19
Hasil rerata konsumsi bahan kering (KBK) ransum kelinci Lokal jantan yang mendapat ransum perlakuan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rerata konsumsi bahan kering (g/ekor/hari) Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 5
Rerata
0 50.24 43.52 33.87 48.70 44.96 44.28
1 44.11 45.41 40.26 35.29 39.18 40.85
2 34.79 37.31 41.73 53.82 47.13 42.96
3 43.48 † 43.23 43.16 44.10 34.79
Keterangan : † : P3U2 mati pada hari ke 39 pemeliharaan.
Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa Rerata konsumsi bahan kering kelinci lokal jantan selama penelitian pada P0, P1, P2, dan P3 masing masing adalah 44,28; 40,85; 42,96 dan 34,79 g/ekor/ hari.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa konsumsi bahan kering cenderung menurun bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya ransum yang menggunakan Limbah Media Tanam Jamur Tiram Putih (LMTJTP) akan menurunkan tingkat konsumsi bahan keringnya.
Meskipun terlihat adanya penurunan konsumsi bahan kering, setelah diuji statistik menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata. Hal ini berarti penggunaan LMTJTP dalam ransum hingga taraf 15 % tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering pakan kelinci lokal jantan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan ternak adalah kesukaan ternak terhadap pakan (palatabilitas), seperti yang dinyatakan oleh Parakkasi (1999) bahwa tinggi rendahnya konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas. Diduga penggunaan LMTJTP hingga taraf 15 % tidak menurunkan palatabilitas ransum sehingga pakan perlakuan memiliki palatabilitas yang relatif sama.
B. Konsumsi Bahan Organik (KBO)
Hasil Rerata konsumsi bahan organik (KBO) ransum kelinci lokal jantan yang mendapat ransum perlakuan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rerata konsumsi bahan organik (g/ekor/hari) Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 5
Rerata
0 10.37 8.81 6.68 10.55 9.35 9.15
1 9.38 9.32 8.35 6.78 8.06 8.38
2 7.02 8.18 8.45 11.85 10.31 9.16
3 10.56 † 10.49 10.16 11.45 10.67
Keterangan : †: P3U2 mati pada hari ke 39 pemeliharaan.
Rerata konsumsi bahan organik (KBO) kelinci lokal jantan selama penelitian untuk perlakuan P0; P1; P2; dan P3 berturut turut adalah 9,15; 8,38;
9,16; 10,67 gr/ekor/hari.
Hasil analisis variansi menunjukkan pengaruh perlakuan terhadap konsumsi bahan organik ransum berbeda tidak nyata. Hal ini berarti bahwa penggunaan LMTJTP dalam ransum sampai tingkat 15 % tidak mempengaruhi konsumsi bahan organik ransum.
Konsumsi bahan organik yang tidak berbeda nyata disebabkan karena konsumsi bahan keringnya juga tidak berbeda nyata, sehingga tidak mempengaruhi tingkat bahan organik yang dikonsumsi. Menurut (Kamal, 1994) semakin tinggi konsumsi bahan kering maka konsumsi bahan organiknya akan meningkat. Bahan kering sendiri terdiri dari bahan organik dan abu, sehingga besarnya konsumsi bahan organik berbanding lurus dengan besarnya konsumsi bahan kering. Selain itu zat-zat yang terkandung dalam bahan organik (lemak kasar, serat kasar, protein kasar dan BETN) terdapat pula dalam bahan kering (Tillman et al., 1991).
C. Kecernaan Bahan Kering (KcBK)
Rerata kecernaan bahan kering ransum kelinci lokal jantan yang mendapat ransum perlakuan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rerata kecernaan bahan kering (%) Ulangan Perlakuan
1 2 3 4 5
Rerata
0 41.42 51.72 39.56 54.09 41.66 45.69
1 42.67 39.04 27.07 42.65 34.15 37.12
2 40.73 31.57 38.82 50.59 42.61 40.86
3 39.04 † 45.18 37.12 32.25 38.40
Keterangan: † : P3U2 mati pada hari ke 39 pemeliharaan.
