• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUPUK ORGANIK, POC DAN MOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PUPUK ORGANIK, POC DAN MOL"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PRODUKSI TANAMAN ORGANIK (AT405A)

APRILIA IKE NURMALASARI, S.P., M.SC

LABORATORIUM EKOLOGI DAN MANAJEMEN PRODUKSI TANAMAN PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN , UNS

PUPUK ORGANIK, POC DAN MOL

(2)

PUPUK ORGANIK

Pupuk organik adalah pupuk yang berasal

dari tumbuhan mati, kotoran hewan

dan/atau bagian hewan dan/atau limbah

organik lainnya yang telah melalui proses

rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat

diperkaya dengan bahan mineral dan/atau

mikroba, yang bermanfaat untuk

meningkatkan kandungan hara dan bahan

organik tanah serta memperbaiki sifat fisik,

kimia dan biologi tanah.

(3)

KEUNTUNGAN

PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK

 Mampu meningkatkan kemampuan tanah mengikat air,

 Meningkatkan daya tahan tanah terhadap erosi,

 Memperbaiki biodiversitas dan kesehatan tanah, serta

 Mengurangi penggunaan pupuk anorganik.

 Pupuk organik tidak akan meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia (Musnamar 2003).

 Memperbaiki struktur tanah

 Meningkatkan produktivitas lahan.

(4)

POTENSI PUPUK ORGANIK

Pupuk organik berasal dari limbah tanaman pangan

Pupuk organik berasal dari limbah tanaman perkebunan Pupuk organik berasal dari limbah peternakan

(5)

PUPUK ORGANIK BERASAL DARI LIMBAH TANAMAN PANGAN

Limbah tanaman pangan yang dapat dijadikan pupuk organik antara lain : jerami padi, brangkasan jagung, biomassa kacang tanah, biomassa kacang hijau dan biomassa kedelai

(6)
(7)

PUPUK ORGANIK DARI LIMBAH PERKEBUNAN

Limbah perkebunan yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pupuk organik yaitu tandan kosong kelapa sawit (TKS) TKS dapat dijadikan kompos melalui proses dekomposisi TKS dapat dijadikan pupuk yang kaya akan kandungan unsur N, P, K dan Mg

(8)
(9)

MANFAAT TANDAN

KOSONG KELAPA SAWIT

Secara langsung :

a. Penggunaan pupuk MOP/KCL dan dolomit dihilangkan, serta penggunaan pupuk SP36 menjadi setengah dosisnya

b. Dapat menyerap dan menahan air sehingga dapat mempertahankan kelembapan tanah

c. Dapat menahan dan mengurangi pengikisan tanah oleh air hujan pada lahan yang memiliki yang curam

d. Dapat menekan pertumbuhan gulma yang tumbuh disekitar tanaman sawit

(10)

Secara tidak langsung :

a. Sebagai sumber K untuk tanaman karena memiliki kandungan kalium yang cukup tinggi.

b. Memperkaya unsur hara di tanah karena mengandung kalsium, fosfat dan magnesium

c. Mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah

(11)

PUPUK ORGANIK DARI LIMBAH PETERNAKAN

Limbah ternak yang dapat dimanfaatkan antara lain kotoran golongan ruminansia dan unggas.

Menurut penelitian di kabupaten Kampar, Ruminansia besar dapat menghasilkan kotoran sebanyak 3 kg/hari, sedangkan ruminansia kecil menghasilkan kotoran sebanyak 0,5 kg/hari dan untuk jenis unggas dapat menghasilkan kotoran sebanyak 200 g/hari.

Apabila semua kotoran yang dihasilkan dikomposkan akan mengalami penyusutan 50%

(Balittanah, 2008)

(12)

PERAN PUPUK ORGANIK

Menurut penelitian penggunaan pupuk organik yang berasal dari jerami padi dapat mengurangi kebutuhan pupuk

terutama pupuk K.

