TEKNOLOGI PRODUKSI TANAMAN ORGANIK (AT405A)
APRILIA IKE NURMALASARI, S.P., M.SC
LABORATORIUM EKOLOGI DAN MANAJEMEN PRODUKSI TANAMAN PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN , UNS
PUPUK ORGANIK, POC DAN MOL
PUPUK ORGANIK
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal
dari tumbuhan mati, kotoran hewan
dan/atau bagian hewan dan/atau limbah
organik lainnya yang telah melalui proses
rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat
diperkaya dengan bahan mineral dan/atau
mikroba, yang bermanfaat untuk
meningkatkan kandungan hara dan bahan
organik tanah serta memperbaiki sifat fisik,
kimia dan biologi tanah.
KEUNTUNGAN
PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK
Mampu meningkatkan kemampuan tanah mengikat air,
Meningkatkan daya tahan tanah terhadap erosi,
Memperbaiki biodiversitas dan kesehatan tanah, serta
Mengurangi penggunaan pupuk anorganik.
Pupuk organik tidak akan meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia (Musnamar 2003).
Memperbaiki struktur tanah
Meningkatkan produktivitas lahan.
POTENSI PUPUK ORGANIK
Pupuk organik berasal dari limbah tanaman pangan
Pupuk organik berasal dari limbah tanaman perkebunan Pupuk organik berasal dari limbah peternakan
PUPUK ORGANIK BERASAL DARI LIMBAH TANAMAN PANGAN
Limbah tanaman pangan yang dapat dijadikan pupuk organik antara lain : jerami padi, brangkasan jagung, biomassa kacang tanah, biomassa kacang hijau dan biomassa kedelai
PUPUK ORGANIK DARI LIMBAH PERKEBUNAN
Limbah perkebunan yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pupuk organik yaitu tandan kosong kelapa sawit (TKS) TKS dapat dijadikan kompos melalui proses dekomposisi TKS dapat dijadikan pupuk yang kaya akan kandungan unsur N, P, K dan Mg
MANFAAT TANDAN
KOSONG KELAPA SAWIT
Secara langsung :
a. Penggunaan pupuk MOP/KCL dan dolomit dihilangkan, serta penggunaan pupuk SP36 menjadi setengah dosisnya
b. Dapat menyerap dan menahan air sehingga dapat mempertahankan kelembapan tanah
c. Dapat menahan dan mengurangi pengikisan tanah oleh air hujan pada lahan yang memiliki yang curam
d. Dapat menekan pertumbuhan gulma yang tumbuh disekitar tanaman sawit
Secara tidak langsung :
a. Sebagai sumber K untuk tanaman karena memiliki kandungan kalium yang cukup tinggi.
b. Memperkaya unsur hara di tanah karena mengandung kalsium, fosfat dan magnesium
c. Mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah
PUPUK ORGANIK DARI LIMBAH PETERNAKAN
Limbah ternak yang dapat dimanfaatkan antara lain kotoran golongan ruminansia dan unggas.
Menurut penelitian di kabupaten Kampar, Ruminansia besar dapat menghasilkan kotoran sebanyak 3 kg/hari, sedangkan ruminansia kecil menghasilkan kotoran sebanyak 0,5 kg/hari dan untuk jenis unggas dapat menghasilkan kotoran sebanyak 200 g/hari.
Apabila semua kotoran yang dihasilkan dikomposkan akan mengalami penyusutan 50%
(Balittanah, 2008)
PERAN PUPUK ORGANIK
Menurut penelitian penggunaan pupuk organik yang berasal dari jerami padi dapat mengurangi kebutuhan pupuk
terutama pupuk K.
Penggunaan kompos jerami sebanyak 5 ton/ha selama 4
musim tanam dapat menyumbang hara sebesar 170 kg unsur K, 160 kg unsur Mg dan 200 kg unsur Si.
