• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE BERFATWA DALAM FIQH KONTEMPORER

Dalam dokumen Scanned by CamScanner (Halaman 21-32)

G. METODE BERFATWA DALAM FIQH KONTEMPORER

Menurut al-Qahtani (1424 H: 265-306), metode – metode dalam menganalisa kasus – kasus kontemporer dapat diringkas menjadi tiga metode, yaitu:

a. Metode memperberat dan mempersempit ruang gerak, atau biasa disebut manhaj at-Tadyiiq wa at-Tasydiid ( ِدْيِدْشَّتلا َو ِقْيِيْضتلا ُجَهْنم).

Metode yang seperti inipun ada banyak tingkatannya. Yang paling ringan adalah ekstrim untuk diri sendiri. Dan yang paling berat adalah ekstrim terhadap orang lain, dengan memaksa pendapatnya harus diterima

oleh semua orang. Metode ini memiliki beberapa karakteristik berikut ini:

i. Fanatisme terhadap mazhab yang dianut dan pendapat tertentu dari ulama yang diikuti.

Salah satu contoh dari fenomena ini, di masa kini di tengah terus bertambahnya jumlah para Jemaah haji yang berangkat haji dari berbagai Negara, hingga mengakibatkan berdesak – desakannya Jemaah haji, berimbas kepada sebagian besar ulama mengubah ijtihadnya dalam beberapa masalah fiqh, bahkan terkadang mereka menarjihkan pendapat yang menyelisihi pendapat yang masyhur pada konteks dan zaman yang berbeda, dengan motivasi untuk meringankan dan memudahkan proses manasik haji tersebut. Salah satunya, melempar jumrah pada hari – hari tasyriq, dimulai dari waktu zawal hingga waktu maghrib. Menurut mayoritas ulama tidak sah melempar jumrah setelah maghrib. Walaupun demikian, sebagian ulama muhaqqiqin di masa kini memilih dibolehkannya melempar jumrah setelah maghrib demi memberi ruang waktu yang lebih fleksibel dan memudahkan serta menghindarkan resiko berbahaya jika jamaah haji dibiarkan berdesak – desakan yang dapat mengancam nyawa mereka

(al-Qahthani, 1424 H: 14). Salah seorang ulama kontemporer yang membenarkan melempar Jumrah setelah maghrib Syeikh Yusuf al-Qardhawi (2002, 3:

267-268).

ii. Hanya berpegang pada zahir nash.

Mengagungkan nash dan

mendahulukannya daripada aqal merupakan dasar yang penting dalam beragama. Seorang mujtahid tidak boleh berijtihad dalam masalah yang nash syar’i sudah menjelaskan hukumnya dengan jelas. Sayangnya, penyimpangan juga dapat terjadi di saat seseorang berpegang teguh kepada zahir nash tanpa memahaminya dengan sebenarnya apa tujuan syara’ dibalik nash itu.

Syeikh Yusuf al-Qardhawi menamakan mereka yang hanya berpegang kepada zahir nash dengan kelompok zahiriyyah baru, karena mereka tidak pernah mencium bau fiqh, apalagi berijtihad di dalamnya, kebanyakan mereka dari kelompok ahli hadits, yang kurang menguasai fiqh dan ushul fiqh, tidak pernah mengenal perbedaan pendapat dan pandangan para ulama dan perbedaan tingkatan mereka dalam mengintisarikan (istinbath) hukum.

Mereka tidak pernah memikirkan apa maqshad dan tujuan syara’ dibalik suatu hukum, mereka tidak pernah

paham bahwa hukum dapat berubah seiring berubahnya zaman, tempat, dan kondisi (al-Qardhawi, 1994: 88).

Sebagian orang lisannya begitu ringan mengucapkan kata haram, tanpa memahami bahaya yang ditimbulkan kata ini, lalai akan dalil yang cukup untuk mengharamkan sesuatu. Lebih buruk lagi di saat mereka memaksakan pendapat mengharamkan ini kepada masyarakat awam.

Allah berfirman:

ٌل َلاَح اَذَه َبِذَكْلا ُمُكُتَ نِسْلَأ ُفِصَت اَمِل اوُلوُقَ ت َلََو َنوُرَ تْفَ ي َنيِذَّلا َّنِإ َبِذَكْلا َِّللَّا ىَلَع اوُرَ تْفَ تِل ٌماَرَح اَذَهَو َنوُحِلْفُ ي َلَ َبِذَكْلا َِّللَّا ىَلَع

“dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.

Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl: 116)

Diantara contoh masalah ini, sebagian pelajar ilmu keIslaman di Iraq begitu ringan mengkafirkan sesama muslim hanya karena sebagian orang menampakkan sebagian dari sifat kekufuran, tanpa membedakan antara satu kasus dengan lainnya, antara yang

terpaksa dengan mereka yang memang memilih kekufuran.

iii. Berlaku ekstrim dalam memberlakukan kaedah Sadd az-Zara’i (Preventif), berlebih – lebihan dalam kehati – hatian (ihtiyath) dalam segala masalah yang diperselisihkan.