Penggunaan kompos jerami sebanyak 5 ton/ha selama 4

musim tanam dapat menyumbang hara sebesar 170 kg unsur K, 160 kg unsur Mg dan 200 kg unsur Si.

80% Kalium yang diserap tanaman berada pada jerami (Rochayati et al.1991)

Kandungan hara tertinggi jerami selain Su (4-7%), Kalium (1,2-1,7%) dan unsur lain seperti N (0,5-0,8%), P (0.07-0.12%) dan S (0,05-0,10%) (Dobermann dan Fairhust, 2000).

(13)
(14)
(15)

POTENSI LIMBAH SAMPAH RUMAH TANGGA

Sebagian besar sampah dari pemukiman (rumah tangga) berupa sampah organik, yang proporsinya dapat mencapai 78%. Sampah organik ini umumnya bersifat biodegradable, yaitu dapat terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana oleh aktivitas mikroorganisme tanah.

Penguraian dari sampah organik ini akan menghasilkan materi yang kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan, sehingga sangat baik digunakan sebagai pupuk organik. Sedang bahan baku pembuatan pupuk organik berasal dari lingkungan setempat cukup banyak dan murah (Sulistyawati et al., 2009).

(16)
(17)

TAHAPAN PENGOLAHAN LIMBAH SAMPAH ORGANIK

(18)

ALASAN SAMPAH PERLU DIKOMPOSKAN

1. Apabila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik berlangsung cepat, sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman

2. Penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara ke dalam tanah;

3. Struktur bahan organik segar sangat kasar dan daya serap terhadap air kecil, sehingga bila langsung dibenamkan akan menyebabkan tanah remah:

4. Pembuatan kompos dengan memanfaatkan sampah rumah tangga merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum digunakan sebagai pupuk.

(19)

STANDAR MUTU KUALITAS

Tolok ukur kualitas pupuk organik yang dihasilkan adalah kandungan C-organik, C/N rasio dan N- total. Hasil analisis dari kompos sampah rumah tangga yang diproduksi oleh BPTP Jawa Timur menunjukkan kandungan C-organik berkisar 15,41 -18,89, C/N- rasio berkisar 11,8812,04-18,29, dan N- total berkisar 0,58 - 1,57%.

(20)

LANJUTAN

Menurut Zainal et al. (2008), zat arang atau karbon yang terdapat dalam bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroorganisme. Dalam proses pencernaan oleh mikroorganisme terjadi reaksi pembakaran antara unsur karbon dan oksigen menjadi kalori dan karbon dioksida (CO2). Karbon dioksida ini dilepas menjadi gas, kemudian unsur nitrogen yang terurai ditangkap mikroorganisme untuk membangun tubuhnya. Pada waktu mikroorganisme ini mati, unsur nitrogen akan tinggal bersama kompos dan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman.

(21)

Hal ini berarti pupuk organik ini selain sebagai sumber hara (melepaskan unsur hara terutama N dalam waktu relatif cepat) juga dapat digunakan sebagai sumber bahan organik tanah.

(22)

FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PROSES PENGOMPOSAN

Komposisi bahan Reaksi kimiawi

Tempat dan Waktu

(23)

PERUBAHAN YANG TERJADI SAAT PENGOMPOSAN DIPENGARUHI OLEH

Susunan Bahan Ukuran bahan Suhu optimal

Derajat keasaman atau pHpada tumpukan kompos Kandungan Air dan Oksigen

Kandungan Nitrogen C/N ratio

(24)

BAHAN ORGANIK TANAH

Bahan organik tanah berfungsi sebagai pengikat butiran primer tanah menjadi butiran sekunder dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini berpengaruh terhadap porositas, penyimpanan dan penyediaan air, serta aerasi dan temperatur tanah.

Bahan organik tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman karena perbandingan C/N yang masih relatif tinggi. Tanaman dapat memanfaatkan bahan organik yang mempunyai rasio C/N mendekati C/N tanah yang nilainya berkisar antara 10-12.

