metode memperberat dan mempersempit ruang gerak, atau biasa disebut manhaj at- Tadyiiq wa at-Tasydiid ( ِدْيِدْشَّتلا َو ِقْيِيْضتلا ُجَهْنم).
Metode yang seperti inipun ada banyak tingkatannya. Yang paling ringan adalah ekstrim untuk diri sendiri. Dan yang paling berat adalah ekstrim terhadap orang lain, dengan memaksa pendapatnya harus diterima
oleh semua orang. Metode ini memiliki beberapa karakteristik berikut ini:
i. Fanatisme terhadap mazhab yang dianut dan pendapat tertentu dari ulama yang diikuti.
Salah satu contoh dari fenomena ini, di masa kini di tengah terus bertambahnya jumlah para Jemaah haji yang berangkat haji dari berbagai Negara, hingga mengakibatkan berdesak – desakannya Jemaah haji, berimbas kepada sebagian besar ulama mengubah ijtihadnya dalam beberapa masalah fiqh, bahkan terkadang mereka menarjihkan pendapat yang menyelisihi pendapat yang masyhur pada konteks dan zaman yang berbeda, dengan motivasi untuk meringankan dan memudahkan proses manasik haji tersebut. Salah satunya, melempar jumrah pada hari – hari tasyriq, dimulai dari waktu zawal hingga waktu maghrib. Menurut mayoritas ulama tidak sah melempar jumrah setelah maghrib. Walaupun demikian, sebagian ulama muhaqqiqin di masa kini memilih dibolehkannya melempar jumrah setelah maghrib demi memberi ruang waktu yang lebih fleksibel dan memudahkan serta menghindarkan resiko berbahaya jika jamaah haji dibiarkan berdesak – desakan yang dapat mengancam nyawa mereka (al-
Qahthani, 1424 H: 14). Salah seorang ulama kontemporer yang membenarkan melempar Jumrah setelah maghrib Syeikh Yusuf al-Qardhawi (2002, 3:
267-268).
ii. Hanya berpegang pada zahir nash.
Mengagungkan nash dan
mendahulukannya daripada aqal merupakan dasar yang penting dalam beragama. Seorang mujtahid tidak boleh berijtihad dalam masalah yang nash syar’i sudah menjelaskan hukumnya dengan jelas. Sayangnya, penyimpangan juga dapat terjadi di saat seseorang berpegang teguh kepada zahir nash tanpa memahaminya dengan sebenarnya apa tujuan syara’ dibalik nash itu.
Syeikh Yusuf al-Qardhawi menamakan mereka yang hanya berpegang kepada zahir nash dengan kelompok zahiriyyah baru, karena mereka tidak pernah mencium bau fiqh, apalagi berijtihad di dalamnya, kebanyakan mereka dari kelompok ahli hadits, yang kurang menguasai fiqh dan ushul fiqh, tidak pernah mengenal perbedaan pendapat dan pandangan para ulama dan perbedaan tingkatan mereka dalam mengintisarikan (istinbath) hukum.
Mereka tidak pernah memikirkan apa maqshad dan tujuan syara’ dibalik suatu hukum, mereka tidak pernah
paham bahwa hukum dapat berubah seiring berubahnya zaman, tempat, dan kondisi (al-Qardhawi, 1994: 88).
Sebagian orang lisannya begitu ringan mengucapkan kata haram, tanpa memahami bahaya yang ditimbulkan kata ini, lalai akan dalil yang cukup untuk mengharamkan sesuatu. Lebih buruk lagi di saat mereka memaksakan pendapat mengharamkan ini kepada masyarakat awam.
Allah berfirman:
ٌل َلاَح اَذَه َبِذَكْلا ُمُكُتَ نِسْلَأ ُفِصَت اَمِل اوُلوُقَ ت َلََو َنوُرَ تْفَ ي َنيِذَّلا َّنِإ َبِذَكْلا َِّللَّا ىَلَع اوُرَ تْفَ تِل ٌماَرَح اَذَهَو َنوُحِلْفُ ي َلَ َبِذَكْلا َِّللَّا ىَلَع
“dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.” (QS. An- Nahl: 116)
Diantara contoh masalah ini, sebagian pelajar ilmu keIslaman di Iraq begitu ringan mengkafirkan sesama muslim hanya karena sebagian orang menampakkan sebagian dari sifat kekufuran, tanpa membedakan antara satu kasus dengan lainnya, antara yang
terpaksa dengan mereka yang memang memilih kekufuran.
iii. Berlaku ekstrim dalam memberlakukan kaedah Sadd az-Zara’i (Preventif), berlebih – lebihan dalam kehati – hatian (ihtiyath) dalam segala masalah yang diperselisihkan.
Pada dasarnya prinsip Sadd az-Zari’ah merupakan prinsip penting dalam menjaga terwujudnya maqshad dan tujuan syari’ah. Problem muncul disaat prinsip ini diterapkan secara berlebihan, karena yang terjadi justru banyak kemashlahatan yang jelas wujudnya yang akhirnya tergadaikan akibat adanya kemudharatan yang diwahamkan, akhirnya berlebihan dalam menerapkan prinsip ini justru berimbas buruk terhadap aturan syara’.
Sebagai contoh, dilarang menanam anggur karena dikhawatirkan akan dijadikan bahan baku membuat khamar, dilarang membangun rumah berdempet karena dikhawatirkan terjadi zina, dilarang wanita bekerja di luar rumah walaupun jika ianya berpegang pada dhawabith syar’iyyah, bahkan ada kebutuhan yang mendesaknya untuk bekerja, dilarang segala bentuk foto dan televisi walaupun sangat dibutuhkan dan lain sebagainya.
Kemashlahatan dari hal – hal di atas wujudnya jelas, maka jangan
dikorbankan dengan kemudharatan yang wujudnya masih diwahamkan (al- Qardhawi, 1998: 231).
Sebagian mereka yang mengaku mengerti fiqih berlebihan menolak mengambil manfaat dari produk kemajuan Barat, baik system, ilmu, pengetahuan hingga tekhnologi dan penemuan, hanya karena mereka merasa bahwa sikap yang demikian menghadirkan sesuatu yang baru dalam agama dan menyelisihi petunjuk nabi (al-Qardhawi, 1997: 130-150).
b. Metode berlebihan dalam memberi keringanan dan kemudahan. Metode ini biasa disebut manhaj al-Mubalaghah fi at-Tasahul wa at- Taysiir ( ِرْيِسْيَتلا َو ِلُهاَسَّتلا ْيِف ِةَغَلاَبُملا ُجَهْنَم). Metode ini sangat populis, dan tersebar di belahan tempat, baik pada level individu maupun organisasi, terkhusus di masa kini aspek materiil lebih dominan dibandingkan aspek ruhiyah, egoisme lebih kental dibandingkan semangat berkorban untuk yang lain, pragmatisme lebih tersebar dibandingkan semangat berakhlak karimah. Faktor itu semua menjadikan godaan untuk berbuat keburukan jauh lebih marak dibandingkan semangat beramal salih.