80% Kalium yang diserap tanaman berada pada jerami (Rochayati et al.1991)
Kandungan hara tertinggi jerami selain Su (4-7%), Kalium (1,2-1,7%) dan unsur lain seperti N (0,5-0,8%), P (0.07-0.12%) dan S (0,05-0,10%) (Dobermann dan Fairhust, 2000).
POTENSI LIMBAH SAMPAH RUMAH TANGGA
Sebagian besar sampah dari pemukiman (rumah tangga) berupa sampah organik, yang proporsinya dapat mencapai 78%. Sampah organik ini umumnya bersifat biodegradable, yaitu dapat terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana oleh aktivitas mikroorganisme tanah.
Penguraian dari sampah organik ini akan menghasilkan materi yang kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan, sehingga sangat baik digunakan sebagai pupuk organik. Sedang bahan baku pembuatan pupuk organik berasal dari lingkungan setempat cukup banyak dan murah (Sulistyawati et al., 2009).
TAHAPAN PENGOLAHAN LIMBAH SAMPAH ORGANIK
ALASAN SAMPAH PERLU DIKOMPOSKAN
1. Apabila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik berlangsung cepat, sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman
2. Penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara ke dalam tanah;
3. Struktur bahan organik segar sangat kasar dan daya serap terhadap air kecil, sehingga bila langsung dibenamkan akan menyebabkan tanah remah:
4. Pembuatan kompos dengan memanfaatkan sampah rumah tangga merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum digunakan sebagai pupuk.
STANDAR MUTU KUALITAS
Tolok ukur kualitas pupuk organik yang dihasilkan adalah kandungan C-organik, C/N rasio dan N- total. Hasil analisis dari kompos sampah rumah tangga yang diproduksi oleh BPTP Jawa Timur menunjukkan kandungan C-organik berkisar 15,41 -18,89, C/N- rasio berkisar 11,8812,04-18,29, dan N- total berkisar 0,58 - 1,57%.
LANJUTAN
Menurut Zainal et al. (2008), zat arang atau karbon yang terdapat dalam bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroorganisme. Dalam proses pencernaan oleh mikroorganisme terjadi reaksi pembakaran antara unsur karbon dan oksigen menjadi kalori dan karbon dioksida (CO2). Karbon dioksida ini dilepas menjadi gas, kemudian unsur nitrogen yang terurai ditangkap mikroorganisme untuk membangun tubuhnya. Pada waktu mikroorganisme ini mati, unsur nitrogen akan tinggal bersama kompos dan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman.
Hal ini berarti pupuk organik ini selain sebagai sumber hara (melepaskan unsur hara terutama N dalam waktu relatif cepat) juga dapat digunakan sebagai sumber bahan organik tanah.
FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PROSES PENGOMPOSAN
Komposisi bahan Reaksi kimiawi
Tempat dan Waktu
PERUBAHAN YANG TERJADI SAAT PENGOMPOSAN DIPENGARUHI OLEH
Susunan Bahan Ukuran bahan Suhu optimal
Derajat keasaman atau pHpada tumpukan kompos Kandungan Air dan Oksigen
Kandungan Nitrogen C/N ratio
BAHAN ORGANIK TANAH
Bahan organik tanah berfungsi sebagai pengikat butiran primer tanah menjadi butiran sekunder dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini berpengaruh terhadap porositas, penyimpanan dan penyediaan air, serta aerasi dan temperatur tanah.
Bahan organik tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman karena perbandingan C/N yang masih relatif tinggi. Tanaman dapat memanfaatkan bahan organik yang mempunyai rasio C/N mendekati C/N tanah yang nilainya berkisar antara 10-12.
Limbah jerami padi termasuk bahan organik yang mempunyai rasio C/N tinggi (50-70). Bahan yang mempunyai rasio C/N tinggi memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap perubahan sifat fisik tanah dibandingkan dengan kompos yang telah terdekomposisi.