Limbah jerami padi termasuk bahan organik yang mempunyai rasio C/N tinggi (50-70). Bahan yang mempunyai rasio C/N tinggi memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap perubahan sifat fisik tanah dibandingkan dengan kompos yang telah terdekomposisi.

(25)

Pengunaan bahan organik dengan rasio C/N tinggi

menyebabkan aktivitas biologi mikroorganisme akan

berkurang sehingga proses dekomposisi bahan

kompos memerlukan waktu lebih lama. Selain dapat

menyediakan unsur hara makro dan mikro, pupuk

organik berperan penting dalam meningkatkan

kapasitas tukar kation (KTK) tanah dan bereaksi

dengan ion logam dalam membentuk senyawa

kompleks (Balittanah 2008).

(26)

PUPUK ORGANIK CAIR (POC)

Pupuk organik terdapat dalam bentuk padat dan cair.

Kelebihan pupuk organik cair adalah unsur hara yang terdapat didalamnya lebih mudah diserap tanaman (Murbandono, 1990).

Pemberian pupuk organik cair juga harus memperhatikan dosis yang diaplikasikan terhadap tanaman. Mengakibatkan timbulnya gejala kelayuan pada tanaman. (Rahmi dan Jumiati, 2007).

(27)

Prinsip pembuatan pupuk adalah menurunkan rasio C/N bahan organik, sehingga sama dengan rasio C/N tanah (< 20). Semakin tinggi rasio C/N bahan maka proses pembuatan pupuk akan semakin lama karena rasio C/N harus diturunkan. Rasio C/N merupakan perbandingan dari pasokan energi mikroba yang digunakan terhadap nitrogen untuk sintesis protein. Standar kualitas pupuk di Indonesia yaitu memiliki rasio C/N berkisar 10- 20 % (Sundari dkk., 2012).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pupuk organik cair limbah kulit nanas mengandung phospor (P) 23,63 ppm, kalium (K) 08,25 ppm, nitrogen (N) 01,27 %, kalsium (Ca) 27,55 ppm, magnesium (Mg) 137,25 ppm, natrium (Na) 79,52 ppm, besi (Fe) 1,27 ppm, mangan (Mn) 28,75 ppm, tembaga (Cu) 0,17 ppm, seng (Zn) 0,53 ppm dan karbon (C) organik 3,10 %.

(28)

MOL (MIKROORGANISME LOKAL)

MOL merupakan cairan yang terbuat dari bahan-bahan alami, sebagai media hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang berguna untuk mempercepat penghancuran bahan organik atau sebagai dekomposer/aktivator dan juga sebagai tambahan nutrisi bagi tumbuhan yang sengaja dikembangkan dari mikroorganisme yang berada ditempat tersebut.

Larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan makro serta bakteri yang berpotensi sebagai perombak organik, perangsang pertumbuhan, agens pengendali hama dan penyakit tanaman.

MOL dapat dijadikan sebagai pupuk hayati dan sebagai pestisida hayati khususnya fungisida

(29)

BAHAN BAKU

PEMBUATAN MOL

Menurut Hadinanta (2008) jenis komponen sebagai bahan utama dalam MOL terdiri dari

Karbohidrat : air cucian beras, nasi basi, singkong, kentang, gandum

Glukosa : gula merah diencerkan dengan air, cairan gula pasir, gula batu dicairkan, air gula dan air kelapa

Sumber bakteri : keong mas, kulit buah-buahan misal tomat, pepaya, air kencing , bonggol pisang dll

(30)

CARA PEMBUATAN MOL

Misal dengan bahan baku bonggol pisang 5 kg yang sudah dihaluskan, 5 L air cucan beras, dan 0.25 kg gula jawa.

