BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Desain Eksperimen
Montgomery (1991) mendefinisikan desain eksperimen sebagai suatu usaha sistematis dalam perancangan desain dengan cara mengkondisikan beberapa faktor.
Menurut Iriawan (2006), secara umum tujuan desain eksperimen antara lain;
pertama untuk menentukan variabel input (faktor) yang berpengaruh terhadap respon, kedua untuk menentukan variabel input yang membuat repon mendekati nilai yang diinginkan, ketiga untuk menentukan variebel input yang menyebabkan variasi respon kecil.
Pada tahun 1930, Dorian Shainin memperkenalkan sejumlah teknik desain eksperimen yang sederhana, mudah dipahami dan diaplikasikan, hemat biaya, kuat secara statistik, teknik desain tersebut adalah teknik klasik, taguchi, dan shainin/bothe.
2.2 Desain Eksperimen Dengan Metode Taguchi
Taguchi (2001) menyatakan bahwa metode taguchi merupakan metodologi baru dalam bidang teknik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas produk dan proses serta dapat menekan biaya kualitas dan resources seminimal mungkin.
Sasaran metode tersebut adalah menjadikan produk tidak sensitif terhadap noise, sehingga disebut sebagai robust design.
Ross (1996) menjelaskan bahwa filosofi metode taguchi terhadap kualitas terdiri dari tiga buah konsep, yaitu :
1. Kualitas harus didesain kedalam produk dan bukan sekedar memeriksanya.
2. Kualitas terbaik dicapai dengan meminimkan deviasi dari target, produk harus didesain sehingga robust terhadap faktor lingkungan yang tidak dapat dikontrol.
3. Biaya kualitas harus diukur sebagai fungsi deviasi dari standart tertentu dan kerugian harus diukur pada seluruh tahapan hidup produk.
Roy (2001) menjelaskan bahwa kelebihan metode taguchi dibandingkan dengan desain eksperimen yang lain, meliputi ;
1. Metode taguchi lebih efisien karena memungkinkan untuk melaksanakan percobaan yang melibatkan banyak faktor tetapi jumlah unit percobaan yang diperlukan relatif kecil.
2. Metode taguchi memungkinkan diperolehnya suatu proses yang menghasilkan produk lebih konsisten dan kurang sensitif (robust) terhadap variabilitas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan (noise). Hal ini disebabkan karena robust design memperhatikan pengaruh faktor kontrol dan faktor noise terhadap rata-rata dan variabilitas suatu performansi secara bersama- sama.
3. Metode taguchi menghasilkan kesimpulan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap suatu respon dan kesimpulan mengenai taraf-taraf faktor terbaik yang akan menghasilkan respon yang optimum.
Metode Taguchi (robust design) memberikan cara yang sistematis dan efisien dalam mengoptimalkan performansi desain, kualitas dan biaya (Unal, 1991).
2.3 Penerapan Metode Taguchi
Leksono (2002) telah melakukan penelitian di Sentra Industri Keramik Hias Desa Dadaprejo Kodya Batu – Malang dengan melakukan kombinasi level faktor optimal yang berpengaruh pada kualitas produk dengan metode taguchi berdasarkan respon teknis pada analisis quality function deployment. Pada penelitian tersebut dapat diketahui informasi mengenai kombinasi dan kontribusi optimal dari tiap-tiap faktor yang berpengaruh terhadap kualitas produk keramik hias serta didapatkan keseragaman parameter kualitas. Kekurangan dalam penelitian tersebut adalah faktor-faktor lingkungan yang ikut berpengaruh terhadap respon diasumsikan berada pada kondisi yang tetap, faktor noise (faktor yang tidak dapat dikendalikan langsung oleh produsen) tidak diikutkan dalam proses perancangan eksperimen.
Markaban (2005) telah menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daya serap air dan susut kering genteng dengan metode taguchi multi respon, menggunakan prosedur TOPSIS dalam mengagregasi dua kombinasi optimal variabel respon yang berbeda. Sebelum dilakukan prosedur TOPSIS dilakukan uji MANOVA untuk melihat faktor-faktor yang perbedaan levelnya berpengaruh secara signifikan terhadap kedua respon. Kekurangan dalam penelitian ini adalah faktor- faktor lingkungan yang ikut berpengaruh terhadap respon diasumsikan berada pada kondisi yang tetap.
