BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Penistaan Agama dalam Ruang Lingkupnya sebagai Delik
a. Pengertian Penistaan Agama atau Ujaran kebencian
Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: (Muhammad Akbar, dkk, 2017: 1)
1.) Penghinaan;
2.) Pencemaran nama baik;
3.) Penistaan;
4.) Perbuatan tidak menyenangkan;
5.) Memprovokasi;
6.) Menghasut;
7.) Penyebaran berita bohong.
Tindakan di atas dapat berdampak pada diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial. Ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:
1.) Suku;
2.) Agama;
3.) Aliran Keagamaan;
4.) Keyakinan/kepercayaan;
5.) Ras;
6.) Antar golongan;
12
7.) Warna kulit;
8.) Etnis;
9.) Gender;
10.) Kaum difabel (cacat);
11.) Orientasi seksual.
Ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain :
1.) Dalam orasi kegiatan kampanye;
2.) Spanduk atau banner;
3.) Jejaring media sosial;
4.) Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi);
5.) Ceramah keagamaan;
6.) Media masa cetak maupun elektronik;
7.) Pamflet.
b. Pengertian dan Ruang Lingkup Delik Agama
Istilah “tindak pidana” atau “delik agama” dapat diartikan dalam beberapa pengertian, yaitu :
1.) Tindak pidana/delik ‘menurut agama”, 2.) Tindak pidana/delik “terhadap agama”, dan
3.) Tindak pidana/delik “yang berhubungan dengan agama”
atau “terhadap kehidupan beragama”.
Delik Agama dalam pengertian pertama (sub-1) dapat mencakup perbuatan-perbuatan yang menurut hukum yang berlaku merupakan tindak pidana dan dilihat dari sudut pandang agama juga merupakan perbuatan terlarang/tercela, atau perbuatan lainnya yang tidak merupakan tindak pidana menurut hukum yang berlaku tetapi dilihat dari sudut pandang agama merupakan perbuatan yang terlarang/tercela (Barda Nawawi Arief, 2007: 1).
Penggunaan istilah “delik agama” merupakan kombinasi dari pengertian “delik” sebagai perbuatan yang dilarang atau tercela oleh undang-undang dan “agama” yang berarti sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya. Dengan demikian pengertian delik agama secara singkat dipahami sebagai perbuatan yang dilarang oleh undang-undang terkait sistem kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Hwian Christianto, 2018: 4).
c. Teori-teori Delik Agama
Teori-teori delik agama bermaksud menjelaskan landasan teoritik atau latar belakang pemikiran konsepsional mengenai perlunya dilakukan kriminalisasi delik agama. Teori-teori delik agama ini pertama kali dikemukakan di Indonesia oleh Oemar Senoadji dalam Simposium “Pengaruh Kebudayaan dan Agama Terhadap Hukum Pidana” di Bali pada tahun 1975, dan dalam tulisan beliau yang berjudul “Delik Agama” (Barda Nawawi Arief, 2007: 2).
Teori-teori delik agama yang dikemukakan Prof.
Oemar Senoadji itu pada intinya adalah sebagai berikut : 1.) Religionsschutz-Theorie (Teori Perlindungan “Agama”)
Menurut teori ini, “agama”itu sendiri yang dilihat sebagai kepentingan hukum atau objek yang akan dilindungi (yang dipandang perlu untuk dilindungi) olenegara melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya.
2.) Gefuhlsschutz-Theorie (Teori Perlindungan “Perasaan Keagamaan”)
Menurut teori ini, kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah rasa perasaan atau keagamaan dari orang-orang yang beragama.
3.) Friedensschutz-Theorie (Teori Perlindungan Ketentraman Umat Beragama)
Objek atau kepentingan hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah kedamaian/ketentraman beragama interkonfessional di antara pemeluk agama/kepercayaan. Jadi lebih tertuju pada ketertiban umum yang akan dilindungi (Barda Nawawi Arief, 2007: 2).
2. Tinjauan tentang Penegakan Hukum dalam Aspek Religiusitas a. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide (keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan) tersebut menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari penegakan hukum (Satjipto Rahardjo, 2009: 12).
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hakim bertugas menciptakan kepastian hukum untuk ketertiban masyarakat. Masyarakat juga mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan
hukum harus memberikan manfaat bagi masyarakat.
Jangan sampai timbul keresahan di dalam masyarakat.
Pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, dan bersifat menyamaratakan. Sebaliknya, keadilan bersifat subjektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.
Untuk menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional dan seimbang.
Dalam praktiknya, tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi secara proporsional dan seimbang antara ketiga unsur tersebut (Sudikno Mertokusumo, 2007: 161).
b. Pengaturan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Berdasarkan pengaturan di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), selama ini tidak ada bab khusus mengenai delik agama, walaupun ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan juga sebagai delik agama.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 156 KUHP, diatur bahwa
“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena rasnya, negeri asalnya, agamanya, tempat asalnya,
keturunannya, kebangsaannya atau kedudukannya menurut hukum tata negara”.
Perbuatan yang dapat dihukum menurut pasal ini adalah tindakan memusuhi, mengumbar kebencian atau penghinaan suatu ras, negeri asal, keturunan, bangsa dan agama (Muhammad Akbar,dkk, 2017: 2).
Pada tahun 1965, dimasukkan “delik terhadap agama” ke dalam KUHP, yaitu dengan ditambahkannya Pasal 156a ke dalam KUHP. Pasal 156a KUHP mengatur bahwa:
“Dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya 5 tahun, barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Penambahan Pasal 156 huruf a ke dalam KUHP berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Pnps.