Pengunaan bahan organik dengan rasio C/N tinggi
menyebabkan aktivitas biologi mikroorganisme akan
berkurang sehingga proses dekomposisi bahan
kompos memerlukan waktu lebih lama. Selain dapat
menyediakan unsur hara makro dan mikro, pupuk
organik berperan penting dalam meningkatkan
kapasitas tukar kation (KTK) tanah dan bereaksi
dengan ion logam dalam membentuk senyawa
kompleks (Balittanah 2008).
PUPUK ORGANIK CAIR (POC)
Pupuk organik terdapat dalam bentuk padat dan cair.
Kelebihan pupuk organik cair adalah unsur hara yang terdapat didalamnya lebih mudah diserap tanaman (Murbandono, 1990).
Pemberian pupuk organik cair juga harus memperhatikan dosis yang diaplikasikan terhadap tanaman. Mengakibatkan timbulnya gejala kelayuan pada tanaman. (Rahmi dan Jumiati, 2007).
Prinsip pembuatan pupuk adalah menurunkan rasio C/N bahan organik, sehingga sama dengan rasio C/N tanah (< 20). Semakin tinggi rasio C/N bahan maka proses pembuatan pupuk akan semakin lama karena rasio C/N harus diturunkan. Rasio C/N merupakan perbandingan dari pasokan energi mikroba yang digunakan terhadap nitrogen untuk sintesis protein. Standar kualitas pupuk di Indonesia yaitu memiliki rasio C/N berkisar 10- 20 % (Sundari dkk., 2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pupuk organik cair limbah kulit nanas mengandung phospor (P) 23,63 ppm, kalium (K) 08,25 ppm, nitrogen (N) 01,27 %, kalsium (Ca) 27,55 ppm, magnesium (Mg) 137,25 ppm, natrium (Na) 79,52 ppm, besi (Fe) 1,27 ppm, mangan (Mn) 28,75 ppm, tembaga (Cu) 0,17 ppm, seng (Zn) 0,53 ppm dan karbon (C) organik 3,10 %.
MOL (MIKROORGANISME LOKAL)
MOL merupakan cairan yang terbuat dari bahan-bahan alami, sebagai media hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang berguna untuk mempercepat penghancuran bahan organik atau sebagai dekomposer/aktivator dan juga sebagai tambahan nutrisi bagi tumbuhan yang sengaja dikembangkan dari mikroorganisme yang berada ditempat tersebut.
Larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan makro serta bakteri yang berpotensi sebagai perombak organik, perangsang pertumbuhan, agens pengendali hama dan penyakit tanaman.
MOL dapat dijadikan sebagai pupuk hayati dan sebagai pestisida hayati khususnya fungisida
BAHAN BAKU
PEMBUATAN MOL
Menurut Hadinanta (2008) jenis komponen sebagai bahan utama dalam MOL terdiri dari
Karbohidrat : air cucian beras, nasi basi, singkong, kentang, gandum
Glukosa : gula merah diencerkan dengan air, cairan gula pasir, gula batu dicairkan, air gula dan air kelapa
Sumber bakteri : keong mas, kulit buah-buahan misal tomat, pepaya, air kencing , bonggol pisang dll
CARA PEMBUATAN MOL
Misal dengan bahan baku bonggol pisang 5 kg yang sudah dihaluskan, 5 L air cucan beras, dan 0.25 kg gula jawa.
Caranya : bonggol pisang dimasukkan dalam ember/toples, kemudian air cucian beras dan gula jawa dimasukkan dalam ember dan ditutup rapat dengan selotif. Selang dipasang antara ember dan botol plastik berisi air, kemudian di peram selama 7-10 hari, dan jika sudah jadi disaring.