Setyowati (2002) telah mengaplikasikan metode taguchi multi respon untuk perbaikan kualitas botol produk dragon 30 ml. Pada penelitian tersebut dilakukan pendekatan fractional factorial experiment (FFE) yang konsisten dan terstandard sehingga dapat meningkatkan efisiensi dari percobaan yang dilakukan. Pada FFE dipilih beberapa kondisi perlakuan untuk tetap mempertahankan prinsip
orthogonalitas diantara berbagai faktor dan kombinasi. Pada desain ini tidak semua kombinasi dijalankan, tetapi tetap memenuhi syarat orthogonalitas dan keseimbangan, sehingga eksperimen dapat dilakukan dengan lebih efisien tanpa mengurangi hasilya.
Sholeh (2003) telah mengaplikasi metode taguchi untuk meningkatkan kualitas kapur aktif (CaO). Faktor–faktor terkendali yang berpengaruh pada kualitas antara lain : Jenis bahan baku, Jenis bahan bakar, Lama pembakaran. Kekurangan dari penelitian tersebut adalah definisi kualitas hanya sebatas pada kuantitas dari cacat produk, dimana produk akan mempunyai kualitas yang semakin bagus apabila jumlah cacat dari hasil produksi semakin sedikit.
2.4 Metode Taguchi Yang Sustainable (Sustainable Robust Design)
Sustainble robust design adalah suatu desain yang bertujuan untuk
mengurangi dampak negatif lingkungan melalui desain yang lebih peka terhadap lingkungan/green design (http://www.autodesk.com/revit)
Prinsip kunci dalam green design adalah sustainability. Dalam Burall (1991) mendefinisikan sustainable development sebagai pengembangan produk yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengabaikan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Menurut Karlson (2001), mendefinisikan green sebagai suatu aktivitas yang dilakukan dalam mendesain produk dengan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh siklus hidup produk, untuk meningkatkan tingkat kompetitif, meningkatkan nilai tambah market, menurunkan biaya atau untuk memenuhi permintaan keberlangsungan dan pengaturan lingkungan.
Dalam Hundal (2000), menjelaskan bahwa design for environment memiliki dua tujuan yaitu untuk mencegah limbah dan mengoptimalkan penggunaan material.
Mengurangi penggunaan material tidak hanya mengurangi biaya produk tetapi dilakukan untuk mengurangi limbah, emisi dan energi yang dikeluarkan oleh material.
Green design memiliki empat tujuan yang jika diimplementasikan dalam
desain produk akan dapat meningkatkan produksi yang ramah lingkungan, berkualitas dan ekonomis. Tujuam green design antara lain : mengurangi limbah, manajemen material, mencegah polusi, perbaikan produk.
Green produk didefinisikan sebagai produk yang memiliki kualitas yang
bagus dan mampu mendukung kesehatan lingkungan dan dapat memelihara sumberdaya.
Kualitas yang dimaksud harus memiliki kriteria antara lain ;
• Kemampuan produk dalam mengurangi bahan beracun
• Kemampuan untuk digunakan kembali (reusability)
• Efisiensi energi
• Kemasan yang mampu diolah kembali
• Material yang telah didaur ulang
• Desain yang memiliki kemampuan untuk dimanufaktur kembali
• Proses yang ramah lingkungan
• Kemampuan untuk mengurangi dampak yang berbahaya bagi lingkungan
2.5 Penerapan Metode Taguchi Yang Sustainable
Mgana S.M (2003) telah menginvestigasi performansi dan feasibility dari Upflow Anaerobic Sludge Bed (UASB) reaktor untuk pre-treatment wastewater
untuk meminimasi kadar COD dan BOD.
Suhandoko (2003) telah melakukan penelitian untuk meningkatan kualitas dengan metode taguchi dalam rangka cleaner production. Melalui konsep cleaner production, imbas dari hasil perancangan eksperimen adalah perbaikan lingkungan.
Kekurangan penelitian ini berada pada variabel respon yang belum menggambarkan secara langsung parameter dampak yang ditimbulkan pada lingkungan.