Rasulullah sendiri mengisyaratkan tentang zaman ini dan beragam tantangan di dalamnya, dimana orang yang berpegang teguh pada agamanya layaknya orang yang memegang bara api. Menghadapi segala
tantangan di atas, sebagian ulama menyeru agar dalam berfatwa lebih cederung untuk memudahkan, dan memberikan rukhsah dan keringanan dalam kasus – kasus yang memang terdapat landasan keringanan di dalamnya, sebagai upaya mendorong dan memotivasi masyarakat kembali kepada ajaran Islam.
Namun, satu hal yang pasti tekanan zaman dan larinya masyarakat dari ajaran agama tidak boleh dijadikan landasan untuk mengorbankan tsawabit ad-Diin (hal – hal yang sifatnya tetap dalam ajaran agama).
Karena Islam ajarannya selalu relevan dengan segala zaman dan tempat.
Adapun karakteristik metode ini antara lain:
i. Berlebihan dalam menggunakan kaedah mashlahat walaupun terkadang menabrak dan bertentangan dengan nash.
Kemashlahatan yang dibenarkan oleh para ulama adalah kemashlahatan yang sejalan dengan maqashid syari’ah, tidak bertentangan dengan nash, ijmak, dan sangat kuat dugaan mendekati keyakinan bahwa kemashlahatan itu dapat mendatangkan kemanfaatan yang sifatnya umum pada realitanya. Selain dari yang demikian, maka kemashlahatan selain itu tidak diakui.
Diantara contoh mashlahat yang oleh sebagian ulama dianggap tidak muktabar dan dianggap karena
bertentangan dengan nash, dibolehkannya wanita menduduki jabatan kepemimpinan tertinggi dalam sebuah Negara. Hal ini menurut ulama bertentangan dengan nash hadits nabi yang bunyinya:
ٌةَأَرْما ْمُهَرْمأ اْوَّلَو ٌمْوَ ق َحِلْفُ ي ْنَل
“Tidak akan sukses suatu Bangsa yang dipimpin oleh seorang wanita.” (HR. al- Bukhari, Kitab al-Maghazi, Bab Kitab an-nabi SAW, hadits no. 6686).
ii. Mencari – cari ruang rukhshah (keringanan) dan melakukan campur aduk (talfiq) antar mazhab.
Rukhshah yang dibenarkan syara’ yang memiliki landasan yang kuat dalam al- Qur’an maupun hadits tidak ada masalah dalam penerapannya. Namun, mencari – cari ruang rukhshah di antara mazhab fiqh yang berbeda pandangan hingga mencampur adukkan antara satu mazhab dengan lainnya semata – mata mencari aturan yang ringan, maka hal yang demikian tidak disukai bahkan dibenci oleh para ulama.
Nabi Muhammad pernah bersabda:
ِقِفاَنُلما ُلاَدِجَو ِ ِلِاَعلا ُةَّلَزَو ْمُكَّيِإَو
“Hati – hati kalian akan tergelincirnya seorang ulama dan berdebatnya seorang munafik.” (HR. al-Hakim, al- Mustadrak, Kitabma’rifat as-Shahabah,
bab al-Fitan wa al-malahim, hadits no:
8296. Ia berkata: sanadnya shahih).
iii. Banyak melakukan hiyal (mengakali aturan syara’) terhadap perintah – perintah yang ada.
Hiyal pada dasarnya berarti sesuatu yang menghalangi antara seseorang dan sesuatu yang dibencinya menuju apa yang disukainya (Abdul Mun’im, 1:
608). Akan tetapi yang dimaksud dengan hiyal disini adalah tipu muslihat untuk membenarkan yang bathil, dan hukumnya jelas haram.
Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan Umar Ibn al-Khattab ra:
اَهْوُلَمَجَف ُمْوُحُشلا ُمِهْيَلَع ْتَمِ رُح َدْوُهَ يلا ُالله َنَعَل اَهْوُعاَبَ ف
“Allah melaknat Kaum Yahudi, Diharamkan atas mereka lemak Babi, merekapun mencairkannya dan mencampurnya kemudian menjualnya.”
(HR. Muslim, Kitab al-Musaqat, Bab Tahrim Ba’i al-Khamr, hadits no. 4243).
Imam al-Qarafi berkata: “Tidak pantas bagi seorang yang berfatwa apabila dalam suatu masalah ada dua pendapat, salah satu pendapat yang memberatkan (tasydid) sedangkan yang lain pendapat yang meringankan (takhfif), lantas orang itu memberikan fatwa untuk masyarakat awam dengan
pendapat yang memberatkan sedangkan bagi kelompok khusus seperti pemerintah disampaikan pendapat yang meringankan. Yang demikian itu masuk dalam bentuk kefasikan dan pengkhianatan terhadap agama, bahkan mempermainkan umat Islam. Hal itu juga bukti bahwa hati yang berfatwa itu kosong dari mengagungkan Allah dan ketaqwaan kepada-Nya. Ia lebih banyak diisi hatinya dengan permainan dan senda gurau, cinta kekuasaan, dan mendekatkan diri pada makhluk dengan menjauhkan diri dari Allah. Kita berlindung dari sifat orang yang lalai.
Diantara contoh fatwa yang demikian dibolehkannya beberapa bentuk transaksi bisnis yang diharamkan dengan mengakali perintah syara’, seperti jual beli aynah, transaksi ribawi di sektor perbankan, menggugurkan kewajiban berzakat dengan tipu muslihat, atau nikah muhallil yang penuh rekayasa demi menghalalkan istri yang ditalak tiga dapat rujuk dengan suaminya kembali.
c. Metode Moderat, atau yang biasa disebut manhaj wasathi ( ِطَس َولا ُحَهْنَملا ي ). Metode inilah metode yang seimbang dan paling adil, berada di tengah – tengah antara sikap ekstrim dan sikap berlebihan dalam memudahkan.