Caranya : bonggol pisang dimasukkan dalam ember/toples, kemudian air cucian beras dan gula jawa dimasukkan dalam ember dan ditutup rapat dengan selotif. Selang dipasang antara ember dan botol plastik berisi air, kemudian di peram selama 7-10 hari, dan jika sudah jadi disaring.

(31)

CARA PEMAKAIAN MOL

a. Untuk pengomposan

 Segera setelah panen, dilakukan pengolahan tanah awal

 Sebarkan jerami/sisa panen secara merata

 Basahi jerami/sisa panen secara merata (tidak terendam)

 Semprotkan MOL 5 liter dan 9 Liter air (35-50 liter/ha)

 Sebarkan pupuk organik dan biarkan lahan selama 10- 15 hari

 Lakukan pengolahan tanah secara sempurna

 Dengan konsentrasi perbandingab 1: 5 yaitu 1 liter MOL dan 5 liter air dan 1 ons gula merah kemudian campurkan pada bahan organik yang akan dikomposkan

(32)

b. Untuk Pemupukan

 Pada umur 10-14 hari setelah tanam , lakukan penyiangan

 Setelah penyiangan, air petakan jangan dibuang dan dimasukkan /tidak ada air yang masuk (-3-4 hari)

 Disemprot dengan MOL setiap 7 hari sekali dalam 7 minggu (konsentrasi 1 gelas plastik bekas per tangki 14 liter)

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2008. Kabupaten Kampar dalam Angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kampar.

Balai Penelitian Tanah. 2008. Pupuk organik untuk tingkatkan produksi pertanian. Balittanah. Bogor

Dobermann, A. dan T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders &

Nutrient Management Potash & Potash Institute of Canada.

Musnamar. 2003. Pupuk Organik Cair dan Padat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Purwa, D.R. 2007. Petunjuk Pemupukan. Agromedia Pustaka.

Jakarta.

Sulaeman, Suparto, Eviati, 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. Balai Penelitian Tanah. Bogor.

(34)

TERIMA KASIH

(35)

BIOPESTISIDA

OLEH

APRILIA IKE NURMALASARI, S.P.,M.Sc Laboratorium Ekologi dan Manajemen Produksi

Tanaman

Program Studi Agroteknologi

(36)

Biopestisida merupakan salah satu komponen dalam pengelolaan hama dan penyakit. Biopestisida didefinisikan sebagai bahan yang berasal dari mahluk hidup (tanaman, hewan atau mikroorganisme) yang berkhasiat menghambat pertumbuhan dan perkembangan atau mematikan hama atau organisme penyebab penyakit.

Schumann and D’Arcy (2012) mendefinisikan biopestisida sebagai senyawa organik dan mikrobia antagonis yang menghambat atau membunuh hama dan penyakit tanaman.

Biopestisida memiliki senyawa organik yang mudah terdegradasi di alam

PENDAHULUAN

(37)

Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati.

(38)

Pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Menurut FAO (1988) dan US EPA (2002), pestisida nabati dimasukkan ke dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung biotoksin

Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami dapat mengendalikan hama dengan mekanisme non toksik.

PESTISIDA NABATI

(39)

Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang merupakan metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu.

Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk ke dalam 235 famili (Kardinan, 1999). Menurut Morallo-Rijesus (1986) dalam Sastrosiswojo (2002), jenis tanaman dari famili Asteraceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae, dilaporkan paling banyak mengandung bahan insektisida nabati.

(40)

Kearifan nenek moyang kita bermula dari kebiasaan menggunakan bahan jamu (empon-empon = Jawa), tumbuhan bahan racun (gadung, ubi kayu hijau, pucung, jenu = Jawa), tumbuhan berkemampuan spesifik (mengandung rasa gatal, pahit, bau spesifik, tidak disukai hewan/serangga, seperti awarawar, rawe, senthe), atau tumbuhan lain berkemampuan khusus terhadap hama/penyakit (biji srikaya, biji sirsak, biji mindi, daun mimba, lerak, dll).