2.6 Penerapan Metode Taguchi Yang Sustainable di UKM Kapur Aktif Desa Pongangan dan Suci
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode sustainable taguchi multi respon, dimana respon yang akan dibangun adalah parameter kualitas
sedangkan respon yang lain merupakan parameter dampak lingkungan. Pada penelitian ini parameter respon dampak lingkungan diturunkan berdasarkan identifiksi aspek dan dampak lingkungan yang paling signifikan dari sifat-sifat fisika dan kimia produk kapur aktif sementara parameter kualitas didasarkan pada voice of customer yang mengacu pada standard nasional indonesia.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan obyek amatan yang berbeda, belum ada penelitian yang variabel responnya merupakan parameter dampak lingkungan, sehingga akan memudahkan dalam kontrol lingkungan dan dapat diketahui secara langsung seberapa besar dampak lingkungan yang
ditimbulkan oleh produk tersebut. Karena itulah dirasa perlu adanya suatu penelitian yang arahnya pada perbaikan kualitas yang lebih ramah lingkungan.
2.7 Prosedur TOPSIS untuk Taguchi Multirespon
Penggunaan metode taguchi hanya dapat digunakan untuk persoalan respon tunggal, sedangkan untuk persoalan multi respon tidak dapat digunakan. Akan tetapi seringkali konsumen menginginkan untuk mempertimbangkan lebih dari satu karakteristik kualitas (respon) pada produk secara simultan.
Tong dan Su (1995) memperkenalkan prosedur TOPSIS (Technique For Order Preferrence For Similarity To Ideal Solution) untuk menangani persoalan
multi-dimensi dari metode taguchi. Prosedur TOPSIS dikembangkan melalui aplikasi fuzzy set pada Multiple Attribute Decision Making (MADM).
2.7.1 Multiple Attribute Decision Making
Multiple Attribute Decision Making adalah proses pemilihan diantara
sejumlah alternatif yang masing-masing alternatif tersebut terdiri dari banyak atribut yang saling bertentangan. Istilah “atribut” berhubungan dengan “tujuan” atau
“kriteria”. Setiap atribut mempunyai perbedaan pengukuran sehingga kepentigan relatif masing-masing atribut dapat dinyatakan sebagai sekumpulan pembobot.
2.7.2 Prosedur TOPSIS
Prosedur ini digunakan untuk mengagregasi dua kombinasi optimal yang berbeda untuk tiap variabel respon dengan mempertimbangkan bobot relative tiap variabel respon. Asumsi yang digunakan dalam prosedur TOPSIS adalah tingkat kepentingan relatif masing-masing respon yang berbentuk fuzzy. Untuk mengurangi
kesulitan perhitungan fungsi kerugian taguchi, maka TOPSIS menghitung indeks performansi tiap perlakuan dengan menggunakan nilai kedekatan relatif. Indeks performansi tersebut dinamakan nilai TOPSIS. Semakin kecil nilai TOPSIS maka semakin baik alternatif kombinasi.
Langkah-langkah optimasi pada prosedur TOPSIS antara lain :
1. Transformasi tingkat kepentingan relatif tiap respon kedalam bentuk fuzzy number.
- Menyatakan tingkat kepentingan relatif masing-masing respon dalam bentuk linguistik, yang ditentukan dari pengalaman teknik dan pertimbangan manajemen.
- Menetapkan skala formal untuk mengkonversi bentuk linguistik ke dalam bilangan fuzzy yang bersesuaian. Sistem kala yang digunakan adalah skala Chen dan Hwang.
- Menentukan skala konversi yang memuat semua istilah linguistik yang digunakan, jika terdapat lebihdari 1 skala maka dipilih satu skala yang memuat paling sedikit istilah linguistik sebagai konversinya.
2. Menandai crisp score untuk memilih skala konversi (fuzzy number)
- Melakukan transformasi bilangan fuzzy menjadi crisp score dengan metode fuzzy scoring seperti pada tabel konversi crisp score.
- Menormalisasi crift score untuk memperoleh nilai bobot yang mewakili tingkat kepentingan relatif masing-masing kriteria (variabel respon) sehingga total bobot sama dengan satu.