Adapun karakteristik metode ini:
i. Bersikap ekstrim dalam masalah ushul ( ِل ْوُصُلأا يِف ُدُّدَشتلا)
ii. Bersikap memudahkan dalam masalah furu’/ cabang ( ِع ْو ُرُفلا يِف ُرْيِسْيَتلا).
iii. Mampu membedakan mana masalah Ushul dan masalah furu’ ( ِل ْوُصُلأا َنْيَب ُقْي ِرْفَتلا ِع ْو ُرُفلا َو)
Masalah – masalah ushul, mulai dari aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak, merupakan ruang yang tertutup untuk dilakukan ijtihad di dalamnya. Berbeda dengan masalah – masalah cabang yang sifatnya dzhanni, boleh dipahami apa illat dan tujuannya sehingga dapat diijtihadkan.
Salah satu contoh, dalam metode moderat ini wanita tidak dilarang untuk ziarah kubur, karena yang demikian dapat mengingatkan mereka akan kematian dan akhirat, dengan syarat bahwa wanita itu tidak boleh meninggalkan tanggung jawabnya terhadap suami dan anak di rumah, dan tidak boleh baginya keluar rumah dengan mempertontonkan aurat kepada orang asing atau bertabarruj. Pandangan ini berada di
tengah tengah dan mampu
mengharmonisasikan beragam dalil, baik dalil yang melarang wanita ziarah kubur, dan hadits lain yang mengizinkan ziarah bagi tiap muslim karena mengingatkan kematian.
H. DHAWABITH (BATASAN) DALAM MENGANALISA KASUS DALAM FIQH KONTEMPORER
Al-Qahtani (1424 H: 265-436) menjelaskan bahwa dhawabith (batasan) dalam menganalisa Kasus Dalam Fiqh Kontemporer dapat dibagi menjadi dua bagian:
a. Dhawabith yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan suatu hukum atas kasus Fiqh Kontemporer.
b. Dhawabith yang perlu diperhatikan disaat pengkajian suatu kasus Fiqh Kontemporer.
Adapun dhawabith yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan suatu hukum atas kasus Fiqh Kontemporer yaitu:
a. Memastikan bahwa kasus tersebut sudah terjadi atau belum.
Dasarnya dalam fiqh kontemporer membahas kasus yang sudah benar - benar terjadi, namun terkadang seorang mujtahid ditanyakan tentang beragam masalah yang belum terjadi, baik sifatnya khayalan maupun prediksi dari yang bertanya, ataupun pendalaman terhadap suatu pembahasan.
Terkadang yang ditanyakan ini tidak mendatangkan manfaat baik bagi yang bertanya maupun yang ditanya, mengingat pertanyaan itu jauh dari realitas bahkan terkadang kemungkinan untuk terjadi sangat kecil.
Sudah menjadi kebiasaan bagi para sahabat untuk tidak menjawab pertanyaan kecuali jika yang ditanyakan itu telah benar – benar terjadi.
Diriwayatkan bahwa seseorang datang menghadap Abdullah ibn Umar menanyakannya tentang suatu masalah, lantas Ibn Umar berkata:
ُهْنَع ُالله َيِضَر ِباَّطَلخا َنْب َرَمُع ُتْعَِسَ ْ ِ نِّإَف ْنُكَي َْلِ َّمَع ْلَأْسَت َلَ
ْنُكَي َْلِ اَّمَع َلَأَس ْنَم ُنَعْلَ ي
“Jangan engkau tanyakan suatu yang belum terjadi, Aku mendengan Umar Ibn al-Khattab ra melaknat mereka yang menanyakan tentang sesuatu yang belum terjadi.”
Pada riwayat lain disebutkan, Zayd Ibn Tsabit ra jika ia ditanya seseorang tentang sesuatu, ia berkata: Demi Allah, benarkah demikian sudah terjadi? Jika si penanya berkata: Ya, sudah terjadi, iapun akan membahas masalah itu. Namun jika dijawab: Tidak, belum terjadi, maka iapun diam dan tidak menjawab.
Walaupun demikian, jika suatu masalah sekiranyapun belum terjadi namun kuat dugaan akan terjadi di masa depan, maka disunnahkan untuk dijawab dan dibahas seputarnya. Hal ini demi kejelasan dan diketahuinya apa hukumnya.
Imam Ibn al-Qayyim ra menjelaskan setelah bagaimana ulama Salaf menahan diri tidak mau menjawab pertanyaan seputar kasus yang belum terjadi, beliau berkata:
“sebenarnya, masalah ini ada perinciannya.
Apabila dalam masalah itu ada nash, baik dari al-Qur’an maupun sunnah nabi, atau atsar dari sahabat, maka membahasnya tidaklah makruh. Sekiranya kasus itu tidak ada nash maupun atsar di dalamnya, sekiranya kemungkinannya untuk terjadi kecil, maka utamanya tidak menyibukkan diri membahasnya. Apabila kemungkinannya untuk terjadi besar, bahkan tujuan penanya dari pertanyaannya agar ilmunya lebih luas, sehingga jikapun terjadi ia dapat menyampaikan pandangannya, maka dianjurkan untuk dijawab sesuai dengan pengetahuannya, terkhusus jika si penanya semakin menguasai fiqh dengan jawaban itu.
Maka jika dalam suatu pertanyaan kasus itu ada sebuah kemashlahatan yang sifatnya rajih, maka menjawabnya adalah yang lebih utama.”
b. Fokus pada masalah – masalah yang dibenarkan untuk berijtihad di dalamnya.
Seorang mujtahid harus mengetahui mana ruang yang dibenarkan baginya untuk berijihad dan manapula ruang yang tidak dibenarkan. Batasan ini tidak dapat dipisah dari batasan sebelumnya.
Seorang mujtahid mungkin baginya meninggalkan ijtihad dalam beberapa kasus yang tidak dibenarkan baginya berijtihad di dalamnya karena hukum berijtihad dalam masalah itu sama seperti berijtihad dalam masalah yang belum terjadi dengan pertimbangan tidak ada manfaat dibaliknya,
maka wajib bagi seorang mujtahid untuk tidak menyibukkan dirinya kecuali dengan urusan yang mendatangkan manfaat bagi manusia dan memang dibutuhkan baik untuk dunianya maupun akhiratnya.
Segala pertanyaan yang tujuannya hanya untuk berdebat, adu ilmu, adu fasih, atau menguji tingkat keilmuwan yang berfatwa, atau ingin menampakkan kelemahannya, atau mengajak masuk dalam bidang yang tidak dianjurkan untuk dikaji, dan lain sebagainya, maka seharusnya yang ditanya tidak memperdulikan penanya yang demikian.
Menjawab pertanyaan yang demikian lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya.
