KASUS-KASUS FIQH KONTEMPORER DALAM BIDANG IBADAH
C. SHALAT DI ATAS PESAWAT DAN DI LUAR ANGKASA
Kata shalat, secara bahasa bermakna doa atas kebaikan. Sedangkan menurut istilah syara’nya, shalat berarti ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
Shalat diwajibkan atas setiap muslim, laki – laki maupun perempuan di setiap saat, apabila telah terpenuhi syarat wajib shalat, yaitu Islam, berakal, dan baligh.
Di masa kini, muncul beragam kondisi yang baru yang tidak terbayangkan sebelumnya dalam konteks mendirikan shalat. Kemajuan teknologi di bidang transportasi menjadikan saat ini salah satu model pengangkutan adalah dengan pesawat terbang. Bahkan, kemajuan zaman telah menghantarkan manusia hingga sampai ke Bulan.
Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan, bagaimana hukum shalat di atas pesawat terbang dan bagaimana pula hukumnya shalat di luar angkasa?
Selain itu bagaimana pula mekanisme pelaksanaannya?
Telah menjadi objek kajian para ulama di masa lalu tentang hukum shalat di atas kapal laut.
Karenanya, hukum shalat di atas pesawat terbang dapat dianalogikan dengan shalat di atas kapal laut dan shalat di atas kenderaan.
Para ulama berpendapat bahwa menunaikan shalat di pesawat hukumnya boleh. Apalagi khawatir habisnya waktu shalat, misalnya terbitnya matahari sebelum menunaikan shalat shubuh atau terbenamnya matahari sebelum shalat ashar
ditunaikan, dan pesawat masih di udara. Dalam keadaan yang demikian, seseorang wajib menunaikan shalat di dalam pesawat jika dikhawatirkan waktu shalat tidak cukup jika harus menunggu pesawat mendarat.
Namun perlu diingat bahwa kesemua itu dilakukan semampunya. Praktek shalat di atas pesawat, jika memang tempatnya memungkinkan, silahkan menunaikannya dengan berdiri berikut dengan gerakan-gerakan lainnya, seperti halnya shalat di masjid. Jika tidak, dia boleh menunaikannya dengan posisi duduk. Gerakan ruku’
dan sujud bisa digantikan dengan isyarat membungkuk saja dengan menghadap ke arah sesuai pesawat itu terbang. Posisi sujud lebih membungkuk dibanding ruku’.
Dalam kasus yang seperti dijelaskan di atas tidak dibolehkan untuknya mengakhirkan shalat, dengan dalih tidak bisa mengerjakan shalat dengan sempurna. Justru sesungguhnya ia telah mendapatkan rukhshah boleh shalat dengan duduk.
Namun, jika ia berniat untuk menjamak, dalam hal ini jamak ta’khir, dan kuat prediksi bahwa waktu kedua akan habis juga ketika ia mendarat, silahkan menunaikan shalat semampunya di dalam pesawat.
Menurut madzhab Hambali, dibenarkannya shalat di atas pesawat dan di luar angkasa ini dengan kadar kemampuan yang ada pada hakikatnya masuk dalam kategori dharuriyyah yang banyak dibutuhkan manusia. Di saat yang bersamaan, mereka juga berkewajiban untuk menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah, diantaranya shalat, jadi pada waktu yang bersamaan, mereka bisa menjalankan aktifitas horizontal dan vertikal. (al-Bahuti, 1394 H, vol 1:
304).
Sedangkan Para ulama Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa shalatnya seseorang di atas pesawat atau di atas kapal hukumnya dianggap sah.
Dalam al-Nihayah, Imam ar-Ramli mengatakan, “jika seseorang menunaikan shalat fardhu ain atau diatas binatang tunggangan seraya menghadap kiblat dan menyempurnakan ruku dan sujudnya, maka shalatnya dianggap sah”.
Selanjutnya, Imam al-Bahuti dalam kitabnya
“al-Muntaha” juga menegaskan, “seseorang yang shalat dalam ketinggian melebihi ka’bah tidak menjadi masalah. Begitu juga dengan shalatnya seseorang di dalam kedalaman yang sangat dalam, misalnya sumur. Karena yang terpenting dalam shalat adalah menghadap kiblat, baik tegak lurus atau dari atas udara (hawa)”. (al-Bahuti, 1394 H, vol 1: 304).
Dapat disimpulkan dari pemaparan para ulama di atas, bahwa menunaikan shalat di atas pesawat hukumnya boleh. Bahkan syara’ pun telah memberikan beberapa keringanan kepada mereka.
Karena syara’ tidak pernah mengekang dan membebani hambanya dengan beban diluar batas kemampuannya.
Tidak dapat dipungkiri ada sebagian mazhab yang menyatakan tidak dibenarkan shalat yang demikian. Diriwayatkan bahwa sebagian ulama menisbahkan kepada Madzhab Maliki bahwa shalat di dalam pesawat tidaklah sah. (an-Nawawi, tt, vol.3:
242, Ibn Qudamah, 1368 H, vol 2: 572, al-Kasani, 1328 H, vol 1: 109). Mungkin penisbahan tersebut didasarkan kepada kriteria madzab Maliki tentang sujud.