3. Menghitung nilai S/N untuk masing-masing variabel respon dari hasil percobaan berdasarkan tipe karakteristik kualitasnya.
4. Menghitung nilai TOPSIS tiap kombinasi perlakuan.
- Menghitung matrik keputusan yang telah dinormalisasikan rij dan matrik keputusan normalisasi yang diberikan bobot vij dengan formulasi ;
k j
n i
Lij rij Lij
n
i
,..., 1
; ,..., 1 ,
1 2
=
=
=
∑
=... (3.1)
... (3.2) wjxrij
vij =
Dimana, rij : Nilai matriks keputusan eksperimen ke-i, respon ke-j
Lij : Nilai eksperimen ke-i, respon ke-j
vij : Nilai matriks keputusan terbobot eksperimen ke-i, respon ke-j
wj : Bobot respon ke-j
- Menentukan solusi ideal (V*j) dan solusi ideal negatif (V-j);
• Solusi ideal
( ) ( )
{
vij j J vij j J i m}
A* = max ∈ , min ∈ ' =1,2,..., ... (3.3)
{
*1 *2 *3}
* V ,V ,V
A =
• Solusi ideal negatif
( ) ( )
{
vij j J vij j J i m}
A− = min ∈ , max ∈ ' =1,2,..., ... (3.4)
{
−1, −2, −3}
− = V V V
A
- Menghitung ukuran pemisah tiap alternatif solusi
• Ukuran pemisah tiap alternatif terhadap solusi ideal
( )
∑
==
−
= n
j
j i m
V vij Si
1
* 2
* , 1,2,..., ... (3.5)
• Ukuran pemisah tiap alternatif terhadap solusi ideal negatif
( )
∑
=−
− = n − =
j
j i m
V vij Si
1
2, 1,2,..., ... (3.6)
Dimana, Si+ : Ukuran pisah alternatif solusi ideal eksperimen ke-i Si- : Ukuran pisah alternatif solusi negatif eksperimen ke-i
V*j : Solusi ideal respon ke-j V-j : Solusi negatif respon ke-j
- Menghitung kedekatan relatif (relative closeness) tiap-tiap alternatif terhdap solusi ideal. Kedekatan relatif inilah yang disebut sebagai nilai TOPSIS suatu alternatif.
m i
S S C S
i i
i * i , 1,2,...,
* =
= +− − ... (3.7)
Dimana, C*i : Nilai kedekatan relatif eksperimen ke-i
- Menentukan level faktor yang optimal, yang antara lain termasuk mengestimasikan efek faktor berdasarkan nilai TOPSIS serta menentukan faktor kontrol yang optimal beserta level-levelnya.
2.8 Batu Kapur (Lime Stone)
Oates (1998) mendefinisikan batu kapur sebagai batuan padat yang mengandung banyak kalsium karbonat, berwarna putih, abu–abu kuning tua, abu-abu kebiruan, jingga dan hitam.
Berat jenisnya 2,6 – 2,8 gr/cm3 dan dalam keadaan murni berbentuk kristal kalsit, terdiri dari CaCO3. apabila diberi larutan asam (HCL), batu kapur akan larut dan mengeluarkan gas tak berbau yaitu CO2, kalsinasi batu kapur pada suhu agak
tinggi akan melepaskan gas CO2 dan sisanya disebut “quicklime“ yang terdiri dari kalsium oksida (CaO). Apabila quiklime tersebut di beri air, maka akan terjadi penghidaratan yang cepat menjadi kalsium hydroksida (Ca(OH)2) atau disebut
“hydrated lime“ (Oates,1998).
Kalsit dalam jumlah kecil terbentuk sebagai hasil reaksi air yang mengandung karbonat dengan kalsium silikat. Selain itu merupakan juga komponen dari batuan sediment.
Menurut Boynton (1980), kapur aktif adalah bahan galian yang banyak digunakan pada :
1. Bahan bangunan, pengeras jalan dan untuk campuran bangunan.
2. Bahan baku untuk portland cement, semen alam dan kalk zandsteen.
3. Industri keramik, terutama dalam pembuatan gelas.
4. Industri kimia, untuk bahan baku pembuatan kalsium dalam pabrik gula, pembuatan gas CO2, CaC2, CaO, bahan–bahan kedokteran, pasta, pencegah penyakit tanaman dan untuk pembuatan pupuk.