Selain itu, tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang sudah ada dalil syar’i yang sifatnya qath’i di dalamnya. Sejalan dengan kaedah:
ِ صَنلا ِدِرْوَم ِْفِ ِداَهِتْجِلال َغاَسُم َلَ
ِ يِعْطَقلا
“Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang terdapat nash yang sifatnya qath’i”.
Dapat diringkas ruang yang dibenarkan ijtihad di dalamnya antara lain:
i. Masalah yang diijtihadkan bukan termasuk masalah yang terdapat nash – nash syar’i yang qath’i dan ijmak ulama terkaitnya.
ii. Nash yang terkait suatu kasus yang diijtihadkan sifatnya zhanni dan dapat ditakwil.
iii. Masalah yang dikaji berada di tengah dua sisi, yang mana masing – masing sisi tampak jelas maqshad syara’ di dalamnya, baik dari sisi itsbat, maupun dari sisi nafy.
iv. Masalah yang diijtihadkan bukan termasuk masalah pokok aqidah dan tauhid, atau terkait dengan mutasyabih al-Qur’an
v. Masalah yang diijtihadkan termasuk kasus baru yang sudah terjadi, atau kemungkinan besar akan terjadi, dan kebutuhan untuk mengetahui hukumnya sangat besar.
c. Memahami suatu kasus dengan pemahaman yang mendalam.
Seorang ahli fiqih yang ahli dalam berijtihad harus memahami kasus yang dikajinya dengan pemahaman yang mendalam dan mampu memikirkannya dengan pemikiran yang benar, sebelum ia memutuskan suatu hukum. Para ulama menyatakan:
ِهِرُّوَصَت ْنَع ٌعْرَ ف ٍءْيَش ىَلَع ُمْكُلحا
“Memutuskan hukum terkait sesuatu termasuk cabang dari pemahaman yang benar terkaitnya.”
Dalam memahami suatu kasus, harus dilihat dari segala sisi dan aspeknya, khususnya yang mempengaruhi lahirnya putusan hukum atasnya.
Imam Ibn al-Qayyim ra berkata: “Seorang mufti maupun hakim tidak akan mampu
memutuskan fatwa maupun hukum dengan benar kecuali ia memiliki dua jenis pemahaman:
i. Memahami realitas dan mampu mengintisarikan suatu ilmu dari realitas tersebut dengan membandingkannya dengan beragam indikator dan tanda – tanda yang terkait dengannya.
ii. Memahami apa yang seharusnya wujud dalam realita, yaitu memahami hukum dan aturan Allah yang diputuskan dalam al-Qur’an maupun sunnah, dan bagaimana menerapkannya dalam realita yang ada.
Ibn al-Qayyim mengemukakan beberapa contoh apa yang disampaikannya di atas, diantaranya: “Jika seorang mufti ditanya tentang seorang yang bersumpah ia tidak akan mengerjakan ini dan itu, kemudian ia mengerjakannya, tidak dibenarkan bagi mufti itu untuk berfatwa bahwa ia telah membatalkan sumpahnya hingga ia meminta informasi yang lebih rinci kepada yang bertanya, apakah orang yang bersumpah itu akalnya sehat atau tidak? Sekiranya ia berakal sehat, lalu apakah ia dalam kondisi bebas dan tidak terpaksa dalam sumpahnya?
Jika ia dalam kondisi bebas, apakah ia ada membuat pengecualian di akhir sumpahnya?
Sekiranya ia tidak membuat pengecualian, lalu apakah ia mengerjakan apa yang
disumpahinya itu dalam kondisi mengetahui, mengingat, dan bebas, atau sebaliknya ia dalam kondisi lupa, bodoh, dan terpaksa?
Jika ia dalam kondisi mengetahui dan bebas, apakah yang menjadi objek sumpah masuk dalam apa yang diniatkannya atau ia tidak berniat memasukannya dengan mengkhususkannya? Melanggar sumpah berbeda kondisinya dari satu kasus dengan kasus lainnya.
d. Berkonsultasi dengan mereka yang ahli di bidang tersebut.
Diantara yang penting dilakukan seorang mujtahid sebelum berijtihad hendaknya ia tidak terburu – buru memutuskan hukum suatu masalah hanya berlandaskan kajian yang belum maksimal sehingga boleh jadi ia akan menyalahkan yang benar atau membenarkan yang salah.
Nabi Muhammad SAW senantiasa mendorong agar seorang mujtahid mengkaji secara maksimal sehingga berat dugaan baginya ia telah mengerahkan upayanya dengan maksimal. Rasulullah bersabda:
َم َتَْ فَأ ْن ْبَ ث َيرَغ اَيْ تُف ِب
ُهاَتْ فَأ ْنَم ىَلَع ُهُْثِْإ اََّنَِّإَف ، ٍت
“Siapa yang memutuskan suatu fatwa tanpa dasar yang kuat, sesungguhnya dosa itu ditanggung oleh yang berfatwa.” (HR. Ahmad, Musnad, vol 1: 321, al-Baihaqi, as-Sunan al- Kubra, vol 10: 112-116)
Rasulullah juga bersabda:
ِراَّنلا ىَلَع ْمُكُأَرْجَأ ىَوْ تَفلا ىَلَع ْمُكُأَرْجَأ
“Orang yang paling berani berfatwa diantara kalian adalah orang yang paling berani masuk neraka diantara kalian.” (HR. ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, Bab al-Futya wa ma fiih min syiddah, vol 1: 69)
Jika seorang mufti memutuskan hukum terkait suatu kasus di luar bidang keahliannya, hendaknya ia bertanya kepada ahli di bidang itu, khususnya dalam kasus – kasus yang baru muncul masa kini, baik yang terkait bidang kedokteran, bidang ekonomi dan keuangan, bidang astronomi, dan lainnya.
Sikap yang demikian sejalan dengan perintah Allah:
َنوُمَلْعَ ت َلَ ْمُتْ نُك ْنِإ ِرْكِ ذلا َلْهَأ اوُلَأْساَف
“…Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang- orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’: 7)
e. Kembali dan berserah diri kepada Allah dan memohon ma’unah dan taufik agar dimudahkan dalam ijtihadnya.
Hal ini merupakan adab yang paling utama yang harus dipraktekkan seorang mujtahid.
Perhatikan bagaimana jawab malaikat kepada Allah:
ُميِكَْلحا ُميِلَعْلا َتْنَأ َكَّنِإ اَنَ تْمَّلَع اَم َّلَِإ اَنَل َمْلِع َلَ َكَناَحْبُس اوُلاَق
“mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Sebagian ulama menganjurkan bagi seorang mufti sebelum berfatwa hendaklah membaca firman Allah:
يِرْدَص ِلِ ْحَرْشا ِ بَر َلاَق يِرْمَأ ِلِ ْرِ سَيَو .