(41)

BEBERAPA KEUNTUNGAN/KELEBIHAN PENGGUNAAN PESTISIDA NABATI (GERRITS DAN VAN LATUM, 1988)

DALAM SASTROSISWOJO, 2002)

1. Mempunyai sifat cara kerja (mode of action) yang unik, yaitu tidak meracuni (non toksik).

2. Mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan serta relatif aman bagi manusia dan hewan peliharaan karena residunya mudah hilang.

3. Penggunaannya dalam jumlah (dosis) yang kecil atau rendah.

4. Mudah diperoleh di alam, contohnya di Indonesia sangat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati.

5. Cara pembuatannya relatif mudah dan secara sosial-ekonomi penggunaannya menguntungkan bagi petani kecil di negara-negara berkembang.

(42)

JENIS TUMBUHAN YANG BERPOTENSI UNTUK PESTISIDA NABATI

Jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pestisida nabati merupakan hasil penggalian/pencarian dari beberapa desa pada enam provinsi di kepulauan Sumatera, yaitu Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera Barat, Bangka-Belitung, dan Sumatera Utara.

Pendekatan pencarian ini berdasarkan penggunaannya dalam pengendalian hama tanaman, hama ternak dan racun ikan secara tradisional oleh masyarakat

(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)

TEKNIK PEMBUATAN PESTISIDA NABATI

SECARA SEDERHANA

Pembuatan pestisida nabati, yaitu dalam bentuk ekstrak secara sederhana (jangka pendek) dapat dilakukan oleh petani, dan penggunaannya biasanya dilakukan sesegera mungkin setelah pembuatan ekstrak. Pembuatan secara sederhana ini berorientasi kepada penerapan usaha tani berinput rendah.

(55)

SECARA LABORATORIUM

Cara laboratorium (jangka panjang) biasanya dilakukan oleh tenaga ahli yang sudah terlatih dan hasil kemasannya memungkinkan untuk disimpan relatif lama.

Pembuatan cara laboratorium berorientasi pada industri, membutuhkan biaya tinggi, sehingga produk pestisida nabati menjadi mahal, bahkan kadang lebih mahal daripada pestisida sintetis.

(56)

P

EMBUATAN PESTISIDA NABATI DAPAT DILAKUKAN DENGAN BERBAGAI CARA YAITU

A. Penggerusan, penumbukan, pembakaran atau pengepresan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu atau pasta.

B. Perendaman untuk produk ekstrak.

Pembuatan ekstrak ini dapat dilakukan dengan beberapa cara :

1) Tepung tumbuhan + air

2) Tepung tumbuhan + air, kemudian dipanaskan/direbus

3) Tepung tumbuhan + air + deterjen

4) Tepung tumbuhan + air + surfaktan (pengemulsi) pestisida

5) Tepung tumbuhan + air + sedikit alkohol/metanol + surfaktan

C. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus.

(57)

Pemanfaatan tumbuhan penghasil pestisida nabati dalam pengendalian hama sudah banyak dilakukan, terutama di bidang pertanian dan perkebunan dan hasilnya efektif. Penggunaan suatu pestisida nabati akan lebih baik hasilnya atau lebih efektif apabila dipadukan dengan pestisida nabati lainnya. Aplikasinya dapat dilakukan secara pencampuran atau secara berselang-seling, misal ekstrak daun sirsak dan ekstrak biji mimba. Penggunaan pestisida nabati juga dapat dipadukan dengan musuh alami bila bahan pestisida nabati tersebut tidak beracun bagi musuh alami.

(58)

PESTISIDA HAYATI

Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga (hama) maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman).

Formulasi Beuveria bassiana (isolat segunung) mampu mengendalikan hama kumbang moncong yang merupakan hama utama anggrek serta kumbang mawar dan kutu daun pada tanaman krisan.