5. Industri logam, kapur dipergunakan sebagai flux dan bahan bahan tahan api.
6. Bahan baku untuk seni budaya dan lithographi.
2.8.1 Sifat–sifat fisik dan kimia batu kapur (limestone)
Dalam Oates (1998), warna batu kapur menggambarkan tingkat dan kealamian dari adanya pengotor (impurity). Warna putih mempunyai kemurnian yang tinggi, warna abu-abu dan corak gelap disebabkan oleh material karbon atau sulfida besi, kuning dan warna susu atau merah mengindikasikan adanya campuran
besi dan mangan. Jadi impurity pada batuan kapur akan menghasilkan perbedaan warna dan pola.
Tabel 2.1. Tekanan Penguraian Karbon Dioksida Temperatur (oC) Tekanan CO2 (atmospheres)
600 700 750 800 850 900
0,003 0,026 0,079 0,24 0,50 1,00
Tabel 2.1. mengindikasikan bahwa pada suhu 900oC, tekanan akan mencapai 1 atmosphere, hal ini menunjukkan bahwa pada suhu tersebut terjadi penguraian kalsium karbonat.
Impurity yang biasanya ada pada batu kapur adalah galena (PbS), sphalerite (ZnS), barite (BaCO3), haematite (Fe2O3) dan fluorite (CaF2).
Kalsinasi batu kapur mengacu kepada proses thermal decomposition menjadi quicklime dan karbon dioksida.
Reaksi untuk thermal decomposition kalsium karbonate adalah ; CaCO3 + Heat ' CaO + CO2
Reaksi untuk thermal decomposition magnesium karbonate adalah ; MgCO3 + Heat ' MgO + CO2
Reaksi untuk thermal decomposition dolomite adalah ;
CaCO3 . MgCO3 + Heat(1) ' CaCO3 . MgO + CO2 ( 1 )
CaCO3 . MgO + Heat(2) ' CaO . MgO + CO2 ( 2 )
CaCO3 . MgCO3 + Heat(1+2) ' CaO . MgO + 2CO2 ( 3 )
Rate penguraian batu kapur pada proses kalsinasi dipengaruhi oleh ;
a. Karakteristik batu kapur b. Distribusi ukuran partikel c. Bentuk dari partikel
d. Temperatur pada daerah kalsinasi
e. Rate perpindahan panas antara gas dan partikel
Menurut Boynton (1980), untuk mengurangi proses pembakaran yang tidak sempurna/tidak merata biasa dikurangi dengan memperkecil ukuran batu kapur pada proses pembakaran, sehingga akan mengurangi impuritinya dan pembakaran yang sempurna akan menghasilkan kandungan kapur (CaO) yang lebih tinggi.
2.8.2 Raw material untuk lime burning
Kualitas dari proses pembakaran tergantung pada : a. Distribusi ukuran partikel
b. Bentuk
c. Kontaminasi dengan partikel tanah d. Kebersihan permukaan
e. Konsistensi
Pemilihan bahan pembakar untuk lime-burning operation sebagai dasar pertimbangan bahwa :
a. Biaya bahan bakar per ton hampir mencapai 40% - 50% biaya produksi
b. Ketidaksesuaian bahan bakar dapat menyebabkan permasalahan di sistem operasi c. Jenis bahan bakar dapat mempengaruhi kualitas kapur, khususnya tingkat CaCO3,
reaktivitas, sulfur content, dan impurity seperti SiO2, Al2O3, dan Fe2O3
d. Jenis bahan bakar memberikan konstribusi yang berbeda terhadap dampak lingkungan dari gas yang dikeluarkan
Pemilihan bahan bakar dapat menimbulkan emisi berupa karbon dioksida, karbon monoksida, asap, debu, sulfur dioksida dan nitrogen oksida, yang kesemuanya mempunyai dampak terhadap lingkungan.
Oates (1998), menyatakan bahwa dalam proses pembakaran dengan bahan pembakar berupa kayu dan sejenisnya, emisi dominan yang ditimbulkan berupa kandungan CO2.