ْنِم ًةَدْقُع ْلُلْحاَو .
ِنّاَسِل ِلِْوَ ق اوُهَقْفَ ي . .
“Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”
Sedangkan dhawabith yang perlu diperhatikan di saat melakukan pengkajian terhadap suatu kasus Fiqh Kontemporer, antara lain:
a. Berijtihad dalam mengkaji hukum syar’i atas suatu kasus.
Ijtihad artinya mengerahkan segenap kemampuan untuk menyingkap hukum syar’i terkait suatu kasus baru dengan mengikuti tata cara istinbath yang dikenal dalam Islam.
Boleh jadi kasus itu punya nash, hanya saja sifatnya zhanni. Boleh jadi tidak ada nash secara langsung, sehingga dilakukan analogi (qiyas).
b. Menyebutkan apa landasan dan dalil hukum saat berfatwa.
Menyebutkan apa landasan dan dalil hukum atas kasus yang difatwakan sifatnya kondisional. Jika yang bertanya adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum syara’, mengetahui bagaimana cara istinbath dalil, atau memang ia meminta disebutkan dalilnya, maka utamanya bagi yang berfatwa
menyebutkan dalilnya, dan hikmah dibalik pensyariatannya. Ini berguna untuk menenangkan hati yang bertanya, serta dapat menambah ilmunya, juga menajamkan pemahamannya. Namun, jika yang bertanya itu seorang yang buta huruf, tidak mengerti masalah dalil, maka menyebutkan dalil untuknya hanya sekedar membuang – buang waktu, dan menyeru yang tidak memahaminya.
c. Menjelaskan alternatif yang halal tatkala memutuskan pengharaman atas sesuatu.
Banyak kasus – kasus yang muncul di masa kini tidak jarang bersumber dari masyarakat non muslim dan jauh dari nilai – nilai keIslaman. Kasus – kasus ini masuk dan mempengaruhi masyarakat Islam kemudian dengan gelombang dan arus yang kuat. Untuk itu, seorang ahli fiqih yang bijaksana hendaknya menjelaskan apa yang dibenarkan dan maqbul secara syara’ dan mana pula bagian yang tertolak dan tidak dapat diterima secara syara’.
d. Memaparkan pendahuluan dalam menjelaskan suatu hukum kasus baru.
Sebelum seorang yang ditanya menjawab terkait hukum kasus yang ditanyakan, utamanya baginya menjelaskan lebih dulu latar belakang dan pendahuluan terkait putusan hukum yang diambilnya. Jika yang ditanya itu ternyata kurang bermanfaat, maka yang menjawab mengarahkan jawabannya
kepada yang lebih mendatangkan manfaat daripada yang ditanyakan.
Perhatikan firman Allah:
ِ جَْلحاَو ِساَّنلِل ُتيِقاَوَم َيِه ْلُق ِةَّلِهَْلْا ِنَع َكَنوُلَأْسَي
“mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji...” (QS. Al-Baqarah: 189)
Yang ditanyakan adalah mengapa bulan itu berubah – ubah bentuknya, terkadang sabit terkadang purnama, lantas Allah menjawab dengan apa yang lebih bermanfaat dan sifatnya lebih praktis dari apa yang ditanyakan.
Terkadang seseorang itu terpaksa menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan, jika memang pertanyaan itu tidak lengkap jika hanya dijawab dengan jawaban tertentu tanpa menghubungkannya dengan hal lain.
Imam al-Bukhari membuat satu bab dalam shahihnya:
ُهْنَع ُهَلَأَس اَِّمِ َرَ ثْكَِبِ َلِئاَّسلا َباَجَأ ْنَم ُبَبِ
“Bab yang menjawab orang yang bertanya melebihi apa yang ditanyakannya.”
Lalu kemudian al-Bukhari menyebutkan hadits yang diriwayatkan Ibn Umar ra.
Rasulullah SAW ditanya: apa yang boleh dipakai orang yang sedang berihram? Lalu Nabi menjawab:
َّلَإ ،َقاَفِلخا َلََو ، ِتَلاْيِواَرَّسلا َلََو َمِئاَمَعلا َلََو َصْيِمَقلا ُسَبْلَ ي َلَ
لا َلَفْسَأ اَمُهَطْقَ يْلو ِْيَّْفُلخا سِيْلَ يْلَ ف ِْيَْلْعَ ن َدَِيَ َلَ ْنَأ ِْيَْ بْعَك
“Tidak boleh memakai kemeja, tidak pula tutup kepala, tidak pula celana, tidak pula khuff (sepatu yang menutup mata kaki), kecuali ia tidak menemukan sandal, lalu ia memakai khuff tetapi ia memotong bagian yang menutupi mata kakinya.” (HR. al-Bukhari, Kitab al-Ilm, Bab Man ajaaba as-Sa’ila bi aktsar mimma sa’alahu, hadits no. 234).
e. Memperhatikan Maqashid Syari’ah.
Maqashid Syari’ah artinya makna dan hikmah yang diperhatikan oleh Syari’ dalam seluruh atau kebanyakan kondisi pensyari’atan, dimana ianya tidak hanya khusus terlihat pada jenis tertentu dari hukum syara’. Masuk dalam kategori ini deskripsi syari’ah dan tujuan umumnya, dan makna – makna yang ada dalam setiap pensyari’atan, sebagaimana masuk juga ke dalamnya makna – makna dan hikmah yang tidak ada dalam setiap aturan hukum, namun ianya tampak jelas dalam kebanyakan aturan hukum.
Yang memperhatikan setiap kasus – kasus baru sangat membutuhkan pemahaman maqashid syari’ah ini, khususnya saat ingin menerapkan nash yang dipahami dalam konteks realitas. Maqashid syari’ah juga mutlak dibutuhkan dalam upaya mengharmonisasikan beberapa dalil yang zahirnya saling berkontradiksi.
Apapun metode istinbath hukum yang digunakan dalam menetapkan hukum pada kasus baru, baik dengan qiyas, atau istishlah, atau istihsan, ataupun uruf yang mu’tabar, kesemuanya itu tidak lepas dari ketelitian dalam memahami tujuan dan maqashid syari’ah.
Di sini akan dipaparkan beberapa aspek penting yang harus diperhatikan seorang yang meneliti kasus kontemporer dalam konteks memperhatikan maqashid syari’ah, yaitu:
(i) Mewujudkan kemashlahatan yang syar’i saat meneliti suatu kasus.