Pada dasarnya prinsip Sadd az-Zari’ah merupakan prinsip penting dalam menjaga terwujudnya maqshad dan tujuan syari’ah. Problem muncul disaat prinsip ini diterapkan secara berlebihan, karena yang terjadi justru banyak kemashlahatan yang jelas wujudnya yang akhirnya tergadaikan akibat adanya kemudharatan yang diwahamkan, akhirnya berlebihan dalam menerapkan prinsip ini justru berimbas buruk terhadap aturan syara’.

Sebagai contoh, dilarang menanam anggur karena dikhawatirkan akan dijadikan bahan baku membuat khamar, dilarang membangun rumah berdempet karena dikhawatirkan terjadi zina, dilarang wanita bekerja di luar rumah walaupun jika ianya berpegang pada dhawabith syar’iyyah, bahkan ada kebutuhan yang mendesaknya untuk bekerja, dilarang segala bentuk foto dan televisi walaupun sangat dibutuhkan dan lain sebagainya.

Kemashlahatan dari hal – hal di atas wujudnya jelas, maka jangan

dikorbankan dengan kemudharatan yang wujudnya masih diwahamkan (al-Qardhawi, 1998: 231).

Sebagian mereka yang mengaku mengerti fiqih berlebihan menolak mengambil manfaat dari produk kemajuan Barat, baik system, ilmu, pengetahuan hingga tekhnologi dan penemuan, hanya karena mereka merasa bahwa sikap yang demikian menghadirkan sesuatu yang baru dalam agama dan menyelisihi petunjuk nabi (al-Qardhawi, 1997: 130-150).

b. Metode berlebihan dalam memberi keringanan dan kemudahan. Metode ini biasa disebut manhaj al-Mubalaghah fi Tasahul wa at-Taysiir ( ِرْيِسْيَتلا َو ِلُهاَسَّتلا ْيِف ِةَغَلاَبُملا ُجَهْنَم). Metode ini sangat populis, dan tersebar di belahan tempat, baik pada level individu maupun organisasi, terkhusus di masa kini aspek materiil lebih dominan dibandingkan aspek ruhiyah, egoisme lebih kental dibandingkan semangat berkorban untuk yang lain, pragmatisme lebih tersebar dibandingkan semangat berakhlak karimah. Faktor itu semua menjadikan godaan untuk berbuat keburukan jauh lebih marak dibandingkan semangat beramal salih.

Rasulullah sendiri mengisyaratkan tentang zaman ini dan beragam tantangan di dalamnya, dimana orang yang berpegang teguh pada agamanya layaknya orang yang memegang bara api. Menghadapi segala

tantangan di atas, sebagian ulama menyeru agar dalam berfatwa lebih cederung untuk memudahkan, dan memberikan rukhsah dan keringanan dalam kasus – kasus yang memang terdapat landasan keringanan di dalamnya, sebagai upaya mendorong dan memotivasi masyarakat kembali kepada ajaran Islam.

Namun, satu hal yang pasti tekanan zaman dan larinya masyarakat dari ajaran agama tidak boleh dijadikan landasan untuk mengorbankan tsawabit ad-Diin (hal – hal yang sifatnya tetap dalam ajaran agama).

Karena Islam ajarannya selalu relevan dengan segala zaman dan tempat.

Adapun karakteristik metode ini antara lain:

i. Berlebihan dalam menggunakan kaedah mashlahat walaupun terkadang menabrak dan bertentangan dengan nash.

Kemashlahatan yang dibenarkan oleh para ulama adalah kemashlahatan yang sejalan dengan maqashid syari’ah, tidak bertentangan dengan nash, ijmak, dan sangat kuat dugaan mendekati keyakinan bahwa kemashlahatan itu dapat mendatangkan kemanfaatan yang sifatnya umum pada realitanya. Selain dari yang demikian, maka kemashlahatan selain itu tidak diakui.

Diantara contoh mashlahat yang oleh sebagian ulama dianggap tidak muktabar dan dianggap karena

bertentangan dengan nash, dibolehkannya wanita menduduki jabatan kepemimpinan tertinggi dalam sebuah Negara. Hal ini menurut ulama bertentangan dengan nash hadits nabi yang bunyinya:

ٌةَأَرْما ْمُهَرْمأ اْوَّلَو ٌمْوَ ق َحِلْفُ ي ْنَل

“Tidak akan sukses suatu Bangsa yang dipimpin oleh seorang wanita.” (HR. al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, Bab Kitab an-nabi SAW, hadits no. 6686).

ii. Mencari – cari ruang rukhshah (keringanan) dan melakukan campur aduk (talfiq) antar mazhab.

Rukhshah yang dibenarkan syara’ yang memiliki landasan yang kuat dalam al-Qur’an maupun hadits tidak ada masalah dalam penerapannya. Namun, mencari – cari ruang rukhshah di antara mazhab fiqh yang berbeda pandangan hingga mencampur adukkan antara satu mazhab dengan lainnya semata – mata mencari aturan yang ringan, maka hal yang demikian tidak disukai bahkan dibenci oleh para ulama.