Beberapa pendapat tentang sujud sebagai berikut:
1. Al-Mawwaq mengatakan, “yang dinamakan sujud adalah menempelkan jidat pada tanah ditempat shalat”.
2. Imam Khurasy mengatakan, “batas minimal sujud adalah menempel pada tanah atau yang
menempel langsung dengannya, misalnya lantai kamar atau kasur kayu”.
Penjelasan di atas seakan - akan menunjukkan bahwa Madzhab Maliki menjadikan tanah sebagai tempat shalat sebagai tempat pokok yang menentukan keabsahan ruku’ dan sujud serta rukun-rukun lainnya.
Jika seseorang berada di bumi, tapi melakukan sujud di tandu dan tidak bersinggungan dengan tanah maka shalatnya tidak sah, karena itu dianggap sebagai isyarat, bukan dalam arti yang sebenarnya.
Namun, pada hakikatnya, pandangan di atas berlaku dalam kondisi normal. Sungguh merupakan suatu kesulitan jika mereka yang ada di atas pesawat dan di luar angkasa dituntut untuk melakukan shalat sama seperti melakukan shalat dalam kondisi normal di bumi.
Adapun mekanisme shalat di luar angkasa, maka harus diperhatikan syarat sah shalat sebagai berikut:
1. Terkait persyaratan telah masuk waktu shalat, maka yang dimaksud dengan waktu shalat disini adalah waktu untuk menunaikan shalat fardhu yang lima, yaitu Dhuhur, Ashar, Maghrib, isya’, dan Subuh. Sangat urgen untuk mengetahui waktu – waktu shalat.
Dalam kondisi normal, waktu Dhuhur adalah saat mulai tampaknya waktu siang. Awal shalat Dhuhur adalah ketika matahari tergelincir kearah barat. Akhir shalat dhuhur, ketika bayang-bayang suatu benda, seukuran dengan benda aslinya. Adapun shalat Ashar, diawali ketika bayang-bayang suatu benda, tampak lebih besar dari ukuran aslinya.
Waktu ini diakhiri, ketika matahari terbenam di ufuk barat. Sedangkan shalat maghrib
diawali dengan terbenamnya matahari diufuk barat sampai hilangnya mega merah. Adapun shalat isya’ diawali dengan hilangnya mega merah dan diakhiri dengan terbitnya fajar shadiq. Selanjutnya, shalat Shubuh diawali dengan terbitnya fajar shadiq dan diakhiri dengan terbitnya matahari di ufuk timur.
Bagi mereka yang berada di atas pesawat, atau sedang berada di luar angkasa untuk melakukan observasi, maka ketentuan yang berlaku bagi mereka dapat diketahui dengan alat khusus yang sudah didesain canggih yang menggunakan teknologi tinggi, misalnya komputer, radar. Atau mereka juga dibenarkan melakukan ijtihad di pesawat, dengan cara melihat kondisi luar pesawat melalui jendela pesawat tentang posisi matahari. Bisa juga bertanya kepada awak pesawat seperti pilot dan pramugari yang lebih tahu tentang kondisi timing selama penerbangan, atau menggunakan fasilitas teknologi yang biasa terpasang di depan penumpang, pada jenis-jenis pesawat tertentu.
Upaya ini dianggap sudah cukup untuk mengetahui masuknya waktu shalat.
2. Terkait dengan kewajiban menghadap kiblat sebagai salah satu syarat sah shalat, Kiblat berarti arah. Arah kiblat orang muslim sedunia adalah ka’bah. Ia menjadi arah bagi seorang muslim dalam menunaikan shalat.
Untuk itu, bagi penumpang pesawat hendaknya ia menghadap kiblat jika memungkinkan. Karena itu sebagai kewajiban. Jika pesawat berbelok arah, hendaknya dia tetap meneruskan shalat dengan tetap menghadap kiblat sesuai dengan kemampuannya. Tapi jika dia tidak mampu menguasai keadaan yang ada dan membuat ia
tidak bisa menghadap kiblat secara tepat, maka tidak masalah. Karena secara umum Allah Swt memberikan beban yang masih dalam kemampuan mukallaf.
Sebagaimana dalam firman Allah Swt:
اَهَعْسُو َّلَِإ اًسْفَ ن َُّللَّا ُفِ لَكُي َلَ
“Dan Allah tidak memberikan beban kepada mukallaf, kecuali beban itu pasti masih dalam batas kemampuannya”. (Al-Baqarah:286) 3. Terkait mekanisme pelaksanaan shalat di atas
pesawat dan di luar angkasa, tentunya tidaklah sama dengan kondisi normal. Jika dalam kondisi normal dilakukan dengan berdiri, boleh jadi yang demikian itu akan sangat berbahaya bagi pelakunya di pesawat.
Karena selama dalam perjalanan, kondisi gerak pesawat sangat tidak stabil. Dari sisi tempat, area yang ada juga terbatas. Dengan kata lain, mereka bisa menunaikan dengan tetap duduk di atas kursi dan menghadap kiblat jika memungkinkan. Berubahnya arah shalat cukup ditoleransi oleh syara’.
Bagi yang ada di luar angkasa, jika penunaian shalat di awal waktu menyulitkannya, dan memungkinkan untuk dikerjakan jika diakhirkan ketika sudah sampai di bumi, maka yang demikian itu juga dibenarkan.
Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang bepergian dengan kapal laut, kereta api dan sebagainya. (Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, Shalat di Pesawat dan Angkasa, 2007: 131)
D. SHALAT DAN PUASA DI NEGARA YANG