2.8.3 Proses Produksi
Proses pembuatan kapur aktif sangat sederhana, diperlukan keahlian dalam penatan batu kapur sehingga pembakaran bisa merata dan kualitas produk kapur yang diinginkan dapat tercapai
Adapun tahapan yang dipakai dalam proses pembuatan kapur aktif adalah persiapan bahan baku, penataan bahan baku, pembakaran dan pendinginan serta pengemasan sebagaimana pada gambar 2.1.
Secara singkat proses pembuatan kapur aktif dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Penyiapan Bahan Baku
Batu kapur yang ada di tambang diangkut dengan truck untuk dilakukan pembakaran. Adapun batu kapur (limestone) yang dipersiapkan berbentuk bongkahan-bongkahan yang berukuran ± 20 cm s/d 50 cm yang diambil dari tukang batu, dan peralatan yang digunakan adalah linggis, palu besar, sekop dan pasak. Kapasitas rata-rata tungku pembakaran batu kapur berkisar 25 ton batu kapur.
2. Penataan Batu Kapur
Pada tahap ini dilakukan penataan batu kapur dengan cara menumpuknya sedemikian sehingga tumpukan batu yang sudah tertata dengan rapi tidak roboh, jika penataan sudah selesai maka pemeriksaan dilakukan sekali lagi dengan tujuan agar dalam waktu pembakaran tidak roboh. Penataan dibuat sedemikian sehingga tersedia lorong/ruang untuk pembakaran. Biasanya tidak lebih dari 1/6 dari ruang/space tungku pembakaran. Penataan ini dilakukan dengan cara manual dan memerlukan waktu kurang lebih dua hari dengan 3 orang tenaga kerja.
3. Pembakaran
Di sentra industri pengepul batu kapur Desa Pongangan dan Desa Suci, bahan pembakar menggunakan kayu kulitan (kayu lembaran), kayu pejal (kayu osok), serbuk grajen, ataupun karet. Namun untuk bahan pembakar berupa karet sudah tidak pakai karena mengingat emisi yang ditimbulkan sangat tinggi, secara fisik berupa kepulan asap hitam yang sangat pekat dan berbau menyengat.
Suhu pemanasan yang dicapai dengan bahan pembakar seperti diatas berkisar ± 700 oC dan ± 950 oC. Proses pembakaran dilakukan selama 4-5 hari, akan tetapi untuk musim penghujan lama pembakaran bisa memakan waktu sampai 7-8 hari.
4. Pengeringan
Setelah pembakaran selesai, dilakukan pendinginan dengan membiarkan tungku pembakaran terhembus oleh udara bebas selama 1 hari. Pada saat proses pendinginan, sisa-sisa bahan pembakar seperti arang dikeluarkan dari lubang pembakar.
Pengambilan serbuk batu kapur (quicklime) dapat dilakukan dengan sekop laras panjang yang terbuat dari kayu agar pengambilan dapat dilakukan dengan efektif. Pengambilan serbuk kapur biasanya dilakukan selama 2 hari. Serbuk kapur dikeluarkan untuk selanjutnya dilakukan penyortiran terhadap batu kapur yang tidak bisa terbakar dengan sempurna (adanya batu curing).
START
Pengambilan Bahan Baku Batu Kapur
Transportasi Dari Tambang ke Lokasi Pembakaran
Penyusunan Batu Kapur
Proses Pembakaran
Pendinginan
Gambar 2.1. Tahapan Proses Produksi Kapur Aktif
Ya
Tidak
Baik
Pengantongan
Penyimpanan Pemilihan Material
END
2.9 Aspek dan Dampak Lingkungan
Suratmo (1993) menjelaskan bahwa dalam hal menganalisis dampak lingkungan, hal-hal khusus yang perlu dipertimbangkan pada pendugaan dampak lingkungan suatu industri adalah aspek fisik dan kimia dari produk selama proses produksi berlangsung. Salah satu dampak lingkungan hasil produksi suatu industri adalah adanya limbah.