CARA PEMAKAIAN MOL
a. Untuk pengomposan
Segera setelah panen, dilakukan pengolahan tanah awal
Sebarkan jerami/sisa panen secara merata
Basahi jerami/sisa panen secara merata (tidak terendam)
Semprotkan MOL 5 liter dan 9 Liter air (35-50 liter/ha)
Sebarkan pupuk organik dan biarkan lahan selama 10- 15 hari
Lakukan pengolahan tanah secara sempurna
Dengan konsentrasi perbandingab 1: 5 yaitu 1 liter MOL dan 5 liter air dan 1 ons gula merah kemudian campurkan pada bahan organik yang akan dikomposkan
b. Untuk Pemupukan
Pada umur 10-14 hari setelah tanam , lakukan penyiangan
Setelah penyiangan, air petakan jangan dibuang dan dimasukkan /tidak ada air yang masuk (-3-4 hari)
Disemprot dengan MOL setiap 7 hari sekali dalam 7 minggu (konsentrasi 1 gelas plastik bekas per tangki 14 liter)
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2008. Kabupaten Kampar dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kampar.
Balai Penelitian Tanah. 2008. Pupuk organik untuk tingkatkan produksi pertanian. Balittanah. Bogor
Dobermann, A. dan T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders &
Nutrient Management Potash & Potash Institute of Canada.
Musnamar. 2003. Pupuk Organik Cair dan Padat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Purwa, D.R. 2007. Petunjuk Pemupukan. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Sulaeman, Suparto, Eviati, 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
TERIMA KASIH
BIOPESTISIDA
OLEH
APRILIA IKE NURMALASARI, S.P.,M.Sc Laboratorium Ekologi dan Manajemen Produksi
Tanaman
Program Studi Agroteknologi
Biopestisida merupakan salah satu komponen dalam pengelolaan hama dan penyakit. Biopestisida didefinisikan sebagai bahan yang berasal dari mahluk hidup (tanaman, hewan atau mikroorganisme) yang berkhasiat menghambat pertumbuhan dan perkembangan atau mematikan hama atau organisme penyebab penyakit.
Schumann and D’Arcy (2012) mendefinisikan biopestisida sebagai senyawa organik dan mikrobia antagonis yang menghambat atau membunuh hama dan penyakit tanaman.
Biopestisida memiliki senyawa organik yang mudah terdegradasi di alam
PENDAHULUAN
Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati.
Pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Menurut FAO (1988) dan US EPA (2002), pestisida nabati dimasukkan ke dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung biotoksin
Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami dapat mengendalikan hama dengan mekanisme non toksik.
PESTISIDA NABATI
Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang merupakan metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu.
Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk ke dalam 235 famili (Kardinan, 1999). Menurut Morallo-Rijesus (1986) dalam Sastrosiswojo (2002), jenis tanaman dari famili Asteraceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae, dilaporkan paling banyak mengandung bahan insektisida nabati.
Kearifan nenek moyang kita bermula dari kebiasaan menggunakan bahan jamu (empon-empon = Jawa), tumbuhan bahan racun (gadung, ubi kayu hijau, pucung, jenu = Jawa), tumbuhan berkemampuan spesifik (mengandung rasa gatal, pahit, bau spesifik, tidak disukai hewan/serangga, seperti awarawar, rawe, senthe), atau tumbuhan lain berkemampuan khusus terhadap hama/penyakit (biji srikaya, biji sirsak, biji mindi, daun mimba, lerak, dll).
BEBERAPA KEUNTUNGAN/KELEBIHAN PENGGUNAAN PESTISIDA NABATI (GERRITS DAN VAN LATUM, 1988)
DALAM SASTROSISWOJO, 2002)
1. Mempunyai sifat cara kerja (mode of action) yang unik, yaitu tidak meracuni (non toksik).
2. Mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan serta relatif aman bagi manusia dan hewan peliharaan karena residunya mudah hilang.
3. Penggunaannya dalam jumlah (dosis) yang kecil atau rendah.
4. Mudah diperoleh di alam, contohnya di Indonesia sangat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati.
5. Cara pembuatannya relatif mudah dan secara sosial-ekonomi penggunaannya menguntungkan bagi petani kecil di negara-negara berkembang.
JENIS TUMBUHAN YANG BERPOTENSI UNTUK PESTISIDA NABATI
Jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pestisida nabati merupakan hasil penggalian/pencarian dari beberapa desa pada enam provinsi di kepulauan Sumatera, yaitu Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera Barat, Bangka-Belitung, dan Sumatera Utara.