(59)

Kelompok bakteri yang telah diteliti dan digunakan yaitu agen hayati seperti genus Bacillus (B.polimyxa, B.Substilis, B.thuringiensis), Pseudomonas (P.Fluorescens- pf), kelompok cendawan (Trichoderma harzianum, dan Glicocladium sp).

Formulasi pestisida dari BALITHI yaitu Bio-PF mengandung pf untuk mengendalikan penyakit layu bakteri dan cendawan, rebah kecambah dan bercak daun yang disebabkan oleh Fusarium sp.

Bio-GL mengandung Gliocladium spp untuk mengendalikan penyakit tular tanah yang disebabkan oleh Phytium spp.

(60)

Prima-BF mengandung Bacillus sp dan pf untuk mengendalikan penyakit akar bengkak, layu fusarium, layu bakteri dan busuk daun.

Biopestisida menurut Sastroutomo (1992) dapat dibedakan menjadi 3 yaitu bioherbisida, biofungisida, biointekstisida)

Bioinsektisida berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida misal B. thuringiensis.

Bioherbisida adalah pengendalian gulma dengan menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Seperti DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora untuk Morrenia odorata (gulma pada tanaman jeruk)

(61)

Biofungisida yaitu digunakan untuk mengendalikan penyakit jamur. Biofungisida yang digunakan yaitu spora Trichordema sp.

yang digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai.

(62)

KENDALA, KEUNTUNGAN DAN PELUANG BIOPESTISIDA

Biopestisida berbentuk ekstrak dari bagian tanaman, bukan sintesis senyawa aktifnya sehingga membutuhkan volume yang besar sehingga kurang praktis dalam transportasi.

Efektivitas biofungisida tidak bisa sama dengan fungisida kimia.

(63)

Keuntungan penggunaan biopestisida adalah ramah lingkungan karena senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya mudah luruh di alam (Schumann and D’Arcy 2012). Biopestisida tidak menimbulkan resistensi atau resurgensi sehingga tidak menimbulkan rasras baru pada mikroorganisme penyebab penyakit (Kardinan 2004). Senyawa dalam biopestisida tidak bersifat racun pada manusia, sehingga tidak menggangggu kesehatan pengguna (petani) dan konsumen.

(64)

Biopestisida berpeluang dikembangkan di Indonesia karena terdapat beragam tanaman dan mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai bahan baku. Supaya biopestisida tersedia dari waktu ke waktu maka penanaman tanaman penghasil bahan nabati sampai menjadi bahan baku harus terus menerus dilakukan, atau pembiakan massal suatu predator, cendawan entomopatogen (B. bassiana, L. lecanii), atau antagonis penyebab penyakit (Trichoderma sp.), terutama di sentra produksi tanaman pangan.

Supaya mudah didapatkan petani, maka biopestisida harus tersebar hingga ke desa dan mendapat pengawasan dari pihak kompeten.

(65)

DAFTAR PUSTAKA

FWI dan GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C. Global Forest Watch.

Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi.

Penebar Swadaya. Jakarta.

Sastrosiswojo, S. 2002. Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya Penggunaan Biopestisida di Indonesia. Makalah pada Lokakarya Keanekaragaman Hayati Untuk Perlindungan Tanaman, Yogyakarta, Tanggal 7 Agustus 2002.

Whitmore, T.C., 1975. Tropical Rain Forests of the Far East. Clarendon Press. Oxford

Whitten T., S.J. Damanik, J. Anwar dan N. Hisyam, 1997. The Ecology of Sumatra. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore

(66)
(67)

Studi kasus teknik pengendalian Hama pada pertanian Organik

APRILIA IKE NURMALASARI, S.P., M.Sc

Laboratorium Ekologi dan Manajemen Produksi Tanaman

Fakultas Pertanian UNS

(68)

PENDAHULUAN

Pengendalian dan pemberatasan hama tanaman merupakan unsur penting yang menentukan berhasil tidaknya usaha pertanian yang dijalankan.