Pada tabel 6 dapat diketahui bahwa rerata kecernaan bahan kering kelinci lokal jantan selama penelitian pada P0, P1, P2, dan P3 masing masing adalah 45,69 %; 37,12 %; 40,86 %; dan 38,40 %. Tabel 6 memperlihatkan bahwa kecernaann bahan kering cenderung menurun bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan LTMJTP dalam ransum akan menurunkan kecernaan bahan kering. Hasil tersebut diduga karena laju pakan di saluran pencernaan lambat. Pakan yang berkualitas rendah dan banyak mengandung serat kasar mengakibatkan jalannya pakan akan lebih lambat sehigga ruang dalam saluran pencernaan cepat penuh ( Parakkasi, 1999). Laju pakan dalam saluran pencernaan juga dipengaruhi oleh adanya lignin dalam LTMJTP yang digunakan sebagai komponen penyusun ransum. Diperkuat pendapat Tillman, et al (1989), salah satu sifat dari pakan yang mengandung lignin tinggi sukar dicerna dapat menyebabkan kecepatan laju pakan dalam saluran lambat. Proses fermentasi mikroorganisme dalam saluran pencernaan juga lebih lama dengan pakan yang mengandug serat kasar dan lignin yang tinggi. Dari susunan ransum penelitian diketahui bahwa kandungan serat kasar pada ransum perlakuan meningkat seiring dengan bertambahnya level limbah media tanam jamur tiram putih.
Ransum P0, P1, P2 dan P3 kandungan serat kasarnya masing-masing sebesar 17,34; 19,06; 20,77 dan 22,49 persen. Ransum yang menggunakan LMTJTP berpengaruh menurunkan kecernaan bahan kering. Hal ini karena LMTJTP mengandung serat kasar dan lignin yang tinggi.
Meskipun terlihat adanya penurunan nilai kecernaan, tapi hasil analisis variansi menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap kecernaan bahan kering (KcBK) berbeda tidak nyata. Artinya bahwa penggunaan limbah media
tanam jamur tiram putih (LMTJTP) sampai level 15 % tidak mempengaruhi nilai kecernaan bahan keringnya. Peningkatan kandungan serat kasar pada kisaran tersebut diduga belum dapat memberikan pengaruh berarti terhadap kecernaan bahan keringnya.
Tillman et al., (1991) menerangkan bahwa daya cerna berhubungan erat dengan komposisi ransum dan serat kasar mempunyai pengaruh yang terbesar.
Dengan bertambahnya kadar serat kasar dalam ransum, umumnya kecernaan akan menurun. Faktor lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan bahan kering pakan antara lain jumlah pakan yang dikonsumsi, kecernaan semu protein kasar, lemak, penyiapan ransum, faktor hewan, jumlah ransum..
Selain itu terdapat juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecernaan ransum yaitu suhu, palatabilitas, status fisiologi, konsentrasi nutrien, bentuk ransum, dan bobot badan (Kartadisastra, 1997). Menurut Anggorodi (1979), umumnya bahan ransum yang mengalami proses penggilingan akan mempengaruhi koefisien cerna, karena penggilingan meluaskan permukaan ransum yang terkena getah pencernaan. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian tingkat kecernaan bahan kering dari masing-masing perlakuan hampir sama. Hal ini berarti bahwa proses penggilingan pada LMTJTP belum dapat memberikan pengaruh yang berarti pada kecernaan bahan kering ransum.
D. Kecernaan Bahan Organik (KcBO)
Rerata kecernaan bahan organik ransum kelinci lokal jantan yang mendapat ransum perlakuan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rerata kecernaan bahan organik (%) Ulangan Perlakuan
1 2 3 4 5
Rerata
0 51.68 52.76 39.78 59.04 49.59 50.57
1 49.24 43.46 38.19 39.70 38.55 41.83
2 35.63 43.12 41.05 52.22 52.22 44.84
3 46.87 † 47.45 43.29 43.29 45.23
Keterangan: † : P3U2 mati pada hari ke 39 pemeliharaan.
Pada tabel 7 dapat diketahui bahwa rerata kecernaan bahan organik kelinci lokal jantan selama penelitian pada P0, P1, P2, dan P3 masing masing adalah 50,57 %; 41,83 %; 44,84 %; dan 45,23 %.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap kecernaan bahan organik (KcBO) berbeda tidak nyata. Hal ini berarti bahwa penggunaan limbah media tanam jamur tiram putih dalam ransum sampai tingkat 15 persen tidak berpengaruh terhadap kecernaan bahan organik ransum. Hasil yang tidak berbeda nyata tersebut disebabkan karena kelinci dalam penelitian tidak mengalami proses coprophagy. Coprophagy terjadi bila kandungan nutrisi pada ransum kurang. Selain itu kondisi kandang tidak memungkinkan kelinci untuk melakukan coprophagy.
KcBO yang berbeda tidak nyata dapat pula karena KcBK yang tidak berbeda nyata. KcBO berbanding lurus dengan KcBK , hal ini disebabkan karena bahan organik merupakan penyusun dari bahan kering. Bahan kering terdiri dari bahan organik dan anorganik sedang bahan organik terdiri dari serat kasar, protein kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen, dan ekstrak eter (Tillman et al., 1991).