Pendekatan pencarian ini berdasarkan penggunaannya dalam pengendalian hama tanaman, hama ternak dan racun ikan secara tradisional oleh masyarakat
TEKNIK PEMBUATAN PESTISIDA NABATI
SECARA SEDERHANA
Pembuatan pestisida nabati, yaitu dalam bentuk ekstrak secara sederhana (jangka pendek) dapat dilakukan oleh petani, dan penggunaannya biasanya dilakukan sesegera mungkin setelah pembuatan ekstrak. Pembuatan secara sederhana ini berorientasi kepada penerapan usaha tani berinput rendah.
SECARA LABORATORIUM
Cara laboratorium (jangka panjang) biasanya dilakukan oleh tenaga ahli yang sudah terlatih dan hasil kemasannya memungkinkan untuk disimpan relatif lama.
Pembuatan cara laboratorium berorientasi pada industri, membutuhkan biaya tinggi, sehingga produk pestisida nabati menjadi mahal, bahkan kadang lebih mahal daripada pestisida sintetis.
P
EMBUATAN PESTISIDA NABATI DAPAT DILAKUKAN DENGAN BERBAGAI CARA YAITUA. Penggerusan, penumbukan, pembakaran atau pengepresan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu atau pasta.
B. Perendaman untuk produk ekstrak.
Pembuatan ekstrak ini dapat dilakukan dengan beberapa cara :
1) Tepung tumbuhan + air
2) Tepung tumbuhan + air, kemudian dipanaskan/direbus
3) Tepung tumbuhan + air + deterjen
4) Tepung tumbuhan + air + surfaktan (pengemulsi) pestisida
5) Tepung tumbuhan + air + sedikit alkohol/metanol + surfaktan
C. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus.
Pemanfaatan tumbuhan penghasil pestisida nabati dalam pengendalian hama sudah banyak dilakukan, terutama di bidang pertanian dan perkebunan dan hasilnya efektif. Penggunaan suatu pestisida nabati akan lebih baik hasilnya atau lebih efektif apabila dipadukan dengan pestisida nabati lainnya. Aplikasinya dapat dilakukan secara pencampuran atau secara berselang-seling, misal ekstrak daun sirsak dan ekstrak biji mimba. Penggunaan pestisida nabati juga dapat dipadukan dengan musuh alami bila bahan pestisida nabati tersebut tidak beracun bagi musuh alami.
PESTISIDA HAYATI
Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga (hama) maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman).
Formulasi Beuveria bassiana (isolat segunung) mampu mengendalikan hama kumbang moncong yang merupakan hama utama anggrek serta kumbang mawar dan kutu daun pada tanaman krisan.
Kelompok bakteri yang telah diteliti dan digunakan yaitu agen hayati seperti genus Bacillus (B.polimyxa, B.Substilis, B.thuringiensis), Pseudomonas (P.Fluorescens- pf), kelompok cendawan (Trichoderma harzianum, dan Glicocladium sp).
Formulasi pestisida dari BALITHI yaitu Bio-PF mengandung pf untuk mengendalikan penyakit layu bakteri dan cendawan, rebah kecambah dan bercak daun yang disebabkan oleh Fusarium sp.
Bio-GL mengandung Gliocladium spp untuk mengendalikan penyakit tular tanah yang disebabkan oleh Phytium spp.
Prima-BF mengandung Bacillus sp dan pf untuk mengendalikan penyakit akar bengkak, layu fusarium, layu bakteri dan busuk daun.
Biopestisida menurut Sastroutomo (1992) dapat dibedakan menjadi 3 yaitu bioherbisida, biofungisida, biointekstisida)
Bioinsektisida berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida misal B. thuringiensis.
Bioherbisida adalah pengendalian gulma dengan menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Seperti DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora untuk Morrenia odorata (gulma pada tanaman jeruk)
Biofungisida yaitu digunakan untuk mengendalikan penyakit jamur. Biofungisida yang digunakan yaitu spora Trichordema sp.
yang digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai.