1965 tertanggal 27 Januari 1965 (semula berbentuk Penpres) (Afriandi M.S., 2017: 5).
Jadi yang dimaksud dengan delik agama dalam hukum pidana di Indonesia ialah suatu penyelidikan tentang bagaimana sebab-sebab duduk perkaranya peristiwa pidana yang terkandung di dalam Pasal 156 dan Pasal 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut dalam kemungkinan-kemungkinan terciptanya delik agama di dalamnya.
Pasal-pasal tersebut dimaksudkan untuk memelihara atau melindungi persamaan antar sesama manusia sebagai salah satu asas hak asasi manusia dan mencegah adanya diskriminasi. Perbuatan yang dapat
dihukum menurut pasal ini adalah tindakan memusuhi, mengumbar kebencian atau penghinaan suatu ras, daerah asal, keturunan, bangsa dan agama.
Tahap penegakan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai- nilai keadilan. Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif (Muhammad Akbar, dkk, 2017: 5).
Menurut AKBP Ketut dalam pendapatnya, bahwa perlindungan terhadap kepentingan agama dalam Pasal 156 hampir sama dengan Pasal 156a. Unsur-unsur tersebut menurutnya adalah :
1.) Dengan sengaja :
Yang dimaksud dengan sengaja dalam pasal ini adalah orang yang melakukan perbuatan tersebut menghendaki perbuatan itu dan mengetahui atau menyadari tentang yang dilakukannya.
2.) Di muka umum :
Yang dimaksud di muka umum adalah perbuatan tersebut dilakukan di depan umum yang mana dalam kasusnya memicu kelompok atau sebagian masyarakat luas mengetahui dengan seksama.
3.) Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, penodaan atau penistaan agama (Muhammad Akbar, dkk, 2017: 5).
Berdasarkan unsur-unsur di atas, berarti bahwa sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku harus dapat membuktikan :
a.) Bahwa pelaku “menghendaki” perasaan yang ia keluarkan atau melakukan perbuatan;
b.) Bahwa pelaku “mengetahui” perasaan yang ia keluarkan atau perbuatan yang ia lakukan itu telah terjadi di depan umum;
c.) Bahwa pelaku “mengetahui” perasaan yang ia keluarkan atau perbuatan yang ia keluarkan itu sifatnya bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan;
d.) Bahwa pelaku “mengetahui” perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan itu telah ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (Afriandi MS, 2017: 8).
Ketentuan perbuatan-perbuatan di dalam delik Pasal 156 huruf a KUHP juga bersifat alternatif, yaitu :
(1.) Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau;
(2.) Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penyalahgunaan atau;
(3.) Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penodaan, terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha,
Hindu dan Kong Hu Chu (Afriandi MS, 2017: 9).
c. Pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Penetapan Presiden Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa tindak pidana penistaan agama di Indonesia sendiri diatur di dalam Pasal 156 dan Pasal 156 huruf a KUHP, yang dimasukkan pada tahun 1965 dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 kedalam kodifikasi mengenai delik agama.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Penetapan Presiden Tahun 1965 dinyatakan bahwa: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu” (Sergio Ticoalu, 2015:
115).
Sanksi penodaan agama diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Penetapan Presiden Tahun 1965 (jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965) dan Pasal 156 huruf a KUHP. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 menyebutkan:
Ayat (1) “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1, diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa
Agung dan Menteri dalam Negeri”. Dalam ayat (2)
“Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri”.
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini tersaji dalam suatu bagan sebagai berikut :
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran.
Keterangan :
Dari kerangka pemikiran tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji tentang konsepsi penistaan agama terhadap penegakan hukum kasus Meliana yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Kronologi
Tindak Pidana Penistaan Agama
Terdakwa Meliana
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :1612/Pid.B/2018/PN.Mdn
Konsepsi Penistaan Agama
Konsepsi Penistaan Agama Terhadap Penegakan Hukum
Kasus Meliana
kejadian adalah bermula saat Terdakwa Meliana (44) mengeluhkan pengeras suara azan dari Masjid Al Maksum Tanjungbalai, Sumatera Utara pada Juli 2016. Terdakwa merasa terganggu karena pengeras suara adzan yang terlalu keras bunyinya. Terdakwa menyampaikan keluhan itu ke tetangganya lalu memintanya untuk menyampaikannya kepada pengurus masjid yang berjarak 7 meter dari rumahnya itu agar mengecilkan volume adzan. Pada 29 Juli 2016, tetangga Terdakwa menyampaikannya kepada pengurus masjid dan malam hari itu juga, pengurus masjid mendatangi rumah Terdakwa untuk berdialog. Cerita tentang keluhan Terdakwa sudah menyebar antar warga dan memicu kemarahan. Rumah Terdakwa, sejumlah klentheng dan vihara sempat menjadi objek kemarahan pemuda Tanjungbalai pada 29 Juli 2016 malam.
Terdakwa dilaporkan ke polisi dan ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama pada Maret 2017. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan dengan ini menyatakan perbuatan Terdakwa atas nama Meliana terbukti melakukan unsur penistaan agama sehingga hakim memutuskan untuk menjatuhkan hukuman penjara selama 18 bulan kepada Terdakwa dan denda sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin melakukan penelitian tentang Analisis Konsepsi Penistaan Agama Terhadap Penegakan Hukum Kasus Meliana.