Limbah merupakan hasil sampingan dari proses produksi, adanya limbah mengindikasikan adanya inefisiensi dalam proses. Limbah industri dapat terjadi pada setiap tahapan proses produksi.
Limbah yang terjadi mempunyi aspek lingkungan yang berbeda satu dengan yang lainnya ditinjau dari luasan dampaknya, keseriusan dampaknya, kemungkinan terjadinya, lamanya waktu pemaparan, derajat kepulihan dampak dan lain-lain.
Untuk itu perlu adanya suatu pembobotan aspek lingkungan dan scoring aspek dan dampak lingkungan penting untuk mengetahui seberapa besar dampak lingkungan yang ditimbulkan masing-masing tahapan proses produksi.
Aspek adalah sesuatu yang dihasilkan dari suatu kegiatan produk utama di dalam perusahaan, sedangkan dampak adalah efek dari aspek yang dirasakan oleh lingkungan. Adapun pembobotan dan skoring aspek dan dampak lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pembobotan dan skoring aspek dan dampak lingkungan sistem manajemen lingkungn ISO 14001 yang diperkenalkan oleh BAPEDAL seperti pada tabel 2.2.
Bratasida (1998) menyatakan bahwa salah satu pokok pemikiran yang mendasari ISO 14000 adalah ISO 14000 dapat diterapkan pada semua tipe dan skala organisasi.
Wijayanto (2005) dalam penelitianya menggunakan skoring aspek dan dampak lingkungan guna mengintegrasikan sistem manajemen lingkungan dan integrated environment performance management system untuk mengukur dan
memonitor kinerja lingkungan serta untuk mengetahui pengaruh dari aktivitas produksi terhadap dampak lingkungan.
Untuk mengidentifikasi tingkat signifikansi dampak lingkungan, baik skala global, regional ataupun lokal dapat menggunakan skoring aspek dan dampak lingkungan (Astuti, 2004).
Tabel 2.2. Skoring Aspek dan Dampak Lingkungan
Faktor Lingkungan Nilai
A. Luasan Dampak a.
b.
c.
d.
Berpengaruh di unit kerja yang bersangkutan Berpengaruh dalam area pabrik
Berpengaruh dalam kompleks perusahaan Berpengaruh ke masyarakat
1 3 5 7 B. Keseriusan Dampak
a.
b.
c.
d.
Tidak ada resiko terhadap flora, fauna, fasilitas dan kesehatan Ada resiko terhadap flora, funa, fasilitas dan kesehatan
Menyebabkan kerusakan pada flora, fauna, fasilitas dan kesehatan Menyebabkan kerusakan yang abadi
1 3 5 7 C. Kebolehjadian Dampak
a.
b.
c.
d.
Kecil sekali (Kecelakaan yang tidak diharapkan) Sesekali (Tidak direncanakan)
Kemungkinan sering terjadi (Direncanakan) Tidak dapat dihindari (Pasti terjadi)
1 3 5 7 D. Waktu Pemaparan
a.
b.
c.
d.
Kurang dari sehari Kurang dari seminggu Kurang dari sebulan Lebih dari sebulan
1 3 5 7
Faktor Bisnis Nilai
E. Peraturan Perundangan a.
b.
c.
Tidak/belum diatur dalam PP
Diatur dalam PP dan sudah dipenuhi Diatur dalam PP dan belum dipenuhi
1 3 5 F. Metode Pengendalian
a.
b.
c.
d.
Ada prosedur pengendalian dan dijalankan
Belum ada prosedur (tertulis) tetapi ada aktivitas pengendalian Ada prosedur pengendalian tetapi tidak dijalankan
Tidak ada prosedur dan tidak ada aktifitas pengendalian
1 3 5 7 G. Image masyarakat terhadap perusahaan
a.
b.
c.
Baik Cukup Jelek
1 3 5 Aspek Lingkungan Signifikan
1 Total nilai dari masing-masing aspek lingkungan merupakan hasil perkalian dari seluruh nilai kriteria.
Total nilai : A x B x C x D x E x F x G
2 Aspek lingkungan ditetapkan signifikan (nyata). Apabila total nilai point 1 diatas lebih besar atau sama dengan 6.750 (Enam ribu tujuh ratus lima puluh)
Sumber : BAPEDAL