KENDALA, KEUNTUNGAN DAN PELUANG BIOPESTISIDA
Biopestisida berbentuk ekstrak dari bagian tanaman, bukan sintesis senyawa aktifnya sehingga membutuhkan volume yang besar sehingga kurang praktis dalam transportasi.
Efektivitas biofungisida tidak bisa sama dengan fungisida kimia.
Keuntungan penggunaan biopestisida adalah ramah lingkungan karena senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya mudah luruh di alam (Schumann and D’Arcy 2012). Biopestisida tidak menimbulkan resistensi atau resurgensi sehingga tidak menimbulkan rasras baru pada mikroorganisme penyebab penyakit (Kardinan 2004). Senyawa dalam biopestisida tidak bersifat racun pada manusia, sehingga tidak menggangggu kesehatan pengguna (petani) dan konsumen.
Biopestisida berpeluang dikembangkan di Indonesia karena terdapat beragam tanaman dan mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai bahan baku. Supaya biopestisida tersedia dari waktu ke waktu maka penanaman tanaman penghasil bahan nabati sampai menjadi bahan baku harus terus menerus dilakukan, atau pembiakan massal suatu predator, cendawan entomopatogen (B. bassiana, L. lecanii), atau antagonis penyebab penyakit (Trichoderma sp.), terutama di sentra produksi tanaman pangan.
Supaya mudah didapatkan petani, maka biopestisida harus tersebar hingga ke desa dan mendapat pengawasan dari pihak kompeten.
DAFTAR PUSTAKA
FWI dan GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C. Global Forest Watch.
Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Sastrosiswojo, S. 2002. Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya Penggunaan Biopestisida di Indonesia. Makalah pada Lokakarya Keanekaragaman Hayati Untuk Perlindungan Tanaman, Yogyakarta, Tanggal 7 Agustus 2002.
Whitmore, T.C., 1975. Tropical Rain Forests of the Far East. Clarendon Press. Oxford
Whitten T., S.J. Damanik, J. Anwar dan N. Hisyam, 1997. The Ecology of Sumatra. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore
Studi kasus teknik pengendalian Hama pada pertanian Organik
APRILIA IKE NURMALASARI, S.P., M.Sc
Laboratorium Ekologi dan Manajemen Produksi Tanaman
Fakultas Pertanian UNS
PENDAHULUAN
Pengendalian dan pemberatasan hama tanaman merupakan unsur penting yang menentukan berhasil tidaknya usaha pertanian yang dijalankan.
Tanaman padi yang dikelola secara organik
juga tidak lepas dari berbagai serangan hama
dan penyakit tanaman
CONTOH PENGENDALIAN HAMA
Hama Tikus : Pengendalian sedini mungkin sebelum tikus beranak, sehingga lebih mudah untuk mengendalikan
Walang sangit : dengan lampu petromaks yang ditempatkan di tengah sawah pada
malam hari, Cahaya dari lampu tersebut akan menarik kedatangan walang sangit.
Walang sangit yang mendatangi lampu
petromaks akan mati karena terbakar atau
kena panas dari lampu tersebut
Lanjutan
Menggunakan ketam yang ditaruh pada
sabut kelapa. Selanjutnya sabut kelapa yang sudah berisi ketam tersebut ditempatkan di banyak tempat pada lahan sawah
dengan menggunakan anjir dari bambu.
Dengan umpan tersebut walang sangit
tidak akan menyerang padi
Ulat Penggerek
Merusak bagian-bagian pucuk tanaman sehingga menyebabkan tanaman padi mati,
Pengendalian
Menggunakan abu yang berasal dari pembakaran merang yang sudah disimpan atau “dileremke”
selama satu atau dua musim tanam. Abu yang sudah disimpan tersebut ditebarkan pada
tanaman. Dalam abu merang diyakini
ada“landha” semacam shampoo yang berkasiat
untuk membasmi ulat.