Kemashlahatan yang syar’i adalah segala yang mendatangkan kemanfaatan dan kebaikan dan menolak kerusakan dan keburukan sesuai dengan tujuan syari’ah.
Banyak dikalangan para mujtahid yang memutuskan hukum terkait perkara baru yang berlandaskan kehujjahan mashlahah mursalah, dimana tidak ada satupun nash syar’i yang menyuruh ataupun melarang, akan tetapi ianya sejalan dengan tujuan dan maqashid syari’ah. Memang mayoritas ulama menyepakati kehujjahan mashlahah mursalah. Namun, para ahli ushul fiqh menyebutkan beberapa syarat (dhawabith) menjadikan mashlahat mursalah ini sebagai dalil hukum, yaitu:
Pertama: kemashlahatan itu masuk dalam maqashid syari’ah.
Kedua: kemashlahatan itu tidak bertentangan dengan nash syar’i.
Ketiga: Kemashlahatan itu sifatnya qath’i (pasti), atau kuat dugaan ianya mendatangkan kemashlahatan.
Keempat: Kemashlahatan itu sifatnya kully (menyeluruh)
Kelima: Mewujudkan kemashlahatan itu tidak mengakibatkan terabaikannya kemashlahatan lain yang lebih utama atau seimbang dengannya.
Diantara yang perlu dipahami seorang mujtahid, tatkala ia memutuskan suatu fatwa terkait hukum suatu masalah dengan memperhatikan kondisi tertentu dengan harapan mewujudkan kemashlahatan tertentu, jika ia diminta untuk memberikan fatwa dalam masalah yang sama, namun dengan kondisi yang berbeda, maka iapun harus merevisi fatwanya untuk disesuaikan dengan kondisi dan kemashlahatan yang diharapkan dapat terwujud. Dengan demikian, merubah fatwa ini tidak berarti merubah syara’, melainkan menyesuaikan tujuan syara’
dengan kondisi yang berubah – ubah.
(ii) Memperhatikan kaedah “Raf’u al- Haraj” (Mengangkat kesulitan yang ada)
Segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan besar bagi fisik, mental, maupun materiil, di kondisi sekarang atau yang akan
datang biasa disebut dengan haraj. Maka kaedah raf’u al-Haraj maknanya adalah memudahkan mukallaf dengan menjauhkan segala yang menyulitkan mereka dalam konteks seruan melaksanakan syari’ah.
Allah berfirman:
ٍجَرَح ْنِم ْمُكْيَلَع َلَعْجَيِل َُّللَّا ُديِرُي اَم
“…Allah tidak hendak menyulitkan kamu,…”
Ada beberapa persyaratan yang harus dipastikan keterpenuhannya dalam menerapkan kaedah ini terhadap kasus – kasus kontemporer, yaitu:
Pertama: Kesulitan ini sifatnya hakiki, dan memiliki sebab tertentu, seperti sakit, bepergian, atau sesuatu yang mengakibatkan lahirnya kesulitan diluar kebiasaan.
Kedua: Kemudahan terhadap kesulitan itu tidak bertentangan dengan nash. Kesulitan yang dapat diangkat adalah kesulitan yang tidak ada larangan nash untuk dihilangkan.
Sedangkan kesulitan yang memang dimaksudkan, maka tidak boleh diangkat.
Ketiga: Kesulitan itu sifatnya umum.
(iii) Memperhatikan konsekwensi dan dampak yang ditimpulkan (an-Nazhar ila ma’alat)
Seorang mujtahid harus memperhatikan dalam menerapkan suatu nash, apakah penerapan itu telah merealisasikan tujuan dari nash tersebut atau tidak? Sangat tidak pantas bagi seorang mujtahid tergesa – gesa
mengeluarkan fatwa serta memutuskan suatu hukum sebelum ia memandang apa konsekwensi dan dampak yang ditimbulkan oleh hal tersebut.
Kaedah “an-nazhar ila ma’alat”
(memperhatikan konsekwensi dan dampak suatu hukum) itu merupakan suatu dasar yang tetap dalam syari’at Islam. Hal ini dapat dilihat dalam banyak nash melalui istiqra’
(induksi) sempurna, sebagaimana firman Allah:
اوُلُكْأَتِل ِماَّكُْلحا َلَِإ اَِبِ اوُلْدُتَو ِلِطاَبْلِبِ ْمُكَنْ يَ ب ْمُكَلاَوْمَأ اوُلُكَْتَ َلََو َنوُمَلْعَ ت ْمُتْ نَأَو ِْثِْْلِْبِ ِساَّنلا ِلاَوْمَأ ْنِم اًقيِرَف
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-baqarah: 188)
Dalam penerapan kaedah ini terwujud banyak kebaikan dan kemanfatan. Hal ini terlihat jelas dalam beberapa fatwa dalam konteks jual beli NARKOBA dan minuman keras, dan kepantasan pelakunya dihukum mati sebagai bentuk ta’zir, karena dapat menutup pintu kerusakan, dan mampu memelihara masyarakat dari banyak keburukan.
f. Memahami Fiqh al-Waqi’ (Fiqh Realitas) terkait kondisi yang menaungi suatu kasus.
Seorang mujtahid wajib memperhatikan dalam ijtihadnya berbagai bentuk perubahan, baik tempat, zaman, ataupun kondisi terkait dengan kasus yang ingin diijtihadkan. Tidak dapat dipungkiri banyak dari permasalahan yang sifatnya ijtihadi sangat dipengaruhi oleh perubahan tempat, zaman dan kondisi serta lingkungan yang menyertainya.
Hakikat suatu hukum adalah pengaturan yang ditetapkan syara’ yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dan mendatangkan kemashlahatan serta menolak kemudharatan, dimana hal ini tidak terlepas dari kondisi, tempat dan waktu, serta nilai umum yang berkembang dalam masyarakat itu. Betapa banyak hukum yang diputuskan cocok sebagai pengaturan dan solusi di tempat dan kondisi tertentu, namun setelah berganti generasi, hukum yang sama tidak mampu lagi mewujudkan tujuan dari hukum itu, bahkan kadangkala mengakibatkan munculnya gejolak disebabkan karena zaman, tempat dan kondisinya sudah berubah.
Memperhatikan hal ini, para ahli fiqh di kalangan muta’akkhirin lintas mazhab dalam banyak masalah fiqh berfatwa dengan fatwa yang berbeda dengan imam dan pendiri mazhabnya sendiri. Bahkan sebagian dari mereka menyatakan dengan tegas bahwa sebab di balik perbedaan fatwa itu karena faktor perbedaan tempat, zaman, dan kondisi.