Tanaman padi yang dikelola secara organik

juga tidak lepas dari berbagai serangan hama

dan penyakit tanaman

(69)

CONTOH PENGENDALIAN HAMA

Hama Tikus : Pengendalian sedini mungkin sebelum tikus beranak, sehingga lebih mudah untuk mengendalikan

Walang sangit : dengan lampu petromaks yang ditempatkan di tengah sawah pada

malam hari, Cahaya dari lampu tersebut akan menarik kedatangan walang sangit.

Walang sangit yang mendatangi lampu

petromaks akan mati karena terbakar atau

kena panas dari lampu tersebut

(70)

Lanjutan

Menggunakan ketam yang ditaruh pada

sabut kelapa. Selanjutnya sabut kelapa yang sudah berisi ketam tersebut ditempatkan di banyak tempat pada lahan sawah

dengan menggunakan anjir dari bambu.

Dengan umpan tersebut walang sangit

tidak akan menyerang padi

(71)

Ulat Penggerek

Merusak bagian-bagian pucuk tanaman sehingga menyebabkan tanaman padi mati,

Pengendalian

Menggunakan abu yang berasal dari pembakaran merang yang sudah disimpan atau “dileremke”

selama satu atau dua musim tanam. Abu yang sudah disimpan tersebut ditebarkan pada

tanaman. Dalam abu merang diyakini

ada“landha” semacam shampoo yang berkasiat

untuk membasmi ulat.

(72)

Menggunakan campuran air tuba, sabun colek, minyak tanah dan rendaman air tembakau untuk membasmi ulat.

Hama Wereng

Pengeringan, menggunakan daun suren untuk

mengatasi hama wereng, menangkarkan laba-

laba penjaring sebagai predator alami dari

wereng

(73)

Sundep (Penggerek Batang) Pengendalian :

Pengeringan, melakukan pengamatan siklus hidup dan dapat menggunakan lampu

perangkap.

(74)

Daftar pustaka

Andreas Avelinus Suwantoro, 2008. Analisis Pengembangan Pertanian Organik di Kabupaten Magelang (Studi Kasus Di Kecamatan Sawangan).

Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.

(75)

Cropping System in The Tropic

Aprilia Ike Nurmalasari, S.P.,M.Sc

(76)

Cropping Patterns: The yearly

sequence and spatial arrangement of crops and fallow on a given area.

Cropping System: Depending on the

resources and technology available,

different types of cropping systems

are adopted on farms, which are as

below.

(77)
(78)

Type of Cropping System

1.

Monoculture

2.

Sole Cropping

3.

Multiple Cropping or Polycropping

4.

Polyculture

(79)

Monoculture

Practice of repetitive growing only crop

irrespective of its intensity as rice-rice-rice in

Kerala, West Bengal and Orissa.

(80)

Sole Cropping

One crop variety grown alone in pure

stand at normal density

(81)

Multiple Cropping or Polycropping

It is a cropping system where two or three crops are gown annually on the same piece of land using high input

without affecting basic fertility of the soil.

(82)

Polyculture

Cultivation of more than two types of

crops grown together on a piece of land

in a crop season.

(83)

Intercropping

(84)

Advantages of Intercropping

1.

Greater stability of yield over different seasons,

2.

Better use of growth resources

3.

Better control of weeds, pests and diseases

4.

One crop provides physical support to the other crop

5.

One crop provides shelter to the other crop,

6.

Erosion control through providing

continuous leaf cover over the ground

surface, and g) it is the small farmers of

limited means who is most likely to benefit.

(85)

Disadvantages of Intercropping

1.

Yield decrease because of adverse competition effect

2.

Allelopathic effect

3.

Creates obstruction in the free use of machines for intercultural operations and

4.

Large farmers with adequate resources

may likely to get less benefit out of

intercropping.

(86)

Type of Inter-Cropping

Mixed intercropping: Growing two or more crops simultaneously with no distinct row arrangement.