Menggunakan campuran air tuba, sabun colek, minyak tanah dan rendaman air tembakau untuk membasmi ulat.
Hama Wereng
Pengeringan, menggunakan daun suren untuk
mengatasi hama wereng, menangkarkan laba-
laba penjaring sebagai predator alami dari
wereng
Sundep (Penggerek Batang) Pengendalian :
Pengeringan, melakukan pengamatan siklus hidup dan dapat menggunakan lampu
perangkap.
Daftar pustaka
Andreas Avelinus Suwantoro, 2008. Analisis Pengembangan Pertanian Organik di Kabupaten Magelang (Studi Kasus Di Kecamatan Sawangan).
Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.
Cropping System in The Tropic
Aprilia Ike Nurmalasari, S.P.,M.Sc
Cropping Patterns: The yearly
sequence and spatial arrangement of crops and fallow on a given area.
Cropping System: Depending on the
resources and technology available,
different types of cropping systems
are adopted on farms, which are as
below.
Type of Cropping System
1.
Monoculture
2.
Sole Cropping
3.
Multiple Cropping or Polycropping
4.
Polyculture
Monoculture
Practice of repetitive growing only crop
irrespective of its intensity as rice-rice-rice in
Kerala, West Bengal and Orissa.
Sole Cropping
One crop variety grown alone in pure
stand at normal density
Multiple Cropping or Polycropping
It is a cropping system where two or three crops are gown annually on the same piece of land using high input
without affecting basic fertility of the soil.
Polyculture
Cultivation of more than two types of
crops grown together on a piece of land
in a crop season.
Intercropping
Advantages of Intercropping
1.
Greater stability of yield over different seasons,
2.
Better use of growth resources
3.
Better control of weeds, pests and diseases
4.
One crop provides physical support to the other crop
5.
One crop provides shelter to the other crop,
6.
Erosion control through providing
continuous leaf cover over the ground
surface, and g) it is the small farmers of
limited means who is most likely to benefit.
Disadvantages of Intercropping
1.
Yield decrease because of adverse competition effect
2.
Allelopathic effect
3.
Creates obstruction in the free use of machines for intercultural operations and
4.
Large farmers with adequate resources
may likely to get less benefit out of
intercropping.
Type of Inter-Cropping
Mixed intercropping: Growing two or more crops simultaneously with no distinct row arrangement.
Row intercropping: Growing two or more crops simultaneously where one or more
crops are planted in rows.
Relay inter-cropping: Growing two or more crops simultaneously during part of the life cycle of each. A second crop is
planted after the first crop has reached its
reproductive stage but before it is ready for
harvest.
Strip Inter-cropping: different strips wide enough to permit independent cultivation but narrow enough for the crops to interact ergonomically.
Agroforestry: land use management system in which trees or shrubs are grown around or among crops or pastureland. It combines shrubs and trees in agricultural and forestry technologies to create more diverse,
productive, profitable, healthy, ecologically
sound, and sustainable land-use systems.
Ratoon cropping
Planting is done by road pruning up to
with the base of the stem and so on new shoots will grow later and allowed to
grow until harvest next and can be
repeated several time
Mixed intercropping
(Maize – peanut – Cowpea – Soybean)
Jatropha - Flowers
Mixed intercropping
Land Equivalent Ratio (LER) is a description of land use efficiency. Land equality value can be calculated when the crop has been harvested.
Area Time Equivalent Ratio (ATER) is a
description of the value of land equality based
on time. Profit yield per unit of land is also
influenced by planting time and harvest time in
intercropping. The longer a type plants are in
the land then the benefits from the time side
increasingly small
LER = 𝒀𝒊
𝒀𝒋 + 𝑿𝒊
𝑿𝒋
Description :
Yi = intercropped Y plant production Yj = monocultured Y plant production Xi = intercropped X plant production Xj = monocultures X plant production
If on the results of the analysis obtained a greater NKL value 1 (> 1), it shows that the pattern intercropping planting is more productive than monoculture