Mereka sebenarnya tidaklah berbeda dari pendahulu mereka, karena sekiranya para pendahulu itu hidup di tempat, zaman, dan
kondisi yang dihadapi ulama muta’akhkhirin pastinya mereka juga ikut berfatwa demikian.
Berdasarkan fakta ini lahirlah kaedah fiqh:
ِناَمْزَلآا ُِّيرَغَ تِب ِماَكْحَلْا ُرُّ يَغَ ت ُرَكْنُ ي َلَ
“Tidak boleh diingkari berubahnya suatu hukum karena berubahnya zaman.”
Diantara contoh konkrit penerapan kaedah ini, bagaimana perbedaan antara Abu Hanifah dengan para muridnya dalam masalah perlu tidaknya penyeleksian saksi.
Menurut Abu Hanifah, selama seorang saksi tidak pernah digugat keadilannya, maka ia boleh bersaksi. Sedangkan menurut dua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad Ibn al- Hasan as-Syaibani, seorang hakim perlu memastikan keadilan saksi terlebih dahulu sebelum mendengarkan kesaksiannya. Hal ini jelas lahir dari perbedaan zaman Abu Hanifah dengan dua muridnya. Di zaman Abu Hanifah masyarakat relatif lebih jujur dibanding zaman kedua muridnya sehingga pertimbangan masing – masing berbeda.
Terkait poin ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama: Hukum syar’i itu sifatnya tetap tidak berubah dengan berubahnya zaman, dan tidak pula berubah karena bergantinya kondisi. Adanya hukum syar’i yang berbeda dari satu kejadian dengan kejadian lain karena perubahan zaman, tempat dan kondisi tidaklah berarti hukum syar’i itu saling bertolak belakang dan kontradiktif, tetapi
lebih karena suatu hukum itu sangat dipengaruhi illat dan alasannya, yang selalu berpengaruh terhadap hukumnya.
Kedua: Fatwa tidaklah berubah karena nafsu dan anggapan baik dan buruk manusia, akan tetapi karena adanya suatu sebab yang mendorong seorang mujtahid merevisi dan menganalisa kembali kondisi yang menyertai hukum.
Ketiga: Perubahan fatwa harus terbatas hanya pada ahli ijtihad dan fatwa, tetapi tidak terbuka pada setiap orang, apalagi yang bekal ilmu syar’inya itu sangat terbatas. Semakin suatu fatwa diputuskan secara berjamaah maka ianya lebih dekat kepada kebenaran.
g. Memperhatikan kebiasaan dan uruf yang berkembang.
Dalam istilah ahli ushul fiqh, yang dimaksud dengan uruf atau adat adalah
ْوُفُّ نلا ِفِ َّرَقَ تسا اَم ُةَمْيِلَّسلا ُعاَبِطلا ُهْتَّقَلَ تو ِلْوُقُعلا ِةَهِج ْنِم ِس
ِلْوُ بَقلِبِ
“Suatu kebiasan yang tertanam dalam jiwa dan sifatnya logis, dan diterima dengan baik oleh tabiat manusia yang sehat.”
Para ahli fiqh menjadikan uruf sebagai rujukan dan pertimbangan dalam menetapkan suatu hukum syar’i dalam masalah yang begitu banyak, diantaranya usia mulai haidh, usia baligh, perbuatan yang bertentangan dengan shalat, najis yang ditoleransi, lafaz ijab dan qabul, dan masalah lainnya dalam bidang
jual beli, waqf, sumpah, pengakuan, wasiat, dan lain sebagainya.
Karenanya, dirumuskanlah suatu kaedah:
ٌةَمَّكَُمُ ُةَداَعلا
“Adat kebiasaan dapat dijadikan sebagai sumber hukum.” (as-Suyuthi, tt: 99).
Kaedah di atas diintisarikan dari sebuah atsar yang mauquf dari Abdullah ibn Mas’ud ra:
ٌنَسَح الله َدْنِع َوُهَ ف ًانَسَح َنْوُمِلْسُلما ُهآَر اَم
“Apa yang dipandang baik oleh orang – orang Islam, maka ianya juga dipandang baik di sisi Allah.” (HR. Anas ibn Malik, al-Muwaththa’, Kitab Abwab al-Hudud fi az-Zina, Bab al-hadd fi as-Syurb, hadits no 709).
Para ulama ushul fiqh telah membuat persyaratan kapan suatu uruf atau kebiasaan dianggap mu’tabar dan diakui, sebagai perlindungan bagi hukum Islam dari perubahan dan gejolak, yaitu:
Pertama: Uruf itu harus bersifat berkesinambungan dan dominan.
Kedua: Uruf yang ingin dijadikan sumber hukum haruslah sudah berjalan saat dijadikan rujukan hukum.
Ketiga: Uruf hendaklah tidak menyelisihi ungkapan yang menyelisihinya.
Keempat: Uruf hendaknya tidak bertentangan dengan nash syar’i, sehingga mengamalkan uruf itu mengakibatkan diabaikan suatu nash syar’i.
Memperhatikan uruf dan adat kebiasaan yang berkaitan dengan individu maupun masyarakat saat berijtihad merupakan hal yang mutlak dibutuhkan setiap mujtahid dan mufti. Bahkan kebutuhan terkait masalah ini lebih ditekankan lagi di masa kini di saat manusia yang tinggal di kawasan yang luas berbeda kebiasan antara satu dengan lainnya, namun terasa dekat satu sama lain akibat tekhnologi informasi dan transportasi.
Sehingga dalam berfatwa, serang mujtahid haruslah memperhatikan kebiasaan dari daerah dimana yang bertanya itu tinggal, agar putusan hukumnya lebih sejalan dengan kemashlahatan.
h. Menyampaikan fatwa dengan penuh kejelasan dan penjabaran yang terang.
Seseorang yang berfatwa tidak cukup hanya menjelaskan apa hukumnya semata, tetapi penjelasannya juga harus jelas dan tidak dipenuhi ambiguitas, sehingga fatwanya itu jangan sampai menimbulkan gejolak dan perselisihan dalam memahami makna yang dimaksudkannya di balik fatwa itu.
Masuk juga dalam konteks ini, urgensi seorang yang berfatwa menggunakan bahasa yang komunikatif yang sesuai dengan zamannya, dan semaksimal mungkin berupaya menghindari penggunaan istilah – istilah yang sulit, kata – kata asing, dan berupaya mempermudah dengan pemilihan kosa kata yang tepat.