Row intercropping: Growing two or more crops simultaneously where one or more

crops are planted in rows.

Relay inter-cropping: Growing two or more crops simultaneously during part of the life cycle of each. A second crop is

planted after the first crop has reached its

reproductive stage but before it is ready for

harvest.

(87)

Strip Inter-cropping: different strips wide enough to permit independent cultivation but narrow enough for the crops to interact ergonomically.

Agroforestry: land use management system in which trees or shrubs are grown around or among crops or pastureland. It combines shrubs and trees in agricultural and forestry technologies to create more diverse,

productive, profitable, healthy, ecologically

sound, and sustainable land-use systems.

(88)

Ratoon cropping

Planting is done by road pruning up to

with the base of the stem and so on new shoots will grow later and allowed to

grow until harvest next and can be

repeated several time

(89)

Mixed intercropping

(Maize – peanut – Cowpea – Soybean)

(90)

Jatropha - Flowers

(91)

Mixed intercropping

(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)

Land Equivalent Ratio (LER) is a description of land use efficiency. Land equality value can be calculated when the crop has been harvested.

Area Time Equivalent Ratio (ATER) is a

description of the value of land equality based

on time. Profit yield per unit of land is also

influenced by planting time and harvest time in

intercropping. The longer a type plants are in

the land then the benefits from the time side

increasingly small

(98)

LER = 𝒀𝒊

𝒀𝒋 + 𝑿𝒊

𝑿𝒋

Description :

Yi = intercropped Y plant production Yj = monocultured Y plant production Xi = intercropped X plant production Xj = monocultures X plant production

If on the results of the analysis obtained a greater NKL value 1 (> 1), it shows that the pattern intercropping planting is more productive than monoculture

(99)
(100)

Reference

Palaniapan, S.P. Cropping system in the tropic (Principle and Management). Tamil Nadu Agriculture University Coimbatore, India.

Syprianus Ceunfin, Djoko Prajitno, Priyono Suryanto, Eka Tarwaca Susila Putra. 2017. Penilaian Kompetisi dan Keuntungan Hasil Tumpangsari Jagung Kedelai di Bawah Tegakan Kayu Putih.

Savana Cendana 2 (1) 1-3.

Ahmad Rifai, Seno Basuki, dan Budi Utomo. 2014.

Land Equivalent Ratio Cultivation Of Sugarcane And Soybean Intercropping: Case Study At Karangharjo Village, Sulang Districts, Rembang Regency. Widyariset, Volume 17, Nomor 1, hal.

59–70

(101)

THANK YOU

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa teori jadi kesimpulannya pola komunikasi sebagai aksi anatara guru dan siswa dalam proses pembelajaran sosiologi pada

Abbreviations 1 first person 2 second person abil abilitative abl ablative adv adverbial ben benefactive caus causative circ circumstantial cmp comparative cond conditional cop

kepada polisi karena telah mengamputasi kaki yang salah dari seorang pasien pada suatu prosedur emergensi. Hal lain yang sempat menjadi perhatian peneliti mengenai

Dari hasil jawaban responden untuk variabel Rekrutmen (X1) masih banyak responden yang menjawab ragu-ragu dengan total 49 responden untuk pernyataan “Proses

Apabila dikaitkan dengan target Renstra Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali, dimana target pada tahun 2018 sebesar 89,78% sedangkan capaian sampai tahun ini sebesar

•  To establish a modular architecture, create a schematic of the product, and cluster the elements of the schematic to achieve the types of product variety desired.. Establishing

Gambar 6., menunjukkan pola indeks pengangkatan atau Surface Lifted Index ( SLI ) yang terjadi di wilayah Jawa Barat pada tanggal 22 Desember 1998 menunjukkan kesesuaian dengan

Gerakan ekologi yang berlangsung di kedua pesantren ini, juga merupakan gerakan aksi bersama yang bertujuan mendapatkan keuntungan baik dari sisi ekologi atau