KASUS-KASUS FIQH KONTEMPORER DALAM BIDANG IBADAH
A. PEMANFAATAN AIR HASIL PENGOLAHAN LIMBAH
Air adalah sumber kehidupan. Kebutuhan manusia terhadap air sangatlah pokok. Setiap hari manusia membuang air berupa limbah, lalu membutuhkan air untuk kebutuhan hidup. Beragam air dibuang manusia setiap harinya, mulai dari buang air kecil (kencing), mencuci baju, mencuci motor, dan masih banyak lainnya.
Pada biasanya, air yang dibuang manusia akan bermuara ke sungai dan pada akhirnya dibuang ke laut. Jika air hasil pembuangan manusia itu digunakan kembali, tentu saja tidak sehat dan tidak suci, serta tidak dapat mensucikan.
Di masa kini, dengan kecanggihan teknologi saat ini, ada beberapa perusahaan yang menyediakan jasa untuk pengolahan limbah air. Air kotor dan najis dicampur menjadi satu, kemudian diolah menjadi air bersih dan dapat digunakan kembali oleh manusia. Hal ini lantas melahirkan pertanyaan seputar hukum pemanfaatan air hasil pengolahan limbah ini. (Nazih Hammad, 1996: 64)
Apakah air hasil pengolahan limbah ini sifatnya suci dan mensucikan, serta dapat digunakan untuk konsumsi dan segenap pemanfaatan lainnya?, atau ianya tetap dianggap najis, mengingat ianya sebelum diolah merupakan air limbah?
Para ulama fiqh membagi air menjadi tiga kelompok sesuai dengan banyak sedikitnya atau berdasarkan keadaannya, yaitu:
(1) Air Mutlaq, yaitu air yang sesuai dengan sifat asalnya, seperti air yang turun dari langit atau keluar dari bumi, yaitu; air hujan, air laut, air sungai, air telaga, dan setiap air yang keluar dari bumi, salju atau air es yang mencair. Dan menurut ittifaq ulama, ia suci dan mensucikan.( Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 2004: 4)
(2) Air Musyammas, yaitu air yang terkena panas matahari. Ia thahir muthahhir makruh (suci dan mensucikan, namun makruh ketika digunakan), dengan syarat; bila air itu berada di negeri yang panas, bila air itu diletakkan dalam bejana dari logam selain emas dan perak, seperti besi, tembaga dan logam apapun lainnya yang dapat ditempa, dan bila air itu digunakan pada tubuh manusia, sekalipun sudah meninggal dunia, atau binatang yang bisa dijangkit penyakit kulit, seperti kuda.( Anshory Umar Sitangggal, Fiqh Syafi’i Sistimatis; Bab Thaharah dan Shalat, 1992: 33)
(3) Air Mutanajjis, yaitu air yang terkena najis.
Dalam hal ini, ia terbagi menjadi dua macam;
a. Air Sedikit, maksudnya air yang kurang dari dua qullah. Air ini menjadi najis ketika masuk najis ke dalamnya, meskipun sedikit. Ukuran dua qullah
adalah 216 liter, atau jika untuk ukuran bak, panjang, lebar dan dalamnya masing-masing 1 hasta.
b. Air Banyak, maksudnya air dua qullah atau lebih. Air ini tidak menjadi najis ketika tercampur dengan najis, selama tidak merubah salah satu di antara sifatnya yang tiga, yakni warna, rasa atau baunya.
Ibnu Mundzir berkata: “Para ulama telah bersepakat bahwa air sedikit atau banyak jika terkena najis lalu berubah rasa, warna, atau baunya, maka ia terkena hukum najis.” (Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Vol. 1: 110).
Berdasarkan penjelasan di atas, mengenai hukum bersuci Dengan Air Hasil Daur Ulang dari Air Limbah dan Mutanajjis, perlu dikenali terlebih dahulu dua macam air yang dapat berubah menjadi najis dan yang tidak, yakni air yang mengalir dan air yang tergenang.
Dalam kitabnya “al-Umm”, Imam asy-Syafi’i (vol 1: 23) menyebutkan membahas tentang air Mengalir: “Apabila di dalam air yang mengalir itu terdapat sesuatu yang diharamkan seperti bangkai, darah, atau sejenisnya dan berhenti pada suatu muara, maka air yang tergenang itu menjadi najis bila kadar air lebih sedikit dari jumlah bangkai. Akan tetapi bila airnya lebih banyak maka ia tidak dikategorikan najis, kecuali apabila rasa, warna dan baunya telah berubah karena najis, sebab air yang mengalir akan menghanyutkan semua kotoran.”