Nabi Muhammad pernah bersabda:

ِقِفاَنُلما ُلاَدِجَو ِ ِلِاَعلا ُةَّلَزَو ْمُكَّيِإَو

“Hati – hati kalian akan tergelincirnya seorang ulama dan berdebatnya seorang munafik.” (HR. Hakim, al-Mustadrak, Kitabma’rifat as-Shahabah,

bab al-Fitan wa al-malahim, hadits no:

8296. Ia berkata: sanadnya shahih).

iii. Banyak melakukan hiyal (mengakali aturan syara’) terhadap perintah – perintah yang ada.

Hiyal pada dasarnya berarti sesuatu yang menghalangi antara seseorang dan sesuatu yang dibencinya menuju apa yang disukainya (Abdul Mun’im, 1:

608). Akan tetapi yang dimaksud dengan hiyal disini adalah tipu muslihat untuk membenarkan yang bathil, dan hukumnya jelas haram.

Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan Umar Ibn al-Khattab ra:

اَهْوُلَمَجَف ُمْوُحُشلا ُمِهْيَلَع ْتَمِ رُح َدْوُهَ يلا ُالله َنَعَل اَهْوُعاَبَ ف

“Allah melaknat Kaum Yahudi, Diharamkan atas mereka lemak Babi, merekapun mencairkannya dan mencampurnya kemudian menjualnya.”

(HR. Muslim, Kitab al-Musaqat, Bab Tahrim Ba’i al-Khamr, hadits no. 4243).

Imam al-Qarafi berkata: “Tidak pantas bagi seorang yang berfatwa apabila dalam suatu masalah ada dua pendapat, salah satu pendapat yang memberatkan (tasydid) sedangkan yang lain pendapat yang meringankan (takhfif), lantas orang itu memberikan fatwa untuk masyarakat awam dengan

pendapat yang memberatkan sedangkan bagi kelompok khusus seperti pemerintah disampaikan pendapat yang meringankan. Yang demikian itu masuk dalam bentuk kefasikan dan pengkhianatan terhadap agama, bahkan mempermainkan umat Islam. Hal itu juga bukti bahwa hati yang berfatwa itu kosong dari mengagungkan Allah dan ketaqwaan kepada-Nya. Ia lebih banyak diisi hatinya dengan permainan dan senda gurau, cinta kekuasaan, dan mendekatkan diri pada makhluk dengan menjauhkan diri dari Allah. Kita berlindung dari sifat orang yang lalai.

Diantara contoh fatwa yang demikian dibolehkannya beberapa bentuk transaksi bisnis yang diharamkan dengan mengakali perintah syara’, seperti jual beli aynah, transaksi ribawi di sektor perbankan, menggugurkan kewajiban berzakat dengan tipu muslihat, atau nikah muhallil yang penuh rekayasa demi menghalalkan istri yang ditalak tiga dapat rujuk dengan suaminya kembali.

c. Metode Moderat, atau yang biasa disebut manhaj wasathi ( ِطَس َولا ُحَهْنَملا ي ). Metode inilah metode yang seimbang dan paling adil, berada di tengah – tengah antara sikap ekstrim dan sikap berlebihan dalam memudahkan.

Adapun karakteristik metode ini:

i. Bersikap ekstrim dalam masalah ushul ( ِل ْوُصُلأا يِف ُدُّدَشتلا)

ii. Bersikap memudahkan dalam masalah furu’/ cabang ( ِع ْو ُرُفلا يِف ُرْيِسْيَتلا).

iii. Mampu membedakan mana masalah Ushul dan masalah furu’ ( ِل ْوُصُلأا َنْيَب ُقْي ِرْفَتلا ِع ْو ُرُفلا َو)

Masalah – masalah ushul, mulai dari aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak, merupakan ruang yang tertutup untuk dilakukan ijtihad di dalamnya. Berbeda dengan masalah – masalah cabang yang sifatnya dzhanni, boleh dipahami apa illat dan tujuannya sehingga dapat diijtihadkan.

Salah satu contoh, dalam metode moderat ini wanita tidak dilarang untuk ziarah kubur, karena yang demikian dapat mengingatkan mereka akan kematian dan akhirat, dengan syarat bahwa wanita itu tidak boleh meninggalkan tanggung jawabnya terhadap suami dan anak di rumah, dan tidak boleh baginya keluar rumah dengan mempertontonkan aurat kepada orang asing atau bertabarruj. Pandangan ini berada di

tengah tengah dan mampu

mengharmonisasikan beragam dalil, baik dalil yang melarang wanita ziarah kubur, dan hadits lain yang mengizinkan ziarah bagi tiap muslim karena mengingatkan kematian.

H. DHAWABITH (BATASAN) DALAM

Dalam dokumen Scanned by CamScanner (Halaman 21-32)