Imam Ali ra pernah berkata:
َبَّذَكُي ْنَأ َنْوُدْيِرُتَأ ،َنْوُرِكْنُ ي اَم اْوُعَدَو َنْوُ فِرْعَ ي اَِبِ َساَّنلا اْوُ ثِ دَح ُهُلْوُسَرَو ُالله
“Bicaralah dengan manusia dengan bahasa yang dipahaminya, dan tinggalkanlah apa yang mengundang pengingkaran dari mereka.
Apakah engkau ingin Allah dan Rasul-Nya disutakan?”
i. Selalu berpegang pada ucapan “saya tidak tau” jika ia ditanyakan tentang masalah yang tidak ada pengetahuannya tentangnya.
Mengatakan “saya tidak mengetahuinya” bagi seorang mujtahid yang ditanya tentang masalah yang memang bukan kapasitasnya untuk menjawab tidaklah merendahkan kedudukan mujtahid itu, karena sekalipun seorang itu alim dalam banyak hal, tetap saja ilmunya itu terbatas. Ia tidak mungkin mengetahui segala hal. Selanjutnya, jika seseorang berani menjawab suatu masalah yang ia tidak memiliki pengetahuan tentangnya maka iapun jatuh dalam dusta dan penipuan. Karenanya Ibn Abbas ra berkata:
ُهُلِتاَقم ْتَبْ يِصُأ يِرْدَأ َلَ ُِلِاَعلا َكَرَ ت اَذِإ
“Jika seorang alim meninggalkan perkataan
“saya tidak tahu” maka telah terkenalah ia dengan sesuatu yang dapat membunuhnya.”
I. URGENSI IJTIHAD SECARA BERJAMAAH DALAM MENYELESAIKAN BERAGAM KASUS FIQH KONTEMPORER
Ijtihad Jama’i, atau Ijtihad yang dilaksanakan secara berjamaah merupakan salah satu sarana yang sangat dibutuhkan di tengah – tengah umat Islam di masa kini, bahkan ianya telah tersebar dan berkembang secara meluas (Syamsul Bahri Andi Galigo, 2002: 171).
Urgensi Ijtihad Jama’i dalam penyelesaian kasus Fiqh Kontemporer dapat dilihat pada poin – poin berikut:
a. Ijtihad Jama’i berperan besar dalam memelihara kesatuan umat dan terintegrasinya ummat keseluruhan, baik dalam bidang pemikiran, politik, maupun sosial kemasyarakatan.
Imam ad-Darimi dalam musnadnya meriwayatkan dari al-Musayyib ibn Rafi’, ia berkata:
اْوُ ناَك م لسو هيلع الله ى لص ِالله ِلْوُسَر ُةَباَحَص ِنِعي –
– اذإ
مَّلَسو هيلع الله ى لَص الله ِلْوُسَر ْنِم اَهْ يِف َسْيَل ٌةَّيِضَق مبِ تلزن اْوَأَر اَمْيِف ُّقَلحاَف اْوُعَْجَأَو اََلْ اْوُعَمَتْجا ٌرمأ
“Para sahabat Rasulullah apabila terjadi suatu peristiwa di tengah – tengah mereka, dan Rasulullah tidak memberikan instruksi apapun terkaitnya, mereka berkumpul dan bersepakat.
Maka kebenaran sejalan dengan apa yang mereka pandang.” (ad-Darimi, al-Musnad,
Kitab al-Muqaddimah, bab at-Tawarru’ ‘an al- Jawab fiima laysa…, Hadits no: 114)
b. Ijtihad Jama’i berperan besar dalam memberikan perhatian terhadap perubahan zaman, dan luasnya komunikasi dan interaksi antar manusia.
Di era satelit dan internet dewasa ini, banyak sekali pihak yang tidak memiliki pondasi yang kuat terkait ilmu – ilmu kesilaman justru masuk dan mendudukkan dirinya laksana ulama besar, padahal bekal keilmuwan mereka sangat sedikit. Untuk itu, era yang seperti ini membutuhkan penanggulangan secara bersama – sama di antara para ulama.
Jika di masa lalu, generasi para sahabat, umat ini disegani, itu semua tidak lepas dari diterapkannya manhaj jama’ah, dalam menjaga hak umat, melindunginya dari ketergelinciran dan kesalahan fatal, serta menghadang terjadinya perpecahan umat.
Melalui ijtihad jama’i, para ulama yang yang memiliki spesialisasi ilmu yang beragam duduk bersama, sehingga putusan fatwa yang dihasilkan juga memiliki kewibawaan dan dihormati di hadapan umat.
Lahirnya banyak majma’ - majma’ fiqhi yang tersebar di dunia Islam merupakan suatu langkah yang baik. Lebih utama lagi jika majma’ fiqhi itu memiliki cakupan dan menghimpun ulama dari beragam negri Islam yang berbeda. Selain itu, perlu diperhatikan dengan baik seleksi terhadap keanggotaan majma’ fiqhi tersebut, sehingga tidak terkesan
ada yang menjadi anggota yang tidak sesuai dengan kompetensi standar.
c. Ijtihad Jama’i mampu merespon lahirnya banyak kasus yang menyertai pertumbuhan dan berkembanganya kehidupan.
Sebagai contoh, bagaimana berinteraksi dengan lembaga perbankan dan kredit untuk tujuan bisnis, pertanian, properti dan beragam permasalahan terkait asuransi, perusahaan perseroan tertutup. Begitu pula dengan beragam aqad - aqad ekonomi, masalah transplantasi, dan lain sebagainya.
Masalah seperti ini tidak mampu hanya diputuskan oleh satu orang saja tanpa bermusyawarah dan bertukar pendapat dengan para mujtahid lainnya. (Sya’ban Muhammad Ismail, 1998: 119-120)
d. Ijtihad Jama’i berperan mendorong lahirnya spesialisasi keilmuwan di tingkat individu ulama.
Para ulama di masa kini mendalami spesialisasi ilmu tertentu dari cabang – cabang ilmu keIslaman, seperti spesialisasi dalam bidang bahasa Arab, atau Tafsir, atau Fiqh, atau Ushul Fiqh, dan cabang pengetahuan lainnya. Para ulama di masa kini hampir tidak ada yang mampu menguasai perbagai bidang dengan mendalam, sebagaimana era ulama ensklopedi di masa lalu. Banyak sedikit sekali ahli fiqh yang terhimpun di dalam dirinya semua persyaratan untuk berijtihad. Untuk itu, harus dilakukan ijtihad jama’i agar