Sedangkan terkait air tergenang, as-Syafi’i membaginya menjadi dua kondisi:
1. Air tidak menjadi najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, kecuali apabila warna, bau dan rasanya telah berubah.
2. Air menjadi najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, walaupun yang haram itu tidak terdapat padanya.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka yang menjadi inti pembahasan tentang air menjadi najis adalah pada kadar air yang sampai pada dua qullah atau tidak, dan menyangkut rasa, bau dan warnanya.
Di zaman Rasulullah, pemanfaatan air hasil olah limbah memang belum ada, karena teknologi pengolahan limbah ini baru ada pada masa modern ini. Namun, esensi dari terapan teknologi ilmiah ini pada dasarnya sudah tertuang di dalam al-Qur’an berbabad-abad yang lalu, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nuur ayat 34:
ُجُرَْيَ َقْدَوْلا ىَرَ تَ ف اًماَكُر ُهُلَعَْيَ َُّثْ ُهَنْ يَ ب ُفِ لَؤُ ي َُّثْ ًبِاَحَس يِجْزُ ي َالله َّنَأ َرَ ت َْلَِأ ِ زَ نُ يَو ِهِلَلاِخ ْنِم ُءاَشَي ْنَم ِهِب ُبيِصُيَ ف ٍدَرَ ب ْنِم اَهيِف ٍلاَبِج ْنِم ِءاَمَّسلا َنِم ُل
َ ب اَنَس ُداَكَي ُءاَشَي ْنَم ْنَع ُهُفِرْصَيَو راَصْب َلِْْبِ ُبَهْذَي ِهِقْر
“Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”
Ayat di atas jelas menginspirasi munculnya kajian terkait daur ulang air kotor menjadi air bersih. Karena air laut yang asin saja dapat menjadi tawar setelah diolah di awan yang berlapis-lapis.
Lantas bagaimana pula dengan air-air sungai di daerah perkotaan yang notabene airnya sudah berubah warna, bau dan banyak bangkai di
dalamnya, kemudian diolah sedemikian rupa sehingga menjadi terlihat jernih, apakah boleh digunakan untuk bersuci atau tidak ?
Dalam masalah ini, sangat penting untuk melihat apa yang menjadi ‘illah-nya. Para ulama menyatakan bahwa ‘illah perubahan air thahirun wa muthahirun (suci dan mensucikan) menjadi mutanajjis, ketika air menjadi bau, berwarna, dan rasanya berubah melalui pendekatan mashlahat, sebagaimana Allah telah mencontohkan proses perubahan air laut yang asin mentadi tawar, sebagaimana firman Allah di atas. Dimana proses daur ulang air limbah dan air mutanajjis menjadi steril dan bebas kuman, serta sifat najisnya yakni bau, warna dan rasanya sudah kembali kepada sifat asalnya, maka ia menjadi thahirun wa mutahirun.
Hal ini juga sesuai dengan konsep perubahan hukum yang ada pada kaidah fiqh:
َ ت َغ ُّ ي
“Perubahan hukum terjadi karena perubahan tempat, waktu dan keadaan.” (Muhammad Shidqi ibn Ahmad al-Barnu, al-Wajiz fi Idah al-Fiqh al-Kulliyyat, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1983: 182)
Kaedah di atas menunjukkan bahwa hukum yang dapat berubah adalah hukum ijtihadiyah yang dibangun berdasarkan mashlahat. Ketika nilai mashlahat berubah, maka hukum (yang dibentuk berdasarkan nilai tersebut) pun ikut berubah.
karenanya, maksud kaidah di atas sebagaimana yang disampaikan oleh Shubhi Mahmashani (Falsafat al-Tasyri’ al-Islami, 1961: 198), yakni :
َلْا
“Segala macam hukum yang berdasarkan jalan ijtihâd yang terbangun atas dasar kemaslahatan.”
Terkait pemanfaatan air olahan limbah ini, MUI atau Majelis Ulama Indonesia, memberikan fatwa berikut:
1. Air hasil pengolahan limbah menjadi suci kembali jika air yang dihasilkan melebihi dari ukuran 2 qullah (216 liter)
2. Air tersebut bersih dari semua jenis najis dan ciri-ciri air najis
Kesimpulannya, air hasil pengolahan limbah yang telah bersih dari najis dan telah mencapai dua qullah mempunyai hukum suci dan mensucikan.
B. SHALAT ORANG YANG KEHILANGAN DUA